bab 1

29
BAB 1 PENDAHULUAN Autisme adalah perkembangan kekacauan otak dan gangguan pervasif yang di tandai dengan terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi social, gangguan dalam perasaan sensoris, serta tingkah laku yang berulang – ulang. Gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri: berbicara, tertawa, menangis dan marah – marah sendiri. Gejala autisme dapat terdeteksi pada usia sebelum 3 tahun. (Huzaemah, 2010) Berbagai pendekatan, metode, teknik, dan treatmen dikembangkan untuk membantu anak – anak penyandang autisme dari mulai terapi modifikasi tingkah laku, wicara, makanan makanan yang dikonsumsi, farmakoterapi, cognitive, bahkan sampai pada masalah sensori yang dialami oleh penyandang auitsme. Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang melibatkan peran serta orang tua. Ada terapi yang memerlukan bantuan ahli atau terapis dan ada juga yang dilakukan sendiri oleh orang tua di rumah. Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autis. Termasuk diantaranya penerapan makanan bagi anak autisme. Anak autisme mengalami Semakin dini

Upload: putridewi22

Post on 17-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

autis

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

Autisme adalah perkembangan kekacauan otak dan gangguan pervasif yang di tandai dengan terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi social, gangguan dalam perasaan sensoris, serta tingkah laku yang berulang ulang. Gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri: berbicara, tertawa, menangis dan marah marah sendiri. Gejala autisme dapat terdeteksi pada usia sebelum 3 tahun. (Huzaemah, 2010) Berbagai pendekatan, metode, teknik, dan treatmen dikembangkan untuk membantu anak anak penyandang autisme dari mulai terapi modifikasi tingkah laku, wicara, makanan makanan yang dikonsumsi, farmakoterapi, cognitive, bahkan sampai pada masalah sensori yang dialami oleh penyandang auitsme. Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang melibatkan peran serta orang tua. Ada terapi yang memerlukan bantuan ahli atau terapis dan ada juga yang dilakukan sendiri oleh orang tua di rumah. Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autis. Termasuk diantaranya penerapan makanan bagi anak autisme. Anak autisme mengalami Semakin dini orang tua mengetahui kelainan perkembangan anaknya, maka akan semakin dini pula peran orang tua berusaha mendapatkan tindakan yang tepat untuk kesembuhan anaknya (Suryana,2005).

BAB II. ISI

A. PENGERTIAN ANAK AUTIS.

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu aut yang berarti diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998). Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka. Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis infantil gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsifungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis jugs dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning). Dalam suatu analisis microsociological tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan yang lain (Durig, 1996; dalam Trevarthen, 1998), orang autis memiliki kekurangan pada cretive induction atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus (minor) menuju kesimpulan umum, sementara deduksi, yaitu bergerak pada kesimpulan khusus dari premis-premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis-premis umum padakesimpulan khusus, kuat. (Trevarthen, 1998).

B. PRILAKU ANAK AUTIS1. Prilaku SosialPerilaku sosial memungkinkan seorang individu untuk berhubungan dan berinteraksi dalam seting sosial. Tinjauan tentang kesulitan (deficits) sosial pada anakanak autis baru-baru ini muncul (Hawlin, 1986 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Anak-anak autis yang nonverbal telah diketahui bahwa mereka mengabaikan (ignore) orang lain, memperlihatkan masalah umum dalam bergaul dengan orang lain secara sosial. Ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi emosi-emosi yang ekstrim, seperti menjerit, menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya . Anak-anak autis tidak menyukai perubahan sosial atau gangguan dalam rutinitas sehari-hari dan lebih suka apabila dunia mereka tetap sama. Apabila terjadi perubahan mereka akan lebih mudah marah, contoh: mereka akan marah apabila mengambil rute pulang dari sekolah yang berbeda dari yang biasa dilewati, atau posisi furnitur di dalam kelas berubah dari semula. Anak-anak autis sering memperlihatkan perilaku yang merangsang dirinya sendiri (self-stimulating) seperti mengepak-ngepakkan tangan (hand flapping) mengayun-ayun tangan ke depan dan kebelakang, membuat suara-suara yang tetap (ngoceh), atau menyakiti diri sendiri (self-inflicting injuries) seperti menggaruk-garuk, kadang sampai terluka, menusuk-nusuk. Perilaku merangsang diri sendiri (self-stimulating) lebih sering terjadi pada waktu yang berbeda dari kehidupan anak atau selama situasi sosial berbeda (Iwata et all, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Perilaku ini lebih sering lagi terjadi pada saat anak autis ditinggal sendiri atau sedang sendirian daripada waktu dia sibuk dengan tugas-tugas yang harus dikerjakannya, dan berkurang setelah anak belajar untuk berkomunikasi. (Carr & Durrand, 1985; dalam Kathleen Ann Quill, 1995).2. Prilaku KomunikasiBahasa termasuk pembentukan kata-kata, belajar aturan-aturan untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat dan mengetahui maksud atau suatu alasan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang abtrak. Pemahaman bahasa memerlukan fungsi pendengaran yang baik dan persepsi pendengaran yang baik pula. Bahasa pragmatis yang merupakan penerjemahan (interpreting) dan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, secara pisik (physical) dan konteks linguistik. Pragmatis dan komunikasi berhubungan erat, untuk menjadi seorang komunikator yang berhasil seorang anak harus memiliki pengetahuan tentang bahasa yang dipergunakannya sama baiknya dengan pemahaman tentang manusia dan dimensi dunia yang bukan manusia. Komunikasi lebih daripada kemampuan untuk bicara atau kemampuan untuk merangkai kata-kata dalam urutan yang tepat (Wilson, 1987 Kathleen Ann Quill, 1995). Komunikasi adalah kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan oleh individu, menjelaskan tentang suatu kejadian kepada orang lain, untuk menggambarkan tindakan dan untuk mengakui keberadaan atau kehadiran orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan nonverbal. Komunikasi dapat dijalin melalui gerakan tubuh, melalui tanda isarat atau dengan menunjukkan gambar atau kata-kata. Secara tidak langsung komunikasi menyatakan suatu situasi sosial antara dua individu atau lebih. Dalam komunikasi orang yang membawa pesan disebut pemrakarsa (initiator) sedangkan orang yang mendengarkan pesan disebut penerima pesan. Pesan bergantian antara pemrakarsa dan penerima pesan. Untuk memenuhi kemampuan (competent) dalam keterampilan pragmatis anak harus mengetahui dan memahami kedua peran tersebut, sebagai premrakarsa dan sebagai penerima pesan. (Watson, 1987, dalamKathleen Ann Quill, 1995). Banyak anak autis yang memiliki kesulitan dalam pragmatis (Baron, Cohen, 1988 dalam Kathleen, 1995). Untuk peran pemrakarsa dalam berkomunikasi, anak autistik memiliki kesulitan dalam memulai percakapan atau pembicaraan (Feidstein, Konstantereas, Oxman, & Webster, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Ketika berbicara, mereka cenderung meminta orang dewasa untuk mengambilkan mainan, makanan atau minuman, mereka jarang menyampaikan tindakan yang komunikatif seperti menjawab orang lain, mengomentari sesuatu, mengungkapan perasaan atau menggunakan etika sosial seperti pengucapan terimakasih, atau meminta maaf. Anak-anak autis yang non verbal sering menjadi penerima informasi dan merespon pada orang tua dan guru mereka meminta dengan perlakuan (deal) yang konsisten. Contoh orang dewasa bertanya:Kamu mau makan apa?. Dan anak mungkin menjawab dengan memperlihatkan gambar kue atau dengan menggambar kue atau bahkan mungkin dengan kata-kata. Ini sutu peningkatan komunikasi karena anak mengakui orang dewasa sebagai teman dalam meningkatkan komunikasi dan memahami permintaan guru yang ditujukan padanya. Dalam permintaan ini anak sebagai penerima dan penjawab permintaan itu. (Kathleen Ann Quill, 1995). Ada beberapa perilaku yang diperlukan dan harus dimiliki oleh seorang anak autis yang nonverbal agar menjadi seorang komunikator yang berhasil yaitu pemahaman sebab akibat, keinginan berkomunikasi, dengan siapa dia berkomunikasi, ada sesuatu untuk dikomunikasikan dan makna dari komunikasi. Di dalam komunikasi apabila seorang anak tidak memahami sebab, dia akan mengalami kesulitan dalam meminta seseorang untuk melakukan sesuatu atau membantunya untuk mengambil benda di tempat penyimpanan (rak) yang paling tinggi. Tanpa penalaran sebab akibat anak tidak dapat meminta suatu tindakan atau benda dari orang lain. Memiliki keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain merupakan tugas yang sulit untuk anak-anak yang nonverbal, selama satu dari tantangan utama mereka adalah ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam cara yang diharapkan. Mereka tidak mengakui atau memperlihatkan ketertarikan pada orang lain. Alasanutama dari pernyataan ini karena miskinnya hubungan sebab akibat yang telah dibicarakan di atas. Jika seorang anak tidak memahami bahwa seseorang dapat membantunya atau anak tidak memahami bahwa tindakan akan mengakibatkannya mendapatkan sesuatu. Sering kali guru berperan sebagai pemrakarsa dalam meningkatkan komunikasi dengan anak autis dan anak biasanya jadi responder. Anak harus belajar menunggu dengan sabar supaya guru menunjukkannya dan dia akan menerima yang dinginkannya. Anak perlu kesempatan untuk meminta benda dengan bebas atau mengawali percakapan. Jika anak autis tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan dia akan tetap tidak berkomunikasi (noncomunicatif). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prilaku komunikasi anak autistik yang menghambat interaksinya dengan orang lain, dapat ditunjukkan dengan perilaku yang nampak seperti: mengabaikan orang lain (tidak merespon apabila diajak berbicara), tidak dapat mengekspresikan emosi secara tepat (tidak tertawa melihat yang lucu, tidak memperlihatkan perasaan senang, takut, atau sakit, dalam mimik mukanya), terobsesi dengan kesamaan (kaku), tidak mampu mengungkapkan keinginannya secara verbal atau mengkompensasikannya dalam gerakan, sulit untuk memulai percakapan atau pembicaraan, jarang melakukan tindakan yang komunikatif, jarang menggunakan kata-kata yang menunjukkan etika sosial, atau mengungkapkan perasaan atau mengomentari sesuatu, echolalia (membeo), nada bicara monoton, salah menggunakan kata ganti orang.

C. EPIDEMIOLOGIJumlah penderita autisme terus meningkat, di Amerika telah dinyatakan sebagai national-alarming, karena peningkatan jumlah penderita dari tahun ke tahun cukup mengkhawatirkan. Prevalensi penderita autisme secara umum, terus menunjukkan peningkatan, pada 1987 ditemukan pada 1:5000 penduduk, sepuluh tahun berikutnya perbandingannya menjadi 1:500, kemudian menjadi 1:250 di tahun 2000. Pada 2001 Center for Disease Control and Prevention autisme dijumpai pada 2-6 per 1.000 orang atau 1 di antara 150 penduduk, sedangkan pada tahun-tahun berikutnya diperkirakan peningkatannya mencapai 10-17% per tahun, yang berarti akan terdapat 4 juta penyandang autisme di Amerika pada dekade berikutnya.Berdasarkan data di Poliklinik Jiwa Anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada 1989 tercatat hanya 2 pasien autisme. Pada 2000, meningkat menjadi 103 anak. Di RS Pondok Indah Jakarta Selatan hampir setiap hari datang seorang pasien autisme baru. Di RSUD Soetomo Surabaya, pada 1997 jumlahnya meningkat drastis sampai 20 anak per tahun, dari hanya 2-3 orang anak di tahun-tahun sebelumnya. Data yang diungkapkan oleh ahli autisme di Indonesia, pada tahun 80-an pasien autis masih sangat jarang tapi memasuki tahun 90-an kasus autisme mulai muncul 1-2 pasien baru setiap harinya dan terus meningkat jumlahnya hingga 4-5 pasien baru di tahun 2000.Pusat Pengamatan dan Pengkajian Tumbuh Kembang Anak (PPPTKA/P3TKA) Yogyakarta, sejak 1982 hingga 1990, anak yang terdiagnosis autisme berjumlah 40 anak. Data tersebut mengungkapkan 87,5 % merupakan anak laki-laki, serta 50% merupakan anak pertama. Data pada Yayasan Autisme Semarang (YAS), jumlah penyandang autisme yang telah terdeteksi sampai Juni 2003 mencapai 165 anak dengan rentang usia 2-17 tahun. Jumlah tersebut belum dapat disebut angka pasti karena jumlah pengidap autisme yang tidak terdeteksi bisa jadi lebih banyak lagi, akibat ketidaktahuan masyarakat mengenai gangguan perkembangan ini serta biaya diagnosa autisme yang memang relatif mahal.

D. FAKTOR PENYEBAB 1. Faktor GenetikLebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan diujung akhir lengan panjang kromosom X 4. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr. Sultana MH Faradz, Ph.D, 2003)2. Ganguan pada Sistem SyarafBanyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati. (Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K), 2003). Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.3. Ketidakseimbangan KimiawiBeberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telahdilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003). Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi4. Kemungkinan LainInfeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak. Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita autisme.

E. CIRI ATAU KARAKTERISTIK ANAK AUTISAnak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang:1. Komunikasi:Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna,Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lainBicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasiSenang meniru atau membeo (echolalia)Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinyaSebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasaSenang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu

2. Interaksi sosial:Penyandang autistik lebih suka menyendiriTidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapanTidak tertarik untuk bermain bersama temanBila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh

3. Gangguan sensoris:sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipelukbila mendengar suara keras langsung menutup telingasenang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-bendatidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut4. Pola bermain:Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,Tidak suka bermain dengan anak sebayanya,tidak kreatif, tidak imajinatiftidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di putar-putarsenang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda,dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana

5. Perilaku:Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulangTidak suka pada perubahanDapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong

6. Emosi:sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasantemper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannyakadang suka menyerang dan merusakKadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiritidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

E. HAMBATAN-HAMBATAN ANAK AUTISAda beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistic memiliki hambatan dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar lingkungannya, seperti anak-anak autis sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan bagi mereka yang keterlekatannya terhadap orang tua tinggi, anak akan merasa cemas apabila ditinggalkan oleh orang tuanya. Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran orang lain yang ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan menggunakan kata kamu untuk diri sendiri. Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi mereka menarik tangan orang tuanya untuk mengambil obyek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti: menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan dan lain sebagainya. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus menerus mengulang perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi keteraturan yang berlebihan. Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi masalah pada anak autis yaitu:a. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world)1). Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds). Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun jika ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.2). Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi (scolded). Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami keterbatasan dalam memahami pembicaraan.3). Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking). Beberpa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.4). Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation and voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness) suara.5). Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in understanding things that are seen). Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.6). Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding gesturs). Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi; seperti gerakan isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.7). Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and smell). Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.8). Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement). Ada gerakangerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anakanak yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan menyeringai.9). Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled movements). Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan seimbang seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki bebrapa kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalamberjalan dan berlari atau sebaliknya.b. Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and emotional problems).1. Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal). Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang berbicara padanya, ekspresi mukanya kosong.2. Menentang perubahan (Resistance to change). Banyak anak autis yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang panjang.3. Ketakutan khusus (Special fears). Anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan konsekuensinya.4. Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing behaviour). Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas dan secara umum tidak matang, mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat diterima secara sosial. anak-anak autis tidak malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak dengan keras di senjang jalan.5. Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play). Banyak anak autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam. Mereka tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat bersama-sama dalam permainan denga anak-anak yang lain.

F. DIAGNOSISDiagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV). Kategori diagnostik autisme terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun seiring dengan kemajuan riset mengenai autisme. Diagnosis autisme dibuat jika ditemukan sejumlah kriteria yang terdaftar didalam DSM-IV: Harus ada sedikitnya 6 atau lebih gejala dari a., b., dan c., dengan paling tidak 2 gejala dari a., dan masing-masing 1 gejala dari tiap b. dan c.: 1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, yang dimanifestasikan melalui paling tidak 2 dari gejala-gejala dibawah ini: (a) Gangguan yang berarti dalam tingkah laku nonverbal, seperti pandangan/tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak anggota badan yang mengatur interaksi sosial. (b) Kegagalan untuk membangun hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangan mentalnya. (c) Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat, dan hasil/prestasi dengan orang lain (misalnya: jarang memperlihatkan, membawa, atau menunjukkan benda/hal yang ia minati). (d) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi, yang dimanifestasikan melalui paling tidak 1 dari gejala-gejala dibawah ini: (a) Mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak ada perkembangan bahasa lisan (tidak ada upaya untuk menggantinya dengan cara berkomunikasi yang lain seperti gerak badan atau mimik wajah). (b) Kemampuan bicara sangat individual, ditandai dengan gangguan dalam kemampuan untuk memulai dan melakukan pembicaraan dengan orang lain. (c) Penggunaan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. (d) Kurang variasi dan spontanitas dalam permainan berpura-pura atau peniruan sosial yang sesuai dengan perkembangan mentalnya.3. Perilaku, minat dan aktifitas yang terbatas dan berulang-ulang, yang dimanifestasikan oleh paling tidak 1 dari gejala-gejala di bawah ini: (a) Keasyikan yang tidak wajar dalam hal fokus dan intensitas terhadap suatu pola minat yang terbatas dan berulang-ulang. (b) Terpaku terhadap rutinitas atau ritual yang tak ada gunanya. (c) Perilaku motorik yang terbatas dan berulang-ulang (misalnya: mengepakkan atau memutar tangan dan jari, atau menggerak-gerakkan seluruh anggota badan). (d) Keasyikan yang berlebihan terhadap bagian tertentu dari objek/benda.Sebelum usia 3 tahun terjadi keterlambatan atau abnormalitas fungsi yang tampak pada paling tidak 1 dari bidang-bidang berikut ini: a. interaksi sosial, b. bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau c. permainan yang bersifat simbolis atau imajinatif.

Gangguan tidak disebabkan oleh Sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak. G. TERAPI AUTISME DINI Sebelum/sembari mengikuti pendidikan formal (sekolah). Anak autistik dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak antara lain:1. Terapi Wicara: Untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik.2. Terapi Okupasi : untuk melatih motorik halus anak.3. Terapi Bermain : untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.4. Terapi medikamentosa/obat-obatan (drug therapy) : untuk menenangkan anak melalui pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.5. Terapi melalui makan (diet therapy) : untuk mencegah/mengurangi tingkat gangguan autisme.6. Auditory Integration Therapy : untuk melatih kepekaan pendengaran anak lebih sempurna7. Biomedical treatment/therapy : untuk perbaikan dan kebugaran kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari keracunan logam berat, efek casomorphine dan gliadorphine, allergen, dsb)8. Hydro Therapy : membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak melalui aktifitas di air.9. Terapi Musik : untuk melatih auditori anak, menekan emosi, melatih kontak mata dan konsentrasi.

H.PENDEKATAN TERAPI AUTISMEAutisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan (not curable) tetapi masih dapat diterapi (treatable). Menyembuhkan berarti memulihkan kesehatan, kondisi semula, normalitas. Dari segi medis, tidak ada obat untuk menyembuhkan gangguan fungsi otak yang menyebabkan autisme. Beberapa simptom autisme berkurang seiring dengan pertambahan usia anak, bahkan ada yang hilang sama sekali. Dengan intervensi yang tepat, perilaku-perilaku yang tak diharapkan dari pengidap autisme dapat dirubah. Namun, sebagian besar individu autistik dalam hidupnya akan tetap menampakkan gejala-gejala autisme pada tingkat tertentu. Sebenarnya pada penanganan yang tepat, dini, intensif dan optimal, penyandang autisme bisa normal. Mereka masuk ke dalam mainstream yang berarti bisa sekolah di sekolah biasa, dapat berkembang dan mandiri di masyarakat, serta tidak tampak gejala sisa. Kemungkinan normal bagi pengidap autisme tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.1. Terapi dengan Pendekatan PsikodinamisPendekatan terapi berorientasi psikodinamis terhadap individu autistik berdasarkan asumsi bahwa penyebab autisme adalah adanya penolakan dan sikap orang tua yang dingin dalam mengasuh anak. Terapi Bettelheim dilakukan dengan menjauhkan anak dari kediaman dan pengawasan orang tua. Kini terapi dengan pendekatan psikodinamis tidak begitu lazim digunakan karena asumsi dasar dari pendekatan ini telah disangkal oleh bukti-bukti yang menyatakan bahwa autisme bukanlah akibat salah asuhan melainkan disebabkan oleh gangguan fungsi otak.. Pendekatan yang berorientasi Psiko-dinamis didominasi oleh teori-teori awal yang memandang autisme sebagai suatu masalah ketidakteraturan emosional.2. Terapi Dengan Intervensi BehavioralPendekatan Behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku individu autistik. Pendekatan ini merupakan variasi dan pengembangan teori belajar yang semula hanya terbatas pada sistem pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Prinsipnya adalah mengajarkan perilaku yang sesuai dan diharapkan serta mengurangi/mengeliminir perilaku-perilaku yang salah pada individu autistik. Pendekatan ini juga menekankan pada pendidikan khusus yang difokuskan pada pengembangan kemampuan akademik dan keahlian-keahlian yang berhubungan dengan pendidikan. Saat ini ada beberapa sistem behavioral yang diterapkan pada individu dengan kebutuhan khusus seperti autisme:1. Operant Conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan operan merupakan penerapan prinsip-prinsip teori belajar secara langsung. Prinsip pemberian ganjaran dan hukuman: perilaku yang positif akan mendapatkan konsekuensi positif (reward), sebaliknya perilaku negatif akan mendapat konsekuensi negatif (punishment). Dengan demikian diharapkan inti dan tujuan utama dari pendekatan ini yaitu mengembangkan dan meningkatkan perilaku positif, serta mengurangi perilaku negatif yang tidak produktif.2. Cognitive Learning (konsep belajar kognitif).Struktur pengajaran pada pendekatan ini sedikit berbeda dengan konsep belajar operan. Fokusnya lebih kepada seberapa baik pemahaman individu autistik terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pendekatan ini menggunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih menegaskan apa yang diharapkan lingkungan terhadap anak autistik. Fokusnya adalah pada seberapa baik seorang penderita autistik dapat memahami lingkungan disekitarnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan tersebut terhadap dirinya. Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari pendekatan kognitif. Latihan ini difokuskan pada kesadaran dengan menggunakan tarikan napas panjang, pelemasan otot-otot, dan perumpamaan visual untuk menetralisir kegelisahan.3. Social Learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam menjalin interaksi sosial merupakan masalah utama dalam autisme, karena itu pendekatan ini menekankan pada pentingnya pelatihan keterampilan sosial (social skills training). Teknik yang sering digunakan dalam mengajarkan perilaku sosial positif antara lain: modelling (pemberian contoh), role playing (permainan peran), dan rehearsal (latihan/pengulangan). Pendekatan belajar sosial mengkaji perilaku dalam hal konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi personal. Salah satu bentuk modifikasi dari intervensi behavioral yang banyak di terapkan di pusat-pusat terapi di Indonesia adalah teknik modifikasi tatalaksana perilaku oleh Ivar Lovaas. Terapi ini menggunakan prinsip belajar-mengajar untuk mengajarkan sesuatu yang kurang atau tidak dimiliki anak autis. Misalnya anak diajar berperhatian, meniru suara, menggunakan kata-kata, bagaimana bermain. Hal yang secara alami bisa dilakukan anak-anak biasa, tetapi tidak dimiliki anak penyandang autisme. Semua keterampilan yang ingin diajarkan kepada penyandang autisme diberikan secara berulang-ulang dengan memberi imbalan bila anak memberi respons yang baik. awalnya imbalan bisa berbentuk konkret seperti mainan, makanan atau minuman. Tetapi sedikit demi sedikit imbalan atas keberhasilan anak itu diganti dengan imbalan sosial, misalnya pujian, pelukan dan senyuman. Bentuk-bentuk psikoterapi menggunakan pendekatan behavioral (behavior therapy) kepada anak/individu dengan ASD, bersumber pada teori belajar, khususnya pengondisian operan Skinner. Perspektif behaviorisme Skinner memandang individu sebagai organisme yang perbendaharaan tingkah lakunya di peroleh melalui belajar.Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku: responden dan operan (operant). Respons (tingkah laku) selalu didahului oleh stimulus dan tingkah laku responden diperoleh melalui belajar serta bisa dikondisikan. Skinner yakin kecenderungan organisme untuk mengulang ataupun menghentikan tingkah lakunya di masa datang tergantung pada hasil atau konsekuensi (pemerkuat/positive dan negative reinforcer) yang diperoleh oleh organisme/individu dari tingkah lakunya tersebut. Para ahli teori belajar membagi pemerkuat (reinforcer) menjadi dua: (1) pemerkuat primer (unconditioned reinforcer), adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat memperkuat secara inheren tanpa melalui proses belajar seperti: makanan bagi yang lapar; sedangkan (2) pemerkuat sekunder (pemerkuat sosial) merupakan hal, kejadian, atau objek memperkuat respons melalui pengalaman pengondisian atau proses belajar pada organisme. Meskipun menurut Skinner nilai pemerkuat sekunder belum tentu sama pada setiap orang, namun pemerkuat sekunder memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian tingkah laku.Thorndike dan Watson memandang bahwa "organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil dari pengalaman; dan perilaku di gerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan". Behavioris melalui beberapa eksperimen seperti: metode pelaziman klasik (classical conditioning), operant conditioning, dan konsep belajar sosial (social learning) menyimpulkan bahwa manusia sangat plastis sehingga dapat dengan mudah di bentuk oleh lingkungan.

3. Intervensi BiologisIntervensi biologis mencakup pemberian obat dan vitamin kepada individu autistik. Pemberian obat tidak telalu membantu bagi sebagian besar anak autistik. Secara farmakologis hanya sekitar 10-15% pengidap autisme yang cocok dan terbantu oleh pemberian obat-obatan dan vitamin.

KESIMPULAN

Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Penyebab dari autisme ini belum diketahui secara pasti sehingga timbul banyak kemungkinan dan faktor yang menjadi pencetusnya. Autis memiliki karakteristik tersendiri yaitu : Komunikasi Interaksi sosial Gangguan sensoris Pola bermain Perilaku EmosiSampai saat ini autism tidak dapat disembuhkan namun banyak hal kita bisa lakukan untuk mendukung anak-anak penderita autism.

DAFTAR PUSTAKA

Sasanti, Yuniar, (2003), Masalah Perilaku pada Gangguan Spektrum Autism (GSA)(makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I

http://sekolahautismeal-ihsan.com/artikel/sekilas-tentang-autisme.html