bab 1 teorema mekanika kuantum fin (1)
DESCRIPTION
cswTRANSCRIPT
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
BAB I
TEOREMA MEKANIKA KUANTUM
1.1 Pengantar
Persamaan Schrődinger untuk atom yang hanya mempunyai satu elektron dapat kita
selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan
juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron
dengan elektron lain. Untuk itu, kita butuh metode lain untuk menyelesaikan persamaan
Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita
bicarakan pada Bab II dan Bab III, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat
memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita
terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini
adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.
Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan
dipergunakan. Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara
dua buah fungsi yaitu fm dan fn biasanya ditulis:
d = = = (1-1)
Notasi (1-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di
atas juga sering ditulis:
d = Am n (1-2)
Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:
d = = = m n (1-3)
Karena = d, maka:
m n * = m n (1-4)
dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (1-4) dapat ditulis : m m * = m m .
Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:
1) d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. (1-5)
d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut ortogonal (1-6)
Catatan:
d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm fn dan
berharga 1 jika fm = fn
1
d
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
2) Jika : = a dengan a bilangan konstan, maka disebut fungsi eigen sedang a
disebut nilai eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap operator , maka berlaku
hubungan: = a dengan a adalah nilai eigen. (1-7)
1.2 Operator Hermit
Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator
linear dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran
fisik, misal operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-
lain. Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika adalah operator linear yang mewakili
besaran fisik A, maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:
A = d (1-8)
dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan
real, maka: A = A *
atau: d= d (1-9)
Persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi yang mewakili keadaan tertentu suatu
sistem atau persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well
behaved function). Operator linear yang memenuhi persamaan (1-9) itulah yang disebut
operator Hermit.
Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:
d = d (1-10)
untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri
persamaan (1-10), operator bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja
pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (1-10) akan tereduksi menjadi
bentuk (1-9).
2
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit
Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu:
Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.
Teorema 2: Dua buah fungsi 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit dan baik 1
maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator dengan nilai eigen yang
berbeda, maka 1 dan 2 adalah ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut
mempunyai nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka
selalu ada cara agar dijadikan ortogonal.
Pembuktian Teorema 1:
Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema 1 yaitu bahwa operator
yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (1-9) dan ada pernyataan
eigen value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (1-
7) berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena adalah operator hermit,
maka menurut (1-9): d = d
atau: d = d (1-11)
Menurut (1-7) : = a dengan a adalah nilai eigen untuk
= a* dengan a* adalah nilai eigen untuk
sehingga (1-11) dapat ditulis: a * d = a* d
*
Menurut (1-5) nilai * d = d
* = 1, jadi: a = a*
Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.
Pembuktian Teorema 2:
Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator , maka berlaku:
1 = a1 1 dan 2 = a2 2 (1-12)
Karena adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (1-10) berlaku:
d = d
atau: d = d (1-13)
Substitusikan (1-12) ke dalam (1-13), menghasilkan:
a2 1 2* d = a1
* 2 1* d
Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:
3
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
a2 1 2* d = a1 2 1
* d (1-14)
Menurut (1-4), 1 2* d = 2 1
* d , jadi persamaan (1-14) boleh ditulis:
a2 1 2* d = a1 1 2
* d
atau: a2 1 2* d a1 1 2
* d = 0
atau: (a2 a1 ) 1 2* d = 0 (1-15)
Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (1-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:
1 2* d = 0 (1-16)
Karena 1 2* d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.
Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap
operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang
sama? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi
eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang
degenerate atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal.
Dengan demikian, maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang
berhubungan dengan operator Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak
degenerate.
Apakah Degenerate itu ?
Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen
mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih
memahami masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel
dalam kotak yang telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi
dinyatakan sebagai:
= x y z dengan :
x = 2 21 2
Lx
n
Lxx
/
sin
x ; y = 2 21 2
Ly
n
Lyy
/
sin
y dan y = 2 21 2
Ly
n
Lyy
/
sin
y
jadi:
= 8 21 2
Lx Ly Lz
n
Lxx
. .sin
/
x sin
2n
Lyy
y sin2n
Lyy
y (1-17)
4
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut
maka nilai eigennya adalah energi yang besarnya:
E = Ex + Ey + Ez
dengan :
Ex = h n
mL
x
x
2 2
28
; Ey = h n
mL
y
y
2 2
28
dan Ez = h n
mL
z
z
2 2
28
(1-18)
sehingga:
E = h
m
n
L
n
L
n
L
x
x
y
y
z
z
2 2
2
2
2
2
28 + +
Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:
E = h
m
n
L
x y z2 2 2 2
28
+ n + n
(1-19)
Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (1-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =
h
m L
2
28
6
meskipun eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh
kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad
degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu
1-1-2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang tentu masih tak terhingga banyaknya kasus degenerate
untuk fungsi gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1
dan 3-1-1 dan masih banyak lagi.
Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi
eigen yang degenerate itu dikombinasilinearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang
baru.
Contoh: Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan
dalam bentuk: = c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (1-20)
Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka pasti merupakan fungsi eigen yang
nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.
Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1
sehingga dapat ditulis: = c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (1-21)
maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.
5
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Relasi (1-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (1-21)
bukan degenerasi. Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (1-20) maka jawabnya
adalah E = h
m L
2
28
6
.
Ortogonalisasi
Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya
sama maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah
dapatkah kita membuatnya menjadi ortogonal? Jawabnya adalah, dapat.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-
fungsinya tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai
operator Hermit dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang
mempunyai nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:
f = s f ; G = s G
Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua
fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:
Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G
sehingga membentuk misalnya:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.
Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus
dipenuhi syarat:
d = 0 atau:
d= 0 atau :
d + d = 0 atau :
d + c d = 0
Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:
c =
Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c =
6
d
d
d
d
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.
1.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen
Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang
akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk
mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi-fungsi eigen. Jika
kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih
singkat kita tulis saja dengan bentuk an n1
~ , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:
F(x) = an n1
~ (1-22)
dengan : an = n xall x
*( ) F dx (1-23)
Bagaimana mendapat (1-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut:
Kedua ruas (1-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh:
m* F(x) = an n m *~
1 (1-24)
Jika kedua ruas (1-24) diintegralkan maka diperoleh:
m* F(x) dx = an n m *~
1
dx (1-25)
Telah kita ketahui bahwa :
m* dxn = m n (1-26)
sehingga (1-25) dapat ditulis:
m* F(x) dx = an . m n
1
~
(1-27)
Ruas kanan (1-27) adalah:
an . m n1
~
= a1. m 1 + a2 m 2 + ....a m m m + a m +1 m (m+1) +...
= a1. + a2 + ....a m + a m +1 . +...
= am
Sehingga (1-27) dapat ditulis:
m* F(x) dx = am atau am = m
* F(x) dx (1-28)
7
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Jika indek m pada (1-28) diganti n maka persamaan (1-23) yang dicari diperoleh yaitu:
an = n xall x
*( ) F dx
Contoh:
Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2
F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a
Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang
panjang kotaknya = a.
Jawab:
Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:
n = 2 1 2
a
n
a
/
sin
x (1-29)
Jadi bentuk ekspansinya menurut (1-22):
F(x) = an n1
~ =
2 1 2
1a
an
/ ~ sin
n
a x
(1-30)
Menurut (1-23) :
an = n xall x
*( ) F dx
= 2 1 2
a
n
ax F x
/
( )sin
dx
= 2 1 2
a
n
ax F x
/
( )sin
dx
= 2 1 2
0
2
ax .
a
/ /
sinn
ax dx
+
21
1 2
2a
a
a
/
/
( ) x . sinn
ax dx
= 2
2
3 2
2 2
a
n
n/
sin
(1-31)
Jadi:
a1 = 2 3 2
2
a /
; a2 = 0 ; a3 = 2
3
3 2
2 2
a /
; a4 = 0 ; a5 =
2
5
3 2
2 2
a /
; a6 = 0 dan
seterusnya.
Kita masukkan (1-31) ke dalam (1-30), maka:
F(x) = 2 1 2
1a
an
/ ~ sin
n
a x
8
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
= 2
3
3
5
51 2 3 2
2
3 2
2 2
3 2
2 2ax x x
/ ' ' '
2a
sin a
2a
sin a
2a
sin a
. . . .
= 2 3 51 2 3 2
2ax x x
/ '2a
1
1 sin
a
1
3 sin
a
1
5 sin
a . . . .
2 2 2
= 4 3 5
2
ax x x
1
1 sin
a
1
3 sin
a
1
5 sin
a . . . .
2 2 2
Pengertian Complete Set
Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk
kombinasi linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan
fungsi disebut himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan
untuk mengekspansi fungsi F? Jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang
merupakan himpunan lengkap saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F.
Selanjutnya mengenai himpunan lengkap, dibuat definisi sebagai berikut:
Himpunan fungsi dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti
persamaan F(x) = an n1
~ dengan an adalah tetapan sembarang.
Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi
gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu
bahwa fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun
jika seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat
diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa hidrogen hanya
berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu
ketika elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n
atom hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita
mengekspansi F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru
disebut himpunan fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang
berkorelasi dengan energi kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang
hidrogen sudah dinyatakan secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspansi,
yaitu menjadi kombinasi linear fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.
Teorema 3:
9
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator dan jika fungsi F
juga fungsi eigen dari operator dengan nilai eigen k (jadi F = k F) sedang F diekspansi
dalam bentuk F = , maka gi yang a i nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga. Jadi
ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai eigen yang
sama dengan nilai eigen F. Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 1.2 dan 1.3 dapat
dinyatakan bahwa Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan
lengkap ortonormal dan nilai eigennya adalah real.
1.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute
Jika fungsi secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator dan
dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B
menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika merupakan
fungsi eigen baik terhadap maupun .
Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen
terhadap dan jika kedua operator tersebut commute atau:
= ai dan = bi Jika : (1-32)
[ , ] = 0 (1-33)
Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan
adalah: [ , ] = 0
Kita tahu: [ , ] = (1-34)
Jika dioperasikan pada i :
[ , ]i = i i
= ( i ) ( i )
= bi ai i
= bi ai i
= bi ai ai bi i
[ , ] = bi ai ai bi = 0 (terbukti) (1-35)
Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya:
Teorema 4: Jika Operator linear dan mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama
maka dan adalah commute.
10
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Perlu diingat dan yang dimaksud oleh teorema 4 hanya dan yang masing-
masing merupakan operator linear. Jika dan bukan operator linear maka keduanya bisa
tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai
contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator dan operator
tetapi kedua operator tersebut non commute.
Teorema 5 : Jika operator Hermite dan adalah commute, maka kita dapat memilih
himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.
Pembuktiannya adalah sebagai berikut:
Anggap saja fungsi g i adalah fungsi eigen dari operator dengan nilai eigen a i maka
kita dapat menulis:
gi = ai gi (1-36)
Jika operator dioperasikan pada kedua ruas (1-36) di atas, maka:
( gi ) = (ai gi ) (1-37)
Karena dan commute dan karena linear maka:
( g i) = ai ( g i) (1-38)
Persamaan (1-38) di atas menyatakan bahwa fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap
operator dengan nilai eigen a i , persis sama dengan fungsi g i yang juga fungsi eigen
terhadap operator dengan nilai eigen a i . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa
nilai eigen dari operator tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai
eigen a i yang diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly
independent. Jika ini benar, maka kedua fungsi eigen g i dan g i yang mempunyai nilai eigen
sama yaitu a i harus linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan
sederhana dari yang lain,
g i = k i g i (1-39)
dengan k i adalah konstan. Persamaan (1-39) itu menyatakan bahwa fungsi g i merupakan
fungsi eigen dari operator sebagaimana yang hendak kita buktikan.
Jadi, jika dan commute dan fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap maka g i
juga merupakan fungsi eigen dari (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)
Teorema 6: Jika g i dan g j adalah fungsi eigen dari operator Hermite dengan nilai eigen
berbeda (misal g i = a i g i dan g j = a jg j dengan a i a j), dan jika adalah
operator linear yang commute terhadap , maka:
11
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
< g j g i > = 0 atau d = 0 (1-40)
dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:
Karena dan commute, maka fungsi eigen terhadap adalah juga fungsi eigen
terhadap , meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap , yang jika
nilai eigennya dimisalkan ki maka:
gi = ki gi (1-41)
dengan demikian (1-40) boleh ditulis:
d = = . 0 = 0 (terbukti)
1.5 Paritas
Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik,
contohnya adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis,
kita mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan
dengan operator paritas.
Operator paritas, dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang
fungsi. Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh
mendefinisikan: f ( x, y, z ) = f (x, y, z)
Contohnya: ( x2 2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }
= x2 + 2 x e2y 3z3
Jika seandainya g i adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen a i
maka kita dapat menulis: g i = a i g i (1-42)
Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:
f ( x, y, z ) = f ( x, y, z ) = f (x, y, z) = f ( x, y, z )
Karena f nya fungsi sembarang maka adalah operator satuan (unit Operator), jadi:
= (1-43)
Sekarang, bagaimana jika kita gunakan untuk (1-42) ? Hasilnya adalah:
g i = g i = a i g i = a i g i = g i (1-44)
12
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Karena adalah unit operator, maka (1-44) menjadi:
g i = g i (1-45)
atau: ai = + 1 (1-46)
Karena ai adalah nilai eigen untuk , maka nilai eigen untuk adalah 1 dan 1.
Perlu dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan
operator satuan.
Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (1-42)
g i = a i g i
Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:
g i = + 1 g i (1-47)
Jika gi adalah g(x, y, z), maka:
g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (1-48)
g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) (1-49)
Jika nilai eigennya +1, maka:
g (x, y, z) = g(x, y, z ) (1-50)
jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka:
g ( x , y , z ) = g ( x , y , z ) (1-51)
jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
fungsi eigen dari operator paritas adalah semua fungsi well behaved yang mungkin
baik genap maupun ganjil.
Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ?
Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi
yang eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil
saja himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator . Kemudian, jika operator
paritas dan Hamilton commute, kita boleh menulis:
[ , ] = 0 (1-52)
dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli
fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,
13
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
[ , ] = [ ( ), ] = [ , ] + [ V, ]
= [ , ] + [ V, ] (1-53)
Harga [ , ] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:
[ , ] F(x) = F(x) F(x)
= F(x) F(x)
= F(x) F(x) = 0
Dengan demikian (1-53) dapat ditulis:
[ , ] = [ V, ] (1-54)
Sekarang kita evaluasi ruas kanan (1-54):
[ V(x), ] F(x) = V(x) F(x) V(x)F(x)
= V(x) F(x) V(x)F(x) (1-55)
Nilai (1-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi
genap, maka V(x) = V(x), maka (1-55) menjadi:
[ V(x), ] = 0 sehingga (1-54) menjadi:
[ , ] = 0 (1-56)
Ini berarti:
Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka dan adalah commute,
sehingga kita dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap
maupun ganjil sebagai fungsi eigen dari kedua operator tersebut.
Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton
dan paritas itu disebut fungsi definit paritas.
Jika semua energi levelnya adalah nondegenerate (umumnya memang benar untuk
sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang
berhubungan dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus nondegenerate, maka
fungsi gelombang stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit
14
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
paritas. Sebagai contoh fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena
fungsi energi potensialnya ½ kx2 (fungsi energi potensial genap).
Jika energi level degenerate, berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen
yang memiliki nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita memiliki banyak sekali pilihan
fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.
1.6 Pengukuran dan Keadaan Superposisi
Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas
dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi
(x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x +
dx dinyatakan oleh (x,t)2 dx
Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran
A. Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan untuk menghitung
probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas
informasi apa saja yang dikandung oleh yang merupakan jantungnya mekanika kuantum.
Subyek pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari
koordinat 3n. Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang
merupakan kemungkinan hasil pengukuran besaran A.
Dengan menggunakan g i sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis:
 g i ( q ) = a i g i ( q ) (1-57)
Telah kita postulatkan pada sub bab 1.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite
yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena g i adalah
himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi dalam suatu deret yang suku-sukunya
adalah g i jadi:
(q,t) = (1-58a)
Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus
merupakan fungsi waktu sehingga (1-58a) lebih baik ditulis:
(q,t) = (1-58b)
Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:
∫* d = 1 (1-59)
Substitusi (1-58a) ke dalam (1-59) menghasilkan:
15
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
d = d = 1 (1-60)
Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:
d = 1 (1-61)
Jika i = j, maka:
= 1 atau:
= 1 (1-62)
Kita akan menguji signifikansi (1-62) secara singkat:
Ingat bahwa jika fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah:
< A > = ∫ * Â d
Dengan menggunakan (1-58), maka:
< A > = Â d = d
atau:
< A > = d a i d
< A > = a i (1-63)
Bagaimana menginterpretasi (1-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah
kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran
terhadap besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran
terhadap besaran A, kita akan memperoleh salah satu harga a i . Kemudian marilah kita ingat
kembali teori mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n
buah data X dengan rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X
adalah :
< X > = = + .....
= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:
< X > = (1-64)
Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka
rata-rata A adalah:
< A > = (1-65)
16
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya
ada sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (nondegenerate) maka
banyaknya eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan
membandingkan (1-65) terhadap (1-63) maka dapat dipastikan bahwa
c i2 = Pi (1-66)
yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.
Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan g i adalah fungsi
eigen ternormalisasi (Â g i = a i g i) maka, manakala besaran A diukur dalam
sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan
pengukuran adalah , probabilitas mendapatkan hasil a i adalah c i2, dengan ci
adalah koefisien g i pada ekspansi = i c i g i . Jika nilai eigen a i degenerate,
probabilitas mendapatkan a i pada saat A diukur adalah jumlah dari c i2 fungsi-
fungsi eigen yang nilai eigennya a i .
Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat? Kita dapat
melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi =ic ig i adalah nol kecuali satu koefisien
saja yaitu misalnya ck . Untuk kasus ini maka (1-66) menjadi ck2 = Pk = 1. Artinya peluang
untuk mendapatkan nilai eigen seharga ak = 1, artinya, nilai eigennya pasti ak .
Selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret =ic ig i sebagai ekspresi bentuk
umum fungsi yang merupakan superposisi dari fungsi eigen g i dari operator Â. Masing-
masing fungsi eigen g i berhubungan dengan nilai eigen a i milik besaran A.
Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita
dapat menghitung ci2 ? Caranya kita kalikan = i c i g i dengan g*j kemudian integralkan
ke seluruh ruang, sehingga diperoleh:
∫ g*j d = ∫g*
j i c i g i d = i c i∫g*j g i .d c ii ∫g*
j g id
Jika ortonormal:
∫g*j d = c i
atau:
c i = ∫ . g*j d g*
j (1-67)
Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan
nilai eigen non degenerate a i pada pengukuran A adalah [lihat (1-66)]:
Pi = c i2 = ∫ . g*j d g*
j (1-68)
17
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi maka kita dapat
menggunakan (1-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil
pengukuran besaran A.
Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya
pada saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen a j
dari operator  adalah <g j, dengan gj adalah fungsi eigen ternormalisasi
yang mempunyai nilai eigen aj.
Integral <g j∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi
ternormalisasi g j dan berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian
harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa
terjadi g j terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali
g j .selalu terlalu kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga
probabilitas untuk mendapatkan nilai eigen a i juga sangat kecil.
Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat
diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.
Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin
adalah dan karena Lz adalah m .
b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi
penyusunnya:2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1).
Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas 2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 =
c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya adalah: P1 = 21/22 = ½ = P2. P1 adalah
probabilitas mendapatkan Lz = sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan Lz =
Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang
panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non
stasioner = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran
Jawab: Untuk partikel dalam box:
E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang
fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka
kita ekspansi saat itu atas n, jadi:
18
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
= n cn n
Menurut (1-67) : c i = ∫ . g*j d
jadi: cn = ∫ . n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx
= [ 1 (1)n ] (Buktikan) (1-69)
Pn = cn2 = [ 1 (1)n ]2.
Catatan: Jika anda akan membuktikan (1-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n
1.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum
Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal postulat-
postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:
Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi yang merupakan fungsi
koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi
gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga
dipostulatkan bahwa harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan
quadratically integrable.
Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.
Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik
dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum
linearnya, kemudian gantilah setiap koordinat x dengan dan setiap
komponen px dengan
Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah
nilai eigen a i dalam persamaan  g i = a i g i dengan  adalah operator yang
berhubungan besaran fisik A dan g i adalah fungsi eigen yang well behaved.
Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati
tertentu, maka fungsi g i dari operator  membentuk himpunan lengkap.
19
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Catatan:
Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat
postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini.
Karena tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus
berasumsi terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi
gelombang untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal
dari sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:
c g 7
Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada
saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:
< A > = ∫* d (1-71)
Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan
dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:
= (1-72)
dengan adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu
1.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem terjadi melalui dua macam cara.
Yang pertama perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu
(reversibel). Perubahan jenis ini ditunjukkan oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu
(1-72). Cara kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan (irreversibel), diskontinyu
(tidak terus menerus) dan probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan ditentukan oleh
sistem itu sendiri. Jenis perubahan spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena hasil
pengukurannya juga tidak dapat diprediksi secara pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja
yang dapat diprediksi. Perubahan spontan dalam disebabkan oleh pengukuran yang disebut
reduksi fungsi gelombang. Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan ak berakibat
mengubah fungsi menjadi gk yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya ak . Untuk
lebih jelasnya adalah sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz
elektron dalam atom hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 . Pada saat ini
20
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
fungsi gelombangnya tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi
gelombangnya adalah ( n, , 2) dengan > 2 dan n > +1. Selanjutnya misal pada pengukuran
kedua diperoleh Lz = . Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari
fungsi gelombang hidrogen yang m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n, ,1)
dengan > 1 dan n > +1. Jadi tampak adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak
akibat adalah pengulangan pengukuran. Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa
dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.
Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi
pengukuran sungguh sesuatu yang sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat
reduksi merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain
menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para
ahli saling berbeda pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004). Balentine
mendukung interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh
Einstein, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem
tunggal (sebagaimana dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal
terhadap sekelompok sistem (dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini
maka silang pendapat mengenai reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.
"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika
kuantum yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang
belum ada penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran
kuantum... dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam
menginterpretasi mekanika kuantum secara global" (M. Jammer, 2003)
Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,
termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka
menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi
realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat
dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub
mekanika kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah
analogi bagi kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu
di udara. Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan
21
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
geraknya tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis
pula, gerak elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub
mekanika kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang
dikembangkan oleh Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan
menyatakan bahwa hukum mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas
fisik.
Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang
melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama
dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi
untuk memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum.
Dalam teori lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa
eksperimen sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan
mekanika kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.
Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel
dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut
obyektivitas) adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat
definitnya adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang
lokalitas adalah ke-instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh
terhadap yang lain ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi
kecepatan cahaya.
Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala
pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian
dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu
dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel
yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.
Greenberger, 2004).
Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi
ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik
bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.
1.9 Matrik dan Mekanika Kuantum
22
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika
kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa
teori mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan
hubungannya dengan mekanika kuantum.
Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan
yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n
kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan
untuk elemen baris i kolom j, maka:
A =
A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus
bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya
terdiri atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang
jika sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik
kolom.
Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta
elemen-elemen yang seletak nilainya sama.
Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.
Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B
maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:
Jika C = A + B maka cij = aij + bij (1-73)
Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik
baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:
C = kA maka cij = kaij (1-74)
Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m
x p
Sebagai contoh:
A = B =
23
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu:
C =
Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan
untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.
Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur
sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama,
nilai elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut
matrik satuan. Contoh matrik satuan orde 3:
Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum
Pada sub bab 1.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis <
fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh
karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:
A =
maka elemen-elemen:
A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1
*Âf2>
A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2
*Â f 2> dan seterusnya
Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis { f i}.
Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka
matrik order A adalah tak terhingga.
Jika = Â + maka integral sebagai elemen matrik C adalah:
Cij = < fi* f j> = < fi
*Â + fj> = ∫ fi* (Â+ ) fj d
∫ fi* Â fj d∫ fi
* fj dij + Gij (1-75)
Jadi:
Jika = Â + maka Cij = Aij + Gij (1-76)
24
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
Dengan menggunakan logika dari (1-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan
matrik C = A + B, sehingga:
Jika = Â + maka C = A + G (1-77)
dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear , Â dan .
Hal yang sama, yaitu :
jika = k maka Cij = k Aij (1-78)
Selanjutnya jika: Â = maka:
Aij = ∫ fi* Â fj d∫ fi
* fj d (1-79)
Fungsi fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut
persamaan :
fj = k ck fk dengan ck = ∫ fk fj d jadi:
fj = k∫ fk fj d. fk = k fk fj> fk = k Gkj fk (1-80)
dan Aij menjadi:
` Aij =∫ fi* fj d∫ fi
* k Gkj fk dk ∫ fi* fk d Gkj
= k Cij Gij (1-81)
Jadi:
Jika  = maka Aij = k Cij Gij (1-82)
Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:
Jika  = maka A = C. G (1-83)
Selanjutnya kombinasi (1-79) dengan (1-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat
bermanfaat, yaitu:
k Cij Gij = ∫ fi* fj datau:
k < fi* fj> < fi
* fj> = < fi* fj> (1-84)
Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:
Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi
* Â fj d
Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:
Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi
* fj d aj < fi* fj> (1-85)
Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika
kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal
operator Â
25
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
1. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi
Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum
angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?
Operator posisi ditulis yang operasinya adalah x kali atau
= x.
Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:
g(x) = a g(x) atau:
x g(x) = a g(x) atau (1-86)
(x a) g(x) = 0 (1-87)
Dari (1-87) dapat disimpulkan bahwa :
untuk x = a g(x) 0 (1-88)
untuk x a g(x) = 0 (1-89)
Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa
seandainya fungsi state = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka
kemungkinan hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol
untuk x a agar memenuhi (1-89).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi
Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 1-1)
Gambar 1.1: Fungsi Heaviside step
Dari gambar itu tampak bahwa:
H(x) = 1 untuk x > 0
26
1/2
1
H(x)
x
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
H(x) = ½ untuk x = 0 (1-90)
H(x) = 0 untuk x < 0
Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi
Heaviside step.
(x) = d H(x) / dx (1-91)
Dari (1-90) dan (1-91) diperoleh:
(x) = 0 untuk x 0 (1-92)
Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga,
jadi:
(x) = ~ untuk x = 0 (1-93)
Sekarang kita perhatikan (1-90). Jika x diganti x a, maka (1-90) akan menjadi lebih umum,
yaitu dalam bentuk:
H(x a) = 1 untuk (x – a) > 0
H(x a) = ½ untuk (x - a) = 0 (1-94)
H(x a) = 0 untuk (x – a )< 0
atau:
H(x a) = 1 untuk x > a
H(x a) = ½ untuk x = a (1-95)
H(x a) = 0 untuk x < a
Dengan demikian maka:
(xa) = 0 untuk x a ; (xa) = ~ untuk x = a (1-96)
Sekarang perhatikan integral berikut:
f(x) (x-a) dx
Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV ∫V dU
dengan U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (1-91), maka V =
H(xa)
Jadi:
f(x) (x-a) dx = H(xa) f '(x) dx
27
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
f(x) (x-a) dx = f (~) H(xa) f '(x) dx (1-97)
Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (1-97) menjadi:
f(x) (x-a) dx = f (~) H(xa) f '(x) dx (1-97)
Suku H(xa) f '(x) dx pada (1-97) adalah ∫V dU jadi (1-97) menjadi:
f(x) (x-a) dx = f(a) (1-98)
Jika kita bandingkan (1-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran
fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau
sigma.
Jadi dapat dipastikan:
(x-a) dx = 1 (1-99)
Sifat (1-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (1-88) dan (1-89), dari fungsi eigen
posisi g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi
adalah:
g(x) = (x-a) (1-100)
Soal-soal Bab 1
1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?
2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?
3. Diketahui operator  dan adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.
a) buktikan bahwa c adalah Hermitian
b) Buktikan
bahwa Â+ adalah Hermitian
28
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2
adalah operator Hermitian.
5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?
a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)
6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:
a) < 2 Âb) < 3 c) < 3
 adalah operator Lz, adalah operator momentum angular L2 dan adalah operator
Hamilton.
7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan
n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:
a) ekspansi F(x) = n an n
b) E1, E2 dan E3
c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3
8. Jika adalah operator paritas, tentukan jika n bilangan ganjil positif ?
Bagaimana pula jika n genap positif ? (Note: Terapkan pada sembarang f(x, y, z)
9. Diketahui adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator
harmonik ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik adalah:
= d
buktikan bahwa elemen matrik = 0 untuk i j dan = + 1
10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.
11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas
adalah hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)
12. Karena operator adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap yang
mempunyai nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan !
13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen
. Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan
probabilitasnya masing-masing.
29
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum
14. Tentukan:
a) (x) dx b) (x) dx c) (x) dx
15. ) Tentukan:
a) f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b) f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5
16. Untuk matrik:
A = B =
Tentukan:
a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B
===000===
30