asuhan keperawatan angiofibroma

23
Nurse airla ngga. org Nurse airla ngga. org Nurse airla ngga. org Nurse airla ngga. org Nurse airla ngga. org TINJAUAN TEORI KASUS ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ) 2.1 Definisi Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola pertumbuhan yang khas (Nicolai et al, 2012). Tumor ini banyak diderita oleh remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epitaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Garca et al, 2010). Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai daya ekspansi yang amat merusak dan medorong jaringan di sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak (Hajar & Hafni, 2005). 2.2 Etiologi Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Berapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tampat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal (Hajar & Hafni, 2005).. 1

Upload: choirul-anwar

Post on 01-Feb-2016

163 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral. Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun2. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT2.Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna7. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi2-6. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama, dan dapat dilakukan dengan beberapa macam metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain seperti pembedahan hormonal, sitostika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi.

TRANSCRIPT

Page 1: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

TINJAUAN TEORI KASUS

ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)

2.1 Definisi

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor

jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola

pertumbuhan yang khas (Nicolai et al, 2012). Tumor ini banyak diderita

oleh remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas

epitaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Garca et al, 2010).

Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan

ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai

daya ekspansi yang amat merusak dan medorong jaringan di sekitarnya,

seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak (Hajar & Hafni, 2005).

2.2 Etiologi

Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti.

Berapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat

dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tampat asal

tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal (Hajar & Hafni, 2005)..

Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh, diduga bahwa tumor

terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di

daerah oksipitalis os sfenoidalis (Hajar & Hafni, 2005)..

Sedangkan teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya

kekurangan hormon androgen atau kelebihan esterogen. Anggapan ini

didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin

dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada semua penderita

angiofibroma nasofaring (Hajar & Hafni, 2005)..

1

Page 2: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

2

2.3 Stadium dan Klasifikasi

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2

sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

1. Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :

1) Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

2) Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

3) Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

4) Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa

erosi ke tulang orbita.

5) Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang

minimal.

6) Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

dalam sinus kavernosus.

2. Klasifikasi menurut Fisch :

1) Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi

tulang.

2) Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi tulang.

3) Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau

daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

4) Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum

dan/atau fossa pituitary.

2.4 Patofisiologi

Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen

sphenopalatina dan mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi

posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan mendesak

struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.

Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan

submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan

menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya

Page 3: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

3

dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke

dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral.

Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan

infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan

gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris,

sampai berhubungan dengan otot mastikator dan jaringan lunak pipi.

Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui

kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita

melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi

jika fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui

dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan

aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates

ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior

berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan

erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial.

Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke

intrakranial.

Page 4: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

4

2.5 Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) terkait

dengan perluasan tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala

yang khas adalah obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90 %)

dengan rhinorrhea dan epistaksis unilateral berulang (45-60 %). Gejala yang

lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media unilateral,

rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala dan

nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis

media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan

tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.

Proptosis dan gangguan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.

Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman dan otalgia

juga dapat terjadi.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) terutama

didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan

pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat massa lobulated besar di

belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan permukaan halus

dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan temuan

endoskopi adalah khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi

karena risiko perdarahan masif yang cukup besar.

Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam

diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi

berperan dalam menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya dalam

menilai invasi sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya

kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal dari

angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring

dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi.

Gambaran foto polos pada Water’s atau submental view dapat menunjukkan

erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding posterior sinus maksilaris

atau Holman-Miller sign.

Page 5: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

5

CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan

massa inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa

nasofaring, dengan penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis

kranii atau perluasan intrakranial. CT scan berperan dalam follow-up setelah

pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah

radioterapi atau menilai pengecilan tumor. CT scan merupakan pemeriksaan

sebelum operasi yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi

struktur tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat

penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik

dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan

koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi. Temuan termasuk

massa nasofaring, penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus

maksilaris (Holman-Miller sign) dengan massa di fossa pterigopalatina,

pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal, erosi tulang

sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum, erosi dinding medial

sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.

Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan

melakukan embolisasi feeding vessel  tumor. Keduanya dapat dilakukan

terpisah atau bersama. Pola retikuler yang khas biasanya terlihat pada awal

fase arteri, dengan blush homogen padat yang menetap sampai fase vena.

Adanya awal draining vein  jarang terjadi.

Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting

untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun pemeriksaan

dengan menggunakan Magnetic Resonance Angiography (MRA) dapat

membantu dalam penilaian vaskular, gambaran lengkap dari semua

pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel  Angiofibroma

Nasofaring Juvenile berasal sistem karotis eksternal terutama dari cabang

arteri maksilaris interna distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina

desenden, dan alveolar posterior superior. Terkadang arteri faringealis

asenden ikut mensuplai tumor.

Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan

luasnya lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam

Page 6: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

6

menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat penting

karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain. Gambaran angiografi

merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif biasanya memungkinkan

dikerjakan sebelum biopsi.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ANJ dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

terapi hormonal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan (ekstirpasi

tumor). Penanganan ANJ tergantung dari luas dan besarnya tumor, apabila

masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan

ekstirpasi tumor, tetapi jika tumor sudah mencapai ke dalam kranium maka

radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan (Nutrisno et al, 2000).

Pembedahan merupakan pilihan utama penatalaksanaan ANJ

sedangkan tumor yang tidak dapat dioperasi diberikan pengobatan radiasi.

Pengobatan hormonal digunakan untuk mengecilkan tumor yang inoperabel

(Soepardi et al, 2007).

Beberapa pendekatan bedah yang dapat dilakukan anatara lain adalah

pendekatan transpalatal, pendekatan rinotomi lateral, dan pendekatan

midfacial degloving atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal

apabila invasi sudah meluas ke intrakranial (Soepardi et al, 2007).

Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring

meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah mendorong palatum

ke bawah. Pendekatan midfacial degloving dilakukan untuk tumor yang

berada di nasofaring dan meluas ke kavum nasi, sedangkan pendekatan

rinotomi lateral dilakukan untuk tumor yang meluas ke sinus paranasal atau

yang sudah mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan

rinotomi lateral adalah dapat memberikan jaringan parut pada wajah bekas

(Hajar & Hafni, 2005).

Pembedahan didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam

preoperatif untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang

digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel nonabsorpsi seperti

Ivalon dan Terbal (Asrole, 2002). Sebelum dilakukan operasi pengangkatan

Page 7: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

7

tumor selain dilakukan embolisasi untuk mengatasi perdarahan, yang banyak

dilakukan adalah ligasi arteri karotis eksternal dan anastesi dengan tekhnik

hipotensi.

Pengobatan hormopnal diberikan pada pasien dengan stadium 1 dan

II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan

radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gamma knife)

atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal tiga

dimensi. Kombilnasi radioterapi prabedah dan hormonal dilakukan selama 6

minggu sebelum operasi pada tumor yang sudah meluas ke jaringan

sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak (Soepardi et al, 2007).

2.8 Komplikasi

1. Anemia berat akibat epistaksis yang berulang

2. Otitis media akibat sumbatan astium tuba eustachius

3. Sinusitis akibat sumbatan astium sinus

4. Disfagia dan sumbatan jalan nafas akibat tumor meluas ke orofaring

akan menekan palatum molle

5. Bila tumor ke daerah sekitarnya: exophtalmus/ptosis akibat penekanan

kavum orbita, deformitas tulang pipi dan hidung akibat ekstensi ke sinus

dan kavum nasi, paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intrakranial

biasanya gangguan saraf II, III, IV, dan VI.

2.9 Prognosis

ANJ merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi, rata-rata

sebesar 32% sampai 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii.

Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan

tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii seperti sinus sphenoid,

basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior. Pemeriksaan

ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan setelah 3 tahun dilakukan

operasi (Nicolai et al, 2012).

Page 8: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

TINJAUAN ASKEP TEORI UMUM

ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)

3.1 Pengkajian

1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek

dengan riwayat kanker.

2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis

kayu tertentu.

3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan

kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang

diawetkan (daging dan ikan).

4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan

lingkungan dan kebiasaan hidup (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

5. Tanda dan gejala :

a. Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-

faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.

b. Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan

tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.

c. Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal

diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, marah,

menarik diri.

d. Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,

perubahan bising usus, distensi abdomen.

e. Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,

mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan berat

badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

8

Page 9: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

f. Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus.

g. Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa

kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan.

h. Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)

.Lingkungan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /

berlebihan, demam, ruam kulit.

i. Interaksi sosial

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf

Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol

Kriteria hasil: mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi

nyeri. Intervensi :

1) Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi.

2) Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan

aktivitas hiburan.

3) Ajarkan penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,

visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.

4) Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol.

5) Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi, misalnya: morfin,

metadon atau campuran narkotik.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,

mual muntah sekunder

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

Kriteria hasil :

1) Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah.

9

Page 10: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

2) Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat.

3) Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang

lembab.

4) Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan

Intervensi :

1) Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan

kesukaan dan toleransi pasien.

2) Berikan dorongan higiene oral yang sering.

3) Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid sesuai indikasi.

4) Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah

pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.

5) Pantau masukan makanan tiap hari.

6) Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri) .

7) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan

masukan cairan adekuat.

8) Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap

dan kebisingan).

3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan

sekunder imunosupresi

Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil :

1) Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal

2) Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema,

nyeri.

3) Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk

menegah disfungsi dan infeksi respiratori.

Intervensi :

1) Kaji pasien terhadap bukti adanya infeksi :Periksa tanda vital, pantau

jumlah leukosit, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,

perubahan respiratori atau status mental.

10

Page 11: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

2) Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan

pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.

3) Tekankan higiene personal

4) Pantau suhu dan kaji semua sistem (pernafasan, kulit)

4. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik

Tujuan : perdarahan dapat teratasi

Kriteria hasil :

1) Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi.

2) Tidak menunjukkan adanya epistaksis

Intervensi :

1) Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit

2) Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis

3) Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan: minimalkan

penekanan/ gesekan pada hidung.

3.3 Evaluasi

1. Nyeri berkurang atau hilang

2. Nutrisi seimbang atau anoreksi, mual, muntah berkurang atau hilang

3. Tidak terjadi tanda-tanada infeksi

4. Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan

11

Page 12: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor

jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola

pertumbuhan yang khas. Tumor ini banyak diderita oleh remaja laki-laki

pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epitaksis berulang dan

sumbatan hidung unilateral. Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen

pembuluh darah dan jaringan ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti

tumor ganas karena mempunyai daya ekspansi yang amat merusak dan

medorong jaringan di sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan

tengkorak.

Masalah keperawatan yang menjadi fokus utama adalah resiko

perdaraha. Peran perawat sangat penting dalam mencegah masalah tersebut.

Gejala awal pada kasus dengan Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ)

adalah epistaksis yang berulang. Sebagai perawat penting untuk memberikan

penjelasan kepada pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya epistaksis

seperti: tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup, menghindari trauma

pada hidung, mencegah iritasi pada hidung (menghindari udara panas dalam

jangka waktu yang panjang). Health education tersebut mencegah

bertambah beratnya penyakit Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ).

5.2 Saran

5.1.1Perawat

Perawat memiliki perawanan penting dalam kasus

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ), yaitu mencegah gejala

epistaksis yang berulang. Dengan cara memberikan penjelasan kepada

pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya epistaksis seperti:

tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup, menghindari trauma

pada hidung, mencegah iritasi pada hidung (menghindari udara panas

dalam jangka waktu yang panjang).

12

Page 13: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

5.1.2 Pasien dan keluarga

Setelah dilakukan KIE (komunikasi, informasi, dan education) oleh

perawat, baik pasien dan keluarga diarapkan dapat menerapkan untuk mencegah

terjadinya epistaksis yang berulang.

5.1.3 Mahasiswa

Dengan adanya laporan seminar kasus praktik klinik profesi, mahasiswa

mampu memahami dan mengetahui asuhan keperawatan klien dengan

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) mulai dari pengkajian, pemeriksaan

fisik yang mungkin ditemukan, diagnosa keperawatan, dan intervensi yang perlu

dilakukan.

13

Page 14: ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

Nurseairlangga

.org

DAFTAR PUSTAKA

Nicolai, et al 2012, Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management, “International Journal of Pediatric”, hal 1-11

Garca et al 2010, Jvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, Eur J Gen Med, vol. 7, no. 4, hal. 657-663

Hajar & Hafni 2005, Angiofibroma Nasofaring Belia, Majalah Kedokteran Nusantara vol. 38, no. 3, Departemen Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

Nutrisno et al, 2000, Tumor Hidung yang Berdarah di RS Karyadi Semarang, Cermin Dunia Kedokteran no.52, hal. 3-5

Soepardi et al 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi ke-6, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta

Asrole 2002, Angiofibroma Nasofaring Belia, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Efiaty AS, Nurbaiti I. 2001. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI

14