iirepository.ub.ac.id/6307/1/gus aryadi.pdf · 2020. 9. 9. · 2012), karena secara langsung suhu...

80
BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN LAPORAN SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Oleh: GUS ARYADI NIM. 135080100111061 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI

    KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN

    LAPORAN SKRIPSI

    PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    Oleh:

    GUS ARYADI

    NIM. 135080100111061

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • ii

    BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI

    KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN

    LAPORAN SKRIPSI

    PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan

    di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Universitas Brawijaya

    Oleh:

    GUS ARYADI

    NIM. 135080100111061

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • iii

  • iv

    PERNYATAAN ORISINALITAS

    Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya tulis ini

    benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan

    saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

    oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar

    pustaka. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil

    penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

    tersebut.

    Malang, 29 Juni 2017

    Mahasiswa,

    Gus Aryadi NIM.135080100111061

  • v

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Disampaikan Terima Kasih Kepada:

    Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan

    Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi

    Yang Telah Membiayai : Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :

    063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017

    Dengan Judul : “Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan

    Ekspor”

    Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si. Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut: 1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta

    2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani

    3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya

    4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya

    5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto

    6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh

    7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina

    8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni

    9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.

    10. Linda Ayu Pratiwi

    11. Leny Rosiana

    12. Wildan Effendy

    Ketua Peneliti, (Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si) NIP. 19730404 200212 2 001

  • vi

    RINGKASAN

    Gus Aryadi. Biomarker Sel CD4 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam Pemeliharaan (Di bawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si).

    Ikan koi merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Indonesia. Masalah utama dalam pemeliharaan ikan hias di Indonesia hingga saat ini salah satunya adalah tentang penyakit. Suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi berkisar antara 20 – 30oC dan pH berkisar antara 6,5 – 8. Suhu air diketahui mempunyai peran didalam serangan infeksi penyakit pada hewan air misalnya serangan virus. Koi Herpes Virus (KHV) pada umumnya dapat hidup dan berkembang pada temperatur antara 18-27°C. KHV merupakan patogen ikan yang dominan menginfeksi ikan mas dan ikan koi (Cyprinus carpio dan C. carpio) dan telah menyebabkan penyakit dan kematian massal. Pada ikan, respons imun bawaan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal pertahanan menghadapi invasi patogen. CD4 adalah koordinator respons kekebalan tubuh, misalnya, memberikan bantuan pada sel B dalam produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap antigen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biomarker sel CD4 yang terdapat pada ikan mas koi yang terinfeksi KHV pada kolam pemeliharaan dengan metode imunositokimia. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April – Juni 2017, pengambilan sampel di desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini menggunakan metode survei dengan penjelasan secara deskriptif, menggambarkan keadaan lokasi penelitian secara nyata sesuai dengan keadaan di lapang dan dibuktikan melalui analisa data.

    Jumlah eritrosit (sel darah merah) pada pengamatan ikan yang terinfeksi KHV adalah 97000 sel/mm3, sedangkan ikan sehat 2110000 sel/mm3. Jumlah eritrosit ikan yang terinfeksi KHV lebih rendah daripada ikan sehat. Eritrosit berguna untuk transfer oksigen dan nutrisi ke seluruh organ tubuh ikan. Jumlah leukosit pada pengamatan ikan yang terinfeksi KHV adalah 178000 sel/mm3, sedangkan ikan sehat 71750 sel/mm3. Jumlah leukosit ikan yang terinfeksi KHV lebih tinggi daripada ikan sehat. Leukosit berguna untuk sistem pertahanan tubuh ikan terhadap patogen. Hasil pengukuran nilai hematokrit 15 % dan berada di bawah kisaran normal. Nilai hematokrit berguna untuk mengetahui terjadinya anemia atau tidaknya pada darah. Hasil prensentasi difernsial leukosit ikan terinfeksi KHV adalah 69 % limfosit, 11 % monosit dan 20 % neutrofil, sedangkan ikan sehat adalah 85 % limfosit, 5 % monosit dan neutrofil 10 %. Diferensial leukosit berguna untuk mengetahui komposisi jenis leukosit serta untuk mengetahui keadaan kesehatan ikan. Hasil positif pemeriksaan Imunositokimia ditunjukan dengan warna coklat keemasan. Warna keemasan menunjukan adanya lokasi antigen dan di antigen tersebut terdapat seldarah limfosit yang mana CD4 merupakan bagian dari limfosit T yang terletak dipermukaan sel. Kisaran suhu 25 - 28OC, nilai kecerahan 100%, pH 8 - 8,2, nilai DO 8,7 – 10,12, nilai amonia 0,03 – 0,09. Berdasarkan data parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran normal untuk kehidupan Ikan koi walaupun suhu mengalami fluktuasi dan amonia mempunyai nilai diatas normal. Salah satu penyebab menurunnya sistem imun ikan diduga terjadi akibat meningkatnya nilai ammonia dan fluktuasi suhu.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat

    serta hidayah – Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan

    laporan Skripsi yang berjudul “BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus

    carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM

    PEMELIHARAAN”. Laporan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

    dinyatakan lulus dari Universitas Brawijaya.

    Malang 29 Juni 2017

    Penulis

  • viii

    DAFTAR ISI

    COVER .............................................................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................... Error! Bookmark not defined.ii PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................................................iv UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................................... v RINGKASAN ....................................................................................................................vi KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xii 1. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4

    1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 5

    1.4 Kegunaan............................................................................................................... 5

    1.5 Tempat dan Waktu .............................................................................................. 5

    2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 6 2.1 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) ....................................................................... 6

    2.1.1 Klasifikasi ....................................................................................................... 6 2.1.2 Morfologi ........................................................................................................ 6 2.1.3 Habitat ............................................................................................................. 7

    2.2 Sistem Pertahanan Ikan ..................................................................................... 8 2.3 Mekanisme Serangan Penyakit Ke Tubuh Ikan ......................................... 14 2.4 KHV (Koi Herpes Virus) ................................................................................... 16

    2.4.1 Gejala Klinis KHV ....................................................................................... 17 2.4.2 Mekanisme Infeksi Virus KHV ................................................................. 18 2.4.3 Diagnosis KHV ............................................................................................ 19

    2.4 Darah .................................................................................................................... 20 2.4.1 Sel darah putih ............................................................................................ 20 2.4.2 Cell Diferentiation Type 4 (CD4) ............................................................. 21

    2.5 Parameter Fisika Kualitas air ......................................................................... 22 2.5.1 Suhu............................................................................................................... 22

    2.6 Parameter Kimia Kualitas Air ......................................................................... 23 2.6.1 pH ................................................................................................................... 23 2.6.2 DO................................................................................................................... 23 2.6.3 Amonia .......................................................................................................... 24

    3. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 25 3.1 Materi Penelitian ................................................................................................ 25 3.2 Metode Penelitian .............................................................................................. 25 3.3 Pengumpulan Data ............................................................................................ 26

    3.3.1 Data Primer .................................................................................................. 26 3.3.2 Data Sekunder ............................................................................................. 27

    3.4 Metode Analisis Data ........................................................................................ 28 3.4.1 Teknik Pengambilan Sampel Ikan .......................................................... 28

  • ix

    3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Air ............................................................ 28 3.5 Prosedur Penelitian .......................................................................................... 29

    3.5.1 Metode PCR ................................................................................................. 29 3.5.2 Kualitas Air .................................................................................................. 32 A. Parameter Fisika ............................................................................................. 32 B. Parameter Kimia .............................................................................................. 33 3.5.3 Pengambilan darah .................................................................................... 34 3.5.4 Metode smear .............................................................................................. 35 3.5.5 Metode Imunositokimia ............................................................................ 35 3.5.6 Pengamatan Jumlah Sel Darah Putih ................................................... 36 3.5.7 Pengamatan Jumlah Sel Darah Merah ................................................. 37 3.5.8 Hematokrit .................................................................................................... 38 3.5.9 Diferensial Leukosit ................................................................................... 39

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 40 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penetlitian ............................................................... 40 4.2 Gambaran Lokasi Pengambilan Sampel ..................................................... 41 4.3 Hasil Analisa Ikan Koi ...................................................................................... 42 4.4 Hasil Uji PCR....................................................................................................... 43 4.5 Pengamatan dan Perhitungan Darah Ikan .................................................. 44

    4.5.1 Gambaran Darah Ikan ............................................................................... 44 4.5.2 Jumlah Sel Darah Merah .......................................................................... 46 4.5.3 Jumlah Sel Darah Putih ............................................................................ 47 4.5.4 Hematokrit .................................................................................................... 47 4.5.5 Diferensial Leukosit ................................................................................... 48

    4.6 Hasil Identifikasi CD4 Menggunakan Metode Imunositokimia .............. 52 4.7 Hasil Analisia Kualitas Air Kolam Sampel Ikan Koi ................................. 54

    4.7.1 Parameter Fisika ......................................................................................... 55 4.7.2 Parameter Kimia ........................................................................................ 58

    5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 62 5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 62 5.2 Saran ..................................................................................................................... 63

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 63

    LAMPIRAN ..................................................................................................................... 70

  • x

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Ikan Mas Koi 8 2. Kolam Pemeliharaan Ikan Koi 43 3. Gejala Klinis Ikan Koi KHV 44 4. Hasil Pengamatan Darah Menggunakan Mikroskop 46 5. Hasil Pengamatan Diferensial Leukosit 49 6. Hasil Pengamatan Sel CD4 53 7. Sel CD4 54 8. Grafik Pengukuran Suhu 56 9. Grafik Kecerahan 58 10. Grafik pH 59 11. Grafik DO 60 12. Grafik Amonia 61

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Hasil Hematokrit 48 2. Hasil Persentase Diferensial Leukosit 49 3. Data Tabulasi Parameter Kualitas Air 55

  • xii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Alat dan Bahan Uji PCR 71 2. Alat dan Bahan Pengukuran Kualitas Air 72 3. Hasil Uji PCR 73 4. Perhitungan Eritrosit dan Leukosit 73

  • 1

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Ikan hias memiliki nilai tambah yang menarik. Banyak hal yang dapat dijadikan

    sebagai faktor pendukung dalam melakukan usaha ikan hias, diantaranya

    mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak peminat yang sudah menyebar ke

    seluruh lapisan masyarakat. Masalah utama dalam budidaya ikan hias di

    Indonesia hingga saat ini salah satunya adalah tentang penyakit. Penyakit

    menyebabkan kerugian ekonomis karena dapat menyebabkan pertumbuhan

    terhambat, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, padat

    tebar yang tinggi dan kematian (Prasetya et al, 2013).

    Lingukungan perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam

    pemeliharaan ikan. Air merupakan media untuk hidup ikan, dalam pengelolaannya

    harus benar – benar diperhatikan standar nilainya. Menurut Agus et al, (2002)

    dalam Putriana et al, (2015), Salah satu faktor utama dalam pemeliharaan ikan

    yaitu suhu. Suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi berkisar antara

    20 – 30oC dan pH berkisar antara 6,5 – 7. Suhu dapat mempengaruhi aktivitas

    penting ikan seperti pernapasan, pertumbuhan dan reproduksi. Suhu yang tinggi

    dapat mengurangi oksigen terlarut dan mempengaruhi selera makan ikan

    (Kelabora, 2010).

    Peran temperatur pada penularan penyakit sangat penting pada hewan

    poikilothermik vertebrata (Ahne et al, 2002 dalam Madyowati et al, 2012). Suhu air

    diketahui mempunyai peran didalam serangan infeksi penyakit pada hewan air

    misalnya serangan virus dengan mempercepat replikasi virus didalam inang

    sambiI menekan proses imun inang (Alcorn et al, 2002 dalam Madyowati et al,

    2012), karena secara langsung suhu air akan mempengaruhi respon imun seluler

    dan humoral didalam tubuh ikan. Salah satu penyakit yang sering menyerang ikan

  • 2

    koi adalah Koi Herpes Virus (KHV). KHV pada umumnya dapat hidup dan

    berkembang pada temperatur antara 18-27°C (Lio-Po, 2011 dalam Pradana et al,

    2015) dengan angka kematian di kolam yang terinfeksi yaitu 80 - 90% pada benih

    serta ikan dewasa (Perelberg et al, 2003 dalam Pradana et al, 2015). Virus KHV

    pada ikan koi dan ikan mas sangat peka terhadap lingkungan pada suhu 23°C

    dapat menyebabkan kematian mencapai 90 - 95% (Madyowati et al, 2012).

    Mekanisme serangan virus pada tahapan pertama terjadinya infeksi adalah

    penyerangan (attachment) dimana reseptor mulai mengenali virus tersebut pada

    lapisan membran plasma. Proses berikutnya adalah penetrasi (penetration) yaitu

    masuknya partikel virus kedalam sel inang (host) selanjutnya virus akan melepas

    bagian luar yang melapisi tubuhnya (uncoating) untuk masuk kedalam membran

    sel atau saluran lisosom. Berikutnya terjadi proses transkripsi, yaitu virus mulai

    membuat rekaman untuk mRNA yang selanjutnya akan diterjemahkan sebagai

    protein. Proses selanjutnya DNA virus akan memperbanyak diri (replication) untuk

    kemudian membentuk virion dan apabila telah sempurna akan melepaskan diri

    keluar dari sel untuk menginfeksi sel yang lainnya (Roberts, 1989).

    Gejala yang ditimbulkan dari KHV, yaitu (1) produksi lendir (mucus) berlebih

    sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir

    menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat; (2) insang berwarna pucat dan

    terdapat bercak putih atau coklat yang sebenarnya adalah kematian sel-sel insang

    atau “gill necrosis”, selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tepi insang dan

    akhirnya membusuk; (3) pendarahan (haemorage) di sekitar panggul dan ujung

    sirip serta permukaan tubuh lainnya; (4) adanya kulit melepuh ; (5) ginjal berwarna

    pucat (Rahmawati et al, 2016).

    Menurut Uribe et al. (2011) dalam Arsal (2014), Adanya infeksi akan

    ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan kekebalan tubuh bawaan (non-

    spesifik) yang merupakan pertahanan dasar pertama yang aktif ketika terjadi

  • 3

    infeksi baik viral maupun bakterial. Pada ikan, respons imun bawaan memiliki

    peranan yang sangat penting dalam hal pertahanan menghadapi invasi patogen.

    CD4 adalah Subpopulasi dari limfosit yaitu sebagai sel penolong T, T (Thymus

    atau glandula thymus) merupakan organ limfatik yang berperan penting,

    khususnya dalam pembuatan sel darah putih yang disebut limfosit T (bagian

    sistem imun tubuh) dan membantu dalam menanggulangi infeksi. CD4 adalah

    koordinator respons kekebalan tubuh, misalnya, Memberikan bantuan pada sel B

    dalam produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap

    antigen. CD atau Cluster Diferensiasi adalah protein yang diekspresikan pada

    permukaan sel dari sistem hematopoetik. Limfosit T CD4 menempati posisi sentral

    dalam mengatur fungsi kekebalan tubuh.

    Biomarker merupakan molekul penanda yang khas bagi sel, yang dapat

    digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Manfaat dari biomarker yaitu untuk

    diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi suatu penyakit. Biomarker dapat

    sebagai penanda clustered damage pada DNA, aberasi kromosom jenis

    pertukaran yang dapat berupa inter kromosom dan intra kromosom, dan profil

    ekspresi gen pada sel limfosit darah tepi (Alatas, 2004). Biomarker sendiri penting

    untuk mengetahui repon tubuh ikan khususnya sel maupun jaringan bila terinfeksi

    oleh penyakit.

    Berdasarkan permasalahan tersebut perlu adanya penelitian mengenai

    Biomarker sel CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes

    Virus) pada kolam pemeliharaan dengan tujuan untuk mengetahui biomarker sel

    CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) serta

    menganalisa kualitas air pada kolam pemeliharaan yang terdapat ikan positif KHV.

  • 4

    1.2 Rumusan Masalah

    Ikan koi bukan merupakan komoditas baru di Indonesia, hanya saja kurang

    dikenal jika dibandingkan dengan ikan mas koki. Ikan koi mempunyai nilai

    ekonomis dan banyak peminat yang sudah menyebar ke seluruh lapisan

    masyarakat. Pemeliharaan ikan koi yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi

    berkisar antara suhu 20 – 30oC. Pemeliharaan yang kurang baik akan

    menyebabkan suhu kolam tidak stabil. KHV menyebabkan penyakit setiap musim

    semi dan musim gugur, pada saat suhu air mencapai 18- 27°C. Koi dan ikan mas

    sangat peka terhadap lingkungan pada suhu 23oC kematian dapat mencapai 90-

    95%. Adanya infeksi akan ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan

    kekebalan tubuh bawaan (non-spesifik) yang merupakan pertahanan dasar

    pertama yang aktif ketika terjadi infeksi baik viral maupun bakterial. CD4 adalah

    Subpopulasi dari limfosit yaitu sebagai sel penolong T. CD4 adalah koordinator

    respons kekebalan tubuh, misalnya, memberikan bantuan pada sel B dalam

    produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap antigen.

    CD4 merupakan sistem imun yang seharusnya dapat menangkal penyakit, tetapi

    akhir – akhir ini sel CD4 tidak dapat mempertahankan kekebalan tubuh dari

    serangan virus KHV.

    Pemeliharaan kolam yang buruk dan jarangnya

    pengecekan kualitas air

    penurunan suhu

    sistem kekebalan

    imun terganggu

    kematian masal ikan

  • 5

    Rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu:

    1. Bagaimana sel CD4 ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi virus KHV

    (Koi Herpes Virus)

    2. Bagaimana kondisi kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas koi (Cyprinus

    carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes Virus)

    1.3 Tujuan

    Tujuan pada penelitian ini, yaitu:

    1. Mengetahui biomarker sel CD4 ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi

    virus KHV (Koi Herpes Virus).

    2. Mengetahui kondisi kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas koi

    (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes Virus).

    1.4 Kegunaan

    Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi mengenai kualitas air pada

    kolam pemeliharaan ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi

    Herpes virus) dan biomarker sel CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi

    KHV (Koi Herpes virus) sebagai acuan ataupun rujukan ilmu pengetahuan dan

    teknologi.

    1.5 Tempat dan Waktu

    Penelitian ini dilaksanakan di di desa Kemloko, Kecamatan Nglegok,

    Kabupaten Blitar, di Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya, Laboratorium

    Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

    Universitas Brawijaya dan Balai Karantina Ikan, Sidoarjo, Jawa Timur, pada bulan

    April – Juni 2017.

  • 6

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio)

    2.1.1 Klasifikasi

    Berdasarkan sistem taksonomi menurut Udin dan Sitanggang (2010), ikan koi

    digolongkan sebagai berikut:

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chordota

    Kelas : Actinopterygii

    Ordo : Cypriniformes

    Family : Cyprinidae

    Genus : Cyprinus

    Species : Cyprinus carpio

    Gambar 1. Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) (Buzzle, 2016)

    2.1.2 Morfologi

    Menurut Susanto (2001) menyatakan bahwa ikan koi mempunyai badan

    seperti torpedo dengan alat gerak berupa sirip, seperti sebuah sirip punggung

    (dorsal fin), sepasang sirip dada (pectoral fin), sepasang sirip perut (ventral vin),

    sebuah sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Sirip ini terdiri dari jari – jari

    keras, jari – jari lunak dan selaput jari – jari. Sirip punggung mempunyai

  • 7

    mempunyai tiga jari – jari keras dan dua puluh jari – jari lunak, sirip dada dan sirip

    ekor hanya mempunyai jari – jari lunak. Sirip perut hanya memiliki jari – jari lunak

    sebanyak sembilan buah, sedangkan sirip anal mempunyai tiga jari – jari keras

    dan lima jari – jari lunak.

    Menurut Prayoga (2008), morfologi koi berbentuk bulat lonjong memanjang

    dan sedikit pipih ke samping (compressed). Memiliki mulut yang dapat

    disembulkan yang berguna untuk menangkap makanan. Serta memiliki sepasang

    sungut di ujung samping mulutnya. Dengan alat ini, koi dapat mengenali

    makanannya bahkan mencari di antara tumpukan lumpur.

    2.1.3 Habitat

    Esther dan Sipayung (2010), habitat asli ikan koi adalah di perairan yang

    bersih dan selalu mengalir. Oleh sebab itu, kolam ikan harus dijaga agar kualitas

    dan kebersihan airnya tetap dalam kondisi yang cocok untuk ikan koi, serta

    memiliki sistem aliran air yang baik. Menurut Udin dan Sitanggang (2010), Koi

    merupakan ikan hias yang hidup di daerah beriklim sedang (17 - 32°C). Koi tidak

    tahan jika mengalami perubahan suhu yang drastis. Jika hidup pada suhu yang

    terlalu rendah, dalam waktu singkat koi tidak akan bertahan hidup. Jika suhu air

    turun hingga 7°C, biasanya ikan ini akan beristirahat di dasar kolam. Namun, bila

    kolam dipasang alat sirkulasi air maka koi akan mampu bertahan hidup. Alat

    sirkulasi ini dapat membantu mencegah kebekuan air sehingga suhu air lebih

    hangat dan stabil.

    Koi aslinya merupakan hewan yang hidup di air tawar, tetapi masih dapat

    bertahan hidup dalam air yang agak asin, yakni sekitar 10 ppm. Koi merupakan

    hewan yang hidup di iklim sedang dengan suhu 17 - 32oC. ikan koi dapat hidup di

    kolam yang ada lumpurnya tetapi tidak terlalu banyak (Udin dan Sitanggang,

    2010).

  • 8

    2.2 Sistem Pertahanan Ikan

    Ikan seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri

    terhadap patogen. Sistem pertahanan tersebut terdiri dari sistem pertahanan

    konstitutif dan yang diinduksi (inducible). Sistem pertahanan konstitutif

    menjalankan perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi,

    dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Sistem pertahanan konstitutif

    dikenal pula sebagai sistem pertahanan innate (bawaan atau alami). Sistem

    pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquaired), harus diinduksi dengan

    pemaparan pada patogen atau produk-produk yang berasal dari patogen (Irianto,

    2005).

    Ikan memiliki kemampuan respon imun humoral dan yang diperantai sel (cell

    mediated immune respon). Selain itu pada ikan sudah terdapat respon imun

    spesifik terhadap antigen (immunoglobulin). Selain itu organ limfoid (organ yang

    merespon antigen) serta myeloid (organ penghasil darah) menjadi satu, yaitu pada

    ginjal ikan teleostei (Irianto, 2005).

    Pada ikan teleostei, ginjal merupakan organ limfoid penting. Secara umum

    ginjal ikan terdiri dari tiga bagian yaitu ginjal anterior, bagian tengah, dan posterior.

    Ginjal anterior merupakan situs yang memiliki kapasitas hematopoietik tertinggi

    tetapi memiliki fungsi renal yang terbatas. Pada ginjal ditemukan adanya limfosit

    mirip sel B dan sel T yang menunjukan peran jaringan limfoid ginjal dalam

    mekanisme pertahanan tubuh. Organ limfoid sekunder meliputi limpa dan jaringan

    limfoid yang berasosiasi dengan intestinum (gut-associated lymphoid tissue,

    GALT) (Irianto, 2005).

    Pada ikan teleostei terdapat dua macam sistem imun yaitu sistem imun

    bawaan atau alamiah (innate) yang bersifat spesifik dan sistem imun dapatan

    (adaptive) yang bersifat spesifik. Kedua macam sistem imun tersebut mirip dengan

    sistem imun mamalia, meskipun akibat perkembangan evolusinya menyebabkan

  • 9

    ikan memiliki aspek imunitas yang spesifik. Perbedaan terbesar diantara mamalia

    dan teleostei, yaitu pada teleostei tidak ada nodus limfatikus serta ontogeni

    leukosit dan sistem imunnya sangat terpengaruh suhu karena sifat ikan yang

    poikilotermal (Irianto, 2005).

    Sistem imun non spesifik ikan, meliputi penghalang fisik (mukus, kulit, sisik

    dan insang), pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Penghalang fisik ikan

    teleostei meliputi kulit (sisik) dan mukus (lendir). Mukus memiliki kemampuan

    menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit, insang dan mukosa. Mukus

    ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan sebagai respon dari pemaparan

    terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut dapat menghancurkan

    patogen yang menginfeksi (Irianto, 2005). Sedangkan sisik atau kulit merupakan

    pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan dalam

    mengendalikan osmoralitas tubuh. Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah

    patogen menginfeksi inang (Irianto, 2005).

    Sistem imun non spesifik didukung oleh dua komponen utama yaitu respon

    selular dan respon humoral (Irianto, 2005). Respon selular imun non spesifik

    meliputi beberapa tipe mekanisme: inflamasi, fagositosis, fagositosis sebagai

    penyaji antigen (antigen presenting cells) dan non spesific citotoxic cells. Inflamasi

    merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh ikan untuk menjaga kondisi

    kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik (Tizard, 1988 dalam

    Irianto, 2005). Inflamasi ditandai dengan rasa sakit, pembengkakan, kulit memerah

    atau peradangan, suhu tubuh naik atau kehilangan fungsi-fungsi fisiologis. Hal

    tersebut merupakan respon protektif awal tubuh dalam upaya menghalangi

    patogen dan menghancurkannya (Irianto, 2005).

    Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular yang dilakukan

    oleh monosit (makrofag) dan granulosit (netrofil). Proses fagositosis meliputi tahap

    kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap pencernaan. Tahap

  • 10

    kemotaksis yaitu pergerakan sel fagosit yang terarah dibawah pengaruh

    rangsangan kimiawi eksternal (produk patogen yang menginfeksi ataupun sel yang

    rusak akibat infeksi patogen) (Tizard, 1988 dalam Irianto, 2005).

    Setelah sel fagosit bertemu dengan suatu partikel yang akan ditelannya,

    partikel tersebut diikat kuat-kuat, proses ini disebut perlekatan. Sekali terpasang

    kuat pada membrane sel fagosit, partikel yang melekat tampak merangsang

    membran sel lokal dan aktivitas mikrotubul, yang sebaliknya menyebabkan

    sitoplasma mengalir diatas dan sekitar partikel dan menelannya, proses ini disebut

    penelanan. Sebuah partikel yang terkurung dalam sitoplasma sel fagosit

    menempatkan dirinya dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran partikel

    terjadi bila enzim hidrolitik yang biasanya tersimpan di dalam lisosom, dikosongkan

    ke dalam fagosom. Hal ini terjadi sebagai akibat granula bermigrasi melalui

    sitoplasma dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzim lisosom

    dapat mencernakan beberapa dinding sel bakteri, sedangkan enzim proteolotik,

    mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase bersifat letal bagi sebagian

    mikroorganisme (Tizard 1988 dalam Irianto, 2005).

    Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam

    mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi

    respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai

    peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan

    sel fagosit (Gillund et al. 2008). T cell receptor (TCR) mampu mengenali peptide

    antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang masing -

    masing merangsang CD 8+ T sel (cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+ T sel (helper-T

    sel) (Gillund et al. 2008). Mekanisme lain dari pertahanan seluler adalah non

    spesific cytotoxic cells (NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer

    (NK). Sel NK merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel

    sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung

  • 11

    pada produk-produk MHC (Kresno, 2001). Sel NK memegang peranan penting

    dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai

    penyakit infeksi, khususnya infeksi virus tanpa pengaktifan sebelumnya (Kresno,

    2001).

    Respon humoral imun nonspesifik meliputi beberapa tipe mekanisme dalam

    perlawanan terhadap invasi patogen. Diantara tipe mekanisme tersebut,

    komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahanan terhadap

    infeksi virus (Affandi dan Tang, 2002). Komplemen adalah suatu komplek enzim -

    enzim yang terdiri atas sebelas unsur protein yang terpisah, yang terdapat dalam

    serum dan diduga dibentuk oleh makrofag-makrofag. Komplemen memiliki potensi

    aktivitas antimikroba melalui siat-sifat penghancurannya (Nabib dan Pasaribu

    1989). Sedangkan interferon adalah suatu polipeptida yang diproduksi selama

    infeksi virus dan aktivitas antivirusnya bersifat spesifik (Affandi dan Tang, 2002).

    Cara kerja interferon adalah dengan memasuki sel yang dapat diinfeksi virus dan

    mencegah replikasi dari asam nukleus. Pada ikan pembentukan interferon ini

    dipengaruhi oleh suhu (Affandi dan Tang, 2002).

    Sistem imun spesifik (adaptive immunity) merupakan mekanisme interaksi

    antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan aktifitas sel-sel

    fagosit atau Antigen Presenting Cells (APC) yang memproses dan

    mempresentasikan potongan-potongan antigen pada sel-sel imun spesifik (Kresno

    2001). Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini

    merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat

    intraselular maupun ekstraselular (dalam cairan tubuh ataupun dalam darah)

    (Kresno 2001). Antigen merupakan subtansi spesifik yang dapat merangsang

    suatu reaksi – reaksi kekebalan yang spesifik. Umumnya subtansi antigen tersebut

    berupa molekul besar seperti protein dan polisakarida (Nabib dan Pasaribu 1989).

  • 12

    Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk merangsang

    limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen

    berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptide (bukan proteinnya)

    peptide antigen hasil pengolahan akan dipresentasikan bersama-sama dengan

    molekul protein MHC (Major Histicompatibility Complex) tertentu membentuk

    struktur yang unik pada permukaan sel makrofag atau APC dan dapat dikenali oleh

    reseptor sel T (TcR). Pengenalan struktur ini oleh sel limfosit T, mengakibatkan

    sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki

    kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut (Kresno

    2001). Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun spesifik pada dasarnya terdiri

    dari respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel T dan respons humoral

    yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Kresno 2001). Respon imun selular ini

    sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselular. Sel teinfeksi dapat

    dibunuh melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau

    sel terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh organisme yang menginfeksinya.

    Sub populasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali

    mikroorgnisme bersangkutan melalui MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi limfosit

    untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah

    interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme

    tersebut. Sedangkan sub populasi sel T yang lain disebut T-cytotoxic (Tc) berperan

    dalam menghancurkan mikroorganisme intraselular yang disajikan melalui MHC

    kelas I secara langsung (cell to cell contact). Selain itu juga menghasilkan gamma-

    interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke sel-sel lain (Kresno

    2001). Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya yaitu

    antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon

    ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi sel plasma yang

    memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Antibodi memiliki

  • 13

    kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat

    penghancurannya (Tizard 1988). Antibodi ini berikatan dengan antigen

    membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan

    mengakibatkan hancurnya antigen tesebut (Kresno 2001).

    Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan bantuan

    limfosit Th atas sinyal yang diberikan oleh makrofag. Makrofag sebagai APC

    (Antigen Presenting Cells) akan menelan antigen yang berbentuk partikel maupun

    yang larut, kemudian memprosesnya dengan degradasi, denaturasi atau

    modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut pada

    permukaan sel bersama-sama dengan MHC kelas II kepada sel T (Kresno 2001).

    Pada respon imun juga berlaku respon primer yang membentuk klon sel memori.

    Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu

    menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan lebih intensif pada kejadian

    infeksi oleh patogen yang sama di kemudian hari (Kresno 2001). Menurut Tizard

    (1988) sel ini hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pertama kali bersentuhan

    dengan antigen, akibatnya bila dosis antigen kedua diberikan kepada hewan, akan

    bertemu dan merangsang lebih banyak lagi sel peka-antigen dari pada dosis yang

    pertama, karena itu respon imun spesifik sekunder secara kuantitatif lebih besar

    dari pada respon imun spesifik primer.

    Menurut Kresno (2001) pengelompokan respon imun ke dalam dua kelompok

    yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik terlalu disederhanakan

    karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan

    efektivitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi

    antara satu komponen dengan komponen yang lain yang terdapat di dalam sistem

    imun. Diantara aktivitas terpadu antara kedua sistem yang paling penting adalah:

    1) respon imun bawaan (innate) terhadap mikroba merangsang dan

    mempengaruhi sifat respon sistem imun didapat (acquired); 2) sistem imun didapat

  • 14

    menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun bawaan untuk

    menyingkirkan mikroba dan seringkali meningkatkan fungsi sistem imun bawaan.

    2.3 Mekanisme Serangan Penyakit Ke Tubuh Ikan

    Masumoto et al (1991) menyatakan bahwa pada ikan yang stres, kadar

    hormon tersebut akan meningkat dalam tubuh. Sandnes and Waagbo (1991)

    dalam Marzuqi et al (1997) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan

    metabolisme yang dipacu oleh hormon kortisol dan katekolamin. Stres

    menyebabkan hiperglisemia (meningkatnya kadar glukosa darah), yang dapat

    mengganggu pertumbuhan selanjutnya bahkan dapat mematikan. Selain

    mempengaruhi rasa lapar, hiperglisemia juga merupakan faktor penting bagi

    kesehatan dan kelangsungan hidup. Pada keadaan stres inilah ikan akan terus

    mempertahankan homeostasis tubuh yang mulai berubah dengan terus

    mengeluarkan glukosa untuk kebutuhan energi selama tempo stres masih terus

    berlangsung.

    Menurut Ismail (2010), Tingkat kortisol yang tinggi akan mempengaruhi sistem

    kekebalan tubuh sementara stressor mempengaruhi timbulnya penyakit dan

    mortalitas. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perubahan baik internal

    maupun eksternal dapat menjadi penyebab kematian ikan. Siklus stres pada ikan

    memiliki pola tersendiri yang secara terurut akan mengalami perubahan-

    perubahan atau semacam respon disetiap rangsangan stressor yang terjadi

    terhadap tubuh ikan. Urutan respon-respon tersebut meliputi :

    a. Respon primer

    Stimulus stres merangsang CNS (Central Neuro System), CRF (Corticotropin

    Releasing Factor) dari hipothalamus merangsang pituitary untuk melepaskan

    ACTH (Adrenocorticotropin Hormone). ACTH di sirkulasi menuju sel interrenal

    pada ginjal bagian anterior, untuk mensekresikan kortisol. Jaringan kromafin pada

  • 15

    ginjal bagian anterior dirangsang juga oleh sistem syaraf simpatik untuk

    melepaskan adrenalin dan hormon katekolamin.

    b. Respon Sekunder (Perubahan pada darah dan jaringan)

    Berubahnya komposisi kimia darah dan jaringan, serta dimulainya perubahan

    pada hematologis seperti aliran darah di insang, dan naiknya konsentrasi gula

    darah (hiperglisemia).

    c. Respon Tersier

    Gejala ini ditunjukkan dengan turunnya nafsu makan ikan yang akan

    menyebabkan menurunnya sistem pertahanan tubuh sehingga dapat

    mengakibatkan kematian. Kortisol merupakan hormon glukokortikoid yang ada

    dalam tubuh manusia dan hewan termasuk ikan. Pada ikan, hormon ini disintesis

    dalam lapisan fasikulata dari korteks adrenal, sebagai prekusornya adalah tirosin.

    Diantara banyaknya kerja hormon ini, salah satu yang paling penting adalah untuk

    meningkatkan proses glukoneogenesis. Glukoneogenesis merupakan

    peningkatan pengambilan energi dari protein untuk memenuhi kebutuhan energi

    yang dibutuhkan saat terjadi stres. Sedangkan katekolamin merupakan hormon

    yang disintesis dalam sel kromafin pada medula adrenal, baik dalam biosintesis,

    pengambilan, penyimpanan dan mensekresikan katekolamin. Hormon-hormon ini

    diperlukan untuk adaptasi stres yang akut dan kronis. Katekolamin berperan dalam

    memacu produksi glukosa darah untuk dipakai sebagai energi. Selanjutnya energi

    ini akan dipakai sebagai penahan terhadap goncangan fisiologis akibat stress.

    2.4 KHV (Koi Herpes Virus)

    KHV merupakan salah satu jenis contoh virus yang menyerang family

    Cyprinid, yang awalnya ditemukan di Inggris tahun 1996. Virus Ini dapat menular

    cepat dan dapat menyebabkan kematian massal pada ikan golongan Cyprinid

    seperti ikan mas dan ikan koi (Sunarto et al, 2005 dalam Saselah et al, 2012).

  • 16

    Wabah KHV telah menyerang beberapa negara seperti Israel, Amerika Serikat,

    beberapa negara Eropa, Afrika Selatan, China, Taiwan, Jepang dan Indonesia

    (Haenan et al, 2004 dalam Saselah et al, 2012). Penyebaran penyakit ini telah

    melintasi hampir semua daerah budidaya ikan mas dan koi di Indonesia. Hal ini

    sesuai dengan data daerah yang terserang penyakit KHV berdasarkan keputusan

    Menteri kelautan dan Perikanan Nomor: KEP 03/MEN/2010 tentang jenis – jenis

    hama dan penyakit ikan karantina, golongan, dan media pembawa dan

    penyebarannya.

    Virus KHV itu sendiri dapat merusak sel epitel ikan khususnya kulit dan insang.

    Mukosanya menghilang, kulit nampak kering, terjadi kematian sel pada insang

    diikuti infeksi jamur, parasit dan bakteri, ikan tidak mau makan, tidak dapat

    bernafas dan mati secara perlahan. Pemeriksaan terhadap organ dalam dengan

    cara pembedahan mendapatkan bahwa hati ikan mengalami pendarahan atau

    nekrosis. Rukyani (2002) dalam Mustahal et al, (2006) mengemukakan bahwa ikan

    yang terserang KHV menunjukkkan gejala klinis seperti nekrosis pada insang,

    produksi lendir hilang, pendarahan, sirip rontok/geripis, dan secara makroskopis

    organ dalamnya membengkak, ginjal dan hati mengalami pendarahan. Tauhid et

    al, (2004) dalam Mustahal et al, (2006), juga mendapatkan bahwa ikan yang

    terserang KHV menunjukkan tanda-tanda produksi lendir menurun drastis,

    sehingga tubuh terasa kesat, nekrosis pada insang, dan pucat, pendarahan pada

    pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh melepuh dan luka yang diikuti

    infeksi sekunder oleh jamur, parasit dan bakteri. Ikan mengalami kematian pada

    hari ke tiga dan setelah itu tidak terjadi kematian. Hal ini mungkin disebabkan oleh

    daya tahan tubuh (imunitas) ikan tersebut terhadap virus kuat atau sudah memiliki

    imunitas terhadap virus KHV. Reynold (2004) dalam Mustahal et al, (2006)

    mendapatkan bahwa tingkat kematian ikan dalam kolam yang terinfeksi KHV

  • 17

    sangat tergantung pada sejarah genetika virus tersebut dan respon kekebalan dari

    masing-masing ikan yang terpapar KHV.

    2.4.1 Gejala Klinis KHV

    Gejala klinis ikan mas koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus dapat dilihat pada

    saat ikan mas menunjukkan kondisi ikan yang lemah, ikan mas kehilangan

    keseimbangan dan kesulitan bernafas. Penampakan ikan mas koi yang terinfeksi

    KHV dari luar yang umum terjadi yaitu mengelupasnya jaringan epitelium dengan

    produksi mukus berkurang dan kulit terasa kasar, terjadi pendarahan (haemorage)

    pada operkulum, sirip ekor dan perut yang disertai kerusakan pada insang. Pada

    pemeriksaan secara makroskopis perubahan makroskopis ditemukan adanya

    nekrosis pada insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limfa, dan hati (Sunarto et al., 2005).

    Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV tidak hanya bisa dilihat dari penampakan

    organ luar ikan tersebut. Infeksi KHV juga menyerang organ dalam ikan mas.

    Organ-organ dalam pada ikan yang menjadi target infeksi KHV adalah organ

    insang, ginjal, otak dan hati karena organ tersebut diduga memiliki prevalensi

    (populasi virus) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis organ lainnya (Taukhid et

    al., 2005).

    Laelawati (2008) menjelaskan bahwa gejala klinis ikan yang terserang virus

    KHV adalah hemoragi pada insang, bintik putih pada insang, bercak pucat pada

    insang, kulit melepuh, mata cekung dan ikan gelisah. Gejala klinis lain yang

    ditimbulkan akibat serangan KHV dapat berupa gerakan ikan sangat lemah,

    berenang lambat di permukaan air, sisik mengelupas, megap-megap, nafsu

    makan menurun, kulit melepuh, insang geripis pada ujung lamella dan akhirnya

    membusuk serta kehilangan lendir pada permukaan kulit. Kondisi yang sudah akut

    dapat menyebabkan hemoragi pada bagian pangkal sirip dan perut. Jika virus ini

  • 18

    menyerang organ dalam seperti hati dan limpa, maka tubuh ikan akan mengalami

    perubahan warna dan ginjal akan rusak serta membengkak.

    2.4.2 Mekanisme Infeksi Virus KHV

    Proses infeksi herpesvirus pada sel inang dimulai dengan terjadinya

    perlekatan atau adsorpsi partikel virus pada reseptor yang ada di permukaan sel

    inang. Adsorpsi virus pada permukaan sel segera diikuti oleh masuknya virus -

    virus yang mengandung genom dsDNA ke dalam sitoplasma melalui proses

    endositosis. Selanjutnya nucleocapsid ditransportasikan sepanjang matriks

    cytoskeletal menuju membran inti kemudian masuk ke dalam inti/nukleus. Setelah

    memasuki inti, terjadi proses replikasi virus dengan langkah-langkah

    biosintesisnya menurut urutan sebagai berikut: 1) Transkripsi untuk pembuatan

    messenger RNA (mRNA) dari DNA virus asal (parent) yang menginfeksi sel

    (sesudah uncoating). 2) mRNA tersebut berpindah ke ribosom dalam sitoplasma

    sel dan diterjemahkan (translated) menjadi enzim dan protein-protein lainnya

    (early protein = protein awal) yang melakukan sintesis asam nukleat untuk virus

    baru. 3) Replikasi DNA virus dalam inti. 4) Transkripsi lanjutan untuk pembuatan

    mRNA lagi dari DNA-parent dan virus baru (progeny). 5) Penerjemahan

    (translation) mRNA yang dibentuk kemudian (late mRNA) menjadi protein (late

    protein) sebagai bagian dari komponen virus dan sebagai enzim yang sama

    dengan early enzyme. 6) Perakitan (assembly) virus baru (progeny virus) di dalam

    inti sel. 7) Pelepasan virus yang matang (mature virus) dari sel. Herpes virus selain

    keluar secara biasa melalui sitoplasma dimana virus-virus ini memperoleh amplop,

    dapat juga berpindah langsung ke sel terdekat tanpa harus terlebih dahulu keluar

    sel yang terinfeksi.

    Metode transfer antar sel tersebut memungkinkan virus menyebar dalam

    tubuh inang walaupun terdapat banyak antibodi di dalam cairan tubuh di luar sel.

  • 19

    Hal inilah yang menyebabkan terjadinya infeksi virus secara laten atau kronis

    selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun pada inang yang terlihat sehat

    (Walker, 2000). Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004)

    menyebutkan bahwa virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang,

    selanjutnya bereplikasi di dalam insang. Aktivitas replikasi tersebut

    mempengaruhi struktur insang sehingga terlihat mengalami nekrosis dan kelukaan

    pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu

    faktor munculnya gejala klinis pada ikan.

    2.4.3 Diagnosis KHV

    Upaya dalam mendiagnosis keberadaan KHV dapat dilakukan dengan cara

    langsung. Salah satunya yaitu dengan bantuan teknik Polymerase Chain Reaction

    (PCR) untuk mendeteksi keberadaan DNA virus. Namun sebelum melakukan

    identifikasi dengan PCR, DNA genom harus diisolasi terlebih dahulu. Isolasi DNA

    genom ikan yang terserang KHV merupakan tahap awal dalam pendeteksian KHV.

    Tingkat serangan KHV yang ringan dapat menghasilkan isolasi yang kurang

    optimal. Untuk dapat mendeteksi keberadaan KHV dengan tingkat serangan

    ruangan maka dibutuhkan metode isolasi yang dapat mengisolasi DNA dengan

    konsentrasi yang tinggi (Taukhid et al., 2004).

    Uji PCR mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat memberikan

    sensitivitas karena dari jumlah materi genetik yang kecil dapat dideteksi rangkaian

    target pada sampel. Keuntungan kedua yaitu kekhususan dari rangkaian DNA

    spesifik yang dijelaskan melalui kondisi yang tepat. PCR dianggap sebagai teknik

    yang cepat apabila dibandingkan dengan metode lain untuk mendeteksi virus yang

    mana diperlukan isolasi dan kultur menggunakan media kultur atau barisan sel.

    Keuntungan yang terakhir yaitu ada pada rangkaian genetik dari bermacam-

  • 20

    macam mikroorganisme yang dapat diidentifikasi dengan kondisi reaksi yang

    sama untuk mendiagnosis patologi berbeda (Louie et al., 2000).

    2.4 Darah

    Darah mempunyai fungsi penting dalam sirkulasi. Secara umum fungsi

    darah adalah sebagai alat transportasi oksigen, karbondioksida, zat gizi, dan sisa

    metabolisme, mempertahankan keseimbangan asam basa, mengatur cairan

    jaringan dan cairan ekstra sel, mengatur suhu tubuh, dan sebagai pertahanan

    tubuh dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih. Menurut Tamba (2006),

    darah ikan tersusun atas sel – sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan

    diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup, terdiri atas sel darah

    merah dan sel darah putih. Sel dan plasma darah mempunyai peran yang sangat

    penting. Perubahan gambaran darah dan kimia (secara kualitatif dan kuantitatif),

    dapat menentukan kondisi keshatan ikan.

    Darah merupakan jaringan sirkulasi yang terdiri atas cairan plasma, sel - sel

    darah merah, sel - sel darah putih dan keping darah. Fernandez dan Mazon (2003)

    menyebutkan bahwa parameter darah seperti hemoglobin, jumlah sel darah

    merah, sel darah putih dan hematokrit erat kaitannya dengan respon individu

    terhadap perubahan parameter lingkungan. Karakteristik parameter darah

    merupakan salah satu sarana yang penting sama halnya dengan analisis parasit

    dalam rangka untuk mengetahui tingkat kesehatan populasi ikan budidaya

    (Martins, et al., 2004).

    2.4.1 Sel darah putih

    Leukosit ikan pada umumnya terbagi menjadi 2 bagian yang sering dikenal

    dengan nama Granulosit dan Agranulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, monosit

    dan trombosit, sedangkan granulosit terdiri dari basofil, neutrofil dan eosinofil.

    Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik

  • 21

    penting untuk evaluasi proses penyakit. Masa hidup sel darah putih pada hewan

    domestik sangat bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan

    untuk monosit bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson, 1992 dalam Saputri et al.,

    2010).

    Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh paling aktif, dan beredar di

    dalam sirkulasi darah dalam berbagai tipe. Jumlah leukosit lebih sedikit

    dibandingkan dengan sel darah merah. Fungsi utama leukosit adalah merusak

    bahan-bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis dengan membentuk

    antibodi (Guyton 1997 dalam Erika 2008). Leukosit merupakan salah satu

    komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik yang akan

    melokalisasi dan mengeliminir agen pathogen melalui proses fagositosis

    (Anderson 1992 dalam Erika 2008). Menurut Moyle dan Cech (1988) dalam

    Maswan (2009), menjelaskan bahwa jumlah sel darah putih lebih rendah

    dibandingkan dengan sel darah merah yaitu berkisar 20.000 sel/mm3 – 150.000

    sel/mm3.

    2.4.2 Cell Diferentiation Type 4 (CD4)

    Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian

    yang penting dari sistem kekebalan tubuh. Sel CD4 kadang kala disebut sebagai

    sel-T. Ada dua macam sel-T. Sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang kala sel

    CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T dikategorikan menjadi dua populasi umum

    sesuai dengan fungsi mereka, sel T sitotoksik (CTL) dan T helper (Th) sel. CTLs

    mengekspresikan molekul CD8 terlibat dalam interaksi dengan MHC kelas I,

    sedangkan sel T helper mengekspresikan CD4 yang berinteraksi dengan MHC

    kelas II. Sel T berhubungan dengan gen T dan protein mereka dikodekan dengan

    aktivitas sel T, misalnya, penanda permukaan, sitokin dan faktor transkripsi

    (Nakanishi et al, 2015).

  • 22

    Major Histocompatibility Complex (MHC) merupakan marka yang umum

    digunakan dalam studi mengenai hubungan daya tahan ikan terhadap suatu

    penyakit. Hal ini didasarkan karena MHC berperan penting dalam sistem imun.

    MHC dikodekan oleh dua subfamili utama, yakni MHC kelas I dan kelas II yang

    berfungsi untuk mengikat dan menyajikan antigen ke limfosit T melalui molekul

    CD8+ dan CD4+ (Rakus 2008). MHC kelas I dan kelas II berperan dalam

    pengenalan beragam patogen, antigen peptida asing dan berperan penting dalam

    respons imun, baik bawaan maupun adaptif (Kales 2006 dalam La, 2014). Proses

    fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam mekanisme

    penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit.

    Partikel yang difagositosis diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen

    yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit

    (Gillund et al. 2008 dalam Maswan 2009). T cell receptor (TCR) mampu mengenali

    peptide antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang

    masing – masing merangsang CD 8+ T sel (cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+ T sel

    (helper-Tsel) (Gillund et al. 2008 dalam Maswan 2009).

    2.5 Parameter Fisika Kualitas air

    2.5.1 Suhu

    Menurut Kordi (2007), suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dari

    organisme, oleh karena itu penyebaran organisme baik dilautan maupun di

    perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut, suhu sangat berpengaruh

    terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Menurut Hutabarat (2010) bahwa

    tingginya suhu disebabkan oleh tingginya cahaya dan adanya pencampuran air,

    serta oleh faktor aktifitas yang ada pada stasiun tersebut. Tingginya suhu air

    berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk keperairan,

    karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin

    banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya

  • 23

    kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun. Peningkatan suhu menyebabkan

    terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.

    2.6 Parameter Kimia Kualitas Air

    2.6.1 pH

    Menurut Kordi (2007), pH adalah logaritma dari kepekatan ion-ion H

    (hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air

    menunjukan aktivitas ion hydrogen dalam larutan tersebut dinyatakan sebagai

    konsentrasi ion hIdrogen (dalam mol perliter) pada suhu tertentu. Semakin tinggi

    konsentrasi ion H+ akan semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH 7, maka perairan bersifat alkalis (basa). Derajat keasaman merupakan

    gambaran jumlah atau aktivitas ion hydrogen dalam perairan. Secara umum nilai

    pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu

    perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi

    perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa

    (Effendi, 2003).

    2.6.2 DO

    Menurut Kordi (2007), nilai DO atau oksigen terlarut menyatakan nilai dari

    kandungan oksigen terlarut dalam air. Oksigen yang diperlukan biota air untuk

    pernapasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor

    pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan

    biota budidaya, akan segala aktivitas biota akan terhambat.

    Karakteristik kimiawi, oksigen terlarut memegang peranan sangat penting

    dalam perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang dibutuhkan oleh

    organisme perairan. Salah satu yang memengaruhi kadar oksigen terlarut di

    perairan adalah suhu. Oksigen terlarut juga menentukan kuantitas organisme

  • 24

    suatu perairan. Selain itu oksigen terlarut juga dipengaruhi faktor lain seperti

    tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan berbagai reaksi

    dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun fluktuasi suhu akan

    menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di perairan (Purba dan Khan,

    2010).

    2.6.3 Amonia

    Amonia merupakan bentuk nitrogen anorganik yang bersifat toksik

    terhadap organisme budidaya yang dapat menyebabkan kerugian. Konsentrasi

    amonia yang tinggi di dalam air akan mempengaruhi permeabilitas ikan oleh air

    dan mengurangi konsentrasi ion di dalam tubuh. Amonia juga meningkatkan

    konsumsi oksigen di jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan

    darah mengangkut oksigen (Boyd, 1982). Amonia mulai menurunkan nafsu makan

    ikan nila pada konsentrasi 0,08 mg/l dan dapat menyebabkan kematian pada

    konsentrasi 0,2 mg/l (Popma dan Lovshin, 1996).

    Effendi (2003) menyatakan bahwa amonia dalam perairan terukur dalam dua

    bentuk, yaitu amonia yang tak terionisasi (NH3) dan ion amonium (NH4+).

    Keseimbangan antara ion amonium dan amonia tergantung pada nilai pH dan

    suhu perairan. Semakin tinggi pH air, konsentrasi amonia semakin meningkat

    sedangkan konsentrasi amonium semakin menurun (Boyd, 1982). Menurut SNI

    (1999), konsentrasi amonia untuk budidaya ikan Mas pada karamba jaring apung,

    kolam air tenang dan kolam air deras yaitu kurang lebih 0.01 mg/l.

  • 25

    3. METODE PENELITIAN

    3.1 Materi Penelitian

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Biomarker sel CD4 ikan

    mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) pada kolam

    pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika: suhu

    dan kecerahan, serta parameter kimia: pH, oksigen terlarut (DO), dan amonia.

    3.2 Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

    dengan teknik surveillance. Penggunaan metode deskriptif dengan teknik

    surveillance dimaksudkan agar dapat menggambarkan suatu kondisi pada daerah

    tertentu dengan tidak melakukan perubahan terhadap variabel-variabel yang

    diteliti. Menurut Umar (2005), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan

    sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa

    sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode ini akan memberikan informasi

    yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan lebih banyak

    diterapkan pada berbagai macam masalah. Menurut Prajitno (2008), surveillance

    merupakan kegiatan yang secara sistematis mengumpulkan, menganalisa dan

    menyebarluaskan informasi untuk mendukung pernyataan bahwa suatu populasi

    bebas dari infeksi atau penyakit, atau juga dapat digunakan untuk mendeteksi

    keberadaan penyakit yang bertujuan untuk pengendalian. FAO (2004)

    menyatakan bahwa teknik surveillance dapat menunjang kegiatan dalam

    pencegahan dini terhadap infeksi suatu penyakit, perencanaan kontigensi

    (perencanaan untuk kejadian yang tidak terduga) dan pengontrolan dalam

    mencegah penyebaran penyakit.

  • 26

    3.3 Pengumpulan Data

    Data adalah informasi atau keterangan mengenai sesuatu hal yang

    berkaitan dengan tujuan penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah

    mendapatkan data (Sugiyono, 2010). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

    terdiri dari data primer dan data sekunder.

    3.3.1 Data Primer

    Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah serta diterbitkan sendiri

    oleh organisasi yang menggunakannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004). Data primer

    yang diambil dalam penelitian ini meliputi semua yang berhubungan dengan

    analisa kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas dan Biomarker sel CD4

    ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus). Data primer

    dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, partisipasi aktif dan wawancara

    dengan pihak terkait beserta masyarakat yang ada disekitar.

    a. Observasi

    Observasi adalah seluruh kegiatan pengamatan terhadap suatu obyek dengan

    bantuan indera manusia (Rangkuti, 2007). Dalam penelitian ini observasi

    dilakukan dengan cara pengamatan langsung kualitas air kolam pemeliharaan ikan

    mas koi dan pengambilan sampel organ untuk dilakukan uji pcr pada ikan yang

    terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV).

    b. Partisipasi Aktif

    Menurut Marzuki (1986), Partisipasi yaitu proses yang dilakukan untuk

    mendapatkan informasi dengan berperan aktif dalam proses yang berlangsung.

    Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti secara langsung rangkaian kegiatan

    meliputi persiapan alat, pengukuran sampel kualitas air, pembedahan dan

    pengambilan darah ikan.

  • 27

    c. Wawancara

    Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung

    antara pewawancara dan responden. Wawancara di dapatkan berdasarkan fakta,

    pendapat dan pengalaman dari responden (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Dalam

    penelitian ini proses wawancara meliputi tanya jawab mengenai keadaan umum,

    permasalahan yang dihadapi, dan hasil yang diperoleh dalam analisa kualitas air

    pada kolam pemeliharaan ikan mas koi.

    d. Dokumentasi

    Dokumentasi merupakan cara untuk mengambil data yang digunakan untuk

    menguatkan data sebelumnya dengan cara pengambilan gambar. Menurut Zain

    (2013), metode dokumentasi merupakan salah satu cara mencari data mengenai

    hal – hal atau variabel berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah,

    prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.

    3.3.2 Data Sekunder

    Data sekunder adalah data yang telah diterbitkan sebelumnya. Data sekunder

    didapatkan dari harian, majalah, bulletin dan media masa lain yang mengutip data

    dari sumber-sumber lain yang menerbitkannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004).Data

    Sekunder selama penelitian diperoleh dari laporan-laporan pustaka yang

    menunjang, serta dari lembaga pemerintah, pihak swasta yang berhubungan

    maupun masyarakat yang terkait dengan Biomarker sel CD4 ikan mas koi

    (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) pada kolam

    pemeliharaan.

    3.4 Metode Analisis Data

    Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

    - Analisis pengambilan darah ikan untuk diambil darah ikannya.

  • 28

    - Analisis perhitungan sel darah merah dan sel darah putih.

    - Analisis smear darah ikan mas koi untuk diketahui struktur darah ikan.

    - Analisis CD4 menggunakan metode Imunositokimia.

    - Analisis infeksi Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas koi dengan metode PCR

    (Polymerase Chain Reaction).

    - Analisis data kualitas air dilakukan dengan dibandingkan data kualitas air yang

    diteliti dengan nilai optimal parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan mas.

    3.4.1 Teknik Pengambilan Sampel Ikan

    Pengambilan sampel ikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    - Diambil sampel ikan mas koi dengan jaring. Pengambilan sampel ikan

    dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa ikan mas koi termasuk kedalam

    kriteria ikan yang terindikasi Koi Herpes Virus (KHV).

    - Diambil sampel ikan sebanyak 1 kali pada kolam pemeliharaan ikan mas koi.

    3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Air

    Pengambilan sampel air dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    - Diambil sampel air dengan botol plastik volume 600 ml sebanyak 3 botol

    dengan 3 kali ulangan.

    - Dilakukan pengukuran parameter kualitas air secara langsung (in situ) yang

    meliputi: suhu, kecerahan, pH, dan oksigen terlarut (DO).

    - Dilakukan pengukuran parameter kualitas air dengan analisis laboratorium yaitu

    amonia.

    3.5 Prosedur Penelitian

    3.5.1 Metode PCR

    Menurut BKI (2016) prosedur pelaksanaan PCR untuk mendeteksi DNA

    virus KHV adalah sebagai berikut:

  • 29

    A. Ekstarasi DNA

    - Dimasukan sampel ikan ± 20 mg kedalam tabung 1.5 ml kemudian

    dimasukan 900 µL GT Buffer. Hancurkan dengan Pastle Penggerus

    - Disentrifius 12000 rpm selama 3 menit

    - Ditambahkan 40 µL silica (1 g/ml) kedalam tabung baru. Campurkan silica

    secara merata.

    - Dipindahkan 600 µL bagian atas larutan yang sudah di sentrifius kedalam

    tabung 1,5 ml yang telah terisi 40 ul silica (1 g/ml). Di Vortex hingga merata.

    - Disentrifius pada 12000 rpm selama 15 detik kemudian buang larutan atas.

    - Dicuci pellet silica dengan 500 µL GT Buffer. Divortex pellet sillica sampai

    larut.

    - Disentrifius pada 12000 rpm selama 15 detik. Kemudian buang larutan atas

    - Dicuci pellet silica dengan 1 ml Ethanol 70% . Divortex pellet silica sampai

    larut.

    - Disentifius pada 12000 rpm selama 15 detik, kemudian buang Ethanol

    sampai kering.

    - Ditambahkan 400 µL DEPC ddH2O kedalam pellet silica. Divortex sampai

    terlarut. Diinkubasi pada suhu 55ºC selama 10 menit. Divortex sampai larut

    kemudian di sentrifius 12000 rpm selama 2 menit.

    - Dipindahkan 200 µL larutan atas kedalam tabung 1.5 ml baru.

    - Larutan siap untuk tahapan reaksi.

  • 30

    B. Amplifikasi

    1. Komposisi Reagen Amplifikasi

    No Pereaksi Jumlah/Volume Pereaksi

    1 2x PCR Master Mix Solution

    12,5 µl

    2

    Foward (20 pMol) Reverse (20pMol)

    0,75 µl

    0,75 µl

    3 Template DNA

    4 µl

    4 Aquades Steril

    7 µl

    Total Volume

    25 µl

    2. Profil Amplifikasi

    No Pereaksi Suhu (ºC) Lama Jumlah Siklus

    1 Pre-denaturation

    94 2 menit 1

    2 Denaturation

    94 30 detik

    35 3 Anealing

    55 30 detik

    4 Extension

    72 60 detik

    5 Final Elongation

    72 5 menit 1

    C. Elektrophoresis

    - Disiapkan parafilm di depan unit elektrophoresis.

    - Disiapkan 2 µL loding dye buffer 6x dengan jumlah disesuaikan dengan

    sampel yang akan di elektrophoresis.

    - Diambil DNA marker sebanyak 5 µL dan masukan ke sumur (1) pada gel

    agarosa 2% yang telah diberi Maestrisafe (Pewarna DNA)

    - Diambil produk PCR masing – masing 10 µL (termasuk kontrol positif)

    - Dimasukan kontrol positif + loading dye buffer 6x kedalam sumur (2)

    - Dimasukan kontrol negatif + loading dye buffer 6x kedalam sumur (3)

  • 31

    - Dimasukan sampel + loading dye buffer 6x kedalam sumur (4) dan

    seterusnya

    - Dilakukan elektrophoresis pada voltase 120 volt hingga indikator warna

    loading dye buffer bergerak ¾ bagian dari panjang gel.

    - Diangkat gel agarosa.

    - Diamati gel dengan UV Transilluminator.

    - Didokumentasikan dengan kamera polaroid.

    D. Pembacaan Hasil

    Gambar 2. Hasil uji PCR

    Keterangan gambar:

    A. Marker

    B. Kontrol positif KHV di 290 bp

    C. Kontol negatif KHV

    D. Sampel positif KHV di 290 bp

    3.5.2 Kualitas Air

    Kualitas air dalam budidaya perikanan air tawar sangat menentukan dalam

    keberhasilan suatu usaha. Kualitas air merupakan faktor terpenting dalam

    pemeliharaan organisme perairan. Pengelolaan kualitas air adalah salah satu

    usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh

    organisme (Hariyadi et al. 1992).

  • 32

    A. Parameter Fisika

    1. Suhu

    Prosedur pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer adalah

    sebagai berikut:

    - Dicelupkan thermometer langsung ke dalam air dengan membelakangi sinar

    matahari sampai batas skala baca.

    - Dibiarkan 2-5 menit sampai skala suhu pada thermometer menunjukan angka

    yang stabil.

    - Pembacaan skala thermometer dilakukan dengan cepat setelah mengangkat

    thermometer dari air.

    2. Kecerahan

    Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran kecerahan perairan

    menggunakan secchi disk adalah sebagai berikut:

    - Dimasukkan secchi disk ke dalam perairan.

    - Diukur batas tidak tampak pertama kali dan dicatat sebagai d1.

    - Dimasukkan secchi disk ke dalam perairan.

    - Diangkat secchi disk perlahan-lahan.

    - Dilihat batas tampak pertama kali dan dicatat sebagai d2.

    - Dihitung kecerahan dengan rumus : 𝑑 =𝑑1+𝑑2

    2

    B. Parameter Kimia

    1. Oksigen Terlarut (DO)

    Menurut Hariyadi et al. (1992), adapun cara untuk mengukur DO perairan

    yaitu sebagai berikut:

    - Disiapkan botol DO dan mencatat volumenya.

  • 33

    - Dimasukkan botol DO kedalam perairan dengan posisi botol dimiringkan dan

    semakin tegak bila botol penuh.

    - Ditutup botol DO didalam air setelah botol terisi penuh dan dipastikan tidak ada

    gelembung.

    - Ditambahkan 2 ml MnSO4 dan 2 ml NaOH + KI pada air sampel.

    - Dihomogenkan dengan cara dibolak-balik.

    - Didiamkan hingga terbentuk endapan coklat.

    - Diberi 1-2 ml H2SO4 pekat pada endapan dan dikocok hingga larut.

    - Diberi 2-3 tetes amylum.

    - Dititrasi dengan Na-thiosulfat (Na2S2O3) 0.025 N hingga jernih pertama kali.

    - Dicatat ml Na2S2O3 yang terpakai sebagai ml titran.

    - Dihitung dengan rumus :

    Oksigen Terlarut (mg/l) = 𝜈 (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛)× Ν (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛) ×8 ×1000

    𝜈 (𝐵𝑜𝑡𝑜𝑙 𝐷𝑂)−4

    Keterangan:

    V (titran) : ml titrasi Na-thiosulfat

    N (titran) : normalitas Na-thiosulfat (0,025)

    2. Derajat Keasaman (pH)

    Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran derajat keasaman (pH) perairan

    menggunakan pH paper meliputi :

    - Dicelupkan pH paper kedalam perairan.

    - Didiamkan pH paper selama kurang lebih 2 menit.

    - Diangkat dan dikibas-kibaskan sampai setengah kering.

    - Dicocokkan dengan skala 1-14 yang tertera pada kotak standar pH.

    - Dicatat hasil pengukurannya.

  • 34

    3. Amonia

    Menurut SNI (2004) prosedur pengukuran kadar amonia air dapat adalah

    sebagai berikut:

    - Diambil 25 ml air sampel uji dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml.

    - Ditambahkan 1 ml larutan fenol, kemudian dihomogenkan.

    - Ditambahkan 1 ml natrium nitroprusid, kemudian dihomogenkan.

    - Ditambahkan 2,5 ml larutan pengoksidasi, kemudian dihomogenkan.

    - Ditutup erlenmeyer dengan plastik atau perefilm, dan dibiarkan hingga 1 jam.

    - Dimasukkan ke dalam cuvet ukur dengan spektrofotometer, dibaca dan

    dicatat serapannya pada panjang gelombang 640 μm.

    3.5.3 Pengambilan darah

    Pengambilan darah ikan dilakukan dari vena caudalis di antara sisik ikan dekat

    ekor menggunakan syringe 1 mL, kemudian diisi syringe dengan sedikit larutan

    NaSitrat 3,8%). Dimasukan jarum syringe dari belakang anal ke arah vertebrate

    (tulang belakang) hingga jarum syringe menyentuh tulang. Dihisap darah perlahan

    sebanyak 1 mL kemudian jarum syringe dilepas, dan sampel darah dipindahkan

    ke dalam tabung penyimpan darah (botol vial) yang telah diisi dua tetes larutan

    NaSitrat 3,8%. Darah yang telah diambil menjadi darah stok

    3.5.4 Metode smear

    Perhitungan diferensial leukosit (neutrofil, monosit dan limfosit) adalah

    sebagai berikut:

    A. Pembuatan sediaan apus darah

    Kaca objek dibersihkan dengan etanol. Kemudian diteteskan darah ikan uji

    sekitar 1 cm dari ujung sebelah kiri kaca objek. Kemudian sisi kiri kaca objek

    dipegang dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas dipegang dengan

    tangan kanan dan diletakkan di depan tetesan darah membentuk sudut sekitar 30o

  • 35

    dari kaca objek membuka ke kanan. Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan

    darah kemudian digeser kearah kanan sehingga darah tersebut akan menyebar

    sepanjang sisi kaca pemulas. Sudut antara kedua kaca objek harus dijaga agar

    tetap 30o kemudian kaca pemulas didorong dengan mantap dan cepat sepanjang

    kaca objek, selanjutnya dikeringanginkan dan siap untuk diwarnai.

    B. Cara pewarnaan giemsa

    Sediaan apus darah diletakkan di baki dengan sediaan apus di sebelah atas.

    Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit

    kemudian kelebihan methanol yang terdapat pada sediaan dibuang, selanjutnya

    digenangi dengan giemsa selama 25 menit. Dibilas dengan akuades dan

    dikeringanginkan.

    3.5.5 Metode Imunositokimia

    Metode Immunocytochemistry / imunositokimia dilakukan dengan

    menggunakan sampel darah untuk apusan dengan urutan kerja yaitu dengan

    diambil darah menggunakan spuit 1cc. Satu tetes darah diletakkan diatas objek

    gelas dan diulas tipis. Sediaan hasil olesan darah tipis ini kemudian difiksasi

    kedalam larutan methanol selama 10 menit. Sediaan selanjutnya ditetesi dengan

    normal goat serum dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Sediaan

    ditetesi dengan antibody primer yang berupa antiKHV Monoklonal antibody lalu

    inkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan

    larutan PBS selama 10 menit, selanjutnya ditiriskan diatas kertas tissue. Sediaan

    ditetesi dengan antibody sekunder dan ditambah dengan cairan biotinylated

    secondary antibody selama 10 menit. Sediaan dicuci menggunakan PBS selama

    10 menit, kemudian ditiriskan diatas kertas tissue. Sediaan kemudian diinkubasi

    dengan streptavidin-peroxidase conjugate selama 5 menit. Selanjutnya sediaan

    dicuci lagi dengan PBS selama 10 menit, lalu tiriskan diatas kertas

  • 36

    tissue.Selanjutnya sediaan diinkubasi dengan substrat-chromogen pada suhu

    kamar selama 15 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan aquades selama 10

    menit. Sediaan kemudian dilakukan counterstain hematoxylin selama 10 menit.

    Dicuci dengan aquadesh dan mounting dengan entellan neu untuk pengamatan di

    bawah mikroskop cahaya. Hasil positif apabila dalam sediaan yang telah dilakukan

    pewarnaan menggunakan streptavidin-biotin terlihat warna coklat

    kemerahan/keemasan.

    3.5.6 Pengamatan Jumlah Sel Darah Putih

    Darah ikan yang telah tercampur dengan anti koagulan diambil dengan pipet

    leukosit sebanyak 0,5 µL, kemudian diencerkan dengan larutan Turk dalam pipet

    leukosit sampai menunjukkan angka 11 µL. Setelah itu darah yang telah tercampur

    dikocok hingga homogen dalam pipet tersebut. Kemudian campuran tersebut

    diambil 2 tetes dan dimasukkan dalam kamar hitung Haemocytometer dan ditutup

    dengan cover glass, sebelum dimasukkan ke dalam Haemocytometer terlebih

    dahulu dibuang 2 tetes dimaksudkan agar larutan yang diambil benar – benar yang

    telah homogen. Dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran

    40x dan dihitung banyaknya jumlah leukosit.

    Penghitungan Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)

    Mikroskop diletakkan pada meja yang datar, lensa kondensor diturunkan atau

    diafragma dikecilkan, kamar hitung dengan bidang bergarisnya diletakkan dibawah

    lensa obyektif dan fokus mikroskop diarahkan pada garis – garis tersebut. Leukosit

    dihitung pada keempat bidang besar (kotak warna hijau). Perhitungan dimulai dari

    sudut kiri atas, terus ke kanan, kemudian turun ke bawah dan dari kanan ke kiri.

    Cara seperti ini dilakukan pada keempat bidang besar. Penghitungan dilakukan

    dengan catatan sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis batas

  • 37

    sebelah kanan atau garis bawah tidak boleh dihitung (Bijanti, 2005). Jumlah

    Leukosit dihitung dengan menggunakan rumus:

    Leukosit = N × 1 1

    4 area × 0,1 (volume)× 20 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

    Keterangan:

    N : Jumlah Leukosit Terhitung (Bijanti, 2005).

    3.5.7 Pengamatan Jumlah Sel Darah Merah

    Peralatan yang digunakan adalah pipet eritrosit ukuran 11 µL, cover glass,

    kamar hitung Neubauer, Mikroskop Cahaya, Counter. Bahan yang digunakan

    adalah sampel darah ikan, Natrium Sitrat 3,8% (anti koagulan) dan larutan hayem.

    Prosedur kerja : darah ikan yang telah dicampur dengan anti koagulan di ambil

    dengan pipet eritrosit sebanyak 0,5 µL kemudian diencerkan dengan larutan

    hayem dalam pipet eritrosit sampai menunjukkan angka 11 µL. Setelah itu darah

    yang telah tercampur dikocok hingga homogen dalam pipet tersebut kemudian

    campuran tersebut diambil sedikit (20µL) dan dimasukkan dalam kamar hitung

    improved neubauer dan ditutup dengan cover glass, sebelum memasukkan

    kedalam improved neubauer terlebih dahulu dibuang 2 tetes dimaksudkan agar

    larutan yang diambil benar – benar yang telah homogen. Dengan menggunakan

    mikroskop cahaya banyaknya dihitung jumlah eritrosit pada semua kotak eritrosit.

    Perhitungan Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

    Mikroskop diletakkan pada meja yang datar, lensa kondensor diturunkan atau

    diafragma dikecilkan, fokus diatur dahulu dengan memakai lensa obyektif 10X,

    diatur sehingga gambaran kamar hitung bujur sangkar dengan jelas batasnya

    serta distribusi sel darah merah tampak jelas. Selanjutnya lensa obyektif di ubah

    45X dengan hati – hati dan sel darah merah dihitung pada kotak bujur sangkar

    kecil (warna merah), sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis atas

  • 38

    haruslah dihitung, sedangkan sel yang menyinggung garis batas sebelah kanan

    atau garis bawah tidak boleh dihitung (Bijanti, 2005).

    Eritrosit = N × 1 1

    5area × 1

    250 (𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒)

    × 200

    Keterangan:

    N : Jumlah Eritrosit Terhitung

    3.5.8 Hematokrit

    Pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode

    mikrohematokrit. Mikrohematokrit berheparin dimasukakan ke dalam sampel

    darah yang telah dikoleksi, hingga darah mengisi kurang lebih tiga per empat (3/4)

    bagian pipa kapiler tersebut. Selain itu salah satu ujung pipa kapiler disumbat

    dengan cara ditusukkan pada lilin penyumbat. Kemudian disentrifugasi selama 5

    menit menggunakan microhematocrit centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm.

    Selain itu dibaca dengan menggunakan hematocrit reader dan hasilnya dinyatakan

    dalam % (Vonti, 2008).

    3.5.9 Diferensial Leukosit

    Preparat ulas darah dibuat untuk mengetahui jenis dan jumlah sel-sel leukosit.

    Darah diteteskan pada gelas obyek lalu diratakan dan dikering-udarakan. Preparat

    difiksasi dengan methanol selama 5 menit lalu dibilas dengan akuades dan

    dikering-udarakan kembali. Preparat diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 15

    menit lalu dibilas dengan akuades dan dikering-udarakan. Preparat yang telah

    kering diamati di bawah mikroskop untuk dihitung persentase sel-sel leukosit

    (limfosit, monosit, neutrofil, eusinofil dan basofil). Sel-sel leukosit dihitung sampai

    100 sel, lalu dikelompokkan dan dipersentasekan sesuai jenisnya dengan rumus:

  • 39

    % Limfosit = 𝐿

    100𝑥 100% % Monosit =

    𝑀

    100𝑥 100%

    % Neutrofil = 𝑁

    100𝑥 100% % Basofil =

    𝐵

    100𝑥 100%

    % Eusinofil = 𝐸

    100𝑥 100%

  • 40

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Keadaan Umum Lokasi Penetlitian

    Lokasi penelitian berada di daerah Kabupaten Blitar, Jawa Timur tepatnya

    berada di Desa Babadan. Penentuan lokasi penelitian yang berada di desa

    Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar didasarkan pada survei ke

    wilayah budidaya ikan mas koi yang memiliki indikasi terserang KHV. Lokasi

    Kabupaten Blitar berada di sebelah selatan Khatulistiwa. Tepatnya terletak antara

    111°40¹-112°10¹ Bujur Timur dan 7°58¹-8°9¹51¹¹ Lintang Selatan.

    Hal ini secara langsung mempengaruhi perubahan iklim. Berdasarkan

    topografinya kabupaten Blitar terletak pada ketinggian 40-800 meter (dpl).

    Kabupaten Blitar termasuk kabupaten dengan kategori iklim tipe C.3 dimana rata-

    rata curah hujan di kabupaten Blitar mencapai 1.478,8 mm dengan curah hujan

    tertinggi 2.618,2 mm per tahun dan terendah 1.024,7 per tahunnya dengan suhu

    terendah di kabupaten Blitar mencapai 18oC dan suhu tertinggi mencapai 30oC.

    Kabupaten Blitar juga dipisahkan oleh aliran sungai Brantas menjadi Blitar utara

    (daratan rendah lahan sawah dan beriklim basah) dan Blitar selatan (lahan kering

    yang cukup kritis dan beriklim kering) (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2015).

    Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar memiliki 11 kelurahan. Kelurahan

    tersebut meliputi Kelurahan Nglegok, Desa Bangsri, Desa Dayu, Desa Jiwut, Desa

    Kedawung, Desa Kemloko, Desa Krenceng, Desa Modangan, Desa Ngoran, Desa

    Penataran, dan Desa Sumberasri. Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Nglegok

    desa Kemloko. Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Blitar Kecamatan

    Nglegok memaparkan bahwa penduduk Desa Kemloko berjumlah 4.597 jiwa.

    Desa Kemloko memiliki 2 dusun,10 Rukun Warga (RW) dan 35 Rukun Tetangga

    (RT).

  • 41

    4.2 Gambaran Lokasi Pengambilan Sampel

    Pengambilan sampel dilakukan di salah satu kolam milik petani ikan yang

    berlokasi di Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Kolam

    pemeliharaan berada di tengah – tengah area persawahan. Kolam pemeliharaan

    berjenis kolam tanah dimana dasar kolam berupa tanah. Sumber air berasal dari

    aliran sungai setempat. Kolam pemeliharaan memiliki kedalaman 1,5 meter

    dengan ketinggian air 1 meter. Kolam pemeliharaan tersebut mempunyai 1 outlet

    dan 1 inlet. Kolam pemeliharaan ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV

    dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Kolam pemeliharaan ikan koi

    4.3 Hasil Analisa Ikan Koi

    Ikan mas koi (Cyprinus carpio) sebagai bahan pengamatan penelitian

    merupakan ikan mas koi yang diperoleh dari kolam pemeliharaan ikan di desa

    Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Ikan koi diambil sebanyak 1 kali

    dengan ukuran ikan merupakan ikan ukuran konsumsi. Pada sampel ikan mas koi

    dipilih ikan yang memiliki gejala klinis terserang KHV. Pada proses pengambilan

    sampel, ikan koi diambil dengan cara menjaring ikan secara langsung di dalam

    kolam. Kemudian ikan di masukan kedalam wadah berupa bak dan dilihat ciri-ciri

    klinis gejala Koi Herpes Virus (KHV). Sampel ikan kemudian diambil untuk di uji

  • 42

    ada atau tidaknya keberadaan Koi Herpes Virus (KHV). Ikan yang diambil dan di

    bawa adalah ikan dengan gejala klinis ciri-ciri berenang tidak seimbang, warna

    tubuh cenderung pucat, terdapat luka pada tubuh, dan mata cekung. Gejala klinis

    yang ditunj