askep asfiksia.docx
DESCRIPTION
askep asfiksiaTRANSCRIPT
ASKEP ASFIKSIA
ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA NEONATORUM
I. TINJAUAN LITERATUR
A. DEFINISI DAN DESKRIPSI
Asfiksia secara harafiah dinyatakan sebagai kondisi tanpa denyut jantung. Asfiksia
neonatorum atau newborn asphyxia adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami
kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Association American
Pediatric, 2003; Harris, 2003).
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia
janin. Asfiksia neonatorum merupakan kasus kegawadaruratan dalam kelahiran. Kasus ini
dapat memicu timbulnya cerebral palsy, serangan kejang, retardasi mental, ketulian,
ketidakseimbangan penglihatan, gangguan perilaku (Harris, 2003; Winknjosastro, 2007).
B. Demografi
Menurut Ariawan dkk (2006), dari total NMR (Neonatal Mortality Rate) tahun 2005
yaitu 22/1000 kelahiran hidup, 27% kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia. Angka
kejadian yang cukup besar ini perlu mendapatkan perhatian serius.
Data dari WHO memperlihatkan bahwa angka kematian neonatal di negara
berkembang berkisar 4-9 juta/tahun disebabkan oleh asfixia, prosentasenya berkisar 20%
(Laberge, 2006).
C. Etiologi
Tabel I.1. Penyebab asfixia (Harris, 2003; Shresta dkk, 2008)Ibu Plasenta BayiToxicosis infark perdarahan otakPerdarahan placenta previa cacat bawaan di bagian sistem pernapasantetani uteri solutio placenta aspirasi meconium
Faktor resiko tinggi kehamilan yang menimbulkan asfiksia neonatorum menurut
Laberge (2006), adalah:
1. Usia ibu kurang dari 16 tahun dan lebih dari 40 tahun
2. Status ekonomi sosial yang rendah
3. Penyakit pada ibu seperti: diabetes mellitus, hipertensi, anemia, PPOK, CHF, kelainan
hemoglobin
4. Riwayat kehamilan dulu yang jelek: aborsi, prematur, preeklampsia
5. Letak bayi sungsang
6. Pemakaian obat-obatan, alcohol dan rokok
7. Tidak ada pemeriksaan selama kehamilan
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan (Ward dkk, 2008).
D. Patofisiologi
Oksigen sangat penting untuk kehidupan. Selama proses kehamilan janin
mendapatkan oksigen dan nutrien dari ibu melalui mekanisme difusi. Proses ini terjadi
melalui plasenta ibu dan diberikan kepada janin melalui darah (Gregorio dkk, 2007).
Sebelum lahir alveoli paru bayi menguncup dan terisi oleh cairan. Paru janin tidak
berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2 (karbon dioksida)
sehingga paru tidak perlu di perfusi atau dialiri darah dalam jumlah besar (Gregorio dkk,
2007).
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan lagi dengan plasenta dan akan segera
bergantung dengan paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena itu, maka beberapa saat
sesudah lahir paru harus segera terisi oksigen dan pembuluh darah paru harus berelaksasi
untuk memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk diedarkan keseluruh
tubuh (Gregorio dkk, 2007).
Menurut James (1958) dalam FKUI (1997), Pernafasan spontan pada bayi baru
lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran
sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia
transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoresptor pusat pernafasan
agar terjadi “primary gasping” yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur, sifat
asfiksia ini mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.
Menurut Harris (2003), bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
oksigen yang lama pada kehamilan atau persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat.
Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi tubuh ini dapat reversibel atau tidak tergantung
kepada berat dan lamanya asfiksia.
Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (“primary apnoe”)
disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha
bernafas (gasping) yang kemudian akan diikuti oleh pernafasan teratur (Harris, 2003).
Pada tingkat asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya
berada dalam periode apnu kedua (“secondary apnoe”). Pada tingkat ini disamping bradikardi
ditemukan pula penurunan darah. Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula
gangguan metabolisme dan perubahan asam- basa pada tubuh bayi (Harris, 2003).
Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya akan menimbulkan
asidosis respiratorik, Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh bayi akan terjadi proses
metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga sumber glikogen
tubuh, terutama pada jantung dan hati akan berkurang (Ward, 2008).
Menurut Hasegawa dkk (2002), asam anorganik yang terjadi akibat metabolisme
ini akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
a) Hilangnya sumber glikogen dalam jantung dan akan mempengaruhi fungsi jantung
b) Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan, ternasuk otot
jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung
c) Pengisian udara pada alveoli yang kurang adekuat akan menyebabkan tingginya resistensi
pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi lain akan
mengalami gangguan asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh
berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadinya menimbulkan kematian
atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
E. Gambaran Klinis menurut UCSF Children’s Hospital (2007):
1.Hipoksia
2.RR> 60 x/mnt atau tidak terdeteksi
3.Napas gasping sampai dapat terjadi henti napas
4.Bradikardia
5.Tonus otot berkurang
6.Warna kulit sianotik/pucat
7.pH darah arteri kurang dari 7 di area umbilikal
8.Apnu primer : Pernafasan cepat, denyut nadi menurun dan tonus neuromuscular menurun
9.Apnu sekunder : Apabila asfiksia berlanjut, bagi menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut
jantung terus menurun, bayi terlihat lemah (pasif), pernafasan makin lama makin lemah
F. KLASIFIKASI
Menurut Harris (2003), Asfiksia neonatorum diklasifikasikan:
1. Asfiksia Ringan
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x
permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak
ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih
dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum,
pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a) APGAR
Derajat asfiksia bayi yang baru lahir diukur dengan skala APGAR. Menurut
Aehlert (2005) dan Wong (2004), komponen penilaian APGAR adalah:
A: Appearance (color/warna kulit)
P: Pulse (heart rate/denyut jantung)
G: Grimace (peka tehadap rangsangan)
A: Activity (kekuatan otot)
R: Respirations (usaha bernapas)
Keterangan:
nilai 0-3 : asfiksia berat
nilai 4-6 : asfiksia sedang
nilai 7-10 : normal
pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Skor
apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan
prognosis. Resusitasi segera dilakukan 30 detik setelah bayi lahir jika tidak ada reaksi.
b. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 denyut semenit, selama his frekuensi ini biasa
turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung secara umum tidak besar artinya. Apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 x
semenit di luar his dan tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya (Wiknjosastro, 2007).
c. Mekanisme dalam air ketuban
Mekoneum pada presentasi-sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan.
Keberadaan mekoneum dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat menjadi indikasi
untuk mengakhiri persalinan bila mudah.dilakukan (Wiknjosastro, 2007).
2. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada
kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya (Wiknjosastro, 2007).
b) Analisa Gas Darah
Analisa dilakukan pada darah arteri, penting untuk mengetahui adanya asidosis dan alkalosis
respiratorik/metabolik. Hal ini diketahui dengan tingkat saturasi SaO2 dan PaO2. Pemeriksaan
ini juga dilakukan untuk mengetahui oksigenasi, evaluasi tingkat kemajuan terapi (Muttaqin,
2008).
c) Elektrolit Darah
Komplikasi metabolisme terjadi di dalam tubuh akibatnya persediaan garam-garam elektrolit
sebagai buffer juga terganggu kesetimbangannya. Timbul asidosis laktat, hipokalsemi,
hiponatremia, hiperkalemi. Pemeriksaan elektrolit darah dilakukan uji laboratorium dengan
test urine untuk kandungan ureum, natrium, keton atau protein (Harris, 2003).
d) Gula darah
Pemeriksaan gula darah dilakukan uji laboratorium dengan test urine untuk kandungan
glukosa. Menurut Harris (2003), penderita asfiksia umumnya mengalami hipoglikemi.
e) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik seperti ultrasonografi (USG),computed tomography scan (CT-Scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis (Tanner dkk, 2000) G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Resusitasi Neonatal Tindakan Umum (Aehlert 2005; Simms, 2006; Ward, 2008)
Resusitasi dicapai dengan prinsip A, B, C, D (Airway, Breathing, Circulation,
Drugs). Tahapan inisiasi resusitasi ditentukan oleh penilaian tahap awal dengan skala
APGAR.
Keberadaan Meconium pada bayi yang aktif tidak akan menjadi masalah. Bayi
dapat segera diberikan kepada ibu agar mendapatkan ASI. Fungsi ASI akan mendesak
meconium.
a) Kondisi hangat
Bayi yang tidak aktif harus dikondisikan hangat. Kehilangan panas tubuh dapat dicegah
dengan menyesuaikan suhu tubuh bayi dengan suhu lingkungan:
1) Bayi dapat dibungkus dengan handuk atau kain hangat di seluruh badan hingga kepala
2) Memindahkan kain basah, segera mengeringkan kulit bayi
3) Menghangatkan ruangan
b) Positioning
Pemberian posisi yang disarankan adalah supinasi, dengan bagian leher hiperekstensi atau
fleksi karena posisi ini akan membuka jalan napas lebih lebar.
c) Ventilasi
Bila usaha membuat bayi hangat dan pemberian posisi belum berhasil maka dapat dilakukan laringoscopi untuk memastikan posisi mekonium. Tindakan ini dilanjutkan dengan suction dan memberi O2.Ventilasi yang diberikan berupa IPPV (Intermittent Positive Pressure Ventilation). Alatnya terdiri dari balon dan corong dengan tekanan 25-35 cmH20 atau 30 kali/menit. Tekanan tidak boleh melampaui tekanan alveoli paru.
Ventilasi cairan parsial, paru diventilasi dengan perfluorokarbon yang mengikat
oksigen. Ventilasi cairan berfungsi menurunkan tegangan tinggi permukaan (surfactant)
sehingga lapisan perbatasan cairan-udara menjadi terbuka, udara dapat mengalir dan terjadi
pertukaran gas.
d) ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation)
Teknik ini dipergunakan untuk meminimalkan insidensi dysplasia bronkopulmonal. Darah
disirkulasi melalui apparatus eksterna untuk pertukaran gas. Teknik tersebut menggunakan
mesin yang mem-by pass saluran pernapasan-hati, dilengkapi dengan pompa eksternal dan
oksigenasi.
2. Resusitasi Neonatal Tindakan khusus ( calonpulmonolog.blogspot.com 2008)
a) Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan
pemberian O2 dengan tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu
diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg.
Asfiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonat natrium 2-
4 mEq/kgBB, diberikan pula dextrose 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini
disuntikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat
jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali,
bila tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung
eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit.
Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali
satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak
berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
asam dan basa yang belum dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau
stenosis jalan nafas.
b) Asfiksia sedang
Proses stimulasi penting untuk menimbulkan reflek pernapasan, bila dalam waktu 30-60 detik
tidak timbul pernapasan spontan. Stimulasi harus dilakukan dengan hati-hati. Bayi dengan
indikasi tetanus tidak dianjurkan pemberian rangsang.
Pemberian ventilasi aktif harus segera dilakukan. Ventilasi sederhana dengan
kateter O2 intranasal dengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi
kepala.
Kemudian dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan mulut disertai
gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan
gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan,
usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam 1-2
menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan,
ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari
ventilasi ke kantong masker.
Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan
O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas
spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika terjadi penurunan
frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan.
Pemberian obat bikarbonat natrium 4.2% (2-4 ml/kg bb) dan dextrose 10 % (2.5
ml/kg bb) dapat segera diberikan jika 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan
teratur dan ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.
BAB II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan (Aehlert, 2005)
1. Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui adalah nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayan orang tua, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, sosial ekonomi, asuransi kesehatan, riwayat
penyakit saat ini.
Klien dengan asfiksia neonatorum akan mengalami aspirasi meconium, kesulitan
bernapas, kelemahan kekuatan otot, warna kulit pucat, kemungkinan prematur.
Perlu ditanyakan apakah kelahiran sebelumnya berakhir dengan kematian
neonatal, riwayat ibu mengalami penyakit DM, hipertensi, tetani uteri atau malnutrisi,
riwayat konsumsi alkohol, obat dan rokok.
2. Pengkajian Psikososial
Pengkajian ini meliputi: validasi perasaan orang tua klien terhadap penyakit
bayinya, cara orang tua klien mengatasi penyakit, perilaku orang tua klien/tindakan yang
diambil ketika menghadapi penyakitnya.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Breathing/B1
1. Inspeksi
Bentuk dada (barrel atau cembung), kesimetrisan, adanya insisi, selang dada atau
penyimpangan lain. Pada klien dengan asfiksia akan mengalami usaha bernapas yang lambat
sehingga gerakan cuping hidung mudah terlihat. Terkadang pernapsannya tak teratur bahkan
henti napas
2. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan paru yang adekuat. Bayi
dengan penyakit congenital/bawaan perkembangan paru tidak baik atau hipoplasia. Sering
terjadi di paru bagian kiri.
3. Perkusi
Suara perkusi di area dada kiri terdengar lebih redup dan pekak.
4. Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang. Bunyi napas tak teratur bahkan lambat.
b. Blood/B2
1. Inspeksi
Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal yang
berada pada ICS 5 pada linea medio calviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui ada/tidaknya pergeseran jantung.
2. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan menghitung denyut jantung (heart rate) dan harus
memperhatikan kedalaman dan teratur atau tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga
memperhatikan adanya thrill (getaran ictus cordis). Memeriksa nadi lengan dengan
meletakkan telunjuk dan jari tengah anda di bagian dalam siku bayi di sisi yang paling dekat
dengan tubuh.
3. Perkusi
Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung (area yang bersuara
pekak). Hal ini untuk menentukan adanya pergeseran jantung karena desakan diafragma bila
terjadi kasus hernia diafragmatika.
4. Auskultasi
Auskultasi dilakukan dengan menentukan bunyi jantung I dan II tunggal atau
gallop, bunyi jantung III merupakan gejala payah jantung, murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah. Penderita asfiksia neonatal denyut jantung kurang
dari 100/menit atau tidak terdengar sama sekali.
c. Brain/B3
Ketika melakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji dengan skala GCS.
Fungsi sensorik seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
Penderita asfiksia berat tidak akan menunjukkan respon GCS
d. Bladder/B4
Pengukuran volume input/output urine dilakukan dalam hubungannya dengan
intake cairan. Oleh karena itu perlu ditinjau adanya oliguria atau tidak karena dapat menjadi
pertanda awal adanya syok.
e. Bowel /B5
Ketika inspeksi dilihat bentuk abdomen yang membuncit/datar, tepi perut
menonjol/tidak, umbilicus menonjol/tidak, ada benjolan massa/tidak. Pada klien biasanya
didapatkan indikasi mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan.
f. Bone/ B6
Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya edema peritibial, pemeriksaan
capillary refill time, feel pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk dibandingkan antara bagian kiri dan
kanan.
g. Antropometri
Pengukuran dengan antropometri untuk mengetahui tanda
kegawatan/abnormalitas utama. Berat bayi yang kurang dari normal dapat menjadi faktor
resiko pada penderita asfiksia.
C. DIAGNOSIS KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL
1. Gangguan pertukaran gas b/d hipoksemia
2. Ketidakefektifan jalan napas b/d penurunan kemampuan batuk efektif
3. Risiko tinggi infeksi b/d prosedur infasif
4. Gangguan perfusi jaringan b/d kerusakan jaringan
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi tidak adekuat
6. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan otot pernapasan
7. Kecemasan b/d dengan koping tidak efektif
8. Gangguan tidur b/d sesak napas
D. RENCANA INTERVENSI
1.Gangguan pertukaran gas b/d hipoksemia secara menetap (Muttaqin, 2008)Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan tidak terjadi
gangguan pertukaran gasKriteria evaluasi:1. Melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea2. Klien menunjukkan tidak adanya gejala distress pernapasan
3. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan AGD dalam rentang normal
Rencana Intervensi Rasional
Evaluasi tingkat kesadaran, skala APGAR
Aspek penting perawatan Asfiksia adalah meningkatkan ventilasi. Tujuan modalitas terapi adalah member dukungan ventilasi sampai integritas membran alveoli-kapiler kembali baik. Dua tujuan tambahan adalah:a. memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi selama periode kritis hipoksemiab. mengembalikan faktor etiologi yang mengawali penyebab distress pernapasan
Lakukan pemberian terapi oksigen Akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh
Lakukan ventilasi mekanik Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik penting dan secara potensial mempunyai efek samping toksik. Jumlah oksigen yang diberikan harus peling rendah dari Fi 02 yang
menghasilkan kandungan oksigen adekuat (misalnya kandungan oksihemoglobin > 90%)
Monitor kadar hemoglobin Kebanyakan volume oksigen ditranspotasikan ke jaringan dalam ikatan dengan hemoglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah menurun sebagai efek dari ventilasi mekanik dan suplemen. Pengukuran seri hemoglobin perlu untuk kalkulasi kandungan oksigen yang akan menentukan kebutuhan untuk transfusi sel darah merah
Kolaborasi pemilihan pemberian cairan Tujuan utama adalah mempertahankan parameter fisiologis normal. Pengukuran berat badan harian akurat menjadi indicator penting terhadap ketidakseimbangan cairan
Kolaborasi pemberian terapi farmakologi
Terapi menggunakan obat-obatan yang bersifat surfactant (surface reactant) berfunngsi untuk menurunkan tegangan permukaan jaringan paru, bikarbonat natrium 4.2% (2-4 ml/kg bb)
2.Ketidakefektifan jalan napas b/d penurunan batuk efektif (Wong, 2004)Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien
menunjukkan jalan napas yang patenKriteria evaluasi:
1. Menunjukkan jalan napas yang tetap bersih2. Klien dapat mengeluarkan sekret tanpa stress dan keletihan
Rencana Intervensi Rasional
Aspirasi jalan napas sesuai kebutuhan Penghisapan dilakukan sampai 5 detik dengan waktu yang cukup di antara tindakan untuk memungkinkan reoksigenasi
Beri posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap ke atap
Posisi ini penting untuk menimbulkan tekanan positif pada paru
Hindari posisi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
Kondisi ini penting agar tidak terjadi penipisan oksigen
Implementasikan penatalaksanaan kedaruratan untuk obstruksi udara
Penyediaan alat kedaruratan siap pakai harus terpenuhi untuk prosedur RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan ETT (Endotracheal Tube)
Kolaborasi dalam pemberian terapi nebulizer, aerosol, ekspetorant
Terapi ini untuk mencegah aspirasi karena volume yang besar dari sputum yang dapat tiba-tiba mengental
3. Risiko tinggi infeksi b/d prosedur infasif (Hidayat, 2008)
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien tidak terjadi infeksi
Kriteria evaluasi:1. Tidak terjadi infeksi nosokomial
Rencana Intervensi Rasional
Memantau TTV Mengamati tanda-tanda fisik seperti: warna, sekresi, pola pernapasan, status kesadaran.
Melakukan perawatan fisik seperti: suction
Sputum yang menumpuk dapat menjadi media patologis untuk tubuh
Memeriksa setting ventilator mekanik Pemeriksaan sehari 2x, bila ventilator dilepaskan. Melakukan setting ventilator dan tekanan alarm bila diperlukan
Menjaga peralatan yang terpakai tetap aseptik
Menyediakan intervensi keperawatan dengan teknik aseptik
Menjaga eksterior tetap bersih dari apapun
Ruangan yang bersih akan menambah kenyamanan dan mencegah infeksi
4. Gangguan perfusi jaringan b/d perfusi jaringan (Hidayat, 2008)
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien tidak terjadi gangguan perfusi jaringan renal
Kriteria evaluasi:1. Tidak terjadi gangguan perfusi renal dengan memantau intake dan
output normalRencana Intervensi Rasional
Kaji komplikasi paru dengan TTV, bunyi paru tambahan/tidak normal
Mengetahui adanya kelainan pada organ paru
Pantau pengeluaran urine normal
Menjaga metabolisme klien dalam tahap normal
Pantau berat jenis urine Mengetahui adanya reabsobsi protein-protein dalam urine lebih mudah memonitor kesehatan
Pantau laboratorium urine lengkap
Mengetahui kelainan patologis melalui urine
Monitor pemeriksaan darah Mengetahui kelainan sel darah dan penyakit yang dapat memperparah kondisi klien
Kolaborasi dalam pemberian Pertimbangan ini diperlukan
diuretik bila tidak terjadi kelainan fungsi ginjal pada klien
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
intake nutrisi tidak adekuat
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien dapat meningkatkan nafsu makan
Kriteria evaluasi:1. Terjadi kenaikan berat badan harian
Rencana Intervensi Rasional
Kaji antropometri klien Mengetahui adanya kelainan pertumbuhan
Mengukur berat badan harian Pertahankan status nutrisi adekuat
Pertahankan intake kalori Asupan kalori dapat dilakukan secara intravena, total parenteral nutrition dengan menyediakan 80-120 Kcal/kg setiap 24 jam
Pantau laboratorium urine lengkap
Mengetahui kelainan patologis melalui urine
Pertahankan gula darah Menghindari kondisi yang hipoglikemi
Pertahankan input-output Mengetahui ada/tidaknya kekurangan cairan
Memonitor gejala komplikasi gastrointestinal
Mengetahui sumber kehilangan nutrisi atau kurangnya asupan nutrisi seperti: mual, muntah, diare, konstipasi
6. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan otot pernapasan
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien dapat meningkatkan energi adekuat
Kriteria evaluasi:1. Terjadi aktivitas peningkatan aktivitas
Rencana Intervensi Rasional
Kaji tingkat toleransi fisik klien
Bantu klien dalam memenuhi aktivitasnya
Berikan aktivitas pengalihan Hibur klien dengan melibatkan keluarga sesuai kondisi dan kemampuan
Berikan aktivitas bermain Bermain dapat mencegah
kebosanan dan meningkatkan ketenangan
Berikan periode istirahat dan tidur yang sesuai
Klien dapat segera diistirahatkan bila terjadi kelelahan
7. Kecemasan b/d dengan koping tidak efektif
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien dapat mengalami penurunan cemas
Kriteria evaluasi:1. Klien tidak menunjukkan bukti distres2. Orang tua tetap bersama anak memberikan kenyamanan
Rencana Intervensi Rasional
Jelaskan pada orang tua prosedur dan peralatan yang tidak dikenal
Usahakan orangtua dapat mendampingi anak
Gunakan perilaku tenang dan menenangkan untuk mengurangi ansietas anak
Beri tindakan yang dapat memberikan kenyamanan anak dengan membelai
Berikan alat keamanan Mainan yang dikenal naka dapat diberikan, misalnya selimut
Hindari tindakan yang mencemaskan orang tua
Pertahankan sikap rileks
Tingkatkan rasa percaya diri orang tua
Libatkan dalam setiap tindakan perawatan klien
8. Gangguan tidur b/d sesak napas
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan pasien dapat mencapai tidur berkualitas
Kriteria evaluasi:1. Klien tidak menunjukkan kelelahan: tenang, diam, rileks2. Klien mendapatkan jumlah tidur yang cukup (14-18 jam/hari)
Rencana Intervensi Rasional
Beri lingkungan tenang Jadwalkan kunjungan agar klien istirahat cukup
Atur aktivitas untuk waktu tidur yang maksimum
Ikuti rutinitas anak yang biasanya selama waktu tidur, waktu istirahat
Anjurkan periode istirahat yang sering dan waktu tidur yang teratur
Frekuensi tidur yang teratur akan membuat klien mudah tidur yang berkualitas
Kolaborasi pemberian obat sedatif dan analgetik
Indikasi terjadi kegelisahan dan rasa nyeri