assertive training

68
BAB II ASSERTIVE TRAINING DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA REMAJA A. Assertive Training 1. Pengertian Assertive Training Asertivitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu assert yang berarti menyatakan, menegaskan, menuntut, dan memaksa. Menurut kamus Inggris-Indonesia (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995: 41) kata kerja assert berarti menyatakan atau menegaskan. To assert dapat juga berarti menyatakan dengan sopan dan manis serta hal-hal lain yang menyenangkan diri sendiri. Menurut Rahtus S.A dan Nevid J.S (1980 : 81) “ assertive behavior is rather the expression of oneself in a manner that is consistent with the way he feels ”. Perilaku asertif adalah pengekspresian perasaan, pikiran dan meyakinkan kepada orang lain secara langsung, jujur, terbuka dan tepat. Perilaku asertif dalam pergaulan yang lebih luas berkembang menjadi suatu keterampilan sosial dalam menghargai keinginan diri dan menghargai hak orang lain. Salah satu 14

Upload: rickyhilmansyah

Post on 16-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

latihan assertive training untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA

TRANSCRIPT

Page 1: assertive training

BAB IIASSERTIVE TRAINING DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN NAPZA

PADA REMAJA

A. Assertive Training

1. Pengertian Assertive Training

Asertivitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu assert yang berarti

menyatakan, menegaskan, menuntut, dan memaksa. Menurut kamus Inggris-

Indonesia (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995: 41) kata kerja assert berarti

menyatakan atau menegaskan. To assert dapat juga berarti menyatakan dengan

sopan dan manis serta hal-hal lain yang menyenangkan diri sendiri. Menurut

Rahtus S.A dan Nevid J.S (1980 : 81) “ assertive behavior is rather the expression

of oneself in a manner that is consistent with the way he feels ”. Perilaku asertif

adalah pengekspresian perasaan, pikiran dan meyakinkan kepada orang lain secara

langsung, jujur, terbuka dan tepat. Perilaku asertif dalam pergaulan yang lebih

luas berkembang menjadi suatu keterampilan sosial dalam menghargai keinginan

diri dan menghargai hak orang lain. Salah satu lingkungan pembentuk perilaku

asertif seseorang adalah kebiasaan atau budaya interaksi dengan orang lain.

Assertive training pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah

laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam

mengembangkan cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi

interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan, melalui permainan peran,

kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu diharapkan

mampu mengatasi ketidakberdayaannya dan belajar bagaimana mengungkapkan

perasaan dan pikiran secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa individu

14

Page 2: assertive training

berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu. Tujuan dari latihan

asertif adalah untuk meningkatkan perilaku individu sehingga mampu membuat

keputusan untuk bersikap terbuka pada situasi tertentu dan mengajarkan individu

untuk mengekspresikan perasaan kepada orang lain. Corey (2007 : 213)

mengungkapkan bahwa latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang: (1)

tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung; (2)

menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk

mendahuluinya; (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “TIDAK”; (4)

mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif

lainnya; (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan

pikiran-pikiran sendiri.

Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)

meliputi 5 tahap, sebagai berikut :

Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)

meliputi 5 tahap, sebagai berikut :

a. Tahap pertama. Menghapuskan rasa takut yang berlebihan dan keyakinan

yang tidak logis. Rasa takut yang berlebihan termasuk ketakutan yang dapat

menyakiti perasaan orang lain, ketakutan yang timbul dari keyakinan yang

salah bahwa perasaan orang lain adalah penting dan perasaan diri sendiri

tidak penting. Ketakutan kedua yaitu bila individu merasa gagal memaksa

orang untuk mencintai dirinya. Ketakutan ketiga adalah orang lain

memandang bahwa perilaku tegas adalah sebuah perilaku yang kurang sopan

dan tidak menghargai orang lain. Ketakutan keempat adalah dengan bersikap

15

Page 3: assertive training

tegas maka dapat menampilkan diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak

mahir, dan tidak berguna. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang

irasional sering menghentikan individu yang akan bersikap tegas.

b. Tahap kedua. Menerima/mengemukakan fakta-fakta masalah yang akan

dihadapi. Seorang individu harus menerima bahwa setiap orang harus mampu

bersikap tegas dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara

jujur.

c. Tahap ketiga. Berlatih untuk bersikap asertif sendiri. Latihan bersikap

tegas sendiri biasanya menggunakan refleksi atau permainan peran jiwa

dimana dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif,

memusatkan pada perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.

d. Tahap keempat. Menempatkan individu dengan orang lain untuk bermain

peran pada situasi yang sulit. Tahap keempat menyediakan kesempatan untuk

berlatih peran dan mendapatkan umpan balik orang lain dalam kelompok.

Pelatihan lebih lanjut mengizinkan konseli untuk lebih lanjut menunjukkan

perubahan perilaku dan membiasakan konseli untuk bersikap lebih tegas, dan

menerapkan timbal balik. Menggandakan latihan juga membuat konseli

semakin bertambah nyaman dan senang saat menjadi asertif.

e. Tahap kelima. Membawa perilaku asertif pada kondisi yang sebenarnya

atau dalam kehidupan sehari-hari. Konseli membuat kontrak perilaku untuk

melaksanakan perilaku asertif yang sebelumnya dihindari. Pada sesi

selanjutnya, konseli menjelaskan pengalamannya, menilai usaha yang

16

Page 4: assertive training

dilakukan, hubungkan dalam latihan selanjutnya dan membuat kontrak

perilaku lain untuk keluar dari pengalaman asertif kelompok.

Berdasarkan tahapan latihan asertif menurut Lange dan Jakubowski maka

dapat dikemukakan komponen dasar perilaku asertif, sebagai berikut :

a. Kemampuan untuk memahami ketakutan dan keyakinan yang irasional.

b. Kemampuan mempertahankan hak-hak pribadi.

c. Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran.

d. Kemampuan untuk menyatakan keyakinan.

2. Kategori perilaku assertif

Perilaku asertif dapat dibentuk melalui latihan asertif (Assertive Training).

Penggunaan teknik latihan asertif didasarkan pada asumsi bahwa banyak orang

menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal. Kecemasan

interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh karena itu,

berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan cara

meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki keterampilan

asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan interpersonal dan

dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang tidak asertif

(Corey, 1986: 189).

Rathus dan Nevid (1980: 107-123) mengkategorikan 10 perilaku asertif,

sebagai berikut :

a. Bicara asertif yaitu individu mengemukakan hak-hak atau berusaha mencapai

tujuan tertentu dalam suatu situasi dan memberi pujian untuk menghargai

tingkah laku seseorang dan juga memberi feed back positif pada individu lain.

17

Page 5: assertive training

b. Pengungkapan perasaan-perasaan pada individu lain secara spontan dan tidak

berlebihan.

c. Menyapa dan memberi salam pada individu lain dan individu yang ditemui

termasuk individu yang baru dikenal dan membuka percakapan.

d. Dapat menampilkan cara yang efektif untuk menyatakan setuju atau tidak

setuju.

e. Menanyakan alasan ketika diminta untuk melakukan sesuatu, tidak langsung

menyanggupi ataupun menolaknya.

f. Berbicara mengenai diri sendiri.

g. Menghargai pujian dan menerima pujian.

h. Menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang lain.

i. Menatap mata lawan bicara.

j. Mampu menampilkan respon melawan rasa takut, tidak menampilkan tingkah

laku yang dapat memancing rasa cemas.

B. Perilaku Penyalahgunaan NAPZA

1. Pengertian NAPZA

NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif

lainnya. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narkoun” yang berarti

membuat lumpuh atau membuat mati rasa. Dalam UU Nomor 22 tahun 1997,

pasal 1, pengertian narkotika adalah :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

18

Page 6: assertive training

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini, atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”

Menurut UU nomor 5 tahun 1997, pengertian psikotropika adalah :

“Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku”

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) zat adiktif lainnya adalah

bahan lain bukan narkotoka atau psikotropika yang penggunaannya dapat

menimbulkan ketergantungan.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) minuman beralkohol adalah

minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan pertanian yang

mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi

tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara pengenceran minuman yang

mengandung etanol

2. Jenis- jenis NAPZA

Menurut UU Nomor 22 tentang narkotika, narkotika dibagi ke dalam 3

golongan yaitu :

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan

ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi, serta mempunyai potensi

yang sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan. Contohnya putaw/

heroin, kokain, ganja, kanabis.

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan

19

Page 7: assertive training

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi untuk

menyebabkan ketergantungan. Contohnya morfin, petidin, metadon.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Contohnya kodein, difenoksiat.

Menurut UU Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, psikotropika

menyebabakan sindroma ketergantungan digolongkan ke dalam 4 golongan sesuai

dengan tujuan penggunaannya dan kekukatan potensinya (berat atau ringan) :

a. Psikotropika golongan I. Contohnya MDMA/ ekstasi, LSD

b. Psikotropika golongan II. Contohnya shabu- shabu, seko-barbital

c. Psikotropika golongan III. Contohnya amo-barbital, pentazosine.

d. Psikotropika golongan IV. Contohnya allo-barbital, diazepam, halazepam,

dietil propion

3. Perilaku Penyalahgunaan NAPZA

Perilaku penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pola penggunaan yang

bersifat klinis menyimpang, minimal satu bulan lamanya, dan telah terjadi

gangguan fungsi sosial atau pekerjaannya (BNN, 2006 : 221). Jika perilaku

penyalahgunaan NAPZA dilanjutkan maka akan menyebabkan ketergantungan.

Setelah itu akan mengakibatkan gangguan jasmani dan rohani bahkan lebih jauh

lagi akan menyebabkan kematian yang sia-sia.

20

Page 8: assertive training

Menurut Martono (2006 : 21) ada beberapa pola pemakaian NAPZA,

yaitu :

a. Pola coba-coba, yaitu karena iseng dan ingin tahu. Pengaruh teman sebaya

sangat besar, yang menawarkan atau membujuk untuk memakai NAPZA.

Ketidakmampuan berkata “tidak” mendorong remaja untuk mencoba

NAPZA, ditambah dengan rasa ingin tahu yang besar.

b. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian NAPZA untuk tujuan pergaulan

(berkumpul dalam acara tertentu) agar diakui / diterima kelompok.

c. Pola pemakaian situasional yaitu karena situasi tertentu, misalnya kesepian,

stress dan lain-lain. Disebut juga tahap instrumental, karena dari pengalaman

pemakaian sebelumnya disadari, NAPZA dapat menjadi alat untuk

mempengaruhi atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Disini

pemakaian NAPZA telah mempunyai tujuan, yaitu sebagai cara mengatasi

masalah (compensatory use). Pada tahap ini, penyalahguna berusaha

memperoleh NAPZA secara aktif.

d. Pola habituasi (kebiasaan), ketika telah memakai NAPZA secara teratur/

sering. Terjadi perubahan faal tubuh dan gaya hidupnya. Teman lama

berganti dengan teman kalangan pecandu. Kebiasaan, pakaian, dan

sebagainya akan berubah. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah,

sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab NAPZA mulai menjadi bagian dari

kehidupannya. Minat dan cita-cita semua hilang. Ia sering membolos dan

prestasi di sekolah merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada kumpul

bersama keluarga. Meskipun masih dapat mengendalikan pemakaiannya,

21

Page 9: assertive training

tetapi telah terjadi gejala awal ketergantungan. Pola pemakaian NAPZA

inilah yang secara klinis disebut penyalahgunaan.

e. Pola ketergantungan (kompulsif) dengan gejala khas, yaitu timbulnya toleransi

dan/ atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu memperoleh NAPZA

dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, dan mencuri menjadi

kebiasaannya. Ia tidak dapat mengendalikan diri dalam penggunaannya,

sebab NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga

dan teman-teman menjadi rusak. Pada pemakaian beberapa jenis NAPZA

seperti putauw terjadinya ketergantungan sangat cepat.

Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti orang

yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian masih dapat menghentikannya.

Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, betapa pun

ia berusaha, kecuali menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia).

Adapun ciri-ciri dari ketergantungan NAPZA adalah sebagai berikut :

a. Keinginan tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat

yang tergolong NAPZA

b. Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh

yang meningkat

c. Ketergantungan psikis yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan

menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lainnya

d. Ketergantungan fisik yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan

gejala fisik yang disebut gejala putus zat (withdrawal symdrome)

22

Page 10: assertive training

Gambaran rinci mengenai proses/ tahapan penyalahgunaan NAPZA

menurut Yanny (Setiadi, 2006 : 19) adalah sebagai berikut :

Bagan 2.1Proses/ tahapan penyalahgunaan NAPZA

Dari bagan diatas dapat diartikan bahwa asal mula remaja menyalahgunakan

NAPZA adalah faktor diri yang tidak dapat menolak dan faktor pendorong atau

pencetus yaitu ajakan dari teman untuk menyalahgunakan NAPZA yang akan

berdampak secara fisik maupun psikis.

4. Faktor penyebab perilaku penyalahgunaan NAPZA

Hawari (1997 : 138) menyatakan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan

NAPZA adalah karena adanya interaksi antara faktor predisposisi (kepribadian,

kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus

(pengaruh teman kelompok sebaya dan zat itu sendiri).

23

kompromi Tidak tegas menentukan sikap menentang NAPZA, mau bergaul dengan pemakai NAPZA

Segan menolak tawaran atau ajakan teman untuk mencoba memakai NAPZA, lalu ikut-ikutan memakai NAPZA

Dengan memakai beberapa kali, tubuh sudah menjadi toleran, perlu peningkatan dosis pemakaian

Peningkatan dosis dan tambah jenis NAPZA dengan dosis yang ditambah terus

Pemakaian NAPZA sudah menjadi kebiasaan yang meningkat

Keterkaitan pada NAPZA yang sudah mendalam sehingga tidak dapat terlepas, gejala putus obat yang berat

Keracunan oleh NAPZA, mengalami kerusakan pada organ tubuh dan otak, hilang kesadaran

Organ tubuh sudah rusak terutama otak, biasanya menjadi gila atau terjadi kematian

coba- coba

toleransi

eskalasi

habituasi

adiksi

intoksifikasi

mati

Page 11: assertive training

Hawari menggambarkan proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA

sebagai berikut :

Bagan 2.2Proses terjadinya penyalahgunaan NAPZA (Hawari, 1996 : 138)

Skema diatas menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor penyebab

penyalahgunaan NAPZA, yaitu :

a. Faktor predisposisi (faktor fisik dan psikis seseorang)

b. Faktor kontribusi (faktor lingkungan keluarga), dan

c. Faktor pencetus yaitu pengaruh dari teman kelompok dan keberadaan NAPZA

itu sendiri

Faktor- faktor penyebab perilaku penyalahgunaan NAPZA di kalangan

remaja dapat diartikan bahwa didalmnya terdapat faktor internal yaitu faktor dari

diri sendiri atau dalam diri individu dan faktor eksternal yaitu faktor dari luar diri

24

Faktor predisposisi :1. Gangguan kepribadian

antisosial2. Kecemasan3. depresi

Penyalahgunaan NAPZA

Faktor pencetus :Pengaruh teman sebaya + NAPZA

Faktor kontribusi :1. Kondisi keluarga2. Keutuhan keluarga3. Kesibukan orang tua4. Hubungan interpersonal

Ketergantungan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA

Ketergantungan NAPZA

Page 12: assertive training

seseorang, baik itu karena lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya

sehingga terjadi atau menyebabkan terjadinya penyalahgunaan NAPZA.

Perilaku penyalahgunaan NAPZA yang muncul di kalangan remaja

bukanlah suatu kebetulan, melainkan perilaku yang muncul karena terdapat

kondisi-kondisi atau aspek tertentu yang menjadi latar belakang perilaku

penyalahgunaan NAPZA.

Perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja memiliki alasan antara lain

karena keinginan untuk membebaskan diri dari segala larangan keluarga, karena

keinginan untuk menambah dukungan sosial kelompoknya dengan jalan

menyesuaikan diri dengan pola perilaku yang ditetapkan oleh pimpinannya, atau

karena ingin berpetualang (Hurlock, 1997 : 224).

Akan tetapi terlepas dari semua alasan diatas, remaja memakai NAPZA,

karena NAPZA membuatnya merasa nikmat, enak dan nyaman pada awal

pemakaian. Perasaan yang dihasilhan oleh NAPZA itulah yang mula- mula dicari

pemakainya. Remaja tidak melihat akibat buruk penggunaan NAPZA. Justru

remaja mengabaikan akibat buruk dari penggunaan NAPZA. Akibat buruk itu

baru dirasakan setelah beberapa kali pemakaian, tetapi pada saat itulah terjadi

kecanduan dan ketergantungan. Martono (2006 : 18) mengemukakan alasan

memakai NAPZA yang dapat dikelompokkan sebagai berikut

a. Anticipatory beliefs, yaitu anggapan bahwa jika menggunakan NAPZA, orang

akan menilai dirinya hebat, dewasa, mengikuti mode, dan sebagainya.

b. Relieving beliefs, yaitu keyakinan bahwa NAPZA dapat digunakan untuk

mengatasi ketegangan, cemas, dan depresi akibat stessor psikososial.

25

Page 13: assertive training

c. Facilitative atau permissive beliefs, yaitu keyakinan bahwa penggunaan

NAPZA merupakan gaya hidup atau kebiasaan karena pengaruh zaman atau

perubahan nilai sehingga dapat diterima.

Namun pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi remaja

menyalahgunakan NAPZA, antara lain :

a. Faktor individu

1) Adanya kepercayaan bahwa NAPZA dapat mengatasi semua permasalahan

yang sedang dihadapi

2) Harapan untuk memperoleh kenikmatan dari dampak obat yang

dikonsumsi

3) Untuk menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan

4) Karena kurang percaya diri

5) Agar diterima oleh kelompok teman sebayanya

6) Ingin tahu dan coba- coba

7) Karena kurang perhatian dari keluarga

b. Faktor lingkungan

1) Tempat tinggal berada disekitar lingkungan pengguna dan pengedar

2) Lingkungan sekolah yang rawan dengan peredaran NAPZA

3) Berteman dan bergaul dengan mereka yang menggunakan NAPZA

4) Ketidakharmonisan yang terjadi dalam keluarga yang mempengaruhi

perkembangan mental dan kepribadian seseorang

c. Faktor lain

26

Page 14: assertive training

1) Jumlah maupun dosis NAPZA yang disalahgunakan serta tingkat

penggunaannya yang bebas

2) Cara pemakaiannya yang mudah, baik dihirup, dengan alat suntik, bong

dan sebagainya

3) Perubahan dan pergesera norma dan tata nilai karena imbas dari

modernisasi yang diserap langsung

4) Kurangnya penghayatan keagamaan dan nilai serta norma yang dianut oleh

lingkungan keluarga.

5. Akibat perilaku penyalahgunaan NAPZA

Terjadinya berbagai perubahan pada remaja yang menyalahgunakan

NAPZA dapat mengakibatkan tiga aspek akibat langsung penyalahgunaan

NAPZA yang berujung pada menguatnya ketergantungan.

a. Secara fisik: penggunaan NAPZA akan mengubah metabolisme tubuh

seseorang. Hal ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin

besar dan gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk

berusaha terus-menerus mengkonsumsi NAPZA.

b. Secara psikis: berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti

rasa bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkonsumsi

NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan

fungsi mental itu adalah dengan mengkonsumsi lagi NAPZA.

c. Secara sosial: dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini

biasanya diawali dengan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti

keluarga (lihat faktor penyebab keluarga ), sehingga muncul konflik dengan

27

Page 15: assertive training

orang tua, teman-teman, pihak sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan

pihak-pihak ini kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan

kelompok orang-orang serupa, yaitu para penyalahguna NAPZA juga

Semua akibat ini berujung pada meningkatkannya perilaku

penyalahgunaan NAPZA. Beberapa dampak yang sering terjadi dari peningkatan

perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah sebagai berikut.

a. Kebutuhan untuk memperoleh NAPZA terus-menerus menyebabkan

penyalahguna sering melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri dan

menipu orang lain untuk mendapatkan uang membeli NAPZA.

b. Menurun bahkan menghilangnya produktivitas pemakai, apakah itu di sekolah

maupun di tempat kerja. Penyalahguna akan kehilangan daya untuk

melakukan kegiatannya sehari-hari.

c. Penggunaan jarum suntik secara bersama meningkatkan resiko tertularnya

berbagai macam penyakit seperti HIV. Peningkatan jumlah orang dengan HIV

positif di Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan meningkatnya

penyalahgunaan NAPZA.

d. Penakaian NAPZA secara berlebihan menyebabkan kematian. Gejala over

dosis pada penyalahguna NAPZA menjadi lebih besar karena batas toleransi

seseorang sering tidak disadari oleh yang bersangkutan

6. Tanda- tanda remaja penyalahguna NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA pada remaja dapat diketahui dari tiga perubahan

yaitu (1) adanya perubahan perilaku; (2) ditemukannya NAPZA dan perangkat

28

Page 16: assertive training

pemakaiannya; (3) gejala- gejal fisik/ jasmaniah, tergantung pada jenis NAPZA

yang dipakai, lama pemakaian, cara pakai, kondisi tubuh, kepribadian, dan

harapan penyalahguna terhadap NAPZA tersebut. Ada beberapa tanda remaja

yang menggunakan NAPZA yang dapat diamati di sekolah :

a. Nilai ulangan/ rapor di sekolah menurun

b. Motivasi sekolah menurun, malas berangkat sekolah, dan malas membuat PR

c. Sering membolos, sering keluar kelas, dan tidak kembali ke sekolah

d. Mengantuk di kelas, sering bosan, dan tidak memperhatikan guru

e. Sering dipanggail guru karena tidak disiplin

f. Meninggalkan hobi yang dulu digemari (kegiatan ekstrakurikuler, olahraga)

g. Mengeluh karena menganggap orang di rumah tidak memberikan kebebasan

atau menganggap orang di rumah terlalu menegakkan disiplin

h. Teman lama ditinggalkan, mulai sering berkumpul dengan siswa yang

bermasalah di sekolah atau berkumpul dengan kelompok pemakai

i. Sering meminjam uang kepada teman

j. Gaya pakaian dan gaya musik yang disukainya berubah

k. Tidak peduli terhadap kebersihan diri dan menunjukkan sikap tidak peduli

l. Bersikap defensif (membela diri), permusuhan, dan mudah tersinggung.

C. Karakteristik Remaja

Istilah adolesence atau remaja berasal dari kata latin adolescere ( Kata

bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tubuh

29

Page 17: assertive training

menjadi dewasa.” (Hurlock, 1980 : 206). Istilah adolescence, seperti yang

dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan

mental, emosional, sosial, dan fisik.

G. Stanley Hall (Yusuf, 2006: 3) berpendapat remaja merupakan masa

“Strum & Drang”, yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi : antara

goncangan, penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang

dewasa. Konopka (Yusuf, 2006: 3) mengemukakan masa remaja merupakan

segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu dan

merupakan masa transisi (dari masa anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada

perkembangan masa dewasa yang sehat.

Pandangan mengenai remaja dikemukakan oleh Piaget (Hurlock, 1980 :

206) secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi

dengan masyarakat dewasa, usia anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-

orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-

kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai

banyak aspek efektif, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.

Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan

untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang

kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan.

Masa remaja (adolescence) menurut sebagian ahli psikologi terdiri atas

sub-sub masa perkembangan, sebagai berikut: 1) subperkembangan pre-puber

selama kurang lebih dua tahun sebelum masa puber; 2) subperkembangan post-

puber, yakni saat perkembangan biologis sudah lambat tapi masih terus

30

Page 18: assertive training

berlangsung pada bagian-bagian organ tertentu. Saat ini merupakan akhir masa

puber yang mulai menampakkan tanda-tanda kedewasaan (Syah, 2004: 51).

Menurut Sarwono (Setiadi, 2006 : 12) pada masa remaja terdapat beberapa

tahapan proses perkembangan dan penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu : 1)

remaja awal, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan

yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai

perubahan-perubahan itu; 2) remaja madya, remaja sangat membutuhkan kawan-

kawan. Remaja senang jika banyak teman yang menyukainya, umumnya berada

dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana; 3)

remaja akhir, masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan

pencapaian 5 hal, yaitu minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek,

egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam

pengalaman- pengalaman baru, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan

berubah lagi, egonsentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri

sendiri dengan orang lain, tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya

dan masyarakat umum.

Proses perkembangan pada masa remaja lazimnya berlangsung selama

kurang lebih 11 tahun, mulai usia 12-21 pada wanita dan 13-22 tahun pada pria.

Masa perkembangan remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh

kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi remaja sendiri melainkan bagi para

orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Bahkan tidak jarang penegak hukum turut

direpotkan oleh ulah dan tindak-tanduk remaja yang dipandang menyimpang.

Sehubungan dengan masalah remaja, dapat dipastikan bahwa segala sesuatu yang

31

Page 19: assertive training

sedang mengalami atau dalam keadaan transisi dari suatu keadaan ke keadaan

lainnya selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan yang kadang-

kadang berakibat sangat buruk bahkan fatal (mematikan).

Ciri-ciri yang membedakan masa remaja dengan periode sebelum dan

sesudahnya, sebagai berikut.

1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar

kepentingan setiap periode perkembangan tentu saja berbeda-beda. Pada

periode remaja, periode yang terpenting adalah perkembangan fisik. Secara

fisik, masa remaja awal ditandai dengan matangnya organ-organ seksual.

Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani

dan kelenjar prostat, sedangkan pada remaja wanita ditandai dengan

menstruasi. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan

cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja.

Semua perkembangan pada masa remaja menimbulkan perlunya penyesuaian

mental dan perlu membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi

sebelumnya, melainkan lebih dari sebuah peralihan dari satu tahap

perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan

yang akan datang. Namun, perlu disadari bahwa yang telah terjadi akan

meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang

32

Page 20: assertive training

baru. Osterrieth (Hurlock, 1980: 207) mengemukakan struktur psikis remaja

berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap

sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Pada masa remaja ini terjadi beberapa perubahan diantaranya :

a. Perkembangan fisik

Dalam perubahan fisik ini terbagi dalam dua ciri yaitu ciri seks primer dan

ciri seks sekunder. Adapaun ciri seks primer, pada pria ditandai dengan

cepatnya pertumbuhan testis dan kematangan hormon-hormon seks yang

memungkinkan terjadinya mimpi basah. Sedangkan pada wanita terjadi

kematangan organ-organ seksnya yang ditandai dengan tumbuhnya rahim,

vagina dan ovarium. Memungkinkan mengeluarkan hormon-hormon yang

diperlukan dalam kehamilan dan mengalami peristiwa menstruasi.

b. Perkembangan kognitif

Masa remaja perkembangan kognitifnya sudah mencapai tahap operasi

formal, dimana secara mental sudah dapat berpikir logis tentang berbagai

gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir formal itu lebih bersifat

hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan

masalah daripada berpikir konkrit.

c. Perkembangan emosi

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi

yang tinggi. Perubahan secara fisik sangat mempengaruhi sekali dalam

perkembangan emosi ini. Pada remaja awal perkembangan emosinya

33

Page 21: assertive training

sangat sensitif dan reaktif yang kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya

bersifat negatif dan temperamental. Sedangkan pada remaja akhir sudah

mampu mengendalikan emosi.

d. Perkembangan sosial

Pada masa remaja berkembang “social cognition” yaitu kemampuan

memahami orang lain. Kemampuan pemahaman ini mendorong remaja

untuk dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan teman sebayanya,

baik itu dalam bentuk persahabatan maupun pacaran. Pada masa ini timbul

juga sikap “conformity” yaitu kecenderungan untuk menyerah dan

mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran ataupun keinginan

orang lain. Sikap konformitas ini dapat berdampak positif dapat juga

berdampak negatif.

e. Perkembangan moral

Melalui interaksinya dengan lingkungan maka remaja sudah mengenal

konsep nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, kesopanan dan

kedisiplinan. Pada umumnya, menurut perkembangan moral dari

Kohlberg, remaja berada dalam tingkatan konvensional atau berada dalam

tahapan ketiga (berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan

kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peraturan yang

berlaku dan diyakininya).

f. Perkembangan kepribadian

Pada masa ini remaja berada dalam pencarian jati diri. Dimana remaja

mencari jawaban dari pertanyaan “who am I ?”. pencarian identitas ini

34

Page 22: assertive training

sangat dipengaruhi oleh iklim keluarga, tokoh idola dan peluang

pengembangan diri.

g. Perkembangan kesadaran beragama

Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat

menstraformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi

kualitas keabstrakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja seringkali menjadi masalah yang sulit diselesaikan.

Terdapat dua alasan bagi kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Pertama,

sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh

orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam

mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa dirinya mandiri, sehingga

remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri, remaja cenderung menolak

bantuan dari orang tua dan guru. Anna Freud (Hurlock, 1980: 208)

mengemukakan, banyak kegagalan yang seringkali disertai akibat yang tragis,

bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena kenyataan bahwa

tuntutan yang diajukan kepada remaja justru pada saat semua tenaga yang

dimiliki remaja telah dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok

yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Erikson (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan, identitas diri yang dicari oleh

remaja berupa usaha untuk menjelaskan ‘Siapa dirinya, apa peranannya dalam

masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa ? Apakah nantinya

35

Page 23: assertive training

ia dapat menjadi seorang suami atau ayah ? Apakah ia mampu percaya diri

sekalipun latarbelakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang

merendahkannya ? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau gagal ?

Selanjutnya, Erikson (Hurlock, 1980: 208) menjelaskan bagaimana pencarian

identitas ini mempengaruhi perilaku remaja.

Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru, para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun lalu, meskipun untuk melakukannya remaja harus menunjuk secara artifisial orang-orang yang baik hati sebagai musuh; dan remaja selalu siap untuk menempatkan idola remaja sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identifikasi yang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanak-kanak.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Majeres (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan, banyak anggapan populer

tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak

diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotipe budaya bahwa remaja

adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung

merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik

terhadap perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan bahwa orang

dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat

peralihan ke masa menjadi sulit. Menurut Anthony (Hurlock, 1980: 208)

stereotip budaya berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat, yang

menggambarkan citra diri remaja dan membentuk perilaku remaja.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

36

Page 24: assertive training

Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan,

bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak

realistik, tidak hanya bagi diri remaja sendiri tetapi bagi keluarga dan teman-

teman, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa

remaja. Bertambahnya pengalaman pribadi, pengalaman sosial, dan dengan

meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, maka remaja tidak

terlampau mengalami kekecewaan dan memandang kehidupan lebih realistik.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi gelisah

untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan

bahwa para remaja sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada

perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok,

menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam freesex. Remaja

menganggap bahwa yang dilakukannya akan memberikan citra yang

diinginkan.

Masa remaja dapat dijalani dengan mulus dan baik, jika seorang remaja

melewati tugas perkembangannya dengan baik pula. Tugas perkembangan masa

remaja (Sunaryo, dkk. 2005: 7), sebagai berikut.

1. Landasan hidup religius, meliputi: sholat dan berdoa, belajar agama,

keimanan, dan sabar.

2. Landasan perilaku etis, meliputi: jujur, hormat kepada orangtua, sikap sopan

dan santun, ketertiban dan kepatuhan.

37

Page 25: assertive training

3. Kematangan emosional, meliputi: kebebasan dalam mengemukakan pendapat,

tidak cemas, pengendalian emosi, dan kemampuan menjaga stabilitas emosi.

4. Kematangan intelektual, meliputi: sikap kritis, sikap rasional, kemampuan

membela hak pribadi, dan kemampuan menilai.

5. Kesadaran tanggung jawab, meliputi: mawas diri, tanggungjawab atas

tindakan pribadi, partisipasi pada lingkungan, dan disiplin.

6. Peran sosial sebagai pria atau wanita, meliputi: perbedaan pokok antara laki-

laki dan perempuan, pean sosial sesuai jenis kelamin, tingkah laku dan

kegiatan sesuai jenis kelamin, dan cita-cita sesuai dengan jenis kelamin.

7. Penerimaan diri dan pengembangannya, meliputi: kondisi fisik, kondisi

mental, pengembangan cita-cita, dan pengembangan pribadi.

8. Kemandirian perilaku ekonomis, meliputi: upaya menghasilkan uang, sikap

hemat dan menabung, bekerja keras dan ulet, dan tidak mengharap pemberian

orang.

9. Wawasan dan persiapan karir, meliputi: pemahaman jenis pekerjaan,

kesungguhan belajar, upaya meningkatkan keahlian, dan perencanaan karir.

10. Kematangan hubungan dengan teman sebaya, meliputi: pemahaman tingkah

laku oranglain, kemampuan berempati, kerja sama, dan kemampuan hubungan

sosial.

11. Persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga, meliputi: pemilihan

pasangan/teman hidup, kesiapan menikah, membangun keluarga, dan

reproduksi sehat.

38

Page 26: assertive training

Perubahan pada diri remaja menunjukkan tanda keremajaan, namun

seringkali perubahan yang terjadi hanya menunjukkan tanda-tanda fisik dan bukan

pengesahan akan keremajaan seseorang. Satu hal yang pasti, konflik yang

dihadapi remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan berbagai dimensi

kehidupan dalam diri. Beberapa dimensi yang berubah pada saat remaja

berkembang, sebagai berikut.

1. Dimensi Biologis

Pada saat seorang remaja memasuki masa pubertas yang ditandai dengan

menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja

putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar.  Pubertas

menjadikan seorang remaja tiba-tiba memiliki kemampuan untuk

bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam

memproduksi dua jenis hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan,

yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone

(LH). Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas

mengubah sistem biologis seorang anak. Remaja perempuan akan mendapat

menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain

itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang. Remaja

lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya

yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron. Bentuk fisik

remaja akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa

remaja pada dunia remaja.

2. Dimensi Kognitif

39

Page 27: assertive training

Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli

perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam

tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada

periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam

usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak.

Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga

remaja dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan

masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara

logis dan abstrak remaja berkembang sehingga remaja mampu berpikir multi-

dimensi seperti ilmuwan. Remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya,

tetapi akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan

pemikiran remaja sendiri. Remaja juga mampu mengintegrasikan pengalaman

masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi,

dan rencana untuk masa depan. Melalui kemampuan operasional formal ini,

para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar remaja.

3. Dimensi Moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya

mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai

dasar bagi pembentukan nilai diri remaja. Remaja tidak lagi menerima hasil

pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada remaja

selama ini tanpa bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan

pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini

diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai

40

Page 28: assertive training

melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan

dipercayainya.

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja

karena remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan

antara yang remaja percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya.

Remaja lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir

dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari

sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama

ini diterima bulat-bulat. Kemungkinan remaja tidak lagi mempercayai nilai-

nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak, 

akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan

penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung

penerapan nilai-nilai tersebut.

4. Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang  penuh gejolak. Pada masa ini mood

(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago

oleh  Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa

remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood

“senang luar biasa” ke  “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa

memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)

yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan

rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Mood remaja

41

Page 29: assertive training

yang mudah berubah-ubah dengan cepat belum tentu merupakan gejala atau

masalah psikologis.

D. Layanan Bimbingan untuk Mencegah Perilaku Penyalahgunaan NAPZA

Melalui Teknik Assertive Training

1. Bimbingan dan Konseling

a. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance dalam bahasa Inggris.

Secara harfiah istilah guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct,

pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau

mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (Ameliya, 2008: 24)

mengemukakan guidance mempunyai hubungan dengan guiding: “showing a

way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun), giving

instructions (memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing

(mengarahkan), dan giving advice (memberikan nasehat).

Penggunaan istilah bimbingan seperti yang telah dikemukakan tampaknya

proses bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Proses

bimbingan yang menekankan kepada peranan pihak pembimbing tentu saja tidak

sesuai dengan arah perkembangan dewasa, dimana pada saat ini klien yang

dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan

keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambil.

Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, dikemukakan

pendapat dari beberapa ahli, sebagai berikut.

42

Page 30: assertive training

a. Peters dan Shertzer (Yusuf, 2005 : 6 ) mendefiniskan bimbingan sebagai the

process of helping the individual to understand himself and his world so that

he can utilize his potentialities.

b. Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is the help

given by one person to another in making choice and adjusment and in

solving problem.

c. Djumhur dan Moh. Surya, (Ameliya, 2008 : 25) berpendapat bahwa

bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan

sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi, agar

tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding),

kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk

mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan

dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam

mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan

masyarakat.

d. Rochman Natawidjaja (Yusuf, 2005 : 6) mengartikan bimbingan sebagai

proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara

berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya,

sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, sesuai

dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan

kehidupan pada umumnya.

e. Sunaryo Kartadinata (Yusuf, 2005 : 6)mengartikan bimbingan sebagai proses

membantu individu untuk mencapai perkembangan secara optimal

43

Page 31: assertive training

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,

tampaknya para ahli beragam memberikan pengertian bimbingan, kendati

demikian dapat dilihat adanya benang merah, bahwa bimbingan pada hakekatnya

merupakan upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik

yang bersifat psikologis. Tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal

dan kemandirian merupakan tujuan yang ingin dicapai dari bimbingan.

Istilah bimbingan sering dirangkai dengan kata konseling. Menurut

Robinson (Yusuf, 2005 : 7) mengartikan konseling adalah “ semua bentuk

hubungan antara dua orang, dimana yang seorang, yaitu klien dibantu untuk lebih

mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan

lingkungannya”. Sedangkan menurut ASCA (American School Counselor

Association) mengemukakan bahwa :

Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah- masalahnya.

Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan

salah satu bentuk hubungan yang bersifat membantu dan interpersonal.

b. Tujuan Bimbingan

Tujuan pelayanan bimbingan adalah agar remaja dapat: (1) merencanakan

kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang

akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki

seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,

lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan

44

Page 32: assertive training

kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan,

masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Untuk mencapai tujuan dari bimbingan dan konseling, remaja harus

mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan,

dan tugas-tugas perkembangannya; (2) mengenal dan memahami potensi atau

peluang yang ada di lingkungannya; (3) mengenal dan menentukan tujuan dan

rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan; (4) memahami kesulitan-

kesulitan sendiri; (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya,

sesuai lembaga tempat bekerja dan masyarakat; (6) menyesuaikan diri dengan

keadaan dan tuntutan dari lingkungan; (7) mengembangkan segala potensi dan

kekuatan yang dimilikinya secara optimal.

Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli

agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-

sosial, belajar (akademik), dan karir.

c. Fungsi Bimbingan dan Konseling

1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang membantu

konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya dan lingkungannya.

2) Fungsi fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai

pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang

pada seluruh aspek yang ada pada diri konseli.

3) Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu

konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara

dinamis dan konstruktif.

45

Page 33: assertive training

4) Fungsi penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu

konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan

memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat,

keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lainnya.

5) Fungsi adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan untuk

menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat,

kemampuan, dan kebutuhan konseli.

6) Fungsi pencegahan (preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya

konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin

terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.

7) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu

konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan

dan bertindak.

8) Fungsi penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang berkaitan

erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami

masalah, teknik yang dapat digunakan adalah konseling dan remedial

teaching.

9) Fungsi pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu

konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang

telah tercipta dalam dirinya.

10) Fungsi pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya

lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk

46

Page 34: assertive training

menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi

perkembangan konseli.

2. Layanan Bimbingan Pribadi untuk Mencegah Perilaku Penyalahgunaan

NAPZA pada Remaja

Remaja sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses

berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan

atau kemandirian. Guna mencapai kematangan, remaja memerlukan bimbingan

karena remaja masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang diri dan

lingkungan sekitarnya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas

dari masalah. Artinya, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur

yang lurus atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan remaja tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik,

psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan.

Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life

style) seorang remaja. Apabila perubahan yang terjadi sulit diprediksi maka akan

melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku remaja, seperti terjadinya

stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku.

Layanan bimbingan pribadi bertujuan untuk membantu remaja dalam

menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi yang dihadapi, misalnya

penyelesaian konflik, penerimaan diri, pengembangan diri, dan sebagainya.

Bimbingan pribadi dapat memantapkan kepribadian dan mengembangkan

kemampuan remaja dalam menangani masalah pribadi. Bimbingan pribadi

47

Page 35: assertive training

mengarah pada pencapaian pribadi yang mantap dengan memperhatikan keunikan

dan bidang-bidang permasalahan yang akan dialami oleh remaja.

Pelaksanaan bimbingan pribadi bagi remaja untuk mencegah perilkau

penyalahgunaan NAPZA diidentifikasikan sebagai berikut.

a. Metode dan teknik yang digunakan adalah bimbingan pribadi, dengan teknik

diskusi, ceramah, role playing, relaksasi, dan kontrak perilaku.

b. Materi yang disajikan dalam layanan bimbingan pribadi berdasarkan tingkat

perilaku asertif siswa terhadap penyalahgunaan NAPZA, yang pada

akhirnya remaja mampu meningkatkan perilaku asertif terhadap perilaku

penyalahgunaan NAPZA.

c. Langkah kegiatan bimbingan pribadi untuk mencegah perilaku

penyalahgunaan NAPZA terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut.

1) Perencanaan: analisis kebutuhan remaja, penentuan tujuan kegiatan,

penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam kegiatan,

persiapan media dan biaya pelaksanaan kegiatan bimbingan.

2) Pelaksanaan: pemberian layanan bimbingan, pemberian materi

bimbingan, kerja sama dengan pihak lain yang mendukung kegiatan.

d. Evaluasi : rencana satuan layanan kegiatan, penggunaan metode dan teknik,

sarana, media dan ketepatan waktu.

3. Penerapan Teknik Assertive Training untuk Mencegah Perilaku

Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja

48

Page 36: assertive training

Menurut teori behavioral, perilaku adalah hasil dari suatu pembelajaran

atau pengkondisian. Perilaku pada manusia merupakan reaksi atas stimulasi yang

diberikan oleh lingkungan dari luar dirinya. Berdasarkan prinsip operant

conditioning, sekali suatu perilaku telah termanifestasikan maka sangat besar

kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Perilaku penyalahgunaan

NAPZA muncul pada kondisi lingkungan tertentu. Kondisi yang menimbulkan

stimulus tertentu bisa menjadi reinforcement bagi remaja untuk menyalahgunakan

NAPZA. Kondisi yang menyenangkan saat menyalahgunakan NAPZA

mendorong remaja untuk mengulang kembali kondisi itu. Tujuan dari konseling

behavioral ini adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode

Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling

behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah dibidang

psikoterapi, yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan

sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.

Remaja yang menyalahgunakan NAPZA disebabkan karena banyaknya

stimulus dari lingkungan yang membuat remaja tertarik untuk terus mencoba dan

menggunakan NAPZA secara berkelanjutan. Stimulus yang membuat remaja

menyalahgunakan NAPZA adalah ajakan dari teman, uang jajan lebih yang

diberikan oleh orang tua, dan besarnya peluan untuk mendapatkan NAPZA. Hal

ini semakin membuka jalan bagi remaja untuk menyalahgunakan NAPZA dan

dapat menimbulkan adiksi (ketergantungan).

Masa remaja, remaja banyak mengalami tekanan atau pressure, baik dari

peer (teman sebaya), lingkungan sosial, maupun dari orang tua dan guru. Dari

49

Page 37: assertive training

semua tekanan yang dialami, yang dirasa paling berat dan paling mempengaruhi

perilaku remaja adalah tekanan teman sebaya atau dikenal dengan istilah peer

pressure. Tanpa disadari remaja mendapat tekanan untuk berperilaku seperti

remaja lain, sehingga akhirnya remaja masuk ke dalam situasi dimana remaja

harus berperilaku seperti remaja yang lainnya, agar dapat diterima dan tidak dapat

disisihkan. Banyak remaja yang melakukan hal-hal yang akhirnya memperngaruhi

masa depan dan jalan hidupnya hanya karena mengikuti ajakan teman sebaya.

Pada awalnya, remaja yang menyalahgunakan NAPZA dikarenakan oleh

ajakan teman-temannya dan rasa penasaran terhadap jenis dan rasa dari NAPZA.

Karena NAPZA mengandung zat adiktif maka jika pemakaian dilanjutkan akan

menyebabkan ketergantungan dan dapat mengganggu aktifitas lain yang

bermanfaat bagi dirinya. Guna mereduksi perilaku penyalahgunaan NAPZA pada

remaja maka diperlukan bantuan yang mampu membantu remaja untuk bersikap

tegas dan menolak ketika ada ajakan untuk menggunakan NAPZA. Salah satu

cara untuk membantu remaja dapat terhindar dari ajakan penyalahgunaan NAPZA

adalah dengan memberikan latihan asertif (Assertive Training).

Latihan asertif digunakan untuk membentuk keterampilan perilaku asertif

(assertive behavior). Penggunaan teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa

banyak orang menderita perasaan cemas dalam berbagai situasi interpersonal.

Kecemasan interpersonal dapat dihentikan jika orang dapat bertindak asertif. Oleh

karena itu, berbagai gangguan dan problem interpersonal dapat ditangani dengan

cara meningkatkan keterampilan perilaku asertif. Individu yang memiliki

keterampilan asertif lebih mungkin untuk berhasil dalam membina hubungan

50

Page 38: assertive training

interpersonal dan dalam kehidupan yang lebih luas dibanding individu lain yang

tidak asertif (Corey, 1986: 189).

Menurut Lange dan Jakubowski (1976) latihan asertif (Assertive Training)

meliputi 5 tahap, sebagai berikut :

a. Tahap pertama. Menghapuskan rasa takut yang berlebihan dan keyakinan

yang tidak logis. Rasa takut yang berlebihan termasuk ketakutan yang dapat

menyakiti perasaan orang lain, ketakutan yang timbul dari keyakinan yang

salah bahwa perasaan orang lain adalah penting dan perasaan diri sendiri

tidak penting. Ketakutan kedua yaitu bila individu merasa gagal memaksa

orang untuk mencintai dirinya. Ketakutan ketiga adalah orang lain

memandang bahwa perilaku tegas adalah sebuah perilaku yang kurang sopan

dan tidak menghargai orang lain. Ketakutan keempat adalah dengan bersikap

tegas maka dapat menampilkan diri sebagai orang yang tidak mampu, tidak

mahir, dan tidak berguna. Ketakutan yang berlebihan dan keyakinan yang

irasional sering menghentikan individu yang akan bersikap tegas.

b. Tahap kedua. Menerima/mengemukakan fakta-fakta masalah yang akan

dihadapi. Seorang individu harus menerima bahwa setiap orang harus mampu

bersikap tegas dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara

jujur.

c. Tahap ketiga. Berlatih untuk bersikap asertif sendiri. Latihan bersikap tegas

sendiri biasanya menggunakan refleksi atau permainan peran jiwa dimana

51

Page 39: assertive training

dalam situasi ini individu akan lebih bisa bersikap asertif, memusatkan pada

perilaku nonverbal yang penting dalam ketegasan.

d. Tahap keempat. Menempatkan individu dengan orang lain untuk bermain

peran pada situasi yang sulit. Tahap keempat menyediakan kesempatan untuk

berlatih peran dan mendapatkan umpan balik orang lain dalam kelompok.

Pelatihan lebih lanjut mengizinkan konseli untuk lebih lanjut menunjukkan

perubahan perilaku dan membiasakan konseli untuk bersikap lebih tegas, dan

menerapkan timbal balik. Menggandakan latihan juga membuat konseli

semakin bertambah nyaman dan senang saat menjadi asertif.

e. Tahap kelima. Membawa perilaku asertif pada kondisi yang sebenarnya atau

dalam kehidupan sehari-hari. Konseli membuat kontrak perilaku untuk

melaksanakan perilaku asertif yang sebelumnya dihindari. Pada sesi

selanjutnya, konseli menjelaskan pengalamannya, menilai usaha yang

dilakukan, hubungkan dalam latihan selanjutnya dan membuat kontrak

perilaku lain untuk keluar dari pengalaman asertif kelompok.

Ada enam strategi klinis yang digunakan oleh konselor selama Assertive

Training, sebagai berikut (Bellack & Hersen 1977 dalam Corey, 1986).

a. Perintah. Konselor menceritakan kepada konseli mengenai perilaku khusus

yang diharapkan. Perintah yang jelas dapat membantu konseli meningkatkan

kontak mata dan berbicara lebih tegas.

b. Umpan balik. Mengacu pada komentar para konselor terhadap perilaku

konseli setelah perintah untuk melakukan sejumlah sikap-sikap positif dan

52

Page 40: assertive training

umpan balik negatif yang telah diperagakan untuk mengarahkan mereka, dan

untuk menandakan perilaku.

c. Pemberian contoh. Suatu saat seorang konselor benar-benar memperlihatkan

sikap-sikap yang diharapkan kepada kliennya untuk meniru baik secara

langsung maupun secara tidak langsung.

d. Latihan bersikap. Meliputi bermain peran (role playing) selama pelatihan, baik

perilaku yang ditaati atau tidak ditaati dalam situasi interpersonal, dan

penampilan dipraktekkan dalam segala kondisi.

e. Penguatan secara sosial. Meliputi pemberian pujian terhadap konseli saat

memperoleh target yang diharapkan.

f. Penugasan pekerjaan tumah. Bagian terakhir pada Assertive Training ini

adalah menerapkan tugas pekerjaan rumah yang spesifik tentang sifat

perilaku. Melalui penugasan ini, konseli menerapkan apa yang didapatkan

selama pelatihan dalam kehidupan sehari-hari, dan konseli dapat

menggunakan pembelajaran baru ini pada kehidupan nyata dalam situasi

interpersonal. Konseli akan sependapat untuk menyetujui atau menolak

sebuah permintaan, dan mengekspresikan perasaan atau gagasan mereka pada

saat yang tepat.

Lebih jauh lagi perilaku asertif membuat seseorang merasa bertanggung

jawab dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Individu bebas

untuk mengemukakan berbagai keinginan, pendapat, gagasan, dan perasaan secara

terbuka sambil tetap memperhatikan juga pendapat orang lain. Citra dirinya akan

terlihat sebagai sosok yang berpendirian dan tidak terjebak pada eksploitasi yang

53

Page 41: assertive training

merugikan dirinya sendiri, dengan bersikap asertif akan timbul rasa hormat dan

penghargaan orang lain yang berpengaruh besar terhadap pemantapan eksistensi

individu di tengah-tengah khalayak luas.

Kebanyakan remaja enggan bersikap asertif karena dalam diri remaja ada

rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya remaja tersebut tidak lagi

disukai atau diterima. Selain itu, alasan “untuk mempertahankan kelangsungan

hubungan” juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin

membuat pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap

non-asertif (memendam perasaan, perbedaan pendapat), justru akan mengancam

hubungan yang ada karena salah satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan

oleh pihak lain.

Langkah-langkah agar remaja mampu mengatakan ‘tidak’ terhadap

permintaan yang tidak diinginkan, sebagai berikut.

1. Tentukan sikap yang pasti, apakah ingin menyetujui atau tidak. Jika belum

yakin dengan pilihan mintalah kesempatan berpikir sampai mendapatkan

kepastian.

2. Jika belum jelas dengan apa yang diminta, bertanyalah untuk mendapatkan

kejelasan atau klarifikasi.

3. Berikan penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis.

4. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan ‘Tidak’

untuk penolakan, daripada ‘Sepertinya saya ...’.

5. Pastikan sikap tubuh juga mengekspresikan atau mencerminkan ‘bahasa’ yang

sama dengan pikiran.

54

Page 42: assertive training

6. Gunakan kata ‘Saya tidak akan ...’ daripada ‘Saya sulit ...’.

7. Jika berhadapan dengan seseorang yang terus mendesak, maka alternatif sikap

atau tindakan yang dapat dilakukan: mendiamkan, mengalihkan pembicaraan,

atau bahkan menghentikan percakapan.

8. Bernegosiasi dengan pihak lain agar kedua pihak mendapatkan jalan

tengahnya, tanpa harus mengorbankan perasaan, keinginan, dan kepentingan

masing-masing.

Remaja yang mampu bersikap asertif berarti mampu untuk

mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang

lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak

lain. Dalam bersikap asertif, remaja dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur

dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional,

tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak

lain.

Meningkatkan perilaku asertif sangat diperlukan sekali dalam mencegah

penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Hal yang harus diperhatikan oleh konselor

dalam meningkatkan perilaku asertif untuk mereduksi perilaku penyalahgunaan

NAPZA pada remaja adalah kompetensi konselor. Seorang konselor yang

profesional adalah konselor yang memahami konsep bimbingan dan konseling

yang baik dalam hal ini bimbingan pribadi dan teknik asertif untuk mereduksi

perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja, selain itu konselor juga harus

mempunyai pengetahuan tentang penyalahgunaan NAPZA, cara pencegahan,

metode pemulihan NAPZA dan tugas perkembangan remaja, agar dalam

55

Page 43: assertive training

memberikan latihan asertif dalam merncegah perilaku penyalahgunaan NAPZA

dapat meningkatkan perilaku asertif remaja. Teknik yang dirancang dengan

pengelolaan yang terstruktur dengan baik diharapkan mampu mencegah perilaku

penyalahgunaan NAPZA yang terjadi di kalangan remaja.

56