autisme.doc
TRANSCRIPT
AUTISME (Askep Jiwa)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang
ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang
menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan
tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme
berbeda – beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan
tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup
kondisi mental, kemampuan berbahasa serta usia si anak.
Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai
tingkat sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara
menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime
dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan
kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisma dibandingkan
anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak
autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di
seluruh dunia.
Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi
menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis
penyembuhan telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut
bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis.
Tetapi penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian
teknik, diantaranya teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal
maupun non verbal.
Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada
yang melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat
dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan
bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan
untuk mengeliminir berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak
autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan
sindrom yang disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya
tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang
tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam
setiap fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan
perbaikan anak autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan
tingkat perbaikan yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan
terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak
autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan
mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya
penugasan dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami
mengenai konsep dasar dan askep autisme itu sendiri.
1.2 Runusan Masalah
1. Apakah definisi dari autisme ?
2. Ada berapa pengelompokan autisme ?
3. Bagaiman etiologi autisme ?
4. bagaimana karakteristik autisme ?
5. Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
6. bagaimana askep autisme ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep autisme.
2. Tujuan khusus
Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :
Menjelaskan definisi dari autisme
Menjelaskan pengelompokan autisme
Menjelaskan penatalaksanaan autisme
Menjelaskan karakteristik autisme
Menjelaskan etiologi autisme
Menjelaskan askep autisme
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat
masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi
dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat
yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan
kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala.
(Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf
pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga
masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang
menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan social secara normal bahkan
tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
2.2 Pengelompokan Autisme
Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena
kelainan sudah timbul sebelum lahir.
2. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun)
sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi
sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat
gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang
– kejang.
3. Autisme yang Timbul Kemudian
Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola penderita anak autisme,
berikut ini :
o Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana
kira – kira yang perlu ditingkatkan
o Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut
o Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersbut
o Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau mengurangi
penyimpangan perilaku
o Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan
program tersebut
o Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa
berjalan dengan konsisten
o Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan
hasilnya dalam waktu singkat
o Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda
harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk
diubah. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan
baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal
o Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak
autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam
dunianya
o Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu
berekreasi juga dianjurkan oleh para professional. Pengobatan secara psikologi
dan bermain termasuk yang dianjurkan.
2.3 Etiologidan Patofisiologi
Danuatmaja (2003) menyebutkan beberapa hal yang diduga
menjadi faktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara lain:
a. Gangguan Susunan Saraf Pusat
Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa
tempat didalam otak anak autis. Banyak anak autis mengalami pengecilan otak
kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya, dilobus VI-VII banyak terdapat
sel purkinje. Namun, pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang.
Akibatnya, produksi serotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran
informasi antar-otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di
dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu
dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai
adalah dari jenis psikotropika yang bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnya
menggembirakan karena dengan mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaan
terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih mudah untuk diajak bekerja sama.
a. Gangguan Sistem Pencernaan
Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997,
seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang
sangat buruk. Ternyata, ia kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan
sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan yang luar biasa (Budhiman,
2002). Kasus ini memicu penelitian-penelitian selanjutnya pada gangguan
metabolism pencernaan.
b. Peradangan Dinding Usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak
autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada
sebagian besar anak (Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli pencernaan asal Inggris,
menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu
sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles,
mumps, rubella) karena diduga menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan
Wakefield diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.
Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial mengenai vaksinasi
MMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres,
merkuri dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Tetapi semua mungkin
hanya merupakan pemicu saja, yang bias terjadi pada anak yang sudah
mempunyai riwayat genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori yang
berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan (Sari, 2009).
a. Faktor genetika.
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru
muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bias saja autisme tidak muncul, meski
anak membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu lain.Hasil penelitian
terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang
berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan
sekitar 36 – 89 %, sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian
terhadap keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang
berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal (Masra,
2002)
b. Keracunan logam berat.
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan
kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan
sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya
menemukan logam berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa
(Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie
Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan
anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan
membaiknya gejala autis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri
dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)
c. Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme dipengaruhi dan diperberat
oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Dari penelitian yang
pernah dilakukan, dilaporkan bahwa autisme berkaitan erat dengan alergi
(Judarwanto, 2004).
Penelitian lain menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa
gejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan
dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak
autisme yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi.
Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila
manifestasi alergi muncul (Judarwanto, 2004).
a. Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai
makanan, dan dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan
terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung
amino phenolic itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, apel.
Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis
mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat
sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolic. Komponen amino phenolic merupakan bahan baku pembentukan
neurotransmiter; jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi
akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf.
b. Teori infeksi kandida.Ditemukan beberapa Strain candida di saluran pencernaan
dalam jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan
menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporan menyebutkan bahwa
infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena
pada makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini
dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan
adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida albicans dengan gejala-gejala
menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan
penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997). Tetapi Dr Bernard Rimland,
seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang
hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.
c. Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein. Teori ini
mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak
sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari
kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek
morfin di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakan pasien autis
ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke
dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan
berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan
mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan
kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak.
Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk
memperoleh kesembuhan pasien.
Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakai dalam
pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan
mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis
mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis
yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan
sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi
perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan
kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada
kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk.
Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tapi
cukup bisa diterima sampai sekarang.
Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah pentingnya dari
farmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah alergi makanan pada anak
dengan gangguan spektrum autisme harus dilakukan secara holistik.
1. Epidemiologi
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh
tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang
lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak
atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru (Dwinoto, 2008).Di
Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui persis
jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang.
Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuan akan
menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang
oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai dari beberapa
Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang
autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan perempuan; anak laki-laki lebih
rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Sari,
2009).Anak laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai efek yang
bertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron
menghambat kerja RORA (retinoic acid-related orphan receptor-alpha) yang
berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkan kinerja
RORA (Darmawan, 2009).
2. Gejala
Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak semakin jelas saat
anak mencapai usia 3 tahun, yaitu:
a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terhambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti,
echolalia, dan ssering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
b. Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat
jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.
c. Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang berlebih
(excesive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif, repetitive,
namun dilain waktu terkesan pandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang
ada kelekatan pada benda tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yang
dibawanya kemana-mana.
d. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati dan
toleransi. Kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan
sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan
atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak
menyukai rabaan dan pelukan, dan seterusnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap anak
autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak (Wardhani,
2008)
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)
Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus ada dua gejala dari gejala – gejala dibawah ini:
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
Tak bias bermain dengan teman sebaya. Tak ada empati Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal
Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam prilaku, minat dan kegiatan, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:a). Interaksi sosialb). bicara dan berbahasac). cara bermain yang monoton dan kurang variatif
Bukan disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak
Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi dari bagian otak,
maka timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD – 10 1993 (International
Classification of Diseases) dari WHO maupun DSM – IV (Diagnostic and
Statistical Manual) 1995, dari grup Psikiatri Amerika, keduanya menetapkan
kriteria yang sama untuk autisme anak.
Tabel 1. Kriteria DSM – IV untuk Autisme Masa Kanak
Sumber: APA (American Psychiatry Association), 1995, 1995
2.4 Karakteristik
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat
diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi
yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang
tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam
kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa
diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin
terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat
(echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya
menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang
abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-
individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman
bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap
gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang
harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat
beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi
secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara , Paedagog dan profesi
lainnya yang memahami persoalan autisme.
2.5Cara Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini
Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
a. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
b. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat
bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang
bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan
sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.
Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan
gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila
anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda,
disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau
alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas,
serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau
berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan
orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan
nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata
terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa
juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang
tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu
dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi
potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan
percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan
ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan
bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas
intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa,
analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu
untuk bermain sendiri.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang
sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek.
Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak
tercenggang dengan objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi
terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f. Kontak mata minimal atau tidak ada.
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan
menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas
terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya
respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya
sensitivitas pada rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat
berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal,
bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk
berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara
fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan
mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
a. Defisit keteraturan verbal.
b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan
orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak
imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2.7 Penatalaksanaan Autisme
1. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis
yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los
Angeles (UCLA) (Rudy, 2007). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak
pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai
instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan
tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama
sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons
positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons)
terhadap instruksi yang diberikan (Muhardi, 2009). Dalam suatu penelitian
dikatakan dengan terapi yang intensif selama 1-2 tahun, anak yang masih muda
ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding
kelompok anak yang tidak memperoleh terapi intensif. Bahkan pada akhir terapi
sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum (Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi
(2003), walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui
terapi sedini mungkin sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil
penatalaksanaan terapi setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.
2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan
metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang,
vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone, dll
(Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang
dipakai terutama untuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu
berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis
yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak).
Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena
baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin
banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum
membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak
menggantikan terapi‐terapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi
dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan
memperbaiki “dari dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan
lebih cepat terjadi (Muhardi, 2009).
3. Terapi Integrasi Sensori
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh
rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian
menghasilkan respons yang terarah.
Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensoris berarti
ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala
adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik
halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi , kognitif,
psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga pada anak
dengan diagnosa yang berbeda (Handojo, 2008).
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak‐geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot ‐otot halusnya dengan benar
(Muhardi, 2009).
5. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalam
pelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapi
menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang memungkinkan
orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autisme mereka dan lebih mengenal
lagi berbagai kondisi anak secara mendetail guna membantu proses penyembuhan
anak.
6. Terapi Diet
a. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet
tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang
mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat
dalam keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley.
Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan
sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar
(mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu
seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu
ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita
dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis
opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan
kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas
gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan kasein dapat
menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang
serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung
gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat
dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan
kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok
dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil
penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian
diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010),
tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten
dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan sifat
agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor
yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai
dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010),
responden penelitian tidak mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan
frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa
dan minat setelah diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang
timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai
signifikansi statistik
b. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis,
aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan
dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan
yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain.
Beberapa zat pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi saraf otak
(Sunartini, 2003).
c. Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis
pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat
mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan yang harus
dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang
dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat dapat memperberat
kebocoran usus (Budhiman, 2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk
menghindari jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme
karena dapat memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan
makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009).
d. Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan, disarankan juga
untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme. Suplemen-suplemen
tersebut adalah vitamin C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone
untuk memperbaiki jam biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
2. data subyektif dan obyektif
a. Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak
responsif pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah,
pengabaian atau keengganan terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal
masa kanak-kanak, ada kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam
bermain dan persahabatan.
b. kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya
bahasa atau jika dikembangkan, sering adanya struktur gramatik yang tidak
matang, penggunaan kata-kata yang tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan
untuk menggunakan batasan-batasan abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai
bisa menjadi tidak sesuai atau tidak ada.
c. Respon-respon kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksi-
reaksi perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang
yang mengganggu pikiran yang tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku
- perilaku yang ritualisitik.
d. Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin,
kereta api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau
bagian dari tubuh.
e. Tuntutan yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan
sehari-hari dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk
selalu mengikuti rute yang sama apabila pergi berbelanja).
f. Kesusahan yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang
sepele dari lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat
biasanya).
g. Gerakan-gerakan tubuh stereotip (Misalnya : menjetik - jentikan tangan atau
memilin - milin tangan, berputar - putar, gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
3. pemeriksaan penunjang :
Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :
Gangguan pencernaan
Jamur/parasit / bakteri di dalam usus
Alergi makanan
Peptide / morphin dalam urine
Kelainan genetik
Kerusakan sel & pembuluh darah otak
auto imunitas
Mineral & logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Umum
No
.
Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan
kriteria hasil
Intervensi Rasional
1. Kerusakan
Interaksi Sosial
Berhubungan
Dengan Gangguan
konsep diri
Tujuan:
Jangka pendek
Pasien akan
mendemonstrasik
an kepercayaan
pada seorang
pemberi
perawatan
Jangka panjang
Pasien akan
memulai
interaksi-interaksi
sosial (fisik,
verbal,
nonverbal)
dengan pemberi
perawatan saat
Kaji pola
interaksi
antara pasien
dan orang lain
Berikan
informasi
tentang
sumber-
sumber
dikomunitas
Mengetahui
pola
interaksi
agar dapat
memberika
n intervensi
yang tepat
Membantu
pasien atau
meningkatk
an interaksi
sosial
setelah
pemulanga
n
pulang
Kriteria hasil :
Menunjukan
partisipasi
bermain ( 4 )
Menunjukan
keterampilan
interaksi sosial
( 3 )
Menunjukan
perkembangan
anak(3)
Menunjukan
keterlibatan
sosial(3)
Berikan anak
benda-benda
yang dikenal
(misalnya
mainan
kesukaan
Sampaikan
sikap yang
hangat,dukung
an,dan
kebersediaan
ketika pasien
berusaha untuk
memenuhi
kbutuhan-
kebutuhandasa
rnya.
Muai dengan
penguatan
yang positif
pada kontak
mata ,perkenal
kan secara
berangsung-
angsur dengan
sentuhan,peluk
Benda-
benda ini
memberika
n rasa aman
dalam
waktu-
waktu aman
bila anak
merasa
distres
Karakteristi
k-
karakteristi
k ini
meningkatk
an
pembentuk
an dan
mempertah
ankan
hubungan
saling
mempercay
ai
Pasien
autistik
an . dapat
merasa
terancam
oleh suatu
rangsangan
yang gencar
pada pasien
tidak
terbiasa
2. Kerusakan komun
kasi verbal
berhubungan
dengan Stimulasi
sensorik yang tidak
sesuai
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan
membentuk
kepercayaan
dengan seoran
pemberi
perawatan
Jangka panjang
Pasien telah
membuat cara-
cara untuk
mengkomunikasi
kan (secara
verbal dan non
verbal )
kebutuhan-
kebutuhan dan
keinginan –
keinginan kepada
staf dengan
pelaksanaan
Kaji dan
dokumentasika
n tentang
pasien
menyangkut
komunikasi
Instruksikan
kepada pasien
dn keluarga
tentang
penggunaan
alat bantu
bicara
Gunakan
posisi
berhadapan ,be
rtatapan,untuk
menyampaikan
ekspresi-
Mengetahui
komunikasi
yang
digunakan
oleh pasien
Memudahk
an pasien
untuk
menyampai
kan
komunikasi
nya
Kontak
mata
mengekspre
sikan minat
Kriteria hasil :
Pasien dapat
menunjukan
kemampuan
komunikasi (3)
ekspresi non
verbal yang
benar
Berikan
perawatan
dalam sikap
yang rileks
tidak terburu-
buru,dan tidak
menghakimi.
yang murni
terhadap
dan hormat
kepada
seseorang
Memahami
tindakan
dan
komunikasi
pasien serta
dapat
melakukan
perawatan
secara
efktif
3. gangguan indentita
s pribadi
berhubungan
dengan Stimulasi
sensorik yang tidak
sesuai
Tujuan :
Jangka pendek
Pasien akan
menyebutkan
bagian-bagian
tubuh diri sendiri
dan bagian-
bagian tubuh dari
pemberi
perawatan
Jangka panjang
Pasien akan
membentuk
Bantu anak
dalam
menyebutkan
bagian-bagian
tubuhnya
Tingkatkan
kontak fisik
Kegiatan
ini dapat
meningkatk
an
kewaspadaa
n anak
terhadap
diri sebagai
sesuatu
yang
terpisah
dari orang
lain
identitas ego
( ditunjukan oleh
kemampuan
untuk mengenali
fisik dan emosi
diri terpisah dari
orang lain ) saat
pulang.
Kriteria hasil :
Menunjukan
identitas dengan
mengungkapkan
penguatan
identitas pribadi
(3)
secara tahap
demi tahap
menggunakan
sntuhan
sampai
kepercayaan
anak telah
terbentuk
Beritahu
orang tua
tentang
pentingnya
perhatian dan
dukungan
mereka
terhadap
konsep diri
yang positif
pada
perkembangan
anaknya
Agar tidak
dapat
diinterprest
asikan
sebagai
suatu
ancaman
oleh pasien
Dapat
meningkatk
an
pencapaian
harga diri
4. Resiko tinggi
terhadap mutilasi
diri berhubungan
dengan reaksi-
reaksi yang histeris
terhadap
perubahan-
perubahan pada
Tujuan:
Sasaran Jangka
Pendek
Pasien tampak
tenang,
mendemonstrasik
an perilaku -
perilaku alternatif
(misalnya :
Kaji respon
pasien
terhadap
lingkungan
untuk
menentukan
jika ada stresor
yang dapat
menyebabkan
Mengurang
i terjadinya
tindakan
mencederai
diri
Perawat
bertanggun
lingkungan memulai interaksi
antara diri dengan
perawat) sebagai
respon terhadap
kecemasan.
Sasaran Jangka
Panjang
Pasien tidak akan
melukai diri
Kriteria Hasil :
Menunjukan
penahanan
mutilasi diri
dengan mencari
bantuan ketika
ingin merasa
mecederai
diri ,tidak
membawa
peralatan untuk
mencederai diri
tindakan
mencederai
diri
Tindakan
untuk
melindungi
anak apabila
perilaku-
perilaku
mutilatif diri,
seperti
mamukul-
mukul/membe
ntur-benturkan
kepala atau
perilaku-
perilaku
histeris lainnya
menjadi nyata
Gunakan alat-
alat protektif
untuk
mencegah
tindakan
mencederai
diri
g jawab
untuk
menjamin
keselamata
n pasien
melindungi
terhadap
tindakan
memukul-
mukul
kepala,
sarung
tangan
untuk
mencegah
menarik-
narik
rambut, dan
pemberian
bantalan
yang sesuai
untuk
melindungi
ekstremitas
terluka
selama
terjadinya
Bekerja pada
dasar satu
perawat untuk
satu anak
Tawarkan diri
kepada anak
selama waktu-
waktu
meningkatnya
ansietas
gerakan-
gerakan
histeris.
Untuk
membentuk
kepercayaa
n
Dapat
menurunka
n
kebutuhan
pada
perilaku-
prilaku
mutilasi diri
dan
memberika
n rasa aman
BAB IV
KESIMPULAN
4.1Kesimpulan
Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan
berinteraksi social serta mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi.
Penyebabnya karena antar jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat,
sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat kompleks, tak
lepas dari factor genetika dan lingkungan social.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian
tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal
maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.
Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Autisme masa kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat
kompleks. Prevalensi masih sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala
seringkali dicetuskan oleh penyebab organ biologis. Para Profesional harus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan supaya dapat bekerja
samamelakukan pengobatan yg tepat dan terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Sacharin, r.m.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC: Jakarta
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.
FKUI : Jakarta.
Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri.
EGC : Jakarta.
Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Airlangga : Jakarta.
Wikipedia.2011.Autisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme. dikunjungi pada
Selasa 1 Maret 2011
Ircham, Raden.2008.Asuhan Keperawatan Anak
Autisme. http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/ dikunjungi pada Selasa 1
Maret 2011
Ahira, Anne.2009.Seputar Penyakit
Autisme. http://www.anneahira.com/penyakit-autisme.htm dikunjungi pada Selasa
1 Maret 2011
http://dc238.4shared.com/doc/ERaVUoWJ/preview.html
Danuatmaja, B. (2004). Menu Autis. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara.
Budhiman, M. P. (2002). Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.
Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia Kedokteran) ,
89-93.
Judarwanto, W. (2004). Alergi Makanan dan Autisme. Retrieved November 3,
2010, from Putra Kembara: http://putrakembara.org/fajarid.shtml
Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan Bagaimana
Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Handojo, Y. (2008). Autismea. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia.
Muhardi, A. (2009, November). Autisme. Retrieved November 4, 2010, from
Autis.info: http://www.autis.info/
Rudy, L. J. (2007). What is the Difference Between ABA, Discrete Trials, dan
"The Lovaas Method?". Retrieved November 5, 2010, from
http://autisme.about.com/od/treatmentoptions/f/WhatisABA.htm
Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah Dietetik
VI. Yogyakarta.
Sutadi, R. (2003). Autisme. Konferensi Nasional Autisme Indonesia. Jakarta.