aspek biokimia saliva pada karies gigi
TRANSCRIPT
ASPEK BIOKIMIA SALIVA PADA KARIES GIGI
OLEH :
drg. I Gusti Agung Sri Pradnyani, M.Biomed
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan berkatNya sehingga karya tulis
ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini berjudul Aspek Biokimia Saliva Pada
Karies Gigi. Berbagai pihak telah banyak membantu penulis dalam
keberlangsungan pembuatan karya tulis ini. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan rekomendasi demi
kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, kami berharap karya tulis ini dapat
memberi manfaat kepada semua orang.
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar, 17 November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan ............................................................................................1
1.1. Latar Belakang .................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan ..............................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan ............................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka ..................................................................................3
2.1. Saliva ................................................................................................3
2.1.1. Definisi Saliva ........................................................................3
2.1.2. Fungsi Saliva ..........................................................................3
2.1.3. Volume dan pH Saliva ...........................................................5
2.1.4. Komposisi Saliva....................................................................6
2.2. Karies Gigi .......................................................................................7
2.2.1. Definisi Karies Gigi ...............................................................7
2.2.2. Gejala Karies Gigi ..................................................................9
2.2.3. Penyebab Karies Gigi .............................................................10
2.2.4. Patogenesa Karies Gigi ..........................................................12
2.2.5. Pencegahan Karies Gigi .........................................................12
2.3. Aspek Biokimia Saliva Terhadap Karies Gigi .................................15
Bab III Penutup .................................................................................................16
3.1. Kesimpulan ......................................................................................16
3.2. Saran .................................................................................................16
Daftar Pustaka..................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karies merupakan penyakit gigi yang sering terjadi di masyarakat sekitar.
Karies gigi umumnya terjadi akibat demineralisasi email dan dentin. Karies pada
gigi juga dapat terjadi akibat kurangnya memperhatikan asupan makanan yang di
konsumsi dan kurangnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Riset kesehatan
dasar (Riskesdas) pada penelitiannya tahun 2007 menyebutkan bahwa prevalensi
karies aktif di Indonesia sebesar 46,5%. Yang dimana, angka tersebut sudah
termasuk besar untuk masalah gigi dan mulut. Karies memang kebanyakan
dialami oleh anak – anak, namun sangat memungkinkan juga terjadi kepada orang
dewasa karena tidak hanya anak-anak, orang tua maupun remaja pun juga suka
mengonsumsi makanan karbohidrat kariogenik tertinggi yaitu snack, yang dimana
kandungan ini akan terus terdiam didalam gigi dan mulut apa bila tidak
menggosok gigi setelahnya. Yang dimana, hal tersebut akan mempengaruhi
kandungan pada saliva.
Saliva merupakan kandungan terbanyak yang terdapat dalam mulut, Ph
yang terkandung pada saliva normalnya berkisar antara 6-7. Saliva akan
mengalami penurunan Ph dari 6-7 menjadi Ph 5 pada saat mengkonsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat. Yang dimana, penurunan Ph tersebut
berdampak pada penurunan asam pada plak gigi. Hal tersebut yang
menghubungkan antara makanan yang di konsumsi, kandungan makanan yang
memperngaruhi kandungan saliva serta bagaimana sifat Ph saliva yang tidak
normal dan mengakibatkan terjadinya karies pada gigi.
Hal ini penting untuk diketahui agar kita sendiri bisa mencegah datangnya
penyakit gigi dan mulut terutama karies. Maka dari itu, Student Project ini
membahas mengenai Aspek Biokimia Saliva terhadap Karies Gigi. Agar kita bisa
meminimalisir terjadinya karies di Indonesia, dengan mengetahui bagaimana cara
mencegah dan terjauh dari penyakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap
terjadinya karies gigi?
1.2.2 Bagaimana peran saliva pada terjadinya karies gigi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap
terjadinya karies gigi.
1.3.2 Untuk mengetahui peran saliva pada terjadinya karies gigi.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Dapat mengetahui hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap
terjadinya karies gigi.
1.4.2 Dapat mengetahui peran saliva pada terjadinya karies gigi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Saliva
2.1.1 Definisi Saliva
Saliva adalah kelenjar eksokrin yang ada di dalam rongga mulut yang
berhubungan langsung dengan mucosa dan gigi. Saliva sangat berperan
dalam pencernaan makanan di dalam rongga mulut, mempertahankan
keutuhan gigi, dan melakukan antibacterial untuk menjaga kesehatan rongga
mulut (Tecky Indriana, 2011). Tempat untuk menghasilkannya saliva terdapat
pda tiga kelenjar saliva major dan kelenjar saliva minor. Kelejar saliva major
terdiri dari parotid (kelenjar tebesar), submadibular, sublingual (kelenjar
terkecil). Kelenjar saliva minor yang disekresi dengan spontan dan lambat
pada siang hari dan saat istirahat.
Saliva yang berdasarkan subernya terbagi menjadi dua, whola saliva dan
saliva glandular. Saliva glandular berasal dari kelenjar saliva, sedangkan
whola saliva adalah cairan dari pencampuran kelenjar saliva, mucus hidung
dan faring, sulkus gingival, sel darah, bakteri yang bersarang di rongga mulut
dari sisa makanan, dan sebagian kecil dari obat-obatan dan zat kimia yang
masih tertinggal di dalam rongga mulut.
Saliva terbagi menjadi dua juga berdasarkan stimulasinya yaitu
unstimulated saliva dan stimulated saliva. Stimulated saliva adalah saliva
yang didapatkan karena stimulus dari farmakologi, mekanin, gustatori,
olfaktori (Nila Kusuma, 2015).
2.1.2 Fungsi Saliva
Saliva tentunya memiliki peranan yang penting dalam menjaga
kesehatan rongga mulut. Berikut merupakan fungsi saliva:
a. Melindungi jaringan di dalam rongga mulut dengan cara
pembersihan secara mekanis untuk mengurangi akumulasi plak
pada gigi.
b. Lubrikasi elemen gigi, komponen saliva yang berperan dalam
fungsi saliva untuk lubrikasi ialah mucin, glikoprotein, dan air.
c. Saliva mengandung ion-ion terutama ion bikarbonat dan ion fosfat
berperan dalam aksi buffer yang mencegah demineralisasi gigi
yang disebabkan oleh asam yang diproduksi oleh bakteri sewaktu
metabolisme glukosa.
d. Agregasi bakteri yang dapat menghambat kolonisasi
mikroorganisme. Komponen saliva yang berperan sebagai
penghambat bakteri ialah amilase, defensin, lisozim, lactoferrin,
lactoperoksida, mucin, cystatin, histatin, proline-rich glikoprotein,
sekretori IgA, sekretori leukosit, protease inhibitor, statherin, dan
thrombospondin.
e. Membantu dalam pengecapan rasa, fungsi pengecapan rasa
dilakukan dengan cara melarutkan substansi makanan sehingga
dapat dirasa oleh reseptor pengecapan yang terletak pada taste
buds. Saliva yang diproduksi oleh kelenjar saliva minor yang
berada didekat papilla circumvallata mengandung protein yang
dapat mengikat substansi rasa dan mempresentasikannya pada
reseptor pengecapan.
f. Membantu fungsi pencernaan. Saliva bertanggung jawab pada
pencernaan awal zat tepung, mendukung pembentukan bolus
makanan. Pencernaan tersebut terjadi dengan bantuan enzim
pencernaan yang terdapat pada saliva, yaitu enzim α-amilase
(ptialin). Komponen dalam saliva yang membantu dalam
pencernaan makanan selain ptialin, ialah lipase, ribonuklease,
protease, air dan mucin (Linardi, 2014).
2.1.3 Volume dan pH Saliva
Pada orang normal, jumlah rerata sekresi saliva dalam satu hari sekitar
1000 sampai dengan 1500 ml. Jumlah saliva yang disekresikan dalam keadaan
tidak terstimulasi sekitar 0,32 ml/menit, sedangkan dalam keadaan terstimulasi
mencapai 3-4 ml/menit. Stimulasi kelenjar saliva dapat berupa rangsangan
olfaktorius, melihat dan memikirkan makanan, rangsangan mekanis, rangsangan
kimiawi, neuronal, dan juga rasa sakit. Rangsangan mekanis terjadi pada saat
mengunyah makanan yang keras atau permen karet. Rangsangan kimiawi terjadi
ketika kita merasakan rasa manis, asam, asin, pahit, dan pedas. Rangsangan neural
merupakan rangsangan yang melalui saraf simpatis dan parasimpatis. Rasa sakit
karena radang seperti gingivitis maupun protesa yang tidak pas juga menstimulasi
saliva. Selain itu stress dan kondisi psikis juga merupakan hal-hal yang dapat
mempengaruhi sekresi saliva. Pada saat sekresi saliva meningkat, konsentrasi total
protein, sodium, kalsium, klorida, dan bikarbonat juga pH saliva ikut meningkat,
sedangkan konsentrasi inorganik fosfat, dan magnesium berkurang. Volume dan
komponen saliva sangat menentukan kesehatan mulut. Kepentingan saliva bagi
kesehatan mulut itu sendiri dapat terlihat ketika terjadi gangguan sekresi saliva
berupa penurunan atau peningkatan sekresi saliva. Pada sekresi kurang dari 0,06
ml/menit (3 ml/jam) akan timbul keluhan mulut kering (xerostomia) (Linardi,
2014).
Derajat keasaman (pH) saliva yang normal berkisar antara 6.7-7.3. Derajat
keasaman dan kapasitas penyangga saliva dapat dipengaruhi oleh irama siang dan
malam (circadian sickle), diet, dan perangsangan kecepatan sekresi. Pengaruh
irama siang dan malam menunjukkan bahwa derajat asam dan kapasitas
penyangga saliva akan tinggi ketika bangun pagi, tetapi kemudian menurun
dengan cepat. Pada saat 15 menit setelah makan derajat asam dan kapasitas
penyangga saliva akan meninggi karena adanya rangsangan mekanis, namun
setelah 30-60 menit menjadi rendah. Pada malam hari, derajat keasaman dan
kapasitas penyangga saliva akan meningkat, tetapi menjelang tengah malam akan
turun kembali. Pada keadaan tidur, volume saliva akan berkurang, perbandingan
bikarbonat dan ion hidrogen menurun sampai pH 4, dan konsentrasi bikarbonat
rendah. Hal lain yang mempengaruhi pH saliva adalah kebiasaan merokok.
Merokok dalam jangka waktu yang lama tidak berpengaruh terhadap jumlah
sekresi atau volume saliva, tetapi berpengaruh terhadap penurunan pH saliva
normal dan kapasitas penyangganya. Diet kaya karbohidrat juga dapat
menurunkan kapasitas penyangga saliva karena dengan adanya karbohidrat dapat
terjadi peningkatan produksi asam oleh bakteri. Kapasitas penyangga saliva dapat
meningkat ketika banyak mengkonsumsi diet kaya protein dan sayuran. Bakteri
memanfaatkan protein sebagai sumber makanannya sehingga menghasilkan zat-
zat yang bersifat basa seperti amoniak (Linardi, 2014).
Kecepatan sekresi saliva dapat langsung mempengaruhi derajat keasaman
di dalam rongga mulut. Ketika terjadi peningkatan kecepatan sekresi saliva akan
meningkatkan pH saliva, sebaliknya menurunnya kecepatan sekresi saliva akan
menurunkan pH saliva. Keadaan tersebut akan mempengaruhi proses
demineralisasi (pH 4.3) dan remineralisasi (pH 7.0) pada gigi. Penurunan pH
secara berulang-ulang akan mengakibatkan terjadinya proses demineralisasi dan
menjadi awal terjadinya proses karies (Linardi, 2014).
2.1.4 Komposisi Saliva
Komposisi saliva yang disekresi oleh kelenjar salivarius dapat dibedakan
menjadi komponen anorganik dan komponen organik. Akan tetapi nilai
komponen sangat bervariasi tergantung dari faktor-faktor berikut antara lain:
Irama siang dan malam, sifat dan besar stimulus, keadaan psikis, diet, kadar
hormon, gerak badan dan obat yang dikonsumsi (Amerongen AVN, et all,2012).
Komponen anorganik saliva terutama adalah elektrolit dalam bentuk ion,
antara lain: Na+, K+ , Ca2+, Mg2+, Cl- , HCO3 - , dan fosfat. Na+ dan K+
mempunyai konsentrasi tertinggi di dalam saliva. Ion Cl- merupakan komponen
penting untuk aktivitas enzim amilase. Kalsium dan fosfat dalam saliva penting
untuk remineralisasi email dan berperan pada pembentukan plak bakteri dan
karang gigi. Rodanida atau thiocynate (CNS-) sebagai antibakteri dalam
kerjasama dengan sistem laktoperoksidase. Bikarbonat adalah ion bufer terpenting
di dalam ludah (Apriyono DK, 2011).
Komponen organik saliva terutama tersusun oleh protein, musin, ureum,
asam lemak, glukosa, asam amino, dan sejumlah kecil lipida. Produk-produk ini
tersusun tidak hanya dari kelenjar ludah, akan tetapi juga berasal dari sisa
makanan dan hasil pertukaran zat bakterial. Musin merupakan protein yang
mempunyai molekul tinggi yang terikat oleh rantai hidrat arang pendek, oleh
karena strukturnya yang memanjang dan sifatnya yang dapat menarik air sehingga
membuat saliva menjadi pekat (Apriyono DK, 2011).
Susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva menentukan
pH dan kapasitas bufer. Dalam keadaan normal, pH saliva berkisar antara 6,8-7,2
12 bergantung pada perbandingan antara asam dan basa konjugat yang
bersangkutan (Apriyono DK, 2011).
2.2 Karies Gigi
2.2.1 Definisi Karies Gigi
Karies gigi merupakan suatu penyakit yang menyerang jaringan keras
gigi, yaitu enamel, dentin dan sementum. Karies gigi menyebabkan pembusukan
di beberapa daerah akibat adanya proses melarutkan mineral permukaan gigi
yang terus berkembang kebagian dalam gigi. Hal ini terjadi karena aktivitas
jasad renik dalam karbohidrat yang dapat diragikan. Biasanya ditandai dengan
dimineralisasi jaringan keras yang diikut kerusakan zat organiknya, sehingga
bakteri masuk lebih jauh ke bagian dalam gigi. Dampaknya, gigi menjadi
keropos, berlubang, bahkan patah. Karies gigi membuat seseorang mengalami
kehilangan daya kunyah dan terganggunya pencernaan, yang mengakibatkan
pertumbuhan kurang maksimal (Sinaga, 2013). Apabila karies gigi dibiarkan
tanpa diatasi, maka akan timbul peradangan dan nanah pada gusi, peradangan
tulang rahang, pembengkakan dan peradangan di kerongkongan sehingga
menyebabkan kesulitan menelan, abses pada jaringan gusi dan otot, bahkan
menyebabkan selullitis atau infeksi kulit. Ketidaktahuan masyarakat tentang
pentingnya kesehatan gigi dan mulut yang mengakibatkan penurunan
produktivitas karena pengaruh sakit yang dirasakan. Hal ini karena menurunnya
jaringan pendukung gigi. Karies gigi ini nantinya menjadi sumber infeksi yang
dapat mengakibatkan beberapa penyakit sistemik (Nurhidayat dkk., 2012).
Berdasarkan tempat terjadinya, karies dibedakan menjadi beberapa jenis, sebagai
berikut:
a. Karies Insisipen
Merupakan karies yang terjadi pada bagian terluar dan
terkeras pada gigi, yaitu enamel gigi. Ciri-cirinya adalan
timbulnya warna hitam atau coklat pada enamel dan belum
sakit.
b. Karies Superfisialis
Merupakan karies yang sudah mencapai bagian dalam
enamel. Biasanya ditandai dengan terbentuknya rongga pada
permukaan gigi yang mencapai dentin dan gigi berwarna
hitam. Karies Superfasialis menyebabkan rasa sakit ketika
minum air dingin.
c. Karies Media
Merupakan karies yang sudah mencapai tulang gigi
atau pertengahan antara permukaan gigi dan pulpa. Ciri-
cirinya ditandai dengan adanya rongga yang besar dan dalam
hingga mencapai pulpa dan rongga berwarna hitam. Biasanya
timbul rasa sakit ketika terkena rangsangan dingin, makanan
masam dan manis.
d. Karies Profunda
Merupakan karies yang terlah mencapai pulpa yang
menimbulkan preadangan pada pulpa. Karies Profunda
menyebabkan gigi terasa sakit tiba-tiba, terbentuk
abses/nanah di sekitar ujung gigi, dan biasanya gigi sampai
pecah atau hilang karena mengalami pengeroposan.
Karies gigi secara historis telah dianggap komponen paling penting dari
beban penyakit mulut global (Widayati, 2014). Rendahnya pengetahuan dan
sedikitnya fasilitas kesehatan masih menjadi faktor utama penyebab terjadinya
karies gigi di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia (World Health
Organization) tercatat bahwa 60%-90% masyarakat mengalami karies gigi,
khususnya pada anak-anak. Menurut hasil penelitian, Eropa, Amerika dan Asia
termasuk Indonesia, merupakan negara dengan penderita karies terbesar. Menurut
Riskesda 2017, prevalensi terjadinya karies aktif pada penduduk Indonesia
dibandingkan tahun 2010 lalu di Indonesia adalah 43,4% (2007) meningkat
menjadi 53,2% atau sekitar 93 juta jiwa (2013).
2.2.2. Gejala Karies Gigi
Karies gigi biasanya diawali dengan sakit gigi dan gigi menjadi sensitif
setelah makan atau minum sesuatu berasa manis, asam, panas, dan dingin. Gejala
lainnya juga terlihat adanya lubang pada gigi dan biasanya mulut menjadi bau
tidak sedap. Tanda awal munculnya karies gigi yaitu adanya spot putih seperti
kapur pada permukaan gigi yang menunjukan area dimineralisasi asam, Proses
selanjutnya akan mengakibatkan perubahan warna menjadi coklat dan
terbentuknya lubang pada gigi. Spot kecoklatan ini akan tampak mengkilap jika
proses dimineralisasi telah berhenti atau jika kebersihan mulut sudah membaik.
Sebaliknya, jika spot kecoklatan masih terlihat buram menunjukan proses
dimineralisasi masih berlangsung.
Pasien akan mulai mengeluh sakit dan timbul ngilu ketika kerusakan sudah
mencapai dentin. Kerusakan pulpa yang akut akan terjadi apabila sakit gigi terjadi
secara terus-menerus, bahkan sakit berdenyut-denyit di gigi sampai kepala, dan
sangat menganggu aktivitas. Jika karies sudah parah, maka akan terjadi
peradangan dan timbul nanah pada gigi.
2.2.3. Penyebab Karies Gigi
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2008) menunjukkan bahwa
hampir separuh penduduk Indonesia mengalami karies gigi. Makanan kariogenik
merupakan faktor penyebab utama terjadinya karies gigi bersamasama dengan
faktor mikroorganisme, gigi (host) dan waktu. Karbohidrat adalah bahan yang
sangat kariogenik. Gula yang terolah seperti glukosa dan terutama sekali sukrosa
sangat efektif menimbulkan karies karena akan menyebabkan turunnya pH saliva
dibawah 5.5 secara drastis dan akan memudahkan terjadinya demineralisasi. Gula
sukrosa mempunyai kemampuan yang lebih efisien terhadap pertumbuhan
mikroorganisme asidogenik dibanding jenis karbohidrat lain. Selain itu, defisiensi
beberapa vitamin dan mineraljuga mendorong terjadinya karies pada gigi seperti
defisiensi vitamin A, B, C, dan D, kalsium, fosfor fluor dan zinc. Faktor Penyebab
Karies Gigi Proses terjadinya karies pada gigi melibatkan beberapa faktor yang
tidak berdiri sendiri tetapi saling bekerja sama. Ada 4 faktor penting yang saling
berinteraksi dalam pernbentukan karies gigi, yaitu:
a. Mikroorganisme
Mikroorganisme sangat berperan menyebabkan karies. Streptococcus
mutcins dan Lactobacillus merupakan 2 dari 500 bakteri yang terdapat pada
plak gigi dan merupakan bakteri utama penyebab terjadinya karies. Plak
adalah suatu massa padat yang merupakan kumpulan bakteri yang tidak
terkalsifikasi, melekat erat pada permukaan gigi, tahan terhadap pelepasan
dengan berkumur atau gerakan fisiologis jaringan lunak. Plak akan terbentuk
pada semua permukaan gigi dan tambalan, perkembangannya paling baik
pada daerah yang sulit untuk dibersihkan, seperti daerah tepi gingival, pada
permukaan proksimal, dan di dalam fisur. Bakteri yang kariogenik tersebut
akan memfermentasi sukrosa menjadi asam laktat yang sangat kuat sehingga
mampu menyebabkan demineralisasi.
b. Gigi (Host)
Morfologi setiap gigi manusia berbeda-beda, permukaan oklusal gigi
memiliki lekuk dan fisur yang bermacam-macam dengan kedalaman yang
berbeda pula. Gigi dengan lekukan yang dalam merupakan daerah yang sulit
dibersihkan dari sisasisa makanan yang melekat sehingga plak akan mudah
berkembang dan dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Karies gigi sering
terjadi pada permukaan gigi yang spesifik baik pada gigi susu maupungigi
permanen. Gigi susu akan mudah mengalami karies pada permukaan yang
halus sedangkan karies pada gigi permanen ditemukan di permukaan pit dan
fisur.
c. Makanan
Peran makanan dalam menyebabkan karies bersifat lokal, derajat
kariogenik makanan tergantung dari komponennya. Sisa-sisa makanan dalam
mulut (karbohidrat) merupakan substrat yag difermentasikan oleh bakteri
untuk mendapatkan energi. Sukrosa dan gluosa di metabolismekan
sedemikian rupa sehingga terbentuk polisakarida intrasel danekstrasel
sehingga bakteri melekat pada permukaan gigi. Selain itu sukrosa juga
menyediakan cadangan energi bagi metabolisme kariogenik. Sukrosa oleh
bakteri kariogenik dipecah menjadi glukosa dan fruktosa, lebih lanjut glukosa
ini dimetabolismekan menjadi asam laktat, asam format, asam sitrat
dandekstran.
d. Waktu
Karies merupakan penyakit yang berkembangnya lambat dan
keaktifannya berjalan bertahap serta merupakan proses dinamis yang ditandai
oleh periode demineralisasi dan remineralisasi. Kecepatan karies anak-anak
lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan kerusakan gigi orang dewasa
(Brown and Dodds, 2008).
2.2.4. Patogenesa Karies Gigi
Karies gigi merupakan penyakit yang terdapat pada jaringan keras gigi seperti
email, dentin dan sementum yang mengalami proses kronis regresif. Karies gigi
terjadi karena adanya interaksi antara bakteri di permukaan gigi, plak atau biofilm
dan diet, terutama komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri
plak menjadi asam, terutama asam laktat dan asetat. Yang ditandai dengan adanya
demineralisasi jaringan keras gigi dan rusaknya bahan organik akibat
terganggunya keseimbangan email dan sekelilingnya, menyebabkan terjadinya
invasi bakteri serta kematian pulpa bakteri dapat berkembang ke jaringan
periapeks sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri pada gigi.
Karies gigi merupakan penyakit periodontal yang dapat menyerang seluruh
lapisan masyarakat. Etiologi karies bersifat multifaktorial, sehingga memerlukan
faktor-faktor penting seperti host, agent, mikroorganisme, substrat dan waktu.
Adapun yang membedakan faktor etiologi atas faktor penyebab primer yang
langsung mempengaruhi biofilm atau lapisan tipis normal pada permukaan gigi 9
yang berasal dari saliva dan faktor modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi
biofilm (Purwaningsih et all, 2015).
2.2.5. Pencegahan Karies Gigi
Untuk mengurangi risiko karies gigi, diharapkan lebih memperhatikan
konsumsi makanan anak, terutama makanan jajanan yang mengandung gula.
Selain itu, membiasakan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung serat
seperti buah dan sayur juga sangat diperlukan. Perlunya kunjungan berkala 6
bulan sekali ke dokter atau puskesmas untuk memperoleh berbagai nasihat
prevent.
Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap
pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer bertujuan untuk
rnencegah terjadinya penyakit dan mempertahankan keseimbangan fisiologis.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mendeteksi karies secara dim dan
intervensi untuk rnencegah berlanjutnyapenyakit. Pencegahan tersier ditujukan
untuk rnencegah meiuasnya penyakit yang akan menyebabkan hilangnya fungsi
pengunyahan dan gigi.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Modifikasidiet. Untuk mencegah terjadinya karies gigi maka perlu dilakukan
modifikasi diet melalui berbagai cara, yaitu :
a. Memperbanyak memakan makanan kariostatik seperti lemak,
proteindan fluor.
Lemak dapat meningkatkan pH saliva setelah mengkonsumsi
karbohidrat. Lemak harus dikonsumsi sebelum memakan makanan
yang manis. Proteinmeningkatkanurea saliva yang dapat menetralisir
asam. Mengkonsumsi makanan tinggi protein setelah makan
karbohidrat dapat mengembalikan pH menjadi 7 dengan cepat. Fiuor
dapat rnencegah terjadinya karies. Fluor secara alami terdapat dalam
jumlah yang kecil pada teh dan makanan laut. Fluor dari makanan, air
atau minumanmelindungi gigi dari serangan asam. Fluor mempunyai
efek antibakteri dan antiplak.
b. Mengganti gula
Gula sintetik seperti saccharine dan aspartam serta gula alkohol
banyak digunakan pada makanan untuk mengurangi karies. Gula
sintetik dan gula alkohol bersifat noncariogenic. Contoh dari gula
alkohol adalah xylitol, sorbitol dan maltitol. Xylitol merupakanbentuk
alkohol darixylose dan merupakan pengganti gula yang paling baik
karena bakteri plakt idak bisa memetabolisme xylitol dan dapat
mengurangi Streptococcus mutans pada rriuiut. Peneliti dari Universitas
Michigan meneinukan bahwa anak sekolah yang mengunyah permen
karet xylitol selama 5 menit, 3-5 kali sehari dapat mengurangi karies
dan remineralisasi lesi awalkaries. 5 Sorbitol merupakan bentuk alkohol
dari sukrosa yang dibuat dengan menambahkan hidrogen pada glukosa.
Penelitian menyimpulkan bahwa mengunyah permen karet sorbitol
setelah makan dapat mengurangi terjadinya karies gigi secara
signifikan. Sorbitol secara alami terdapat pada buah buahan dan sayur-
sayuran. Maltitol merupakan bentuk alkohol dari mannose. Secara
alami terdapat pada nenas, asparagus, kentang dan wortel.
c. Mengurangi mengkonsumsi makanan yang manis dan asam.
d. Mengurangi konsurnsi snack yang mengandung karbohidrat sebelurn
tidur.
e. Mengkombinasikan makanan, seperti memakan makanan manis setelah
makanprotein dan lemak atau setelah konsurnsi keju setelah memakan
makanan yang manis.
f. Kombinasikan makanan mentah dan renyah yang dapat menstimulasi
saliva dengan makanan yang dimasak.
g. Buah-buahan yang asam dapat menstimulasi produksi saliva.
h. Membatasi meminum minuman yang manis.
2. Pemakaian fluor
Fluor berfungsi menghambat enzim pembentukan asam oleh bakteri,
menghambat kerusakan email lebih lanjut, serta membantu remineralisasi
pada lesi awal karies. Fluor dapat diberikan dalam bentuk fluoridasi air
minum, pasta gigi, obat kumur, dan tablet fluor.
3. Pit dan fissure sealant
Pit dan fissure sealant yaitu penutupan pit dan fissure yang dalam yang
beresiko terhadap karies.
4. Pengendalian plak.
Pengendalian plak dapat dilakukan dengan tindakan secara mekanis yaitu
dengan penyikatan gigi dan penggunaan alat-alat bantu lain seperti benang
gigi, tusuk gigi dan sikat interdental serta tindakan secara kimiawi yaitu
dengan menggunakan antibiotik dan senyawa-senyawa anti bakteri lain selain
antibiotik.
Tahap pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pengobatan
dan perawatan gigi dan mulut serta penambalan pada gigi berlubang.
Tahap pencegahan tersier dilakukan dengan cara perawatan pulpa
(akar gigi) atau melakukan pencabutan gigi.
2.3 Aspek Biokimia Saliva Terhadap Karies Gigi
Karies gigi merupakan masalah utama di Indonesia, dimana hampir
90% dari jumlah penduduk bermasalah dengan kesehatan gigi dan
mulutnya. Karies gigi merupakan proses multifaktor yang terjadi melalui
interaksi antara gigi dan saliva sebagai host, bakteri di dalam rongga
mulut, serta makanan yang mudah difermentasikan. Diantara faktor
tersebut saliva menjadi salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar
terhadap keparahan karies gigi. Saliva mempengaruhi proses terjadinya
karies karena saliva selalu membasahi gigi geligi sehingga mempengaruhi
lingkungan dalam rongga mulut. Derajat keasaman (pH) saliva merupakan
salah satu faktor penting yang berperan dalam karies gigi, kelainan
periodontal, dan penyakit lain di rongga mulut. Kadar derajat keasaman
(pH) saliva yang normal di dalam mulut berada di angka 7 dan bila nilai
pH saliva jatuh < 5,5 berarti keadaannya sudah sangat kritis. Nilai pH
saliva berbanding terbalik, dimana makin rendah nilai pH makin banyak
asam dalam larutan, sebaliknya makin meningkatnya nilai pH berarti
bertambahnya basa dalam larutan. Pada pH 7, tidak ada keasaman atau
kebasaan larutan, dan ini disebut netral. Pertumbuhan bakteri terjadi pada
pH saliva yang optimum berkisar (6,5- 7,5) dan bila rongga mulut pH
salivanya rendah (4,5- 5,5) akan memudahkan pertumbuhan kuman
asidogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus. Derajat
keasaman (pH) saliva merupakan bagian yang penting dalam
meningkatkan integritas gigi karena dapat meningkatkan terjadinya
remineralisasi, dimana penurunan pH saliva dapat menyebabkan
demineralisasi gigi. Adanya proses remineralisasi yang akan menurunkan
kemungkinan terjadinya karies. Remineralisasi adalah suatu proses dimana
permukaan gigi akan memperoleh mineral kembali (Tomasz, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Karies gigi merupakan proses multifaktor utama yang terjadi melalui
interaksi antara gigi dan saliva serta bakteri di dalam rongga mulut sehingga
makanan mudah difermentasikan. Faktor tersebut menjelaskan bahwa saliva
merupakan salah satu yang mempunyai pengaruh besar terhadap keparahan
karies gigi. Dikarenakan, karies gigi bisa terjadi akibat perubahan Ph dalam
saliva.
3.2 Saran
Untuk menjaga pH dalam saliva, kami menyarankan untuk tidak
mengkonsumsi makanan yang manis dan asam terlalu berlebihan. Gosoklah
gigi setelah makan dan sebelum tidur, karena seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa fluor yang terkandung dalam pasta gigi dapat menghambat
pembentukan enzim pembentuk asam oleh bakteri. serta melakukan
pemeriksaan gigi selama 6 bulan sekali ke dokter gigi.
DAFTAR PUSTAKA
Amerongen AVN, Michels LFE, Roukema PA, Veerman ECL. Ludah dan
kelenjar ludah arti bagi kesehatan gigi. Abyono R, editor. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press; 2012
Apriyono DK, Fatimatuzzahro N. Pengaruh kumur-kumur dengan larutan
triclosan 3% terhadap pH saliva. CDK187. 2011
BrownJP and Dodds MWJ. Prevention Strategies for dental Caries. In: Cappelli
DP and Mobley CC. Preventionand Clinical Oral Health Care. Missuori :
Mosby Elsevier; 2008.
Juniarti, D., 2015. HUBUNGAN PERILAKU PEMELIHARAAN KESEHATAN
GIGI DENGAN STATUS KARIES. pp. 1-84.
Linardi, A. N., 2014. PERBEDAAN PH SALIVA ANTARA PENGGUNA
PASTA GIGI YANG MENGANDUNG BAKING SODA DAN
PENGGUNA PASTA GIGI YANG MENGANDUNG FLUOR. pp. 1-41.
Litbangkes Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2008.Jakarta:DepkesRI;2008.
Nurhidayat dkk., 2012. Perbandingan Media Power Point Dengan Flip Chart
Dalam Meningkatkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index. php/ujph/article/viewFile/179/187.
Pudyasari, R, Susanto, H, Hestiningsih, R & Udiyono, A 2017, ‘GAMBARAN
PRAKTIK ANAK DALAM PENCEGAHAN KARIES GIGI DENGAN
KEJADIAN EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) PADA ANAK
PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANDARHARJO,
SEMARANG UTARA, KOTA SEMARANG’, JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT (e-Journal), vol. 5, no. 4.
Ramayanti, S & Purnakarya, I 2013, ‘PERAN MAKANAN TERHADAP
KEJADIAN KARIES GIGI’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 7, no. 2.
Riskesda. 2017. 93 Juta Lebih Penduduk Indonesia Menderita Karies Aktif.
Diakses dari http://www.kompasiana.com tanggal 12 November 2017.
Sinaga A. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan perilaku Ibu dalam
Mencegah Karies Gigi Anak Usia 1–5 Tahun di Puskesmas Babakan Sari
Bandung. Jurnal Darma Agung. XXI: 1–10.
Solikin, 2013. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA
TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN KEJADIAN
KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH DI TK 01 PERTIWI
KARANGBANGUN KARANGANYAR. NASKAH PUBLIKASI.
Tomasz M, Karpinski, Anna K, Szkanadkiewics, “ Mikrobiology of Dental Caries
“. J. Biol. Earth Sci. 2013;(1): M21-M24
WHO. 2016. Kasus Karies pada Anak Balita. (diakses dari
http://health.kompas.com 15 Oktober 2017
Widayanti, N., 2014. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KARIES
GIGI PADA ANAK USIA 4–6 TAHUN. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2
May, 2(2), pp. 196-205.
Ami Angela, 2008. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi.
Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.).
Indry Worotitjan , Christy N. Mintjelungan , Paulina Gunawan, 2013.
PENGALAMAN KARIES GIGI SERTA POLA MAKAN DAN MINUM
PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA KIAWA KECAMATAN
KAWANGKOAN UTARA. Jurnal e-GiGi (eG), Volume I, pp. hlm. 59-68.