artikel metode penelitian hadis
TRANSCRIPT
M E T O D E P E N E L I T I A N H A D I S
Oleh : Irwan Abdurrohman1
A. PENDAHULUAN
Dalam hirarki sumber ajaran Islam, hadis berada pada posisi kedua setelah
Alquran. Hadis memiliki peran, kedudukan dan fungsi yang sangat penting. Terhadap
Alquran, ia berfungsi sebagai penjelas (bayan), pengurai (tafshil), pengkhusus bagi yang
umum (takshsis), pembatas bagi yang mutlak (taqyid), fungsi konfirmatif (ta’kid), atau
pemberi tambahan bagi yang hal-hal yang tidak secara eksplisist dituturkan Alquran.2
Akan tetapi, bilamana Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad secara ‘utuh
benar’ sejak semula sampai akhir, dan ditransmisi pembacaannya sejak mulai dari wacana
lisan sampai wacana tertulis secara mutawatir, maka hadis tidaklah demikian halnya. Sejak
awal meskipun tuntutan mengikuti teladan dan ketaatan terhadap Rasulullah berulang-
ulang diserukan Alquran, kontroversi sekitar pencatatan hadis serta pola periwayatan
darinya telah muncul. Hal ini berimplikasi pada tingkat otentisitas hadis yang secara resmi
baru terkodifikasi pada abad kedua Hijriyah, yang dalam proses pengkodifikasiannya pun
tidak lepas dari berbagai persoalan yang melanda kaum muslimin: pertaruhan sosial-
budaya, agama, politik, dan berbagai kepentingan lainnya.
Dari sini terlihat bahwa hadis pada kenyataannya hampir identik dengan informasi
sejarah pada umumnya. Setiap informasi sejarah tidak dapat langsung diterima melainkan
perlu diuji terlebih dahulu validitasnya, sebab informasi itu ada yang benar dan ada yang
menyesatkan. Dan dalam informasi hadis pun ada yang benar dan ada pula yang
1 Dosen Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2 M. Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Alquran : Tinjauan Segi Fungsi dan Makna,” dalam: Yunahar Ilyas (ed.), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI Universitas Muhammadiyah: Yogyakarta, 1996, h. 55-57; lihat pula Muhammad Amin Suma, “Hubungan Hadis dan Alquran: Tinjauan Segi Fungsi dan Makna, dalam Yunahar Ilyas (ed.), ibid., h. 63-64
1
menyesatkan karena adanya faktor-faktor historis di atas.3 Karena itu, informasi hadis
tersebut harus diteliti kebenarannya.
Persoalan hadis ini melahirkan upaya-upaya sangat serius dari kaum muslimin
untuk melakukan penelitian secara mendalam demi menjaga keshahihan riwayat
mengenai apa yang diklaim sebagai bersumber dari Nabi, sehingga di kalangan ahli hadis,
hadis-hadis diperbedakan dalam hadis mutawatir, masyhur, aziz dan gharib atas segi
jumlah periwayatan untuk memastikan otentitas transmisi (riwayat); juga diperbedakan
pada tataran shahih, hasan, dan dhaif dengan berbagai variannya untuk menjamin dapat
diterima dan diamalkannya suatu hadis.
Meskipun upaya selektif telah dilakukan para ahli hadis yang diikuti dengan
pembakuan kaidah-kaidah dan metodologi-metodologi untuk mengujinya, tetapi para ahli
hadis tidak sepenuhnya sepakat dalam menilai keotentikan suatu hadis, juga suatu hadis
yang disepakati sah dalam rantai transmisi (sanad) tidak niscaya isinya dianggap valid oleh
mereka, seperti hadis yang bekenaan dengan dengan menggantikan ibadah haji seseorang
yang tidak mampu, atau yang berkenaan dengan keharusan seorang wali untuk
menggantikan puasa yang belum sempat dilaksanakan oleh seseorang yang telah
meninggal dunia.4
Dengan demikian, penyelidikan yang mendalam dan teliti terhadap hadis-hadis
bukan merupakan upaya final, melainkan harus terus menerus dilakukan. Berkenaan
dengan hal ini, penulis akan memerikan secara ringkas ihwal penelitian hadis yang
meliputi: makna, ruang lingkup, kaidah dan langkah-langkah penelitian, serta beberapa
pendekatan mutakhir yang mungkin bisa dipergunakan dalam kritik matan.
B. MAKNA METODE PENELITIAN HADIS
3 Kebenaran dan kesesatan informasi hadis tidak terletak pada objek yang diinformasikan (yakni Nabi Saw.) yang dijamin kebenarannya, melainkan terletak pada sumber-sumber informasi (râwi) yang terdapat pada mata rantai transmisinya (sanad). Pada sumber-sumber inilah sering terjadinya distorsi bahkan pemalsuan informasi hadis.
4 Hadis tentang hal di atas yang termuat dalam Shahih Bukhari disepakati keshahihan sanadnya oleh ahli hadis, akan tetapi dari segi matan diperselisihkan kepatutannya apakah bertentangan atau tidak dengan Alquran yang menyatakan individualitas dari pertanggungjawaban suatu perbuatan (lih. Muammal Hamidi pada “Dialog tentang Hubungan Hadis dan Alquran: Tinjauan segi Fungsi dan Makna” dalam Yunahar Ilyas (ed.), ibid., h. 69-71)
2
Method yang diindonesiakan menjadi ‘metode’ antara lain berarti a way or manner
(of doing) yakni cara melakukan.5 Berdasarkan makna ini, metode didefinisikan sebagai
cara yang telah teratur dan sitematis untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan.6
Sedangkan ‘penelitian’ berasal dari kata ‘teliti’ yang berarti cermat, seksama, hati-
hati. Meneliti artinya memeriksa dengan cermat.7 Dari sini penelitian dapat dimaknai
sebagai pemeriksaan atau penyelidikan terhadap sesuatu yang dilakukan secara cermat,
seksama dan hati-hati. Dalam bahasa Inggris, penelitian dinyatakan dengan istilah
‘research’. Kata ini berasal dari kata ‘re’ yang berarti ‘kembali’ dan ‘to search’ yang berarti
‘mencari’. Dengan demikian arti sebenarnya dari research atau riset adalah ‘mencari
kembali’.
Menurut Sutrisno Hadi, penelitian atau research itu dapat didefinisikan sebagai
suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Menemukan
berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan;
mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam apa yang sudah ada;
sedang menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragu-
ragukan kebenarannya.8 Bila dikaitkan dengan hadis, usaha yang dapat dilakukan adalah
menemukan dan menguji kebenaran hadis.
Adapun kata ‘hadis,’ secara etimologis antara lain berarti الخبر (kabar, berita,
informasi). Dari arti kebahasaan ini, hadis dapat dimaknai sebagai segala informasi tentang
diri Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, dan lain-lain. Secara
lebih lengkap, Dr. M. ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadis sebagai berikut :
ر، أول، أو تقريول، أو فع الحديث هو كل ما أثر عن النبي صلعم من قه في/ة. ، أو سيرة سواء أكان ذلك قبل البعثة كتحنث 1ق0ي ل 3ة. أو ُخ1 4ق0ي ل صفة ُخ5
غار حراء أم بعدها وسواء أ ثبت ذلك حكما شرعيا أم ال .
Hadits adalah segala sesuatu yang didapatkan (berasal) dari Nabi Saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, moral, atau biografi; baik sebelum bi‘tsah (diangkat menjadi
5 Della Summers et. al., Longman Active Study Dictionary of English, The Egyptian International Publishing Company (under license of Longman Group Ltd.), Egypt, 1993, h. 376.
6 Tim Ganeca Sains Bandung, Kamus Standar Bahasa Indonesia, Penabur Ilmu, t.t.p., 2001, h. 293.
7 Ibid. h. 471.
8 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, cet. ke- 32, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001, h. 3-4.
3
rasul), seperti praktek tahannuts (menyendiri untuk beribadah) yang dilakukannya di Gua Hira`, ataupun sesudah bi‘tsah; juga baik menetapkan hukum syara‘ maupun tidak.. 9
Sebagai sebuah berita atau informasi, maka hadis sangat perlu diteliti
kebenarannya. Karena, seperti diketahui, berita atau informasi apapun, apalagi bila
dituturkan secara lisan, bisa terjadi perubahan-perubahan baik disengaja atau tidak oleh
para pembawa berita atau para periwayatnya. Jadi, pentingnya penelitian hadis terletak
pada kenyataan bahwa hadis merupakan informasi tentang Nabi yang terjadi pada masa
lampau.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa informasi hadis tidak jauh berbeda dengan
informasi sejarah pada umumnya dari segi bahwa keduanya memberitakan kejadian di
masa lampau. Oleh karena itu, metodologi sejarah dalam menguji kebenaran suatu
informasi yang terjadi pada masa lampau dapat pula diterapkan dalam penelitian hadis.
Salah satu metode ilmu sejarah dalam hal ini adalah apa yang disebut ‘kritik sejarah.’
Kritik sejarah merupakan suatu langkah pengujian informasi sejarah untuk menilai
apakah informasi itu dapat diterima atau tidak.10 Kritik ini ada dua macam, yaitu: 1) kritik
ekstern, yakni kritik yang menyangkut masalah otentisitas sumber data;11 dan 2) kritik
intern, yaitu mengecek apakah isi yang terdapat dalam sumber data tersebut valid ataukah
tidak.12
9 Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalâhuh, Cet. II, Dâr al-Fikr, Beirut, 1970, h. 19.
10 Dalam ilmu sejarah, kritik ini merupakan salah satu dari empat langkah kegiatan penting yang mesti dilakukan dalam penelitian sejarah. Keempat langkah itu selengkapnya adalah heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Heuristik adalah langkah untuk berburu dan mengumpulkan berbagai sumber data yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Sedang kritik, seperti telah dijelaskan, merupakan langkah untuk mengkaji keaslian sumber data (ekstern) dan kebenaran informasi dari data tersebut (intern). Lalu interpretasi berarti menafsirkan fakta-fakta yang ada sehingga ditemukan struktur logisnya. Adapun yang dimaksud historiografi adalah penulisan hasil penelitian berupa narasi sejarah. Lihat: Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, cet. I, h. 109-110.
11 Yang disebut sumber sejarah dalam ilmu sejarah dapat berupa orang sebagai saksi atau periwayat informasi sejarah, dan dapat pula berupa segala bentuk dokumen, baik dalam arti sempit yakni kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan seperti surat-surat, catatan harian (journaal), kenang-kenangan (memoirs), laporan-laporan dan sebagainya; maupun dokumen dalam arti luas yang meliputi monumen, prasasti,artifact, foto, tape dan sebagainya. Lihat: Sartono Kartodirjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen,” dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, Edisi Ketiga, cet. ke-14, 1997, h. 46.
12 Hariyono, Op. Cit., h. 109.
4
Metode kritik dalam ilmu sejarah ini, dalam prakteknya sesungguhnya telah sejak
awal diterapkan dalam penelitian hadis. Kritik ekstern (al-naqd al-khâriji) diterapkan pada
penelitian sanad hadis, sedang kritik intern (al-naqd al-dâkhiliy) digunakan untuk
penilaian matan hadis. Karena itu, para ulama hadis kontemporer menyatakan bahwa
kritik hadis telah dilakukan sejak masa Nabi.13
Muhammad Thahir al-Jawaby14 mendefinisikan kritik hadis sebagai berikut :
ةل معلومة ذات دالئاظ ُخاصديال بألف الحكم على الرواة تجريحا أو تعحيحها أوندها لتصح ستي صاديث ال عند أهله ، والنظر في متون األحارضع التعحيحها ودفكال من ص تضعيفها ، ولرفع اإلشكال عما بدا مش
15 بينها ، بتطبيق مقاييس دقيقة .
Menilai para periwayat hadis sebagai tercela (jarh) atau terpuji (‘adl) dengan menggunakan lafad-lafad tertentu yang memiliki arti tertentu menurut ahlinya, dan mengkaji matan-matan hadis yang shahih sanadnya untuk mengetahui keshahihan atau kedlaìfannya serta menghilangkan apa yang tampak musykil pada matan yang shahih dan meniadakan kontradiksi di antara matan-matan itu dengan menerapkan tolok ukur yang tepat.
Pada definisi ini terlihat bahwa kritik hadis merupakan kegiatan penilaian informasi
tentang Nabi Saw. (hadis) pada dua segi. Pertama, menilai sumber informasi, dalam hal ini
adalah para periwayat (al-ruwât) mulai dari mukharrij sampai ke Nabi yang membentuk
suatu rangkaian yang disebut sanad. Penilaian diarahkan pada sisi ketercelaan (jarh) dan
keterpujian (ta‘dil) pribadi para periwayat itu dengan menggunakan teori-teori yang
dikemukakan oleh para ahli jarh wa ta‘dil. Kedua, menilai isi atau informasi yang dibawa
oleh sumber-sumber tadi yang dalam hal ini disebut matan hadis. Tujuan penilaian ini
adalah selain untuk mengetahui validitasnya, juga untuk menghilangkan kompleksitas atau
kesulitan-kesulitan yang ada, seperti terdapatnya pertentangan dengan prinsip-prinsip
umum baik agama ataupun nalar, serta menghilangkan kontradiksi baik dalam suatu
matan maupun di antara matan-matan yang setema.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa metode penelitian hadis merupakan
suatu cara yang teratur dan sistematis untuk menemukan dan menguji kebenaran
13 Muhammad Mushthafa al-A‘zhamiy, Manhaj al-Naqd Inda al-Muhadditsîn, Maktabah al-Kautsar, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah, Cet. III, 1990, h. 10. Lihat Juga: Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn a-Hadîts al-Nabawiy al-Syarîf, Muassasât ‘A. al-Karîm bin ‘Abd Allah, Tunis, 1991, h. 96.
14 Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi adalah seorang guru besar Hadis dan Ilmu Hadis pada Fakultas Syari‘ah Universitas al-Zaitûnah Tunis.
15 Muhammad Thahir al-Jawabi, Op. Cit., h. 94.
5
informasi dari dan tentang Nabi Muhammad Saw. dengan mengungkap dan menilai
sumber-sumber serta isi informasi tersebut.
C. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN HADIS
Penelitian hadis bertujuan untuk mencari dan menemukan informasi dari dan
tentang Nabi Saw. yang otentik dan valid (absah). Informasi yang semacam ini dalam istilah
hadis dikenal dengan nama hadis shahih. Para ulama telah sepakat bahwa apabila sebuah
hadis sudah diketahui dan ditetapkan sebagai shahih maka hadis tersebut harus diterima
(maqbûl) dan diamalkan (hujjah yajib al-‘amal bih).16
Secara garis besar, hadis terdiri dari dua unsur pokok yaitu sanad17 dan matan.18
Karena itu, penelitian hadis meliputi sanad dan matan. Penelitian sanad lazim disebut
dengan istilah naqd al-sanad (kritik sanad) atau al-naqd al-khariji (kritik eksternal), sedang
peneletian matan lazim disebut dengan istilah naqd al-matn (kritik matan) atau al-naqd al-
dakhili (kritik internal). Ulama hadis telah menjelaskan kaidah dan metodologinya. Untuk
kaidah kritik sanad, tingkat akurasinya sangat tinggi, sedang untuk kritik matan, tampak
masih diperlukan pengembangan sejalan dengan perkembangan pengetahuan.19
Berkenaan dengan pentingnya kritik sanad, dapat dikatakan bahwa pada
kenyataannya, tidaklah setiap sanad yang terdapat pada suatu hadis itu terhindar dari
keadaan yang meragukan. Hal itu dapat dimaklumi sebab orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan hadis (yakni rawi yang terdapat pada sanad), selain banyak jumlahnya, juga
sangat bervariasi kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya. Bagian-bagian sanad yang
menjadi obyek penelitian terdiri dari:
1. Nama-nama periwayat hadis (ruwât al-hadîts / rijâl al-hadîts) yang terlibat dalam
periwayatan hadis yang bersangkutan.
16 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadîts, cet. ke-3, Dâr al-Fikr, Beirut, 1997, h. 241 dan 244.
17 Sanad adalah 5ة1 الرجال سلسلة للمتن الم1و4ص0ل (rangkaian periwayat yang mengantarkan kita kepada matan). Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taisîr Mushthalah al-Hadiîts, Cet. IX, Maktabah al-Ma‘ârif, Riyadl, 1996. h.16.
18 Matan ialah الكالم من السند إليه ينتهى ما (pernyataan atau ungkapan di akhir sanad). Ibid.
19 M. Syuhudi Ismail, “Kriteria Hadis Shahih: Kritik Sanad dan Matan”, dalam Yunahar Ilyas (ed.), op.cit., h. 4 ; lihat pula: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Peneltian Hadis Nabi, Bulan Bintang; Jakarta, 1992, h. 23.
6
2. Lambang-lambang periwayatan hadis (shighât al-adâ`) yang telah digunakan oleh
masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadis yang bersangkutan, misalnya
sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna.
3. Mukharrij beserta kitab yang ditulisnya. Mukharrij atau mudawwin adalah orang
yang mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi, sekaligus sebagai
periwayat terakhir dari hadis tersebut, misalnya Imam Bukhari dengan kitabnya
Shahih Bukhari dan Imam Muslim dengan kitabnya Shahih Muslim.
Adapun untuk penelitian matan dilakukan dari dua segi yaitu:
1. Teks atau lafad matan (mabnâ al-matn), untuk melihat apakah terdapat syadz atau
‘illat dalam matan itu, berupa sisipan (idrâj), terbalik (iqlâb), perubahan bentuk
kata dan titik (tashhîf dan tahrîf), dan lain-lain.
2. Isi atau makna yang terkadung dalam matan (ma‘nâ al-matn), untuk mengetahui
apakah isi matan itu sejalan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang
berlaku.
D. KAIDAH KESAHIHAN DALAM PENELITIAN HADIS
D.1 Kaidah Kesahihan Sanad
Kaidah atau prinsip yang dijadikan dasar dalam penelitian atau kritik hadis dapat
diketahui dari pengertian hadis shahih, yang menurut ulama hadis, misalnya Ibnu Shalah
(w. 643 H), dinyatakan sebagai :
4ع5د4ل0 0ِط0 ع5ن0 ال 4ع5د4ل0 الض5اب 5ق4ل0 ال 0ن 5اد1ُه1 ب ن 0س4 /ص5ل5 إ 5ت /ِذ0ْي4 ي 5د1 ال ن 4م1س4 4ث1 ال هو الح5د0ي
` /ال 5 م1ع5ل 5ذaا و5ال 1و4ن1 شا 5ك 5 ي 5ه5اُه1 و5ال 4ت 0ل5ى م1ن 0ِط0 إ الض5اب
“Hadis shahih adalah hadis yang musnad (yakni) yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adil dan dhabith (yang diterima) dari (periwayat) yang ‘adil dan dhabith (pula) sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzûdz) dan cacat (‘illat)”.20
20 Abu ‘Amr ‘Utsman bin al-Shalah al-Syahrazuriy (selanjutnya disebut Ibn Shalah), Muqaddimah Ibn al-Shalâh fî ‘Ulûm al-Hadîts, Maktabah al-Mutanabbiy, Kairo, t.t., h. 8.
7
Dari pengertian istilah tersebut, terlihat bahwa dalam hadis shahih terkandung
lima unsur yang harus dipenuhi, yaitu : (1) sanad bersambung, (2) periwayat bersifat adil,
(3) periwayat dhabith, (4) dalam hadis tidak terdapat kejanggalan (syudzudz), dan (5)
dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat). Kelima unsur inilah yang merupakan kaidah
kesahihan yang harus dijadikan pegangan dalam penelitian hadis.
Dari kesemua unsur di atas, tiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan
sanad, sedang dua unsur terakhir berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian,
terdapat lima kaidah kesahihan sanad dan dua kaidah kesahihan matan. Kaidah kesahihan
sanad adalah :
1. Kaidah kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad).
Kaidah ini mengharuskan adanya pertemuan dan periwayatan hadis secara estafet di
antara para periwayat dalam suatu sanad mulai dari mukharrij hingga ke sumbernya
yaitu Nabi Saw. Ini berarti bahwa sanad itu harus memenuhi dua kriteria, yaitu :
a. Muttashil, yakni antara seorang periwayat dengan periwayat terdekatnya dalam
sanad itu terdapat: [1] hubungan kesezamanan masa hidup (mu‘asharah); dan [2]
hubungan periwayatan (guru-murid).
b. Marfu‘, yakni sandaran terakhir dari sebuah sanad adalah Nabi saw. Dengan kata
lain, hadis itu bersumber dari Nabi Saw.
2. Kaidah keadilan rawi (‘adâlah al-râwi).
Kaidah ini mengharuskan para periwayat dalam sebuah sanad memiliki sifat-sifat
kejujuran21 yang ditunjukkan dengan dimilikinya lima hal terpuji dan terhindarnya dari
lima hal yang tercela. Lima sifat terpuji adalah : [a] beragama Islam, [b] baligh, [c]
berakal, [d] taqwa, dan [e] memelihara muru`ah (kehormatan diri). 22
21 Secara singkat, istilah adil dalam hal berita/informasi, di mana hadis termasuk dalam makna ini, dapat diartikan dengan ‘jujur’ yakni menyatakan atau menyampaikan berita dengan benar dan tidak ada yang dikurangi, ditambahi, disembunyikan atau dimanipulasi. Kata al-‘adl atau al-‘adâlah sendiri secara bahasa bermakna al-istiqâmah (lurus, konsisten), yakni - dalam istilah syara‘- bersikap lurus atau konsisten berada di jalan yang benar dengan menjauhi apa yang dilarang agama. [al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjâni, Kitâb al-Ta‘rifât, Darul Hikmah, Jakarta, t.t., h.147. Lurus dalam menyampaikan informasi adalah jujur.
22 Nuruddin ‘Itr, Op.Cit, h. 79-80. Bandingkan Ibn Shalah, Op.Cit., h. 50. hanya saja Ibn Shalah tidak menyebut ‘taqwa’ tapi sâliman min asbâb al-fisq (tidak fasiq). Namun kalau diperhatikan, apa yang disebut ‘taqwa’ oleh Nuruddin ‘Itr adalah tidak fasiq itu juga. ‘Itr mengartikan ‘taqwa’ dengan menjauhi dosa besar dan meninggalkan kebiasaan melakukan dosa kecil, bila sebaliknya (melakukan dosa-dosa itu) berarti dia fasiq.
8
Sedang lima hal tercela yang merusak keadilan rawi adalah: [a] dusta (al-kidzb), [b]
tertuduh dusta (al-tuhmah bi al-kidzb), [c] fasiq (al-fisq), [d] tidak dikenal identitasnya
(al-jahâlah), [e] pelaku bid‘ah (al-bid‘ah). 23
3. Kaidah kedlabitan rawi (dlabth al-râwi).
Kaidah ini berkaitan dengan kapasitas intelektual periwayat hadis. Menurut kaidah ini,
seorang periwayat harus sehat akalnya serta memiliki daya ingat yang kuat. Hal ini
ditunjukkan dengan terpenuhinya tiga kriteria: [1] hafal dengan sempurna hadis yang
diterimanya, [2] mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada
orang lain, [3] faham dengan baik hadis yang dihafalnya itu.24
Di samping itu, menurut kaidah ini periwayat harus terhindar dari lima sifat yang
merusak kedlabitannya, yaitu: [1] banyak salah dalam periwayatan (fahsy al-ghalath),
[2] sering lupa terhadap apa yang diriwayatkannya (katsrah al-ghaflah), [3] terjadi
keliru fikiran / salah duga (al-wahm), [4] riwayatnya berlawanan dengan riwayat
orang-orang yang tsiqqah (al-mukhâlafah li al-tsiqqât), dan [5] jelek hafalan (sû` al-
hifzh).25
4. Kaidah keterhindaran dari syadz (‘adam al-syudzudz).
Menurut kaidah ini, dalam suatu sanad hadis tidak boleh terdapat ketidaklaziman
(kejanggalan) berupa pertentangan riwayat seorang rawi yang tsiqqah dalam sanad
tersebut dengan riwayat rawi-rawi lain pada sanad-sanad lain dalam hadis yang
setema.26 Sanad yang terhindar dari kejanggalan ini dinamakan sanad mahfûzh
(terjaga, terpelihara).27 Inilah (sanad mahfûzh) yang merupakan kriteria untuk kaidah
keterhidaran dari syâdz.
5. Kaidah keterhindaran dari ‘illat (‘adam al-‘illah).
Kaidah ini menuntut agar dalam sanad hadis tidak boleh terdapat penyakit
tersembunyi yang merusak keshahihan hadis, berupa terdapatnya kekeliruan yang
23 Faruq Hamadah, al-Manhaj al-Islâmiy fi al-Jarh wa al-Ta‘dîl, Cet. II, Dâr Nasyr al-Ma‘rifah, Rabath, 1989, h. 291.
24 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, h. 138.
25 Faruq Hamadah, Op. Cit., h. 344.
26 Hal ini berdasarkan makna syâdz yang didefinisikan sebagai منه أوثق هو لمن الثقة مخالفة . Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taisîr… Op.Cit., h. 34.
27 Ibid., h. 119.
9
tidak tampak jelas sebagai sebuah kekeliruan.28 Kekeliruan baru diketahui setelah
dilakukan penelaahan atau penelitian oleh pihak lain. Pada umumnya, kekeliruan itu
berupa penilaian bersambung pada sanad terputus, penilaian tsiqqah pada periwayat
yang tidak tsiqqah. 29
D.2 Kaidah Kesahihan Matan
Untuk penelitian dan kritik matan hadis, terdapat dua kaidah utama yang dapat
digunakan sebagai dasar, yaitu kaidah keterhindaran dari syadz (‘adam al-syudzudz) dan
kaidah keterhindaran dari ‘illat (‘adam al-‘illah),30 Dalam penggunaannya, para ulama hadis
biasanya tidak memilah secara ketat, mana hal yang merupakan syadz dan mana yang
merupakan illat. Jadi, kedua kaidah ini dijadikan satu.
Dalam penelitian matan, terdapat dua sisi yang harus dikaji validitasnya, yaitu
lafad/teks matan (mabnâ al-matn) dan isi/kandungan matan (ma‘nâ al-matn).31 Dengan
demikian, kaidah keterhindaran dari syadz (‘adam al-syudzudz) dan ‘illat (‘adam al-‘illah) di
atas berlaku pada kedua sisi matan ini.
Dari segi mabnâ al-matn, kaidah ini mengharuskan tidak adanya suatu hal yang
ganjil pada teks matan hadis. Suatu hal yang ganjil itu dapat berupa: gharîb (kata asing),
tashhîf (berubah kata), qalb (terbalik), idltirâb (berlawanan), idrâj (sisipan), dan ziyâdah
(tambahan).32 Sedangkan dari sisi ma‘nâ al-matn, kaidah ini juga mengharuskan tidak
28 Hal ini difahami dari makna illat, yakni b5ٌب ب 5ق4د0ُح1 ُخ5ف0يe غ5ام0ٌضb س5 4ث0 ص0ح/ة0 ف0ي4 ي 4ح5د0ي 5ن/ م5ع5 ال الظ5اه0ر5 أ 5م5ة1 ال 4ه1 الس5 م0ن Lihat: Ibid., h. 35.
29 Syuhudi Ismail, Kaedah…Op.Cit., h. 149. Al-Hakim Abu Abdillah, seperti dikutip Fathur Rahman menyebutkan 10 macam illat hadis, yaitu: [a] Me-muttashil-kan sanad yang munqathi‘; [b] me-marfu‘-kan hadis yang mursal; [c] men-syâdz-kan hadis yang mahfûzh; d] me-wahm-kan sanad hadis yang mahfûzh; [e] meriwayatkan secara ‘an‘anah suatu hadis yang dalam sanadnya ada seorang rawi atau lebih yang digugurkan (tidak disebut); [f] menyalahi pengisnadan rawi yang lebih tsiqqah; [g] men-tadlîs-syuyûkh-kan hadis yang mahfûzh; [h] men-tadlîs-isnâd-kan hadis yang mahfûzh; [i] meng-isnâd-kan secara wahm suatu hadis yang sudah musnad; dan [j] me-mauqûf-kan hadis yang maurfû‘. Lihat: Fathur Rahman , Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits, Cet. VIII, PT Alma‘arif, Bandung, 1995, h. 305-318.
30 Berbeda dengan pada sanad, kedua kaidah ini pada matan tidak diberikan batasan secara tegas, bahkan dalam rinciannya masih diperselisihkan. Idraj (menyisipkan suatu ungkapan kedalam matan) misalnya, oleh sebagaian ulama dinyatakan sebagai syadz tetapi oleh yang lain dikemukakan sebagai ‘illat.
31 Kedua istilah ini diperkenalkan oleh Dr. M. Thahir al-Jawabi. Menurutnya, untuk mendapatkan suatu matan hadis yang shahih, maka matan hadis itu perlu dilihat dari dua sisi, yaitu sisi teks (mabna al-matn) dan sisi isi kandungannya (ma‘na al-matn). Beliau kemudian merinci bagaimana metode, tolak ukur, serta langkah-langkah untuk kritik matan itu. Lihat: Muhammad Thahir al-Jawabi, Op.Cit., h. 282 dan seterusnya.
32 Ibid., h. 282-337. Al-Jawabi menambahkan tiga hal lagi yang merupakan persoalan mabna al-matn itu di bawah tema tafarrud al-matn (penyendirian matan). Ketiga hal itu adalah: al-fard
10
adanya suatu hal yang ganjil pada isi/kandungan matan, berupa ta‘ârudl (bertentangan)
dan isykâl (sulit difahami).33
E. LANGKAH-LANGKAH PENELETIAN HADIS
Untuk meneliti sebuah hadis, terdapat tiga langkah pokok yang harus dijalankan,
yaitu :
1. Melakukan Takhrij al-Hadîts
Hadis yang akan diteliti adakalanya didapat secara tidak lengkap baik sanad
maupun matannya. Untuk menemukan kelengkapannya harus dilakukan takhrij. Takhrij
itu, menurut Dr. Mahmud al-Thahhan, adalah:
5ة1 5ل 4ث0 م5و4ِض0ع0 ع5لى5 الد/ال 4ح5د0ي /ة0 م5ص5اد0ر0ُه0 ف0ي4 ال 0ي ص4ل5 0ي4 األ /ت 4ه1 ال ت ج5 5ُخ4ر5 5د0ُه0 أ ن 0س5 1م/ ، ب 5ان1 ث 5ي 0ه0 ب 5ت 5ب ت 4د5 م5ر4 ن ة0 ع0 الح5اج5
Menunjukkan tempat hadis pada (kitab) sumber asalnya yang dikeluarkan dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya bila diperlukan.34
Dari definisi ini dapat ditegaskan bahwa takhrij merupakan suatu kegiatan untuk
menunjukkan (dalam arti: menelusuri atau mencari) hadis yang akan diteliti pada berbagai
kitab sumber asal dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan
sanad dan matannya secara lengkap. Setelah itu, dikemukakan kualitas hadis yang
bersangkutan apabila diperlukan. Penelusuran letak hadis tersebut merupakan kegiatan
pokok dari takhrij, sedang penjelasan kualitasnya merupakan kegiatan tambahan.
Penjelasan kualitas akan menjadi kegiatan pokok bila hadis yang bersangkutan perlu
diteliti (menjadi objek penelitian hadis).
Penelusuran di atas dapat dilakukan melalui salah satu dari lima cara berikut ini,
yaitu :35
(matan yang menyendiri), al-syâdz (kejanggalan), dan al-munkar. Namun untuk menghindari kesimpangsiuran pembahasan dalam tulisan ini, ketiga hal itu tidak disebutkan dalam bahasan.
33 Ibid., h. 360-431.
34 Mahmud al-Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd, Cet. Ke-2, Maktabah al-Ma‘arif, Riyadl, 1991, h. 10.
35 Ibid, h. 35 dan seterusnya.
11
a. Penelusuran melalui nama sahabat periwayat hadis. Bila nama sahabat diketahui,
pencarian dapat dilakukan dengan bantuan tiga jenis kitab, yaitu: musnad, mu‘jam dan
athrâf.
b. Penelusuran melalui kata awal dari teks matan. Pencariannya dilakukan dengan
bantuan: kitab-kitab hadis populer; kitab-kitab hadis yang disusun secara alfabetis; dan
kitab-kitab indeks (miftâh dan fihris) untuk kitab hadis tertentu.
c. Penelusuran melalui salah satu kata (mana saja) dari teks matan. Pencariannya
dilakukan dengan bantuan kitab Mu‘jam al-Mufahras lî alfâzh al-Hadîts.
d. Penelusuran melalui topik hadis (maudlû‘ al-hadîts). Pencariannya dilakukan dengan
bantuan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah, atau langsung pada kitab-kitab hadis yang
disusun secara mushannaf (sistematika bab berdasarkan topik masalah).
e. Penelusuran melalui sifat khusus pada sanad atau matan, misalnya: adanya unsur
kepalsuan (maudlû‘ì), termasuk hadis qudsiy, hadis mursal, terdapat ‘ìllat (cacat),
ibhâm (samar), dan lain-lain. Pencariannya dilakukan pada kitab-kitab hadis yang
secara khusus ditulis berdasar hal tersebut.
Dari kelima cara ini, yang paling umum dan mudah dilakukan adalah poin c dan d.
Syuhudi Ismail menyebutnya dengan metode takhrîj al-hadîts bi al-lafzh untuk pion c, dan
metode takhrîj al-hadîts bi al- maudlû‘ untuk poin d. 36
Untuk kepentingan penelitian, kegiatan takhrij biasanya selalu diikuti dengan
i‘tibâr dan pembuatan skema sanad. I‘tibâr adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk
suatu hadis tertentu, dengan maksud untuk melihat apakah para periwayat yang ada dalam
sanad itu menyendiri ataukah disertai periwayat lain dalam meriwayatkan hadis
tersebut.37 Untuk i‘tibâr ini, seluruh hadis yang telah ditemukan dalam takhrîj tadi
dikumpulkan. Sanad-sanad dari hadis-hadis itu akan terlihat ada yang sama dan ada pula
yang berbeda; demikian pula redaksi matannya.
Untuk mempermudah kegiatan i‘tibâr ini, biasanya dilakukan pembuatan skema
sanad. Dengan skema ini akan terlihat jelas seluruh mata rantai sanad hadis yang diteliti
dari mulai mukharrijnya sampai ke Nabi Saw. sebagai sumber hadis bersangkutan. Di
36 M. Syuhudi Ismail, Metodologi.. Op.Cit., h. 46.
37 Menurut Mahmud al-Thahhan i‘tibar adalah في شاركه هل ليعرف ، راو بروايته انفرد حديث طرق تتبع ال أو غيرُه روايته (mengkaji sanad-sanad hadis yang [di dalamnya terdapat] rawi yang menyendiri
dalam periwayatannya, agar dapat diketahui apakah ia disertai [rawi] lainnya dalam periwayatannya itu ataukah tidak). Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taisîr…Op.Cit., h. 141.
12
samping itu, dengan skema ini juga akan terlihat mana sanad hadis yang berfungsi sebagai
mutâbi‘ dan mana yang syâhid. 38
Dengan demikian, secara singkat dapat ditegaskan bahwa melalui kegiatan takhrîj
seperti tersebut di atas akan dapat diketahui: (1) asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti,
(2) seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti, (3) ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada
sanad yang diteliti, (4) kelengkapan teks matan dengan berbagai variasi redaksinya.
2. Melakukan Penelitian Sanad Hadis
Untuk melakukan penelitian sanad, peneliti harus menjadikan kaedah kesahihan
sanad seperti dijelaskan di atas sebagai acuan. Adapun langkah yang ditempuh dalam
tahap ini adalah :
Pertama, meneliti kebersambungan sanad. Peneliti harus menerapkan kaidah
pertama (ittishâl al-sanad) untuk mengkaji hal ini. Di sini, peneliti berusaha melihat apakah
sanad itu memenuhi kriteria muttashil dan marfu‘ ataukah tidak. Untuk itu, langkah-
langkah yang harus dijalankan adalah:
1. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat. Tujuannya adalah untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan kesejamanan dan periwayatan di antara
periwayat terdekat dalam sanad yang diteliti. Hubungan kesejamanan artinya
hubungan dari segi masa hidup, yakni antara seorang periwayat dengan periwayat
sebelumnya (gurunya) dan periwayat setelahnya (muridnya) hidup semasa
(mu‘asharah). Sedang hubungan periwayatan maksudnya hubungan guru-murid, yakni
seorang periwayat pernah berguru dan menerima hadis dari periwayat sebelumnya,
juga memiliki murid serta menyampaikan hadis kepada periwayat sesudahnya. Sanad
bersambung mesti memiliki dua hubungan ini. Hidup sejaman tetapi ternyata tidak
pernah menerima riwayat hadis dari periwayat sebelumnya, tidaklah dikatakan sanad
bersambung. Demikian sebaliknya, dikatakan pernah menerima riwayat hadis dari
periwayat sebelumnya tetapi ternyata tidak hidup sezaman, juga tidak dapat
digolongkan sanad bersambung. Di samping itu, terdapatnya dua hubungan itu harus
terjadi mulai dari mukharrij hingga ke Nabi. Dengan demikian maka sanad tersebut
memenuhi kriteria muttashil dan marfû‘.
38 Mutabi‘ adalah sanad lain yang rawinya pada tingkat sahabat sama dengan sanad yang sedang diteliti; sedangkan syahid adalah sanad lain yang rawinya pada tingkat sahabat berbeda. Keduanya berfungsi sebagai penguat/pendukung (koroborasi) terhadap hadis yang sedang diteliti. Lihat: Ibid.
13
Sumber informasi untuk mengetahui sejarah hidup periwayat itu terdapat dalam kitab-
kitab Ilmu Rijâl al-Hadîts, seperti kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl karya al-
Hafizh Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi al-Dimasyqi (654-742 H.)
2. Meneliti shighât al-isnâd / shighât al-adâ` (lambang-lambang metode periwayatan,
yakni: kata-kata yang digunakan para periwayat yang menunjukkan cara/metode
periwayat itu dalam menyampaikan suatu hadits kepada periwayat berikutnya). Setiap
sanad hadis selalu memakai kata-kata ini dan bentuknya bermacam-macam, seperti
sami‘tu, sami‘nâ, haddatsanâ, akhbaranâ, ‘an, anna, dan lain-lain. Kata-kata ini
merupakan lambang-lambang dari cara atau metode periwayatan hadis (tahammul wa
adâ` al-hadîts) yang terdiri dari delapan macam, yaitu: [1] al-samâ‘, [2] al-qirâ`ah
(al-‘aradl), [3] al-ijâzah, [4] al-munâwalah, [5] al-mukâtabah, [6] al-i‘lâm, [7] al-
washiyyah, dan [8] al-wijâdah.39 Metode-metode ini berbeda-beda kualitasnya. Al-samâ‘,
al-qirâ`ah, al-ijâzah yang disertai al-munâwalah, dan al-mukâtabah, oleh mayoritas
ulama dinilai lebih tinggi kualitasnya daripada metode-metode yang selainnya.40
Tugas peneliti pada bagian ini adalah mengidentifikasi shighat-shighat/lambang-
lambang di atas dan mengungkapkan macam metode metode periwayatannya;
kemudian menilai hubungan metode periwayatan itu dengan kualitas periwayat.
Penilaian ini diperlukan untuk memastikan penggunaan metode itu oleh periwayat
bersangkutan, sebab terkadang ada periwayat yang tidak tsiqqah menggunakan
lambang sami‘tu, misalnya, sehingga kelihatan seperti bersambung padahal sebenarnya
tidak.41 Apabila kemudian dapat diketahui bahwa lambang-lambang yang terdapat
pada sanad yang sedang diteliti memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dinyatakan
oleh periwayat yang tsiqqah serta tidak terdapat tadlîs (penyembunyian cacat), maka
dapat ditegaskan bahwa sanad tersebut bersambung (muttashil).
39 Nuruddin ‘Itr, Op. Cit., h. 214-222.
40 M. Syuhudi Ismail, Kaedah… Op.Cit., h. 69.
41 Dalam persambungan sanad, kualitas periwayat dengan metode periwayatannya sangat penting diungkap, di samping menyingkap riwayat hidupnya. Periwayat yang tidak tsiqqah yang menyatakan telah menerima riwayat dengan shighat/kata sam‘nâ (metode al-simâ‘), misalnya, walaupun metode itu diakui para ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena ia tidak tsiqqah, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. Sebalikanya, apabila yang menyatakan sami‘nâ itu adalah orang tsiqqah maka informasinya dapat diterima. Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqqah, namun sanadnya dinyatakan terputus karena terdapat tadlîs (penyembunyian cacat) bila ia menggunakan shighat/kata selain haddatsanî atau sami‘tu, seperti ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij yang dikenal dengan Ibnu Juraij (w. 149/150 H.). Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi... Op.Cit., h. 84.
14
Kedua, meneliti seluruh pribadi periwayat hadis, mulai dari mukharrij sampai
sanad terakhir (sahabat).42 Ulama hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti
pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang
dikemukakannya diterima ataukah ditolak. Kedua hal tersebut adalah keadilan (‘adâlah)
dan kedabitan (dlabth) periwayat tersebut. Keadilan berhubungan dengan kualitas moral,
sedang kedabitan berkaitan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki,
maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat tsiqqah. Istilah tsiqqah merupakan
gabungan dari sifat ‘adil dan dlabith.43
Untuk mengukur keadilan periwayat hadis, peneliti harus menerapkan kaidah
kesahihan sanad yang kedua (‘adâlah al-râwi). Di sini, peneliti menilai periwayat hadis satu
per satu apakah mereka memenuhi kriteria-kriteria dalam kaidah tersebut ataukah tidak.
Apabila terpenuhi kriteria-kriteria itu maka ia dapat ditetapkan sebagai periwayat adil, dan
apabila tidak terpenuhi, maka ia termasuk periwayat yang tertolak riwayatnya.
Para ulama, seperti dijelaskan Syuhudi Ismail, telah mengemukakan cara
penetapan keadilan periwayat hadis itu, yakni berdasarkan (1) popularitasnya di kalangan
ulama hadis, (2) penilaian para kritikus periwayat hadis (al-jârih wa al-mu‘addil), (3)
penerapan kaidah al-jarh wa al-ta‘dîl, apabila para kritikus tidak sepakat tentang kualitas
pribadi periwayat tertentu.44
Sedangkan untuk mengukur kedabitannya, peneliti harus menerapkan kaidah
kesahihan sanad yang ketiga (dlabth al-râwi). Seperti penilaian keadilan, di sinipun peneliti
mencocokkan kapasitas intelektual seluruh periwayat dengan kriteria-kriteria dalam
kaidah itu.
Adapun penetapan kedlabitan periwayat itu dapat dilakukan dengan cara : (1)
berdasarkan kesaksian ulama hadis, (2) berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan
riwayat yang disampaikan periwayat lain yang telah terkenal kedlabitannya. Namun 42 Kebanyakan para ahli hadits telah mufakat bahwa para shahabat bebas dari kritik berkenaan
dengan keadilan mereka dalam periwayatan. Menurut mereka, seluruh sahabat bersifat adil (al-shahâbah kulluhum ‘udûl). Akan tetapi, Jalaluddin Rakhmat menawarkan sebuah pendekatan baru melalui analisis historis dalam memberikan penilaian terhadap rijal hadits termasuk para shahabat. Sebab, dalam pandangan Jalaluddin aliran politik para rijal telah memunculkan subjektifitas dalam penyebaran riwayat bahkan dalam pembatasan riwayat-riwayat tertentu, atau pemunculan sebuah riwayat yang mendukung arah politik rijal hadits. Seperti penemuannya dari hasil penelitiannya mengenai hadits kafirnya Abu Thalib. Menurutnya, hadits yang menyatakan kekafiran Abu Thalib tidak bisa dipertanggungjawabkan (lihat: Jalaludin Rakhmat, “Pemahaman Hadits: Perspektif Historis” dalam Al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, edisi 17, vol VII th .1996, hlm : 23-26 ; lihat pula dalam bukunya “ Islam Aktual”.
43 M. Syuhudi Ismail, Metodologi…, Op.Cit., h. 66.
44 M. Syuhudi Ismail, Kaedah…, Op.Cit, h. 134.
15
demikian, dalam proses penetapan ini, misalnya, ada periwayat yang sekali-sekali
mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat dlabith. Tetapi
apabila kesalahan itu sering terjadi, maka dia tidak tergolong periwayat dlabith.45
Sumber informasi untuk meneliti keadilan dan kedabitan seluruh periwayat di atas
adalah kitab-kitab ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dîl. Dalam kitab-kitab ini terdapat penilaian para
kritikus periwayat hadis (jârih dan mu‘addil) terhadap orang-orang yang telah
meriwayatkan hadis selama masa periwayatan (‘ashr al-riwâyah). Penilaiannya mencakup
sisi-sisi ketercelaan (al-jarh) dan keterpujian (al-ta‘dîl) dari para periwayat hadis tersebut.
Kitab-kitab ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dîl tersebut antara lain: al-Jarh wa al-Ta‘dîl karya
‘Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razy (240–326 H.) dan Mîzân al-I‘tidâl karya Imam
Syamsuddin Muhammad al-Dzahaby (673–748 H.)
Perlu diperhatikan bahwa para kritikus periwayat hadis itu menggunakan kata-
kata tertentu dalam menilai para periwayat itu, baik yang berkenaan dengan keterpujian
(ta‘dîl), seperti: awtsaq al-nâs, tsabt tsiqqah, shadûq, dan lain-lain; maupun berkaitan
dengan ketercelaan(jarh), misalnya: akdzab al-nâs, kadzdzâb, muttaham bi al-kidzb, dan
sebagainya. Oleh para ulama hadis, kata-kata ini kemudian diklasifikasi berdasarkan
peringkat dari yang tertinggi hingga terrendah, namun mereka berbeda-beda dalam
klasifikasi itu. (Klasifikasi kata-kata penilaian itu berserta perbedaan pendapat di
dalamnya dapat dilihat selengkapnya dalam lampiran yang dikutip dari M. Syuhudi
Ismail46).
Selain itu, perlu ditegaskan pula bahwa dalam penelitian terkadang ditemukan
adanya perbedaan pendapat di antara para kritikus dalam menilai seorang periwayat, atau
adanya sifat jarh dan ta‘dîl secara bersamaan para diri seorang periwayat. Untuk
menyelesaikannya harus digunakan kaidah-kaidah al-jarh wa al-ta’dîl, di antaranya:47
1. Al-ta’dîl muqaddam ‘alâ al-jarh (ta‘dîl didahulukan atas jarh). Teori ini didukung oleh
minoritas ahli hadis, di antaranya Imam Al-Nasa’i (w. 303 H.)
2. Al-jarh muqaddam ‘alâ al-ta‘dîl (jarh didahulukan atas ta‘dîl). Teori ini didukung oleh
beberapa kalangan muhaddits, fuqaha, dan ushulliyyin.
3. Idzâ ta‘âradha al-jârih wa al-mu‘addil fa al-hukm li al-mu’addil illâ idzâ tsubita al-jarh
al-mufassar (apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang
45 Ibid., h. 137.
46 M. Syuhudi Ismail, Kaedah … Op.Cit., h. 198 dan 202.
47 M. Syuhudi Ismail, Metodologi… Op.Cit., h. 72-81.
16
mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila
kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya). Teori ini didukung
oleh oleh mayotritas ulama ahli kritik hadis.
4. Idzâ kâna al-jârih dla‘îfan falâ yuqbalu jarhuh li al-tsiqqah (apabila kritikus yang
mengemukakan ketercelaan tergolong dla‘îf, maka kritikannya terhadap orang yang
tsiqqah tidak dapat diterima). Teori ini juga didukung oleh mayoritas ulama ahli kritik
hadis.
5. Lâ yuqbalu al-jarh illâ ba‘da al-tatsabbut khasyyah al-asybâhi fi al-majrûhîn (jarh tidak
diterima, kecuali setelah dipastikan [diteliti secara cermat], karena khawatir terjadinya
kesamaan/kemiripan di [antara nama] orang-orang yang dicelanya). Teori ini juga
didukung oleh para ulama kritik hadis.
6. Al-jarh al-nâsyi` ‘an ‘adawâh dunyâwiyyah lâ yu’taddu bi (jarh yang dikemukakan oleh
orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu
diperhatikan).
Ketiga, meneliti syudzudz dan ‘illat pada sanad. Penelitian ini dilakukan pada hadis
yang secara lahir tampak kelihatan shahih atau memang telah dinyatakan shahih oleh
sebagian orang berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kaidah
keempat dan kelima dari kesahihan sanad hadis harus diterapkan dalam penelitian pada
tahap ini. Tujuannya adalah untuk memperoleh kejelasan bahwa hadis yang diklaim
sebagai shahih itu benar-benar tidak terdapat kejanggalan/syadz (pertentangan isi riwayat
pada hadis-hadis yang bertopik sama yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqqah) dan
kecacatan/‘illat (kenyataan suatu hadis yang sebelumnya diduga muttashil-marfu’ ternyata
muttashil-mauquf atau maqthu’, atau terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis
lain, atau dalam hadis terjadi kekeliruan penyebutan nama rawi atau kesamaan dengan
rawi lain yang kualitasnya berbeda, atau kekeliruan-kekeliruan tersembunyi lainnya) di
dalamnya, yang timbul bukan karena kelemahan pada kaidah kesahihan sanad, melainkan
akibat kesalahan langkah-langkah metodologis dalam penelitian.48
Penelitian syudzudz dan ‘ìllat tersebut, seperti diakui oleh para ulama hadis,
merupakan suatu pekerjaan yang cukup sulit dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar
mendalam pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti kualitas hadis mampu
48 Ibid, h. 85,89
17
menemukan kedua hal itu.49 Namun demikian, para ulama hadis telah memberikan
tuntunan untuk menemukan kedua penyakit tersembunyi itu dengan cara:
1. menghimpun seluruh sanad hadis yang matannya sama atau semakna,
2. meneliti seluruh periwayat yang terdapat dalam semua sanad itu,
3. melakukan perbandingan terhadap sanad-sanad tersebut.50
Apabila setelah dilakukan ketiga langkah ini ditemukan bahwa seluruh periwayat
dalam kesemua sanad yang ada bersifat tsiqqah (‘adil dan dlabith), namun ternyata ada
seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang
menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.
Sedangkan apabila diketahui bahwa seluruh periwayat dalam kesemua sanad itu juga
bersifat tsiqqah, namun ditemukan adanya indikasi kekeliruan pada penelitian sebelumnya
berupa penilaian bersambung pada sanad terputus atau penilaian tsiqqah pada periwayat
yang tidak tsiqqah, maka sanad yang demikian itu dinyatakan sebagai sanad yang
mengandung ‘illat. Sanad yang mengandung syadz dan ‘illat dikategorikan sebagai sanad
yang lemah (dla‘if).
3. Melakukan Penelitian Matan Hadis
Setelah sanad suatu hadis diteliti dan dinyatakan shahih, tahap selanjutnya adalah
melakukan penelitian atau kritik matan.51 Kaidah dasarnya, seperti telah disebutkan di
atas, adalah bahwa matan yang shahih harus terhindar dari syadz dan ‘illat (‘adam al-
syudzûdz wa al-‘illah). Langkah yang ditempuh dalam tahap ini adalah :
Pertama, meneliti susunan lafad matan (mabnâ al-matn). Penelitian ini, seperti
telah dikemukakan pada bagian lalu, ditujukan untuk dapat mengidentifikasi ada-tidaknya
suatu hal yang ganjil (syâdz dan ‘illat) pada teks matan hadis berupa: gharîb (kata asing),
tashhîf (berubah kata), qalb (terbalik), idltirâb (berlawanan), idrâj (sisipan), dan ziyâdah
49 M. Syuhudi, Kaedah… Op.Cit,.h. 141.
50 M. Syuhudi Ismail, Metodologi…. Op.Cit., h. 85-89.
51 Para ulama hadis pada umumnya mendahulukan penelitian atau sanad atas matan. Ini tidak berarti sanad lebih penting dari matan. Kedua-duanya sama penting, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Mereka baru menganggap penting penelitian matan setelah sanad bagi matan itu diketahui kualitasnya, dalam hal ini kualitas shahih, atau minimal tidak termasuk ‘berat’ kedlaifannya. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi …. Op.Cit., h. 123.
18
(tambahan). Matan yang shahih tentunya adalah matan yang bersih dari hal-hal itu. Apabila
mengandung hal-hal tersebut, hadis dengan matan seperti itu secara berturut-turut
dinamakan hadis gharib, hadis mushahhaf, hadis maqlûb, hadis mudltharib, hadis mudraj,
dan hadis ziyâdah al-tsiqqah. Tentang pengamalan hadis-hadis ini para ulama berbeda
perdapat.
Kedua, meneliti kandungan/isi matan (ma‘nâ al-matn). Penelitian ini, seperti telah
disebutkan terdahulu, diarahkan untuk dapat mengidentifikasi ada-tidaknya suatu hal yang
ganjil (syâdz dan ‘illat) pada kandungan/isi matan hadis berupa ta‘ârudl (bertentangan)
dan isykâl (sulit difahami). Hadis yang bermatan ta‘ârudl dinamakan hadis mukhtalif,
sedangkan yang bermatan isykâl disebut hadis musykil. Kedua jenis hadis ini tidak
tergolong hadis shahih.
Tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat ada-tidaknya keganjilan-
keganjilan (syâdz dan ‘illat) itu, baik pada mabnâ maupun ma‘nâ matan, adalah sebagai
berikut :52
1. matan hadis tidak boleh bertentangan dengan Alquran,
2. matan hadis tidak boleh bertentangan dengan hadits lain dan sirah nabawiyah yang
lebih kuat,
3. matan hadis tidak boleh bertentangan dengan penalaran akal sehat, kesaksian indrawi
dan fakta historis,
4. pernyataan matan hadis mencirikan sabda kenabian (kalâm al-nubuwwah), dalam arti:
a. tidak sembarangan (ghair mujâzifah),
b. tidak rancu maknanya (ghair rikâkah),
c. tidak menyerupai ungkapan/istilah yang muncul di kemudian hari (mâ asybaha bi
kalâm al-lâhikîn).
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk melihat adanya indikasi
syadz-‘illat pada matan di atas adalah sebagai berikut: 53
52 Kriteria-kriteria ini diungkapkan oleh Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi. Beliau merumuskannya berpijak pada ketentuan-ketentuan yang berlaku pada hadis maudlu‘ (palsu). Lihat: Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulmâ` al-Hadîts, Dâr al-Afâq al-Jadîdah, Beirut, 1983, h. 238.
53 Langkah-langkah ini sesungguhnya merupakan miqyâs (standar) yang dipakai oleh para ulama hadis dalam mengkritik matan. Lihat: Muhammad Thahir al-Jawabi, Op. Cit., h. 456-496. Bandingkan dengan Musfir ‘Azmullah al-Dumaini, Maqâyîs Naqd al-Mutûn, Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hukm, Madinah, 1992, h. 109-261. Al-Dumaini mengemukakan tujuh langkah, namun bila ditelaah ketujuh langkah ini telah terrangkum dalam empat langkah yang diungkapkan oleh al-Jawabi. Ketujuh langkah itu adalah 1) Menghadapkan (‘aradl) hadis dengan al-Qur'an; 2) Menghadapkan riwayat-riwayat hadits satu sama lain; 3) Menghadapkan sunnah dengan sunnah
19
1. Menghadapkan (‘aradl/mengkonfrontir) hadis dengan al-Qur'an,
2. Membandingkan (muqâranah) riwayat-riwayat hadis satu sama lain,54
3. Menghadapkan hadits dengan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta sejarah,
4. Menghadapkan hadis dengan postulat-postulat rasional/nalar (al-musallamât
al-‘aqliyyah). 55
Dengan mengikuti langkah-langkah di atas akan terlihat bersih-tidaknya
kandungan matan hadis yang diteliti dari syadz-‘illat tadi. Matan yang shahih tentunya
matan yang bersih dari hal tersebut, sebaliknya matan yang mengandung syadz-‘illat
tergolong matan yang dlaif.
Setelah mengikuti langkah-langkah di atas secara seksama, maka langkah terakhir
adalah menyimpulkan hasil penelitian. Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini ada
empat kemungkinan, yaitu: 1) sanad shahih dan matannya juga shahih, 2) sanadnya shahih
tapi matannya dla‘if;56 3) sanadnya dla‘if namun bermatan shahih;57 dan 4) sanadnya dla‘if
dan matannya juga dla‘if.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada baiknya diajukan cara untuk memahami
kandungan hadis Nabi (fiqh al-hadîts) yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardlawi. Hal ini
dikemukakan agar peneliti berhati-hati dan tidak gampang memvonis suatu matan hadis
sebagai dlaif padahal sebenarnya cara pemahamannya saja yang belum tepat. Cara-cara
tersebut adalah sebagai berikut :58
lainnya; 4) Menghadapkan hadits dengan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta sejarah; 5) Menguji hadits dari aspek kebahasan untuk melihat tidak adanya kerancuan pernyataannya; 6) Melihat tidak adanya pertentangan dengan dasar-dasar syariah dan kaidah-kaidah yang baku; dan 7) Melihat tidak terdapatnya unsur keanehan dan kemustahilan.
54 Dengan muqâranah ini akan dapat ditemukan ada-tidaknya tashhîf (berubah kata), maqlûb (terbalik), mudltharib (berlawanan), mudrâj al-matn (sisipan), ziyâdah al-tsiqqât (tambahan), ta‘ârudl (bertentangan) dan isykâl (sulit difahami). Lihat: Muhammad Thahir al-Jawabi, Op. Cit., h. 485.
55 Kalangan muhaddisin tidak meninggalkan peran nalar dalam memangku hadis. Menurut al-Jawabi, hal ini terlihat dari tiga hal, yaitu: menerima hadis haruslah sudah dapat membedakan sesuatu dengan yang lainnya (al-tamyîz baina al-asyyâ`); menyampaikan riwayat hadis disyaratkan berakal (al-‘aql); dan hal yang tidak boleh ada dalam hadis adalah simpang siur (al-ikhtilâth). Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa nalar adalah ukuran dalam menerima atau menolak syara‘, tetapi sesungguhnya apa yang ditetapkan syara‘ itu tidak bertentangan dengan nalar yang sehat. Maka apabila ada informasi hadis yang bertentangan dengan nalar, maka itu menuntut untuk diterima atau ditolak. Ibid., h. 489.
56 Sejalan dengan kaidah متنه صح سندُه ماصح كل يسل . Lihat: al-Dumainy,Op.Cit., h. 348.
57 Juga sejalan dengan kaidah المتن ِضعف يقتضى ال اإلسناد عفِض Karena mungkin saja ada matan lain yang semakna, tapi dengan sanad yang shahih. Lihat: Nuruddin ‘Itr, Op.Cit. h. 290.
20
1. Memahami sunnah Nabi dalam kerangka Alquran,
2. Mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan dalam satu tema,
3. Mengkompromikan atau mentarjih hadis-hadis yang mukhtalif,
4. Memahami hadis-hadis dengan memperhatikan sabab wurud, konteks pembicaraan,
dan maksud-maksudnya,
5. Membedakan antara wasîlah (cara) yang dapat berubah dengan hadp (tujuan) yang
bersifat tetap dari hadis yang bersangkutan,
6. Membedakan antara yang bersifat hakikat dan yang bersifat metaforis dalam
memahami hadis,
7. Membedakan antara yang bersifat ghaib dan bersifat kasat mata,
8. Memastikan makna lafad hadis.
F. PENUTUP
Demikianlah sekelumit metode dan langkah-langkah penelitian atau kritik hadis
Nabi. Bahasan ini tampak masih bersifat teoritis yang dalam prakteknya di lapangan tentu
tidak semudah ini. Apalagi, karena alasan teknis, pembahasannya belum dilengkapi dengan
contoh-contoh kongkrit. Namun setidaknya tulisan ini dapat menjadi salah satu panduan
dalam penelitian hadis. Untuk lebih mendalaminya, pembaca dapat mempelajarinya dalam
rujukan-rujukan yang dikemukakan di sini. Mudah-mudahan ke depan dalam kesempatan
lainnya, kekurangan ini dapat dilengkapi.
Wa fawqa kulli dzi ‘ilm ‘alîm,
Wallâhu a‘lam bi al-shawâb.
58 Yusuf al-Qardlawi, Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘âlim wa Dlawâbith, Cet. VI, Dâr al-Wafâ`, Kairo, 1993, h. 91.
21
DAFTAR PUSTAKA
al-A‘zhamiy, Muhammad Mushthafa
1990 Manhaj al-Naqd Inda al-Muhadditsîn, Cet. III, Maktabah al-Kautsar, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ûdiyyah.
al-Adlabi, Shalahuddin bin Ahmad
1983 Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulmâ` al-Hadîts, Dâr al-Afâq al-Jadîdah, Beirut.
al-Dumaini, Musfir ‘Azmullah
1992 Maqâyîs Naqd al-Mutûn, Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hukm, Madinah.
Hadi, Sutrisno
2001 Metodologi Research, cet. ke- 32, Penerbit Andi, Yogyakarta.
al-Hamadah, Faruq,
1989 Manhaj al-Islâmiy fi al-Jarh wa al-Ta‘dîl, Cet. II, Dâr Nasyr al-Ma‘rifah, Rabath.
22
Hariyono
1995 Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Pustaka Jaya, Jakarta.
Hazairin
1974 Kewarisan Bilateral Menurut Alquran dan Hadis, Bulan Bintang, Jakarta.
Ilyas, Yunahar (ed.),
1996 Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ismail, M. Syuhudi
1995 Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. II, Bulan Bintang, Jakarta,.
-------------------
1992 Metodologi Peneltian Hadis Nabi, Bulan Bintang; Jakarta.
Itr, Nuruddin
1997 Manhaj al-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadîts, cet. ke-3, Dâr al-Fikr, Beirut.
Al-Jawabi, Muhammad Thahir
1991 Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn a-Hadîts al-Nabawiy al-Syarîf, Muassasât ‘A. al-Karîm bin ‘Abd Allah, Tunis.
al-Jurjâni, Al-Syarif ‘Ali bin Muhammad
t.t. Kitâb al-Ta‘rifât, Darul Hikmah, Jakarta.
al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjâj
1970 Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalâhuh, Cet. II, Dâr al-Fikr, Beirut.
Koentjaraningrat
1997 Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, cet. ke-14, Gramedia, Jakarta.
al-Qardlawi, Yusuf
1993 Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘âlim wa Dlawâbith, Cet. VI, Dâr al-Wafâ`, Kairo.
Rahman, Fathur
1995 Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits, Cet. VIII, PT Alma‘arif, Bandung.
Rakhmat, Jalaludin
1996 “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis“ dalam Al-Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam, edisi 17, vol. VII th .1996.
23
-----------------
1991 Islam Aktual, Mizan, Bandung.
Summers, Della, et. al.
1993 Longman Active Study Dictionary of English, The Egyptian International Publishing Company (under license of Longman Group Ltd.), Egypt,.
al-Syahrazuriy, Abu ‘Amr ‘Utsman bin al-Shalah
t.t. Muqaddimah Ibn al-Shalâh fî ‘Ulûm al-Hadîts, Maktabah al-Mutanabbiy, Kairo.
Thahhan, Mahmud al-
1996 Taisîr Mushthalah al-Hadiîts, Cet. IX, Maktabah al-Ma‘ârif, Riyadl.
Thahhan, Mahmud al-
1991 Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd, Cet. Ke-2, Maktabah al-Ma‘arif, Riyadl.
Tim Ganeca Sains Bandung
2001 Kamus Standar Bahasa Indonesia, Penabur Ilmu, t.t.p.
24