artikel konseptual

Upload: widdy-reynaldi

Post on 29-Oct-2015

237 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MENGEMBANGKAN KREATIFITAS BELAJAR GEOGRAFI MELALUI PENDAYAGUNAAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

PREFERENSI PEMUKIMAN

( Suatu Tinjauan Konsep Pemukiman di Perkotaan )

Artikel untuk Majalah FIS - UNNES Forum Ilmu Sosial

01 Desember 2000

Oleh :

S r i y o n o

Dosen Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNNES

PREFERENSI PEMUKIMAN : Suatu Tinjauan Konsep Pemukiman

Oleh : Sriyono *)

Abstrak

Kebutuhan pokok manusia, selain pangan dan sandang adalah papan atau tempat tinggal. Tempat tinggal ini mempunyai multifungsi dalam aspek kehidupan baik dari segi biologis maupun psikologis. Dalam perkembangannya, tempat tinggal tidak sekedar dipandang sebagai tempat untuk berteduh, tetapi lebih dari itu, yakni untuk bermukim yang di dalamnya terkandung maksud untuk kepuasan jiwa manusia. Sebagai tempat untuk bermukim, tentunya tempat tinggal harus disediakan atau dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan sosio-ekonomi, baik hal yang menyangkut bentuk, tipe, estetika dan lokasi. Bagi para pemukim di perkotaan, pemilihan lokasi telah menjadi sesuatu hal yang benar-benar dipertimbangkan.

Setiap individu memiliki sikap yang berbeda dengan individu lain dalam pemilihan tempat tinggal. Sikap ini dipengaruhi oleh suatu keadaan psikologis, sosial-ekonomis dan kultur-historis yang melatarbelakanginya. Pilihan lokasi yang lebih disukai (preferensi pemukiman) dapat ditentukan oleh 3 (tiga) faktor prioritas, yaitu : preferensi penguasaan tempat tinggal, lokasi dan tipe rumah (ukuran, luas). Ada beberapa masalah yang muncul sebagai akibat preferensi pemukiman, yang pada prinsipnya menyangkut ketidakseimbangan antara keinginan dan kondisi sosio-ekonomi yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, perlu sikap dan tindakan bijaksana di dalam merencanakan pemilihan lokasi tempat tinggal.

Kata kunci : tempat tinggal, mobilitas tempat tinggal, pemukiman, preferensi pemukiman.

PendahuluanKebutuhan akan tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain pangan dan sandang. Sekalipun dalam pengertian yang sangat sederhana dan dalam waktu tertentu, setiap manusia di manapun di dunia membutuhkan tempat tinggal, baik di daerah bersuhu udara dingin maupun panas, di daerah yang paling banyak turun hujan maupun daerah gurun pasir, manusia selalu membutuhkan dan membangun tempat berlindung ataupun tempat tinggal. Kebutuhan tempat tinggal ini telah dilakukan oleh manusia sejak jaman purba, yang dalam sejarah membuktikan mereka menempati gua-gua sebagai tempat berlindung dari bahaya yang datang dari alam maupun gangguan dari makhluk hidup lain.

Jumlah kebutuhan tempat tinggal yang berupa perumahan dari waktu ke waktu semakin membengkak. Sebagai gambaran di Indonesia pertumbuhan penduduk diproyeksikan pada tahun 2000 mencapai 210 juta jiwa yang berarti rata-rata pertumbuhannya 1,8 %. Untuk menampung pertambahan penduduk tersebut diperlukan sekitar 1.750.000 unit rumah (Anonim, 1997: 43). Dengan asumsi luas kapling rata-rata 100 m( yang merupakan luas terbangun (60 % dari luas total) di mana 40% lagi diperuntukkan bagi sistem jaringan dan sarana permukiman, ini berarti dibutuhkan 30.000 hektar lahan baru setiap tahun. Sejalan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, maka kebutuhan akan lahanpun akan meningkat pula karena lahan merupakan wadah dari aktivitas manusia. Sehingga lahan semakin lama akan semakin terbatas dan akibatnya akan menimbulkan persaingan dalam memperoleh lahan.

Persaingan untuk mendapatkan lahan tidak saja timbul karena luas lahan yang terbatas, tetapi persaingan tersebut juga terjadi karena orang cenderung memilih lokasi yang terdekat dengan pusat-pusat kegiatan kota, dimana fasilitas fasilitas kota tersedia. Persaingan ini merupakan perwujudan dari adanya perubahan dan perbedaan kondisi sosio-ekonomi di masyarakat dan juga karena pengaruh perbedaan keinginan dari masing-masing penduduk pemukim. Pernyataan ini sudah lazim dan umum terjadi di daerah yang sedang mengalami perkembangan, namun bagi daerah yang sudah lama berkembang (kota-kota besar) akan terjadi fenomena yang lain. Bagi penduduk di perkotaan yang sudah lama bermukim dan mapan tingkat sosio-ekonominya, penyediaan permukiman dan fasilitasnya tidaklah banyak menjadi persoalan. Bahkan mereka cenderung memilih lokasi permukimannya itu pada tempat-tempat yang relatif jauh dari tempat kerja ataupun pusat kota. Hal ini dimaksudkan untuk menjauhi kebisingan dan hiruk-pikuknya keramaian kota. Mereka mencari suasana yang tenang dan nyaman di daerah pinggiran kota. Sebagai contoh barangkali seperti daerah Bukitsari (sekitar Gombel) di Semarang dan Kecamatan Depok di Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), sekarang telah menjadi lahan permukiman elit yang ditandai dengan berbagai ukuran bangunan rumah mewah. Pemukim (settler) baru di pinggiran kota ini tentu saja akan menyebabkan suatu permasalahan terhadap lingkungan sekitar, meskipun tidak menutup kemungkinan juga dapat membawa dampak yang bersifat positif.

Sedangkan bagi penduduk pemukim yang baru di perkotaan lebih memilih bertempat tinggal di pusat atau dekat dengan pusat perkotaan. Ini barangkali dimaksudkan untuk mendekati tempat pekerjaan yang berada di kawasan perkotaan. Fenomena ini rupanya menarik untuk dikaji lebih mendalam. Selain itu, perlu diungkap permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul sebagai akibat terbentuknya fenomena tersebut.

Dalam pembahasan berikut akan diungkapkan tentang pengertian-pengertian yang berkait dengan pemukiman, mobilitas tempat tinggal, pemilihan lokasi tempat tinggal, preferensi pemukiman, masalah yang dapat muncul sebagai akibat preferensi pemukiman dan simpulan.

Pengertian yang Berkait dengan Pemukiman

Pembahasan tentang permukiman di dalam Geografi dibahas tersendiri pada Geografi Permukiman. Menurut Bintarto (1977 : 1), Geografi Permukiman didefinisikan sebagai studi yang mengkaji tentang pola persebaran bangunan, kepadatan bangunan, pengaturan tata bangunan dan tata kediaman penduduk di muka bumi. Geografi Permukiman di dalam studinya memasukkan lokasi, site (tapak), situasi, dispersi (persebaran), bentuk dan fungsi permukiman. Istilah permukiman (settlements) menurut Barlow & Newton (1971) dalam Su Ritohardoyo (2000 : 4) adalah semua tipe tempat tinggal manusia baik satu gubug atau pondok tunggal beratap dedaunan, atau rumah-rumah di perladangan hingga kota yang sangat besar dengan ribuan bangunan atau ribuan rumah tempat tinggal. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman diartikan sebagai area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan, dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan (Anonim 1997 : 95). Jadi secara luas arti permukiman manusia (human settlements) adalah semua bentukan secara buatan maupun secara alami dengan segala perlengkapannya, yang dipergunakan oleh manusia baik secara individu maupun kelompok untuk bertempat tinggal sementara maupun menetap, dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. Sesungguhnya tinjauan permukiman pada lingkup makro menjelaskan bangunan-bangunan rumah tempat tinggal dalam skala wilayah regional, pada lingkup meso menjelaskan kelompok-kelompok bangunan rumah tempat tinggal dalam skala wilayah lokal dan lingkup mikro menjelaskan bangunan-bangunan rumah tempat tinggal individu.

Keterkaitan antara permukiman dengan perumahan tertuang secara tersirat (implicit). Kajian permukiman ataupun tempat tinggal dapat difokuskan pada salah satu bagian dari lingkup kajian permukiman apakah secara makro, meso atau secara mikro. Yang penting tinjauan permukiman maupun tempat tinggal dari aspek geografi permukiman lebih menekankan pada landasan ilmu geografi yang bersifat human oriented atau mengaitkan dengan manusia sebagai subyek. Sedangkan arti rumah menurut BPS (1980) dalam Su Ritohardoyo (2000 : 6) adalah tempat perlindungan yang mempunyai dinding dan atap, baik tetap maupun sementara, dipergunakan untuk tempat tinggal atau bukan. Batasan ini memiliki arti ganda yakni bangunan rumah untuk tempat tinggal dan bukan untuk tempat tinggal. Oleh karena itu, jika rumah akan digunakan sebagai batasan dalam arti sebagai tempat tinggal, mestinya dimodifikasi sebagai berikut : rumah adalah tempat perlindungan yang mempunyai dinding dan atap, baik sementara maupun menetap, digunakan untuk tempat tinggal . Proses menempati suatu rumah tempat tinggal tidak dapat dilepaskan dari fungsi rumah itu sendiri. Fungsi pokok rumah bagi manusia, seperti ditentukan oleh The American Public Health Association adalah tempat untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, tempat untuk berlindung dari penularan penyakit menular, dan berlindung dari gangguan keamanan dan atau kecelakaan (Su Ritohardoyo 2000 : 5). Menurut Azrul Aswar (1979 : 30), rumah tempat tinggal mempunyai beberapa fungsi, yang antara lain :

1). Sebagai tempat berlindung dari kemungkinan bahaya yang mengancam dari luar.

2). Sebagai tempat bergaul dengan keluarga atau tempat membina rasa kekeluargaan.

3). Sebagai tempat melepaskan lelah, beristirahat setelah melaksanakan kewajiban sehari-hari.

4). Sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga yang dimiliki.

5). Sebagai lambang status sosial yang dimiliki.

6). Sebagai modal jika keadaan memaksa dapat dijual untuk kebutuhan yang lebih utama.

Rumah selain sebagai tempat berlindung, juga memiliki fungsi sebagai tempat berlangsungnya proses sosialisasi, proses dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai, adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dan juga tempat manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Dewayanto 1998 : 17).

Pengertian tentang pemukiman mengacu pada cara memukim atau hal memukim atau tegasnya cara menempati suatu tempat tinggal atau kediaman. Pemukiman dapat diartikan juga sebagai tindakan seseorang maupun kelompok orang dalam wilayah tertentu untuk tempat tinggalnya . Arti pemukiman menekankan pada cara-cara memukimi suatu tempat tertentu oleh seseorang atau sekelompok orang, atau proses memukimkan penduduk dari daerah permukiman tertentu ke suatu daerah permukiman yang baru (daerah asal ke daerah tujuan).

Dalam tulisan ini pemukiman yang dimaksud adalah proses dan cara memukim atau hal-hal yang berkaitan dengan menempati suatu tempat tinggal . Ada 3 (tiga) dasar utama kajian pemukiman, yaitu :

1). Mengenai manusia sebagai subyek yang akan pindah / dipindahkan dengan latar belakang

sosial, ekonomi, budaya dan latar belakang fisikal daerah permukiman asalnya.

2). Mempelajari proses pindah / pemindahan yang dirasakan paling cocok untuk diterapkan

termasuk di dalamnya mengenai organisasi institusional, prosedur, bekal, sesuatu yang

diperoleh dari pindah / pemindahan, dan upaya penerangan mengenai daerah daerah

permukiman harapan yang telah diterapkan oleh pemerintah.

3). Mempelajari manusia dan permukiman tujuan beserta latar belakangnya baik fisik, sosial,

ekonomi dan budayanya.

Lebih lanjut, menurut Yunus (1987 : 15) ada 4 (empat) model pemukiman dengan memperhatikan permukiman asal dan permukiman tujuan, yaitu :

1). Model I, menunjukkan upaya pemukiman dari seseorang / sekelompok orang dengan

latar belakang kehidupan daerah permukiman asal yang sama dengan daerah

permukiman tujuan.

2). Model II, menunjukkan upaya pemukiman dari seseorang / sekelompok orang tertentu

yang telah mengalami perubahan perilaku kehidupannya (mungkin perilaku sosialnya,

budayanya, ekonominya atau gabungan dari ketiganya) yang disebabkan oleh sifat

daerah permukiman antara yang baru.

3). Model III, menunjukkan seseorang / sekelompok orang dengan latar belakang

kehidupan daerah permukiman asal yang sama sekali berbeda dengan daerah

permukiman tujuan.

4). Model IV, menunjukkan suatu upaya pemukiman sesorang / sekelompok orang dengan

latar belakang kehidupan yang sama sekali berbeda dengan daerah permukiman

tujuan, tetapi kelompok tersebut atas inisiatifnya pernah ke suatu daerah yang

mempunyai latar belakang kehidupan yang sama dengan daerah permukiman tujuan.

Bila dicermati, dari ke empat model pemukiman ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dari seseorang / sekelompok orang. Latar belakang kehidupan ini menyangkut perilaku kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun budaya, yang berperan dalam proses adaptasi di daerah permukiman tujuan.Mobilitas Tempat TinggalHal lain yang penting berkaitan dengan pemukiman ini adalah mobilitas tempat tinggal (residential mobility). Dalam perkembangannya, ternyata penduduk selalu mengalami dinamika di dalam hal bertempat tinggal. Pada kondisi tertentu, penduduk akan melakukan suatu mobilitas, termasuk mobilitas tempat tinggal. Kenyataan ini nampak jelas terjadi di daerah-daerah yang relatif cepat berkembang seperti daerah perkotaan. Teori-teori yang bertalian dengan ini dikemukakan oleh Turner (1968), yang mengemukakan bahwa ada beberapa dimensi yang bergerak secara paralel dengan mobilitas tempat tinggal ini . Ada 4 (empat) macam dimensi yang perlu diperhatikan dalam mencoba memahami dinamika perubahan tempat tinggal pada sesuatu kota, yaitu :

1). Dimensi lokasi, mengacu pada tempat-tempat tertentu pada sesuatu kota yang oleh

seseorang / sekelompok orang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal dalam

kondisi dirinya. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus

kehidupannya. Lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat

kerja (accessibility to employment). Perspektif ini sering diistilahkan sebagai

ruang geografi (geographycal space).

2). Dimensi perumahan, dikaitkan dengan aspirasi perorangan / sekelompok orang terhadap

macam, tipe perumahan yang ada. Oleh karena luasnya aspek perumahan ini, oleh

Turner dibatasi pada aspek penguasaan (tenure). Seperti halnya pada dimensi lokasi,

pandangan sesorang terhadap aspek penguasaan tempat tinggal selalu dikaitkan dengan

tingkat penghasilan dan siklus kehidupannya. Mereka yang berpenghasilan rendah

misalnya, akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan

untuk memilikinya, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat

penghasilannya. Daur kehidupan yang masih awal pada umumnya paralel dengan

tingkat penghasilan yang rendah ini.

3). Dimensi siklus kehidupan, membahas tahap-tahap seseorang mulai menapak dalam

kehidupan mandirinya, dalam artian bahwa semua kebutuhan hidupnya ditopang oleh

penghasilannya sendiri. Secara umum makin lanjut tahap siklus kehidupan, makin

tinggi income,sehingga kaitannya dengan dua dimensi terdahulu menjadi lebih jelas.

4). Dimensi penghasilan, menekankan pembahasannya pada besar kecilnya penghasilan

yang diperoleh persatuan waktu. Dengan asumsi bahwa makin lama seseorang

menetap di suatu kota, makin mantap posisi kepegawaiannya (dalam pekerjaannya),

akan makin tinggi pula tingkat penghasilan yang diperolehnya persatuan waktu

tertentu.

Dinamika teorinya didasari oleh asas keseimbangan di mana mengandung pengertian bahwa mereka yang lebih kuat ekonominya memperoleh sesuatu yang lebih baik dalam hal residential location. Kondisi ini merupakan produk mempertukarkan di dalam 3 (tiga) prioritas lingkungan tempat tinggal, yaitu :

1). Masalah penguasaan tempat tinggal (tenure), dalam hal ini seseorang harus memilih antara

menyewa dengan memiliki. Dengan melihat kemampuan ekonomi, seseorang akan mampu

memutuskan yang terbaik buat dirinya, apakah menyewa atau memiliki.

2). Masalah lokasi (location), di sini seseorang harus menentukan lokasi tempat tinggal yang

dianggap paling sesuai, apakah dengan kota yang notabene dekat dengan tempat

kerja tetapi sewa mahal, ataukah di pinggiran kota yang jauh dan harus mengeluarkan ongkos

transportasi yang cukup besar tetapi sewa relatif lebih murah (untuk negara sedang

berkembang).

3). Masalah rumahnya sendiri (shelter), dalam hal ini seseorang juga harus menentukan apakah

jenis rumah yang sangat sederhana saja, sederhana, menengah atau mewah.

Semuanya terpulang pada persepsi dan keputusan masing-masing orang dalam menentukan yang paling baik bagi dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya pada kurun waktu tertentu. Oleh karena kondisi kemampuan seseorang tidak tetap dari waktu ke waktu, maka mobilitas tempat tinggal (residential mobility) ini juga selalu berubah dari waktu ke waktu. Untuk mendukung teori ini, dalam analisisnya tidak diperuntukkan bagi segolongan penduduk yang mempunya variasi latar belakang kehidupan yang sangat besar, namun hanya diperuntukkan bagi stratum-stratum lapisan masyarakat yang sejenis, terutama dari segi sosio-ekonominya.

Menurut Turner (Yunus, 2000 : 191-196), ada 3 (tiga) strata sosial yang berkaitan dengan hal pemukiman ini, yaitu :

1). Bridgeheaders (golongan yang baru datang / bertempat tinggal di kota), adalah

golongan yang dengan segala keterbatasannya belum mampu mengangkat dirinya ke

suatu jenjang sosial ekonomi yang lebih tinggi. Mereka ini adalah golongan yang

masih berpenghasilan rendah, karena belum lama terlihat dalam kegiatan perkotaan.

Mereka termasuk dalam kategori mula dalam tahap-tahap siklus kehidupan. Umumnya

mereka masih bujang, berpenghasilan masih rendah, sehingga untuk tempat tinggalnya

masih berstatus sewa atau kontrak. Mereka memilih tempat tinggal yang dekat dengan

kota yang notabene dekat tempat kerja.

2). Consolidators ( golongan yang sudah agak lama tinggal di daerah perkotaan),

golongan ini merupakan perkembangan dari bridgeheaders. Mereka telah memikirkan

kepemilikan rumah, karena telah memiliki sejumlah uang dalam bentuk tabungan.

Berhubung jumlah penghasilan yang belum tinggi, maka tempat tinggal yang

dibangun berada di pinggiran kota (harga lahan terjangkau), dan memberikan

kenyamanan.

3). Status seekers (golongan yang sudah lama tinggal di daerah perkotaan), setelah

beberapa lama mereka tinggal di daerah pinggiran dan karier dalam pekerjaannya

meningkat dan bertambah mantap, maka penghasilannya meningkat (tinggi).

Kemampuan ekonomi telah mengubah perilaku dan kehidupan, maka golongan ini

menginginkan suatu kondisi yang mengakibatkan statusnya diakui dalam stratum

sosial. Keinginan untuk memiliki rumah yang modern (mewah) mendapat prioritas

yang sangat tinggi.

L

a Pinggiran memiliki lagi lanjut tinggi

m d (bagus-mewah) sangat Status seekers

a i tinggi

B K

e o Pinggiran memiliki menengah sedang

r t (sedang-bagus) tinggi Consolidators

m a

u (tahun)

k Pusat kota menyewa mula rendah

i (sederhana) Bridgeheaders

m

Lokasi Perumahan Siklus Penghasilan

(aksesibilitas) (penguasaan) kehidupan

(kebutuhan ruang)

Dimensi-dimensi dari mobilitas tempat tinggal

Gambar 1. Mobilitas Tempat Tinggal (Model Turner)Pemilihan Lokasi Tempat Tinggal

Berkaitan dengan lokasi permukiman, diungkapkan oleh Burgess (Bintarto, 1984) bahwa penyebaran permukiman dipengaruhi oleh pelbagai faktor, antara lain : (1) persaingan, bahwa warga kota satu dengan lainnya saling bersaing untuk mendapatkan perumahan yang sesuai dengan keinginannya. Keinginan mendapat tempat yang baik tergantung pada kemampuan ekonomi masing-masing, (2) hak milik pribadi, bahwa tanah-tanah yang telah dimiliki dan direncanakan untuk membangun rumah tidak mudah untuk diminta pihak lain, (3) perbedaan keinginan, bahwa penilaian terhadap lokasi perumahan satu dengan yang lain tidaklah sama. Penilaian ini berkaitan dengan masalah pribadi, masalah prestise, masalah sosial dan sebagainya, (4) topografi, bahwa secara langsung atau tidak langsung topografi ini berpengaruh terhadap kedudukan dari suatu bangunan, sehingga dapat mempengaruhi daya tarik untuk memiliki atau untuk menolak daerah tersebut, (5) transportasi, bahwa transportasi ini berpengaruh terhadap waktu dan biaya perjalanan. Dikaitkan dengan kesediaan dan kemampuan finansial, maka hal ini akan juga berpengaruh terhadap pemilihan tempat tinggal, (6) struktur asal, bahwa kota-kota dengan bangunan historis yang mempunyai nilai budaya tinggi akan mengalami kesulitan dalam rangka mengatur permukiman masa kini.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi lokasi permukiman seperti tersebut di atas, apabila dicermati sebenarnya berkait erat dengan perubahan-perubahan sosial, ekonomi, budaya atau teknologi dan waktu. Colby dalam Yunus (1994 : 87) mencetuskan ide tentang adanya kekuatan-kekuatan dinamis yang mempengaruhi pola penggunaan lahan kota. Penambahan dan pengubahan bangunan-bangunan, perubahan jumlah, struktur dan komposisi penduduk, perubahan tuntutan masyarakat, perubahan nilai dan aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan sebagainya) dari waktu ke waktu telah menjadikan kota menjadi bersifat dinamis, selalu berkembang sehingga terjadi perubahan wujud kota yang semakin meluas dari waktu ke waktu.

Kekuatan-kekuatan dinamis ini lebih lanjut terbagi dalam 2 (dua) golongan . yaitu : (1) kekuatan sentrifugal, yang berarti kekuatan-kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan penduduk dan fungsi-fungsi perkotaan dari bagian dalam suatu kota menuju bagian luarnya, (2) kekuatan sentripetal, yang berarti kekuatan-kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan penduduk dan fungsi-fungsi perkotaan dari luar menuju ke bagian dalam suatu kota. Kekuatan keduanya akan timbul karena adanya faktor-faktor penarik (faktor yang muncul dari daerah tujuan pergerakan) dan faktor pendorong (faktor yang muncul dari daerah asal pergerakan).Preferensi Pemukiman

Manusia dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya selalu melakukan gerakan. Gerakan yang dimaksud adalah proses memukimi suatu daerah yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan sosio-ekonominya. Gerakan ini tentu dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan lokasi yang disukai. Pemilihan lokasi tempat tinggal yang dapat memberikan rasa nyaman, aman dan bangga menjadi dorongan yang kuat bagi manusia untuk berusaha dengan segala daya upayanya (Dewayanto 1998 : 24).

Preferensi berasal dari kata preference, yang memiliki arti mengenai suatu keadaan yang lebih disukai (Kasida 1994 : 33). Hal ini sangat berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan seseorang dari segala aspek baik pengalaman di masa lalu, kondisi diri saat ini dan perkiraan di waktu akan datang terhadap sesuatu yang akan dimiliki, dibeli atau dipakai. Berkaitan dengan proses seseorang menempati suatu lokasi untuk rumah tempat tinggal juga tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan dan perhitungan dari keadaan atau kondisi yang melatarbelakanginya, untuk mendapatkan yang paling diinginkan. Penghasilan yang diperoleh penduduk berbeda-beda besar dan jenisnya, sehingga secara sosio-ekonomi dapat terjadi strata sosial (penggolongan kelas sosial). Hal ini dapat menentukan dan berpengaruh terhadap preferensi pemukiman penduduk di suatu wilayah. Sebagai contoh, seperti yang diungkapkan oleh Drakakis-Smith (1978) bahwa masyarakat berpenghasilan rendah pada umumnya menempatkan pemilihan lokasi dekat dengan tempat kerja sebagai preferensi utama, kemudian kejelasan status pemilikan / penguasaan rumah tempat tinggal dan terakhir adalah penyediaan fasilitas sosial dan kenyamanan. Sedangkan pada masyarakat berpenghasilan tinggi, preferensi utamanya adalah kenyamanan dan ketersediaan fasilitas sosial, baru kemudian status pemilikan dan terakhir adalah lokasi dekat tempat kerja.

Hasrat untuk memiliki sebuah rumah yang nyaman, aman, dekat dengan tempat kerja, dekat dengan pusat-pusat pelayanan, kemudahan transportasi dan komunikasi telah mendorong seseorang untuk meningkatkan kualitasnya dalam mengantisipasi persaingan dalam memperoleh lokasi rumah tempat tinggal tersebut.

Preferensi pemukiman adalah suatu keadaan yang lebih disukai dari cara atau hal menempati suatu tempat tinggal. Konsep ini dirumuskan atas dasar generalisasi dari perilaku mobilitas tempat tinggal manusia. Perilaku dalam mobilitas tempat tinggal didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Turner. Terdapat 4 (empat) dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal, yaitu : dimensi lokasi, dimensi perumahan, dimensi siklus kehidupan, dan dimensi penghasilan, seperti yang telah terungkap dalam pembahasan di muka.

Dinamika semacam ini didasari asas keseimbangan, yang mengandung pengertian bahwa bagi mereka yang lebih kuat ekonominya, umumnya akan mudah memperoleh sesuatu yang lebih baik termasuk dalam hal pemilihan tempat tinggal. Preferensi pemukimani ini akan terwujud oleh 3 (tiga) prioritas tempat tinggal, yaitu :

1). Preferensi penguasaan tempat tinggal, adalah kondisi dimana seseorang harus memilih antara memiliki sendiri dan tidak memiliki (kontrak / sewa). Ini tentu dengan pertimbangan apakah lebih baik kontrak ataukah membeli / membangun sendiri sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi seseorang.

2). Preferensi lokasi tempat tinggal, adalah suatu kondisi seseorang harus menentukan lokasi

tempat tinggal yang sesuai. Ini dengan pertimbangan apakah lokasi ini dekat dengan fasilitas

yang diinginkan ataukah tidak, seperti bagi golongan Brideheaders tentu menginginkan lokasi tempat tinggal dengan tempat kerja, sedangkan bagi golongan Consolidators dan Status seekers sangat mendambakan tempat tinggal yang tenang dan bebas polusi.

3). Preferensi tipe / luas rumah, adalah suatu kondisi seseorang harus menentukan tipe dan/ luas

rumah, apakah dengan ukuran kecil, sedang atau besar. Hal ini tentu berkaitan dengan

pertimbangan kondisi selain sosio-ekonomi, juga pertimbangan jumlah anggota keluarga

yang akan menempati tempat tinggal tersebut.

Semua proses tersebut sesungguhnya terpulang kepada persepsi dari masing-masing individu atau orang dalam menentukan yang paling disenangi dan baik bagi dirinya, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu yang melatarbelakanginya.

Manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok individu, tidak dapat hidup lepas dari kondisi yang melatarbelakanginya dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini akan menjadikan hubungan timbal balik yang dinamis antara manusia dengan lingkungannya, sehingga timbul suatu bentuk aktivitas (Bintarto 1984 : 21). Aktivitas yang dilakukan manusia pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berupa kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan papan.

Dalam memenuhi kebutuhan, selain pangan, sandang dan papan, manusia juga melakukan aktivitas untuk meningkatkan taraf hidup, seperti berupa meningkatkan pendidikan dan pendapatan. Berdasarkan aktivitas hidup manusia, dalam kesempatan ini dapat disajikan kerangka pemikiran preferensi pemukiman secara umum (Gambar 2). Preferensi pemukiman dilihat sebagai hasil dari adanya aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

Manusia Lingkungan

Kebutuhan pangan Aktivitas Kebutuhan sandang

PREFERENSI Latar belakang dan kondisi

PEMUKIMAN sosial, ekonomi dan budaya

Kebutuhan tempat tinggal

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Preferensi PemukimanBerdasarkan pembahasan dimuka, maka dapat diungkapkan bahwa di dalam preferensi pemukiman terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, namun faktor-faktor yang penting dapat diungkapkan sebagai berikut ;

1). Faktor psikologis, ini berkaitan dengan rasa suka / puas, estetika dan prestise terhadap

tempat tinggal yang akan dimukimi.

2). Faktor sosial-ekonomis, ini berkaitan dengan tingkat kemampuan pengetahuan atau

sumberdaya manusia dan tingkat pendapatan pemukimnya.

3). Faktor kultural-historis, ini berkaitan erat dengan nilai-nilai, adat-istiadat, pandangan hidup,

religi yang dimiliki dan sejarah atau riwayat rumah yang dimukimi.

Faktor-faktor ini semestinya selalu dapat diperhatikan di dalam preferensi pemukiman, agar dapat diperoleh suatu keseimbangan kondisi yang mengarah kepada proses harmonisasi pemukiman.

Masalah-Masalah yang Muncul Akibat Preferensi Pemukiman

Masalah yang dapat muncul sebagai akibat preferensi pemukiman, sesungguhnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

1). Masalah internal, ini berkaitan dengan masalah yang muncul oleh karena ketidakseimbangan

antara keinginan dan kondisi sosio-ekonomi yang ada di dalam diri penduduk pemukim. Ini

dapat dijelaskan seperti salah satu contoh, misalnya bagi pemukim baru di perkotaan

(Bridgeheaders) yang notabene belum mapan perekonomiannya atau masih rendah tingkat

penghasilannya, justru menempati tempat tinggal di pinggiran kota yang jauh dari tempat

pekerjaannya di kota, maka akan terjadi inefesiensi karena ongkos transportasi.

2). Masalah eksternal, ini berkaitan dengan munculnya masalah yang menimpa lingkungan Sekitar oleh karena mobilitas tempat tinggal, seperti semakin menyempitnya lahan pertanian dan semakin tergesernya penduduk di pinggiran kota ke arah pelosok oleh pemukim baru

(Consolidators dan Status seekers) dari kota ke daerah pinggiran kota.

Penutup

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka pada kesempatan ini dapat diungkapkan beberapa simpulan, sebagai berikut :

1). Dalam perkembangannya, tempat tinggal manusia tidak hanya sekedar sebagai tempat untuk

berteduh, tetapi memiliki multifungsi yang menyangkut aspek psikologis dan fisiologis,

sehingga pemilihan lokasi tempat tinggal akan menjadi faktor pertimbangan yang penting.

2). Mobilitas tempat tinggal umumnya merupakan suatu gejala dinamika pemukiman yang terjadi di perkotaan.

3). Preferensi pemukiman meliputi 3 (tiga) prioritas tempat tinggal, yakni : preferensi penguasaan tempat tinggal, lokasi tempat tinggal dan tipe / luas tempat tinggal.

4). Preferensi pemukiman sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis, sosio-ekonomis dan kultur- historis seseorang yang akan menentukan pemilihan tempat tinggal.

5). Permasalahan yang muncul akibat preferensi pemukiman dapat ditinjau dari segi masalah

internal dan masalah ekternal.

Daftar Pustaka

Anonim. 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia (Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP.

. . 1997. Kamus Data Perumahan dan Permukiman. Jakarta : Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat dengan Biro Pusat Statistik.

Aswar, Azrul. 1979. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara.

Bintarto. 1977. Pengantar Geografi Kota. Yogyakarta : UP. Spring.

.. 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Dewayanto. 1998. Preferensi Pemukiman di Wilayah Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Skripsi). Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

Drakakis-Smith, David. 1978. Urbanization, Housing and The Development Process. New York : St. Martins Press.

Kasida, Heru. 1994. Kamus Bahasa Indonesia, 15.000 Kata Umum. Yogyakarta : Kanisius.

Su Ritohardoyo. 1989. Beberapa Dasar Klasifikasi dan Pola Permukiman. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

... 2000. Geografi Permukiman (Pengertian, Klasifikasi, Perumahan dan Pola Permukiman. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

Turner, John. 1968. Houseing Priorities, Settlement Patterns and Urban Development In Modernizing Countries Journal of The American Institute of Planners. Vol. 34 No. 9, pp. 354-363.

Yunus, Hadi Sabari. 1987. Geografi Permukiman dan Beberapa Permasalahan Permukiman di Indonesia. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

------00000------

MENGEMBANGKAN KREATIFITAS BELAJAR GEOGRAFI MELALUI PENDAYAGUNAAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel untuk majalah LIK (Lembar Ilmu Kependidikan) UNNESOleh :

Drs. Sriyono

Dosen Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNNESMENGEMBANGKAN KREATIFITAS BELAJAR GEOGRAFI MELALUI PENDAYAGUNAAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SRIYONO *)

ABSTRAK

Usaha pembinaan di dalam pengajaran geografi di sekolah telah banyak dilakukan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan meningkatkan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar dengan menggunakan metode Discovery-Inquiry sebagai implementasinya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman konsep geografi dan diharapkan pada gilirannya nanti akan bisa memupukkembangkan kreatifitas belajar siswa.

Pelaksanaan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar pada pengajaran geografi di sekolah , sesungguhnya perlu suatu langkah cermat yang selalu berpedoman pada tujuan pengajaran. Ini berarti akan dapat mengarahkan terwujudnya efektifitas dan efisiensi di dalam proses belajar mengajar, khususnya pada pengajaran geografi.

Kata kunci : pengajaran geografi, lingkungan, sumber belajar

PENDAHULUAN

Pembinaan dalam proses belajar mengajar diarahkan kepada efisiensi dan efektifitas untuk mencapai tujuan pengajaran khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya. Penalaran individu dan berpikir secara ilmiah sangat diperlukan untuk mencapai identitas yang hakiki sebagai manusia pembangun dan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidupnya.

Untuk menuju kepada pola pemikiran yang demikian itu, diperlukan suatu upaya pengembangan diri dari sebuah sistem dalam kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Upaya pengembangannya tidaklah semudah sesederhana seperti membalikkan telapak tangan. Meskipun demikian , upaya pengembangan tersebut bukan berarti mustahil untuk dilaksanakan. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh para ahli pedidikan maupun para pendidik untuk mengembangkan sistem di dalam proses belajar mengajar baik yang menyangkut kurikulumnya , metode pengajaran, fasilitas , kompetensi dan lain-lain yang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pendidikan.

Salah satu bentuk usaha untuk meningkatkan atau membangkitkan dorongan belajar dengan perolehan hasil yang optimal, telah dilakukan dengan metode pendekatan ketrampilan proses. Pendekatan ketrampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan-kemapuan mental, fisik dan sosial yang mendasar untuk penggerak kemampuan-kemampuan yang lenih tinggi dalam diri individu siswa (Depdikbud, 1985 : 3).

Jadi dengan demikian selain pengembangan yang bersifat eksternal, seperti : pengembangan fasilitas, kurikulum, metode dan lain-lain, faktor yang terasa lebih penting adalah mengembangkan suasana yang bersifat dapat membangkitkan faktor internal , seperti : motivasi, minat, semangat, ketekunan dan kreativitas belajar siswa.

Di dalam pengajaran geografi, sesungguhnya telah terdapat prinsip-prinsip untuk mengembangkan kreativitas belajar siswa, yang tentu saja selaras dengan konsep-konsep yang ada di dalam studi geografi.

Geografi merupakan studi yang mengkaji persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dari sudut pandang keruangan , kelingkungan dan kompleks wilayah. Dengan demikian obyek material kajian di dalam geografi adalah fenomena geosfer, yang meliputi : litosfer (kerak bumi), atmosfer (lapisan udara), hidrosfer (lapisan air), dan biosfer (termasuk juga antroposfer). Contoh konkrit dari fenomena geosfer ini dapat mengenai permukiman, desa, kota, pariwisata, daerah aliran sungai, bentuklahan, bentang darat (landscape), sumberdaya, industri, kependudukan, wilayah / region, iklim, tanah, air dan masih banyak lagi (Bintarto, 1996 : 4).

Geografi tidaklah sekedar dianggap sebagai ilmu yang bertugas untuk menghapalkan lokasi dan nama-nama tempat serta atribut-atribut yang melekat padanya (Hadi Sabari Yunus, 1996 : 1). Tetapi lebih daripada itu, geografi memiliki tradisi kajian /analisis chorologi (tempat dan wilayah), ekologi (lingkungan dan hubungannya dengan manusia), keruangan (letak, jarak, bentuk dan agihan), relasi-interaksi (antara manusia dan lahan/bumi) dan pengetahuan bumi yang mencakup faktor-faktor pola, sistem dan proses.

Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar geografi diharapkan para pendidik dapat secara proporsional menggunakan metode pendekatan ketrampilan proses terhadap anak didiknya. Di mana untuk dapat memahami materi geografi secara baik, siswa diharapkan dapat lebih aktif menemukan dan memecahkan masalah yang ada pada setiap bahasan pelajaran sesuai dengan konsep belajar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Hal ini ditandai dengan lebih intensifnya memanfaatkan aspek lingkungan sebagai sumber belajar secara efektif selain teori-teori yang diperoleh di dalam kelas (Depdikbud, 1985 : 3).

Lingkungan baik fisik maupun sosial oleh geografi merupakan laboratorium yang dapat dimanfaatkan sekaligus didayagunakan sebagai sumber belajar. Pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar diharapkan akan dapat memupuk ke arah tercapainya pemahaman konsep geografi yang semakin memadai dengan ditandainya

semakin meningkatnya kreativitas belajar dan dibarengi dengan adanya hasil belajar yang optimal. Menurut hasil penelitian, pelaksanaan pendayagunaan lingkungan sebagai laboratoriun atau sumber belajar bidang studi geografi oleh para siswa di SMA di Kotamadya Semarang masih tergolong dalam kriteria cukup yakni sebesar 59,5 % (Moh. Arifien, 1988 : 27). Berarti dalam kenyataan di lapangan masih belum bisa memberikan gambaran yang memuaskan dalam mencapai sasaran tujuan pengajaran geografi khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya. Kendala-kendala ini dimungkinkan karena kurangnya motivasi dari pendidik untuk melaksanakan program pendayagunaan lingkungan sebagai upaya menunjang pemahaman konsep, kegiatan praktek lapangan (outdoor study) tidak merupakan kegiatan wajib , terbatasnya waktu yang tersedia serta kurangnya minat dan perhatian siswa terhadap kegiatan tersebut.

Uraian selanjutnya membahas : lingkungan sebagai sumber belajar, kreatifitas belajar di dalam pelaksanaan pengajaran geografi dan implementasi dalam pengajaran geografi.

LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

Pengajaran merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Salah satu komponen dari sistem pengajaran adalah sumber-sumber yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Di antara sumber-sumber itu adalah laboratorium. Sumber-sumber belajar yang terdapat dalam laboratorium perlu ditingkatkan pendayagunaannya agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lancar dan menghasilkan mutu yang diharapkan (Depdikbud, 1985 : 1).

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa dalam pengajaran geografi, lingkungan dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium. Geografi sebagai suatu studi yang mempelajari aspek keruangan dengan konsep-konsep esensialnya yang terdiri : konsep lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interdependensi dan interaksi, deferensi areal serta keterkaitan keruangan (Laporan

Hasil Semlok, 1989 : 2-3), jelas sangat memerlukan studi lapangan (mendayagunakan lingkungan) untuk memahami konsep-konsepnya.

Hampir sebagian besar obyek studi geografi ada di lapangan. Oleh karena itu, observasi fenomena di permukaan bumi secara langsung di lapangan lebih dapat dipertanggungjawabkan dibanding dengan hanya penyajian-penyajian teoritis di kelas (Juhadi, 1983 : 7). Kecuali itu, juga telah disitir oleh E. Briault dan D. Shave (1960) yang menyatakan bahwa pengajaran geografi harus mampu menanamkan sesuatu kesadaran atau kepekaan terhadap kenyataan-kenyataan (sense of reality) di sekitarnya sesuai dengan perkembangan tingkat kematangan jiwa siswa (anak didik).

Gejala-gejala yang ada di lapangan oleh geografi dijadikan obyek studi. Lingkungan sebagai laboratorium geografi yang dapat digunakan sebagai sumber belajar di dalam pengajaran geografi di sekolah. Oleh karenanya, lingkungan harus dapat didayagunakan semaksimal mungkin untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini mengingat bahwa kegiatan belajar memerlukan interaksi dengan sumber belajar yang dapat digunakan untuk menyediakan fasilitas belajar. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan kadar interaksi yang tinggi dengan jalan mengembangkan secara sistemik. Begitu pula sumber belajar perlu dikembangkan dan dikelola secara baik dan fungsional.

Konsep-konsep yang ada di dalam studi geografi perlu dipertajam pemahamannya dengan pemberian pengertian teoritis yang kemudian dilanjutkan aplikasinya dengan cara menelaah langsung gejala-gejala yang ada di lapangan.

Dengan penelaahan obyek studi di lapangan berarti telah mengantarkan anak didik (pada pola pengajaran geografi) pada metode pendekatan ketrampilan proses yang mengarah kepada peningkatan kadar CBSA dan diharapkan dapat mengurangi / menghilangkan penyakit verbalisme. Dengan demikian asas pelaksanaan kegiatan CBSA yang di antaranya termasuk motivasi, jalinan sosial, belajar sambil bekerja (learning by doing), pengembangan potensi dalam diri anak didik untuk menemukan sendiri (discovery learning) serta mengembangkan informasi dan sebagainya , akan dapat terwujud dengan ditandai tercapainya hasil belajar yang lebih baik atau sesuai dengan yang diharapkan.

KREATIFITAS BELAJAR DI DALAM PELAKSANAAN PENGAJARAN

GEOGRAFI

Pembangunan sektor pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan untuk mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. Ini berarti bahwa membangun hanya dapat dilaksanakan oleh manusia yang berjiwa pembangunan, yakni manusia yang dapat menunjang pembangunan bangsa dalam arti yang luas, baik material maupun spiritual serta sosial budaya.

Pada masa-masa terakhir ini, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang pada hakekatnya arah tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan dilakukannya pembinaan sistem pendidikan, maka diharapkan akan dapat mewujudkan dan membentuk mental manusia menuju mental pembangunan. Berkaitan dengan itu, salah satu dari semua proses mental manusia yang telah menjadi sasaran dalam studi ilmiah ialah Kreatifitas . Telah disadari bahwa peserta didik bukan semata-mata sebagai obyek penerima informasi dan memecahkan permasalahan yang diberikan kepadanya, tetapi peserta didik adalah manusia kreatif yang kemampuan kreatifnya harus dikembangkan sepenuhnya melalui proses belajar mengajar.

Sejalan dengan itu, oleh Murdiono (1988) diungkapkan bahwa di dalam sektor pendidikan perlu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta perilaku yang inovatif dan kreatif. Hal ini jelas bahwa upaya penanaman perilaku yang bersifat dinamis, inovatif dan kreatif harus mendapatkan porsi atau tempat perhatian dan pembinaan yang utama.

Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah (Conny Semiawan, 1987 : 7). Kreativitas meliputi baik ciri-ciri kognitif (aptitude),seperti : kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan keaslian (orisinalitas) dalam pemikiran maupun ciri-ciri afektif (non aptitude) , seperti : rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman baru . Manusia kreatif , bila dibandingkan dengan manusia biasa, menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dalam motivasi , intelektual dan kepribadian. Sund (1975) menyatakan bahwa individu dengan potensi kreatif dapat dikenal secara mudah sekali melalui pengamatan ciri-ciri : (a) hasrat ingin mengetahui, (b) bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, (c) panjang akal, (d) keinginan untuk menemukan dan meneliti, (e) cenderung lebih suka melakukan tugas yang lebih berat dan sulit, (f) mencari jawaban yang memuaskan dan komprehensif , (g) bergairah, aktif dan dedikasi dalam melakukan tugasnya, (h) berfikir fleksibel, (i) menanggapi pertanyaan dan kebiasaan untuk memberikan jawaban lebih banyak.,(j) kemampuan membuat analisis dan sintesis, (k) kemampuan membentuk abstraksi, (l) memiliki semangat inquiry dan keluasan dalam latar belakang kemampuan membaca.

Di dalam kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode pendekatan ketrampilan proses, sebenarnya telah terkandung penanaman kreativitas belajar dari diri

anak didik dengan ditunjukkan adanya pengembangan atau peningkatan kadar CBSA. Anak didik diarahkan dan dilatih untuk mengembangkan hasrat ingin tahu, bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, panjang akal, mampu menguasai diri sendiri, mengembangkan keinginan untuk menemukan dan meliti suatu gejala, mendorong kecenderungan untuk lebih suka melakukan tugas yang lebih berat/sulit serta mencari jawaban yang memuaskan dan komprehensif sesuai dengan ciri yang ada pada sikap kreativitas.

Untuk memahami konsep-konsep geografi yang dalam pengajarannya mengarah kepada proses penelaahan obyek studi di lapangan, sangat diperlukan suatu ketekunan belajar dan ketajaman analisis berpikir peserta didik (siswa). Peserta didik dituntut untuk bisa lebih aktif berpartisipasi dalam belajar, diberi kesempatan dan kebebasan untuk menganalisis dan mensintesis suatu konsep. Sehingga dengan cara ini akan memupuk rasa percaya diri dan mengembangkan kreatifitas belajar serta diharapkan dapat menggali potensi yang ada pada diri mereka secara optimal.

Selain kreativitas belajar tersebut ditanamkan kepada diri siswa, di sini perlu juga adanya peningkatan kreatifitas yang diawali dan dilakukan oleh guru sebagai pendidiknya. Pendidik berperan sebagai pembimbing dan pengarah terciptanya kondisi kreatif bagi anak didik dan sebagai fasilitator di dalam kegiatan belajar mengajar , baik di kelas (indoor study) maupun di lapangan (outdoor study).

Banyak macam cara yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan kreatifitas. Sebagai langkah yang tepat untuk menanamkan dan meningkatkan

kreatifitas dalam belajar bagi anak didik adalah dengan pendekatan ketrampilan proses yang pelaksanaan tepatnya dapat menggunakan metode Discovery-Inquiry. Metode ini merupakan suatu metode dalam kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa sehingga dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri ( M. Amien, 1979 : 5). Bagi seseorang siswa (anak didik) untuk membuat penemuan-penemuan , ia harus melakukan proses-proses mental ; misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat hipotesis, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya.

Guru (pendidik) di dalam kelas harus dapat mengambil langkah-langkah tertentu untuk mendorong jenis inquiry siswa, yakni dengan cara menciptakan kebebasan untuk memiliki dan mengekspresikan ide-ide dan mengetes ide-ide tersebut dengan data, menyediakan lingkungan yang responsif sehingga setiap ide/gagasan didengar dan dimengerti serta membantu siswa menemukan suatu pengarahan untuk bergerak maju (suatu tujuan untuk pengajaran intelektual).

Di dalam pengajaran geogarfi, pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar sesungguhnya akan lebih dapat mendorong terciptanya kreatifitas belajar , apabila digunakan dengan tepat penerapan metode Discovery-Inquiry. Sehingga banyak keuntungan yang diperoleh dari kegiatan itu, yakni antara lain sebagai berikut.

1). Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar dan ide-ide dari pelajaran geografi yang

lebih baik.

2). Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi-situasi proses

belajar yang baru (dari hasil analisis pendayagunaan lingkungan).

3). Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.

4). Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri (efek dan produk dari pengamatan lingkungan sebagai sumber belajar).

5). Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik , sehingga dapat membangkitkan motivasi , minat dan perhatian untuk belajar.

6). Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang dan menyenangkan .

Keterlibatan dalam proses-proses inquiry juga akan meciptakan pola pengajaran menjadi student centered yang makin besar keterlibatan siswa dalam kegiatan, maka makin besar baginya untuk mengalami proses belajar, dapat membentuk dan mengembangkan self-consept pada diri siswa (setelah mengamati dan menganalisis gejala-gejala di lapangan), tingkat pengharapan bertambah (harapan untuk maju dan berprestasi), dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu , dapat menghindarkan siswa dari cara-cara belajar tradisional (menghafal) dan akan memberikan waktu bagi siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi ( M. Amien, 1979 : 14).

Dalam proses pengajaran geografi , siswa dilatih untuk dapat belajar menemukan (discovery learning) , agar tercapai suatu cara belajar yang efektif. Sebab dengan itu akan dapat mengingat lebih baik , mentransfer hasil belajar kepada masalah dan subyek lain dan mengembangkan kepercayaan pada diri sendiri (self confidance) melalui kekuatan sendiri (Mulyono T. , 1983 : 11).

IMPLEMENTASINYA DALAM PENGAJARAN GEOGRAFI

Selain untuk memudahkan pemahaman konsep, pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar dalam pengajaran geografi diharapkan dapat menggairahkan siswa dalam belajar.Siswa semakin tertarik dan berminat terhadap pelajaran geografi, lebih bisa mengembangkan pola pikir yang kritis, terbuka pandangan penalaran karena diberi kebebasan berpikir untuk menganalisis gejala-gejala yang ada atau terjadi di lapangan, semakin aktif dan kreatif dalam meningkatkan ketrampilan intelektual , emosional dan psikomotoriknya. Dari semua harapan yang dijabarkan ini pada hakekatnya semata-mata untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang ada pada diri siswa (peserta didik).

Namun untuk menerapkannya dalam proses belajar mengajar pada pengajaran geografi perlu suatu langkah yang cermat dan selalu berpedoman pada tujuan pengajaran di setiap pokok bahasannya. Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan di dalam implementasi pengajaran geografi, antara lain :

1). Memasukkan program kegiatan outdoor study dalam kegiatan ko-kurikuler.

2). Membuat perencanaan yang matang untuk melaksanakan program tersebut dengan memperhitungkan alokasi waktu, tenaga dan dana serta sebelumnya harus menentukan lokasi / obyek studi yang tepat dan menarik.

3). Melaksanakan program dengan menyiapkan fasilitas sesuai yang diperlukan.

4). Membuat evaluasi sesuai dengan tujuan dan melaksanakan tindak lanjutnya.

5). Menjelaskan makna dari fenomena lapangan dengan konsep-konsep dalam pengajaran geografi yang telah dibangun di dalam kerangka teori (di kelas).

Itulah gambaran secara gradual langkah-langkah yang berkaitan dengan penerapan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar pada pengajaran geografi di sekolah. Barangkali langkah-langkah yang demikian ini, akan dapat mewujudkan harapan-harapan seperti telah tersebut di muka.

PENUTUP

Apapun usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai hasil yang optimal selalu diperlukan suatu aktivitas dan kreativitas yang tinggi. Demikian pula halnya usaha yang dilakukan dalam pengajaran geografi di sekolah., untuk dapat memahami secara memadai konsep-konsepnya perlu suatu aktivitas dan kreativitas belajar yang ditunjang dengan pemilihan metode yang baik dan tepat. . Simpulan

Pertama, pembinaan di dalam proses belajar mengajar pada hakekatnya diarahkan kepada efisiensi dan efektivitas untuk mencapai tujuan pengajaran dan pendidikan.

Kedua, pembinaan di dalam proses belajar mengajar pada pengajaran geografi, salah satunya adalah mendayagunakan lingkungan sebagai sumber belajar yang kegiatannya berupa outdoor study . Ini sebenarnya dimaksudkan untuk dapat lebih mudah memahami konsep-konsepnya dan sebagai upaya mengikis penyakit verbalisme.

Ketiga, dalam pelaksanaan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar perlu suatu langkah yang cermat dan selalu berpedoman pada tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. .

S a r a n

Usaha pembinaan proses belajar mengajar pada pengajaran geografi di sekolah yang berupa pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar, salah satu kandungan maksudnya adalah untuk memupukkembangkan kreativitas belajar siswa. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya disarankan bahwa pihak guru sebagai pendidik harus lebih dapat memahami makna penggunaan pendekatan discovery-inquiry supaya siswa dapat belajar menemukan (discovery learning), yang mana nantinya diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar siswanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. 1996. Teori dan Pemikiran Geografi. Fak. Geografi UGM : Yogyakarta.

Briault E. 1960. Geography In and Out of School. George G. Harrap & Co. London.

Conny Semiawan. 1987. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. PT. Gramedia : Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kurikulum SMA 1994 Petunjuk Pelaksanaan Mata Pelajaran Geografi . Depdikbud : Jakarta.

Hadi Sabari Yunus. 1996. Geografi Manusia . Fakultas Geografi UGM.: Yogyakarta.

IKIP Semarang. 1989. Semlok Kajian Konsep dan Metodologi Geografi dalam Pengajaran IPS, tanggal 27 Februari 1 Maret 1989 di IKIP Semarang : Semarang.

Juhadi. 1983. Peranan Outdoor Study dalam Menunjang Prestasi Belajar Mahasiswa . Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS IKIP Semarang (Skripsi). Fakultas Pendidikan . Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Semarang : Semarang.

M. Arifien. 1988. Studi tentang Pendayagunaan Lingkungan sebagai Laboratorium Geografi dalam Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa untuk Mata Pelajaran..Geografi di SMA se Kodya Semarang (Laporan Penelitian). Pusat Penelitian IKIP Semarang : Semarang.

Moerdiono. 1988. Strategi Pembangunan Sektor Kebudayaan secara Terpadu dalam Menyongsong Tahap Tinggal Landas. Sekretaris Negara RI : Jakarta.

M. Amien. 1983. Peranan Kreativitas dalam Pendidikan. Analisa Pendidikan. Edisi Tahun IV Nomor 3 : Jakarta.

M. Amien. 1979. Apakah Metode Discovery-Inquiry itu ?. Dirjen Dikti . Proyek NKK : Jakarta.

Mulyono T. 1983. Pengertian dan Karakteristik IPS. Proyek Pengembangan LPTK : Jakarta.

20