asli mkalah
DESCRIPTION
tentang ISBDTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi
untuk berahlak baik atau buruk, akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait
dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa
dan rasa aman.
Telah kita ketahui di Indonesia memiliki banyak budaya dan adat istiadat. Dari berbagai
budaya yang ada di Indonesia terdapat hubungan antara agama dan masyarakat.
Selain itu ada juga hubungan lainnya, yaitu menjaga tatanan kehidupan. Maksudnya
hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan
membentuk kehidupan yang harmonis, karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat
satu sama lain. Namun sekarang banyak orang menganggap bahwa agama hanya sebagai
simbol saja, dimana seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala
perintah agama tersebut. Sehingga tidak tercipta kerhamonisan antara agama,budaya dan
masyarakat. Namun sebaliknya di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru
yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama
tersebut.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik
antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia
memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program
transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur
Indonesia.
Oleh karenanya dengan mengetahui adanya peran agama dalam masyarakat, kita
diharapkan dapat mengambil sikap yang seharusnya.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar.
Namun, seiring dalam proses pembuatan makalah ini saya menyadari bahwa betapa
pentingnya mengetahui hubungan antara Agama dan masyarakat, fungsi dan peranan agama
dalam masyarakat, ruang lingkup agama, pelembagaan agama, serta konflik dalam agama di
masyarakat.
1
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas :
1. Apa pengertian tentang agama dan masyarakat
2. Bagaimana fungsi dan peranan agama dalam masyarakat
3. Bagaimana ruang lingkup agama
4. Bagaimana tipe masyarakat yang berkaitan dengan masyarakat
5. Bagaimana pelembagaan agama
6. Menjelaskan tentang agama, konflik dan integrasi
Demikian diatas adalah beberapa permasalahan yang ada di agama dan masyarakat, dan
kemudian akan dibahas pada bab selanjutnya.
2
BAB III
PEMBAHASAN
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan. Karena latar belakang sosial yang
berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan nilai yang
berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok terhadap prinsip keagamaan berbeda-
beda, kadang kala kepentingannya dapat tercemin atau tidak sama sekali. Karena itu
kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerah, tidak hanya kondisi sosial saja
yang menyebabkan lahir dan baga,makan akan mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu
mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga perlu mempelajari pengaruh
agama terhadap struktur sosial.
A. Pengertian Agama dan Masyarakat
Dengan singkat definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris.
Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai). Sosiologi
angkat tangan mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama–agama
yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi
deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan
dialami pemeluk-pemeluknya.
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang
telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan
praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini
ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat
kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan
adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan
kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur
tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.
Sedangkan menurut pendapat Hendro puspito, agama adalah suatu jenis sosial yang
dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
a. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
3
b. Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan
tersendiri
c. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural
B. Ruang Lingkup Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
a. Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri
manusia kepada tuhannya.
b. Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama
mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran
kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-
menolong terhadap sesama manusia.
c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan
antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan
kehidupannya.
C. Fungsi dan Peranan Agama dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-
persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris
karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan
agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan
sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
a. Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-
petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru
agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah,
renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
b. Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini
maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan
dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral”
4
dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga
dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia
inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan
Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
- Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi
kehidupan moral warga masyarakat.
- Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap
baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara
modern.
d. Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-
manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
- Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism,
komunisme, dan sosialisme.
- Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa
bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
- Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi
karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari
dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas
yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama.
e. Fungsi transformatif
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru
atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih
bermanfaat.
Sedangkan menurut Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama dan
masyarakat yaitu:
Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara Ibadat.
Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
Pemberi identitas diri.
Pendewasaan agama.
5
Sedangkan menurut Hendropuspito, fungsi agama dan masyarakat adalah
edukatif, penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua
sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai
agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang
emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut
mistisme.
D. Tipe Masyarakat yang berkaitan dengan masyarakat
Kaitan agama dangan masyarakat dapat mencermikan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
1) Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-Nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat meganut
agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas
yang lain. Sifat-sifatnya :
1) Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat
secara mutlak.
2) Dalam keadaan lembaga lain sealain keluarga relatif belum berkembang, agama
jelas menjadi fokus utama bagi penginterasian dan persatuan dari masyarakat
secara keseluruan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi peruahan.
2) Masyarakat-asyarakat Perindustrian yang sedang Berkembang
Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
dari pada tipe yang pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem dalam
tip masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang
sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan. Fase-fase kehidupan sosial
diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di lain pihak, agama tidak memberikan
dukungan sempurna terhadap aktifitas sehari-hari, agama hanya agama hanya
memberikan dukungan terhadap adat istiadat, dan terkadang merupakan suatu sistem
6
tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan. Nilai-nilai keagamaan
dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku
perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3) Masyarakat-masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap
semua aspek kehidupan, sebagai besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik,
tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan
kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai
konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibanya adalah anggota masyarakat
semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi
dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekuler
semakin meluas, sering kali dengan pengorbanan yang sakral. Watak masyarakat
sekuler, menurut ronald robertson (1984), tidak perlu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-
kebiasaan agama peranannya sedikit. Pada umumnya kecederungan sekulrisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam
kehidupan masyarakat dan angota-anggotanya. Pernyataan di atas menimbulkan
pertanyaan, apakah masyarakat sekular akan mampu secara efektif mempertahankan
ketertiban umum tanpa kekerasan institusional apabila pengaruh agama telah semakin
berkurang. Barangkali agama akan bereaksi terhadap institusionalisme,
impersonalitas, dan birokrasi masyarakat modern yang semakin bertambah. Akan
tetapi bukan agama yang menerima nilai-nilai institusionalisme baru, melainkan
agama yang bersifat aliran-aliran.
E. Pelembagaan Agama
Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan
menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada
umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui
pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun
nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama
resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan
terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
7
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling
memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada
suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke
daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak
suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya
tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia
“tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak
mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di
luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima
agama resmi versi pemerintah.
Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi
penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu,
dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut
sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai
sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku
umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama
suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya
tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin
berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa - desa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacara-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-
daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh
sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar.
Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut
angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun
menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan
praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari
tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin
menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu
agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
8
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak
memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam
memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya
serta fungsi dan struktur dari agama.
Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan
(keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama
puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman
beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas,
produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional.
Pengkaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
F. Agama, Konflik dan Integrasi
Agama, dalam kaitannya dengan masyarakat, mempunyai dampak positif berupa daya
penyatu (sentripetal), dan dampak negatif berupa daya pemecah (sentrifugal). Agama yang
mempunyai sistem kepercayaan dimulai dengan penciptaan pandangan dunia baru yang
didalamnya konsepsi lama dan pelembagaannya bisa kehilangan dasar adanya. Meskipun
ajaran pokok suatu agama bisa bersifat universal, namun mula-mula ditujukan kepada
sekelompok orang yang sedikit-banyak homogen. Agama menjadi dasar solidaritas kelompok
baru yang tertentu.
Perpecahanpun timbul manakala timbul penolakan terhadap pandangan hidup lama atau
yang berbeda dengan agama. Perpecahan itu timbul disebabkan oleh klaim agana akan
kemutlakan agamanya, dan sering diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang keras dan tanpa
kompromi.
Dalam kajian ilmu sosial, tentang daya pemecah agama ini berkaitan dengan akronim
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Artinya menyejajarkan persoalan agama
dengan suku, ras, dan golongan politik tertentu, atau hal yang rawan, peka, dan tahu untuk
dibicarakan. Tetapi dibalik itu semua, demi kajian ilmiah dan kepentingan untuk masa depan,
akronim itu tidak perlu ada. Kajian ilmiah pun mengalami kesulitan dalam menghadapi para
“pemeluk teguh”, apabila agama dijadikan objek kajian ilmiah, ide, dan ligika internnya
sendiri.
Daya penyatu dan pemecah itu berlangsung sejak awal pertumbuhan sampai
berkembang dan mekarnya suatu agama guna mencapai sasaran yang lebih tinggi dengan cara
“peningkatan” dan “intensifikasi” dalam tubuh masyarakat agama. Sasaran yang lebih tinggi
9
ini sampai pada suatu bentuk piramia pemahaman terhadap agama, terwujud suatu kelompok
kecil dari kalangan pemeluknya sendiri. Adanya kelompok kecil puncak piramida tersebut,
terjalin karena pengalaman keagamaan dan adanya pendalaman dengan rumusan-rumusan
ajaran yang lebih tegas serta pengorganisasian yang ketat. Pada tingkat perkembangan
ini,pemecahan diatas tidak lagi bersifat antaragama, tetapi intraagama. Agama menciptakan
kelompok, dan kelompok mendorong pengembangan (pemahaman) agama. Kelompok yang
menemukan bentuk “autentik” dalam peribadatan, mendorong terbentuknya kelompok baru
dengan “pengenalan diri” secara tegas, dan terciptalah ideologi kelompok disertai proses
pengembangannya. Bila memperoleh kemenangan, kelompok tadi dengan leluasa
menetapkan hukum dan memaksakan kepemimpinan sehingga timbul pergolakan agama.
Mahzab-mahzab dalam agama merupakan usaha rasionalisasi dan sistematisasi yang
berpusat pada tokoh-tokoh sentral, melahirkan teori dan praktek peribadatan, serta kultus
tokoh mahzab acapkali lebih banyak menjadi sumber perhatian pemeluk daripada pendiri
agama atau “Tuhan”-nya sendiri, sehingga simbol lebih penting daripada fungsi, dan
solidaritas lebih utama daripada pemahaman. Perkembangan teologi, yakni pengolanahn
intelektual pokok – pokok ajaran agama, hanay menyibukkan kaum elit para pemikir agama (
teolog ), padahal pengikat solidaritas terdapat pada keyakinan yang dasar. Dan perlu diingat,
bahwa doktrin teologis yang mempunyai dampak hanya dipuyai oleh ritus tertentu, yang
tumbuh pada individu pengamal rasa nyata dari keagamaanya.
Terlepas dari relevan atau tidaknya pada masa sekarang, hasil penelitian Geertz dalam
The Relegion Of Java (1960), masyarakat jawa secera realistis terpilah tiga menjadi abangan,
santri, dan priyayi atass daasar orieantasi agama dan traisi budaya. Meskipun banyak kritik
bahwa penggolongan tersebut pada satu sistem klasifikasi yang sama, tetapi pemilahan
abangan dan santri, dapat merupakan cerminan strukturalisasi masyarakat agama di jawa atas
dasar ketaatan menjalakna ibadah agama, yang sumbernya dari menemukan atau tidaknya
bentuk “bentuk autentik” dalam peribadatan. Satri dan abangan merupakan bentukan
pengenalan diri secara tegas, terjalin akibat pengalaman keagamaan dan pendalama disertai
rumusan agama yang tegas.
Mengenai agama dan stratifikasi sosial, pengertiannya terletak pada “kecenderungan
keagamaan” masing-masing klas atau lapisan masyarakat. Misalnya dalam menentukan arah,
ada yang menuju pada keselamatan, etika rasional, etika pembalasan, dan “etika teoilogis”.
Konflik dalam lapisan sosial ini ada, tetapi biasanya ada pindahan konflik ketingkat ekonomi
atau politik.
10
Agama dan integrasi sosial terwujud dalam ajaran tidak dibenarkan memaksakan
keyakinan dan kepercayannya kepada orang lain yang berbeda keyakinannya. Mekanisme
sosial lain, selain dari sumber ajaran agama itu sendiri, ialah integrasi sosial didukung oleh
adanya perasaan berkebudayaan satu seperti peringatan hari besar. Dari segi pola keagamaan
biasanya tidak terwujud secara langsung dalam bentuk sosial secara murni dan sederhana,
tetapi banyak likunya, ada janji-janji kepada klas, tetangga, dan sebagainya cenderung
seimbang, timbul individu dan kelompok “tipe campuran”.
BAB IV
11
PENUTUP
A. Simpulan
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan.
Karena latar belakang sosial yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat
akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan kelompok
terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadang kala kepentingannya dapat tercemin atau
tidak sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerah, tidak
hanya kondisi sosial saja yang menyebabkan lahir dan baga,makan akan mempengaruhi
tindakan manusia. Karena itu mempelajari pengaruh struktur sosial terhadap agama, dan juga
perlu mempelajari pengaruh agama terhadap struktur sosial.
B. Saran
Dengan dibuat nya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa
memahami dan dapat menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat. Hubungan
antara agama dan masyarakat yang kompleks diharapkan pembaca mencari sumber yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
12
Drs. D. Hendropuspito. O.C. 1983. Sosiologi Agama. Kanisius: Yogjakarta
http://bennydaniarsa.blog.fisip.uns.ac.id/2011/03/13/agama-dan-masyarakat/
http://rudyansyah08.blogspot.com/2012/01/agama-dan-masyarakat.html
Nottingham, Elizabeth. K. 1997. Agama dan Masyarakat. Rajawali Pers: Jakarta
Suwarno,dkk. 2008. Ilmu Social Budaya Dasar. Surakarta: BP/FKIP UMS
13