asal molekuler kanker par1

19

Click here to load reader

Upload: malik-dinata

Post on 25-Jul-2015

141 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asal Molekuler Kanker Par1

ASAL-USUL MOLEKULER KANKER PARU

Roy S. Herbst, MD, Ph.D., John V. Heymach, MD, Ph.D.,

dan Scott M. Lippman, MD

Kanker paru merupakan penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika

Serikat dan seluruh dunia. Dua bentuk utama kanker paru adalah kanker paru non-

small cell (sekitar 85% dari semua kanker paru) dan kanker paru small cell (sekitar

15% sisanya). Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam bidang deteksi dini dan terapi

standar, kanker paru non-small cell seringkali baru didiagnosis pada stadium lanjut dan

memiliki prognosis yang buruk. Pengobatan sekaligus pencegahan kanker paru adalah

kebutuhan utama yang belum dapat dipenuhi serta mungkin dapat ditingkatkan

dengan pemahaman yang lebih baik akan asal-usul molekuler serta evolusi penyakit

tersebut.

Kanker paru non-small cell dapat dibagi menjadi tiga subtipe histologis utama:

karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, dan kanker paru large-cell. Merokok dapat

menyebabkan semua jenis kanker paru tetapi yang paling sangat dikaitkan dengan

kanker paru small-cell serta karsinoma sel skuamosa. Sementara itu, adenokarsinoma

adalah jenis paling umum yang dijumpai pada pasien yang tidak pernah merokok

(Gambar 1). Ulasan ini berfokus pada kemajuan besar terbaru dalam penelitian

mengenai asal-usul molekuler dan biologis karsinoma sel skuamosa serta

adenokarsinoma, karena mereka merupakan jenis kanker paru yang paling banyak

didiagnosis (Tabel 1). Kemajuan difasilitasi oleh perkembangan teknik molekuler dan

biomarker yang dapat mendefinisikan risiko kanker, prognosis, serta terapi optimal

yang ditujukan untuk pencegahan sekaligus pengobatan kanker paru secara personal.

ASAL MOLEKULER

KERENTANAN PEJAMU

Penelitian epidemiologis yang menunjukkan hubungan antara riwayat keluarga dengan

peningkatan risiko kanker paru merupakan bukti pertama akan adanya suatu

kerentanan pejamu (Gambar 1). Kerentanan dan risiko akan kanker paru juga

Page 2: Asal Molekuler Kanker Par1

meningkat pada sindrom kanker turunan akibat mutasi langka germ-line pada gen p53,

retinoblastoma, dan gen  lainnya, serta mutasi germ-line pada reseptor gen faktor

pertumbuhan epidermis (EGFR). Baru-baru ini, tiga penelitian asosiasi genomik besar

berhasil mengidentifikasi adanya hubungan antara variasi polimorfisme nukleotida

tunggal (SNP) pada 15q24 - 15q25.1 dengan kerentanan terhadap kanker paru. Area

variasi SNP tersebut baru-baru ini dikaitkan dengan karsinogenesis paru dan meliputi

dua subunit pengkode gen dari reseptor alpha nicotinic acetylcholine yang dipengaruhi

oleh paparan nikotin. 

Kerentanan dan risiko kanker paru juga meningkat dengan berkurangnya

kapasitas perbaikan DNA (terutama jika disertai dengan paparan asap tembakau) 

yang mengakibatkan, misalnya, perubahan germ line pada gen perbaikan eksisi

nukleotida seperti ERCC1. Peningkatan ekspresi sintesis DNA serta gen perbaikan,

termasuk RRM1 (subunit regulatori ribonukleotida reduktase) dan ERCC1 pada

kanker paru non-small cell berkaitan dengan prognosis yang lebih baik secara

keseluruhan tetapi tidak bermanfaat pada keefektifan kemoterapi berbasis

platinum. Tabel 1 menyajikan beberapa kelainan gen yang terlibat dalam

perkembangan berbagai tipe histologis kanker paru.

EVOLUSI KLONAL

Perubahan dalam beberapa gen tertentu (misalnya, interleukin-8 proinflamasi

[IL8] serta beberapa gen perbaikan DNA) terjadi pada jaringan paru normal perokok

maupun pada pasien dengan kanker paru. Temuan tersebut sesuai dengan adanya

cedera jaringan yang bersifat difus. Perubahan tersebut mungkin mendahului evolusi

klonal epitel yang merupakan unsur penting asal-usul molekuler kanker paru dan

kanker lainnya (Gambar 1). Plak-plak sel yang terkait secara klonal atau plak klonal

yang mengandung 40.000 hingga 360.000 sel telah berhasil dipetakan dalam paru.

Ukuran serta jumlah subklonal dalam sebuat plak klonal dapat turut andil menentukan

risiko kanker. Kejadian awal dalam perkembangan kanker paru non-small cell meliputi

hilangnya heterozigositas pada area kromosom 3p21.3 (letak RASSF1A, suatu

anggota famili domain asosiasi Ras, dan FUS1), 3p14.2 (FHIT, suatu gen  triad histidin

yang bersifat rapuh), 9p21 (p16), dan 17p13 (p53). Seluruh gen tersebut merupakan

gen supresor tumor. Terdapat perbedaan pada pola berkurangnya heterozigositas

antara karsinoma sel skuamosa dengan adenokarsinoma (misalnya, delesi kromosom

3p jauh lebih ekstensif pada karsinoma sel squamosa). Mutasi pada domain

Page 3: Asal Molekuler Kanker Par1

kinase EGFR terjadi pada awal perkembangan adenokarsinoma dan umumnya tidak

terkait dengan kebiasaan merokok. Sementara itu, mutasi KRAS yang terjadi pada

awal perkembangan adenokarsinoma diketahui berhubungan dengan kebiasaan

merokok. Plak klonal dengan metilasi area gen promoter (perubahan epigenetik),

mutasi p53, mutasi EGFR, amplifikasi c-Myc , hilangnya heterozigositas, serta

ketidakstabilan mikrosatelit dapat terjadi pada jaringan normal di sekeliling kanker paru

non-small cell dan mungkin terkait dengan peningkatan risiko kekambuhan serta risiko

adanya tumor primer kedua. Temuan ini menunjukkan bahwa analisis molekuler

margin bedah di masa depan dapat membantu mengidentifikasi pasien-pasien yang

paling mungkin memperoleh manfaat dari terapi adjuvan.

Gen yang termetilasi pada lesi paru sel squamosa premaligna (misalnya,

metaplasia dan displasia) meliputi p16 dan FHIT (sering dijumpai dan muncul sangat

dini), O-6-metilguanin-DNA methyltransferase (MGMT), death-associated protein

kinase (DAPK), serta RASSF1A (lebih jarang dijumpai dan muncul pada lesi

prekanker stadium lanjut). Metilasi dini p16 di awal perkembangan kanker paru sel

skuamosa (misalnya, di jaringan paru normal pada sekitar 50% perokok)

mencontohkan adanya perbedaan dengan proses yang terjadi dalam perkembangan

adenokarsinoma, di mana metilasi p16 sangat jarang terjadi dan hanya terjadi secara

lanjut pada prekursor (misalnya, hiperplasia adenomatosa atipikal high-grade).

Penanda metilasi pada sputum yang berhubungan dengan risiko kanker paru

(misalnya, p16 termetilasi) dan kekambuhaan kanker paru (ASC-TMS1 termetilasi,

juga disebut sebagai PYCARD). Data terakhir menunjukkan bahwa metilasi promotor

berbagai gen, seperti p16 dalam kanker paru non-small cell stadium I, terkait dengan

kekambuhan setelah prosedur reseksi.  Agen yang membalik perubahan epigenetik

terbukti sangat menjanjikan dalam model tikus karsinogenesis paru dan sedang diuji

pada manusia dengan kanker paru. 

Sel pungca bronchoalveolar, yang mungkin berlaku sebagai prekursor

adenokarsinoma paru, baru-baru ini diidentifikasi dalam penelitian pada tikus. KRAS,

PTEN, phosphoinositide 3-kinase (PI3K), dan cyclin-dependent kinase pathway

terbukti terlibat dalam proliferasi sel pungca. Potensi peran sel pungca bronchoalveolar

serta populasi sel pungca tumorigenik lainnya dalam perkembangan dan prognosis

kanker paru manusia serta resistensi terhadap obat merupakan area penting penelitian

di masa depan

.

Page 4: Asal Molekuler Kanker Par1

EVOLUSI MOLEKULER

FAMILI EGFR

EGFR mengatur proses-proses tumorigenik penting yang meliputi proliferasi,

apoptosis, angiogenesis, serta invasi (Gambar 2), dan bersamaan dengan ligan-nya

seringkali di-overekspresikan dalam perkembangan dan progresi kanker paru non-

small cell. Pengujian klinis inhibitor dari tirosin kinase EGFR erlotinib generasi kedua

atau ketiga untuk terapi tumor serta antibodi monoklonal terhadap EGFR, cetuximab

(dikombinasikan dengan kemoterapi) untuk terapi penyakit lanjut yang sebelumnya

tidak dapat diobati telah memvalidasi EGFR sebagai target terapi molekuler. Mutasi

EGFR yang ditemukan selama penelitian klinis telah memicu dilakukannya penelitian

ekstensif mengenai peran mutasi dan amplifikasi EGFR dalam patogenesis dan

prognosis penyakit serta sensitivitasnya terhadap terapi.

Beberapa kelompok peneliti secara independen telah mengidentifikasi mutasi

somatik dalam domain kinase EGFR pada adenokarsinoma paru di sekitar 10%

sampel pasien di Amerika Serikat dan di 30 hingga 50% sampel pasien di Asia (Gbr.

3). Mutasi lebih sering terjadi pada wanita dan kalangan non-perokok serta erat terkait

dengan sensitivitas terhadap inhibitor kinase tirosin EGFR gefitinib dan erlotinib serta

tampaknya dapat menjelaskan sebagian besar mekanisme di balik respon dramatis

terhadap agen-agen tersebut. Lebih dari 80% mutasi pada kanker paru tersebut

melibatkan delesi in-frame dalam ekson 19 atau mutan L858R dalam ekson 21.

Mutasi EGFR berkaitan dengan perbaikan prognosis kanker paru non-small cell,

bahkan setelah diterapi dengan kemoterapi sitotoksik.Amplifikasi EGFR dapat

dideteksi pada displasia (terutama yang berstadium lanjut), serta dikaitkan dengan

risiko kanker paru dan dengan prognosis yang buruk jika terdeteksi dalam sputum

perokok tetapi juga dengan kepekaan terhadap inhibitor EGFR. Kajian epidemiologi

menghubungkan tiga faktor utama – apakah pasien adalah non-perokok, ras Asia, dan

berjenis kelamin perempuan – yang berkaitan secara independen maupun kolektif

dengan perbaikan respon terhadap inhibitor tyrosine kinase EGFR. Meskipun

demikian, erlotinib tampaknya dapat memperpanjang kelangsungan hidup di hampir

semua sub kelompok pasien kanker paru non-small cell. Terdapat perbedaan besar

dalam faktor klinis, patologis, jenis kelamin, dan molekuler antara kaum perokok serta

non-perokok murni yang mengalami kanker paru (Gambar 1).

Page 5: Asal Molekuler Kanker Par1

Sebagian besar pasien yang pada awalnya merespon terapi erlotinib dan

gefitinib pada akhirnya mengalami kekambuhan. Penelitian terbaru telah

mengidentifikasi adanya mutasi EGFR T790M (pada ekson 20) di tumor sebelum terapi

serta di tumor pada pasien yang mengalami kekambuhan setelah terapi dengan

inhibitor tirosin kinase EGFR reversibel standar. Kinetika perikatan mutan

EGFR tampaknya diubah oleh mutasi T790M (Gbr. 3).  Inhibitor EGFR ireversibel

dapat menekan mutan T790M pada sel tumor secara in vitro sehingga merupakan

terapi menjanjikan untuk tumor mutan T790M. Amplifikasi proto-onkogen met (MET),

suatu mekanisme utama lain resistensi dapatan terhadap inhibitor tirosin kinase EGFR,

menandai prognosis yang buruk. Mekanisme resistensi lain yang diajukan meliputi

aktivasi reseptor tirosin kinase lain, seperti reseptor insulin-like growth factor 1 (yang

dapat memotong EGFR untuk mengaktifkan jalur penyinyalan downstream penting

[Gambar. 2]), mutasi KRAS , dan transisi epitel-ke-mesenkim. Transisi epitel-ke-

mesenkim merupakan program perkembangan sel yang melibatkan hilangnya adhesi

sel, penekanan ekspresi E-kaderin, dan peningkatan mobilitas sel.

Data praklinis dan klinis menunjukkan bahwa mutasi EGFR merupakan

peristiwa awal perkembangan kanker paru non-small cell. Mutasi EGFR, termasuk

yang melibatkan ekson dan L858R dapat mengubah fibroblas dan sel  epitel paru.

Lebih lanjut. pada tikus transgenik dengan ekspresi ekson 19 spesifik paru, delesi

atau mutasi L858R, hiperplasia adenomatosa atipikal yang dianggap sebagai pelopor

lesi adenokarsinoma perifer diikuti dengan lesi menyerupai karsinoma bronchioalveolar

pada usia 5 sampai 6 minggu dan menjadi adenocarcinoma invasif pada minggu 8

sampai 10. Deinduksi ekspresi  mutan EGFR  menyebabkan regresi tumor. Hal ini

menunjukkan perlunya aktivitas mutan EGFR  secara terus-menerus untuk menjamin

kelangsungan lanjutan hidup tumor. Tumor paru juga berkembang pada tikus

transgenik dengan ekspresi mutasi varian III EGFR  spesifik paru (delesi in-frame

ekson 2 - 7 dari domain ekstraseluler) (Gbr. 3). Mutasi area yang mengkode domain

tirosin kinase EGFR telah terdeteksi pada spesimen hiperplasia adenomatosa atipikal

pasien Asia yang tidak memiliki riwayat merokok. Mutasi ini juga terjadi pada epitel

normal dalam dan di sekitar tumor dengan mutasi tirosin kinase EGFR (field effect lokal

yang mungkin mencerminkan ekspansi sel pungca) dan sebelum amplifikasi EGFR,

suatu perubahan yang terkait dengan perkembangan dan metastasis tumor. 

Mutasi dan amplifikasi HER2 telah diidentifikasi pada pasien dengan

adenokarsinoma paru. Frekuensi mutasi tersebut kurang dari 5%, sementara frekuensi

Page 6: Asal Molekuler Kanker Par1

amplifikasi tersebut adalah 5 hingga 10%. Mutasi domain kinase HER2  (insersi in-

frame di ekson 20) dan mutasi domain kinase EGFR  memiliki asosiasi yang sama

terhadap jenis kelamin perempuan, status sebagai non-perokok, serta latar belakang

ras Asia pada pasien adenokarsinoma. Amplifikasi HER2 dikaitkan dengan sensitivitas

terhadap inhibitor tirosin kinase EGFR; mutasi HER2 berhubungan dengan resistensi

terhadap inhibitor tersebut tetapi juga dikaitkan dengan kepekaan terhadap terapi yang

menarget HER2. Mutasi domain kinase HER3 belum terdeteksi pada pasien dengan

kanker paru non-small cell. Mutasi domain kinase HER4 ditemukan pada 2 hingga 3%

pasien Asia dengan penyakit ini serta kemungkinan berhubungan dengan jenis kelamin

pria dan merokok. 

Ras-Raf-Mek

Jalur Ras-Raf-Mek terlibat dalam downstream penyinalan EGFR serta jalur lain yang

memicu pertumbuhan sel kanker dan progresi tumor (Gbr. 2).  Aktivasi mutasi

KRAS terbatas pada kanker paru non-small cell (terutama adenokarsinoma) dan

hampir bersifat eksklusif terhadap mutasi domain kinase EGFR dan HER2 , serta

terkait dengan resistensi terhadap inhibitor EGFR (inhibitor tirosin kinase dan

cetuximab) maupun kemoterapi. Kebanyakan mutasi KRAS pada adenokarsinoma

paru yang berhubungan dengan merokok merupakan transversi G  T (substitusi

purin dengan pirimidin) serta mempengaruhi ekson 12 (pada 90% pasien) atau ekson

13. Sebuah profil mutasi KRAS yang berbeda dan terdiri dari mutasi transisi G A

baru-baru ini terdeteksi pada pasien adenokarsinoma yang tidak pernah merokok;

meskipun demikian, makna fungsionalnya masih tidak jelas. Transversi (pada perokok)

dan transisi (pada non-perokok) juga telah dilaporkan sebagai mutasi p53 di

adenokarsinoma paru. Mutasi KRAS tampaknya merupakan kejadian awal (terdeteksi

di lesi preinvasif hiperplasia adenomatosa atipikal dan karsinoma bronkoalveolar) yang

mendahului adenokarsinoma paru yang berhubungan dengan kebiasaan merokok. Hal

tersebut umumnya menandai prognosis yang buruk. Lebih lanjut, bukti yang

mendukung peran gen ini dalam patogenesis kanker paru berasal dari tikus transgenik

yang mengalami mutasi KRAS, perkembangan hiperplasia adenomatosa atipikal

multifokal, serta adenokarsinoma. Aktivasi MET terjadi secara dini pada karsinogenesis

yang diinduksi KRAS dalam model tersebut. Mutasi BRAF  juga telah terdeteksi di

kanker paru non-small cell dan mungkin merupakan kejadian awal pada tumorigenesis

paru. 

Page 7: Asal Molekuler Kanker Par1

PI3K-Akt-mTOR

Suatu jalur downstream EGRF yang terdiri dari PI3K, Akt, dan mammalian target of

rapamycin (mTOR) diaktifkan secara dini pada karsinogenesis paru. Akt juga

diekspresikan secara berlebihan pada displasia bronkus. Inhibisi Akt dapat

menginduksi apoptosis sel paru premaligna dan maligna pada manusia serta

mencegah karsinogenesis paru dalam model hewan. Inhibitor mTOR dapat

menghentikan progresi maligna lesi hiperplasia adenomatosa atipikal pada model

tikus KRas. Karena mTOR mengendalikan tumorigenesis secara parsial melalui

makrofag, komponen yang menonjol adalah bahwa efek antitumor dan inhibisi yang

dimiliki mTOR membutuhkan lingkungan mikro tumor yang bersifat spesifik. Didapati

pula adanya mutasi atau amplifikasi PIK3CA yang mengkode subunit katalitik PI3K

dalam suatu subkelompok tumor paru non-small cell, terutama karsinoma sel

skuamosa yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas PI3K dan ekspresi Akt. 

LKB1

LKB1 (disebut juga STK11) seringkali bermutasi pada tumor paru non-small cell dan

dianggap berperan sebagai gen supresor tumor melalui interaksinya

dengan p53 dan Cdc42, modulasi aktivitas AMPK (suatu protein kinase multifungsi)

dan mekanisme lain yang mungkin masih baru mulai dipelajari. LKB1 diduga ikut andil

di awal tumorigenesis, diferensiasi lanjutan, dan perkembangan metastasis. Hasil yang

didapat pada tikus transgenik dengan mutasi KRas serta LKB1 yang dinonaktifkan

menunjukkan bahwa gen memainkan peran dalam diferensiasi serta sifat invasif tumor

tersebut. Keberadaan mutasi LKB1 saja (tanpa mutasi KRAS) tidak dikaitkan dengan

perkembangan kanker paru pada tikus. Rendahnya kadar protein LKB1 dikaitkan

dengan displasia berderajat tinggi pada lesi hiperplasia adenomatosa atipikal. Hal

tersebut menunjukkan bahwa LKB memiliki peran awal dalam perkembangan lesi

premaligna di paru. Mutasi LKB1 (meliputi point-mutation dan delesi) ditemukan pada

34% adenokarsinoma dan 19% karsinoma sel squamosa dari 144 sampel manusia

dengan kanker paru non-small cell. Meskipun demikian, derajat mutasi LKB1 yang jauh

lebih rendah (<5%) ditemukan di adenocarcinoma dari pasien Asia. Mutasi LKB1

berhubungan dengan kebiasaan merokok serta mutasi KRAS  dan secara kasat mata

bersifat eksklusif terhadap mutasi EGFR. 

Page 8: Asal Molekuler Kanker Par1

TITF1

Amplifikasi thyroid transcription factor 1 (TITF1,  disebut juga sebagai NKX2-1) di area

14q13.3 merupakan kejadian pokok yang paling umum dalam analisis resolusi tinggi

jumlah salinan gen pada adenokarsinoma paru manusia. Penelitian ini menggunakan

suatu sirkuit dengan kemampuan untuk menentukan genotipe berbagai SNP. Sebagai

hasilnya, para peneliti juga mengidentifikasi adanya amplifikasi pada area yang

mengandung KRAS, Myc, vascular endothelial growth factor (VEGF), dan beberapa

gen penentu siklus sel dalam spesimen tumor yang diteliti. TITF1 mengkodekan lini

faktor transkripsi khusus yang penting dalam pembentukan sel-sel pelapis alveoli

(pneumosit tipe II). Transfeksi in vitro sel epitel paru manusia normal yang diabadikan

dengan setidaknya dua dari tiga gen TITF1, NKX2-8, dan PAX-9 di area 14q13.3

mengakibatkan peningkatan pertumbuhan sel. Hal tersebut menunjukkan bahwa tiga

gen tersebut dapat saling turut andil dalam patogenesis kanker paru di mana terdapat

amplifikasi area 14q13.3 (sebagaimana dideteksi dengan rangkaian hibridisasi

genomik komparatif resolusi tinggi). Data terbaru menunjukkan bahwa karsinoma sel

skuamosa juga mengalami amplifikasi TITF1, karena terdeteksi pada fluoresensi

hibridisasi in situ. Meskipun demikian, kejadian tersebut berbeda dengan

adenokarsinoma karena tidak melibatkan protein TITF1.

ANGIOGENESIS

Kadar VEGF pada sel epitel bronkial perokok meningkat sebubungan dengan dalam

hubungan dengan perkembangan displasia paru dari derajat ringan ke tinggi.

Hiperplasia, metaplasia, dan karsinoma in situ bronkus dikaitkan dengan peningkatan

kerapatan mikrovaskuler, sementara suatu pola khas yang disebut sebagai displasia

squamosa angiogenik dapat pula terjadi. Faktor-faktor yang dikaitkan dengan

peningkatan angiogenesis tumor berhubungan dengna perkembangan dan prognosis

kanker paru. Kadar VEGF di sirkulasi dapat memprediksi keuntungan klinis inhibitor

VEGF pada pasien dengan kondisi ini. Berbagai faktor angiogenik diregulasi,

setidaknya secara parsial melalui jalur yang diregulasi hipoksia, seperti hypoxia-

induced factor (HIF) 1alpha dan 2alpha. Selain hipoksia, VEGF dan faktor angiogenik

lain juga diregulasi oleh EGFR melalui mekanisme dependen maupun independen HIF

serta oleh onkogen seperti KRAS dan p53. VEGF baru-baru ini telah divalidasi sebagai

target terapi berdasarkan pada hasil uji coba fase 3, sehingga FDA menyetujui

penggunaan antibodi monoklonal VEGF bevacizumab dalam kombinasi dengan

Page 9: Asal Molekuler Kanker Par1

kemoterapi standar untuk kanker paru non-small cell stadium lanjut yang sebelumnya

tidak dapat diterapi.

Hubungan antara jalur VEGF dan EGFR serta kaitan antara resistensi dapatan

terhadap blokade EGFR dan peningkatan ekspresi VEGF pada model preklinik

memancing hipotesis bahwa blokade ganda VEGF dan EGFR bisa jadi lebih efektif

daripada pendekatan tunggal terhadap salah satunya saja. Uji coba random fase 2

inhibisi ganda dengan bevacizumab plus erlotinib atau inhibitor tirosin kinase EGFR

reseptor VEGF vandetanib (yang dikombinasikan dengan kemoterapi) membuahkan

hasil yang menjanjikan. Uji coba fase 3 kedua pendekatan tersebut pada pasien

dengan penyakit resisten platinum sedang dalam proses.

PENENTUAN PROFIL MOLEKULER

KEMAJUAN TEKNOLOGI

Penentuan profil molekuler, meliputi penentuan profil gen dan protein untuk

mengarahkan terapi diduga dapat memperbaiki hasil akhir klinis pada pasien dengan

kanker paru non-small cell (Gambar 1). Kemajuan dalam identifikasi penanda, mutasi,

dan sidik genomik sudah jauh mendahului sedikit kemajuan dalam terapi yang

didasarkan pada kemajuan molekuler ini. Tantangan berat yang harus dihadapi dalam

mengembangkan penanda yang efektif meliputi heterogenitas tumor, interaksi

ultrakompleks antara lingkungan dan pejamu, serta kompleksitas, multiplisitas, dan

redudansi jejaring penyinalan sel tumor yang melibatkan efek genetik, epigenetik, dan

lingkungan mikro. Teknik mutakhir yang baru-baru ini dikembangkan untuk memeriksa

DNA genom, messenger RNA (mRNA), microRNA, metilasi, serta jejaring penyinalan

protein atau phosphoprotein diharapkan dapat menyelesaikan tantangan tersebut

(Gambar 4). Cancer Genome Atlas merupakan proyek skala besar yang didesain untuk

menyediakan profil komprehensif tumor manusia berdasarkan mutasi gennya,

perubahan jumlah kopi gennya, serta perubahan epigenetiknya. Karsinoma sel

squamosa paru merupakan salah satu diantara tumor-tumor pertama yang akan

diprofilkan oleh atlas ini.

PENENTUAN PROFIL GEN

Heterogenitas molekuler tumor adalah alasan pertama mengapa pasien kanker paru

non-small cell dengan stadium klinis serta histologi tumor yang serupa dapat memiliki

Page 10: Asal Molekuler Kanker Par1

hasil akhir klinis maupun respon terhadap terapi yang berbeda secara dramatis. Teknik

mikroarray yang memprofilkan ekspresi puluhan ribu gen secara simultan dapat

mengukur heterogenitas tumor tersebut pada level global. Profil ekspresi gen yang

berkaitan dengan sbtupe kanker paru non-small cell dan dengan penurunan angka

harapan hidup total atau tanpa kekambuhan telah dapat diidentifikasi. Gabungan

antara informasi klinis dan molekuler menyediakan indikasi yang lebih baik mengenai

risiko serta prognosis kanker.

Sebuah analisis baru seputar 672 gen yang terkait dengan invasi dari 125

spesimen beku tumor stadium awal melaporkan bahwa analisis mikroarray dan

reverse-transcriptase-polymerase-chain-reaction (RT-PCR) telah mengidentifikasi

suatu penanda molekuler yang terdiri dari lima gen sebagai prediktor independen

angka harapan hidup bebas kekambuhan maupun total. Dalam dua kohort validasi,

penentuan profil ekspresi gen yang baru-baru ini dikembangkan (metagen) dapat

memprediksi hasil akhir pasien tumor stadium IA. Pengujian random terkontrol masih

dibutuhkan untuk memvalidasi penanda ini serta untuk menentukan apakah pasien

tumor stadium IA yang diidentifikasi berisiko tinggi mendapatkan keuntungan dari

terapi adjuvan. Satu uji coba fase 3 yang dikoordinasikan oleh Cancer and Leukemia

Group B telah disetujui dan sedang dalam tahap peninjauan akhir. Uji coba ini akan

mengevaluasi berbagai set metagen yang ditengarai memiliki nilai prediktif (atau

subgrup profil ekspresi gen yang terdiri dari 25 hingga 200 gen) pada pasien tumor

stadium IA yang menjalani kemoterapi ajuvan.

Bagi sebagian besar pasien dengan kanker paru non-small cell stadium lanjut

atau metastatik, efek potensial penanda molekuler yang paling penting adalah dalam

memprediksi respons terhadap terapi spesifik dengan tujuan memberikan terapi yang

personal (Gambar 4). Banyak potensi menarik marker prediktif yang telah

dikembangkan secara in vitro dan membutuhkan validasi dalam sampel tumor dan uji

coba klinis. Sebagai contoh, sidik ekspresi gen telah dikembangkan untuk cisplatin dan

pemetrexed atas dasar sensitifitas in vitro; sidik cisplatin in vitro ternyata ditengarai

dapat memprediksi baik tidaknya respon terapi. Profil in vitro yang baru-baru ini

dikembangkan untuk memprediksi sensitivitas tumor terhadap inhibitor EGFR maupun

terapi lain masih belum diuji secara klinis. 

MicroRNA baru-baru ini muncul sebagai regulator penting ekspresi

gen. Analisis mendalam telah menunjukkan bahwa ekspresi microRNA umumnya

terderegulasi di kanker paru atau kanker lainnya. Dengan menggunakan real-time RT-

Page 11: Asal Molekuler Kanker Par1

PCR, para peneliti baru-baru ini mengidentifikasi lima sidik microRNA yang berkaitan

dengan hasil akhir terapi. Hilangnya microRNA-128B, suatu pengatur putatif EGFR

yang terletak pada kromosom 3p, telah terbukti berkorelasi dengan respon terhadap

inhibisi EGFR pada pasien kanker paru. Penelitian menunjukkan bahwa informasi

tentang perubahan genetik dan epigenetik spesifik-tumor juga dapat diperoleh dari

darah pasien kanker paru. DNA di sirkulasi dapat dideteksi dalam plasma maupun

serum pasien tersebut, sementara kadar DNA ini berhubungan dengan buruknya

prognosis. Perubahan DNA spesifik-tumor (seperti hilangnya heterozigositas), metilasi

promotor, maupun mutasi KRAS dan EGFR juga telah dideteksi dalam darah pasien

kanker paru. Teknik baru untuk mendeteksi sel tumor di sirkulasi memungkinkan

deteksi mutasi yang mengaktifkan EGFR serta alel resistensi terapi, T790M. Teknik

tersebut tampaknya lebih sensitif dibandingkan dengan deteksi DNA di sirkulasi. Lebih

lanjut, penurunan jumlah sel tumor di sirkulasi dikaitkan dengan respon tumor terhadap

radiografi. Berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa profil darah dapat memberikan

informasi bermanfaat seputar perubahan genetik pada tumor yang nantinya dapat

membantu mendeteksi dan memandu terapi kanker paru.

PENENTUAN PROFIL PROTEIN

Penentuan profil ekspresi genom dan mRNA menyediakan gambaran tidak lengkap

mengenai heterogenitas kanker paru non-small cell. Kadar mRNA tidak selalu

berkorelasi dengan kadar protein dan tidak memberikan informasi mengenai interaksi

antar protein atau modifikasi pasca-translasi seperti fosforilasi yang mungkin penting

dalam mengatur aktivitas protein. Lebih lanjut, agen terapeutik yang paling ditargetkan

dirancang untuk menghambat aktivitas protein seperti tirosin kinase. Oleh karena itu,

penentuan profil berbasis protein kemungkinan besar akan berperan penting dalam

memahami kompleksitas jejarning penyinalan protein serta dalam mengembangkan

sidik molekuler yang dapat memprediksi respons terhadap terapi.

Analisis imunohistokimia tetap menjadi metode yang paling banyak diterapkan

untuk menilai tiap-tiap protein dan mungkin berguna untuk memperkirakan prognosis

serta memprediksi respon terhadap terapi. Diperkenalkannya teknik proteomika

mutakhir, seperti spektrometri massa dan mikroarray protein berpotensi untuk melacak

jejaring transduksi sinyal yang lebih menyeluruh dibanding analisis imunohistokimia.

Teknik-teknik tersebut dapat dilakukan jika jaringan tumor masih berjumlah kecil. Sidik

Page 12: Asal Molekuler Kanker Par1

proteomika untuk memprediksi prognosis dan respon terhadap kemoterapi atau

inhibitor EGFR telah dikembangkan dalam tumor dan lini sel. 

Penentuan profil proteomika dari darah juga sedang diteliti dan diharapkan

mampu menyediakan pengukuran berulang selama terapi tanpa perlu mengambil

jaringan tumor. Profil spektrometri massa serum dapat membedakan pasien kanker

paru non-small cell dari kontrol normal, serta memprediksi baik buruknya hasil akhir

pasien setelah pengobatan dengan inhibitor tirosin kinase EGFR. Berbagai teknik baru

juga mampu melakukan analisis multipleks terhadap puluhan sitokin dan sejumlah kecil

faktor angiogenik dari serum atau plasma. Pendekatan ini digunakan untuk

mengembangkan penanda prediktif kanker paru non-small cell. Meskipun menjanjikan,

pendekatan proteomika berbasis darah dan jaringan tetap masih sebatas penelitian

dan menunggu pengujian prospektif serta validasi dalam uji coba random besar

sebelum mereka bisa diterapkan secara klinis.

KESIMPULAN

Asal-usul molekuler kanker paru terletak pada interaksi kompleks antara lingkungan

dan kerentanan genetik pejamu. Kanker paru selanjutnya berkembang melalui

perubahan genetik dan epigenetik yang meliputi deregulasi jalur penyinalan dan

merupakan target potensial untuk kemoprevensi serta terapi. Teknik baru untuk

penentuan profil genomik, ekspresi gen, epigenetik, dan profil proteomika bisa

merevolusi pendekatan klinis di seluruh spektrum jenis dan subtipe kanker paru

dengan mengidentifikasi molekul penanda risiko (dalam lesi prakanker), deteksi dini

dan prognosis (dalam kanker stadium awal), serta sensitivitas terapi (dalam kanker

stadium awal dan stadium akhir). Penilaian genom dan molekuler lain dapat membantu

menjelaskan variasi germ line yang mungkin turut andil dalam risiko kanker

paru, prognosis, sensitivitas terapi dan perubahan genetik somatik yang terjadi di

adenocarcinoma paru maupun jaringan paru dengan risiko tinggi terhadap tumor atau

pada perokok.  Penelitian bertarget molekuler baru-baru ini telah menghasilkan

inhibitor EGFR dan VEGF yang disetujui FDA, yaitu erlotinib dan bevacizumab, yang

dapat sedikit memperbaiki hasil akhir pada pasien kanker paru non-small cell.

Penentuan profil molekuler yang diuraikan dalam tinjauan ini telah mulai diuji secara

klinis dan menjanjikan potensi untuk dapat menentukan pasien mana yang paling

Page 13: Asal Molekuler Kanker Par1

mungkin memperoleh manfaat terapi sekaligus memandu pengembangan agen yang

lebih efektif untuk personalisasi terapi standar kanker paru.