iirepository.ub.ac.id/6307/1/gus aryadi.pdf · 2020. 9. 9. · 2012), karena secara langsung suhu...
TRANSCRIPT
-
BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI
KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
GUS ARYADI
NIM. 135080100111061
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus carpio) YANG TERINFEKSI
KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM PEMELIHARAAN
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
GUS ARYADI
NIM. 135080100111061
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
iii
-
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Malang, 29 Juni 2017
Mahasiswa,
Gus Aryadi NIM.135080100111061
-
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Disampaikan Terima Kasih Kepada:
Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi
Yang Telah Membiayai : Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :
063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017
Dengan Judul : “Produksi Dan Pengembangan Produk Antiviral Berbasis Peridinin Chloropyll Cell Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan
Ekspor”
Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si. Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut: 1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta
2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani
3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya
4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya
5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto
6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh
7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina
8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni
9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.
10. Linda Ayu Pratiwi
11. Leny Rosiana
12. Wildan Effendy
Ketua Peneliti, (Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si) NIP. 19730404 200212 2 001
-
vi
RINGKASAN
Gus Aryadi. Biomarker Sel CD4 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Kolam Pemeliharaan (Di bawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si).
Ikan koi merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Indonesia. Masalah utama dalam pemeliharaan ikan hias di Indonesia hingga saat ini salah satunya adalah tentang penyakit. Suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi berkisar antara 20 – 30oC dan pH berkisar antara 6,5 – 8. Suhu air diketahui mempunyai peran didalam serangan infeksi penyakit pada hewan air misalnya serangan virus. Koi Herpes Virus (KHV) pada umumnya dapat hidup dan berkembang pada temperatur antara 18-27°C. KHV merupakan patogen ikan yang dominan menginfeksi ikan mas dan ikan koi (Cyprinus carpio dan C. carpio) dan telah menyebabkan penyakit dan kematian massal. Pada ikan, respons imun bawaan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal pertahanan menghadapi invasi patogen. CD4 adalah koordinator respons kekebalan tubuh, misalnya, memberikan bantuan pada sel B dalam produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap antigen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biomarker sel CD4 yang terdapat pada ikan mas koi yang terinfeksi KHV pada kolam pemeliharaan dengan metode imunositokimia. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April – Juni 2017, pengambilan sampel di desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini menggunakan metode survei dengan penjelasan secara deskriptif, menggambarkan keadaan lokasi penelitian secara nyata sesuai dengan keadaan di lapang dan dibuktikan melalui analisa data.
Jumlah eritrosit (sel darah merah) pada pengamatan ikan yang terinfeksi KHV adalah 97000 sel/mm3, sedangkan ikan sehat 2110000 sel/mm3. Jumlah eritrosit ikan yang terinfeksi KHV lebih rendah daripada ikan sehat. Eritrosit berguna untuk transfer oksigen dan nutrisi ke seluruh organ tubuh ikan. Jumlah leukosit pada pengamatan ikan yang terinfeksi KHV adalah 178000 sel/mm3, sedangkan ikan sehat 71750 sel/mm3. Jumlah leukosit ikan yang terinfeksi KHV lebih tinggi daripada ikan sehat. Leukosit berguna untuk sistem pertahanan tubuh ikan terhadap patogen. Hasil pengukuran nilai hematokrit 15 % dan berada di bawah kisaran normal. Nilai hematokrit berguna untuk mengetahui terjadinya anemia atau tidaknya pada darah. Hasil prensentasi difernsial leukosit ikan terinfeksi KHV adalah 69 % limfosit, 11 % monosit dan 20 % neutrofil, sedangkan ikan sehat adalah 85 % limfosit, 5 % monosit dan neutrofil 10 %. Diferensial leukosit berguna untuk mengetahui komposisi jenis leukosit serta untuk mengetahui keadaan kesehatan ikan. Hasil positif pemeriksaan Imunositokimia ditunjukan dengan warna coklat keemasan. Warna keemasan menunjukan adanya lokasi antigen dan di antigen tersebut terdapat seldarah limfosit yang mana CD4 merupakan bagian dari limfosit T yang terletak dipermukaan sel. Kisaran suhu 25 - 28OC, nilai kecerahan 100%, pH 8 - 8,2, nilai DO 8,7 – 10,12, nilai amonia 0,03 – 0,09. Berdasarkan data parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran normal untuk kehidupan Ikan koi walaupun suhu mengalami fluktuasi dan amonia mempunyai nilai diatas normal. Salah satu penyebab menurunnya sistem imun ikan diduga terjadi akibat meningkatnya nilai ammonia dan fluktuasi suhu.
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah – Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
laporan Skripsi yang berjudul “BIOMARKER SEL CD4 IKAN MAS KOI (Cyprinus
carpio) YANG TERINFEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) PADA KOLAM
PEMELIHARAAN”. Laporan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
dinyatakan lulus dari Universitas Brawijaya.
Malang 29 Juni 2017
Penulis
-
viii
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................... Error! Bookmark not defined.ii PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................................................iv UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................................... v RINGKASAN ....................................................................................................................vi KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xii 1. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 5
1.4 Kegunaan............................................................................................................... 5
1.5 Tempat dan Waktu .............................................................................................. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 6 2.1 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) ....................................................................... 6
2.1.1 Klasifikasi ....................................................................................................... 6 2.1.2 Morfologi ........................................................................................................ 6 2.1.3 Habitat ............................................................................................................. 7
2.2 Sistem Pertahanan Ikan ..................................................................................... 8 2.3 Mekanisme Serangan Penyakit Ke Tubuh Ikan ......................................... 14 2.4 KHV (Koi Herpes Virus) ................................................................................... 16
2.4.1 Gejala Klinis KHV ....................................................................................... 17 2.4.2 Mekanisme Infeksi Virus KHV ................................................................. 18 2.4.3 Diagnosis KHV ............................................................................................ 19
2.4 Darah .................................................................................................................... 20 2.4.1 Sel darah putih ............................................................................................ 20 2.4.2 Cell Diferentiation Type 4 (CD4) ............................................................. 21
2.5 Parameter Fisika Kualitas air ......................................................................... 22 2.5.1 Suhu............................................................................................................... 22
2.6 Parameter Kimia Kualitas Air ......................................................................... 23 2.6.1 pH ................................................................................................................... 23 2.6.2 DO................................................................................................................... 23 2.6.3 Amonia .......................................................................................................... 24
3. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 25 3.1 Materi Penelitian ................................................................................................ 25 3.2 Metode Penelitian .............................................................................................. 25 3.3 Pengumpulan Data ............................................................................................ 26
3.3.1 Data Primer .................................................................................................. 26 3.3.2 Data Sekunder ............................................................................................. 27
3.4 Metode Analisis Data ........................................................................................ 28 3.4.1 Teknik Pengambilan Sampel Ikan .......................................................... 28
-
ix
3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Air ............................................................ 28 3.5 Prosedur Penelitian .......................................................................................... 29
3.5.1 Metode PCR ................................................................................................. 29 3.5.2 Kualitas Air .................................................................................................. 32 A. Parameter Fisika ............................................................................................. 32 B. Parameter Kimia .............................................................................................. 33 3.5.3 Pengambilan darah .................................................................................... 34 3.5.4 Metode smear .............................................................................................. 35 3.5.5 Metode Imunositokimia ............................................................................ 35 3.5.6 Pengamatan Jumlah Sel Darah Putih ................................................... 36 3.5.7 Pengamatan Jumlah Sel Darah Merah ................................................. 37 3.5.8 Hematokrit .................................................................................................... 38 3.5.9 Diferensial Leukosit ................................................................................... 39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 40 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penetlitian ............................................................... 40 4.2 Gambaran Lokasi Pengambilan Sampel ..................................................... 41 4.3 Hasil Analisa Ikan Koi ...................................................................................... 42 4.4 Hasil Uji PCR....................................................................................................... 43 4.5 Pengamatan dan Perhitungan Darah Ikan .................................................. 44
4.5.1 Gambaran Darah Ikan ............................................................................... 44 4.5.2 Jumlah Sel Darah Merah .......................................................................... 46 4.5.3 Jumlah Sel Darah Putih ............................................................................ 47 4.5.4 Hematokrit .................................................................................................... 47 4.5.5 Diferensial Leukosit ................................................................................... 48
4.6 Hasil Identifikasi CD4 Menggunakan Metode Imunositokimia .............. 52 4.7 Hasil Analisia Kualitas Air Kolam Sampel Ikan Koi ................................. 54
4.7.1 Parameter Fisika ......................................................................................... 55 4.7.2 Parameter Kimia ........................................................................................ 58
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 62 5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 62 5.2 Saran ..................................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 63
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 70
-
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Mas Koi 8 2. Kolam Pemeliharaan Ikan Koi 43 3. Gejala Klinis Ikan Koi KHV 44 4. Hasil Pengamatan Darah Menggunakan Mikroskop 46 5. Hasil Pengamatan Diferensial Leukosit 49 6. Hasil Pengamatan Sel CD4 53 7. Sel CD4 54 8. Grafik Pengukuran Suhu 56 9. Grafik Kecerahan 58 10. Grafik pH 59 11. Grafik DO 60 12. Grafik Amonia 61
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil Hematokrit 48 2. Hasil Persentase Diferensial Leukosit 49 3. Data Tabulasi Parameter Kualitas Air 55
-
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan Uji PCR 71 2. Alat dan Bahan Pengukuran Kualitas Air 72 3. Hasil Uji PCR 73 4. Perhitungan Eritrosit dan Leukosit 73
-
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan hias memiliki nilai tambah yang menarik. Banyak hal yang dapat dijadikan
sebagai faktor pendukung dalam melakukan usaha ikan hias, diantaranya
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak peminat yang sudah menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat. Masalah utama dalam budidaya ikan hias di
Indonesia hingga saat ini salah satunya adalah tentang penyakit. Penyakit
menyebabkan kerugian ekonomis karena dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, padat
tebar yang tinggi dan kematian (Prasetya et al, 2013).
Lingukungan perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam
pemeliharaan ikan. Air merupakan media untuk hidup ikan, dalam pengelolaannya
harus benar – benar diperhatikan standar nilainya. Menurut Agus et al, (2002)
dalam Putriana et al, (2015), Salah satu faktor utama dalam pemeliharaan ikan
yaitu suhu. Suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi berkisar antara
20 – 30oC dan pH berkisar antara 6,5 – 7. Suhu dapat mempengaruhi aktivitas
penting ikan seperti pernapasan, pertumbuhan dan reproduksi. Suhu yang tinggi
dapat mengurangi oksigen terlarut dan mempengaruhi selera makan ikan
(Kelabora, 2010).
Peran temperatur pada penularan penyakit sangat penting pada hewan
poikilothermik vertebrata (Ahne et al, 2002 dalam Madyowati et al, 2012). Suhu air
diketahui mempunyai peran didalam serangan infeksi penyakit pada hewan air
misalnya serangan virus dengan mempercepat replikasi virus didalam inang
sambiI menekan proses imun inang (Alcorn et al, 2002 dalam Madyowati et al,
2012), karena secara langsung suhu air akan mempengaruhi respon imun seluler
dan humoral didalam tubuh ikan. Salah satu penyakit yang sering menyerang ikan
-
2
koi adalah Koi Herpes Virus (KHV). KHV pada umumnya dapat hidup dan
berkembang pada temperatur antara 18-27°C (Lio-Po, 2011 dalam Pradana et al,
2015) dengan angka kematian di kolam yang terinfeksi yaitu 80 - 90% pada benih
serta ikan dewasa (Perelberg et al, 2003 dalam Pradana et al, 2015). Virus KHV
pada ikan koi dan ikan mas sangat peka terhadap lingkungan pada suhu 23°C
dapat menyebabkan kematian mencapai 90 - 95% (Madyowati et al, 2012).
Mekanisme serangan virus pada tahapan pertama terjadinya infeksi adalah
penyerangan (attachment) dimana reseptor mulai mengenali virus tersebut pada
lapisan membran plasma. Proses berikutnya adalah penetrasi (penetration) yaitu
masuknya partikel virus kedalam sel inang (host) selanjutnya virus akan melepas
bagian luar yang melapisi tubuhnya (uncoating) untuk masuk kedalam membran
sel atau saluran lisosom. Berikutnya terjadi proses transkripsi, yaitu virus mulai
membuat rekaman untuk mRNA yang selanjutnya akan diterjemahkan sebagai
protein. Proses selanjutnya DNA virus akan memperbanyak diri (replication) untuk
kemudian membentuk virion dan apabila telah sempurna akan melepaskan diri
keluar dari sel untuk menginfeksi sel yang lainnya (Roberts, 1989).
Gejala yang ditimbulkan dari KHV, yaitu (1) produksi lendir (mucus) berlebih
sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir
menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat; (2) insang berwarna pucat dan
terdapat bercak putih atau coklat yang sebenarnya adalah kematian sel-sel insang
atau “gill necrosis”, selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tepi insang dan
akhirnya membusuk; (3) pendarahan (haemorage) di sekitar panggul dan ujung
sirip serta permukaan tubuh lainnya; (4) adanya kulit melepuh ; (5) ginjal berwarna
pucat (Rahmawati et al, 2016).
Menurut Uribe et al. (2011) dalam Arsal (2014), Adanya infeksi akan
ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan kekebalan tubuh bawaan (non-
spesifik) yang merupakan pertahanan dasar pertama yang aktif ketika terjadi
-
3
infeksi baik viral maupun bakterial. Pada ikan, respons imun bawaan memiliki
peranan yang sangat penting dalam hal pertahanan menghadapi invasi patogen.
CD4 adalah Subpopulasi dari limfosit yaitu sebagai sel penolong T, T (Thymus
atau glandula thymus) merupakan organ limfatik yang berperan penting,
khususnya dalam pembuatan sel darah putih yang disebut limfosit T (bagian
sistem imun tubuh) dan membantu dalam menanggulangi infeksi. CD4 adalah
koordinator respons kekebalan tubuh, misalnya, Memberikan bantuan pada sel B
dalam produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap
antigen. CD atau Cluster Diferensiasi adalah protein yang diekspresikan pada
permukaan sel dari sistem hematopoetik. Limfosit T CD4 menempati posisi sentral
dalam mengatur fungsi kekebalan tubuh.
Biomarker merupakan molekul penanda yang khas bagi sel, yang dapat
digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Manfaat dari biomarker yaitu untuk
diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi suatu penyakit. Biomarker dapat
sebagai penanda clustered damage pada DNA, aberasi kromosom jenis
pertukaran yang dapat berupa inter kromosom dan intra kromosom, dan profil
ekspresi gen pada sel limfosit darah tepi (Alatas, 2004). Biomarker sendiri penting
untuk mengetahui repon tubuh ikan khususnya sel maupun jaringan bila terinfeksi
oleh penyakit.
Berdasarkan permasalahan tersebut perlu adanya penelitian mengenai
Biomarker sel CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes
Virus) pada kolam pemeliharaan dengan tujuan untuk mengetahui biomarker sel
CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) serta
menganalisa kualitas air pada kolam pemeliharaan yang terdapat ikan positif KHV.
-
4
1.2 Rumusan Masalah
Ikan koi bukan merupakan komoditas baru di Indonesia, hanya saja kurang
dikenal jika dibandingkan dengan ikan mas koki. Ikan koi mempunyai nilai
ekonomis dan banyak peminat yang sudah menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat. Pemeliharaan ikan koi yang optimal bagi pertumbuhan ikan koi
berkisar antara suhu 20 – 30oC. Pemeliharaan yang kurang baik akan
menyebabkan suhu kolam tidak stabil. KHV menyebabkan penyakit setiap musim
semi dan musim gugur, pada saat suhu air mencapai 18- 27°C. Koi dan ikan mas
sangat peka terhadap lingkungan pada suhu 23oC kematian dapat mencapai 90-
95%. Adanya infeksi akan ditanggapi oleh sistem imun dengan mengaktifkan
kekebalan tubuh bawaan (non-spesifik) yang merupakan pertahanan dasar
pertama yang aktif ketika terjadi infeksi baik viral maupun bakterial. CD4 adalah
Subpopulasi dari limfosit yaitu sebagai sel penolong T. CD4 adalah koordinator
respons kekebalan tubuh, misalnya, memberikan bantuan pada sel B dalam
produksi antibodi, dan juga meningkatkan respon imun seluler terhadap antigen.
CD4 merupakan sistem imun yang seharusnya dapat menangkal penyakit, tetapi
akhir – akhir ini sel CD4 tidak dapat mempertahankan kekebalan tubuh dari
serangan virus KHV.
Pemeliharaan kolam yang buruk dan jarangnya
pengecekan kualitas air
penurunan suhu
sistem kekebalan
imun terganggu
kematian masal ikan
-
5
Rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana sel CD4 ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi virus KHV
(Koi Herpes Virus)
2. Bagaimana kondisi kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas koi (Cyprinus
carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes Virus)
1.3 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui biomarker sel CD4 ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi
virus KHV (Koi Herpes Virus).
2. Mengetahui kondisi kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas koi
(Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes Virus).
1.4 Kegunaan
Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi mengenai kualitas air pada
kolam pemeliharaan ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi
Herpes virus) dan biomarker sel CD4 ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi
KHV (Koi Herpes virus) sebagai acuan ataupun rujukan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
1.5 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di di desa Kemloko, Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar, di Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya, Laboratorium
Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya dan Balai Karantina Ikan, Sidoarjo, Jawa Timur, pada bulan
April – Juni 2017.
-
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio)
2.1.1 Klasifikasi
Berdasarkan sistem taksonomi menurut Udin dan Sitanggang (2010), ikan koi
digolongkan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordota
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Family : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Species : Cyprinus carpio
Gambar 1. Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) (Buzzle, 2016)
2.1.2 Morfologi
Menurut Susanto (2001) menyatakan bahwa ikan koi mempunyai badan
seperti torpedo dengan alat gerak berupa sirip, seperti sebuah sirip punggung
(dorsal fin), sepasang sirip dada (pectoral fin), sepasang sirip perut (ventral vin),
sebuah sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Sirip ini terdiri dari jari – jari
keras, jari – jari lunak dan selaput jari – jari. Sirip punggung mempunyai
-
7
mempunyai tiga jari – jari keras dan dua puluh jari – jari lunak, sirip dada dan sirip
ekor hanya mempunyai jari – jari lunak. Sirip perut hanya memiliki jari – jari lunak
sebanyak sembilan buah, sedangkan sirip anal mempunyai tiga jari – jari keras
dan lima jari – jari lunak.
Menurut Prayoga (2008), morfologi koi berbentuk bulat lonjong memanjang
dan sedikit pipih ke samping (compressed). Memiliki mulut yang dapat
disembulkan yang berguna untuk menangkap makanan. Serta memiliki sepasang
sungut di ujung samping mulutnya. Dengan alat ini, koi dapat mengenali
makanannya bahkan mencari di antara tumpukan lumpur.
2.1.3 Habitat
Esther dan Sipayung (2010), habitat asli ikan koi adalah di perairan yang
bersih dan selalu mengalir. Oleh sebab itu, kolam ikan harus dijaga agar kualitas
dan kebersihan airnya tetap dalam kondisi yang cocok untuk ikan koi, serta
memiliki sistem aliran air yang baik. Menurut Udin dan Sitanggang (2010), Koi
merupakan ikan hias yang hidup di daerah beriklim sedang (17 - 32°C). Koi tidak
tahan jika mengalami perubahan suhu yang drastis. Jika hidup pada suhu yang
terlalu rendah, dalam waktu singkat koi tidak akan bertahan hidup. Jika suhu air
turun hingga 7°C, biasanya ikan ini akan beristirahat di dasar kolam. Namun, bila
kolam dipasang alat sirkulasi air maka koi akan mampu bertahan hidup. Alat
sirkulasi ini dapat membantu mencegah kebekuan air sehingga suhu air lebih
hangat dan stabil.
Koi aslinya merupakan hewan yang hidup di air tawar, tetapi masih dapat
bertahan hidup dalam air yang agak asin, yakni sekitar 10 ppm. Koi merupakan
hewan yang hidup di iklim sedang dengan suhu 17 - 32oC. ikan koi dapat hidup di
kolam yang ada lumpurnya tetapi tidak terlalu banyak (Udin dan Sitanggang,
2010).
-
8
2.2 Sistem Pertahanan Ikan
Ikan seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri
terhadap patogen. Sistem pertahanan tersebut terdiri dari sistem pertahanan
konstitutif dan yang diinduksi (inducible). Sistem pertahanan konstitutif
menjalankan perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi,
dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Sistem pertahanan konstitutif
dikenal pula sebagai sistem pertahanan innate (bawaan atau alami). Sistem
pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquaired), harus diinduksi dengan
pemaparan pada patogen atau produk-produk yang berasal dari patogen (Irianto,
2005).
Ikan memiliki kemampuan respon imun humoral dan yang diperantai sel (cell
mediated immune respon). Selain itu pada ikan sudah terdapat respon imun
spesifik terhadap antigen (immunoglobulin). Selain itu organ limfoid (organ yang
merespon antigen) serta myeloid (organ penghasil darah) menjadi satu, yaitu pada
ginjal ikan teleostei (Irianto, 2005).
Pada ikan teleostei, ginjal merupakan organ limfoid penting. Secara umum
ginjal ikan terdiri dari tiga bagian yaitu ginjal anterior, bagian tengah, dan posterior.
Ginjal anterior merupakan situs yang memiliki kapasitas hematopoietik tertinggi
tetapi memiliki fungsi renal yang terbatas. Pada ginjal ditemukan adanya limfosit
mirip sel B dan sel T yang menunjukan peran jaringan limfoid ginjal dalam
mekanisme pertahanan tubuh. Organ limfoid sekunder meliputi limpa dan jaringan
limfoid yang berasosiasi dengan intestinum (gut-associated lymphoid tissue,
GALT) (Irianto, 2005).
Pada ikan teleostei terdapat dua macam sistem imun yaitu sistem imun
bawaan atau alamiah (innate) yang bersifat spesifik dan sistem imun dapatan
(adaptive) yang bersifat spesifik. Kedua macam sistem imun tersebut mirip dengan
sistem imun mamalia, meskipun akibat perkembangan evolusinya menyebabkan
-
9
ikan memiliki aspek imunitas yang spesifik. Perbedaan terbesar diantara mamalia
dan teleostei, yaitu pada teleostei tidak ada nodus limfatikus serta ontogeni
leukosit dan sistem imunnya sangat terpengaruh suhu karena sifat ikan yang
poikilotermal (Irianto, 2005).
Sistem imun non spesifik ikan, meliputi penghalang fisik (mukus, kulit, sisik
dan insang), pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Penghalang fisik ikan
teleostei meliputi kulit (sisik) dan mukus (lendir). Mukus memiliki kemampuan
menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit, insang dan mukosa. Mukus
ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan sebagai respon dari pemaparan
terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut dapat menghancurkan
patogen yang menginfeksi (Irianto, 2005). Sedangkan sisik atau kulit merupakan
pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan dalam
mengendalikan osmoralitas tubuh. Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah
patogen menginfeksi inang (Irianto, 2005).
Sistem imun non spesifik didukung oleh dua komponen utama yaitu respon
selular dan respon humoral (Irianto, 2005). Respon selular imun non spesifik
meliputi beberapa tipe mekanisme: inflamasi, fagositosis, fagositosis sebagai
penyaji antigen (antigen presenting cells) dan non spesific citotoxic cells. Inflamasi
merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh ikan untuk menjaga kondisi
kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik (Tizard, 1988 dalam
Irianto, 2005). Inflamasi ditandai dengan rasa sakit, pembengkakan, kulit memerah
atau peradangan, suhu tubuh naik atau kehilangan fungsi-fungsi fisiologis. Hal
tersebut merupakan respon protektif awal tubuh dalam upaya menghalangi
patogen dan menghancurkannya (Irianto, 2005).
Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular yang dilakukan
oleh monosit (makrofag) dan granulosit (netrofil). Proses fagositosis meliputi tahap
kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap pencernaan. Tahap
-
10
kemotaksis yaitu pergerakan sel fagosit yang terarah dibawah pengaruh
rangsangan kimiawi eksternal (produk patogen yang menginfeksi ataupun sel yang
rusak akibat infeksi patogen) (Tizard, 1988 dalam Irianto, 2005).
Setelah sel fagosit bertemu dengan suatu partikel yang akan ditelannya,
partikel tersebut diikat kuat-kuat, proses ini disebut perlekatan. Sekali terpasang
kuat pada membrane sel fagosit, partikel yang melekat tampak merangsang
membran sel lokal dan aktivitas mikrotubul, yang sebaliknya menyebabkan
sitoplasma mengalir diatas dan sekitar partikel dan menelannya, proses ini disebut
penelanan. Sebuah partikel yang terkurung dalam sitoplasma sel fagosit
menempatkan dirinya dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran partikel
terjadi bila enzim hidrolitik yang biasanya tersimpan di dalam lisosom, dikosongkan
ke dalam fagosom. Hal ini terjadi sebagai akibat granula bermigrasi melalui
sitoplasma dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzim lisosom
dapat mencernakan beberapa dinding sel bakteri, sedangkan enzim proteolotik,
mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase bersifat letal bagi sebagian
mikroorganisme (Tizard 1988 dalam Irianto, 2005).
Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam
mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi
respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai
peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan
sel fagosit (Gillund et al. 2008). T cell receptor (TCR) mampu mengenali peptide
antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang masing -
masing merangsang CD 8+ T sel (cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+ T sel (helper-T
sel) (Gillund et al. 2008). Mekanisme lain dari pertahanan seluler adalah non
spesific cytotoxic cells (NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer
(NK). Sel NK merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel
sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung
-
11
pada produk-produk MHC (Kresno, 2001). Sel NK memegang peranan penting
dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai
penyakit infeksi, khususnya infeksi virus tanpa pengaktifan sebelumnya (Kresno,
2001).
Respon humoral imun nonspesifik meliputi beberapa tipe mekanisme dalam
perlawanan terhadap invasi patogen. Diantara tipe mekanisme tersebut,
komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahanan terhadap
infeksi virus (Affandi dan Tang, 2002). Komplemen adalah suatu komplek enzim -
enzim yang terdiri atas sebelas unsur protein yang terpisah, yang terdapat dalam
serum dan diduga dibentuk oleh makrofag-makrofag. Komplemen memiliki potensi
aktivitas antimikroba melalui siat-sifat penghancurannya (Nabib dan Pasaribu
1989). Sedangkan interferon adalah suatu polipeptida yang diproduksi selama
infeksi virus dan aktivitas antivirusnya bersifat spesifik (Affandi dan Tang, 2002).
Cara kerja interferon adalah dengan memasuki sel yang dapat diinfeksi virus dan
mencegah replikasi dari asam nukleus. Pada ikan pembentukan interferon ini
dipengaruhi oleh suhu (Affandi dan Tang, 2002).
Sistem imun spesifik (adaptive immunity) merupakan mekanisme interaksi
antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan aktifitas sel-sel
fagosit atau Antigen Presenting Cells (APC) yang memproses dan
mempresentasikan potongan-potongan antigen pada sel-sel imun spesifik (Kresno
2001). Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini
merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat
intraselular maupun ekstraselular (dalam cairan tubuh ataupun dalam darah)
(Kresno 2001). Antigen merupakan subtansi spesifik yang dapat merangsang
suatu reaksi – reaksi kekebalan yang spesifik. Umumnya subtansi antigen tersebut
berupa molekul besar seperti protein dan polisakarida (Nabib dan Pasaribu 1989).
-
12
Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk merangsang
limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen
berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptide (bukan proteinnya)
peptide antigen hasil pengolahan akan dipresentasikan bersama-sama dengan
molekul protein MHC (Major Histicompatibility Complex) tertentu membentuk
struktur yang unik pada permukaan sel makrofag atau APC dan dapat dikenali oleh
reseptor sel T (TcR). Pengenalan struktur ini oleh sel limfosit T, mengakibatkan
sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki
kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut (Kresno
2001). Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun spesifik pada dasarnya terdiri
dari respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel T dan respons humoral
yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Kresno 2001). Respon imun selular ini
sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselular. Sel teinfeksi dapat
dibunuh melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau
sel terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh organisme yang menginfeksinya.
Sub populasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali
mikroorgnisme bersangkutan melalui MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi limfosit
untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah
interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme
tersebut. Sedangkan sub populasi sel T yang lain disebut T-cytotoxic (Tc) berperan
dalam menghancurkan mikroorganisme intraselular yang disajikan melalui MHC
kelas I secara langsung (cell to cell contact). Selain itu juga menghasilkan gamma-
interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke sel-sel lain (Kresno
2001). Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya yaitu
antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon
ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi sel plasma yang
memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Antibodi memiliki
-
13
kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat
penghancurannya (Tizard 1988). Antibodi ini berikatan dengan antigen
membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan
mengakibatkan hancurnya antigen tesebut (Kresno 2001).
Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan bantuan
limfosit Th atas sinyal yang diberikan oleh makrofag. Makrofag sebagai APC
(Antigen Presenting Cells) akan menelan antigen yang berbentuk partikel maupun
yang larut, kemudian memprosesnya dengan degradasi, denaturasi atau
modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut pada
permukaan sel bersama-sama dengan MHC kelas II kepada sel T (Kresno 2001).
Pada respon imun juga berlaku respon primer yang membentuk klon sel memori.
Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu
menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan lebih intensif pada kejadian
infeksi oleh patogen yang sama di kemudian hari (Kresno 2001). Menurut Tizard
(1988) sel ini hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pertama kali bersentuhan
dengan antigen, akibatnya bila dosis antigen kedua diberikan kepada hewan, akan
bertemu dan merangsang lebih banyak lagi sel peka-antigen dari pada dosis yang
pertama, karena itu respon imun spesifik sekunder secara kuantitatif lebih besar
dari pada respon imun spesifik primer.
Menurut Kresno (2001) pengelompokan respon imun ke dalam dua kelompok
yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik terlalu disederhanakan
karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan
efektivitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi
antara satu komponen dengan komponen yang lain yang terdapat di dalam sistem
imun. Diantara aktivitas terpadu antara kedua sistem yang paling penting adalah:
1) respon imun bawaan (innate) terhadap mikroba merangsang dan
mempengaruhi sifat respon sistem imun didapat (acquired); 2) sistem imun didapat
-
14
menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun bawaan untuk
menyingkirkan mikroba dan seringkali meningkatkan fungsi sistem imun bawaan.
2.3 Mekanisme Serangan Penyakit Ke Tubuh Ikan
Masumoto et al (1991) menyatakan bahwa pada ikan yang stres, kadar
hormon tersebut akan meningkat dalam tubuh. Sandnes and Waagbo (1991)
dalam Marzuqi et al (1997) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan
metabolisme yang dipacu oleh hormon kortisol dan katekolamin. Stres
menyebabkan hiperglisemia (meningkatnya kadar glukosa darah), yang dapat
mengganggu pertumbuhan selanjutnya bahkan dapat mematikan. Selain
mempengaruhi rasa lapar, hiperglisemia juga merupakan faktor penting bagi
kesehatan dan kelangsungan hidup. Pada keadaan stres inilah ikan akan terus
mempertahankan homeostasis tubuh yang mulai berubah dengan terus
mengeluarkan glukosa untuk kebutuhan energi selama tempo stres masih terus
berlangsung.
Menurut Ismail (2010), Tingkat kortisol yang tinggi akan mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh sementara stressor mempengaruhi timbulnya penyakit dan
mortalitas. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perubahan baik internal
maupun eksternal dapat menjadi penyebab kematian ikan. Siklus stres pada ikan
memiliki pola tersendiri yang secara terurut akan mengalami perubahan-
perubahan atau semacam respon disetiap rangsangan stressor yang terjadi
terhadap tubuh ikan. Urutan respon-respon tersebut meliputi :
a. Respon primer
Stimulus stres merangsang CNS (Central Neuro System), CRF (Corticotropin
Releasing Factor) dari hipothalamus merangsang pituitary untuk melepaskan
ACTH (Adrenocorticotropin Hormone). ACTH di sirkulasi menuju sel interrenal
pada ginjal bagian anterior, untuk mensekresikan kortisol. Jaringan kromafin pada
-
15
ginjal bagian anterior dirangsang juga oleh sistem syaraf simpatik untuk
melepaskan adrenalin dan hormon katekolamin.
b. Respon Sekunder (Perubahan pada darah dan jaringan)
Berubahnya komposisi kimia darah dan jaringan, serta dimulainya perubahan
pada hematologis seperti aliran darah di insang, dan naiknya konsentrasi gula
darah (hiperglisemia).
c. Respon Tersier
Gejala ini ditunjukkan dengan turunnya nafsu makan ikan yang akan
menyebabkan menurunnya sistem pertahanan tubuh sehingga dapat
mengakibatkan kematian. Kortisol merupakan hormon glukokortikoid yang ada
dalam tubuh manusia dan hewan termasuk ikan. Pada ikan, hormon ini disintesis
dalam lapisan fasikulata dari korteks adrenal, sebagai prekusornya adalah tirosin.
Diantara banyaknya kerja hormon ini, salah satu yang paling penting adalah untuk
meningkatkan proses glukoneogenesis. Glukoneogenesis merupakan
peningkatan pengambilan energi dari protein untuk memenuhi kebutuhan energi
yang dibutuhkan saat terjadi stres. Sedangkan katekolamin merupakan hormon
yang disintesis dalam sel kromafin pada medula adrenal, baik dalam biosintesis,
pengambilan, penyimpanan dan mensekresikan katekolamin. Hormon-hormon ini
diperlukan untuk adaptasi stres yang akut dan kronis. Katekolamin berperan dalam
memacu produksi glukosa darah untuk dipakai sebagai energi. Selanjutnya energi
ini akan dipakai sebagai penahan terhadap goncangan fisiologis akibat stress.
2.4 KHV (Koi Herpes Virus)
KHV merupakan salah satu jenis contoh virus yang menyerang family
Cyprinid, yang awalnya ditemukan di Inggris tahun 1996. Virus Ini dapat menular
cepat dan dapat menyebabkan kematian massal pada ikan golongan Cyprinid
seperti ikan mas dan ikan koi (Sunarto et al, 2005 dalam Saselah et al, 2012).
-
16
Wabah KHV telah menyerang beberapa negara seperti Israel, Amerika Serikat,
beberapa negara Eropa, Afrika Selatan, China, Taiwan, Jepang dan Indonesia
(Haenan et al, 2004 dalam Saselah et al, 2012). Penyebaran penyakit ini telah
melintasi hampir semua daerah budidaya ikan mas dan koi di Indonesia. Hal ini
sesuai dengan data daerah yang terserang penyakit KHV berdasarkan keputusan
Menteri kelautan dan Perikanan Nomor: KEP 03/MEN/2010 tentang jenis – jenis
hama dan penyakit ikan karantina, golongan, dan media pembawa dan
penyebarannya.
Virus KHV itu sendiri dapat merusak sel epitel ikan khususnya kulit dan insang.
Mukosanya menghilang, kulit nampak kering, terjadi kematian sel pada insang
diikuti infeksi jamur, parasit dan bakteri, ikan tidak mau makan, tidak dapat
bernafas dan mati secara perlahan. Pemeriksaan terhadap organ dalam dengan
cara pembedahan mendapatkan bahwa hati ikan mengalami pendarahan atau
nekrosis. Rukyani (2002) dalam Mustahal et al, (2006) mengemukakan bahwa ikan
yang terserang KHV menunjukkkan gejala klinis seperti nekrosis pada insang,
produksi lendir hilang, pendarahan, sirip rontok/geripis, dan secara makroskopis
organ dalamnya membengkak, ginjal dan hati mengalami pendarahan. Tauhid et
al, (2004) dalam Mustahal et al, (2006), juga mendapatkan bahwa ikan yang
terserang KHV menunjukkan tanda-tanda produksi lendir menurun drastis,
sehingga tubuh terasa kesat, nekrosis pada insang, dan pucat, pendarahan pada
pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh melepuh dan luka yang diikuti
infeksi sekunder oleh jamur, parasit dan bakteri. Ikan mengalami kematian pada
hari ke tiga dan setelah itu tidak terjadi kematian. Hal ini mungkin disebabkan oleh
daya tahan tubuh (imunitas) ikan tersebut terhadap virus kuat atau sudah memiliki
imunitas terhadap virus KHV. Reynold (2004) dalam Mustahal et al, (2006)
mendapatkan bahwa tingkat kematian ikan dalam kolam yang terinfeksi KHV
-
17
sangat tergantung pada sejarah genetika virus tersebut dan respon kekebalan dari
masing-masing ikan yang terpapar KHV.
2.4.1 Gejala Klinis KHV
Gejala klinis ikan mas koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus dapat dilihat pada
saat ikan mas menunjukkan kondisi ikan yang lemah, ikan mas kehilangan
keseimbangan dan kesulitan bernafas. Penampakan ikan mas koi yang terinfeksi
KHV dari luar yang umum terjadi yaitu mengelupasnya jaringan epitelium dengan
produksi mukus berkurang dan kulit terasa kasar, terjadi pendarahan (haemorage)
pada operkulum, sirip ekor dan perut yang disertai kerusakan pada insang. Pada
pemeriksaan secara makroskopis perubahan makroskopis ditemukan adanya
nekrosis pada insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limfa, dan hati (Sunarto et al., 2005).
Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV tidak hanya bisa dilihat dari penampakan
organ luar ikan tersebut. Infeksi KHV juga menyerang organ dalam ikan mas.
Organ-organ dalam pada ikan yang menjadi target infeksi KHV adalah organ
insang, ginjal, otak dan hati karena organ tersebut diduga memiliki prevalensi
(populasi virus) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis organ lainnya (Taukhid et
al., 2005).
Laelawati (2008) menjelaskan bahwa gejala klinis ikan yang terserang virus
KHV adalah hemoragi pada insang, bintik putih pada insang, bercak pucat pada
insang, kulit melepuh, mata cekung dan ikan gelisah. Gejala klinis lain yang
ditimbulkan akibat serangan KHV dapat berupa gerakan ikan sangat lemah,
berenang lambat di permukaan air, sisik mengelupas, megap-megap, nafsu
makan menurun, kulit melepuh, insang geripis pada ujung lamella dan akhirnya
membusuk serta kehilangan lendir pada permukaan kulit. Kondisi yang sudah akut
dapat menyebabkan hemoragi pada bagian pangkal sirip dan perut. Jika virus ini
-
18
menyerang organ dalam seperti hati dan limpa, maka tubuh ikan akan mengalami
perubahan warna dan ginjal akan rusak serta membengkak.
2.4.2 Mekanisme Infeksi Virus KHV
Proses infeksi herpesvirus pada sel inang dimulai dengan terjadinya
perlekatan atau adsorpsi partikel virus pada reseptor yang ada di permukaan sel
inang. Adsorpsi virus pada permukaan sel segera diikuti oleh masuknya virus -
virus yang mengandung genom dsDNA ke dalam sitoplasma melalui proses
endositosis. Selanjutnya nucleocapsid ditransportasikan sepanjang matriks
cytoskeletal menuju membran inti kemudian masuk ke dalam inti/nukleus. Setelah
memasuki inti, terjadi proses replikasi virus dengan langkah-langkah
biosintesisnya menurut urutan sebagai berikut: 1) Transkripsi untuk pembuatan
messenger RNA (mRNA) dari DNA virus asal (parent) yang menginfeksi sel
(sesudah uncoating). 2) mRNA tersebut berpindah ke ribosom dalam sitoplasma
sel dan diterjemahkan (translated) menjadi enzim dan protein-protein lainnya
(early protein = protein awal) yang melakukan sintesis asam nukleat untuk virus
baru. 3) Replikasi DNA virus dalam inti. 4) Transkripsi lanjutan untuk pembuatan
mRNA lagi dari DNA-parent dan virus baru (progeny). 5) Penerjemahan
(translation) mRNA yang dibentuk kemudian (late mRNA) menjadi protein (late
protein) sebagai bagian dari komponen virus dan sebagai enzim yang sama
dengan early enzyme. 6) Perakitan (assembly) virus baru (progeny virus) di dalam
inti sel. 7) Pelepasan virus yang matang (mature virus) dari sel. Herpes virus selain
keluar secara biasa melalui sitoplasma dimana virus-virus ini memperoleh amplop,
dapat juga berpindah langsung ke sel terdekat tanpa harus terlebih dahulu keluar
sel yang terinfeksi.
Metode transfer antar sel tersebut memungkinkan virus menyebar dalam
tubuh inang walaupun terdapat banyak antibodi di dalam cairan tubuh di luar sel.
-
19
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya infeksi virus secara laten atau kronis
selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun pada inang yang terlihat sehat
(Walker, 2000). Mekanisme infeksi KHV menurut laporan Pikarsky et al. (2004)
menyebutkan bahwa virus pertama kali masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang,
selanjutnya bereplikasi di dalam insang. Aktivitas replikasi tersebut
mempengaruhi struktur insang sehingga terlihat mengalami nekrosis dan kelukaan
pada lapisan mukosanya. Kerusakan insang yang parah merupakan salah satu
faktor munculnya gejala klinis pada ikan.
2.4.3 Diagnosis KHV
Upaya dalam mendiagnosis keberadaan KHV dapat dilakukan dengan cara
langsung. Salah satunya yaitu dengan bantuan teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR) untuk mendeteksi keberadaan DNA virus. Namun sebelum melakukan
identifikasi dengan PCR, DNA genom harus diisolasi terlebih dahulu. Isolasi DNA
genom ikan yang terserang KHV merupakan tahap awal dalam pendeteksian KHV.
Tingkat serangan KHV yang ringan dapat menghasilkan isolasi yang kurang
optimal. Untuk dapat mendeteksi keberadaan KHV dengan tingkat serangan
ruangan maka dibutuhkan metode isolasi yang dapat mengisolasi DNA dengan
konsentrasi yang tinggi (Taukhid et al., 2004).
Uji PCR mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat memberikan
sensitivitas karena dari jumlah materi genetik yang kecil dapat dideteksi rangkaian
target pada sampel. Keuntungan kedua yaitu kekhususan dari rangkaian DNA
spesifik yang dijelaskan melalui kondisi yang tepat. PCR dianggap sebagai teknik
yang cepat apabila dibandingkan dengan metode lain untuk mendeteksi virus yang
mana diperlukan isolasi dan kultur menggunakan media kultur atau barisan sel.
Keuntungan yang terakhir yaitu ada pada rangkaian genetik dari bermacam-
-
20
macam mikroorganisme yang dapat diidentifikasi dengan kondisi reaksi yang
sama untuk mendiagnosis patologi berbeda (Louie et al., 2000).
2.4 Darah
Darah mempunyai fungsi penting dalam sirkulasi. Secara umum fungsi
darah adalah sebagai alat transportasi oksigen, karbondioksida, zat gizi, dan sisa
metabolisme, mempertahankan keseimbangan asam basa, mengatur cairan
jaringan dan cairan ekstra sel, mengatur suhu tubuh, dan sebagai pertahanan
tubuh dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih. Menurut Tamba (2006),
darah ikan tersusun atas sel – sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan
diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup, terdiri atas sel darah
merah dan sel darah putih. Sel dan plasma darah mempunyai peran yang sangat
penting. Perubahan gambaran darah dan kimia (secara kualitatif dan kuantitatif),
dapat menentukan kondisi keshatan ikan.
Darah merupakan jaringan sirkulasi yang terdiri atas cairan plasma, sel - sel
darah merah, sel - sel darah putih dan keping darah. Fernandez dan Mazon (2003)
menyebutkan bahwa parameter darah seperti hemoglobin, jumlah sel darah
merah, sel darah putih dan hematokrit erat kaitannya dengan respon individu
terhadap perubahan parameter lingkungan. Karakteristik parameter darah
merupakan salah satu sarana yang penting sama halnya dengan analisis parasit
dalam rangka untuk mengetahui tingkat kesehatan populasi ikan budidaya
(Martins, et al., 2004).
2.4.1 Sel darah putih
Leukosit ikan pada umumnya terbagi menjadi 2 bagian yang sering dikenal
dengan nama Granulosit dan Agranulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, monosit
dan trombosit, sedangkan granulosit terdiri dari basofil, neutrofil dan eosinofil.
Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik
-
21
penting untuk evaluasi proses penyakit. Masa hidup sel darah putih pada hewan
domestik sangat bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan
untuk monosit bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson, 1992 dalam Saputri et al.,
2010).
Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh paling aktif, dan beredar di
dalam sirkulasi darah dalam berbagai tipe. Jumlah leukosit lebih sedikit
dibandingkan dengan sel darah merah. Fungsi utama leukosit adalah merusak
bahan-bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis dengan membentuk
antibodi (Guyton 1997 dalam Erika 2008). Leukosit merupakan salah satu
komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik yang akan
melokalisasi dan mengeliminir agen pathogen melalui proses fagositosis
(Anderson 1992 dalam Erika 2008). Menurut Moyle dan Cech (1988) dalam
Maswan (2009), menjelaskan bahwa jumlah sel darah putih lebih rendah
dibandingkan dengan sel darah merah yaitu berkisar 20.000 sel/mm3 – 150.000
sel/mm3.
2.4.2 Cell Diferentiation Type 4 (CD4)
Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian
yang penting dari sistem kekebalan tubuh. Sel CD4 kadang kala disebut sebagai
sel-T. Ada dua macam sel-T. Sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang kala sel
CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T dikategorikan menjadi dua populasi umum
sesuai dengan fungsi mereka, sel T sitotoksik (CTL) dan T helper (Th) sel. CTLs
mengekspresikan molekul CD8 terlibat dalam interaksi dengan MHC kelas I,
sedangkan sel T helper mengekspresikan CD4 yang berinteraksi dengan MHC
kelas II. Sel T berhubungan dengan gen T dan protein mereka dikodekan dengan
aktivitas sel T, misalnya, penanda permukaan, sitokin dan faktor transkripsi
(Nakanishi et al, 2015).
-
22
Major Histocompatibility Complex (MHC) merupakan marka yang umum
digunakan dalam studi mengenai hubungan daya tahan ikan terhadap suatu
penyakit. Hal ini didasarkan karena MHC berperan penting dalam sistem imun.
MHC dikodekan oleh dua subfamili utama, yakni MHC kelas I dan kelas II yang
berfungsi untuk mengikat dan menyajikan antigen ke limfosit T melalui molekul
CD8+ dan CD4+ (Rakus 2008). MHC kelas I dan kelas II berperan dalam
pengenalan beragam patogen, antigen peptida asing dan berperan penting dalam
respons imun, baik bawaan maupun adaptif (Kales 2006 dalam La, 2014). Proses
fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam mekanisme
penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit.
Partikel yang difagositosis diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen
yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit
(Gillund et al. 2008 dalam Maswan 2009). T cell receptor (TCR) mampu mengenali
peptide antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang
masing – masing merangsang CD 8+ T sel (cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+ T sel
(helper-Tsel) (Gillund et al. 2008 dalam Maswan 2009).
2.5 Parameter Fisika Kualitas air
2.5.1 Suhu
Menurut Kordi (2007), suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dari
organisme, oleh karena itu penyebaran organisme baik dilautan maupun di
perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut, suhu sangat berpengaruh
terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Menurut Hutabarat (2010) bahwa
tingginya suhu disebabkan oleh tingginya cahaya dan adanya pencampuran air,
serta oleh faktor aktifitas yang ada pada stasiun tersebut. Tingginya suhu air
berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk keperairan,
karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin
banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya
-
23
kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun. Peningkatan suhu menyebabkan
terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
2.6 Parameter Kimia Kualitas Air
2.6.1 pH
Menurut Kordi (2007), pH adalah logaritma dari kepekatan ion-ion H
(hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air
menunjukan aktivitas ion hydrogen dalam larutan tersebut dinyatakan sebagai
konsentrasi ion hIdrogen (dalam mol perliter) pada suhu tertentu. Semakin tinggi
konsentrasi ion H+ akan semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH 7, maka perairan bersifat alkalis (basa). Derajat keasaman merupakan
gambaran jumlah atau aktivitas ion hydrogen dalam perairan. Secara umum nilai
pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu
perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa
(Effendi, 2003).
2.6.2 DO
Menurut Kordi (2007), nilai DO atau oksigen terlarut menyatakan nilai dari
kandungan oksigen terlarut dalam air. Oksigen yang diperlukan biota air untuk
pernapasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor
pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan
biota budidaya, akan segala aktivitas biota akan terhambat.
Karakteristik kimiawi, oksigen terlarut memegang peranan sangat penting
dalam perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang dibutuhkan oleh
organisme perairan. Salah satu yang memengaruhi kadar oksigen terlarut di
perairan adalah suhu. Oksigen terlarut juga menentukan kuantitas organisme
-
24
suatu perairan. Selain itu oksigen terlarut juga dipengaruhi faktor lain seperti
tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan berbagai reaksi
dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun fluktuasi suhu akan
menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di perairan (Purba dan Khan,
2010).
2.6.3 Amonia
Amonia merupakan bentuk nitrogen anorganik yang bersifat toksik
terhadap organisme budidaya yang dapat menyebabkan kerugian. Konsentrasi
amonia yang tinggi di dalam air akan mempengaruhi permeabilitas ikan oleh air
dan mengurangi konsentrasi ion di dalam tubuh. Amonia juga meningkatkan
konsumsi oksigen di jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan
darah mengangkut oksigen (Boyd, 1982). Amonia mulai menurunkan nafsu makan
ikan nila pada konsentrasi 0,08 mg/l dan dapat menyebabkan kematian pada
konsentrasi 0,2 mg/l (Popma dan Lovshin, 1996).
Effendi (2003) menyatakan bahwa amonia dalam perairan terukur dalam dua
bentuk, yaitu amonia yang tak terionisasi (NH3) dan ion amonium (NH4+).
Keseimbangan antara ion amonium dan amonia tergantung pada nilai pH dan
suhu perairan. Semakin tinggi pH air, konsentrasi amonia semakin meningkat
sedangkan konsentrasi amonium semakin menurun (Boyd, 1982). Menurut SNI
(1999), konsentrasi amonia untuk budidaya ikan Mas pada karamba jaring apung,
kolam air tenang dan kolam air deras yaitu kurang lebih 0.01 mg/l.
-
25
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Biomarker sel CD4 ikan
mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) pada kolam
pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika: suhu
dan kecerahan, serta parameter kimia: pH, oksigen terlarut (DO), dan amonia.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan teknik surveillance. Penggunaan metode deskriptif dengan teknik
surveillance dimaksudkan agar dapat menggambarkan suatu kondisi pada daerah
tertentu dengan tidak melakukan perubahan terhadap variabel-variabel yang
diteliti. Menurut Umar (2005), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan
sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode ini akan memberikan informasi
yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan lebih banyak
diterapkan pada berbagai macam masalah. Menurut Prajitno (2008), surveillance
merupakan kegiatan yang secara sistematis mengumpulkan, menganalisa dan
menyebarluaskan informasi untuk mendukung pernyataan bahwa suatu populasi
bebas dari infeksi atau penyakit, atau juga dapat digunakan untuk mendeteksi
keberadaan penyakit yang bertujuan untuk pengendalian. FAO (2004)
menyatakan bahwa teknik surveillance dapat menunjang kegiatan dalam
pencegahan dini terhadap infeksi suatu penyakit, perencanaan kontigensi
(perencanaan untuk kejadian yang tidak terduga) dan pengontrolan dalam
mencegah penyebaran penyakit.
-
26
3.3 Pengumpulan Data
Data adalah informasi atau keterangan mengenai sesuatu hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data (Sugiyono, 2010). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder.
3.3.1 Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah serta diterbitkan sendiri
oleh organisasi yang menggunakannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004). Data primer
yang diambil dalam penelitian ini meliputi semua yang berhubungan dengan
analisa kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan mas dan Biomarker sel CD4
ikan mas koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus). Data primer
dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, partisipasi aktif dan wawancara
dengan pihak terkait beserta masyarakat yang ada disekitar.
a. Observasi
Observasi adalah seluruh kegiatan pengamatan terhadap suatu obyek dengan
bantuan indera manusia (Rangkuti, 2007). Dalam penelitian ini observasi
dilakukan dengan cara pengamatan langsung kualitas air kolam pemeliharaan ikan
mas koi dan pengambilan sampel organ untuk dilakukan uji pcr pada ikan yang
terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV).
b. Partisipasi Aktif
Menurut Marzuki (1986), Partisipasi yaitu proses yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi dengan berperan aktif dalam proses yang berlangsung.
Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti secara langsung rangkaian kegiatan
meliputi persiapan alat, pengukuran sampel kualitas air, pembedahan dan
pengambilan darah ikan.
-
27
c. Wawancara
Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung
antara pewawancara dan responden. Wawancara di dapatkan berdasarkan fakta,
pendapat dan pengalaman dari responden (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Dalam
penelitian ini proses wawancara meliputi tanya jawab mengenai keadaan umum,
permasalahan yang dihadapi, dan hasil yang diperoleh dalam analisa kualitas air
pada kolam pemeliharaan ikan mas koi.
d. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan cara untuk mengambil data yang digunakan untuk
menguatkan data sebelumnya dengan cara pengambilan gambar. Menurut Zain
(2013), metode dokumentasi merupakan salah satu cara mencari data mengenai
hal – hal atau variabel berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah diterbitkan sebelumnya. Data sekunder
didapatkan dari harian, majalah, bulletin dan media masa lain yang mengutip data
dari sumber-sumber lain yang menerbitkannya (Kuswadi dan Mutiara, 2004).Data
Sekunder selama penelitian diperoleh dari laporan-laporan pustaka yang
menunjang, serta dari lembaga pemerintah, pihak swasta yang berhubungan
maupun masyarakat yang terkait dengan Biomarker sel CD4 ikan mas koi
(Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV (Koi Herpes virus) pada kolam
pemeliharaan.
3.4 Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
- Analisis pengambilan darah ikan untuk diambil darah ikannya.
-
28
- Analisis perhitungan sel darah merah dan sel darah putih.
- Analisis smear darah ikan mas koi untuk diketahui struktur darah ikan.
- Analisis CD4 menggunakan metode Imunositokimia.
- Analisis infeksi Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas koi dengan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction).
- Analisis data kualitas air dilakukan dengan dibandingkan data kualitas air yang
diteliti dengan nilai optimal parameter kualitas air untuk pemeliharaan ikan mas.
3.4.1 Teknik Pengambilan Sampel Ikan
Pengambilan sampel ikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Diambil sampel ikan mas koi dengan jaring. Pengambilan sampel ikan
dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa ikan mas koi termasuk kedalam
kriteria ikan yang terindikasi Koi Herpes Virus (KHV).
- Diambil sampel ikan sebanyak 1 kali pada kolam pemeliharaan ikan mas koi.
3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Air
Pengambilan sampel air dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Diambil sampel air dengan botol plastik volume 600 ml sebanyak 3 botol
dengan 3 kali ulangan.
- Dilakukan pengukuran parameter kualitas air secara langsung (in situ) yang
meliputi: suhu, kecerahan, pH, dan oksigen terlarut (DO).
- Dilakukan pengukuran parameter kualitas air dengan analisis laboratorium yaitu
amonia.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Metode PCR
Menurut BKI (2016) prosedur pelaksanaan PCR untuk mendeteksi DNA
virus KHV adalah sebagai berikut:
-
29
A. Ekstarasi DNA
- Dimasukan sampel ikan ± 20 mg kedalam tabung 1.5 ml kemudian
dimasukan 900 µL GT Buffer. Hancurkan dengan Pastle Penggerus
- Disentrifius 12000 rpm selama 3 menit
- Ditambahkan 40 µL silica (1 g/ml) kedalam tabung baru. Campurkan silica
secara merata.
- Dipindahkan 600 µL bagian atas larutan yang sudah di sentrifius kedalam
tabung 1,5 ml yang telah terisi 40 ul silica (1 g/ml). Di Vortex hingga merata.
- Disentrifius pada 12000 rpm selama 15 detik kemudian buang larutan atas.
- Dicuci pellet silica dengan 500 µL GT Buffer. Divortex pellet sillica sampai
larut.
- Disentrifius pada 12000 rpm selama 15 detik. Kemudian buang larutan atas
- Dicuci pellet silica dengan 1 ml Ethanol 70% . Divortex pellet silica sampai
larut.
- Disentifius pada 12000 rpm selama 15 detik, kemudian buang Ethanol
sampai kering.
- Ditambahkan 400 µL DEPC ddH2O kedalam pellet silica. Divortex sampai
terlarut. Diinkubasi pada suhu 55ºC selama 10 menit. Divortex sampai larut
kemudian di sentrifius 12000 rpm selama 2 menit.
- Dipindahkan 200 µL larutan atas kedalam tabung 1.5 ml baru.
- Larutan siap untuk tahapan reaksi.
-
30
B. Amplifikasi
1. Komposisi Reagen Amplifikasi
No Pereaksi Jumlah/Volume Pereaksi
1 2x PCR Master Mix Solution
12,5 µl
2
Foward (20 pMol) Reverse (20pMol)
0,75 µl
0,75 µl
3 Template DNA
4 µl
4 Aquades Steril
7 µl
Total Volume
25 µl
2. Profil Amplifikasi
No Pereaksi Suhu (ºC) Lama Jumlah Siklus
1 Pre-denaturation
94 2 menit 1
2 Denaturation
94 30 detik
35 3 Anealing
55 30 detik
4 Extension
72 60 detik
5 Final Elongation
72 5 menit 1
C. Elektrophoresis
- Disiapkan parafilm di depan unit elektrophoresis.
- Disiapkan 2 µL loding dye buffer 6x dengan jumlah disesuaikan dengan
sampel yang akan di elektrophoresis.
- Diambil DNA marker sebanyak 5 µL dan masukan ke sumur (1) pada gel
agarosa 2% yang telah diberi Maestrisafe (Pewarna DNA)
- Diambil produk PCR masing – masing 10 µL (termasuk kontrol positif)
- Dimasukan kontrol positif + loading dye buffer 6x kedalam sumur (2)
- Dimasukan kontrol negatif + loading dye buffer 6x kedalam sumur (3)
-
31
- Dimasukan sampel + loading dye buffer 6x kedalam sumur (4) dan
seterusnya
- Dilakukan elektrophoresis pada voltase 120 volt hingga indikator warna
loading dye buffer bergerak ¾ bagian dari panjang gel.
- Diangkat gel agarosa.
- Diamati gel dengan UV Transilluminator.
- Didokumentasikan dengan kamera polaroid.
D. Pembacaan Hasil
Gambar 2. Hasil uji PCR
Keterangan gambar:
A. Marker
B. Kontrol positif KHV di 290 bp
C. Kontol negatif KHV
D. Sampel positif KHV di 290 bp
3.5.2 Kualitas Air
Kualitas air dalam budidaya perikanan air tawar sangat menentukan dalam
keberhasilan suatu usaha. Kualitas air merupakan faktor terpenting dalam
pemeliharaan organisme perairan. Pengelolaan kualitas air adalah salah satu
usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh
organisme (Hariyadi et al. 1992).
-
32
A. Parameter Fisika
1. Suhu
Prosedur pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer adalah
sebagai berikut:
- Dicelupkan thermometer langsung ke dalam air dengan membelakangi sinar
matahari sampai batas skala baca.
- Dibiarkan 2-5 menit sampai skala suhu pada thermometer menunjukan angka
yang stabil.
- Pembacaan skala thermometer dilakukan dengan cepat setelah mengangkat
thermometer dari air.
2. Kecerahan
Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran kecerahan perairan
menggunakan secchi disk adalah sebagai berikut:
- Dimasukkan secchi disk ke dalam perairan.
- Diukur batas tidak tampak pertama kali dan dicatat sebagai d1.
- Dimasukkan secchi disk ke dalam perairan.
- Diangkat secchi disk perlahan-lahan.
- Dilihat batas tampak pertama kali dan dicatat sebagai d2.
- Dihitung kecerahan dengan rumus : 𝑑 =𝑑1+𝑑2
2
B. Parameter Kimia
1. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Hariyadi et al. (1992), adapun cara untuk mengukur DO perairan
yaitu sebagai berikut:
- Disiapkan botol DO dan mencatat volumenya.
-
33
- Dimasukkan botol DO kedalam perairan dengan posisi botol dimiringkan dan
semakin tegak bila botol penuh.
- Ditutup botol DO didalam air setelah botol terisi penuh dan dipastikan tidak ada
gelembung.
- Ditambahkan 2 ml MnSO4 dan 2 ml NaOH + KI pada air sampel.
- Dihomogenkan dengan cara dibolak-balik.
- Didiamkan hingga terbentuk endapan coklat.
- Diberi 1-2 ml H2SO4 pekat pada endapan dan dikocok hingga larut.
- Diberi 2-3 tetes amylum.
- Dititrasi dengan Na-thiosulfat (Na2S2O3) 0.025 N hingga jernih pertama kali.
- Dicatat ml Na2S2O3 yang terpakai sebagai ml titran.
- Dihitung dengan rumus :
Oksigen Terlarut (mg/l) = 𝜈 (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛)× Ν (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛) ×8 ×1000
𝜈 (𝐵𝑜𝑡𝑜𝑙 𝐷𝑂)−4
Keterangan:
V (titran) : ml titrasi Na-thiosulfat
N (titran) : normalitas Na-thiosulfat (0,025)
2. Derajat Keasaman (pH)
Menurut Hariyadi et al. (1992), pengukuran derajat keasaman (pH) perairan
menggunakan pH paper meliputi :
- Dicelupkan pH paper kedalam perairan.
- Didiamkan pH paper selama kurang lebih 2 menit.
- Diangkat dan dikibas-kibaskan sampai setengah kering.
- Dicocokkan dengan skala 1-14 yang tertera pada kotak standar pH.
- Dicatat hasil pengukurannya.
-
34
3. Amonia
Menurut SNI (2004) prosedur pengukuran kadar amonia air dapat adalah
sebagai berikut:
- Diambil 25 ml air sampel uji dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml.
- Ditambahkan 1 ml larutan fenol, kemudian dihomogenkan.
- Ditambahkan 1 ml natrium nitroprusid, kemudian dihomogenkan.
- Ditambahkan 2,5 ml larutan pengoksidasi, kemudian dihomogenkan.
- Ditutup erlenmeyer dengan plastik atau perefilm, dan dibiarkan hingga 1 jam.
- Dimasukkan ke dalam cuvet ukur dengan spektrofotometer, dibaca dan
dicatat serapannya pada panjang gelombang 640 μm.
3.5.3 Pengambilan darah
Pengambilan darah ikan dilakukan dari vena caudalis di antara sisik ikan dekat
ekor menggunakan syringe 1 mL, kemudian diisi syringe dengan sedikit larutan
NaSitrat 3,8%). Dimasukan jarum syringe dari belakang anal ke arah vertebrate
(tulang belakang) hingga jarum syringe menyentuh tulang. Dihisap darah perlahan
sebanyak 1 mL kemudian jarum syringe dilepas, dan sampel darah dipindahkan
ke dalam tabung penyimpan darah (botol vial) yang telah diisi dua tetes larutan
NaSitrat 3,8%. Darah yang telah diambil menjadi darah stok
3.5.4 Metode smear
Perhitungan diferensial leukosit (neutrofil, monosit dan limfosit) adalah
sebagai berikut:
A. Pembuatan sediaan apus darah
Kaca objek dibersihkan dengan etanol. Kemudian diteteskan darah ikan uji
sekitar 1 cm dari ujung sebelah kiri kaca objek. Kemudian sisi kiri kaca objek
dipegang dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas dipegang dengan
tangan kanan dan diletakkan di depan tetesan darah membentuk sudut sekitar 30o
-
35
dari kaca objek membuka ke kanan. Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan
darah kemudian digeser kearah kanan sehingga darah tersebut akan menyebar
sepanjang sisi kaca pemulas. Sudut antara kedua kaca objek harus dijaga agar
tetap 30o kemudian kaca pemulas didorong dengan mantap dan cepat sepanjang
kaca objek, selanjutnya dikeringanginkan dan siap untuk diwarnai.
B. Cara pewarnaan giemsa
Sediaan apus darah diletakkan di baki dengan sediaan apus di sebelah atas.
Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit
kemudian kelebihan methanol yang terdapat pada sediaan dibuang, selanjutnya
digenangi dengan giemsa selama 25 menit. Dibilas dengan akuades dan
dikeringanginkan.
3.5.5 Metode Imunositokimia
Metode Immunocytochemistry / imunositokimia dilakukan dengan
menggunakan sampel darah untuk apusan dengan urutan kerja yaitu dengan
diambil darah menggunakan spuit 1cc. Satu tetes darah diletakkan diatas objek
gelas dan diulas tipis. Sediaan hasil olesan darah tipis ini kemudian difiksasi
kedalam larutan methanol selama 10 menit. Sediaan selanjutnya ditetesi dengan
normal goat serum dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Sediaan
ditetesi dengan antibody primer yang berupa antiKHV Monoklonal antibody lalu
inkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan
larutan PBS selama 10 menit, selanjutnya ditiriskan diatas kertas tissue. Sediaan
ditetesi dengan antibody sekunder dan ditambah dengan cairan biotinylated
secondary antibody selama 10 menit. Sediaan dicuci menggunakan PBS selama
10 menit, kemudian ditiriskan diatas kertas tissue. Sediaan kemudian diinkubasi
dengan streptavidin-peroxidase conjugate selama 5 menit. Selanjutnya sediaan
dicuci lagi dengan PBS selama 10 menit, lalu tiriskan diatas kertas
-
36
tissue.Selanjutnya sediaan diinkubasi dengan substrat-chromogen pada suhu
kamar selama 15 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan aquades selama 10
menit. Sediaan kemudian dilakukan counterstain hematoxylin selama 10 menit.
Dicuci dengan aquadesh dan mounting dengan entellan neu untuk pengamatan di
bawah mikroskop cahaya. Hasil positif apabila dalam sediaan yang telah dilakukan
pewarnaan menggunakan streptavidin-biotin terlihat warna coklat
kemerahan/keemasan.
3.5.6 Pengamatan Jumlah Sel Darah Putih
Darah ikan yang telah tercampur dengan anti koagulan diambil dengan pipet
leukosit sebanyak 0,5 µL, kemudian diencerkan dengan larutan Turk dalam pipet
leukosit sampai menunjukkan angka 11 µL. Setelah itu darah yang telah tercampur
dikocok hingga homogen dalam pipet tersebut. Kemudian campuran tersebut
diambil 2 tetes dan dimasukkan dalam kamar hitung Haemocytometer dan ditutup
dengan cover glass, sebelum dimasukkan ke dalam Haemocytometer terlebih
dahulu dibuang 2 tetes dimaksudkan agar larutan yang diambil benar – benar yang
telah homogen. Dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran
40x dan dihitung banyaknya jumlah leukosit.
Penghitungan Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)
Mikroskop diletakkan pada meja yang datar, lensa kondensor diturunkan atau
diafragma dikecilkan, kamar hitung dengan bidang bergarisnya diletakkan dibawah
lensa obyektif dan fokus mikroskop diarahkan pada garis – garis tersebut. Leukosit
dihitung pada keempat bidang besar (kotak warna hijau). Perhitungan dimulai dari
sudut kiri atas, terus ke kanan, kemudian turun ke bawah dan dari kanan ke kiri.
Cara seperti ini dilakukan pada keempat bidang besar. Penghitungan dilakukan
dengan catatan sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis batas
-
37
sebelah kanan atau garis bawah tidak boleh dihitung (Bijanti, 2005). Jumlah
Leukosit dihitung dengan menggunakan rumus:
Leukosit = N × 1 1
4 area × 0,1 (volume)× 20 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Keterangan:
N : Jumlah Leukosit Terhitung (Bijanti, 2005).
3.5.7 Pengamatan Jumlah Sel Darah Merah
Peralatan yang digunakan adalah pipet eritrosit ukuran 11 µL, cover glass,
kamar hitung Neubauer, Mikroskop Cahaya, Counter. Bahan yang digunakan
adalah sampel darah ikan, Natrium Sitrat 3,8% (anti koagulan) dan larutan hayem.
Prosedur kerja : darah ikan yang telah dicampur dengan anti koagulan di ambil
dengan pipet eritrosit sebanyak 0,5 µL kemudian diencerkan dengan larutan
hayem dalam pipet eritrosit sampai menunjukkan angka 11 µL. Setelah itu darah
yang telah tercampur dikocok hingga homogen dalam pipet tersebut kemudian
campuran tersebut diambil sedikit (20µL) dan dimasukkan dalam kamar hitung
improved neubauer dan ditutup dengan cover glass, sebelum memasukkan
kedalam improved neubauer terlebih dahulu dibuang 2 tetes dimaksudkan agar
larutan yang diambil benar – benar yang telah homogen. Dengan menggunakan
mikroskop cahaya banyaknya dihitung jumlah eritrosit pada semua kotak eritrosit.
Perhitungan Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)
Mikroskop diletakkan pada meja yang datar, lensa kondensor diturunkan atau
diafragma dikecilkan, fokus diatur dahulu dengan memakai lensa obyektif 10X,
diatur sehingga gambaran kamar hitung bujur sangkar dengan jelas batasnya
serta distribusi sel darah merah tampak jelas. Selanjutnya lensa obyektif di ubah
45X dengan hati – hati dan sel darah merah dihitung pada kotak bujur sangkar
kecil (warna merah), sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis atas
-
38
haruslah dihitung, sedangkan sel yang menyinggung garis batas sebelah kanan
atau garis bawah tidak boleh dihitung (Bijanti, 2005).
Eritrosit = N × 1 1
5area × 1
250 (𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒)
× 200
Keterangan:
N : Jumlah Eritrosit Terhitung
3.5.8 Hematokrit
Pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode
mikrohematokrit. Mikrohematokrit berheparin dimasukakan ke dalam sampel
darah yang telah dikoleksi, hingga darah mengisi kurang lebih tiga per empat (3/4)
bagian pipa kapiler tersebut. Selain itu salah satu ujung pipa kapiler disumbat
dengan cara ditusukkan pada lilin penyumbat. Kemudian disentrifugasi selama 5
menit menggunakan microhematocrit centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm.
Selain itu dibaca dengan menggunakan hematocrit reader dan hasilnya dinyatakan
dalam % (Vonti, 2008).
3.5.9 Diferensial Leukosit
Preparat ulas darah dibuat untuk mengetahui jenis dan jumlah sel-sel leukosit.
Darah diteteskan pada gelas obyek lalu diratakan dan dikering-udarakan. Preparat
difiksasi dengan methanol selama 5 menit lalu dibilas dengan akuades dan
dikering-udarakan kembali. Preparat diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 15
menit lalu dibilas dengan akuades dan dikering-udarakan. Preparat yang telah
kering diamati di bawah mikroskop untuk dihitung persentase sel-sel leukosit
(limfosit, monosit, neutrofil, eusinofil dan basofil). Sel-sel leukosit dihitung sampai
100 sel, lalu dikelompokkan dan dipersentasekan sesuai jenisnya dengan rumus:
-
39
% Limfosit = 𝐿
100𝑥 100% % Monosit =
𝑀
100𝑥 100%
% Neutrofil = 𝑁
100𝑥 100% % Basofil =
𝐵
100𝑥 100%
% Eusinofil = 𝐸
100𝑥 100%
-
40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penetlitian
Lokasi penelitian berada di daerah Kabupaten Blitar, Jawa Timur tepatnya
berada di Desa Babadan. Penentuan lokasi penelitian yang berada di desa
Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar didasarkan pada survei ke
wilayah budidaya ikan mas koi yang memiliki indikasi terserang KHV. Lokasi
Kabupaten Blitar berada di sebelah selatan Khatulistiwa. Tepatnya terletak antara
111°40¹-112°10¹ Bujur Timur dan 7°58¹-8°9¹51¹¹ Lintang Selatan.
Hal ini secara langsung mempengaruhi perubahan iklim. Berdasarkan
topografinya kabupaten Blitar terletak pada ketinggian 40-800 meter (dpl).
Kabupaten Blitar termasuk kabupaten dengan kategori iklim tipe C.3 dimana rata-
rata curah hujan di kabupaten Blitar mencapai 1.478,8 mm dengan curah hujan
tertinggi 2.618,2 mm per tahun dan terendah 1.024,7 per tahunnya dengan suhu
terendah di kabupaten Blitar mencapai 18oC dan suhu tertinggi mencapai 30oC.
Kabupaten Blitar juga dipisahkan oleh aliran sungai Brantas menjadi Blitar utara
(daratan rendah lahan sawah dan beriklim basah) dan Blitar selatan (lahan kering
yang cukup kritis dan beriklim kering) (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2015).
Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar memiliki 11 kelurahan. Kelurahan
tersebut meliputi Kelurahan Nglegok, Desa Bangsri, Desa Dayu, Desa Jiwut, Desa
Kedawung, Desa Kemloko, Desa Krenceng, Desa Modangan, Desa Ngoran, Desa
Penataran, dan Desa Sumberasri. Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Nglegok
desa Kemloko. Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Blitar Kecamatan
Nglegok memaparkan bahwa penduduk Desa Kemloko berjumlah 4.597 jiwa.
Desa Kemloko memiliki 2 dusun,10 Rukun Warga (RW) dan 35 Rukun Tetangga
(RT).
-
41
4.2 Gambaran Lokasi Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan di salah satu kolam milik petani ikan yang
berlokasi di Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Kolam
pemeliharaan berada di tengah – tengah area persawahan. Kolam pemeliharaan
berjenis kolam tanah dimana dasar kolam berupa tanah. Sumber air berasal dari
aliran sungai setempat. Kolam pemeliharaan memiliki kedalaman 1,5 meter
dengan ketinggian air 1 meter. Kolam pemeliharaan tersebut mempunyai 1 outlet
dan 1 inlet. Kolam pemeliharaan ikan koi (Cyprinus carpio) yang terinfeksi KHV
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kolam pemeliharaan ikan koi
4.3 Hasil Analisa Ikan Koi
Ikan mas koi (Cyprinus carpio) sebagai bahan pengamatan penelitian
merupakan ikan mas koi yang diperoleh dari kolam pemeliharaan ikan di desa
Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Ikan koi diambil sebanyak 1 kali
dengan ukuran ikan merupakan ikan ukuran konsumsi. Pada sampel ikan mas koi
dipilih ikan yang memiliki gejala klinis terserang KHV. Pada proses pengambilan
sampel, ikan koi diambil dengan cara menjaring ikan secara langsung di dalam
kolam. Kemudian ikan di masukan kedalam wadah berupa bak dan dilihat ciri-ciri
klinis gejala Koi Herpes Virus (KHV). Sampel ikan kemudian diambil untuk di uji
-
42
ada atau tidaknya keberadaan Koi Herpes Virus (KHV). Ikan yang diambil dan di
bawa adalah ikan dengan gejala klinis ciri-ciri berenang tidak seimbang, warna
tubuh cenderung pucat, terdapat luka pada tubuh, dan mata cekung. Gejala klinis
yang ditunj