aturan hukum dan fungsi baznas
TRANSCRIPT
1
“ATURAN HUKUM DAN FUNGSI BAZNAS
MENURUT UU NOMOR 23 TAHUN 2011”
Oleh :
Lanka Asmar, S.HI, M.H
A. PENDAHULUAN
Zakat menurut etimologi (bahasa), berarti nama’ yang artinya kesuburan,
taharah berarti kesucian, barakah berarti keberkahan, dan tazkiyah berarti
mensucikan. 1
Sedangkan secara terminologis (istilah) zakat didefinisikan oleh ulama
sebagai berikut : 2
a. Mazhab Maliki
Zakat merupakan pengeluaran sebahagian dari harta yang khusus yang telah
mencapai nisab (batas kuantitas minimal yang mewajibkan zakat) kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.
b. Menurut Hanafi
Mereka mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang
khusus, yang ditentukan oleh syari’ah karena Allah.
c. Mazhab Syafi’
Mereka mendefinisikan zakat sebagai sebuah ungkapan keluarnya harta
sesuai dengan cara khusus.
d. Mazhab Hanbali
1 Lihat http://caknenang.blogspot.com/2011/04/zakat-dalam-islam.html 2 Ibid
2
Zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk
kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang diisyaratkan dalam Al-
Qur’an.
Menurut pandangan ulama lain juga dikemukakan bahwa : 3
a. Menurut Yusuf Qardawi
1. Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT
mewajibkan kepada pemiliknya (muzakki), untuk diserahkan kepada yang
berhak menerimanya (mustahik) dengan persyaratan tertentu pula.
2. Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah di bidang harta
yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat.
Karena itu, di dalam Al-Qur’an dan Hadist, banyak perintah untuk berzakat,
sekaligus pujian bagi yang melakukannya.
b. Nawawi
Zakat adalah “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT diserahkan
kepada orang-orang yang berhak”, di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu
itu sendiri.” Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang
dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan
itu dari kebinasaan.
c. Al Mawardi
Zakat adalah sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu,
menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.
d. Asy Syaukani
3 Ibid
3
Zakat adalah memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab
kepada orang fakir dan sebagainya, yang tidak berhalangan syara’ sebagai
penerima.
Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendefinisikan zakat sebagai harta
yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat
umum atau individu yang bersifat mengikat, tanpa mendapat imbalan tertentu yang
dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an
serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan dengan pengertian
menurut istilah sangatlah nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan
zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, dan berkembang.
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa zakat adalah
sejumlah harta tertentu dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh Allah
SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya.
Menurut Ahmad Hanafi zakat termasuk kepada salah satu lapangan hukum
Islam dalam Bab Ibadah. Lapangan Hukum Islam dibagi atas ibadah, hukum
keluarga, hukum private, hukum pidana, siasah syari’iyah dan hukum Internasional.4
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, juga memberikan kebebasan
setiap umat beragama untuk melaksanakan ibadah menurut kepercayaan masing-
masing. Sebagai landasan konstitusional bagi umat beragama diatur dalam pasal 29
ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945.
Sejarah pengaturan zakat di Indonesia telah melalui beberapa periode yaitu
masa kerajaan Islam, masa kolonialisme, masa awal kemerdekaan, masa orde baru
4 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, PT. Bulan Bintang : Jakarta : 2004 Hal. 38-50
4
dan masa reformasi. Berikut ini gambaran tentang tahapan-tahapan sejarah
pelaksanaan zakat di Indonesia : 5
1. Masa Kerajaan Islam
Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, zakat dimaknai sebagai sebuah
semangat (spirit) yang memanifestasi dalam bentuk pembayaran pajak atas negara.
Seorang cendikiawan muslim kontemporer Indonesia, Masdar F. Mas’udi
mengatakan, zakat pada mulanya adalah upeti sebagaimana umumya berlaku
dalam praktik ketatanegaraan zaman dulu. Hanya saja, upeti yang secara nyata
telah membuat rakyat miskin semakin tenggelam dalam kemiskinannya, dengan
spirit zakat, lembaga upeti itu justru harus menjadi sarana yang efektif bagi
pemerataan dan kesejahteraan kaum miskin. Dengan kata lain, lembaga upeti yang
semula menjadi sumber kedzaliman, dengan spirit zakat harus ditransformasikan
menjadi wahana penciptaan keadilan.
Zakat sebagai konsep keagamaan, di satu pihak, dan pajak sebagai konsep
keduniawian, di pihak lain, bukanlah hubungan dualisme yang dikotomis melainkan
hubungan keesaan wujud yang dialektis. Zakat bukan sesuatu yang harus
dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi dipersaingkan dengan pajak, melainkan justru
merupakan sesuatu yang harus disatukan sebagaimana disatukannya roh dengan
badan atau jiwa dengan raga. Zakat merasuk ke dalam pajak sebagai ruh dan
jiwanya, sedangkan pajak memberi bentuk pada zakat sebagai badan atau raga bagi
proses pengejewantahannya. Memisahkan zakat dari pajak adalah sama halnya
dengan memisahkan spirit dari tubuhnya, memisahkan bentuk dari essensinya.
Pemaknaan zakat dan pajak yang sangat modernis semacam itu dapat kita
lihat penerapannya pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Pada masa
5 Lihat http://auritsniyalfirdaus.blogspot.com/2012/08/sejarah-pelaksanaan-zakat-indonesia.html
5
Kerajaan Islam Aceh, misalnya, masyarakat menyerahkan zakat-zakat mereka
kepada negara yang mewajibkan zakat/pajak kepada setiap warga negaranya.
Kerajaan berperan aktif dalam mengumpulkan pajak-pajak tersebut, dan kerajaan
membentuk sebuah badan yang ditangani oleh pejabat-pejabat kerajaan dengan
tugas sebagai penarik pajak atau zakat. Pemungutan pajak ini dilakukan di pasar-
pasar, muara-muara sungai yang dilintasi oleh perahu-perahu dagang, dan terhadap
orang-orang yang berkebun, berladang, atau orang yang menanam di hutan. Karena
itulah, banyak sekali macam dan jenis pajak yang diberlakukan pada setiap sumber
penghasilan dan penghidupan warganya.
Kantor pembayaran pajak ini pada masa kekuasaan kerajaan Aceh
berlangsung di masjid-masjid. Seorang imam dan kadi (penghulu) ditunjuk untuk
memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan. Penghulu berperan besar
dalam mengelola keuangan masjid yang bersumber melalui zakat, sedekah, hibah,
maupun wakaf.
Sebagaimana Kerajaan Aceh, Kerajaan Banjar juga berperan aktif dalam
mengumpulkan zakat dan pajak. Pajak tersebut dikenakan pada seluruh warga
negara (warga kerajaan), baik yang pejabat, petani, pedagang, atau pun lainnya.
Jenis-jenis pajak yang berlaku pada masa itu juga bermacam-macam, seperti pajak
kepala, pajak tanah, pajak padi persepuluh, pajak pendulangan emas dan berlian,
pajak barang dagangan dan pajak bandar. Yang menarik dicatat di sini, penarikan
pajak terhadap hasil-hasil bumi dilakukan setiap tahun sehabis musim panen, dalam
bentuk uang atau hasil bumi. Semua ini sesuai dengan praktek pembayaran zakat
pertanian dalam ajaran Islam.
Pembayaran pajak di kerajaan Banjar ini diserahkan kepada badan urusan
pajak yang disebut dengan istilah Mantri Bumi. Orang-orang yang bekerja di Mantri
6
Bumi ini berasal dari warga kerajaan biasa namun memiliki skill dan keahlian yang
mumpuni di bidangnya, oleh karena itu mereka diangkat menjadi pejabat kerajaan.
2. Masa Kolonialisme
Ketika bangsa Indonesia sedang berjuang melawan penjajahan Belanda dan
Jepang, zakat berperan sebagai sumber dana bagi perjuangan kemerdekaan
tersebut. Setelah mengetahui fungsi dan kegunaan zakat yang semacam itu,
Pemerintah Hindia Belanda melemahkan sumber keuangan dan dana perjuangan
rakyat dengan cara melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi
mengeluarkan zakat harta mereka. Kebijakan Pemerintah Sejarah Pelaksanaan
Zakat di Indonesia Hindia Belanda ini menjadi batu sandungan dan hambatan bagi
terselenggaranya pelaksanaan zakat. Namun kemudian, pada awal abad XX (dua
puluh), diterbitkanlah peraturan yang tercantum dalam Ordonantie Pemerintah
Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini
Pemerintah Hindia Belanda tidak akan lagi mencampuri urusan pelaksanaan zakat,
dan sepenuhnya pelaksanaan zakat diserahkan kepada umat Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi
perhatian para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi
Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat agama (pasal 29), dan pasal 34
UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
negara. Kata-kata fakir miskin yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas
menunjukkan kepada mustahiq zakat (golongan yang berhak menerima zakat).
Pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah.
7
Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian
hasil pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama.
Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta
Pembentukan Baitul Mal pada tahun 1964. Sayangnya, kedua perangkat peraturan
tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun
kepada Presiden. Perhatian Pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat
sekitar tahun 1968. Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan
Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan
kabupaten/kotamadya. Namun pada tahun tersebut, Menteri Keuangan menjawab
putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan mengenai Zakat tidak
perlu dituangkan dalam Undang-undang, cukup dengan Peraturan Menteri Agama
saja. Karena ada respons demikian dari Menteri Keuangan, maka Menteri Agama
mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang berisi penundaan pelaksanaan
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.
4. Masa Orde Baru
Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi umat
Islam dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam pidatonya
saat memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 maka
dibentuklahn Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh
Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak itulah, secara beruntun badan amil zakat
terbentuk di berbagai wilayah dan daerah seperti di Kalimantan Timur (1972),
Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan
8
Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa
tenggara Barat (1985).
Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak sama di setiap
daerahnya. Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di tingkat
kabupaten seperti Jawa Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh Kanwil
Agama setempat. Karena itulah, mekanisme penarikan dana oleh lembaga zakat ini
bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi pengumpulan zakat fitrah saja. Di DKI Jaya
terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq dan shadaqah. Dan di tempat-
tempat lain masih meniru pola pada masa awal penyebaran Islam, yakni menarik
semua jenis harta yang wajib dizakati.
Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Pada tahun 1984 dikeluarkan
Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq
Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam
Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30
April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama
16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua
jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang
mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana
zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun 1991 dikeluarkan
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47
tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang
kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991
tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum
Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah.
9
5. Masa Reformasi
Terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru kepada umat
Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana RUU
Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Komisi VII DPR-RI
yang bertugas membahas RUU tersebut. Penggodokan RUU memakan waktu yang
sangat panjang, hal itu disebabkan perbedaan visi dan misi antara pemerintah dan
anggota DPR. Satu pihak menyetujui apabila persoalan zakat diatur berdasarkan
undang-undang. Sementara pihak lain tidak menyetujui dan lebih mendorong
supaya pengaturan zakat diserahkan kepada masyarakat. Pada tahun 1999
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikeluarkan oleh
pemerintah. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berusaha
memajukan kesejahteraan sosial dan perekonomian bangsa dengan menerbitkan
Undang-ndang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian
dikeluarkan pula Keputusan Menteri Agama nomor 581 tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral
Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat.
Semua undang-undang yang diterbitkan di atas bertujuan untuk
menyempurnakan sistem pelaksanaan zakat. Seperti pada masa prakemerdekaan
zakat sebagai sumber dana perjuangan, maka pada era reformasi ini zakat
diharapkan mampu mengangkat keterpurukan ekonomi bangsa akibat resesi
ekonomi dunia dan krisis multidimensi yang datang melanda. Bahkan sebagian
pihak menilai bahwa terbentuknya undang-undang pengelolaan zakat di Indonesia
merupakan catatan yang patut dikenang oleh umat Islam selama periode Presiden
B.J. Habibie.
10
Kemudian pada tanggal 25 November 2011 pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikeluarkan Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian dalam waktu 3 tahun dikeluarkan
Peraturan Pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengangkat judul tentang Aturan
Hukum dan Fungsi (BAZNAS) menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011.
Dalam tulisan ini diangkat 3 permasalahan yaitu :
a. Bagaimana aturan hukum BAZNAS?
b. Bagaimana Fungsi BAZNAS?
B. PEMBAHASAN
1. Aturan hukum BAZNAS
Beberapa pasal dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat telah mengalami perubahan tafsiran yaitu mengenai Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Hal tersebut disebabkan adanya Judicial Review (JR) yang
diajukan oleh Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (KOMAZ) yang terdiri dari
Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Yatim
Mandiri, Yayasan Portal Infak, Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang, LPP Ziswaf
Harum, Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infak, YPI Bina
Madani Mojekerto, Rudi Dwi Sutiyanto dkk.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor : 86/PUU-X/2012 dalam amar
putusannya mengabulkan sebagian dan memberi tafsir konstitusional terhadap pasal
18, pasal 38 dan pasal 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
11
Pengelolaan Zakat dan menolak uji materi pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 17 dan
pasal 19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.6
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan bahwa
negara sebagai “religious welfare state” mempunyai kewajiban memajukan
kesejahteraan umum yang bersifat lahir dan batin. Campur tangan pemerintah
mutlak diperlukan agar pengelolaan zakat oleh masyarakat menjadi efektif dan
efisien. Kemudian mengenai izin pembentukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) tentang
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan berbentuk lembaga
berbadan hukum dalam pasal 18 ayat 2 huruf (a) dan (b) UU Nomor 23 Tahun 2011
dinyatakan oleh Mahkamah merupakan suatu kesatuan yang merupakan pilihan
atau alternatif. Sedangkan mengenai persyaratan izin Lembaga Amil Zakat (LAZ)
pada pasal 18 ayat 2 huruf (c) UU Nomor 23 Tahun 2011 dinyatakan bahwa
“mendapat rekomendasi dari BAZNAS” bukan dalam konteks BAZNAS menentukan
dapat atau tidak dapat suatu lembaga menjadi LAZ. BAZNAS dalam konteks
pemberian rekomendasi ini adalah sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk membantu memberikan pertimbangan terkait izin pendirian LAZ, sehingga
terhadap masyarakat BAZNAS merupakan pihak yang memberikan konsultasi dalam
pendirian LAZ., sedangkan mengenai syarat lain LAZ tentang “memiliki pengawas
syari’at” dalam pasal 18 ayat 2 huruf (d) UU Nomor 23 Tahun 2011 adalah
pengawas syari’at merupakan pengawas inheren dan merupakan bagian internal
dari LAZ bersangkutan, kemudian dimungkinkan juga adanya pengawas syari’at
yang bersifat eksternal terhadap LAZ yang tidak memiliki pengawas internal.
Kemudian mengenai pasal 18 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang
“bersedia diaudit syari’ah dan keuangan secara berkala” ditujukan untuk memastikan
6 Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52726163f34a1/mk--amil-tradisional-tak-perlu-
izin-baznas
12
tata cara pelaksanaan pengumpulan, distribusi dan pendayagunaan zakat telah
sesuai syari’at Islam dan audit keuangan diperlukan agar zakat disalurkan secara
efektif dan tepat tujuan.
Dalam pertimbangan pasal 38 dan 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
dijelaskan bahwa pemerintah memiliki hak dan kewenangan mengatur dan terlibat
dalam pelaksanaan ibadah yang bersifat keagamaan dan penggunaan instrumen
pidana dimaksudkan untuk memastikan dilaksanakan Undang-undang aquo.
Ketentuan pidana dalam pasal 38 dan 41 telah memenuhi doktrin hukum pidana,
namun norma pasal 38 UU 23/2011 terutama frasa “ setiap orang” terlalu umum
yang intinya melarang setiap orang yang tidak memiliki izin dari pejabat yang
berwenang untuk bertindak sebagai amil zakat. Dengan kata lain, pasal 38
menghendaki agar amil zakat di wilayah Indonesia dilengkapi izin yang berwenang.
Fakta yang terjadi pemerintah belum dapat membentuk struktur badan amil zakat
yang mampu menjangkau seluruh wilayah yang selama ini dilayani oleh para amil
zakat tradisional. Artinya dilarangnya kegiatan amil zakat yang tidak memiliki izin
dari pejabat yang berwenang, berpotensi memunculkan kekosongan pelayanan
zakat di masyarakat, dengan belum terbentuknya LAZ dan BAZNAS diseluruh
pelosok Indonesia. Akibatnya terhalangnya hak warga negara untuk menyalurkan
zakat sebagai bagian dari ibadah mereka. Kemudian dalam pertimbangannya
mahkamah menyatakan bahwa makna frasa “ setiap orang” dalam pasal 38 dan 41
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai
dengan mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim
ulama), atau penguru/takmir Mesjid/Mushalla di suatu komunitas wilayah yang
belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan telah memberitahukan kepada pejabat
yang berwenang.
13
Dengan adanya putusan MK ini, maka amil zakat yang berada di daerah
terpencil dan belum ada BAZNAS dan LAZ tentunya dapat melakukan pengelolaan
zakat namun melaporkan kepada pejabat berwenang.
Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin, Ketua BAZNAS menyatakan terima kasih
kepada Negara dan rakyat Indonesia, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi. Beliau
menyatakan tidak ada kalah dan menang, semua adalah amanah yang harus
dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dengan putusan MK ini semakin memperkuat
optimalisasi penghimpunan dan penyaluran zakat secara nasional dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari tujuan pengelolaan
zakat.7
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) adalah lembaga yang melakukan
pengelolaan zakat secara nasional. (pasal 1 ayat 7 UU Nomor 23 Tahun 2011).
BAZNAS berkedudukan di ibukota negara dan merupakan lembaga pemerintah non
structural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri. BAZNAS terdiri dari 11 anggota dengan rincian 8 orang dari unsur
masyarakat dan 3 orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri dari unsur
ulama, tenaga professional, dan tokoh masyarakat Islam. Sedangkan unsure
pemerintah ditunjuk oleh Kementerian/Instansi yang berkaitan dengan pengeloaan
zakat. BAZNAS dipimpin oleh seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua dan masa
kerja selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.
Kemudian terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Zakat merupakan langkah awal menuju
perubahan struktur organisasi BAZNAS di semua tingkatannya. Jika selama ini,
organisasi BAZNAS di berbagai daerah digerakkan oleh para pengurus dari unsur
7 Lihat http://pusat.baznas.go.id/berita-utama/baznas-ajak-seluruh-opz-laksanakan-putusan-mk-
tentang-uu-zakat/
14
pemerintah (pegawai negeri), di samping unsur ulama dan tokoh masyarakat, maka
ke depan dalam organisasi BAZNAS di daerah yang lebih dominan adalah unsur
masyarakat. 8
Dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) PP nomor 14 Tahun 2014 dijelaskan bahwa
anggota BAZNAS yang terdiri dari unsur masyarakat harus melalui tim seleksi yang
dibentuk oleh Menteri. Tim seleksi tersebut tidak dapat menjadi anggota BAZNAS.
Sedangkan anggota BAZNAS dari unsur pemerintah berasal dari pejabat eselon I
yang berkaitan dengan pengelolaan zakat. Apabila anggota BAZNAS menjadi warga
negara asing, berpindah agama, melakukan perbuatan tercela dapat diberhentikan.
(pasal 24 PP Nomor 14 Tahun 2014) Sedangan BAZNAS Provinsi/Kabupaten dan
Kotamadya terdiri dari unsur pimpinan dan pelaksana.
2. Fungsi BAZNAS
Kedudukan Hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub system dari
hukum nasional. Secara sosiologis, keduduan hukum Islam di Indonesia melibatkan
kesadaran keberagaman bagi masyarakat. Hukum Islam mempunyai peluang untuk
memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum
nasional. 9 Salah satu produk hukum Islam adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun
2011 dan PP Nomor 14 Tahun 2014.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin memaparkan bahwa
kewajiban zakat adalah alat uji derajat keimanan seorang hamba yang mencintai
Allah, melalui upaya menimalisir konsumsinya atas dasar kecintaan kepada Allah.
Seperti dalam Surat Adz Dzaariyaat ayat 19 “ Dan pada harta-harta mereka ada hak
8 Lihat http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/pp-no-14-tahun-2014-dan-perubahan-organisasi-
baznas/ 9 Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, PT. Penamadani, Jakarta, 2004, Hal.
14
15
untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tak mendapat bagian
(tidak meminta).” 10
Islam merupakan agama yang kaya dengan instrument filantropi. Kata
Filantropi berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia), yakni
cinta kasih (kedermawanan) kepada semua manusia. Diantara filantropi adalah
zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah. Diantara filantropi tersebut yang
paling utama adalah zakat, karena zakat merupakan salah satu rukun Islam yang
ditunaikan bagi yang mampu. 11
Negara Indonesia telah mempercayakan pengelolaan zakat kepada BAZNAS.
Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan BAZNAS
mempunyai fungsi yaitu :
1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
3. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
4. Pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
C. KESIMPULAN
1. Aturan Hukum BAZNAS diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) adalah lembaga
yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. (pasal 1 ayat 7 UU
Nomor 23 Tahun 2011). BAZNAS berkedudukan di ibukota negara dan
10 M. Arif Mufraini, Akuntansi Manajemen Zakat (Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun
Jaringan), Kencana Prenada Media Group : Jakarta : 2006, Hal. 5. 11 Asrofi, Menggagas Pelembagaan Zakat Pada Badan Peradilan, Majalah Varia Peradilan, No. 310
Tahun 2011, hal. 69
16
merupakan lembaga pemerintah non structural yang bersifat mandiri dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
2. Fungsi BAZNAS adalah Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, Pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
17
Agil Husin Al Munawar, Said, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, PT. Penamadani,
Jakarta, 2004
Hanafi, Ahmad Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, PT. Bulan Bintang : Jakarta :
2004
Mufraini, M. Arif Akuntansi Manajemen Zakat (Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan), Kencana Prenada Media Group : Jakarta : 2006
B. JURNAL/MAJALAH
Asrofi, “Menggagas Pelembagaan Zakat Pada Badan Peradilan”, Majalah Varia
Peradilan, No. 310 Tahun 2011
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Putusan MK Nomor : 86/PUU-X/2012
Surat Edaran Menteri Agama Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951
tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil
Zakat
Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal (Balai
Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya
Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq
Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan
Instruksi Menteri Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah
D. INTERNET
18
http://caknenang.blogspot.com/2011/04/zakat-dalam-islam.html
http://auritsniyalfirdaus.blogspot.com/2012/08/sejarah-pelaksanaan-zakat-indonesia.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52726163f34a1/mk--amil-tradisional-tak-perlu-izin-baznas
http://pusat.baznas.go.id/berita-utama/baznas-ajak-seluruh-opz-laksanakan-putusan-mk-
tentang-uu-zakat/
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/pp-no-14-tahun-2014-dan-perubahan-organisasi-baznas/