aspek spiritual resort based management

5
ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT” Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP. *) “Benarkah RBM bisa diterapkan ?” Resort Based Management (RBM) merupakan salah satu kebijakan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT Taman Nasional pada Tahun 2014. Kebijakan ini selalu kami sampaikan setiap membawakan materi kebijakan Kementerian Kehutanan. Saat menyampaikan materi pembelajaran mata diklat kebijakan bidang PHKA pada salah satu diklat, salah seorang peserta menyampaikan tanggapannya bahwa RBM hanya “MIMPI” bagi kami petugas lapangan. Hal tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian khusus dan tantangan untuk membuktikan bahwa RBM tidak hanya sebatas “MIMPI”, tapi dapat diimplementasikan seperti di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Karimun Jawa. Pada saat sosialisasi RBM di Makassar Tahun 2010, Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “RBM ini hanya bisa berjalan apabila ada dukungan dari Kepala Balai Taman Nasional”. Pernyataan ini tentu saja menjadi pertanyaan bagi siapapun yang mendengarnya untuk mengetahui “Aspek utama berjalannya RBM di Taman Nasional Alas Purwo dan itu bukan MIMPI”. Fenomena Resort Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007). Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional, maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh- tumbuhan langka yang dilindungi.

Upload: sudirman-sultan

Post on 29-Jul-2015

108 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aspek spiritual resort based management

ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT” Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP. *)

“Benarkah RBM bisa diterapkan ?”

Resort Based Management (RBM) merupakan salah satu kebijakan Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT

Taman Nasional pada Tahun 2014. Kebijakan ini selalu kami sampaikan setiap

membawakan materi kebijakan Kementerian Kehutanan. Saat menyampaikan materi

pembelajaran mata diklat kebijakan bidang PHKA pada salah satu diklat, salah seorang

peserta menyampaikan tanggapannya bahwa RBM hanya “MIMPI” bagi kami petugas

lapangan. Hal tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian khusus dan tantangan untuk

membuktikan bahwa RBM tidak hanya sebatas “MIMPI”, tapi dapat diimplementasikan

seperti di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Karimun Jawa.

Pada saat sosialisasi RBM di Makassar Tahun 2010, Kepala Balai Taman

Nasional Alas Purwo menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “RBM ini hanya

bisa berjalan apabila ada dukungan dari Kepala Balai Taman Nasional”. Pernyataan ini

tentu saja menjadi pertanyaan bagi siapapun yang mendengarnya untuk mengetahui

“Aspek utama berjalannya RBM di Taman Nasional Alas Purwo dan itu bukan MIMPI”.

Fenomena Resort

Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan

Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007).

Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai

tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan

dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala

Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan

masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional,

maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan

taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh-

tumbuhan langka yang dilindungi.

Page 2: Aspek spiritual resort based management

Bila mencermati hal tersebut diatas, begitu rumit dan kompleksnya sebuah

manajemen di taman nasional. Bagaimana sebuah kebijakan seolah-olah saling

menunggu. Kebijakan dalam sebuah taman nasional tergantung oleh Kepala Balai dan

seorang Menteri Kehutanan. Seorang Kepala Seksi dan Kepala Resort serta staf-nya tidak

bisa berbuat apa-apa jika sang pimpinan tidak memberikan instruksi. Dalam hal

pengamanan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab petugas resort, resort tidak

bisa berbuat banyak. Karena kewenangan dan pengelolaan anggaran berada di tingkat

Balai. Pengelolaan ini tidak akan efektif mengingat luasnya kawasan hutan yang

dikelola dan banyaknya permasalahan gangguan terhadap kawasan hutan.

Olehnya itu dibutuhkan sebuah solusi yang cepat dalam pengelolaan taman

nasional. Tingginya konflik di taman nasional dan masih sering terjadinya kegiatan-

kegiatan illegal disebuah taman nasional membuat beberapa kalangan tidak mempercayai

sistem taman nasional dalam upaya penyelamatan sebuah kawasan hutan. Manajemen

kolaborasi dan pelibatan masyarakat didalam dan disekitar taman nasional harus

diterapkan. Bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan serasi dengan kawasan hutan.

Menikmati tinggal dikawasan hutan dan menjaga tempat tinggalnya dari kerusakan.

Resort harus dilibatkan secara penuh dalam sebuah perencanaan, pelaksanaan dan

monitoring sebuah kegiatan/program di taman nasional. Beri kepercayaan dan ruang

gerak yang bebas untuk resort.

“Seksi dan Resort adalah ujung tombak didalam sebuah taman nasional. Biarkan

mereka membuat program dan mengelola program tersebut. Baik program dari anggaran

pemerintah maupun sumber dana yang lainnya. Karena mereka yang tahu situasi dan

kondisi dilapangan. Kenapa disebuah taman nasional dibentuk seksi dan resort? Karena

kepala balai tidak akan sanggup mengurusi semuanya. Seksi dan resort merupakan

perpanjangan tangan kepala balai. Kepala balai cukup mengevaluasi saja pekerjaan-

pekerjaan mereka” ungkap Waldemar Hasiholan (Widyaiswara Pusdiklat Kehutanan)

yang pernah menjadi Kepala Balai Taman Nasional dibeberapa taman nasional ketika

kami melakukan praktek lapangan bersama di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Page 3: Aspek spiritual resort based management

Aspek Spiritual RBM

Untuk menerapkan RBM, maka RBM hendaknya diinterpretasikan tidak semata-

mata sebagai tuntutan “Renstra Kementerian Kehutanan” tetapi merupakan hasil dari

suatu proses “IQRA = Membaca”. Membaca dalam arti luas adalah membaca

keseluruhan gejala yang terjadi disekitar kita yang menyebabkan terjadinya kerusakan

alam yang merupakan amanah bagi rimbawan. Mengapa kita diminta membaca, tentu

agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan

mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah,

bahwa agar manusia tidak buta dan tidak terjebak pada suatu “kondisi” yang

menyebabkan alam semakin rusak ditengah semakin bertambahnya rimbawan di bumi

tercinta ini.

Hal inilah yang diterapkan di Taman Nasional Alas Purwo yaitu membaca

fenomena yang terjadi di tingkat resort. Proses membaca ini membutuhkan “Kecerdasan

Emosional dan Spiritual” yang tinggi sehingga diperlukan kemauan dan tingkat

keikhlasan yang tinggi dalam bekerja. Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih. Tingkat

kecerdasan dengan pemahaman “Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih” inilah yang mampu

membaca fenomena resort bahwa kegiatan resort telah menyimpang dari aturan yang

sesungguhnya.

Untuk memperbaiki hal tersebut, dibutuhkan komitmen moral. Komitmen moral

hanya bisa dilaksanakan apabila yang akan mengajak komitmen memiliki kecerdasan

spiritual dalam berkomitmen yaitu memiliki moral yang dapat menjadi contoh dan

teladan. Kecerdasan spiritual yang sudah built in dalam diri menjadi penyebab untuk

berpikir melingkar, sehingga diperoleh solusi untuk menghitung “Penghasilan Minimal”

dan “Tugas Minimal”

“Penghasilan Minimal” adalah penghasilan diluar gaji yang menjadi kebutuhan

minimal petugas Resort yang menyebabkannya bekerja menyimpang dari aturan.

Penghasilan minimal ini dihitung dan didukung oleh pernyataan komitmen moral dari

petugas resort dan pihak Balai. “Penghasilan Minimal” ini berasal dari pelaksanaan

“Tugas Minimal” Resort yang harus dikerjakan diluar dari tugas rutin yang menjadi tugas

pokoknya.

Page 4: Aspek spiritual resort based management

Dengan adanya “Tugas Minimal” yang akan menghasilkan “Penghasilan

Minimal” ini menjadi motivasi tersendiri bagi petugas resort untuk bekerja di lapangan

yaitu di tingkat resort. Apabila personil resort bekerja dilapangan melaksanakan tupoksi

dan tugas minimal yang menjadi kewajibannya, maka kita mulai mengetahui isi kawasan,

memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu

sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita

bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM,

yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan. Dengan semakin lengkapnya data

dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman

terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga

kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang

100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan

konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat

dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.

RBM dan Tuntutan Renstra

RBM perlu dipahami tidak hanya sebagai “Tuntutan Renstra” tetapi merupakan

amanah Tuhan Yang Maha Menciptakan untuk membangun kelembagaan pengelolaan

yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan

potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat

melakukan adaptasi ke dalam dan keluar. Hal ini tentu saja perlu tahapan proses yang

diawali dengan tahapan “IQRA”, sehingga RBM berjalan sesuai dengan tahapan proses

yang terencana dan mantap. Tidak spontanitas karena pemenuhan “Renstra”, dimana dari

aspek data sudah RBM namun dari aspek manajemen sesungguhnya belum menerapkan

RBM.

Berikut ini ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:

Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.

Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan

dan potensi yang dapat dikembangkan.

Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi persoalan

internal dan eksternal.

Page 5: Aspek spiritual resort based management

Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi

sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan

berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.

Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan

melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.

Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan,

dan kualitas pekerjaan.

Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan

pembangunan yang berkelanjutan.

Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan

internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.

Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan

memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-

prinsip kelestariannya.

Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya budaya “membaca”

yang didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data,

informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya

bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.

RBM diharapkan berjalan sesuai dengan tahapan proses yang direncanakan

sehingga Resort sebagai unit manajemen terkecil menjadi kenyataan yaitu fungsi-fungsi

manajemen ada ditingkat resort. Dengan berfungsinya Resort sebagai Unit Manajemen

Terkecil, diharapkan permasalahan-permasalahan kawasan hutan tidak semakin kompleks

dan mengalami penurunan dari bentuk manajemen sebelumnya. (SS).

*) Widyaiswara Madya pada Diklat Kehutanan Makassar (085299305956)