as a as as as as as as

Upload: noo-namee

Post on 21-Jul-2015

151 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II KAJIAN KELAYAKAN PEMBANGUNAN MUSEUM PROKLAMATOR2.1. Permuseuman di Indonesia Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Bangunan lain yang diketahui berhubungan dengan sejarah museum adalah bagian kompleks perpustakaan yang dibangun khusus untuk seni dan sains, terutama filosofi dan riset di Alexandria oleh Ptolemy I Soter pada tahun 280 SM. Museum berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan manusia semakin membutuhkan bukti-bukti otentik mengenai catatan sejarah kebudayaan. Di Indonesia, museum yang pertama kali dibangun adalah Museum Radya Pustaka. Selain itu dikenal pula Museum Gajah yang dikenal sebagai yang terlengkap koleksinya di Indonesia, Museum Wayang, Persada Soekarno, Museum Tekstil serta Galeri Nasional Indonesia yang khusus menyajikan koleksi seni rupa modern Indonesia. Di Indonesia setidaknya terdapat 279 museum yang tersebar di berbagai daerah. No 1 2 3 4 5 6 7 8 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat 5 8 1 Museum Perjuangan 1 1 1 1 2 1 1 21 11 2 1 3 1 1 26 19 Museum Lainnya Jumlah Museum

No 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Provinsi Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Riau Jambi

Museum Perjuangan

Museum Lainnya 3

Jumlah Museum 3 6 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2

2 1

4 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1

1

Survey yang diselenggarakan oleh majalah National Geographic Traveler dari bulan April sampai Mei 2011 memunculkan 9 Museum di Indonesia terpilih sebagai museum favorit yang terbagi dalam 3 kategori: Sejarah/Arkeologi, Seni dan Budaya, Ilmu Pengetahuan / Geologi/Biologi dan 3 museum lain yang dipilih dalam kategori Pilihan Editor. Dalam kategori Sejarah/Arkeologi, Museum Bank Indonesia dipilih sebagai museum yang paling favorit, House of Sampoerna yang paling favorit untuk kategori Seni dan Budaya, dan kategori Sains dimenangkan oleh Museum Geologi. Adapun Pilihan Editor adalah Museum Bahari. Penelitian National Geographic berlangsung dalam dua tahap. Pertama, menetapkan kriteria museum yang baik dan menarik untuk dikunjungi melalui diskusi panel dengan para ahli museum dan profesional di Indonesia untuk 3 kategori : museum sejarah/arkeologi, museum seni dan budaya, dan museum keilmuan/geologi/biologi. Tahap kedua terjadi melalui pemungutan suara online di traveler.nationalgeographic.co.id Survei. Meskipun hasil survei tidak dapat mewakili pandangan dari seluruh rakyat Indonesia, responden

memberikan pandangan yang berbeda tentang bagaimana museum seharusnya. Contohnya adalah hasil survei untuk museum House of Sampoerna (HOS), yang di-host di sebuah bangunan lebih dari 145 tahun. 63% dari 649 responden menyatakan bahwa museum terletak di Surabaya ini menampilkan tata letak ruangan atau interior yang menarik (58%), kelancaran aliran pengunjung (32%), dan kemampuan berbahasa Inggris pemandu museum (30%). Dikunjungi oleh 11.000 pengunjung rata-rata setiap bulan, HOS memenuhi kriteria pemeliharaan koleksi yang baik (61%), kelengkapan fasilitas museum (30%), dan memiliki program/event yang menarik (30%). Adapun Museum Geologi telah berhasil meningkatkan proporsi kunjungan turis 'dari hanya 10% dan 90% sisanya adalah siswa, menjadi lebih dari 70% pengunjung wisatawan. 55 responden (36%) setuju bahwa museum yang berada di Bandung ini memiliki tata letak atau interior yang baik, 63% responden mengatakan bahwa Museum Geologi memiliki koleksi menarik, dan 58% mengatakan terpelihara dengan baik. 80% responden mengatakan bahwa Museum Bank Indonesia (BI), yang baru dibuka pada tahun 2009 dinilai memiliki susunan koleksi yang baik (80%), koleksi pemeliharaan yang baik (59%), kelengkapan koleksi (29%), fasilitas museum (49%), interior (71%), dan kelancaran arus kunjungan (45%). Menurut Direktorat Museum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia memiliki setidaknya 279 museum. Selain memperingati Hari Museum Internasional setiap tanggal 18 Mei, berbagai kegiatan untuk mempromosikan museum di Indonesia telah terorganisir seperti Gerakan Cinta Museum, dan Tahun Kunjungan Museum 2010 (Sumber: National Geographic TRAVELER, edisi Juli 2011, Indonesia). Berikut ini adalah hasil dari survei yang dilakukan National Geographic : Kategori I: Sejarah / Arkeologi 1. Museum Bank lndonesia 2. Museum Sejarah / Fatahilah 3. Museum Nasional / Gajah Kategori: Seni & Budaya 1. House of Sampoerna 2. Museum Wayang 3. Museum Ullen Sentalu Kategori LLI: Sains / Geologi / Biologi 1. Museum Geologi 2. Museum Zoologi 3. Museum Gunung Merapi

Pilihan Editor : 1. Museum Bahari 2. Museum Kereta Api Ambarawa 3. Museum Dirgantara Mandala.

2.2. Wisata Museum di Indonesia Museum merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan pemahaman dan penanaman nilai-nilai budaya luhur kepada masyarakat. Melalui museum masyarakat dapat memahami nila-inilai luhur sejarah bangsa di masa lalu yang dapat diterapkan di masa sekarang. Jumlah pengunjung museum dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Berdasarkan data tersebut di bawah, pada tahun 2006 terdapat 4,56 juta pengunjung, turun menjadi 4,20 juta pengunjung pada tahun 2007, dan turun lagi pada tahun 2008 menjadi 4,17 juta pengunjung. Namun demikian, tidak semua museum mengalami penurunan pengunjung. Beberapa museum menunjukkan angka kenaikan pengunjung, seperti Museum Negeri Adityawarman Sumatera Barat, Museum Negeri Balaputra Dewa Sumatera Selatan, Museum Nasional, dan lain-lain. Gambar Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia

Tabel Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia

2.3. Museum Berkategori Perjuangan Kemerdekaan Museum Sumpah Pemuda

Museum Sumpah Pemuda adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106,Jakarta Pusat dan dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Museum ini memiliki koleksi foto dan benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, serta kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia. Museum Sumpah Pemuda ini didirikan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1972 dan menjadi benda cagar budaya nasional. Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong. Gedung Joang '45 Gedung Joang '45 atau Museum Joang 45 adalah salah satu museum yang berada di Jakarta. Saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI

Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974 oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

Gedung Joang45 adalah satu titik awal gerakan kaum pemuda yang akhirnya memaksa Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.Pemuda identik dengan perjuangan kaum militan, tanpa harta apalagi ambisi pribadi dan hanya satu tujuan, hidup bermartabat atau paling tidak mati sebagai manusia merdeka. Pada tanggal 19 Agustus 1974,setelah melalui serangkaian perbaikan dan renovasi, Gedung Menteng 31 diresmikan sebagai Museum Joang 45 oleh Presiden Soeharto dan Gubenur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Nama Museum Joang 45 dipilih karena gedung ini memiliki peranan besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan dapat menjadi wahana pewaris nilai-nilai kejuangan 45. Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Gedung ini didirikan sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa. Luas tanah gedung ini 3.914 m2 sedangkan luas bangunannya 1.138,10 m2. Gedung ini telah ditempati oleh beberapa penghuni yang berbeda. Pada tahun 1931, pemiliknya atas nama PT. Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Tadashi Maeda, sampai sekutu mendarat di Indonesia September 1945. Setelah kekalahan Jepang, gedung ini menjadi markas tentara Inggris. Pemindahan status kepemilikan gedung ini terjadi dalam aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia. Gedung ini diserahkan kepada Departemen Keuangan dan pengelolaanya oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya. Pada tahun 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Besar Inggris sampai dengan 1981. Selanjutnya gedung ini diterima oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 28 Desember 1981. Tahun 1982 gedung ini sempat digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran. Gedung ini menjadi sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia karena pada 16-17 Agustus 1945 terjadi peristiwa sejarah, yaitu perumusan naskah proklamasi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/ 0/1992 tanggal 24 November 1992, gedung yang terletak di Jalan Imam Bonjol No.1 ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sekarang berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Museum Kebangkitan Nasional Museum Kebangkitan Nasional adalah sebuah museum yang memamerkan berbagai koleksi benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan sejarah kebangkitan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya. Museum ini menempati gedung tua

bekas sekolah kedokteran yang didirikan oleh Belanda untuk orang-orang bumiputra bernama STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten). Bekas gedung sekolah kedokteran ini mulai dibangun sejak tahun 1899 M dan selesai pada tahun 1901 M. Museum yang menempati areal seluas 14.625 meter persegi ini mempunyai corak arsitektur khas campuran Jawa, Toraja, Minang, dan Belanda. Kekhasan ini dapat dilihat pada corak arsitektur pada koridor-koridor panjangnya, langit-langit ruangan yang tinggi, serta pintu dan jendelanya yang berukuran lebih dari 2 meter. Secara umum, museum ini memamerkan berbagai benda-benda sejarah yang berhubungan dengan sejarah Kebangkitan Nasional, seperti dokumen, kamera, peralatan, benda, pakaian, senjata, replika, patung, foto, lukisan, diorama, vandel, dan film. Koleksi-koleksi ini tertata rapi dalam tujuh ruang pamer koleksi, yaitu Ruang Pengenalan, Ruang Awal Pergerakan Nasional, Ruang Kesadaran Nasional, Ruang Pergerakan Nasional, Ruang Propaganda Studie Fonds, Ruang Memorial Budi Utomo, dan Ruang Pers. Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dapat mengamati detail koleksi museum dari satu ruang ke ruangan lainnya atau sekadar masuk pada beberapa ruangan yang disukai.

Museum Jogja Kembali

Museum Monumen Yogya Kembali, adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang ada di kota Yogyakarta dan dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Museum yang berada di bagian utara kota ini banyak dikunjungi oleh para pelajar dalam acara darmawisata. Museum Monumen dengan bentuk kerucut ini terdiri dari 3 lantai dan dilengkapi dengan ruang perpustakaan serta ruang serbaguna. Pada rana pintu masuk dituliskan sejumlah 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III (RIS) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949. Dalam 4 ruang museum di lantai 1 terdapat benda-benda koleksi: realia, replika, foto, dokumen, heraldika, berbagai jenis senjata, bentuk evokatif dapur umum dalam suasana perang kemerdekaan 1945-1949. Tandu dan dokar (kereta kuda) yang pernah dipergunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman juga disimpan di sini (di ruang museum nomor 2). Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985 dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan untuk mendirikan monumen ini dilontarkan oleh kolonel Soegiarto, selaku walikotamadya Yogyakarta pada tahun 1983. Nama Yogya Kembali dipilih dengan maksud sebagai tetenger (peringatan) dari peristiwa sejarah

ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta pada waktu itu, tanggal 29 Juni 1949. Hal ini merupakan tanda awal bebasnya bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Belanda. 2.4. Aspirasi dan Opini Pemangku (Stakeholder) Berikut ini butir-butir penting yang dikutip dari Forum Group Diskusi yang diselenggarakan khusus untuk membahas rencana pembangunan Museum Proklamator. v GURUH SUKARNO PUTRA sebagai salah satu anak Bung Karno dan sebagai Ketua Umum Yayasan Bung Karno : Dalam proklamasi Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh sentral. Bahwa Bung Karno mempunyai benda benda seni, barang barang seni, antara lain koleksi lukisan yang ribuan jumlahnya, kemudian juga buku buku dan sebagainya. Bung Karno pernah berpesan agar dibuatkan suatu museum, agar rakyat Indonesia juga bisa melihat museum itu dan belajar dari apa apa yang ada di situ dan juga merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, misalnya terhadap seni budaya, seni lukisnya, tidak kalah dengan maestro maestro internasional.

Museum Proklamasi bisa di sini (Gedung Pola) tetapi hanya menempati sebagian dari gedung ini, karena proklamasi itu sendiri adalah sebagai titik tolak dar pembangunan semesta, sebagai awal dari pembangunan semesta di Indonesia ini dan pembangunan itu sendiri adalah salah satu upaya mengisi kemerdekaan. Museum Proklamasi itu adalah sebagian dari gedung ini, artinya gedung ini juga bisa kembali fungsinya sebagai gedung Pola Pembangunan Semesta Berencana.

v IBU MEUTIA HATTA : Proklamasi kemerdekaan itu adalah puncak, dan sebelum itu dimulai dari era kebangkitan nasional tahun 1908. Periode tahun 1930-an itu diisi dengan pertumbuhan gerakan gerakan dan perjuangan kebangsaan, disusul dengan dibuangnya para tokoh tokoh nasional; Soekarno-Hatta dan lainnya ke berbagai tempat, antara lain di daerah seperti Ende, Bedigul, Banda Neira, dan lain lain. Dan periode selanjutnya adalah suatu perjuangan kemerdekaan yang kulminasi-nya ada pada peristiwa proklamasi Indonesia oleh Sukarno dan Mohammad Hatta di

Pegangsaan Timur sekarang ini Jl. Proklamasi. Mengenai rencana pembangunan Museum Proklamasi, kami keluarga Bung Hatta menganggap bahwa museum itu tentu perlu. Dan diisi dengan berbagai peninggalan sejarah yang terkait pada proklamasi kemerdekaan dan kedua proklamator; Kalau kita mau akurat dengan sejarah, kita harus memberi tempat pada kedua proklamator secara adil dan sejajar (terkait dengan tugu petir sebagai tempat berdiri Bung Karno). Dan dimana museum itu (nanti) dibangun? Ya mestinya di kawasan ini. Dan menurut saya sebaiknya bangunan baru. Dan bangunan baru itu memuat hal hal yang bisa berbicara secara lengkap tentang perjalanan proklamasi Indonesia, proses panjang itu juga harus tampil disana. Kalau gedung Pola mau dijadikan museum, ini lebih tepat museum tentang gagasan Presiden Sukarno mengenai Pembangunan Nasional Semesta Berencana lengkap dengan maket maketnya. Nah itu juga harus dijelaskan, jangan cuma maket saja ditaruh, tapi maket ini filosofinya apa? Misalnya membangun stadion Gelora Bung Karno tujuan Bung Karno apa? Membangun Monas tujuan Bung Karno apa? Jadi ketahuan filosofi dibalik pembangunan atau gagasan Bung Karno. Jadi apakah itu dijadikan museum, itu nanti harus kita saring, dan karena proklamator itu dua orang maka gagasan Bung Hatta mengenai pembangunan nasional, saya kira perlu juga diberi wadah, yaitu mestinya berupa bangunan baru tapi bukan di gedung Pola, karena gedung Pola harus jadi sesuatu yang utuh, itu benar benar milik Bung Karno. Dengan begitu generasi muda sekarang dapat memahami desain pembangunan nasional dan gagasan kedaulatan rakyat dari hasil pemikiran Bung Hatta. Jadi di gedung Pola ini, sekarang gedung Perintis Kemerdekaan ada gagasan Bung Karno, dan yang gedung satu-nya yang harusnya dibangun, ada gagasan Bung Hatta, sama sama tentang pembangunan dan filosofi. Saya yakin tidak beda satu sama lain. Ruang yang perlu dipertahankan adalah ruangan yang berkaitan dengan urusan Proklamator Sukarno-Hatta dan urusan organisasi persatuan keluarga Perintis Kemerdekaan Indonesia, yang juga menangani berbagai program terkait dengan penyimpanan nilai nilai keperintisan dari para perintis kemerdekaan.

v IBU SUKMAWATI SUKARNO :

Sejarah gedung ini sejak 1960-an tercatat sebagai gedung Pola, dimana isinya itu Pembangunan Semesta Berencana, karena bagi filosofinya, kalau ajaran Bung Karno; kemerdekaan itu kan sekedar jembatan emas menuju pembentukan suatu masyarakat yang dicita citakan, yaitu masyarakat adil makmur, itu Pembangunan Semesta Berencananya. Bagaimana polanya, yang harus bagaimana?, secara fisik atau secara karakter. Kalau sekarang mau dijadikan Museum Proklamasi, nah itu saya kira tidak ada salahnya, kita juga jangan menghilangkan pejuang pejuang perintis kemerdekaannya juga, termasuk ada satu lantai itu harus semua secara jujur gitu ya apa yang ada, walaupun PKI udah dibubarin atau Masyumi udah bubar, itu ya harus ada di dalam catatan sejarah yang memang itu secara akurasi tercatat!, mereka juga punya cita cita kemerdekaan.

v BPK. PETER KASENDA : Ada tiga menurut saya memungkinkan; Pertama, dibangun cagar budaya, tapi kalau kita bangun cagar budaya itu kan, biasanya itu satu benda, satu tempat yang amat dilindungi-dilestarikan, banyak disini cagar budaya, itu dari satu tempat yang bisa dilestarikan. Kedua, kita bisa lihat ini sebagai monumen, karena saya lihat di depan itu ada tulisan Monumen Proklamator Kemerdekaan, ini seperti Monumen Tugu Pahlawan, Monumen Tugu Pahlawan ini didalamnya itu ada museum juga, jadi ada monumen, ada museum, dan tanahnya mungkin lebih luas dari tanah yang disini. Kalau disana itu sekitar 2 hektar, kalau disini saya rasa ga sampai ya??? Ga sampai 2 hektar gitu. Lalu yang ketiga, dibangun museum seperti yang kita bicarakan sekarang ini. Kalau kita bicara museum ada dua hal hal yang harus diperhatikan. Kita membicarakan museum ini; Museum Proklamator atau Museum Proklamasi ?, kalau misal bicara tentang Museum Proklamator berarti yang diisi adalah yang berkaitan dengan kedua proklamator kita, itu secara garis besar. Tapi kalau kita bicara tentang Museum Proklamasi, berarti kita bicara tentang pergumulan bangsa secara keseluruhan dengan titik pusat adalah kedua proklamator ini.

v BPK. ISAK PURBA : Direktorat Sejarah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Pertama dari tampilan saat ini adalah untuk rencana pembangunan Museum Proklamasi yang rencananya dibiayai oleh Direktorat Permuseuman dari kementerian kita, maka paling utama kalau bisa mengadakan pembagian dari mana letak dari rumah Bung Karno sebenarnya dahulu tapi karena dari arkeologi sebuah situs itu tidak boleh lagi untuk membangun, oleh karena itu kita harus menghormati

ilmu arkeologi. Dan yang paling baik daripada rumah, Museum Proklamasi ini adalah di sebelah kanan atau di sebelah kiri dari patung Bung Karno dan Bung Hatta yang ada di depan itu. Itu menurut saya, dan oleh karena itu tidak ada lagi tidaklah menggusur gedung Pola ini, karena gedung Pola ini sudah begitu megah dan sudah direncanakan dengan baik oleh Bung Karno pada zaman dahulu. meminta kepada PT. SADHYA GRAHACARA, nanti tentunya akan membangun, akan membuat rumah sendiri mungkin, karena anak anak bangsa, anak anak SMA, SMP akan datang kemari dan akan masuk dalam pikiran mereka, akan menjadi sebagai memori paling berharga, nah oleh karena itu, yang selama ini dari gambar gambar, sekarang akan ada rumah Bung Karno semirip mungkin dan mereka akan mengetahuinya tidak hanya melalui buku buku. meminta antara lain adalah; membuat patung Bung Karno Bung Hatta ketika membacakan teks proklamasi dan itu akan masuk ke dalam pikiran mereka dan akan tidak lupa untuk selama lamanya. Tentang patung, jadi patung perunggu itu besarnya sama seperti Bung Karno, Bung Hatta dan kawan kawan. Yang paling penting adalah penggerekan bendera itu didahului dengan lagu Indonesia Raya setelah kita kemerdekaan. Nah ini juga akan dibentuk dalam diorama istilahnya, jadi besar patung itu sama. Dan SADHYA Graha, kami mengharapkan seperti itu. Tentang bendera buatan tangan Ibu Fatmawati, bendera merah putih itu, mungkin perlu ada konsolidasi antara ataupun sebuah pembicaraan dengan pemerintah, apakah tempatnya itu di istana untuk selamanya atau bagaimana? Karena untuk kepentingan merayakan 17 Agustus, ataukah nanti bendera itu dibawa ke Museum Proklamasi ini? Monggo mungkin bapak Guruh nanti yang akan mengadakan pemikiran itu. Dan yang perlu juga tentang suara Bung Karno, memang setiap SMA dan SD yang masuk itu sebaiknya suara itu harus disebutkan kembali walaupun menurut bapak doktor bahwa itu sudah suara bukan pada tahun 1945 tapi pada tahun 50-an. Yang jelas apabila suara suara itu masuk tentang proklamasi oleh Bung Karno itu akan masuk buat selama lamanya dalam pikiran mereka.

v BPK. ROESHDY HOESEIN : Mengenai yang dimaksud dengan Museum Sejarah Proklamasi itu bagi kami dalam persoalan ini adalah pengusulan dikaitkan dengan situs proklamasi disini. Ya tentu saja suatu tempat eksibisi, apakah ini di dalam gedung Pola? Ataupun di luar gedung Pola? Itu tergantung daripada instruksi pihak pihak terkait, tapi saya setuju sekali

bahwasanya jangan sampai gedung pola disia siakan atau ada pemikiran lebih lanjut mengenai gedung Pola.

Museum Proklamasi yang hendak dibangun ini, itu memiliki filosofi perjuangan bangsa yang bersumber pada pemikiran dasar lahirnya suatu Bangsa dan Negara. Yang sejak zaman Kebangkitan Nasional telah menginspirasi pemikiran pemikiran Bung Karno untuk lahirnya sebuah Bangsa dan Negara yang tentunya klimaksnya adalah mengenai peristiwa kemerdekaan. Sejarah kolonial ini memang agak alergi untuk kita bicarakan, karena seolah olah kita mau mengangkat juga pemikiran pemikiran yang baik dari kolonial, tetapi kan perlu biar bagaimana pun juga buat menyebarkan visualisasi daripada penjajahan kolonial itu sendiri. Mungkin saja kita bisa mengabaikan VOC, yang paling penting kan tahun 1800 mengenai berdirinya Negara Hindia Belanda itu, pemerintah Hindia Belanda itu. Kemudian tentu saja eksibisi terakhir, sebagai klimaks, tahun 1945. Ada pemikiran kalau memang di gedung Pola ini dimulai dari atas. Jadi ada pemikiran kalau umpamanya kita naik dulu pakai lift, itu saya pernah lihat di Aston Park memang dimulai dari atas, jadi orang orang itu sekali turun gitu sampai ke bawah. Nah di bawah ini kemungkinan besar adalah klimaks yang menjadi pokok kita punya perhatian mengenai proklamasi, artinya mengenai lepasnya bangsa Indonesia dari penjajahan. Bagian eksibisi yang kita masuki merupakan bagian klimaks, dimana jumlah pameran yang terbesar mungkin meliputi lantai dasar, mungkin juga sampai dengan lantai 1, misal saja mengenai BPUPKI sudah masuk ke situ, kemudian sidang Panitia Kecil/ Sembilan mengenai pembahasan pembukaan UUD 1945 kemudian pembentukan PPKI, yang paling penting adalah penunjukkan Bung Karno, Bung Hatta dan juga Radjiman ke Dalat, kembali dari Dalat, kemudian ada gonjang ganjing yang kita tahu, sampai dengan Rengasdengklok, sampai dengan rencana pembahasan sidang sidang panitia persiapan di rumah Maeda dan sebagainya, dan tentu saja adalah proklamasi.

Kalau bisa di lantai dasar itu juga ada satu ketentuan yang tidak bisa diganggu gugat lagi; adanya diorama 1 : 1, kita punya disini ada foto foto ya, 12 foto dari proklamasi, peristiwa proklamasi yang telah dipamerkan Yayasan Bung Karno di Jogja. Nah hendaknya, kalau mungkin, beranda depan tempat bersejarah di mana Bung Karno itu dan Bung Hatta, dimana berdua itu sebagai proklamator menyampaikan proklamasi, itu bisa melekat, dari orang orang yang berkunjung itu tidak lepas sama sekali tidak terlena demikian juga pengerekan bendera. Yayasan Bung Karno diharapkan juga tetap bisa memberikan sumbangannya! di dalam hal hal terkait dengan museum yang akan dibangun ini. Saya rasa tidak ada sebetulnya yang bisa dicela kalau Yayasan Bung Karno telah mengumpulkan banyak sekali, bukan hanya teks, buku, ada perpustakaan, tapi itu ga memorabilia.

Saya rasa tentu saja, tentang rumah proklamasi, sekarang ini ada foto fotonya itu pernah dieskavasi dilakukan penggalian fondasinya masih ada, nah ini bagaimana? Kita pernah berdebat sejak tahun 97-98, waktu itu Ibu Olla Tambunan masih sebagai Kepala Dinas, yaitu mengenai nasibnya daripada reruntuhan rumah Bung Karno, percaya ngga?- itu dari yang gali itu itu bagian bagiannya itu semua masih utuh! Termasuk septiktank pun masih utuh! Jadi alhasil mau diapakan? Apakah tidak lebih baik dulu ada pemikiran untuk diadakan penggalian. Diperlihatkan, iniloh sisa-nya rumah proklamasi itu masih ada. Tempatnya, wujudnya tidak jadi satu dengan gedung Pola, di seberang jadi tempatnya letaknya tidak jadi satu, jadi tidak menjamin juga adanya menara yang ada petir itu juga perlu digarisbawahi.

Dan yang paling penting adalah kita mempertanyakan kembali, mengenai Monumen Proklamasi itu ya, yang dibangun kalau ga salah tahun 80-an ya itu apakah sudah tepat?! Arah dia berdirinya, apakah tidak perlu dikoreksi? Justru letak itu menjadi penting! Karena sampai hari ini orang orang pikir; memang ngadep-nya ke selatan atau ke barat begitu ya? Mestinya kan ngadep-nya ke utara.

v IBU GEMALA HATTA : Tentu bapak-ibu saya kira sudah pernah membaca buku, kebetulan buku yang ini tidak bisa saya kasih pinjam karena ada tulisan dari ayah saya untuk Gemala tahun 70. saya kira buku ini bisa dipakai sebagai buku acuan, tentu bapak ibu dipersilahkan untuk membacanya.

v BPK. TS. LINGGA : Setahu saya dari sejarah gedung Pola dibangun dalam rangka pencanangan pertama 8 tahun Pembangunan Semesta Berencana Bung Karno. Jadi ini jangan lupa, artinya apapun nanti yang kita tuangkan dalam satu ide bagaimana caranya karena Bung Karno membangun ini bukan hanya membangun rencana proklamasi saja, tapi justru ide ide Bung Karno dalam pembangunan nasional adalah mulai dari tahun 61, hasilnya adalah termasuk Gelora Senayan, gedung DPR, termasuk juga jembatan Semanggi, termasuk juga Hotel Indonesia dan lain lain. Kedua, ini masalah gedung perintis. Sebenarnya kalau menurut sejarah; Bung Hatta hanya mengatakan gedung Pola ini jangan lupa tempatkan orang untuk perintis kemerdekaan. Itu ada di suratnya, ada di tulisannya, bukan dirubah namanya menjadi gedung perintis. Nah ini perlu ditelaah kembali, karena Bung Hatta itu tidak mengatakan saya ganti, kenapa dia mengatakan bahwa harus disediakan tempat daripada kaum perintis? Karena kaum perintis-lah yang memperjuangkan bangsa

kita..

Mengenai patung Bung Karno Bung Hatta ditempat yang salah, apa kita harus pertahankan itu? Posisinya itu menghadap kemana? Padahal posisinya ketika itu menghadap kalau ga salah- ke utara ya?, ini perlu juga dilibatkan sejarawan kita ini, supaya jangan dibiarkan terus apa yang dibuat Pak Harto benar. Ada yang salah, ada yang benar, tetapi yang salah harus diperbaiki.

v BPK. BAMBANG ERYUDHAWAN : Muncul ide bikin gedung baru, yang buat saya sebagai arsitek sebetulnya sebuah anugerah juga gitu yah, kalau ada gagasan besar membangun Museum Proklamasi tidak menggunakan gedung Pola. Walaupun persoalan berikutnya muncul, terus tempatnya dimana ya?, soalnya penanggung jawab bilang tanah ini terlalu sempit gitu Tapi kalau kita ingat juga seperti kasus di Amerika Philadelphia di dekat Independence National History Park itu ada rumah Benjamin Franklin, museumnya ditaruh di bawah tanah, diatasnya ada rekonstruksi kerangka rumah Benjamin Franklin, jadi tidak nampak museumnya tapi ditaruh di bawah tanah, walaupun persoalan berikutnya muncul; bawah tanah memang pasti mahal, tapi buat Bung Karno Bung Hatta masa sih mahal ya? Kalau saya ingat kata katanya Teng Hsiao Ping tentang Mao Tze Tung, kan waktu itu Teng Hsiao Ping ditanyakan apakah foto Mao Tze Tung itu akan terus disitu atau ngga? Teng Hsiao Ping waktu itu sudah jadi presiden dan pemimpin kalau ga Mao Tze Tung ya republik ini ga ada, berlaku sama untuk disini gitu loh, walaupun perjuangan itu dilakukan oleh banyak orang, tapi kesimpulannya bisa dibilang, kalau ga ada Bung Karno Bung Hatta republik ini ga 17 Agustus! Dan atas dasar itu, kita kan harus berterima kasih, bahwa kita sudah menikmati kemerdekaan bukan semata mata hanya karena Bung Karno Bung Hatta, (tapi) maksudnya beliau berdua itu kan adalah simbol, simbol dari sebuah perjuangan yang tadi dicoba dirinci. Kalau kita coba bicara perjuangan abad 20 kan, itu kan adalah perjuangan lewat organisasi saya juga setuju mungkin kalaupun harus merunut ke belakang perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura. Itu mungkin sebuah introduction saja tapi kita mungkin bisa mulai fokus pada perjuangan yang lebih modern ketika bukan senjata yang bicara tetapi cara berpikir, cara berorganisasi lewat pendidikan dan sebagainya dan mungkin tidak sekedar mulai dari 1908 tapi sejak awal sebelum kemerdekaan pun Ibu Kartini sudah mulai dianggap sebagai pahlawan. Kemudian nanti persoalannya adalah, akan muncul babak baru setelah aspek pengkajian ini, tempat ini memang tidak terlalu luas tapi kalau kita lihat di Independence Hall kita lihat tidak terlalu besar bahkan Ia di tengah-tengah kawasan

kota yang cukup padat.

Hanya persoalannya adalah bagaimana menggabungkan antara ide gedung Pola yang sudah terlanjur ada dengan ide Museum Proklamasi yang sudah ada. Kop tendensinya adalah tidak menggunakan tempat ini, artinya itu saya rasa wacana yang menarik juga. Tapi apapun juga kita bisa fokus pada upaya - upaya bahwa dimanapun akan ditempatkan, Museum Proklamasi ini kelihatannya sudah jadi kebutuhan yang sangat mendesak.

BPK. ARYA ABIETA : Menanggapi Museum Proklamasi, saya tidak ingin terlibat dengan apakah ini di gedung/ museum baru atau lama, tapi sesuai dengan kompetensi saya arsitek, maka saya menganggap rumah proklamasi menjadi penting kalau kita bicara Museum Proklamasi. Saya dan pak Wisnu berkesimpulan bahwa gedung/ rumah itu tidak boleh dibangun kembali, karena pembongkarannya memang sudah direncanakan, bagian dari sejarah. Kalau tadi dikatakan ada Undang - Undang Bangunan Cagar Budaya, undang undang itu memang dikatakan, ada kata kata rekonstruksi itu diijinkan, selama data datanya memang akurat dan memenuhi syarat. Tapi di dalam kasus gedung rumah proklamasi menurut saya, walaupun data itu akurat, tetap tidak usah dibangun, karena pembongkarannya memang direncanakan, itu bagian sejarah dari proklamasi. Rencana yang kami buat, kami menggali sampai kelihatan pondasinya, dan kemudian menutupnya dengan kaca, dan kemudian seperti yang di Benjamin Franklin - kami kemudian memberi siluet dari rumah itu, lalu kemudian memberi tapak dimana Sukarno-Hatta berdiri, kami membayangkan supaya segenap bangsa Indonesia punya rumah proklamasi sendiri di benaknya pada waktu itu, ada rekonstruksi di dalam benaknya. Saya kira hal ini secara nilai, secara arsitektural, secara arkeologi sangat dapat diterima. Museum Proklamasi tidak bisa dipisahkan dengan rumah proklamasi. Tapi rumah proklamasi harus keluar sebagai sosok yang baru, kita belum punya di benak kita masing masing tentang rumah proklamasi.

BPK. DIDIK PRADJOKO : Jadi ini mungkin perlu digambarkan dan saya melihat dalam media media, baik yang diterbitkan dalam bahasa Melayu, bahasa daerah, itu gagasan gagasan tentang kemajuan (perubahan) ini ada. Jadi alangkah baiknya bahwa konsep Indonesia atau mungkin waktu itu dalam pemikiran mereka bahwa manusia manusia yang sekarang tinggal di Indonesia ini bisa maju, bisa hidup sejahtera, itu

sudah ada gagasan. Kita tahu bahwa Sukarno-Hatta juga orang orang yang gemar menulis dan sangat menghormati dan melihat bahwa tulisan itu bisa merubah dunia. Jadi saya mengusulkan bahwa ada koleksi mungkin di-scan atau di foto koran koran atau mungkin kutipan kutipan yang menggambarkan gerakan gerakan kemajuan ini dan mungkin nanti disandingkan dengan tulisan tulisan proklamator tentang hal hal yang sama. Setuju dimulai dengan peralihan abad dan disitu tergambarkan proses, jadi dalam konteks historis Sukarno-Hatta tetap dalam posisi sentral tetapi jangan lupa bahwa proses perumusan naskah di rumah di jalan Imam Bonjol. itu dulu di jalan apa ketika masa Jepang saya lupa namanya, nah itu banyak tokoh tokoh yang terlibat, jadi tokoh di Rengasdengklok, itu sendiri diharapkan bahwa tokoh tokoh yang ikut dalam konteks historis itu juga terbawa, dalam mungkin tidak dalam konteks sentral, bahwa tanpa mereka mungkin situasi Negara ini berbeda. Terkait dengan teknis, saya mengusulkan adanya ruang audio visual, jadi misalnya di Museum Asia Afrika itu ada ruangan audio visual yang mungkin seluas ruangan ini dan itu sangat membantu sebelum berkeliling ruang ruang yang lain. Itu ada pengantar dari sebuah film dokumenter yang mungkin bisa membawa para pengunjung ke alam waktu itu.

v BPK. TAN SRI ZULFIKAR : Mungkin yang harus kita pikirkan adalah; kalau ada pengunjung datang ke museum ini harus ada merchandise, apakah ada boneka kecil Sukarno-Hatta.

v BPK. OSRIFOEL OESMAN : Sepengetahuan saya itu, museum yang dikaji atau yang akan dibuat Master Plannya ini adalah Museum Proklamator. Tadi arah pembicaraannya kan berkisar tentang dua hal; proklamasi atau proklamator. Bisa dikaitkan keduanya, tetapi menurut saya yang penting adalah kajian harus akurat, untuk bisa menentukan pekerjaan Master Plan, sehingga dari arah pembicaraan ini saya menangkap bahwa sebagai seorang arsitek membuat museum baru memang suatu cita cita ya, karena kita bisa lebih sempurna untuk men-scope-kan story line dan apa yang berkaitan dengan museumnya. Lalu kalau kita kembali ke tapaknya, sebetulnya ada hal yang perlu diperhatikan bahwa ada dualisme dalam pengertian rekonstruksi memang, merekonstruksi di atas situs itu bukannya tidak bisa, tetapi ada beberapa hal yang nanti akan mengacu pada Undang Undang Cagar Budaya, sehingga sebelum juga kita perhatikan bahwa merekonstruksi di atas situs yang berkaitan dengan konteks kekinian juga bisa kehilangan atmosfer, oleh karena itu ada beberapa pandangan,

apakah sebaiknya ada hal lebih mudah membuat tapak, atau membuat margin, atau di tempat kejadian, atau peristiwa yang bersejarah tersebut. Dan saya ingat juga dengan ucapan bahwa kalau untuk Proklamator adalah segalanya menurut saya, sesuai dengan pembicaraan kawan kawan, apa tidak terpikir bahwa teknologi hologram atau laser bisa membantu juga untuk mengenang, karena di beberapa Negara juga dilakukan.

Lalu yang keempat, Master Plan ini bisa salah bisa tidak, karena sebagian besar melihat bahwa Master Plan nanti akan menjadi rujukan untuk pembangunan fisik, padahal Master Plan merujuk kepada kajian. Kalau kajiannya tidak fokus dan tidak, harus ada pilihan disini menentukan hal hal yang tadi kita bicarakan, saya pikir konsultan harus dengan bantuan atau masukan dari FGD ini, harus mampu untuk menentukan ini. Artinya, kalau dalam fisiknya kita akan terfokus pada saat saat Tapak Gedung Pola tapak pada sisa sisa rumah Bung Karno, yang sekarang secara visual kita lihat pada menaranya. Lalu yang ketiga adalah monumen, arah hadap menjadi penting sesuai dengan bapak tadi sebutkan bahwa itu tidak, kalau perlu memang harus dibenarkan melalui kajian ini, bahwa arah hadap itu salah atau betul. Sehingga di dalam Master Plan tidak terjadi kesalahan kedua kalinya. Lalu bisa saja ketiga kalinya salah dalam pelaksanaan Pak, nah inilah yang mungkin bisa menjadi, akhirnya pada tahun berikutnya kalau kita lihat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan ketika akan melaksanakan tahun depan dan kalaupun Pemerintahan juga ada uangnya, kalau kita tidak ada uangnya menjadi suatu rencana, tapi paling tidak ada rencana. Kedua, di Master Plan itu arahnya sudah betul. Sebetulnya sih kompetensi saya sih nanti di Master Plan, tapi saya menekankan bahwa harus jangan ragu ragu.

v BPK. EDDI ELISON : Patung Bung Karno nya yang sekarang ada di Taman Proklamasi, itu kan sudah melenceng dari hal yang sebenarnya. Bung Karno ditaruh sama Bung Hatta di sebelah sini, di sini disebut disinilah Bung Karno mengucapkan Proklamasi. Itu ada yang namanya kaya tombak. Ini kan sudah sebetulnya melenceng daripada yang sebenarnya. Karena itu, pembangunan Museum yang akan kita bangun, saya tidak tahu kapan akan dibangun, kapan bisa menjadi kenyataan. Tapi setidak tidaknya, Museum ini kelak akan berfungsi sebagai Museum Ralat untuk hal hal yang ada. Banyak Museum yang perlu diralat isinya. Nah ini yang paling penting, bagaimana kita bisa membenarkan kembali data sejarah itu secara pasti.

v BPK. YUNUS ARBI : Sebagai ilustrasi : Rumah Presiden pertama Amerika George Washington, Itu bagaimana orang sana itu menghargai, pertama memberikanlah apresiasi, saya masuk ke sana dan saya mentertawakan orang Amerika yang sudah begitu modern. Saya katakan, orang Amerika begitu modern masih mau antri masuk ke dalam rumah, saya ditegur oleh orang Amerika sendiri, yang dikatakan anda jangan berbicara seperti itu, saya bilang kenapa? He is a God Father of our Country Padahal itu sudah tiga abad yang lalu, tetapi untuk masa sekarang bagi rakyat Amerika kata kata itu masih melekat. Tapi disini saya dari awal belum

merasakan itunya, gitu kan itu kan yang sebenarnya harus kita bangun dulu.

Gambaran Bung Karno di Ende : Masyarakat Ende yang begitu kecil, semua berbicara tentang bagaimana Bung Karno melahirkan Pancasila. Mereka berbangga sebagai warga Ende yang menghargai tokohnya yang sampai jaman modern, Republik Indonesia itu sudah dihilangkan, tetapi di kota Ende itu masih ada. Dan mereka bahkan bilang, (dengan segala pengaruh macam macam) mereka tidak tersentuh. Bagi masyarakat Ende itu, mulai dari anak sekolah sampai orang tua, semua berbicara tentang bagaimana tentang nilai itu secara berkesinambungan masih melekat di masyarakat. Saya malah jadi berpikir tapak yang dikatakan sebagai tapak bersejarah itu, kita harus kembalikan dulu lah, tapak yang tadi itu, apakah ternyata tapak itu sangat berperan. Seperti tadi masalah rumah, perkara apakah akan direkonstruksi itu tidak itu, tidak jadi masalah. Tetapi apakah tapak rumah itu, memang begitu punya nilai yang begitu luar biasa yang mampu mempengaruhi manusia-nya. Kalau iya, bagaimana nanti arsitek mampu mengatasi, berkhayal, untuk mengilustrasikannya dengan teknologi yang seperti apa gitu, nah itu bisa. Kemudian tentang gedung Pola, yang ternyata Pembangunan Semesta Berencana itu, buat saya sebagai publik yang sudah sibuk di Jakarta berpindah pindah, apa itu? Ternyata itu sudah tidak ada, tapi ketika saya berkecimpung dalam dunia lingkungan arsitek, Bung Karno sebagai seorang arsitek, ternyata pernah dengar dengar dalam suatu diskusi bahwa gedung Pola ini adalah salah satu lambang arsitektur yang dibuat oleh sorang arsitek; bagaimana konsep sebuah pembangunan itu Pembangunan Semesta Berencana itu, itu kan sebuah filosofi filosofi, sehingga semangat dalam konteks kekinian yang relevan dari waktu ke waktu itu akan terasa. Jadi kita mencoba pendekatan sejarah, mengilustrasikan pendekatan pada masa lalu dan segala macam, itu ga ada nilai, dimana masyarakat ga akan merasakan nilai tapak itu Hingga akhirnya saya pikir memang begitu pentingnya kajian tapak ini dan kita berusaha mengangkat tapak itu seperti apa adanya. Dan itu tinggal bagaimana kita, dalam aspek kekinian, kita jangan sampai salah gitu, dalam mengilustrasikan peristiwa itu tadi. Nah apakah itu memang harus diuji, nah apakah memang nilai tapak itu akan terasa oleh masyarakat sekarang, kalau ngga itu hanya sekedar rekayasa visual dari pada disiplin ilmu tertentu yang bisa merasakan. Untuk para sejarawan tadi, maksudnya kajian daya khayal bukan ingatan memori kolektif saya untuk hilang, karena memang saya bukan seorang sejarawan, tetapi saya sebagai rakyat biasa yang harusnya bisa merasakan apa yang diinginkan oleh para proklamator kita nanti.

v BPK. PRIOYULIANTO : Bahwa memang di dalam membangun sebuah museum itu harus ada sesuatu, katakanlah orang bisa masuk ke museum tuh katakanlah bisa semacam merinding semua gitu ya jadi supaya core value-nya itu betul betul muncul. Memang ini sesuatu yang abstrak tapi harus bisa dicoba, karena bagaimanapun ini sebetulnya, saya juga tadi sepakat dengan pak Sohibul, sebetulnya juga belum menunjukkan secara tegas Museum Proklamasi atau Museum Proklamator? Tapi apapun sebetulnya, itu masuknya kita bicara tentang sejarah, jadi kalau bicara museum ini berarti museum yang ada hubungannya sejarah. Informasi yang disadjikan itu tentang sebuah peristiwa. Bahwa ada tapak gedung yang sekarang dirobohkan, kemudian juga ada patung, ada tugu, ada gedung ini sendiri. Jadi saya kira juga kita harus memperhatikan ini semua sebagai sebuah kesatuan, karena itu semua menjadi satu kesatuan yang perlu ditegaskan. Jadi tapak bekas rumah Bung Karno itu, sebetulnya, terserah nanti teknisnya gimana, tapi saya kira memang seperti yang dikatakan Pak Arya tidak perlu membangun lagi karena ini sebetulnya pembongkarannya sudah terencana. Tetapi alangkah baiknya memang seperti yang pernah dibicarakan juga beberapa saat yang lalu untuk ditampakkan, mungkin dikasih kaca atau bagaimana, karena ini biar bagaimanapun merupakan koleksi yang khusus. Jadi dilihat dari kacamata museum, peruntukan itu sebetulnya merupakan sebuah proyeksi tersendiri, itu sifatnya juga khusus. Selain itu juga, gedung sebagai sebuah bangunan bersejarah itu juga perlu ditampilkan, sejarah gedung Pola ini sendiri perlu dimunculkan. Apalagi bahwa ini merupakan salah satu bukti dari arsitektur pada masa itu, ini juga perlu diperkenalkan kepada masyarakat. Kita harus melakukan semacam replic conservation assessment untuk melihat segala hal yang menyangkut gedung ini, seberapa layak gedung ini dipakai sebagai sebuah museum. Kita bisa melihat misalnya tentang letaknya. Letak gedung ini berdekatan dengan rel kereta api, yang setiap menit kereta api itu lewat, ini saya kira perlu diperhitungkan juga, apakah daerah ini daerah banjir atau tidak?, kemudian instalasi listrik, nah biasanya instalasi listrik ini sangat jarang diutak atik, pokoknya udah jadi, jarang ada inspeksi secara regular gitu biasanya saya juga baru lihat museum museum yang ada di propinsi yang menggunakan bangunan cagar budaya tuh biasanya paling dahulu itu (listrik) yang saya perhatikan, saya beritahu kepada kepala museumnya, tolong ini listrik listriknya dicek, karena biasanya itu lalai. Dan itu betul, tidak lama kemudian terjadi museum kota Makassar terbakar sebagian hanya karena korslet listrik karena kabelnya udah tua. Kemudian di museum dikenal juga yang namanya museum pasti ada tersimpan

koleksi koleksi, nah kita bicara penanganannya itu bagaimana?, nah ini tidak hanya bicara gedungnya, tapi kita juga bicara, mana mana dari sisi lingkungan dimana gedung ini berada.

Kembali kepada 3 hal pokok yang sudah disebut bahwa informasi pada tapak rumah Bung Karno ini memang menjadi sesuatu yang khusus, kemudian juga informasi tentang gedung ini sendiri artinya gedung Pola, dan juga pemanfaatan ruang yang tadi sudah ada diusulkan, misalnya 5 lantai ini mulainya dari atas, nah pemanfaatan ruang ruang ini juga seperti tadi dikatakan, sebenarnya ruangan ini terbuka semua, karena waktu di bawah seingat saya bisa lihat langit langit, tapi sekarang udah berubah, jadi itu juga penting untuk diperhatikan. Untuk mengakhiri saya katakan bahwa sekali lagi pemanfaatan ruang ruang ini pada gedung Pola ini sebagai sebuah ruang pameran tetap.

v BPK. LUTHFI ASIARTO : Ada dua pengertian, Museum Proklamator atau Museum Proklamasi?, ini dua pengertian, ndak sama ini jelas harus diperhatikan. Kalau proklamator berhubungan dengan orang, kalau proklamasi berhubungan dengan proses kemerdekaan kita. Kita mempunyai beberapa museum tentang sejarah. Kebangkitan Nasional tentang Boedi Oetomo, kedokteran, Museum Sumpah Pemuda, museum di Pejambon tentang Pancasila, terus Museum Gedung Joang di Menteng 31, Museum Naskah Proklamasi Imam Bonjol, itu adalah suatu rentetan proses sejarah kita, jadi ini memang betul harus kita Museum Proklamasi atau Museum Proklamator? Kalau kita melihat situs di sini adalah situs pembacaan proklamasi, nah berarti kita ingin membuat museum proklamasi, kalau proklamasi harus kita lihat bangunannya juga ga ada, yang ada gedung Pola. Gedung Pola tujuannya dibangun bukan untuk proklamasi. Ada 3 alternatif yang mesti kita pikirkan; kita menggunakan gedung Pola ini untuk nanti membuat Museum Proklamasi, dengan bagaimana Mas Guruh tadi; jangan meninggalkan masalah amanat Bung Karno, itu juga harus kita tampilkan, Yayasan Bung Karno itu juga kita tampilkan nanti, nah itu nanti tinggal kita mau pilih yang bagaimana?, itu yang pertama. Ya karena gampang itu arsitek ngga bangun lagi kan?. Yang kedua, apa kita mau merekonstruksi rumah Bung Karno atau tidak?, tapi kalau amanat Bung Karno dengan tadi saya diingatkan dengan Henk Ngantung, karena Henk Ngantung dimarahin sekali oleh Bung Karno; apa kamu nanti mendirikan museum tentang saya , akan ditampilkan celana dalam saya?, gitu kan terserah nanti arsitek. Yang ketiga, saya setuju yaitu membangun di bawah, museumnya tentang proklamasi, nah saya tidak tahu itu yang kedua yang ketiga ini kita kalau bangun museum tidak pernah tahu tujuannya dan maksudnya apa ?, visi-nya apa?, bangun museum itu. Selalu kita bangun, bangun, bangun, akhirnya karena tidak jelas

tujuannya dan visi-nya. Kalau kita jelas bahwa untuk menanamkan kepada generasi muda atau penerus tentang proklamasi dan cita cita proklamasi atau perjalanan proklamasi itu.

Jadi kita ingat ada tempat tempat yang sudah ada museum yang berhubungan dengan masing masing tahapan sejarah kita. Saya berpikir, saya setuju dengan Mas Adji Mas Adji monumen itu kan salah hadap!, bongkar aja! . Jadi artinya bongkar, bangun baru yang sesuai dengan tempat Bung Karno-Bung Hatta dan kawan kawan itu, rembukan tempatnya dimana. Pada waktu proklamasi kalau kita lihat fotonya, Pak Roeshdy banyak fotonya. Karena untuk menanamkan pewarisan nilai sejarah, berarti disana harus ada sarana dan prasarana untuk pendidikan, baik untuk TK sampai Perguruan Tinggi

v BPK. ADJI : Urusan patung, itu supaya dibicarakan dengan ITB, yang menciptakan ITB dengan pertimbangannya sendiri, saya kebetulan dulu wakilnya DKI untuk di proyek patung ini dan sempet ngomong sama Mas Guntur ya Dia bilang; Patungnya kok jelek sih, trus saya bilang Udah bagus ada Tur, dan jangan lupa! Kita jangan gampang ngomong hancurin itu, Pak Harto tidak pernah menghancurkan satu pun monumen Bung Karno loh itu ga boleh kita lupakan. Saya rasa adalah urusan bangun atau tidak bangun kembali rumah Bung Karno. Di sini saya mau bicara panjang karena ini gagasan yang muncul sudah tahun 74, waktu Pak Harto membuka Gedung Joang 45 itu, bahwa saya, pak Wamanja, Kepala Dinas Museum dan Sejarah DKI dengan pak Tjok, itu membuat maket rumah proklamasi, dipamerkan dan waktu itu ada saran, dari juga pak Ali Sadikin; bagaimana kalau ini dibangun kembali?, Pak Harto tidak keberatan waktu itu, itu yang aneh. Kita beda-in monument tuh apa?, museum tuh apa? Dan museum pun bisa Memorial Hall, itu Balai Peringatan, jadi tidak perlu ada koleksi, seperti Museum Naskah Proklamasi itu Memorial Hall. Dan habis itu gedung Pola-nya ini mau dimanfaatkan sebagai apa dan saya setuju dengan gagasannya Saudara Yudha bahwa didalamnya itu perlu ada sebuah pameran mengenai ini gedung untuk apa dulu?, nah itu sejarahnya bangunan gedung Pola.

Hal hal lain yang tidak perlu dibicarakan oleh kita, itu saya sarankan bikin sebuah dewan atau panitia yang isinya sejarawan jangan kita, nanti semua-nya jadi kacau lagi, apa ini, apa itu, bagaimana itu supaya ahli ahli sejarah yang memperdebatkan dan mereka mengeluarkan, sudah barang tentu suatu kertas kerja sebagai pedoman untuk isi daripada museum -nah ini pertanyaan saya- proklamasi atau proklamator. Saya rasa, lebih baik itu namanya Museum Proklamasi karena peristiwa. Kalau orang Perancis menamakan temmpat ini itu sebuah Le de Memoir, A Ramp of

Memory itu sesuatu yang konkret dan abstrak, sebuah inti skala dan skala, karena kejadiannya itu sudah dibuat, tempatnya sudah ga ada bekasnya tetapi semua orang tahu, karena jalan Proklamasi aja berubah bukan Pegangsaan Timur, jadi ini semua menumbuhkan suatu daya ingat di masyarakat bahwa proklamasi itu terjadi di sini dan bukan di tempat lain. v BPK. ASEP KAMBALI : Museum Proklamasi ini menjadi penting pada kerangka membangun nasionalisme itu, jadi tentunya tujuan pembangunan museum ini harus diangkat ke sana. Bagaimana sejarah dan museum ini bisa dinikmati oleh generasi muda, tapi efeknya justru yang harus mutual effect, nah karena ini adalah jualan sejarah atau jualan museum, tentu kita harus memiliki kekuatan estimologis, dan kekuatan aksiologis. Nah estimologis ini dimiliki oleh temen temen sejarawan, dan itu tentu teman teman arkeolog dan beberapa ilmu lain termasuk arsitek.

v BPK. M. ACHADI : Kita harus menetapkan museum, menentukan fungsi museum itu apa?, apakah sekedar menampilkan apa yang sudah terjadi? Atau bawa message ke depan?, itu penting itu. Kalau museum itu cuman menampilkan apa yang sudah terjadi itu banyak itu. Tapi maksud kita museum itu suatu hal yang terjadi untuk ke depan bagi generasi penerus, sebab proklamasi dan proklamator dan peristiwa 1945 itu benar benar fundamental, bukan untuk Indonesia untuk dunia! Mukadimah Pancasila bilang : bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa, oleh karena itu maka penjajahan di dunia harus dihapuskan, pengalaman itu akan terjadi bertahap tahap, yang tidak adil itu runtuh, jalannya ndak tahu, kita juga ndak tahu itu dulu merdeka pada perang dunia II dulu Jepang masuk Jepang menyerah, kita merdeka. Oleh karena itu museum ini mohon bukan sekedar memonitor apa yang terjadi, tapi juga messages. Mukadimah Pancasila itu harus dimunculkan karena ini untuk perjuangan yang seterusnya. Disamping di museum itu juga dicantumkan beberapa buku buku ajaran Bung Karno yang bukan hanya untuk Indonesia, untuk dunia.