asuhan keperawatan tiroiditis
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN TIROIDITIS
A. ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada leher
bagian bawah di sebelah anterior trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang
dihubungkan oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta 3
cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang berbeda
tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin.
Ambilan dan metabolisme Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis
hormon tiroid.Gangguan utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium
dikonsumsi dari makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus gastrointestinal. Kelenjar
tiroid bekerja sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah dan kemudian memekatkannya
dalam sel-sel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan
bereaksi dengan tirosin (suatu asam amino) untuk membentuk hormon tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh
kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya,
pelepasan TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon tiroid
dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi peningkatan keluaran T4 dan
T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik (feedback control).Hormon
pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus memberikan pengaruh yang
mengatur pelepasan TSH dari hipofisis.Fungsi hormon tiroid.Fungsi utama hormon tiroid T3 dan
T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler.Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu
umum dengan mempercepat proses metabolisme.Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan
sangat penting bagi perkembangan otak.Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga
diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler,
hormon tiroid mempengaruhi sistem organ yang penting.
Kalsitonin atau tirokalsitonin merupakan hormon penting lainnya yang disekresi oleh kelenjar
tiroid.Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar kalsium plasma
dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang.
Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak
selama kehidupan janin.Bila janin tidak dapat mensekresi hormon tiroid dalam waktu yang
cukup maka pertumbuhan dan pematangan otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan akan
sangat terbelakang dan otak tetap berukuran kecil dari normal.Hormon tiroid meningkatkan laju
metabolisme sebagian besar sel tubuh.Bila produksi hormon tiroid sangat meningkat maka
hampir selalu menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun hampir selalu
meningkatkan nafsu makan.Keadaan ini dapat melebihi keseimbangan perubahan kecepatan
metabolisme
Efek pada sistem kardiovaskuler hormon tiroid akan meningkatkan aliran darah dan curah
jantung, frekuensi denyut jantung, kekuatan denyut jantung, volume darah, dan tekanan arteri.
Efek pada respiratori. Meningkatnya kecepatan metablisme akan meningkatkan pemakaian
oksigen dan pembentukan karbon dioksida.Ini akan mengaktifkan semua mekanisme yang
meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan.
Efek pada saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan, karena hormon tiroid
meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan gerakan saluran cerna. Sering terjadi
diare, kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan konstipasi.
Efek pada sistem syaraf pusat.Hormon tiroid meningkatkan kecepatan berfikir, tapi juga sering
menimbulkan disosiasi pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan menurunkan fungsi
ini.
Efek terhadap fungsi otot.Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot bereaksi dengan
kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka otot-otot malahan menjadi lemah oleh
karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon tiroid menyebabkan otot sangat
lambat, tremor pada otot.
Efek pada tidur.Karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem syaraf
pusat, maka penderita hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena efek
ekstasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan tidur.Sebaliknya, somuolen yang berat
merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu tidur yang berlangsung
selama 12 jam sampai 14 jam sehari.
Efek hormon tiroid pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid menyebabkan
hilangnya libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali menyebabkan
impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid seringkali menyebabkan timbulnya
menoragia dan polimenore.
B. PENGERTIAN
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme sementara
yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi perubahan
dalam fungsi tiroid.
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut atau
kronis. Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau implemantasi limfotik
pada kelenjar tiroid.
C. KLASIFIKASI
1. Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, mikrobakteri atau
parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain merupakan penyebab
yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan nu\yeri serta pembebgkakan
leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan dispocia.Faringitis atau gejala sakit leher sering
dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan rasa hangat, eritema (kemerahan) dan nyeri tekan
pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut mencakup pemberian preperat antibiotik dan
penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase diperlukan jika terdapat abses.
2. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de quervam) atau
tiroiditis tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub akut).Tiroiditis
granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid yang terutama
mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993) kelainan ini ditemukan
sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2
bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah
infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra simetris dan kadang-kadang terasa nyeri.
Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa hangat.Pasien merasa sulit menelan dan
mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas, kegelisahan insoumnia dan penurunan berat
badan yang kesemuanya merupakan manipestasi dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan
banyak pasien juga merasakan gejala demam serta menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis
limposifik sub akut) sering terjadi pada periode pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh
autoimun. Gejala hipertiroidisme atau hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan
untuk menangani gejala, dan pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu
dianjurkan untuk enentukan aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma
yang kemudian
3. Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto)
Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun diberi
nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya dilakukan
berdasarkan gambaran histopatologis kelenjar tiroid yang mengalami inflamasi.Berbeda denag
tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri, gejala penekanan ataupun
rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan bukan meningkat.
D. ETIOLOGI
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1. Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa
kasus dijumpai antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan
pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten, kelainan
yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat menjurus ke
mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
3. Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun,
membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma
Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke dalam
kelenjar tiroid.
E. PATOFISIOLOGI
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab
multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan,
yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data
epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI.
Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler
terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid
berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan
gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau
blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik dan
lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid, ditambah
adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit
ini.
1. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun seperti major
histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode
(encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter
iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang
dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD4, HLA-DR,
protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat
dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T
dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan
reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC
(seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L)
pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan
suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan
berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi
antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan
myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini menyangkut
masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik
tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi
limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai
pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid.
Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-
DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto
dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid
autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi
selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme
fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi
virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H,
juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang
terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak
sempurna
Antibodi TPO
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect
Wolff-Chaikoff; Jod-
Basedow
HT
GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses
reproduktif yang
panjang
Efek estradiol HT
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid
menimbulkan efek antitiroid
HT dan GD
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE
tinggi
GD
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia
enterocolitica
Mimikri molekuler GD
Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves’ disease
GO : Graves’ ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti
penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi
glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan
menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat
pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin
untuk terjadinya PTAI di kemudian hari .
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih sering
ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi
tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan
di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih
sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan
disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun.
Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek
Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk
subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid
(efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan
presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi
autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang juga
disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan
menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin
karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal
bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu
selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid.
Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer
mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan
hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan
pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada
penderita hipotiroid subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan
kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress
dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan
sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi
keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah
yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress,
dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto
juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga
kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti :.
a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
b. Induksi molekul MHC kelas II
c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi
sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi
Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko
kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan iodium
radioaktif .
3. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang
tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan
lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang
bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik
yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin, dan thyrotropin receptor
(TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim
utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab
utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh
karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda
(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak
beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi
anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada tiroiditis
Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
b. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormon
tiroid;
c. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
d. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler
(misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara
besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi
fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second colloid
antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid
T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic
immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan
yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hipertiroid
Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan
konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa
mekanisme mungkin berperan.
4. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis
Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan merusak
(breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi
apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD,
yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan
kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan
mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan
manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.
5. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari
sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama
memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun
langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-
5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama
TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan
menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta
ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin,
Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi
dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid,
yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated
ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel
T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi
melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP),
molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan
proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan
reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita
melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor
metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi
sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk
menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.
F. TANDA DAN GEJALA
Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu
aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1. Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3. Depresi, gelisah atau cemas.
4. Kelelahan atau sulit tidur.
5. Detak jantung cepat.
6. Sering buang air besar
7. Keringat bertambah
8. Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
9. Iritabilitas
10. Kram otot
11. Berat badan menurun
G. PENATALAKSANAAN
tujuan terpi adalah mengembalikan inflamasi.Secara umum, preparat anti-inflamasi konsteroid
(NSAID) digunakan untuk menguirangi rasa sakit pada leher, panggunaan asam asetil salisilat
(aspirin) perlu dihindari bila gejala hipertiroidisme timbul, karena aspirin akan mengusir hormon
tiroid dari tempat penyikatannya hingga meningkatkan jumlah hormon tersebut dalam darah.
Preparat penyekat beta dapat digunakan untuk mengendalikan gejala hipertiroidisme.Preparat
antitiroidyg akan menyekat sintetis T3 dan T4 efektif untuk mengobati tiroiditis karena
tirotoksikosis, yang menyertai keadaan ini, terjadi akibat pelepasan hormon tiroid yang
tersimpan dan bukan akibat peningklatan siufesisunya, pada kasus-kasus yang lebih berat,
preparat kortikostroid oral kadang-kadang dapat diresepkan untuk meredakan rasa nyeri dan
mengurangi pembengkakan. Meskipun demikian, preparat tersebut biasnya tidak mempengaruhi
penyebab yang mendasari infeksi ini. Pada sebagian kasus, keadaan hipertiroidisme dapat terjadi
untuk sementara wktu dan memerlukan terapi penggantian dengan hormon tiroid. Pemantauan
lebih lanjut diperlikan untuk lebih lanjut diperluklan untuk mengetahuio pulihnya pasien pada
keadaan eutiroid.
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi
nyeri dan peradangan.
Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8
minggu.
Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya sering kembali muncul.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. T4 dan T3 serum
2. Tiroksin bebas
3. Kadar TSH serum
4. Ambilan isodium radioskopi
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau
jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4
serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan
konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah
konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan
pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan
tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul
tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
I. KOMPLIKASI
1. Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2. Kerusakan pita suara (bisu)
3. DM tipe 1
4. Penyakit Addison
5. Leukemia
6. Sklerosis multiple
7. Kanker gastric
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan gejala yang berkaitan dengan
percepatan metabolisme.Hal ini mencakup keluhan keluarga dan pasien tentang kepekaan dan
peningkatan reaksi emosional.Penting juga untuk menentukan dampak dari perubahan ini yang
telah dialami dalam interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan kerja.Riwayatnya
meliputi stresor lain dan kemampuan pasien untuk menghadapi stres.
Status nutrisi dan adanya gejala dikaji.Kekambuhan gejala berkaitan dengan output sistem saraf
berlebihan dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena kemungkinan adanya
perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan psikologi pasien
dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang perubahan terakhir dalam
status emosi pasien.
1. Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien untuk
berfungsi, begitu pula pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari pasien atau
anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang : Tingkat energi,
kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari,
Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan makanan, Pola
eliminasi.
Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui pemahaman pasien atau keluarganya
mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan yang diperlukan oleh pasien.
2. Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status mental
(kemampuan mengikuti pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik tubuh,
penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya edema serta
lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau
jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4
serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan
konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah
konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan
pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan
tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul
tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4. Dasar Data Pengkajian
a. Aktifitas / istirahat
Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda : atrofi otot.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan
tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c. Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d. Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e. Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak, makannya
sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f. Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi, gelisah,
peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentak-sentak,
hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis
tirotoksikosis).
i. Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada
pretibial) yag menjadi sagat parah.
j. Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Diagnose keperawatam Tujuan & criteria hasil Intervensi rasional
1 Nyeri berhubungan
dengan proses inflamasi
Setelah mendapatkan
asuhan jeperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan :
Nyeri berkurang,skala 0-2,
Tidak ada tanda-tanda
kesakitan,
1.Kaji lokasi dan skala nyeri
2.ajarkan manajemen nyeri ,
teknik napas dalam,& imajinasi
3.pantau kondisi pasien tiap 2
jam
4.colaburasi untuk pemberian
analgetik
1.untuk mengetahui lokasi dan berapa skala
2.untuk mengatasi rasa nyeri yang dialami,
3.untuk mengetahui kondisi pasien dan
mencegah terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan
4.dapat membantu mengurangi rasa nyeri
2 Hipertermi berhubungan
dengan proses inflamasi
Setelah mendapatkan
asuhan jeperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan :
Suhu tubuh normal (36.5-
37.5 0 C)
Tidak ada tanda dehidrasi
Mukosa bibir lembab
1.Berikan kompres panas pada
ketiak
2.anjurkan klien untuk
menggunakan baju yang dapat
menyerap keringat
3.monitoring v/s
4.colaburasi untuk pemberian obat
1. dapat membantu proses penurunan panas
yang dialami pasien
2.karena kondisi tubuh yang lembab memicu
pertumbuhan jamur sehingga beresiko
menimbulkan komplikasi
3.sebagai indicator untuk mengetahui
perkembangan hipertermi
4.membantu menuunkan suhu tubuh pasien
3. Perubahan nutirsi kurang
dari keb.tubuh
berhubungan dengan
proses penyakit
Setelah mendapatkan
asuhan jeperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan :
Porsi makan kembali
1.awasi pemasokan diet,berikan
makan sedikit tapi sering
2.berikan perawatan mulut
1.untuk menghindari mual dan muntah dan
memenuhi keb.nuteisi pasien
2. menghilangkan rasa tidak enak
normal
BB normal
Pemeriksaan lab.normal
dan tidak menunjukan
tanda-tanda malnutrisi
sebelum makan
3.anjurkan klien makan dalam
posisi duduk tegak
4.colaburasi dengan tim gizi
3.Mencegah tersedak
4.untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien