autisme.doc

47
AUTISME (Askep Jiwa) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004) Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme berbeda – beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan berbahasa serta usia si anak. Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan

Upload: jery-rhatsa-croztian

Post on 11-Feb-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AUTISME.doc

AUTISME (Askep Jiwa)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang

ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa

sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang

menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan

tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)

Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme

berbeda – beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan

tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup

kondisi mental, kemampuan berbahasa serta usia si anak.

Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai

tingkat sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara

menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime

dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan

kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisma dibandingkan

anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak

autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di

seluruh dunia.

Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi

menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.

Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis

penyembuhan telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut

bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis.

Tetapi penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian

teknik, diantaranya teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal

maupun non verbal.

Page 2: AUTISME.doc

Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada

yang melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat

dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan

bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan

untuk mengeliminir berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak

autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan

sindrom yang disandang anak.

Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya

tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang

tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam

setiap fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan

perbaikan anak autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan

tingkat perbaikan yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan

terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak

autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan

mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya

penugasan dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami

mengenai konsep dasar dan askep autisme itu sendiri.

1.2  Runusan Masalah

1.      Apakah definisi dari autisme ?

2.      Ada berapa pengelompokan autisme ?

3.      Bagaiman etiologi autisme ?

4.      bagaimana karakteristik autisme ?

5.      Bagaimana penatalaksanaan autisme ?

6.      bagaimana askep autisme ?

1.3 Tujuan Penulisan

Page 3: AUTISME.doc

1.      Tujuan umum

            Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep autisme.

2.      Tujuan khusus

Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :

         Menjelaskan definisi dari autisme

         Menjelaskan pengelompokan autisme

         Menjelaskan penatalaksanaan autisme

         Menjelaskan karakteristik autisme

         Menjelaskan etiologi autisme

         Menjelaskan askep autisme

BAB II

KONSEP TEORI

2.1  Definisi

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat

masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk

hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi

dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat

yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).

Page 4: AUTISME.doc

Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan

kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala.

(Sacharin, R, M, 1996 : 305)

Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf

pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga

masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang

menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan social secara normal bahkan

tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)

2.2  Pengelompokan Autisme

Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu :

1.      Autisme Persepsi

Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena

kelainan sudah timbul sebelum lahir.

2.      Autisme Reaksi

Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun)

sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi

sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat

gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang

– kejang.

3.      Autisme yang Timbul Kemudian

Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak autisme,

berikut ini :

o    Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana

kira – kira yang perlu ditingkatkan

o    Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut

o    Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersbut

o    Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau mengurangi

penyimpangan perilaku

o    Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan

program tersebut

Page 5: AUTISME.doc

o    Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa

berjalan dengan konsisten

o    Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan

hasilnya dalam waktu singkat

o    Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda

harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk

diubah. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan

baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal

o    Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak

autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam

dunianya

o    Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu

berekreasi juga dianjurkan oleh para professional. Pengobatan secara psikologi

dan bermain termasuk yang dianjurkan.

2.3  Etiologidan Patofisiologi

                        Danuatmaja (2003) menyebutkan beberapa hal yang diduga

menjadi faktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara lain:

a.      Gangguan Susunan Saraf Pusat        

Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa

tempat didalam otak anak autis. Banyak anak autis mengalami pengecilan otak

kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya, dilobus VI-VII banyak terdapat

sel purkinje. Namun, pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang.

Akibatnya, produksi serotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran

informasi antar-otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di

dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu

dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai

adalah dari jenis psikotropika yang bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnya

menggembirakan karena dengan mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaan

terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih mudah untuk diajak bekerja sama.

Page 6: AUTISME.doc

a.       Gangguan Sistem Pencernaan

            Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997,

seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang

sangat buruk. Ternyata, ia kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan

sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan yang luar biasa (Budhiman,

2002). Kasus ini memicu penelitian-penelitian selanjutnya pada gangguan

metabolism pencernaan.

b.    Peradangan Dinding Usus       

Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak

autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada

sebagian besar anak (Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli pencernaan asal Inggris,

menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu

sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles,

mumps, rubella) karena diduga menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan

Wakefield diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.

            Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial mengenai vaksinasi

MMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres,

merkuri dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Tetapi semua mungkin

hanya merupakan pemicu saja, yang bias terjadi pada anak yang sudah

mempunyai riwayat genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori yang

berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan (Sari, 2009).

a.       Faktor genetika.

Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru

muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bias saja autisme tidak muncul, meski

anak membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu lain.Hasil penelitian

terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang

berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan

sekitar 36 – 89 %, sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian

terhadap keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang

Page 7: AUTISME.doc

berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal (Masra,

2002)

b.      Keracunan logam berat.   

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan

kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan

sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya

menemukan logam berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa

(Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie

Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan

anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan

membaiknya gejala autis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri

dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)

c.       Alergi.

 Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme dipengaruhi dan diperberat

oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Dari penelitian yang

pernah dilakukan, dilaporkan bahwa autisme berkaitan erat dengan alergi

(Judarwanto, 2004).

     Penelitian lain menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa

gejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan

dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak

autisme yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi.

Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila

manifestasi alergi muncul (Judarwanto, 2004).

a.       Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai

makanan, dan dilaporkan  bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan

terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung

amino phenolic itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, apel.

Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis

mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat

sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino

Page 8: AUTISME.doc

phenolic. Komponen amino phenolic merupakan bahan baku pembentukan

neurotransmiter; jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi

akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf.

b.      Teori infeksi kandida.Ditemukan beberapa Strain candida di saluran pencernaan

dalam jumlah sangat  banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan

menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporan menyebutkan bahwa

infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak

mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena

pada makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini

dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan

adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida albicans dengan gejala-gejala

menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan

penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997). Tetapi Dr Bernard Rimland,

seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang

hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.

c.       Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein. Teori ini

mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak

sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari

kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek

morfin di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakan pasien autis

ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke

dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan

berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan

mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan

kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak.

Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk

memperoleh kesembuhan pasien.

       Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakai dalam

pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan

mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat dipecah.

Page 9: AUTISME.doc

Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis

mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis

yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan

sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi

perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan

kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada

kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk.

Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tapi

cukup bisa diterima sampai sekarang.

Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah pentingnya dari

farmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah alergi makanan pada anak

dengan gangguan spektrum autisme harus dilakukan secara holistik. 

1.           Epidemiologi

Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh

tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang

lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak

atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru (Dwinoto, 2008).Di

Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui persis

jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang.

Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuan akan

menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang

oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai dari beberapa

Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang

autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan perempuan; anak laki-laki lebih

rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Sari,

2009).Anak laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai efek yang

bertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron

menghambat kerja RORA (retinoic acid-related orphan receptor-alpha) yang

Page 10: AUTISME.doc

berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkan kinerja

RORA (Darmawan, 2009).

2.      Gejala

Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak semakin jelas saat

anak mencapai usia 3 tahun, yaitu:

a.       Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terhambat bicara,

mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti,

echolalia, dan ssering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.

b.      Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat

jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.

c.       Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang berlebih

(excesive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif, repetitive,

namun dilain waktu terkesan pandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang

ada kelekatan pada benda tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yang

dibawanya kemana-mana.

d.      Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati dan

toleransi. Kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan

sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

e.       Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan

atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak

menyukai rabaan dan pelukan, dan seterusnya.

Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap anak

autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak (Wardhani,

2008)

Page 11: AUTISME.doc

    Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)

    Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus ada dua gejala dari gejala – gejala dibawah ini:

    Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.

    Tak bias bermain dengan teman sebaya.    Tak ada empati   Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.    Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :

    Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal

    Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi    Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang   Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.    Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam prilaku, minat dan kegiatan, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :

    Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan    Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya    Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang   Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda    Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:a). Interaksi sosialb). bicara dan berbahasac). cara bermain yang monoton dan kurang variatif

    Bukan disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak

 

Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi dari bagian otak,

maka timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD – 10 1993 (International

Classification of Diseases) dari WHO maupun DSM – IV (Diagnostic and

Statistical Manual) 1995, dari grup Psikiatri Amerika, keduanya menetapkan

kriteria yang sama untuk autisme anak.

Tabel 1. Kriteria DSM – IV untuk Autisme Masa Kanak

Page 12: AUTISME.doc

Sumber: APA (American Psychiatry Association), 1995, 1995 

Page 13: AUTISME.doc

 

2.4  Karakteristik

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat

diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi

yang teringan hingga terberat sekalipun.

1.      Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.

2.      Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta

menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

3.      Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.

4.      Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.

5.      Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang

tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam

kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa

diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin

terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat

(echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya

menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang

abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-

individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman

bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap

gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human

Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang

harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1.      Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan

2.      Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,

menggenggam) hingga usia 12 bulan

3.      Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan

4.      Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan

Page 14: AUTISME.doc

5.      Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut

menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat

beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi

secara multidisipliner yang dapat

meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi   Wicara , Paedagog dan profesi

lainnya yang memahami persoalan autisme.

2.5Cara Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini

Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:

a.       Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.

b.      Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.

c.       Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat

bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.

Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.

a.       Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang

bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan

sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.

Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan

gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila

anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.

b.      Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda,

disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau

alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas,

serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.

c.       Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat

terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau

berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan

orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan

nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata

Page 15: AUTISME.doc

terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa

juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

2.6  Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :

a.       Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang

tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu

dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi

potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan

percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan

ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan

bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas

intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa,

analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu

untuk bermain sendiri.

b.      Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang

sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.

c.       Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek.

Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak

tercenggang dengan objek mekanik.

d.      Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk

memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi

terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .

e.       Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.

f.       Kontak mata minimal atau tidak ada.

g.      Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan

menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas

terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya

respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya

sensitivitas pada rangsangan lain.

h.      Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada

emosional

Page 16: AUTISME.doc

i.        Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat

berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal,

bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk

berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.

j.        Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara

fungsional.

k.      Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan

mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

Ciri yang khas pada anak yang austik :

a.       Defisit keteraturan verbal.

b.      Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.

c.       Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan

orang lain).

Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:

a.       Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.

b.      Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.

c.       Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak

imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

2.7   Penatalaksanaan Autisme

1.           Terapi Perilaku

Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis

yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los

Angeles (UCLA) (Rudy, 2007). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak

pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai

instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan

tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama

sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.

Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons

Page 17: AUTISME.doc

positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons)

terhadap instruksi yang diberikan (Muhardi, 2009). Dalam suatu penelitian

dikatakan dengan terapi yang intensif  selama 1-2 tahun, anak yang masih muda

ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding

kelompok anak yang tidak memperoleh terapi intensif. Bahkan pada akhir terapi

sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum (Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi

(2003), walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui

terapi sedini mungkin sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil

penatalaksanaan terapi setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.

2.           Terapi Biomedik

Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan

metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang,

vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone, dll

(Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang

dipakai terutama untuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu

berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis

yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak).

Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena

baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin

banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum

membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak

menggantikan terapi‐terapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi

dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan

memperbaiki “dari dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan

lebih cepat terjadi (Muhardi, 2009).

3.           Terapi Integrasi Sensori

Page 18: AUTISME.doc

Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh

rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian

menghasilkan respons yang terarah.

Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensoris berarti

ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala

adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik

halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi , kognitif,

psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga pada anak

dengan diagnosa yang berbeda (Handojo, 2008).

4.           Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan

motorik halus. Gerak‐geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang

pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap

makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat

penting untuk melatih mempergunakan otot ‐otot halusnya dengan benar

(Muhardi, 2009).

5.           Psikoterapi

Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalam

pelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapi

menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang memungkinkan

orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autisme mereka dan lebih mengenal

lagi berbagai kondisi anak secara mendetail guna membantu proses penyembuhan

anak.

6.           Terapi Diet

a.       Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet

tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang

Page 19: AUTISME.doc

mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat

dalam keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley.

Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan

sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar

(mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu

seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009).

Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu

ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita

dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis

opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan

kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas

gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan kasein dapat

menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat,

mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang

serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan

karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung

gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat

dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan

kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan

menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok

dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil

penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian

diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010),

tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten

dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan sifat

agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor

yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai

dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010),

responden penelitian tidak mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan

frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa

dan minat setelah diberikan terapi  gluten dan kasein dan diukur gejala yang

Page 20: AUTISME.doc

timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai

signifikansi statistik

b.      Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari  pewarna, penambah rasa sintetis,

aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan

dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan

yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain.

Beberapa zat pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik.

Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi saraf otak

(Sunartini, 2003).

c.       Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis

pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat

mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan yang harus

dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang

dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat dapat memperberat

kebocoran usus (Budhiman, 2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk

menghindari jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme

karena dapat memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan

makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009).

d.      Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan, disarankan juga

untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme. Suplemen-suplemen

tersebut adalah vitamin C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone

untuk memperbaiki jam biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).

Page 21: AUTISME.doc

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1.      Identitas pasien

2.      data subyektif dan obyektif

a.       Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak

responsif pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah,

pengabaian atau keengganan terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal

masa kanak-kanak, ada kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam

bermain dan persahabatan.

b.      kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya

bahasa atau jika dikembangkan, sering adanya struktur gramatik yang tidak

matang, penggunaan kata-kata yang tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan

untuk menggunakan batasan-batasan abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai

bisa menjadi tidak sesuai atau tidak ada.

c.       Respon-respon kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksi-

reaksi perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang

yang mengganggu pikiran yang tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku

- perilaku yang ritualisitik.

d.      Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin,

kereta api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau

bagian dari tubuh.

e.       Tuntutan yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan

sehari-hari dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk

selalu mengikuti rute yang sama apabila pergi berbelanja).

f.       Kesusahan yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang

sepele dari lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat

biasanya).

g.      Gerakan-gerakan tubuh stereotip (Misalnya : menjetik - jentikan tangan atau

memilin - milin tangan, berputar - putar, gerakan seluruh tubuh yang kompleks).

Page 22: AUTISME.doc

3.      pemeriksaan penunjang :

Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :

         Gangguan pencernaan

         Jamur/parasit / bakteri di dalam usus

         Alergi makanan

         Peptide / morphin dalam urine

         Kelainan genetik

         Kerusakan sel & pembuluh darah otak

         auto imunitas

         Mineral & logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Umum

No

.

Diagnosa

keperawatan

Tujuan dan

kriteria hasil

Intervensi Rasional

1. Kerusakan

Interaksi Sosial

Berhubungan

Dengan Gangguan

konsep diri

Tujuan:

Jangka pendek

Pasien akan

mendemonstrasik

an kepercayaan

pada seorang

pemberi

perawatan

Jangka panjang

Pasien akan

memulai

interaksi-interaksi

sosial (fisik,

verbal,

nonverbal)

dengan pemberi

perawatan saat

       Kaji pola

interaksi

antara pasien

dan orang lain

       Berikan

informasi

tentang

sumber-

sumber

dikomunitas

      

Mengetahui

pola

interaksi

agar dapat

memberika

n intervensi

yang tepat

       Membantu

pasien atau

meningkatk

an interaksi

sosial

setelah

pemulanga

n

Page 23: AUTISME.doc

pulang

Kriteria hasil :

       Menunjukan

partisipasi

bermain ( 4 )

       Menunjukan

keterampilan

interaksi sosial

( 3 )

       Menunjukan

perkembangan

anak(3)

       Menunjukan

keterlibatan

sosial(3)

       Berikan anak

benda-benda

yang dikenal

(misalnya

mainan

kesukaan

       Sampaikan

sikap yang

hangat,dukung

an,dan

kebersediaan

ketika pasien

berusaha untuk

memenuhi

kbutuhan-

kebutuhandasa

rnya.

       Muai dengan

penguatan

yang positif

pada kontak

mata ,perkenal

kan secara

berangsung-

angsur dengan

sentuhan,peluk

       Benda-

benda ini

memberika

n rasa aman

dalam

waktu-

waktu aman

bila anak

merasa

distres

      

Karakteristi

k-

karakteristi

k ini

meningkatk

an

pembentuk

an dan

mempertah

ankan

hubungan

saling

mempercay

ai

       Pasien

autistik

Page 24: AUTISME.doc

an . dapat

merasa

terancam

oleh suatu

rangsangan

yang gencar

pada pasien

tidak

terbiasa

2. Kerusakan komun

kasi verbal

berhubungan

dengan Stimulasi

sensorik yang tidak

sesuai

Tujuan :

Jangka pendek

Pasien akan

membentuk

kepercayaan

dengan seoran

pemberi

perawatan

Jangka panjang

Pasien telah

membuat cara-

cara untuk

mengkomunikasi

kan (secara

verbal dan non

verbal )

kebutuhan-

kebutuhan dan

keinginan –

keinginan kepada

staf dengan

pelaksanaan

       Kaji dan

dokumentasika

n tentang

pasien

menyangkut

komunikasi

       Instruksikan

kepada pasien

dn keluarga

tentang

penggunaan

alat bantu

bicara

       Gunakan

posisi

berhadapan ,be

rtatapan,untuk

menyampaikan

ekspresi-

      

Mengetahui

komunikasi

yang

digunakan

oleh pasien

      

Memudahk

an pasien

untuk

menyampai

kan

komunikasi

nya

       Kontak

mata

mengekspre

sikan minat

Page 25: AUTISME.doc

Kriteria hasil :

       Pasien dapat

menunjukan

kemampuan

komunikasi (3)

ekspresi non

verbal yang

benar

       Berikan

perawatan

dalam sikap

yang rileks

tidak terburu-

buru,dan tidak

menghakimi.

yang murni

terhadap

dan hormat

kepada

seseorang

       Memahami

tindakan

dan

komunikasi

pasien serta

dapat

melakukan

perawatan

secara

efktif

3. gangguan indentita

s pribadi

berhubungan

dengan Stimulasi

sensorik yang tidak

sesuai

Tujuan :

Jangka pendek

Pasien akan

menyebutkan

bagian-bagian

tubuh diri sendiri

dan bagian-

bagian tubuh dari

pemberi

perawatan

Jangka panjang

Pasien akan

membentuk

       Bantu anak

dalam

menyebutkan

bagian-bagian

tubuhnya

       Tingkatkan

kontak fisik

       Kegiatan

ini dapat

meningkatk

an

kewaspadaa

n anak

terhadap

diri sebagai

sesuatu

yang

terpisah

dari orang

lain

Page 26: AUTISME.doc

identitas ego

( ditunjukan oleh

kemampuan 

untuk mengenali

fisik dan emosi

diri terpisah dari

orang lain ) saat

pulang.

Kriteria hasil :

       Menunjukan

identitas dengan

mengungkapkan

penguatan

identitas pribadi

(3)

secara tahap

demi tahap

menggunakan

sntuhan

sampai

kepercayaan

anak telah

terbentuk

       Beritahu

orang tua

tentang

pentingnya

perhatian dan

dukungan

mereka

terhadap

konsep diri

yang positif

pada

perkembangan

anaknya

       Agar tidak

dapat

diinterprest

asikan

sebagai

suatu

ancaman

oleh pasien

       Dapat

meningkatk

an

pencapaian

harga diri

4. Resiko tinggi

terhadap mutilasi

diri berhubungan

dengan reaksi-

reaksi yang histeris

terhadap

perubahan-

perubahan pada

Tujuan:

Sasaran Jangka

Pendek

Pasien tampak

tenang,

mendemonstrasik

an perilaku -

perilaku alternatif

(misalnya :

       Kaji respon

pasien

terhadap

lingkungan

untuk

menentukan

jika ada stresor

yang dapat

menyebabkan

      

Mengurang

i terjadinya

tindakan

mencederai

diri

       Perawat

bertanggun

Page 27: AUTISME.doc

lingkungan memulai interaksi

antara diri dengan

perawat) sebagai

respon terhadap

kecemasan.

Sasaran Jangka

Panjang

Pasien tidak akan

melukai diri

Kriteria Hasil :

Menunjukan

penahanan

mutilasi diri

dengan mencari

bantuan ketika

ingin merasa

mecederai

diri ,tidak

membawa

peralatan untuk

mencederai diri

tindakan

mencederai

diri

       Tindakan

untuk

melindungi

anak apabila

perilaku-

perilaku

mutilatif diri,

seperti

mamukul-

mukul/membe

ntur-benturkan

kepala atau

perilaku-

perilaku

histeris lainnya

menjadi nyata

       Gunakan alat-

alat protektif

untuk

mencegah

tindakan

mencederai

diri

g jawab

untuk

menjamin

keselamata

n pasien

       melindungi

terhadap

tindakan

memukul-

mukul

kepala,

sarung

tangan

untuk

mencegah

menarik-

narik

rambut, dan

pemberian

bantalan

yang sesuai

untuk

melindungi

ekstremitas

terluka

selama

terjadinya

Page 28: AUTISME.doc

       Bekerja pada

dasar satu

perawat untuk

satu anak

       Tawarkan diri

kepada anak

selama waktu-

waktu

meningkatnya

ansietas

gerakan-

gerakan

histeris.

       Untuk

membentuk

kepercayaa

n

       Dapat

menurunka

n

kebutuhan

pada

perilaku-

prilaku

mutilasi diri

dan

memberika

n rasa aman

BAB IV

Page 29: AUTISME.doc

KESIMPULAN

4.1Kesimpulan

Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan

berinteraksi social serta mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi.

Penyebabnya karena antar jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat,

sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat kompleks, tak

lepas dari factor genetika dan lingkungan social.

Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian

tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal

maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.

Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir

berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya

dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.

Autisme masa kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat

kompleks. Prevalensi masih sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala

seringkali dicetuskan oleh penyebab organ biologis. Para Profesional harus

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan supaya dapat bekerja

samamelakukan pengobatan yg tepat dan terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

         Sacharin, r.m.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC: Jakarta

Page 30: AUTISME.doc

         Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.

FKUI : Jakarta.

         Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri.

EGC : Jakarta.

         Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Airlangga : Jakarta.

         Wikipedia.2011.Autisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme. dikunjungi pada

Selasa 1 Maret 2011

         Ircham, Raden.2008.Asuhan Keperawatan Anak

Autisme. http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/ dikunjungi pada Selasa 1

Maret 2011

         Ahira, Anne.2009.Seputar Penyakit

Autisme. http://www.anneahira.com/penyakit-autisme.htm dikunjungi pada Selasa

1 Maret 2011

         http://dc238.4shared.com/doc/ERaVUoWJ/preview.html

         Danuatmaja, B. (2004). Menu Autis. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya

Nusantara.

         Budhiman, M. P. (2002). Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan

Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.

Page 31: AUTISME.doc

         Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia Kedokteran) ,

89-93.

         Judarwanto, W. (2004). Alergi Makanan dan Autisme. Retrieved November 3,

2010, from Putra Kembara: http://putrakembara.org/fajarid.shtml

         Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan Bagaimana

Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

         Handojo, Y. (2008). Autismea. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok

Gramedia.

         Muhardi, A. (2009, November). Autisme. Retrieved November 4, 2010, from

Autis.info: http://www.autis.info/

         Rudy, L. J. (2007). What is the Difference Between ABA, Discrete Trials, dan

"The Lovaas Method?". Retrieved November 5, 2010, from

http://autisme.about.com/od/treatmentoptions/f/WhatisABA.htm

         Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah Dietetik

VI. Yogyakarta.

         Sutadi, R. (2003). Autisme. Konferensi Nasional Autisme Indonesia. Jakarta.