audio gram
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. WHO merumuskan bahwa diabetes
melitus merupakan suatu kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat
dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006 ; Purnamasari 2009).
Diabetes melitus disebut juga sebagai penyebab terjadinya gangguan
pendengaran dimana mekanismenya melibatkan penyakit pembuluh
darah kecil yang menyebabkan hipoksia pada telinga dalam (Frisina,
Mapes, Kim, 2006).
2.1.2 Klasifikasi Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan PERKENI 2011 terbagi atas
(PERKENI, 2011)
1. Diabetes melitus Tipe-1 artinya bahwa terjadi defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel beta yang penyebabnya dapat
autoimun maupun idiopatik
2. Diabetes melitus Tipe-2 artinya terjadi defisiensi insulin relatif yang
terjadi akibat defek sekresi insulin lebih dominan daripada
resistensi insulin atau sebaliknya yakni resistensi insulin lebih
dominan dari pada defek sekresi insulinnya.
3. Diabetes melitus Tipe lain
4. Diabetes melitus kehamilan (gestasional)
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis Berbagai keluhan dapat ditentukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti (Gustaviani, 2006):
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus valvae pada
wanita.
Langkah – langkah diagnostik DM Tipe-2 dan gangguan toleransi
glukosa dapat dilihat pada bagan berikut ( PERKENI, 2011) :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl (11,1
mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)
≥ 200mg/dl ( 11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar
WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air
• Pemeriksaan HbA1c ( ≥6,5% ) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi sa lah
satu kriteria diagnosis DM jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik.
Pada orang normal dengan kadar gula darah sewaktu dan puasa akan
mengalami proses pengeluaran insulin dari kantong – kantong di sel beta
akibat rangsangan glukosa (pada keadaan sesudah makan) akan
menyebabkan kenaikan kadar insulin dalam plasma yang pada awalnya
berlangsung secara tajam dan cepat disebut sebagai fase 1 atau fase dini,
diikuti dengan pengeluaran berikutnya yang berlangsung lambat yang
disebut fase 2. Sehingga pengeluaran insulin dapat berlangsung secara
Universitas Sumatera Utara
bifasik. Insulin yang dikeluarkan mengikuti aliran darah akan pergi ke
reseptor–reseptornya di otot, hati, dan jaringan lemak (Gustavian, 2006).
Tabel 1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa (DepKes,2008):
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dl)
Plasma
Vena
<100 100 – 199 ≥ 200
Darah
Kapiler
<90 90 – 199 ≥ 200
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dl)
Plasma
Vena
<100 100 – 125 ≥ 126
Darah
Kapiler
<90 90 – 99 ≥ 100
Catatan : Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
2.1.4 Metabolisme diabetes melitus Kelainan metabolik yang menjadi dasar bagi terjadinya berbagai
komplikasi jangka panjang pada diabetes melitus meliputi
(Waspadji,2009) :
1. Pengaktifan jalur poliol atau sorbitol (Polyol or sorbitol pathway)
2. Terbentuknya berbagai produk glikasi lanjut (AGEs atau Advanced
Glycation End Products)
3. Meningkatnya kerusakan oksidatif jaringan akibat bahan radikal
bebas (Reactive Oxygen Species)
4. Kelainan pada metabolisme lemak.
Universitas Sumatera Utara
Keempat peristiwa tersebut pada umumnya saling terkait satu
dengan lainnya seperti uraian sebagai berikut (Frisiana et al,2006):
1. Aktifnya jalur ini akan menyebabkan akumulasi intraseluler bahan –
bahan toksik yang membahayakan struktur sel. Penumpukan sorbitol
intraseluler sebagai suatu bahan osmolit dalam sel akan diimbangi atau
disertai pula dengan menurunnya myo-inositol. Pada syaraf penurunan
myo-inositol ini diduga terkait dengan diperlambatnya kecepatan
hantaran impulse yang menjadi dasar bagi neuropati diabetik. Pada
proses ini juga terjadi penurunan aktivasi nitric oxide (NO) sintase dan
glutasi tereduksi yang akan menyebabkan pembuluh darah cenderung
vasokonstriksi dan endotel mudah rusak atau rentan terhadap
pengrusakan oleh H2O2
2. Proses glikasi LDL menyebabkan aterosklerosis. Dengan berlanjutnya
proses glikasi, terbentuklah produk akhir glikasi lanjut (AGEs) yang
merubah morfologi fungsional pembuluh darah. Meningkatkan aktifitas
enzim Protein Kinase C (PKC) di dalam sel–sel endotel pembuluh
darah menyebabkan kelainan pada sel–sel vaskular untuk diabetes
melitus seperti kontraksi sel–sel, pembentukan atau penebalan
membran basalis, transduksi berbagai sinyal hormon dan faktor
pertumbuhan serta proliferasi sel. Hal inilah yang bertanggung jawab
bagi meningkatnya permeabilitas sel – sel endotel pembuluh darah
yang berakibat kebocoran albumin pada penderita diabetes melitus.
.
3. Stress oksidatif intraselular akan menyebabkan meningkatnya
diasilgliserol intraselular dan kemudian selanjutnya terjadi peningkatan
PKC yang akan menyebabkan perubahan yang mengarah kepada
proses angiopati (Jianmin et al, 2009).
4. Pada penderita diabetes melitus terjadi kelainan metabolisme lemak
yang menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme
yang akhirnya dapat menimbulkan aterosklerosis (Shahab, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Anatomi Telinga Dalam 2.2.1 Anatomi Telinga bagian dalam (labirin) terletak disebelah medial dari telinga
bagian tengah didalam tulang kompakta (os petrosus ossis temporalis).
Telinga bagian dalam terdiri dari (Gacek, 2014):
1. Labirin bagian tulang, terdiri dari 3 bagian utama yaitu kanalis
semisirkularis, vestibulum dan koklea.
2. Labirin bagian membran, letaknya didalam labirin bagian tulang terdiri
dari kanalis semisirkularis, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus
serta koklea
Berikut gambar dari labirin bagian tulang dan labirin bagian membran
Gambar 1. Labirin bagian tulang dan labirin bagian membran
(Mayers,2011).
Diantara labirin bagian tulang dan labirin bagian membran terdapat
suatu ruangan berisi cairan perilimf. Sebagian cairan perilimf berasal dari
liquor serebrospinalis dan sebagian lagi dari filtrasi darah. Resorbsi cairan
perilimf melalui vena-vena yang berjalan dalam ruang perilimf. Cairan ini
terbentuk didalam stria vaskularis dan diresorbsi pada sakkus
endolimfatikus. Diantara perilimf dan endolimf terdapat membran reissner,
disini terdapat pertukaran ion. Selain perilimf dan endolimf, terdapat pula
kortilimf yang terletak didalam saluran sel rambut korti. Perilimf dan
Universitas Sumatera Utara
kortilimf mengandung banyak kalium (Gacek, 2009; Weber & Khariwala,
2014)
Koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi
sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh
darah dan saraf. Ruang didalam koklea bagian tulang dibagi menjadi dua
bagian oleh sebuah dinding. Bagian dalamnya ini terdiri dari lamina
spiralis ossea dan bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung dari
lamina spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi
menjadi skala vestibuli (bagian atas) dan skala timpani (bagian bawah).
Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea, tempat ini dinamakan
helikotrema. Skala vestibuli bermula pada fenestra ovale dan skala
timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari permulaan antara
lamina spiralis membranasea kearah perifer atas, terdapat membran yang
dinamakan membran reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini,
terbentuk saluran yang dibatasi oleh membran reissner bagian atas,
lamina spiralis membranasea dibagian bawah, dan dinding luar koklea
(Gacek,2009).
Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian
membran yang berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan
ligamentum spiralis, disini terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya
endolimf (Gacek, 2009). Berikut gambar penampang koklea.
Gambar 2. Potongan Melintang Koklea (Mayers, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang
juga berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang
(foramen ovale) yang berhubungan dengan membran timpani, tempat
melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Didalam vestibulum, terdapat
gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung
sakkulus dan utrikulus ini berhubungan satu sama lain dengan perantara
duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus
yang berakhir pada suatu lipatan dari duramater, yang terletak pada
bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus
endolimfatikus. Saluran endolimfatikus ini buntu. Sel-sel persepsi disini
sebagai sel-sel rambut yang dikelilingi oleh sel-sel penunjang yang
letaknya pada makula. Pada sakkulus, terdapat makula sakkuli.
Sedangkan pada utrikulus, dinamakan utrikuli (Gacek, 2009).
Kanalis semisirkularis terdiri dari kanalis semisirkularis bagian tulang
dan bagian membran. Kanalis semisirkularis bagian tulang terdapat
didalam ketiga permukaan didalam ruang. Saluran ini bermuara pada
vestibulum. Satu ujung dari tiap kanalis semisirkularis melebar pada tiap
muara ke vestibulum. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan
antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis
semisirkularis horizontalis (lateralis). Kanalis semisirkularis posterior
(vertikal) berbatasan dengan fossa kranii media dan tampak pada
permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan disebut eminentia arkuata.
Kanalis semisirkularis posterior (vertikal) letaknya tegak lurus dengan
kanalis semisirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari
kedua kanalis semisirkularis yang terletak vertikal bersatu dan bermuara
pada vestibulum sebagai krus komunis. Kanalis semisirkularis bagian
membran letaknya didalam kanalis semisirkularis tulang. Diantara kedua
kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
bagian membran terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis
semisirkularis membran ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini
dinamakan ampula (Weber & Khariwala, 2014).
Universitas Sumatera Utara
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya
pada krista ampularis yang menempel 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-
rambut dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula,
suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla. Rambut-rambut
dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ
gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup
seluruh ampulla (Weber & Khariwala, 2014).
Gambar 3. Kanalis Semisirkularis (Mayers, 2011)
2.2.2 Vaskularisasi telinga dalam
Pembuluh darah arteri untuk telinga dalam seperti pada gambar 5
disuplai oleh arteri labirin atau arteri auditiva interna yang merupakan
cabang dari arteri serebellum anterior-inferior atau secara langsung dari
arteri basilaris. Arteri ini masuk ke dalam telinga dalam dari belakang liang
telinga dalam dan bercabang menjadi dua, yaitu (Moller, 2006) :
1. Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi utrikulus dan
sakulus bagian posterior, yang meluas ke kanalis semisirkularis
anterior dan lateral.
2. Arteri koklearis komunis, yang bercabang menjadi dua yaitu : arteri
koklearis posterior dan arteri vestibulokoklear yang bercabang lagi
menjadi dua, yaitu bagian koklear dan bagian vestibular.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4 Vaskularisasi Koklea (Moller, 2006)
Cabang koklear akan memberikan suplai darah ke bagian inferior
duktus koklearis, lalu bergabung dengan ramus koklearis yang berasal
dari arteri koklearis posterior, sedangkan cabang vestibular memperdarahi
kanalis semisirkularis posterior dan sebagian besar sakulus (Weber &
Khariwala, 2014; Moller, 2006).
Pembuluh darah vena di telinga dalam berasal dari pleksus
aquaduktus koklearis dan pleksus aquaduktus vestibularis. Venula dari
area sensorik di vestibular seperti venula vestibular posterior yang
menampung drainase dari sakulus dan ampula kanalis semisirkularis
posterior serta venula vestibular anterior yang menampung drainase dari
utrikulus akan mengalir ke pleksus aquaduktus koklearis. Pleksus
aquaduktus vestibularis merupakan anastomosis dari vena-vena yang
berasal dari daerah non sensorik vestibular dari kanalis semisirkularis.
Vena-vena ini berjalan paralel dengan aquaduktus dan menerima aliran
dari vena-vena di sakus endolimfatikus (Weber & Khariwala, 2006; Moller,
2006).
2.2.3 Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali oleh ditangkapnya energi bunyi oleh telinga
luar yang akan diteruskan ke telinga tengah setelah menggetarkan
membran timpani. Di dalam telinga tengah terdapat rangkaian tulang
pendengaran (maleus, inkus, stapes) yang akan mengamplifikasi getaran
tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dengan tingkap lonjong. Energi getar
Universitas Sumatera Utara
yang telah diamplifikasi ini akan memasuki telinga dalam yang selanjutnya
akan diproyeksi pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria (Moller,
2006; Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2010). Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defklesi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi pelepasan
ion-ion yang bermuatan listrik akhirnya terjadi depolarisasi sel rambut dan
pelepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan
potensial aksi nervus auditorius dan akan sampai di korteks pendengaran
untuk diterjemahkan (Moller, 2006; Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin,
2010).
2.3 Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran dapat menyebabkan masalah dalam
kehidupan. Menurut WHO, gangguan pendengaran adalah berkurangnya
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu
atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang
pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan
4000 Hz. Sedangkan ketulian adalah hilangnya kemampuan mendengar
pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan gangguan
pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih
dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz (Kolegium Ilmu
Kesehatan THT-KL, 2008).
Gangguan pendengaran dapat berasal dari patologi pada telinga luar,
tengah, dan dalam. Jenis gangguan pendengaran antara lain: 1. Konduktif, disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga
luar atau telinga tengah. Hal ini terjadi ketika suara tidak dikonduksikan
secara efisien melalui liang telinga luar menuju membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Beberapa penyebabnya
antara lain: terdapat cairan di telinga tengah, otitis media, otitis media
serosa, gangguan fungsi tuba eustachius, perforasi membran timpani,
Universitas Sumatera Utara
impaksi serumen, otitis eksterna, benda asing, atau malformasi telinga
luar dan tengah (Atcherson & Prout, 2003; Soetirto, Hendarmin &
Bashirudddin, 2010; American Speech-Language-Hearing Association,
2012).
2. Sensorineural, disebabkan oleh kelainan di koklea, N.VIII, dan pusat
pendengaran di korteks serebri. Beberapa penyebabnya antara lain:
obat ototoksik, proses penuaan, trauma kepala, malformasi telinga
dalam, atau terpapar bising (Atcherson & Prout, 2003; Soetirto,
Hendarmin & Bashirudddin, 2010; American Speech-Language-
Hearing Association, 2012).
3. Campuran disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural (Atcherson
dan Prout, 2003; American Speech-Language-Hearing Association,
2012).
2.4 Audiometri Nada Murni Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan
bunyi yang dihasilkan alat elektroakustik. Audiometri Nada Murni(Pure
Tone Audiometry/PTA) merupakan suatu pemeriksaan ketajaman
pendengaran dengan menggunakan stimulus nada murni (bunyi yang
hanya memiliki satu frekuensi) (American Speech-Language-Hearing
Association, 2012). Tujuannya adalah untuk menentukan ambang
pendengaran pada telinga, baik hantaran udara maupun hantaran tulang.
Oleh karena itu, PTA disebut Threshold Audiometry. Temuan dari hasil
pemeriksaan audiometri yang perlu diperhatikan adalah hantaran udara
normal: terentang antara -10 s/d 26 dB (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-
KL, 2008), hantaran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran
udara, pada telinga normal atau tuli sensorineural, hantaran tulang
terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut air-bone gap
terjadi pada ketulian konduktif (Keith & Pensak, 2003; Kolegium Ilmu
Kesehatan THT-KL, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau terjadi
gangguan pendengaran. Dalam menentukan derajat gangguan
pendengaran, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara saja.
Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:
Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
(Soetirto, Hendarmin & Bashirudddin, 2010).
3
Gambar 5 Audiogram Pasien dengan Pendengaran Normal (Hain, 2012)
Menurut kepustakaan terbaru, frekuensi 4000 Hz berperan penting
untuk pendengaran, sehingga perlu diperhitungkan. Dengan demikian,
derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz
dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi empat.
Ambang Dengar(AD)=
4
AD500Hz + AD1000Hz + AD2000Hz + AD4000Hz
(Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010).
Adapun interpretasi hasil berdasarkan International Standard
Organizationc (ISO) tentang derajat gangguan pendengaran adalah: 0-25
dB pendengaran normal, 26-40 dB gangguan pendengaran ringan, 41-60
dB gangguan pendengaran sedang, 61-90 dB, gangguan pendengaran
berat, >90 dB gangguan pendengaran sangat berat (Soetirto, Hendarmin,
& Bashirudddin, 2010).
2.4.1 Prosedur pelaksanaan Untuk pemeriksaan PTA, perlu diperhatikan beberapa syarat antara lain
adalah alat audiometer yang telah distandarisasi oleh American National
Universitas Sumatera Utara
Standards Institute (ANSI), suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap
suara, pemeriksa yang sabar dan teliti (American National Standards
Institute, 2004; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).
Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran diukur terpisah untuk
masing-masing telinga dengan menggunakan earphone (hantaran udara).
Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang langsung
dimasukkan dalam liang telinga luar karena memiliki beberapa kelebihan
jika dibandingkan dengan earphone supraaural antara lain kontak dengan
tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya cross hearing. PTA juga dapat dilakukan dengan
menggunakan osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid
untuk mengukur hantaran tulang, yaitu antara 250-4000 Hz (Kolegium
Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang
perlu diperhatikan antara lain (American Speech-Language-Hearing
Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008):
a. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat
gerakan tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi
penderita bahwa nada tes sedang disajikan.
b. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang
berasal dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan
kedap suara akan tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan
tersembunyi.
c. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa
dan akan mendengar bunyi yang kadang-kadang keras dan kadang-
kadang lemah melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan
tombol dan acungkan tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan
acungkan tangan kanan dan kalau didengar pada telinga kiri maka
acungkan tangan kiri”.
d. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar, warna
merah di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri.
Universitas Sumatera Utara
e. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik.
f. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang tetap dan lamanya
interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh
memutar tombol (dial) pengatur selama penyaji masih ditekan.
g. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini
dapat memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa nada-
nada lebih tinggi 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan frekuensi 250 Hz
serta 500Hz.
Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi putar tombol pada
kedudukan 0 dB dan sajikan bunyi selama 1-2 detik. Bila tidak ada respon,
intensitas dinaikkan 5 dB, demikian seterusnya sampai ada respon. Jika
sudah ada respon, turunkan intensitasnya 5 dB sebagai cross check dan
bila tidak mendengar maka inilah nilai ambang frekuensi tersebut. Cara
yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain (American
Speech-Language-Hearing Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan
THT-KL, 2008).
2.4.2 Komponen utama audiometer Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam
komponen utama (Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010) :
1. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni
2. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat
terdengar
3. Pemutus (interrupture), yang memungkinkan pemeriksa menekan
dan mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar
bunyi lain (klik)
4. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan
intensitas ke tingkat yang dikehendaki
5. Earphone, yang mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh
audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar
Universitas Sumatera Utara
6. Sumber suara pengganggu (masking) yang sering diperlukan untuk
meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa
Bagian dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol
pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa hantaran udara, bone
conductor untuk memeriksa hantaran tulang (Soetirto, Hendarmin, dan
Bashirudddin, 2010).
Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut hantaran udara dan menurut hantaran tulang.
Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik hantaran udara
maupun hantaran tulang maka akan didapatkan audiogram. Dari
audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian (Soetirto, Hendarmin,
dan Bashirudddin, 2010).
2.4.3 Notasi audiogram Pemeriksaan direkam untuk masing – masing telinga secara terpisah
dimana frekuensi merupakan aksis sedangkan intensitas sebagai
ordinatnya. Notasi pada audiogram dipakai grafik hantaran udara yaitu
dibuat dengan garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125 –
8000 Hz) dan grafik hantaran tulang yaitu dibuat dengan garis terputus-
putus (Intensitas yang diperiksa yaitu 250 – 4000 Hz). Untuk telinga kanan
seandainya memakai warna dibuat dengan warna merah dan telinga kiri
warna biru. Untuk hantaran udara telinga kanan dengan tanda lingkaran
kecil (O) atau (∆) jika dilakukan masking, dan hantaran udara untuk telinga
kiri dengan tanda (X) atau (□) jika dilakukan masking, untuk hantaran
tulang telinga kanan digambarakan dengan tanda panah ke kiri (<) atau ([)
jika dilakukan masking, telinga kiri tanda panah ke kanan ( >) atau (]) jika
dilakukan masking (British Audiology Recommended Procedure, 2004).
2.4.4 Cross hearing dan masking Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan,
kadang-kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang
diperiksa (Keith dan Pensak, 2003; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL,
Universitas Sumatera Utara
2008). Jika stimulus nada yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan
menggunakan supra-aural earphone dimana bantalannya berada di luar
telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke telinga pada sisi yang
berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing. Jumlah
intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut
atenuasi interaural. Atenuasi interaural untuk frekuensi yang rendah
biasanya 50 dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert-
earphone memiliki atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi
interaural untuk tes hantaran tulang berkisar antara 10 sampai 0 dB,
sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan stimulasi suara yang sangat
halus sudah dapat menyebabkan penjalaran getaran ke dua telinga
melalui tulang tengkorak (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).
Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada PTA adalah masking.
Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi
kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang
sedang diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan
(stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi
interaural). Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan
pada telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus
pada telinga yang sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan
adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan
dapat tertutupi oleh suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking
adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar seperti suara
gemuruh. Dengan perkataan lain, masking adalah mengaburkan suatu
bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang
pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua
(Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008).
2.4.5 Manfaat audiometri Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengkur kepekaan
seluruh mekanisme pendengaran, telinga luar dan tengah serta
Universitas Sumatera Utara
mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditorius. Sedangkan
audiometri hantaran tulang adalah mengukur kepekaan mekanisme
sensorineural saja (British Audiology Recommended Procedure, 2004).
Sejauh ini peranan interpretasi audiogram yang terpenting adalah pada
hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang yaitu ada
tidaknya beda udara-tulang. Secara garis besar hubungan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara
sebesar 10dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.
b. Bila ambang hantaran tulang sama dengan hantaran udara dan
keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural
c. Bila ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari
ambang hantaran udara sebesar 10dB atau lebih maka tuli bersifat
campuran.
2.5 Kekerapan Tuli Sensorineural Akibat Diabetes Melitus Tipe-2 Di Klinik Diabetes Rumah Sakit Gordan Iran memperoleh prevalensi
terjadinya gangguan pendengaran pada pasien DM sebanyak 16% dan
5% pada grup non DM (kontrol) yang artinya bahwa pasien DM memiliki
resiko 3,2 kali lebih besar untuk terjadinya gangguan pendengaran dari
pada yang non DM (Taziki & Mansourian, 2011).
Di India diperoleh bahwa dari 110 pasien DM Tipe-2 didapati 48 pasien
memiliki tuli sensorineural pada frekuensi tinggi ( 2000 dan 4000 Hz ), 7
pasien menderita tuli yang sangat berat, 16 pasien menderita tuli yang
berat, 25 pasien menderita tuli sedang (Pemmiah & Srinivas, 2011). Masih
di India juga ditemukan bahwa penderita DM Tipe-2 memiliki tuli
sensorineural ketika dievaluasi dengan audiometri nada murni disemua
frekuensi dari pada kelompok dengan nilai kadar gula darah yang normal
(Panchu, 2010). Di Brazil ditemukan secara statistik nilai yang signifikan
pada penderita DM Tipe-2 yang memiliki tuli sensorineural jika
dibandingkan dengan grup kontrolnya (Diniz & Guida, 2009). Di Amerika
Universitas Sumatera Utara
Serikat dilakukan penelitian terhadap penderita DM Tipe-2 dengan
komplikasi mikrovaskuler dengan menggunakan alat ukur audiometri nada
murni dan hasilnya diperoleh adanya hubungan yang kuat antara
penurunan pendengaran dan DM Tipe-2 (Bainbridge, Hofman, Cowie,
2008). Di Universitas Islam Iran ditemukan sebanyak 455 dari 80
penderita DM memiliki tuli sensorineural (Mozzafari et al, 2010). Di
Amerika Serikat tepatnya di Universitas Marryland menemukan tuli
sensorineural yang lebih sering pada pasien DM dibandingkan dengan
non DM (Kakarlapudi, Sawyer, & Staecker, 2003). Di Tehran ditemukan
adanya gangguan pendengaran berupa penurunan pendengaran
sebanyak 31% pasien DM pada frekuensi 4000 Hz dan 34% pada
frekuensi 8000 Hz (Naini & Fathololoomi, 2003).
2.6 Patofisiologi Penurunan Pendengaran pada Diabetes Melitus Tipe-2 Penurunan pendengaran pada penderita DM memiliki ciri – ciri yang
hampir sama dengan presbiakusis yaitu bilateral, progresif dan berjenis
sensorineural terutama pada frekuensi tinggi. Perbedaannya adalah pada
penderita DM memiliki gangguan pendengaran lebih berat. Teori
mekanisme terjadinya penurunan pendengaran pada DM adalah
mikroangiopati. Mikroangiopati yang terjadi adalah di labirin terutama
mengenai stria vaskularisasi dan arteri auditiva interna (Maia & Alberti,
2006).
Beberapa penelitian menemukan kelainan vaskuler pada telinga dalam
yang secara histopatologi memperlihatkan perubahan mikroangiopati yaitu
terbentuk presipitat pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi
penebalan. Kelainan mikroangiopati ini terutama terjadi pada pembuluh
kapiler stria vaskularis, selanjutnya dapat terjadi pada arteri auditorius
internus, modiulus, pada vasa nervosum ganglion spirale dan
demielinisasi nervus auditorius (Sakuta, Suzuki & Yasuda, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum dapat dijelaskan,
namun bila dihubungkan dengan kenyataan, bahwa komplikasi lanjut DM
terjadi pada sel-sel maupun jaringan-jaringan tubuh yang tergantung
insulin untuk transportasi glukosa, nampaknya hiperglikemik sangat
berperan dalam proses kejadiannya. Hiperglikemia yang berlangsung
lama, telah diketahui dapat memacu reaksi glikosilasi protein non
enzimatik, yang berlangsung pada berbagai jaringan tubuh. Beberapa
studi klinik memberikan informasi adanya korelasi antara jangka waktu
berlangsungnya hiperglikemia dan progresifitas mikroangiopati pada
penderita DM. Terkendalinya status glikemia mendekati batas normal
dapat menghambat bahkan mungkin mencegah terjadinya mikroangiopati
(Nepal, Rayamajhi & Thapa, 2007).
Glukosa terikat pada protein oleh reaksi kimia non-enzimatik. Proses ini
diawali dengan menempelnya glukosa pada gugus asam amino, yang
berlanjut dengan serangkaian reaksi biokimia dengan hasil terbentuknya
amadory product, reaksi selanjutnya menghasilkan produk akhir yang
dinamakan advanced glicosilation end product (AGEP) yang bersifat
irreversible. Reaksi glikosilasi ini terjadi pada long live protein, antara lain
jaringan kolagen dan membran basalis pembuluh darah. Salah satu
bentuk AGEP pada DM adalah 2 furoyl-4(5)-(2furanyl)-1-H-imidazole atau
FFI yang banyak tertimbun dalam jaringan-jaringan tubuh penderita DM.
Dalam reaksi glikosilasi ini terbentuk pula radikal bebas sebagai hasil dari
oto-oksidasi glukosa yang berlangsung pada waktu pembentukan AGEP
dari amadory product, yang bersifat highly reactive oxidant yang memiliki
sifat ototoksis antara lain efek denaturasi dan agregasi (Votey & Peters,
2008; Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003).
Bertambahnya produksi AGEP mengurangi elastisitas dinding
pembuluh darah (arteriosclerosis) dan mengakibatkan terikatnya protein
plasma pada membran basalis, sehingga dinding pembuluh darah
menebal dengan lumen yang makin sempit. Perubahan patologik yang
terjadi pada mikroangiopati pada dasarnya adalah (Waspadji, 2009) :
Universitas Sumatera Utara
a. Penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler yang
mengakibatkan penyempitan lumen kapiler.
b. Perubahan hemodinamik akibatnya terjadi disfungsi organ yang
bersangkutan.
c. Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit yang memacu
terbentuknya mikrotrombus akibatnya terjadi penyumbatan
mikrovaskuler.
Akibatnya mikroangiopati organ korti akan terjadi atrofi dan
berkurangnya sel rambut. Sedangkan neuropati terjadi akibat
mikroangiopati pada vasa nervosum nervus VIII dan vasa ligamentum
spirale yang berakibat atrofi ganglion spiral dan demielinisasi serabut
saraf VIII. Sel-sel rambut mengalami atrofi akibat akumulasi bahan-bahan
toksik hasil metabolisme pada endolimfe akibat terganggunya absorsi oleh
pembuluh darah sekitar sakus endolimfatikus (Brainbridge, Hofman &
Cowie, 2008; Frisina, Mapes, Kim, 2006).
Pada penelitian sebelumnya banyak yang menyatakan bahwa
terjadinya gangguan pendengaran pada penderita DM terjadi akibat
adanya dampak neurodegeneratif yang merugikan pada penderita DM,
seperti kerusakan oksidatif, yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif.
Stres oksidatif adalah suatu kondisi tidak seimbang antara pembentukan
radikal bebas dan antioksidan pada tingkat seluler. Stres oksidatif
membahayakan karena terjadi kelebihan radikal bebas (oksidan) atau
tanda penurunan level enzim natural antioksidan (Foster, 1998).
Stres oksidatif berpotensi meningkatkan komplikasi vaskular DM
dengan empat jalur metabolik : Protein Kinase-C Pathway (PKC),
Advanced Glycation End Products Pathway (AGEP), Hexosamine
Pathway, Aldose Reductase (AR). Stres oksidatif juga dapat
menyebabkan disfungsi sel β dan insulin resisten. Kontrol glukosa yang
baik dan antioksidan yang kuat dapat menurunkan stres oksidatif, dan
memperbaiki fungsi sel β dan memperbaiki sensitifitas insulin (Votey &
Peters, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Teori reactive oxygen species Stres oksidatif adalah suatu kondisi tidak seimbang antara
pembentukan radikal bebas dan antioksidan pada tingkat seluler. Stres
oksidatif dapat naik karena proses enzimatik dan non enzimatik oleh
hiperglikemi. Ada 3 pencetus stres oksidatif akan meningkat yaitu glikasi
yang labil, otooksidasi glukosa dan aktivasi intrasel jalur poliol. Glikolisis
dan siklus Krebs menghasilkan energi yang ekuivalen untuk mendorong
sintesis ATP mitokondria, sebaliknya hasil samping fosforilasi oksidatif
mitokondria (termasuk radikal bebas, dan anion superoksid) juga
ditingkatkan oleh kadar glukosa tinggi (Votey & Peters, 2008, 2008;
Foster, 1998).
Otooksidasi glukosa meningkatkan radikal bebas. Jadi stres
oksidatif akan menurunkan kadar nitrit oksida, merusak protein sel dan
adhesi leukosit pada endotel meningkat sedang fungsinya sebagai barrier
terhambat. Stres oksidatif pada DM Tipe-2 tidak terkontrol disebabkan
oleh PAHA seperti aktivasi AR, aktivasi hexosamine, peningkatan sintesis
DAG, aktivasi PKC, peningkatan AGEP (Votey & Peters, 2008; Foster,
1998).
Aktivitas polyol akan menimbulkan akumulasi bahan–bahan toksik
intraseluler, membahayakan struktur sel dan proses metabolik,
bersamaan dengan peningkatan kadar ROS. Proses metabolik yang
terganggu dengan adanya DM termasuk produksi energi, akumulasi
abnormal produk – produk metabolik, deregulasi nitric oxide, glikasi,
keseimbangan abnormal lipid, disfungsi sintesa protein. Hiperglikemia
menyebabkan kerusakan jaringan yang luas terutama merusak endotelial,
neural, matriks ekstraseluler dan jaringan kolagen (Frisina, Mapes, Kim,
2006).
Sistem pendengaran membutuhkan glukosa sebagai sumber energi
untuk proses kompleks sinyal. Diduga bahwa koklea dapat juga menjadi
target organ kerusakan akibat hiperglikemia. Terpapar dengan glukosa
Universitas Sumatera Utara
yang tinggi bahkan untuk jangka pendek, dapat meningkatkan metabolik
yang mengganggu koklea baik secara anatomis maupun fisiologis.
Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal
ini tampaknya ada kaitannya dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai
sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti
membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow &
Metz, 2002).
Penurunan pendengaran yang terjadi pada penderita DM Tipe-2
adalah pada frekuensi tinggi kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut
(Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003) :
1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada
sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit
dibandingkan di bagian apeks.
2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat
meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan
energi lebih besar.
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga
memerlukan energi lebih banyak.
4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan
akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.
2.6.2 Mikroangiopati Penelitian dan observasi klinis telah mencatat perubahan penting yang
terjadi pada sistem penglihatan yaitu retinopati. Gangguan akibat
hiperglikemia termasuk peningkatan produk – produk metabolik seperti
diacylglicerol (DAG) yang mengaktifkan protein kinase C (PKC) sehingga
mempengaruhi jalur sinyal transduksi intraselular. Pengaktifan PKC
menyebabkan penebalan membran basalis dan peningkatan permeabilitas
vascular. Koklea, khususnya stria vaskularis adalah organ yang sangat
mikrovaskularis. Peningkatan permeabilitas dari endotelium dapat
menyebabkan perubahan pada homeostasis eletrolit pendengaran dalam
Universitas Sumatera Utara
endolimfe yang mempengaruhi transduksi rambut sel dan transmisi sinyal
(Votjka, Ciljakova & Banovcin, 2012)
Nitric oxide ( NO ) yang terkumpul dalam organ corti dan memainkan
peranan penting dalam regulasi endotelium pembuluh darah dengan cara
merangsang peningkatan ATP di aliran darah koklea, aktivitas anti –
trombotik, dan regulasi irama/tone pembuluh darah dan pertumbuhan
selular. NO terkumpul dalam pembuluh darah utama koklea termasuk
pembuluh darah spiral modiolar, membran basilaris dan pembuluh darah
lamina spiralis osseous juga pembuluh darah yang berdekatan dengan
ganglion spiralis, sel rambut dalam dan luar. Keseimbangan kritis dari NO
adalah sangat penting untuk fungsi sensori optimal koklea dan
mendukung kesehatan sel jangka panjang. Jika terjadi hiperglikemia akan
terjadi penurunan produksi nitric oxide synthase (NOS) sehingga timbul
iskemia (Frisina, Mapes, Kim, 2006).
2.7 Pengelolaan Gangguan Pendengaran pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 Penatalaksanaan gangguan pendengaran pada penderita DM salah
satunya adalah dengan steroid, tetapi hingga saat ini masih kontroversial.
Sebagai hasil dari efek anti inflamasi, terapi steroid sistemik dosis tinggi
saat ini masih andalan pengobatan untuk gangguan pendengaran pada
penderita DM. Meskipun terapi steroid oral atau intravena selama dua
minggu sekitar 30-50% pasien menunjukkan respon. Penelitian
menemukan bahwa suntikan steroid intratimpanik hasilnya mengurangi
toksisitas steroid sistemik dan meningkatkan selektivitas level steroid
perilimfe. Penelitian sebelumnya telah difokuskan penggunaan suntikan ini
sebagai terapi lini sekunder dalam kasus-kasus seperti ini. Namun
demikian, beberapa penelitian telah mempublikasikan bahwa hasil
pengobatan steroid intratimpanik digunakan sebagai terapi lini pertama
(Diniz & Guida, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Penanganan gangguan pendengaran selain pemberian steroid pada
dasarnya adalah memberi bantuan agar dapat meningkatkan fungsi
komunikasi bagi para penderita gangguan fungsi organ pendengaran
dengan program rehabilitasi audiologi yang bertujuan untuk membantu
mengatasi masalah yang timbul sebagai akibat penurunan pendengaran
dengan mempertimbangkan kebutuhan komunikasi dan cara hidup
masing – masing individu sehingga meningkatkan kualitas hidup individu
tersebut. Selain diberikan dalam bentuk intervensi farmakologis, ada
berbagai macam pilihan untuk membantu penderita dalam mengatasi
gangguan dan meningkatkan kualitas hidupnya antara lain pemasangan
alat bantu dengar dengan dikombinasikan dengan latihan membaca bibir,
dan latihan mendengar yang dilakukan oleh ahli terapi wicara (Frisina,
Mapes, Kim, 2006).
Penyakit diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai komplikasi jangka panjang seperti
penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh
darah tungkai, komplikasi pada mata, ginjal dan syaraf. Jika kadar glukosa
darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua
komplikasi tersebut dapat dicegah ataupun setidak – tidaknya diperlambat
(Gustaviani,2006).
Pilar utama pengelolaan diabetes melitus adalah perencanaan diet,
latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik dan penyuluhan. Dengan
melihat hasil pemeriksaan kadar glukosa darah, lipid profile, indeks massa
tubuh dan tekanan darah dapat diketahui apakah penyakit diabetes
melitusnya terkontrol baik atau tidak (PERKENI, 2011).
Tujuan penatalaksanaan dari DM terdiri dari 3 bagian yaitu tujuan
jangka pendek, jangka panjang dan tujuan akhir. Untuk mencapai tujuan
tersebut diatas perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku
(DepKes, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Penatalaksanaan DM memiliki empat pilar yaitu (PERKENI, 2011;
Depkes, 2008; Yunir & Soebardi, 2006):
1. Edukasi
Diabetes Tipe-2 umumnya terjadi sebagai akibat dari pola gaya hidup
dan perilaku. Untuk itu maka dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes melitus Tipe-2 secara total. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan pada
masyarakat umum lainnya yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing – masing individu. Pada
penyandang DM Tipe-2 ini perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurunan glukosa darah.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit merupakan
salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe-2. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin sehingga memperbaiki kendali
glukosa darah. Hindarkan kebiasaan hidup kurang gerak atau
bermalas-malasan.
4. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan dari
penderita diabetes melitus tersebut.
Dari ke empat pilar diatas dapat tercapai tujuan dari penatalaksanaan
pada penderita diabetes dan dapat meningkatkan kualitas hidup dari
penderita DM.
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan pada diabetes melitus terdiri dari 3 jenis yaitu terdiri dari
pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tersier
(PERKENI, 2011; Depkes, 2008; Yunir & Soebardi, 2006):
I. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Faktor resiko
terkena diabetes terdiri dari empat jenis yaitu faktor yang tidak bisa
dimodifikasi, faktor yang bisa dimodifikasi, faktor lain yang terkait dengan
resiko diabetes(PERKENI, 2011; Depkes, 2008; Yunir & Soebardi, 2006).
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan
pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai
resiko tinggi dan intoleransi glukosa. Penyuluhan untuk pencegahan
primer ditujukan kepada kelompok masyarakat yang mempunyai resiko
tinggi dan intoleransi glukosa yang meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan merokok.
Perencanaan kebijakan kesehatan agar memahami dampak
sosioekonomi penyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang
memadai dalam upaya pencegahan primer(PERKENI, 2011; Depkes,
2008; Yunir & Soebardi, 2006).
II. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan
sekunder program penyuluhan memegang peranan penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan
dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan
terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan
pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan
berikutnya. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah,
Universitas Sumatera Utara
pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang DM(PERKENI, 2011; Depkes, 2008;
Yunir & Soebardi, 2006).
III. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier
tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan
termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan
kesehatan yang terintegrasi antar disiplin yang terkait serta kerjasama
yang baik antara berbagai ahli demi menunjang keberhasilan pencegahan
tersier ini(PERKENI, 2011; Depkes, 2008; Yunir & Soebardi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Hiperglikemia
Pembentukan ROS
Pembentukan AGEP
Pembentukan PKAC
Jalur Poliol / Sorbitol
Hidrofilik Edema Sel
Kerusakan Sel di Koklea
Stres Oksidatif
Agregasi Trombosit
Permeabilitas ↑
Stimulasi Growth Factor
Aktivasi Endotelin-1
Inhibisi NO
Vasokonstriksi
Proliferasi sel otot polos dan matriks seluler
Ekstravasi Plasma
Trombosis
Viskositas darah ↑
Angiogenesis
Akumulasi jaringan Fibrosa
Penebalan dinding vaskular
Penyempitan lumen vaskular
Keterangan : : Berasal dari AGEP : Menghasilkan
Gangguan Pendengaran
Universitas Sumatera Utara
Pada kondisi kadar gula darah yang meningkat dalam tubuh
maka akan mengaktifkan jalur poliol/ sorbitol yang akan
mengakibatkan terjadinya penumpukkan akumulasi intraseluler yang
menjadi penyebab terjadinya edema sel. Hal tersebut terjadi pada
koklea yang akhirnya terjadi kerusakan pada koklea yang akan
mengakibatkan gangguan pendengaran. Selain dari terjadinya
edema sel, tingginya kadar gula darah akan mengakibatkan
meningkatnya aktifitas enzim Protein Kinase C (PKC) di dalam sel–
sel endotel pembuluh darah menyebabkan keabnormalan faal sel–
sel vaskular pada diabetes melitus seperti kontraksi sel–sel,
pembentukan atau penebalan membran basal, transduksi berbagai
sinyal hormon dan faktor pertumbuhan serta proliferasi sel. Hal
tersebut berperan pada proses angiopati yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan sel pada koklea dan akhirnya juga akan
menyebabkan gangguan pendengaran. Terbentuknya AGEP (
Advanced Glicosilation End Product ) terjadi akibat adanya ikatan
antara glukosa pada protein melalui reaksi kimia non-enzimatik.
Proses ini diawali dengan menempelnya glukosa pada gugus asam
amino, yang berlanjut dengan serangkaian reaksi biokimia dengan
hasil terbentuknya amadory product. Dalam reaksi glikosilasi ini
terbentuk pula radikal bebas sebagai hasil dari oto-oksidasi glukosa
yang berlangsung pada waktu pembentukan AGEP dari amadory
product, yang bersifat highly reactive oxidant yang memiliki sifat
ototoksis antara lain efek denaturasi dan agregasi. Bertambahnya
produksi AGEP mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah
(arteriosclerosis) dan mengakibatkan terikatnya protein plasma pada
membran basalis, sehingga dinding pembuluh darah menebal
dengan lumen yang makin sempit akibatnya terjadi mikroangiopati
pada organ korti yang mengakibatkan terjadinya atrofi dan
berkurangnya sel rambut. Semua hal tersebut mengakibatkan
rusaknya sel di koklea dan akhirnya terjadi gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara
Pada penderita DM akan terjadi suatu proses stres oksidatif yang
merupakan suatu kondisi tidak seimbang antara pembentukan
radikal bebas dan antioksidan pada tingkat seluler yang
membahayakan karena terjadi kelebihan radikal bebas (oksidan)
atau tanda penurunan level enzim natural antioksidan, akhirnya
terbentuklah ROS (Reactive Oxigen Species) yang meningkat
akibatnya dapat merusak sel dalam tubuh terutama dalam hal ini
adalah kerusakan pada sel koklea yang akhirnya dapat menyebakan
gangguan pendengaran.
2.9 Hipotesa Penelitian a. Terdapat hubungan antara lama menderita DM Tipe-2 dengan
gangguan pendengaran.
b. Terdapat hubungan antara umur penderita DM Tipe-2 dengan
gangguan pendengaran.
c. Terdapat hubungan antara keteraturan berobat dari penderita
DM Tipe-2 dengan gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara