asuhan kebidanan perdarahan kehamilan
DESCRIPTION
xxxTRANSCRIPT
PERDARAHAN KEHAMILAN MUDADAN
PERDARAHAN KEHAMILAN LANJUT
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal
Oleh :
FITRIYA AYU SUGESTYPO.62.24.2.13.109
POLITEKNIK KESEHATANKEMENTERIAN KESEHATAN PALANGKA RAYA
KEBIDANAN REGULER XV A2015
MOLA HIDATIDOSA
(HAMIL ANGGUR)
A. Pengertian
Mola hidatidosa adalah chorionic villi (jongotan/gantungan) yang
tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung
banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur atau mata ikan. Karena itu
disebut juga hamil anggur atau mata ikan. (Mochtar, Rustam, dkk, 1998)
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal di mana hampir seluruh
villi kariolisnya mengalami perubahan hidrofobik. (Mansjoer, Arif, dkk, 2001)
B. Klasifikasi
Klasifikasi mola hidatidosa berdasarkan ada atau tidaknya janin, yaitu:
1. Mola hidatidosa komplit (klasik)
Villi korion berubah menjadi massa velikel dengan ukuran vervariasi dari
sulit terlihat sehingga diameter beberapa centimeter. Histologinya
memiliki karakteristik yaitu:
2. Mola hidatidosa inkomplit (parsial)
Masih tampak gelembung yang disertai janin atau bagian dari janin.
Umumnya janin masih hidup dalam bulan pertama. Tetapi ada juga yang
hidup sampai aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tapak dibeberapa
tempat villi yang edema dengan sel trofobias yang tidak begitu
berproliferasi sedangkan tempat lain masih banyak yang normal.
C. Tanda Gejala
Kecurigaan biasanya terjadi pada minggu ke 14–16, dimana kita dapat
melihat adanya tanda-tanda seperti dibawah ini:
1. Ukuran rahim lebih besar dari kehamilan biasa
2. pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan
3. bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada
pakaian dalam
Gejala :
1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk RS
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar)
3. Gejala-gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemeter dan berkeringat,
kulit lembab
4. Gejala-gejala preeklampsi seperti pembengkakkan pada kaki dan tungkai,
peningkatan tekanan darah dan proteinuria.
D. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak dikehtaui secara pasti, namun faktor
penyebabnya adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan.
2. Imunoselektif dan tropoblast
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Infeksi virus dan fkator kromosom yang belum jelas
(Machtar, Rustam, 1998)
E. Predisposisi
1. Umur sangat muda atau tua (< 20 tahun dan > 35 tahun)
2. Gizi kurang, mola hidatidosa banyak ditemukan pada merek yang
kekurangan protein
3. Etnis, lebih banyak ditemukan pada mongoloid daripada koukasoid
4. Genetik, wanita dengan balance translocation mempunyai risiko lebih
tinggi
F. Komplikasi
1. Perdarahan yang hebat sampai syok, kalau tidak segera ditolong dapat
berakibat fatal
2. Perdarahan yang berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
3. Infeksi sekuder
4. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan
5. Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18–20% kasus, akan menjadi mola
destruens atau kariokarsinoma
(Mochtar, Rustam, 1998)
G. Patofisiologi
Setelah ovum dibuahi terjadi pembagian dari sel telur tersebut. Tidak
lama kemudian terbentuk biastokista yang mempunyai lumen dan dinding
luar. Dinding ini terjadi atas sel-sel eksoderm yang kemudian menjadi
tropolast. Sebagian villi berubah menjadi gelembung berisi cairan jernih biasa
tidak ada janin. Gelembung-gelembung atau tesikel ukurannya bervariasi
mulai dari yang mudah dilihat, sampai beberapa centimeter, bergantung dalam
beberapa kelompok dari tangkai yang tipis. Masa tersebut dapat tumbuh cukup
besar sehingga memenuhi cavum uteri. Pembesaran uterus sering tidak sesuai
dan melebihi usia kehamilan.
Pada beberapa kasus, sebagian pertumbuhan dan perkembangan villi
karialis berjalan normal sehingga janin menjadi dapat tumbuh dan
berkembang bahkan sampai aterm. Keadaan ini disebut mola parsial. Ada
beberapa kasus pertumbuhan dan perkembangan villi korealis berjalan normal
sehingga janin dapat tumbuh dan berkembang.
1. Teori Missed Abortion
Mudigan mati pada kehamilan tiga sampai lima minggu, karena terjadi
gangguan peredaran darah, sehingga terjadi penemuan cairan dalam
jaringan masenkim dari villi dan akhirnya terbentuk gelembung-
gelembung.
2. Teori Noeplasma dari Park
Bahwa yang normal adalah sel trofoblast yang mempunyai fungsi
abnormal pula, dimana terjadi cairan yang berlebihan dalam villi sehingga
timbul gelembung, hal ini menyebabkan gangguan peredarahan darah dan
kematian mudigan.
H. Diagnosis
Kehamilan mola hidatidosa dapat diperkirakan bila ditemukan hal-hal
berikut:
1. Amenore
2. Perdarahan pervaginam
3. Uterus lebih besar dari tuanya kehamilan
4. Tidak ditemukan tanda pasti kehamilan
5. Kadar B-hCG yang tinggi
I. Penanganan
1. Terapi
a. Kalau perdarahan banyak dan keluar jaringan mola, atasi syok dan
perbaiki KU dengan pemberian cairan dan tranfusi darah. Tindakan
pertama dengan manual digital baru setelah itu evakuasi sisanya
dengan puretase.
b. Jika pembukaan kanalis servikalis masih kecil
1) Pantau selama 12 jam
2) Setelah itu pasang infus dekstrose 5% yang berisi 50 satuan
oksitosin baru setelah itu evakuasi isi kavum
3) Kalau perdarahan banyak berikan transfuse darah dan lakukan
tampan uterovaginal selama 24 jam
c. Bahan jaringan dikirim untuk hispatologik dalam 2 porsi
1) Porsi 1 : yang dikeluarkan dengan cunam ovum
2) Porsi 2 : yang dikeluarkan dengan kuretase
d. Berikan obat-obatan antibiotika, uterotonika, dan perbaiki KU
e. 7–10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan kedua untuk
membersihkan sisa-sisa jaringan, dan kirim lagi hasilnya untuk
pemeriksaan lab
f. Histerektormi total dilakukan untuk resiko tinggi usia lebih dari 30
tahun, paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi
pusat atau lebih
2. Periksa ulang
Ibu dianjurkan jangan hamil dulu dan dianjurkan memakai kontrasepsi pil.
Juga dinasehatkan mematuhi jadwal periksa ulang selama 2 – 3 tahun.
a. Setiap minggu pada triwulan pertama
b. Setiap 2 minggu pada triwulan kedua
c. Setiap bulan pada 6 bulan berikutnya
d. Setiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan
Sumber:
Nugroho, Taufan. 2010. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo.
Rustam Mochtar. 1998. Sinopsi Obstetri. Jakarta : EGC
PLASENTA PREVIA
A. Pengertian
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pad asegmen bawah
rahim dan menutupi sebagian atau seluruh osteum uteri internum.
(Wiknjosastro, Hanifa, 2007)
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya subnormal, yaitu pada
segmen uterus sehingga dapat menutupi seluruh atau sebagian jalan lahir.
(Mansjoer A, et al. 2001)
B. Klasifikasi
Plasenta previa dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu :
1. Plasenta previa totalis : seluruh internum tertutup oleh plasenta
2. Plasenta previa lateralis : hanya sebagian dari ostium tertutup oleh plasenta
3. Plasenta previa marginalis : hanya pada pinggi ostium terdapat jaringan
plasenta
4. Plasenta previa letak rendah : bila plasenta berada 3–4 cm di atas pinggir
pembukaan jalan lahir, atau segmen bawah rahim
C. Tanda Gejala
Tanda dan gejala plasenta previa antara lain :
1. Perdarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya dan berulang
2. Darah biasanya berwarna merah segar
3. Terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas
4. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai letak kelainan
janin
5. Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan
berikutnya (reccuret bleeding) biasanya lebih banyak
D. Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang
endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau
kurang baiknya vaskularisasi desidua.
Keadaan ini bisa ditemukan pada :
1. Riwayat plasenta previa sebelumnya
2. Mioma uteri
3. Kuretasi yang berulang
4. Umur lanjut
5. Bebas sektio sesarea
6. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau
pemakai kokain
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus
tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang
tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri internum.
Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari
tempat implantasi yang lebih baik, yaitu ditempat yang rendah dekat ostium
uteri internum.
Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang
luas, seperti pad eritroblastosis, diabetes melitus, atau kehamilan multipel.
E. Predisposisi
Menurut Mochtar (1998), faktor-faktor predisposisi plasenta previa,
yaitu :
1. Umur dan paritas
Pada paritas tinggi lebih sering dari paritas rendah, di Indonesia, plasenta
previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas kecil. Hal ini
disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana
endomterium masih belum matang.
2. Endometrium yang cacat
Endometrium yang hipoplastis pada kawin dan hamil muda, endometrium
bekas persalinan berulang-ulang dengan jarak yang pendek (< 2 tahun),
bekas operasi, kuratage, dan manual plasenta, dan korpus luteum bereaksi
lambat, karena endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
3. Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda
F. Komplikasi
Plasenta previa dapat menyebabkan resiko pada ibu dan janin. Menurut
Manuaba (2001), adapun komplikasi-komplikasi yang terjadi yaitu:
1. Komplikasi pada ibu, antara lain : perdarahan tambahan saat operasi
menembus plasenta dengan inersio di depan, infeksi karena anemia,
robekan implantasi plasenta di bagian belakang segmen bawah rahim,
terjadinya rupture uteri karena susunan jaringan rapuh dan sulit diketahui
2. Komplikasi pada janin, antara lain : prematuritas dengan morbiditas dan
mortalitas tinggi, mudah terinfeksi karena anemia disertai daya tahan
rendah/asfiksia intrauterine sampai dengan kematian
G. Patofisiologi
Plasenta previa terjadi akibat gangguan implantasi karena vaskularisasi
endometrum yang abnormal yang terkait dengan atropi dan scaring akibat
trauma atau inflamasi. Hal ini menyebabkan implintasi embrio pada segmen
bawah rahim. Pertumbuhan plasenta menyebabkan plasenta menutupi servix.
Normalnya plasenta berimplantasi di fundus uteri dan aliran darah di fundus
lebih baik dari segmen bawah uterus. Adanya implantasi abnormal dapat
diakibatkan jaringan parut/skar pada uterus dan kerusakan pada uterus.
(Moses, Scoot. 2006)
Vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atropi pada desidua akibat
persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, dimana plasenta
yang letaknya normal akan memperluas permukaannya sehingga mendekati
atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir. (Wiknjosastro, 2008)
H. Diagnosis
Menurut Manuaba (2010), ada beberapa penilaian untuk mendiagnosa
plasentra previa. Pada saat anamnesa dapat diketahui kapan terjadi perdarahan
(Perdarahan plasentra previa terjadi pada kehamilan sekitar 28 minggu) dan
bagaimana sifat perdarahan (sifat perdarahan plasentra previa adalah tanpa
rasa sakit, terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas, dapat berulang,
perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin dalam rahim).
Penilaian berikutnya adalah melalui inspeksi. Pada inspeksi dijumpai
adanya perdarahan pervaginam encer sampai menggumpal serta pada
perdarahan yang banyak ibu tampak anemis.
1. Anamnesis : adanya perdarahan pervaginam pada kehamilan lebih 20
minggu dan berlangsung tanpa sebab
2. Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila lteak kepala maka
kepala belum masuk PAP
3. Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum
4. USG untuk menentukan letak plasenta
Langsung melalui karnalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh
karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.
I. Penatalaksanaan
Berdasarkan usia kehamilan, ada dua tindakan yang dilakukan yaitu:
1. Tindakan ekspentatif
Tujuan : agar janin tidak lahir premature dan upaya diagnosis dilakukan
secara non invasif.
a. Syarat terapi ekspektatif :
1) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian
berhenti
2) Belum ada tanda inpartu
3) Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas
normal)
4) Janin masih hidup
b. Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis
c. Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia
kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin
d. Perbaiki anemia dengan pemberian sulfas ferosus atau feresus fumarat
per oral 60 mg selama 1 bulan.
e. Pastikan tersedianya sarana untuk melakukan tranfusi
f. Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih
lama, pasien dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota
atau diperlukan waktu > 2 jam untuk mencapai rumah sakit) dengan
pesan segera kembali ke rumah sakit apabila terjadi perdarahan
2. Tindakan aktif
a. Rencanakan terminasi kehamilan jika :
1) Janin matur
2) Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anenfesali)
3) Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi tanpa
memandang maturitas janin
b. Jika terdapat plasenta letak rendah dan perdarahan yang berlebihan
mungkin dilaksanakan. Jika tidak, tindakan melahirkan dengan seksio
sesaria.
c. Pemilihan cara persalinan tergantung dari derajat plasenta previa,
paritas, dan banyaknya perdarahan. Persalinan pervagiham dapat
dilakukan pada multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta
marginalis, atau plasentra previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5
cm yang dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban.
Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan
plasentra dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan
berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Apabila pemecahan
selaput ketuban tidak berhasil, dapat dilakukan dengan cara lain
dengan pemasangan cunam willet dan versi Braxton – Hicks.
(Wikenjasastro, 2002).
d. Jika persalinan dengan seksio sesaria dan terjadi perdarahan dari
tempat plasentra :
1) Jahit tempat perdarahan
2) Pasang infus oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan NaCl atau RL
secara IV dengan kecepatan 60 tetes per menit
e. Jika perdarahan terjadi pasca persalinan, segera lakukan penanganan
yang sesuai. (Ligasi arteri atau histerektomi)
Sumber:
Sastrawinata, Sulaiman. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC
Wiknjosastro, H. 2002. Perdarahan Ante Partum. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham, Gary et al. 2005. William Obstetrics 22rd Edition. United States : McGraw – Hill Company.
Prawirohadjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
SOLUTIO PLASENTA
A. Pengertian
Solution plasenta merupakan separasi premature plasenta dengan
implantasi normalnya korpus uterus sebelum janin lahir. (Cunningham, F.
Gary (et. al) 2005)
Solution plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi
normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi
pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram.
(Prawirohardjo, S. 2002)
B. Komplikasi
1. Syok perdarahan
Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solution plasenta hampir
tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila
persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan post
partum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan
perdarahan pada kala III. Pada solution plasenta berat keadaan syok sering
tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita
solution plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia
karena perdarahan yang terjadi. Basainya terjadi rekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang
baik.
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh hifofibrinogenemia.
(Prawirohardjo, S. 2002)
4. Apoplexi uteroplasenta (uterus couvelaire)
Pada solution plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim
dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum.
Perdarahanini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna
uterus berubah menjadi biru atau ungu yang disebut uterus couvelaire.
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin : fetal distress, gangguan
pertumbuhan/perkembangan, hipoksia, anemia, kematian.
C. Klasifikasi
1. Solutio plasenta ringan
a. Bila plasenta lepas kurang ¼ bagian luasnya
b. Ibu dan janin keadaan masih baik
c. Perdarahan pervaginam, warna kehitaman
d. Perut sakit dan agak tegang
2. Solutio plasenta sedang
a. Plasenta terlepas lebih ½ belum mencapai 2/3 bagian
b. Perdarahan dengan rasa sakit
c. Perut terasa tegang
d. Gerak janin berkurang
e. Palpasi janin sulit diraba
f. Auskultasi jantung janin (asfiksia ringan dan sedang)
g. Dapat terjadi gangguan pembekuan darah
3. Solutio plasenta berat
a. Plasenta lepas > 2/3 bagian
b. Terjadi sangat tiba-tiba
c. Ibu syok
d. Janin mati (uterus sangat tegang dan nyeri)
D. Tanda Gejala
1. Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar hrs
2. Anemi dan syok; beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai dengan
banyak darah yang keluar
3. Rahim keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi rahim bertambah
dengan darah yang berkumpul dibelakang plasenta hingga rahim teregang
(uterus en bois)
4. Palpasi sukar karena rahim keras
5. Fandus uteri makin lama makin naik
6. Bunyi jantung biasanya tidak ada
7. Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus-menerus (karena isi rahim
bertambah)
8. Sering ada proteinuri karena disertai preeklampsi
E. Etiologi
Penyebab utama dari solution plasenta, masih belum diketahui dengan
jelas. Meskipun demikian, beberapa hal yang tersebut di bawah ini diduga
merupakan faktor-faktor yang berpengaruh:
1. Hipertensi esensialis atau preeklampsi
2. Tali pusat yang pendek
3. Trauma
4. Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
5. Uterus yang sangat mengecil (hidramnion pada wkatu ketuban pecah,
kehamilan ganda pada waktu anak pertama lahir),
Disamping itu, ada juga pengaruh dari :
1. Umur lanjut
2. Multiparitas
3. Ketuban pecah sebelum waktunya
4. Defisiensi asam folat
5. Merokok, alkohol, kokain
6. Mioma uteri
F. Predisposisi
1. Paritas ibu
Salah satu faktor predisposisi terjadinya retensio adalah
grandemultipara (Mochtar, 2002). Teori lain mengatakan bahwa kejadian
retensio lebih sering dijumpai pada ibu grandemultipara, karena semakin
tinggi paritas ibu maka semakin kurang baik fungsi reproduksinya.
(Manuaba, 2008)
2. Usia
Menurut Varney (2007) bahwa usia ibu lebih dari 35 tahun
mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi persalinan dikarenakan otot-
otot rahim yang sudah lemah sehingga persalinan akan berlangsung lama
yang salah satunya akan menyebabkan terjadinya retensio.
3. Merokok
Ibu yang perokok memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami
solution plasenta, bahkan bisa mencapai 25% pada ibu yang merokok ≤ 1
(satu) bungkus per hari. Hal ini disebabkan, pada ibu yang perokok
plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan terjadi beberapa
abnormalitas pada mikrosikulasinya.
G. Patofisiologi
Solution plasenta diawali dengan terjadinya perdarahan ke dalam
desidua kasalis. Selanjutnya desidua akan terkelupas dan tersisa sebuah
lapisan tipis yang melekat pada miometrium hematoma dan plasenta akan
tertekan oleh hematoma desidua yang terjadi.
Pada awalnya kejadian ini tak memberikan gejala apapun. Namun
beberapa saat kemudian, arteri spiralis desidua akan pecah, sehingga
menyebabkan terjadinya hematoma retoplasenta yang menjadi semakin
bertambah luas. Daerah plasenta yang terkelupas menjadi semakin luasai
mendekati tepi plasenta.
Oleh karena itu di dalam uterus masih terdapat produk konsepsi, maka
uterus tak mampu berkontraksi untuk menekan pembuluh yang pecah tersebut.
Darah dapat merembes ke pinggiran membran dan keluar dari uterus, maka
terjadilah perdarahan yang keluar (revealed hemorrhage).
H. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Terjadi perdarahan disertai rasa nyeri
b. Terjadi spontan atau karena trauma
c. Perut terasa nyeri
d. Diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik umum
1) Keadaan umum penderita tidak sesuai dengan jumlah perdarahan
2) Tekanan darah menurun, nadi dan pernafasan meningkat
3) Penderita tampak anemis
b. Pemeriksaan khusus
1) Palpasi abdomen
(a) Perut tegang terus menerus
(b) Terasa nyeri saat di palpasi
(c) Bagian janin sukar ditemukan
2) Auskultasi
Denyut jantung janin bervariasi dan asfiksia ringan sampai berat
3) Pemeriksaan dalam
(a) Terdapat pembukaan
(b) Ketuban tegang dan menonjol
4) Pemeriksaan penunjang dengan USG dijumpai perdarahan antara
plasenta dan dinding abdomen
I. Penanganan
1. Solutio plasenta ringan
a. Perut tegang sedikit, perdarahan tidak terlalu banyak
b. Keadaan janin masih baik dapat dilakukan penanganan secara
konservatif
c. Perdarahan berlangsung terus ketegangan makin meningkat dengan
janin yang masih baik dilakukan SC
d. Perdarahan yang berhenti dan keadaan baik pada kehamilan premature
dilakukan perawatan inap
2. Solutio plasenta tingkat sedang dan berat
Penanganannya dilakukan di RS karena dapat membahayakan jiwa
penderita. Tatalaksananya :
a. Pemasangan infuse dan tranfusi darah
b. Memecahkan ketuban
c. Induksi persalinan atau dilakukan SC
3. Sikap bidan dalam menghadapi solution plasenta
a. Bidan merupakan tenaga andalan masyarakat untuk dapat memberikan
pertolongan kebidanan, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian ibu maupun perinatal. Dalam menghadapi perdarahan
pada kehamilan, sikap bidan yang paling utama adalah melakukan
rujukan ke RS. Dalam melakukan rujukan diberikan pertolongan
darurat :
1) Pemasangan infuse
2) Tanpa melakukan pemeriksaan dalam
3) Diantar petugas yang dapat memberikan pertolongan
4) Mempersiapkan donor dari masyarakat atau keluarganya
5) Menyertakan keterangan tentang apa yang telah dilakukan untuk
memberikan pertolongan pertama
Sumber:
Wiknjosastro, H. 2002. Perdarahan Antepartum. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Syaifuddin, Abdul. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
RUPTUR UTERI
A. Pengertian
Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi selama
periode antenatal saat induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan selama
stadium ke tiga persalinan. (Chapman, 2006)
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan
rongga peritoneum (komplet) atau mungkin dipisahkan darinya oleh
peritoneum viseralis yang menutupi uterus oleh ligamentum latum
(Inkomplit). (Cunningham, 2005)
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan waktu
a. Ruptur uteri gravidanum : terjadi saat hamil, sering kali berlokasi di
bagian korpus.
b. Rupture uteri dororie partum : terjadi waktu melahirkan anak,
lokasinya sering pada segmen bawah rahim. Jenis ini lebih sering
ditemui
2. Menurut lokasinya
a. Korpus uteri : biasanya terjadi para rahim yang sudah mengalami
operasi, seperti SC atau miomektomi
b. Segemen bawah rahim : biasanya terjadi pada persalinan yang sulit dan
lama (tidak maju). Segmen bawah rahim tambah lama tambah
meregang dan tipis akhirnya terjadi rupture
c. Servik uteri : biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstrasi forcep
atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoponeksis–kolpreksi : robekan-robekan di antara serviks dan
vagina
3. Menurut robeknya perineum
a. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut feritoneumnya
(permetrium), sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga
perut dan rongg uterus, dengan bahaya peritoritis
b. Inkompleta : robekan otot rahim tapi peritoneum tidak ikut robek.
Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke
ligamentum latum
4. Menurut etiologinya
a. Rupture uteri spontanea
b. Rupture uteri violenta (traumatika) : karena tindakan yang dilakukan
selama persalinan.
C. Tanda Gejala
1. Denyut nadi lebih cepat dari biasanya
2. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering dari biasanya
3. persalinan terlalu lama
4. Pada saat his, korpus uteri teraba keras (hipertonik), sedangkan segmen
bawah rahim teraba tipis dan nyeri kalau ditekan
5. Sering kencing
6. DJJ tidak teratur
7. Edema partio, vagina, vulva, kaput kepala janin
D. Etiologi
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah
ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan
uterus yang sebelumnya tanpa parut. Akhir-akhir ini, penyebab ruptur uteri
adalah terpisahnya jaringan parut akibat SC sebelumnya dan peristiwa ini
kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan dengan timbulnya
kecenderungan untuk memperbolehkan kartus percobaan pada persalinan
dengan riwayat SC.
E. Predisposisi
1. Multiparitas / gandemultipara
2. Pemakaian oksitosin untuk induksi / stimulasi persalinan yang tidak tepat
3. kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta akreta,
plasenta inkreta/plasenta perbeta
4. Kelainan bentuk uterus umpanya uterus bikornis
5. Hidramnion
F. Komplikasi
1. Gawat janin
2. Syok hipvolemik
Terjadi karena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera mendapat
infus cairan kistaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat
digantikan dengan tranfusi darah.
3. Infeksi
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri
telah terjadi sebelum terjadi di RS dan telah mengalami berbagai
manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan
yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antiobiotika yang
sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan
menjadi sepsis pasca bedah.
4. Kecacatan dan morbiditas
a. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam
b. Kematian maternal/perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya
G. Patofisiologi
Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dan servik
uteri. Batas keduanya disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira kurang lebih 20 minggu, dimana ukuran janin
sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk segmen
bawah rahim (SBR) ishmus ini. Batas antara korpus yang kontraksi dan SBR
yang pasif disebut lingkaran dari bandl. Lingkaran bandl ini dianggap fisiologi
bila terdapat pada 2-3 jari di atas simpisis, bila meninggi pita harus waspada
terhadap kemungkinan adanya ruptue uteri mengancam (RUM).
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh penegangan yang luar biasa dari
uterus. Sedangkan uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena adanya
lokus minoris resisten. Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan
kontraksi sedang SBR tetapi pasif dan servik menjadi lunak (effacement dan
pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi),
sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka SBR
yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi bertambah renggang dan tipis.
Lingkaran bandl ikut meninggi sehingga sewaktu-waktu terjadi robekan pada
SBR tadi.
H. Diagnosis
1. Anamnesis dan Inspeksi
a. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian PPP
b. PPP
c. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum
d. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur
e. Keluar darah pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak
f. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah
dan di bahu
g. Kontraksi uterus biasanya hilang
h. Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis usus)
2. Palpasi
a. Terapa krepitasi pada kulit pertu yang menandakan adanya emfisema
subkutan
b. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari RAP
c. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut,
maka teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut dan
disampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kepala
d. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
3. Auskultasi
Biasanya DJJ sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah ruptur,
apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut
4. Pemeriksaan dalam
a. Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah
dapat di dorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam
yang agak banyak
b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin
5. Kateterasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
I. Penanganan
Menurut Sarwono Prawirohardjo, penanganan ruptur uteri :
1. Berikan segera cairan isotonic (RL atau garam fisiologis) 500 ml dalam
15-20 tetes/menit dan siapkan laparotomi
2. Lakukan PPP ke RS rujukan
3. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan reparasi uterus
4. Bila luka mengalami rekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkhawatirkan, lakukan histerektomi
5. Antibiotika dan serum antitetanus
Bila terdapat tanda-tanda infeksi segera berikan antibiotika spektrum luas.
Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genetika/luka yang kotor, tanyakan
saat terakhir mendapat TT. Bila hasil anamnesis tidak dapat memastikan
perlindungan terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan
TT 0,5 ml IM
Sumber:
Wiknjosastro, H. 2008. Perdarahan Ante Partum. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknojosastro, H, dkk. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
ABORTUS
A. Pengertian
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di
dunia luas, tanpa mempersoalkan penyebabnya. Sebagai batasan ialah
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Bayi
baru mungkin hidup di dunia luar bila berat badannya telah mencapai > 500
gram atau umur kehamilan > 20 minggu.
B. Klasifikasi
1. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis
maupun mekanis
2. Abortus buatan, abortus provocatus (disengaja, digugurkan), yaitu :
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (abortus provocatus, antificialis
atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu,
misalnya, penyakit jantung, hipertensi esensial, dan karsinoma serviks.
Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter
ahli, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.
b. Abortus buatan kriminal (abortus provocatus criminalis) adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang
yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum atau dilakukan oleh
yang tidak berwenang.
Kemungkinan adanya abortus provocatrus kriminalis harus
dipertimbangkan bila ditemukan abortus febrilirs. Aspek hukum dari
tindakan abortus buatan ahrus diperhatikan. Bahanya abortus
provacatur kriminalis :
1. Infeksi
2. Infertilitas sekunder
3. Kematian
C. Tanda Gejala
1. Perdarahan
2. Kram atau kejang perut
3. Nyeri pada bagian bawah perut
4. Keluar cairan dari vagina
5. Keluar gumpalan berwarna merah muda atau keabu-abuan
6. Kehilangan gejala hamil
7. Tiada pergerakan janin
8. Kelelahan yang teramat sangat
9. Serviks terbuka
10. Paras hormon HCG jatuh
11. Hasli tespack (tes kehamilan) berubah hCG aktif
D. Etiologi
1. Kelainan kromosom
2. Infeksi kronis (sifilis, TB aktif)
3. Keracunan
4. Trauma fisik
5. Penyakit kronis
6. Gangguan endoktrin (hipotiroid, DM)
7. Oksidan (rokok, alkohol)
8. Defisiensi hormonal
9. Kelainan janin akibat kelainan bawaan
10. Mola hidatidosa
11. Penyakit plasenta dan desidua
Penyebab abortus merupakan gabungan dari beberapa faktor. Umumnya
abortus didahului oleh kematian janin. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya abortus, yaitu :
1. Faktor janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan
pertumbuhan zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya
menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni :
a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau
kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi)
b. Embrio dengan kelainan lokal
c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas)
2. Faktor maternal
a. Infeksi
Infeksi maternal dapat membawa resiko bagi janin yang sedang
berkembang, terutama pada akhir trimester pertama atau awal trimester
kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin secara pasti apakah
janin yang menjadi terinfeksi atau tidak.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan abortus :
1) Virus. Misalnya rubella, sitomegalovirus, virus herpes simpleks,
varicella zoster, vaccinia, campak, hepatitis, polio, dan
ensefalomielitis
2) Bakteri. Misalnya salmonella typhi
3) Parasit. Misalnya toxoplasma gondii, plasmodium
b. Penyakit vascular. Misalnya hipertensi vascular
c. Kelainan endokrin
Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progeteron tidak
mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid; difisensi insulin
d. Faktor imunologis. Ketidakcocokan (imkompatibilitas) sistem HLA
(Human Leukocyte Antigen)
e. Trauma.
Kasusnya jarang terjadi, umumnya abortus terjadi secara setelah
trauma tersebut, misalnya trauma akibat pembedahan :
1) Pengangkatan ovarium yang mengandung korpus luteum
graviditatum sebelum minggu ke-8
2) Pembedahan intraabdominal dan operasi pada uterus pada saat
hamil
f. Kelainan uterus. Hipoplasia uterus, mioma (terutama mioma
submukosa), serviks inkompeten atau retroflexio uteri gravidi
incarcerata.
g. Faktor psikosomatik. Pengaruh dari faktor ini masih dipertanyakan.
3. Faktor Eksternal
a. Radiasi
Dosis 1–10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat
merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan
keguguran.
b. Obat-obatan (antagonis asam folat, antkoagulan, dan lain-lain)
Sebaiknya tidak menggunakan obat-obatan sebelum kehamilan 16
minggu, kecuali telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak
membahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang parah.
c. Bahan-bahan kimia lainnya, seperti bahan yang mengandung arsen dan
benzen.
E. Predisposisi
Menurut Sastrawinata (2004) faktor terjadinya abortus antara lain:
1. Usia ibu
Usia ibu yang baik untuk ibu hamil dalam melahirkan adalah kurun waktu
reproduksi sehat, antara umur 20–35 tahun. Di luar umur tersebut dapat
merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin.
Keadaan tersebut akan semakin menyulitkan bila ditambah dengan
tekanan psikologi, ekonomi yang memudahkan terjadinya abortus atau
keguguran, persalinan premature, dan mudah terjadi infeksi (Manuaba,
2010). Di lain sisi penelitian Stein dan Couthors (dalam Darmayanti,
2009) menemukan bahwa abortus spontan akan tetap terjadi pada umur
pertengahan 30 tahun.
2. Kehamilan atau gravida
Hasil penelitian Stein dan Couthors (dalam Darmayanti, 2009) diketahui
bahwa wanita Primigravida akan mengalami keguguran kehamilan sebesar
5,6% dan wanita multigravida akan abortus sebesar 2,2% pada kehamilan
berkutnya.
3. Jarak kelahiran
Jarak kelahiran yang ideal yaitu dua sampai empat tahun, jarak kehamilan
yang terlalu dekat yaitu kurang dari dua tahun menyebabkan pertumbuhan
dan perkembangan janin terhambat, hal ini dipengaruhi oleh keadaan
umum dan gizi ibu. Kemunduran pertumbuhan dan perkembangan janin
dalam kandungan sangat erat kaitannya dengan keadaan yang mengganggu
sirkulasi dan efisiensi plasenta, sehingga nutrisi yang disalurkan ke bayi
terhambat dampaknya terjadilah abortus (Markum, 2013)
F. Komplikasi
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hipperentrafleksi
3. Infeksi
Pada abortus septic virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke
miometrium, tuba, parametrium dan peritoneum. Apabila infeksi
menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis.
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragit) dan
karena infeksi berat
5. Degenerasi ganasan
Keguguran dapat menjadi kario karsinoma sekitar 15%–20%. Gejala kario
karsinoma adalah terdapat perdarahan berlangsung lama, terjadi
pembesaran/perlukan rahim (Trias Akosta Sison), terdapat metastase ke
vagina atau lainnya (Sarwono, 2007)
G. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya keguguran mulai dari terlepasnya sebagian atau
seluruh jaringan plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin
kekurangan oksigen. Bagian yang terlepas dianggap benda asing sehingga
rahim berusaha untuk mengeluarkan dengan berkontraksi. Pengeluaran
tersebut dapat terjadi spontan seluruhnya atau sebagian masih tertinggal
sehingga dapat menyebabkan berbagai penyakit. Oleh karena itu, keguguran
memberi gejala umum sakit perut karena kontraksi rahim, terjadi perdarahan
dan disertai pengeluaran seluruh atau sebagian hasil konsepsi (Manuaba,
2010).
H. Diagnosis
Secara klinis abortus dibedakan menjadi :
1. Abortus iminens (keguguran mengancam)
Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk
mempertahankannya, ostium uteri tertutup uterus sesuai umur kehamilan.
2. Abortus insipiens (keguguran tidak lengkap)
Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi, ostium
terbuka, teraba ketuban, berlangsung hanya beberapa jam saja.
3. Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap)
Sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan, tetapi sebagian (biasanya
jaringan plasenta) masih tertinggal di dalam rahim, ostium terbuka teraba
jaringan.
4. Abortus kompletus (keguguran lengkap)
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap, ostium tertutup
uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium terbuka kavum uteri
kosong.
5. Abortus tertunda (missed abortion)
Keadaan ini dimana janin telah mati sebelum minggu ke-20, tetapi tertahan
di dalam rahim selama beberapa minggu.
6. Abortus habitualis (keguguran berulang)
Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi; sekurang-
kurangnya 3 kali berturut-turut.
I. Diagnosis dan Pengelolaan
1. Dasar diagnosis abortus iminens secara klinis :
a. Anamnesis. Perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak
ada atau ringan
b. Pemeriksaan dalam. Fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan
besar uterus sesuai dengan umur kehamilan
c. Pemeriksaan penunjang. Hasil USG dapat menunjukkan :
1) Buah kehamilan masih utuh, ada tanda kehidupan janin
2) Meragukan
3) Buah kehamilan tidak baik, janin mati
Pengelolaan :
a. Bila kehamilan utuh, ada tanda kehidupan janin, yaitu : bed rest selama
3 x 24 jam dan pemberian preparat progesteron bila ada indikasi (bila
kadar < 5 – 10 nanogram)
b. Bila hasil USG meragukan, ulangi pemeriksaan USG 1 – 2 minggu,
kemudian bila hasil USG tidak baik, evakuasi
2. Dasar diagnosis abortus insipens :
a. Anamnesis. Perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi rahim.
b. Pemeriksaan dala. Ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam rahim
dan ketuban utuh (mungkin menonjol)
Pengelolaan :
a. Evakuasi
b. Uterotonik pascaevakuasi
c. Antibiotik selama 3 hari
3. Dasar diagnosis abortus inkomplet
a. Anamnesis. Perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak),
nyeri/kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi
syok.
b. Pemeriksaan dalam. Ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah
kehamilan.
Pengelolaan :
a. Perbaiki keadaan umum, bila ada syok, atasi syok ; bila Hb < 8 gr%
tranfusi
b. Evakuasi
c. Uterotonik
d. Antibiotik selama 3 hari
4. Dasar diagnosis abortus febrilis :
a. Anamnesis. Waktu masuk rumah sakit mungkin disertai syok septic
b. Pemeriksaand alam ostium uteri umumnya terbuka dan teraba sisa
jaringan, rahim maupun adneksa nyeri pada perabaan, dan fluksus
berbau
Pengelolaan :
a. Perbaiki keadaan umum (seperti, infus, tranfusi, dan atasi syok septic
bila ada)
b. Posisi fowler
c. Antibiotik yang adekuat (untuk bakteri aerob dan anaerob)
d. Uterotonik
e. Pemberian antibiotik selama 24 jam intravena, dilanjutkan dengan
evakuasi digital atau kuret tumpul
5. Dasar diagnosis abortus kompletus :
Kalau telur lahir dengan lengkap, abortus disebut komplet. Pada keadaan
ini kuretasi tidak perlu dilakukan.
Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim
dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti
sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi
telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali.
Pengelolaan :
Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus
inkompletus atau endometritis pascaabortus harus dipikirkan.
6. Dasar diagnosis abortus tertunda (missed abortion) :
a. Anamnesis perdarahan bisa ada atau tidak
b. Bunyi jantung janin tidak ada.
c. Pemeriksaan penunjang, USG, laboratorium (Hb, trombosit,
fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan, dan waktu
protrombin).
Pengelolaan :
a. Perbaikan keadaan umum
b. Dasar segar
c. Fibrinogen
d. Evakuasi dengan kuret; bila umur kehamilan > 12 minggu didahului
dengan pemasangan dilator (laminaria stift)
7. Abortus habitualis
Bila abortus spontan terjadi 3 kali berturut-turut atau lebih. Kejadiannya
jauh lebih sedikit daripada abortus spontan (kurand dari 1%), lebih sering
terjadi pada primitua. Etiologi abortus ini adalah kelainan genetik
(kromosomal), kelainan hormonal (imunologik) dan kelainan anatomis.
Pengelolaan abortus habitualis bergantung pada etiologinya. Pada kelainan
anatomi, mungkin dapat dilakukan operasi shirodkar atau McDonald.
8. Abortus provokatus medisinalis
Dapat dilakukan dengan cara :
a. Kimiawi
Pembelian secara ekstrauterin atau intrauterine obat abortus, seperti :
prostaglandin, antri progesterone (RU 486) atau oksitosin
b. Mekanis
1) Pemasangan batang laminaria atau delapan akan membuka serviks
secara perlahan dan tidak traumatis sebelum kemudian dilakukan
evakuasi dengan kuret tajam atau vakum
2) Dilatasi serviks dilanjutkan dengan evakuasi, dipakai dilator Hegar
dilanjutkan dengan kuretasi
3) Histerotomi / histerektomi
Sumber:
Sastrawinata, Sulaiman. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H, dkk. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
A. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi / nidasi /
melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga
rahim, sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah
suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba.
(Wibowo, 2007)
Kehamilan ektopik terganggu adalah terjadi bila telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterik. Kehamilan
ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik terganggu karena
kehamilan pada pars interstisialis tubah akan karalis servikalis masih termasuk
dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Apabila pada kehamilan ektopik
terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil
tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu.
(Wiknjosastro, 2008)
B. Klasifikasi
Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi pada tuba tempat implantasi
yang paling sering adalah ampula, kemudian isthmus, fimbriae, kornue serta
uterus intersisialis. Sedangkan kehamilan ektopik non-tuba sangat jarang
terjadi, tetapi dapat terjadi pada abdomen, ovarium atau servik.
Beberapa klasifikasi kehamilan ektopik adalah :
1. Kehamilan intertisial (kornual)
2. Kehamilan ovarium
3. Kehamilan serviks
4. Kehamilan abdominal
C. Tanda Gejala
1. Nyeri perut
Gejala ini paling sering dijumpai dan terdapat pada hampir semua
penderita. Nyeri perut dapat unilateral atau bilateral di abdomen bawah.
Kadang-kadang terasa sampai daerah abdomen atas.
Bila kavum abdomen terisi daerah lebih dari 500 ml, akan
menyebabkan perut tegang, nyeri tekan abdomen, distensi usus, dan
kadang-kadang nyeri menjalar ke bahu dan leher karena adanya
rangsangan darah pada diafragma, kemudian lakukan periksa dalam yang
kadang-kadang pada periksa dalam ditemukan nyeri goyang, yang didapat
dengan cara menggerakkan portio.
2. Amenore
Walaupun amenore sering dikemukakan dalam anamnesi, kita tidak
boleh menarik kesimpulan bahwa kehamilan ektopik tidak mungkin kalau
gejala ini tidak ada, lebih-lebih pada wanita Indonesia yang kurang
memperhatikan haidnya, perdarahan patologis yang disebabkan oleh
kehamilan ektopik tidak jarang dianggap haid biasa.
3. Perdarahan pervaginam
Dengan matinya telur desidua yang mengalami degenerasi dan
rekrosis, selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk perdarahan. Perdarahan ini
pada umumnya sedikit, namun perdarahan yang banyak dari vagina harus
mengarahkan pikiran kita ke abortus biasa.
4. Syok karena hipovolemik
Tanda syok lebih jelas bila pasien duduk, juga terdapat oligusi.
5. Pembesaran uterus
Pada kehamilan ektopik uterus membesar juga karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, tetapi pada umumnya sedikit lebih kecil
dibandingkan dengan uterus pada kehamilan intrauterin yang sama
umurnya.
6. Tumor dalam rongga panggul
Dalam rongga panggul dapat teraba tumor lunak kenyal yang
disebabkan oleh kumpulan darah di tubah dan sekitarnya.
7. Perubahan darah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan
ektopik terganggu karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut.
Akan tetapi, kita harus insaf bahwa turunnya Hb disebabkan darah
diencerkan oleh air dari jaringan untuk mempertahankan volume darah. Hal
ini memerlukan waktu 1 – 2 hari. Oleh karena itu, mungkin pada pemeriksaan
Hb yang pertama-tama kadar Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan
adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb
yang berturut-turut. Perdarahan juga menimbulkan naiknya angka leukost,
yaitu pada perdarahan yang hebat angka leukosit tinggi, sedangkan pada
perdarahan sedikit demi sedikit leukosit normal.
D. Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur
dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor risiko
yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah :
1. Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada
motilitas saluran telur
2. Riwayat operasi tuba
3. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang
4. Kehamilan ektopik sebelumnya
5. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom
6. Aborsi tuba dan pemakaian IUD
7. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-perubahan
pada endosalping, sehingga awalaupun fertilisasi dapat terjadi gerakan
ovum ke uterus terlambat
8. Operasi plastik pada tuba
9. Abortus buatan
E. Predisposisi
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
2. Riwayat pembedahan tuba
3. Alat kontrasepsi dalam rahim (IUD)
4. Infeksi pelvis (Helen Varney, 2006)
F. Komplikasi
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi sekunder akibat kesakitan
diagnosis yang terlambat, atau pendekatan tatalaksana. Kegagalan penegakan
diagnosis secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terjadinya ruptur tuba
atau uterus, tergantung lokasi kehamilan, dan hal ini dapat menyebabkan
perdarahan massif, syok, DIC, dan kematian.
Komplikasi yang timbul akibat pembedahan antara lain adalah
perdarahan, infeksi, kerusakan organ sekitar (usus, kandung kemih, uterter,
dan pembuluh darah besar). Selain itu juga ada komplikasi terkait tindakan
anestesi.
G. Patofisiologi
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum
yang telah dibuahi dalam berjalannya menuju kavum uteri. Pada darah dari
vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini, yaitu :
1. Kemungkinan “tuba abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke
ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya
terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar kemudian masuk ke
rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh
tekanan dari dinding tuba.
2. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga periforeum, sebagai
akibat dari distensi berlebihan tuba
3. Faktor abortus ke dalam lumen tuba
4. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda
5. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koltus dan
pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga
perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok
dan kematian. (Nugroho, Taufan, 2010)
H. Diagnosis
Walaupun diagnosa agak sulit dilakukan, namun beberapa cara
ditegakkan, antara lain dengan melihat :
1. Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau
tidak ada perdarahan pervaginam, ada nyeri perut kanan/kiri bawah. Berat
atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul
dalam perotnsum.
2. Pemeriksaan fisik
a. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah
adneksa
b. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan
ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut
tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen
c. Pemeriksaan sinekologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium : Hb, leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun
setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat
b. USG
c. Adanya masa komplek di rongga panggul
4. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam
kavum Douglas ada darah
5. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi
6. Ultrasonograif berguna pada 5 – 10 % kasus bila ditemukan kantong
gestasi di luar uterus
I. Penatalaksanaan
Hampir 20 % kehamilan ektopik merupakan kedaruratan bedah. Segera
lakukan operasi begitu diagnosis ditegakkan. Penundaan hanya dibenarkan
untuk mengatasi syok.
1. Penatalaksanaan darurat
a. Kirim pasien ke rumah sakit
b. Pasangkan infus dengan jarum berdiameter besar pada vena besar
c. Dapatkan hemogram, panel pembekuan darah dan darah untuk
menentukan golongan darah dan pencocokan silang
d. Berikan upaya-upaya untuk mengatasi syok sesuai keperluan :
Kristaloid IV, transfuse komponen darah, menjaga pasien tetap hangat,
berikan oksigen dan pasang celana panjang penekan MAST atau
torniket yang cukup sempit di sekeliling tungkai atas
2. Penatalaksanaan bedah (laparoskopi atau laparotomi)
a. Pemilihan tindakan tergangung pada penilaian bedah. Laparotomi
merupakan tindakan terbaik untuk pasien dengan kedaruratan bedah.
Dewasa ini, laparaskopi dengan salpingostomi linear antimesenterik
(lebih disukai dengan laser) makin digunakan secara luas untuk
kehamilan ektopik yang tidak ruptur dan pada situasi bukan
kedaruratan. Dengan meningkatnya kemampuan diagnostik USG,
laparoskopi kurang diperlukan untuk diagnosis tetapi dianggap lebih
penting untuk terapi
b. Kendalikan perdarahan (darah dan bekuan darah tidak perlu
dikeluarkan seluruhnya karena akan diserap dan membatasi anemia,
atau darah sitrat yang sudah difiltrasi dapat digunakan untuk
autotranfusi)
c. Keluarkan hasil konsepsi (dapat terjadi implantasi sekunder jika
pengeluaran tidak lengkap)
d. Upayakan tuba atau organ-organ lain tetapi normal atau hanya sedikit
rusak. Jika kehamilan masih dini atau terjadi missed abortion di tuba
lakukan salnimnatomi untuk penutupan dengan penjahitan tidak
diperlukan.
e. Indikasi pengangkatan organ meliputi :
1) Perdarahan yang tidak terkendali
2) Tuba rusak berat (memerlukan eksisi kornu –– bukan reseksi ––
untuk mencegah kehamilan ektopik berulang dan endosalpingosis
tunggal tuba)
3) Biasanya diperlukan histerektomi pada kehamilan sevikal atau
intertisial yang ruptur
4) Ooforekstomi diperlukan pad akehamilan ovarium tetapi tidak
dianjurkan pada kasus-kasus yang memerlukan pengangkatan tuba
3. Penatalaksanaan suportif
a. Berikan antibiotik spektrum luas untuk infeksi
b. Berikan terapi besi per oral atau IM atau keduanya untuk
mengembalikan simpanan besi
4. Pemberian obat-obatan
Dewasa ini, sedang diteliti penggunaan metotneksat (intraomnitok
atau sistemik dengan lekovorin) untuk terapi kehamilan ektopik tertentu
yang tidak ruptur. Obat ini belum dianjurkan untuk pemakaian umum,
tetapi mungkin berguna pada keadaan-keadaan tertentu (misal, kehamilan
servikal). Suntikan inaktivasi korpus luteum juga sedang dipelajari.
Sumber:
Budi, Anthonius. 2001. Kehamilan Ektopik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rachimhadhi, T. 2005. Kehamilan Ektopik. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sastrowinata, Sulaiman. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Anthonius. 2001. Kehamilan Ektopik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Cunningham, Gary et al. 2005. William Obstetri 22nd Edition. United Stated : McGraw – Hill Company.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Nugroho, Taufan. 2010. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Media.
Prawihardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawihardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rachimhadhi, T. 2005. Kehamilan Ektopik. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Sastrowinata, Sulaiman. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Syaifuddin, Abdul. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H. 2002. Perdarahan Ante Partum. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H, dkk. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.