bab 1.docx

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asuhan kefarmasian atau disebut pharmaceutical care merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam aspek pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Asuhan kefarmasian sendiri berarti suatu bentuk kegiatan yang bertanggung jawab dalam pengadaan obat untuk terapi dari apoteker terhadap pasien yang berkaitan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang pasti dan efisien dan meningkatkan kualitas hidup kesehatan dari pasien (Hepler & Strand, 1990). Asuhan kefarmasian didasarkan pada hubungan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan yang bertanggung jawab atas pasien. Konsep asuhan kefarmasian ini berimplikasikan pada peran partisipasi aktif dan kerja sama dari pasien untuk mengambil keputusan dalam memilih terapi pengobatan tertentu, dan apoteker juga harus disiplin dalam memberikan prioritas pelayanan terhadap pasien (Morak, S. 2010). Dalam menjalankan asuhan kefarmasian dibutuhkan 3 komponen utama yaitu : (1) mengidentifikasi masalah terkait obat (Drug therapy problem) yang akan muncul atau sedang terjadi, (2) menyelesaikan masalah terkait obat yang sedang terjadi dan (3) mencegah masalah terkait obat yang akan muncul. Dalam menjalankan fungsinya asuhan kefarmasian harus berintegrasi juga dengan beberapa praktisi kesehatan lain. Hubungan mendasar dalam asuhan kefarmasian adalah suatu pertukaran yang 1

Upload: primalarassixpack

Post on 26-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Asuhan kefarmasian atau disebut pharmaceutical care merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam aspek pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Asuhan kefarmasian sendiri berarti suatu bentuk kegiatan yang bertanggung jawab dalam pengadaan obat untuk terapi dari apoteker terhadap pasien yang berkaitan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang pasti dan efisien dan meningkatkan kualitas hidup kesehatan dari pasien (Hepler & Strand, 1990). Asuhan kefarmasian didasarkan pada hubungan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan yang bertanggung jawab atas pasien. Konsep asuhan kefarmasian ini berimplikasikan pada peran partisipasi aktif dan kerja sama dari pasien untuk mengambil keputusan dalam memilih terapi pengobatan tertentu, dan apoteker juga harus disiplin dalam memberikan prioritas pelayanan terhadap pasien (Morak, S. 2010).

Dalam menjalankan asuhan kefarmasian dibutuhkan 3 komponen utama yaitu : (1) mengidentifikasi masalah terkait obat (Drug therapy problem) yang akan muncul atau sedang terjadi, (2) menyelesaikan masalah terkait obat yang sedang terjadi dan (3) mencegah masalah terkait obat yang akan muncul. Dalam menjalankan fungsinya asuhan kefarmasian harus berintegrasi juga dengan beberapa praktisi kesehatan lain. Hubungan mendasar dalam asuhan kefarmasian adalah suatu pertukaran yang saling menguntungkan dimana penyedia pelayanan kesehatan diberikan kewenangan untuk menangani pasien dan penyedia pelayanan kesehatan memberikan pelayanan yang berkomitmen dan berkompeten kepada pasien (Hepler & Strand, 1990).

Drug therapy problem atau disingkat DTP adalah suatu permasalahan yang tidak di inginkan namun terjadi pada pasien mengenai terapi pengobatan pada pasien sehingga menghambat tercapainya tujuan pengobatan. DTP sendiri memiliki 7 permasalahan yaitu (1) terapi obat yang tidak diinginkan, (2) butuhnya penambahan dalam terapi, (3) obat tidak efektif, (4) dosis terlalu rendah, (5) adanya efek samping, (6) dosis terlalu tinggi dan (7) ketidakpatuhan. Ketidakpatuhan pasien terhadap medikasi adalah masalah yang sering terjadi dalam praktek kesehatan yang akan menyebabkan perawatan atau penyembuhan terhadap penyakit pasien tidak mencapai tujuan yang diinginkan (Cipolle, 2012).

Ketidakpatuhan pasien dalam melakukan pengobatan diabetes akan memberikan dampak negatif yang besar seperti biaya kesehatan yang bisa meningkat dan munculnya komplikasi diabetes yang berbahaya. Komplikasi diabetes terjadi pada semua organ dalam tubuh yang dialiri pembuluh darah kecil dan besar dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat gagal ginjal. Diabetes juga menyebabkan kecacatan, sebanyak 30% penderita mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% harus menjalani amputasi tungkai kaki, bahkan diabetes membunuh lebih banyak dibandingkan dengan HIV/AIDS (Soegondo, 2008).

Menurut WHO pada tahun 2000 menyatakan bahwa terdapat 3,2 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit diabetes melitus setiap tahunnya. Selanjutnya pada tahun 2003 WHO memperkirakan bahwa terdapat 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun menderita diabetes. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2025 jumlah penderita diabetes bisa mencapai 333 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengidap penyakit diabetes Indonesia mencapai 14 juta orang, dari jumlah tersebut hanya 50% penderita yang sadar sedang mengidap penyakit diabetes melitus dan sekitar kurang lebih 30% diantaranya melakukan pengobatan secara teratur dan benar (Pratiwi, 2007). WHO memprediksi Indonesia bahwa akan ada kenaikan penderita diabetes dari 8,4 juta penderita bisa meningkat menjadi 21,3 juta penderita diabetes pada tahun 2030. Dengan jumlah penderita yang seperti itu, maka membuat Indonesia menjadi Negara peringkat ke-4 dalam jumlah penderita diabetes, dimana urutan tertinggi adalah Pada Amerika Serikat, China dan India (DEPKES RI, 2008).

Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa jumlah ketidakpatuhan pasien diabetes dalam berobat mencapai 40-50%. Menurut WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien terhadap terapi jangka panjang pada penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% dan pada Negara yang sedang berkembang jumlah tersebut bahkan bisa lebih rendah (Pratiwi, 2007).

Pengukuran kepatuhan pasien dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya dengan menggunakan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) dan pill count. Morisky eight-item memiliki keunggulan yaitu sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Metode morisky juga bisa digunakan secara luas pada berbagai kalangan masyarakat dan berbagai macam penyakit termasuk diabetes dan hasil self report yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis dari pasien (Xi Tan,2014).

Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolism karbohidrat, lipid dan protein karena menurunnya fungsi kinerja insulin. Menurunnya kinerja fungsi insulin bisa disebabkan karena penurunan jumlah produksi insulin karena penurunan kinerja set pankreas, atau bisa karena penurunan sensitivitas sel tubuh terhadap insulin. Dikalangan masyarakat umum diabetes sering disebut dengan nama kencing manis. Diabetes dibagi menjadi 2 kategori yaitu diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2. Diabetes tipe 1 adalah diabetes yang disebabkan karena kerusakan sel pancreas sehingga insulin tidak dihasilkan sama sekali, oleh karena itu dibutuhkan insulin dari luar tubuh. Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit kenaikan gula darah karena menurunnya produksi insulin atau menurunnya fungsi kinerja dari insulin (resistensi insulin) (WHO 1999).

Puskesmas adalah kesatuan organisasi kesehatan yang bersifat fungsional, yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat dan juga membina peran masyarakat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Puskesmas juga memberikan suatu pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat, dalam wilayah lingkup kerjanya. Puskesmas memiliki wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Puskesmas adalah ujung tombak dalam upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan pada tahap pertama pelayanan kesehatan di kabupaten atau kota. Puskesmas memiliki tanggung jawab dalam menyelenggarakan kesehatan di kabupaten atau kota (Hatmoko, 2006).

Melihat dengan meningkatnya jumlah persentase epidemiologi pasien terhadap penyakit diabetes dari tahun ketahun menurut data WHO pada tahun 2003, dan meningkatnya jumlah ketidakpatuhan pasien, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat anti diabetes, karena diabetes adalah penyakit kronis, terapi yang diberikan membutuhkan kepatuhan pasien karena konsumsi obatan yang tidak akan pernah berhenti. Jika pasien tidak patuh maka beresiko untuk memicu timbulnya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang dapat menurunkan harapan dan kualitas hidup pasien. Puskesmas dijadikan sebagai tempat dalam melakukan survei karena Puskesmas adalah ujung tombak pemerintah dalam peningkatan upaya kesehatan masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pada pasien DM di Puskesmas Lidah Kulon dengan menggunakan metode Pill Count dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)?

2. Apakah terdapat perbedaan antara metode pill count dan metode Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 dalam mengukur kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pasien?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien terhadap obat antidiabetes di wilayah puskesmas Lidah Kulon daerah Surabaya barat.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antidiabetes dengan menggunakan metode pill count dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8).

2. Membandingkan metode pill count dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8).

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan sekaligus memperoleh pengalaman untuk melakukan

penelitian lapangan mengenai perilaku kepatuhan berobat penderita DM.

2. Bagi Penyelenggara Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi dokter,

farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam upaya meningkatkan kepatuhan penggunaan obat antidiabetes sehingga mencegah munculnya berbagai macam komplikasi DM. Dengan demikian, diharapkan derajat kesehatan masyarakat semakin meningkat.

3. Bagi Fakultas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan bagi para masyarakat akademik yaitu para mahasiswa dan dosen, serta dapat dimanfaatkan sebagai gambaran dan sumber informasi untuk dikembangkan menjadi penelitian lanjutan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asuhan Kefarmasian

2.1.1 Pengertian Asuhan Kefarmasian

Asuhan kefarmasian adalah tindakan penyediaan obat yang bertanggung jawab pada pasien bertujuan untuk mencapai hasil yang pasti dalam meningkatkan kualitas kesehatan dari masyarakat. Hasil yang diharapkan untuk dicapai adalah (1) penyembuhan penyakit, (2) menghilangkan atau, mengurangi gejala dari penyakit, (3) memperlambat atau menghentikan proses penyakit, (4) mencegah gejala atau mencegah penyakit (Hepler, 1990).

Proses Pelayanan asuhan kefarmasian melibatkan kerjasama antara apoteker dan pasien dalam implementasi dan monitorisasi rencana pengobatan sehingga hasil pengobatan yang diharapkan bisa tercapai. Asuhan kefarmasian ini melibatkan 3 komponen fungsi yaitu (1) mengidentifikasi potensi obat dan Drug Related Problem yang ada, (2) menyelesaikan masalah dari Drug Related Problem yang ada, (3) mencegah potensi dari Drug Related Problem yang muncul (Hepler, 1990).

Apoteker dalam memberikan asuhan kefarmasian memakai pemikiran rasional yang disebut dengan pemberian farmakoterapi untuk membuat penilaian terhadap Drug Related Need, mengidentifikasi Drug Therapy Problem, mengembangkan suatu perencanaan terapi, dan melakukan tindak lanjut terhadap evaluasi agar terapi yang diberikan aman dan efektif. Tahap-tahap ini disebut proses perawatan terhadap pasien (Cipolle, 2012).

Semua pasien memiliki Drug Related Need dan itu adalah tanggung jawab dari apoteker untuk menentukan apakah pasien tersebut memiliki Drug Related Need yang terpenuhi atau belum. Jika apoteker menilai kriteria drug related need tidak terpenuhi maka Drug Therapy Problem akan dijumpai dalam suatu asuhan kefarmasian. Hal ini menjadi tanggung jawab dari apoteker untuk menyelesaikan permasalahan Drug Therapy Problem untuk pasien. Apoteker juga memiliki tanggung jawab dalam memastikan tercapainya tujuan terapi dengan memberikan rencana perawatan untuk setiap kondisi medis dengan melakukan tindak lanjut terhadap evaluasi pengobatan. Apoteker juga bekerja untuk mencegah munculnya Drug Therapy Problem sebisa mungkin (Cipolle, 2012).

Tabel 2.1 Pasien Drug Related Need (Cipolle, 1998).

Ketepatan pengobatan

Indikasi klinis dari medikasi yang diterima

Mengidentifikasi semua kondisi medis pasien agar memperoleh keuntungan dalam terapinya.

Efektifitas pengobatan

Penggunaan Obat yang paling efektif

Dosis yang sesuai untuk mencapai tujuan terapi

Pengobatan aman

Tidak mengalami efek samping obat

Tidak ada tanda toksisitas

Pasien sesuai

Pasien bersedia dan mampu menerima medikasi yang diberikan

2.1.2 Proses Perawatan Terhadap Pasien

Dalam proses asuhan terhadap pasien terdapat 3 poin utama yaitu pengkajian terhadap pasien mengenai masalah dalam terapinya untuk mengidentifikasi DTP, pengembangan rencana asuhan dan diikuti dengan evaluasi. Agar pasien memperoleh dampak positif dari terapi yang dijalaninya maka diperlukan 3 komponen utama tersebut. Proses asuhan ini akan terus berlanjut disetiap kunjungan pasien (Cipolle, 2012).

Pengkajian pasien, memiliki tujuan terdiri dari 3 yaitu : (1) untuk mengerti pasien lebih baik agar bisa memberikan keputusan terapi obat yang rasional, (2) untuk mengetahui jika terapi yang diterima pasien sesuai, efektif dan aman, dan mengetahui apakah pasien patuh terhadap terapinya, (3) untuk mengidentifikasi DTP. Informasi pasien sangat dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis, informasi yang dibutuhkan meliputi data pasien, data penyakitnya, data pengobatannya (Cipolle, 2012).

Terdapat 2 aktifitas utama yang sering terjadi dalam pengkajian pasien yaitu : (1) menggali info dari pasien, (2) membuat keputusan klinis tentang pengobatan pasien dan memenuhi kebutuhan Drug Related Need (Cipolle, 2012).

Pengembangan rencana asuhan memiliki tujuan untuk mengatur kesepakatan antar praktisi kesehatan dan pasien agar mencapai tujuan terapi yang diharapkan. Untuk mencegah munculnya DTP dan tercapainya tujuan dari rencana asuhan maka ilmu pengetahuan pasien terhadap pengobatan perlu ditingkatkan dengan bantuan dari apoteker. Rencana asuhan dibangun dengan tujuan membantu pasien agar bisa mencapai tujuan terapi yang diharapkan. Membangun rencana asuhan bisa dilaksanakan jika ada kolaborasi antara apoteker dengan pasien untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai (Cipolle, 2012).

Tujuan tindak lanjut evaluasi atau disebut Follow-up Evaluation adalah untuk menentukan hasil yang diperoleh dari terapi obat yang dijalani oleh pasien. Kegiatan itu adalah seperti membandingkan hasil terapi dengan tujuan yang ingin dicapai, menentukan efektifitas dan keamanan dari farmakoterapi, evaluasi kepatuhan pasien dan menentukan kondisi pasien sekarang (Cipolle, 2012).

Tindak lanjut evaluasi adalah suatu langkah dalam proses asuhan kefarmasian. Apoteker mengamati dan memilih pengobatan yang tepat dan dosis yang sesuai. Dalam praktek yang lebih benar Apoteker juga melakukan evaluasi respon pasien terhadap terapi obat yang diterimanya, mengenai keamanan, efektifitas, kepatuhan dan juga menentukan masalah baru jika ada muncul (Cipolle, 2012).

Aktifitas spesifik yang muncul dalam Follow-up Evaluation adalah :

1.Mengukur dan mengetahui hasil positif yang dialami oleh pasien dalam terapi pengobatannya (efektifitas).

2.Mengukur dan mengetahui efek yang tidak diinginkan dalam terapi yang dialami oleh pasien (keamanan).

3.Menentukan dosis terapi obat yang sebenarnya (kepatuhan).

4.Membuat penilaian klinis terhadap status kondisi medis pasien atau penyakit yang diatur dengan terapi yang dijalani (hasil).

5.Menilai kembali pasien untuk menentukan apakah muncul DTP yang baru.

(Cipolle, 1998).

2.1.3 Drug Therapy Problem (DTP)

Drug Therapy Problem atau disingkat DTP adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada pasien yang berpotensi untuk mengganggu tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi DTP adalah fokus utama dalam pengkajian proses perawatan. Mengidentifikasi DTP menjadikan dasar bagi asuhan kefarmasian untuk membuat diagnosis obat. DTP merupakan tanggung jawab utama bagi asuhan kefarmasian (Cipolle, 2012).

Untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan DTP apoteker harus mengetahui penyebab munculnya DTP. DTP memiliki 3 komponent utama pada pasien yaitu : suatu kejadian yang tidak diinginkan atau resiko yang akan dialami oleh pasien, terapi pengobatan, hubungan yang muncul antara kejadian yang tidak di inginkan dan terapi pengobatan. Hubungan yang muncul tersebut dapat berupa konsekuensi dari terapi obat yang menunjukkan hubungan langsung atau bahkan hubungan sebab akibat dan membutuhkan penambahkan atau bahkan modifikasi untuk resolusi dan pencegahan dari DTP (Cipolle, 2012).

Drug Therapy Problem memiliki 7 kategori utama. Penyebab DTP bisa saja berasal dari obatnya itu sendiri atau bisa diselesaikan oleh terapi obat. Pada 2 kategori pertama dalam DTP berhubungan dengan indikasi, pada kategori ke-3 dan ke-4 berhubungan dengan efektifitas, pada kategori ke-5 dan ke-6 berhubungan dengan keamanan dan pada kategori terakhir berhubungan dengan kepatuhan (Cipolle, 2012).

Tabel 2.2 Hubungan Drug Related Need Dan Drug Related Problem (Cipolle, 2012).

Drug Related Need

Kategori DTP

Indikasi

Terapi yang tidak diperlukan

Butuh penambahan pada terapi

Efektifitas

Obat tidak efektif

Dosis terlalu rendah

Keamanan

Efek samping yang muncul

Dosis terlalu tinggi

Kepatuhan

Ketidak patuhan

2.2 Kepatuhan

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Kepatuhan terhadap terapi menunjukkan bagaimana pasien dapat memahami tentang obat yang akan digunakan, dan perilaku positif pasien untuk termotivasi menggunakan pengobatan yang diresepkan yang ia terima dengan benar karena pasien merasakan efek positif dan manfaatnya. Istilah yang direkomendasikan adalah kepatuhan (Adherence) atau konkordansi daripada kepatuhan (Compliance). Persistence juga digunakan sebagai istilah pada pasien untuk mengetahui durasi dari pasien untuk menggunakan pengobatan yang diresepkan (Wilkins, 2005).

Kepatuhan terhadap pengobatan (Adherence) didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien dapat sesuai dan farmasis memberikan suatu pengobatan yang sesuai dengan nasihat medis. Kepatuhan (Adherence) lebih mengacu secara spesifik pada pemberian obat yang diresepkan. Namun Kepatuhan (Adherence) terhadap pengobatan, obat herbal, supplemen dan gaya hidup dapat memberikan suatu pengaruh pada kemanjuran rejimen farmakoterapi dari pasien. Kesuksesan kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan kerjasama antara pasien dan healthcare provider. Hal itu meliputi semua tindak pengobatan non-farmakologis dan farmakologis seperti gaya hidup, diet, olahraga, aktifitas yang dapat memberikan dampak pada pengobatan. Kepatuhan terhadap pengobatan (Adherence) lebih mengarah pada terminologi. Namun pada kondisi sekarang ini kepatuhan lebih ditekankan pada resep obat oral (Maclaughlin, 2005).

Kepatuhan (compliance) didefinisikan sebagai bentuk pemenuhan atau penyesuaian keinginan atau permintaan untuk memberikan suatu hasil. Kepatuhan (compliance) lebih dominan pada komunikasi 1 arah saja farmasis memberikan suatu arahan kesehatan dengan sedikit atau tidak ada sama sekali input dari pasien (Maclaughlin, 2005).

2.2.2 Ketidakpatuhan

Situasi yang umum dikaitkan dengan ketidakpatuhan terhadap terapi obat adalah kegagalan untuk menebus resep dan mendapatkan resep berikutnya setelah obat habis, kelalaian dosis, kesalahan dosis, kesalahan administrasi, kesalahan dalam waktu administrasi, dan penghentian premature, bahkan beberapa pasien yang berobat dan menerima resep tidak mengambil obat atau obat yang diresepkan diapotek. Ada juga pasien yang telah mengambil obat diapotek namun gagal untuk mengkonsumsinya. Dalam survei menurut Wilkins et al terdapat 2% konsumen yang tidak mengambil obat yang diresepkan karena mereka merasa telah sembuh atau karena masalah harga, atau merasa bahwa memiliki obat yang serupa dirumah mereka sendiri (Wilkins, 2005).

Terdapat berbagai macam alasan ketidakpatuhan yang diberikan oleh pasien. Alasan tersebut seperti lupa untuk mengkonsumsi, karena efek samping obat, karena merasa sudah baik, pengobatan yang diterima dirasa tidak berguna, kurangnya edukasi kesehatan, orang tua yang sibuk, kekurangan obat, kerumitan dari regimen pengobatan, ketidakpercayaan terhadap pentingnya nilai kepatuhan, ketidakmampuan untuk mengambil resep pengobatan, dan merasa malas (Al-Qasem, 2011).

Kelalaian dosis adalah hal yang sering terjadi dalam ketidakpatuhan, hal ini sering terjadi terhadap pengobatan yang rutin atau jangka panjang. Kesalahan dosis ini meliputi situasi jumlah dosis atau frekuensi pemakaian yang tidak tepat. Contoh administrasi atau pemakaian yang tidak tepat dalam pengobatan adalah pada penggunaan metered-dose inhalers, teknik pemakaian yang tidak tepat atau terkadang ada juga kesalahan rute pemberian. Kesalahan waktu pemberian pengobatan sering juga dihubungkan dengan makanan, seperti tetrasiklin, dalam penggunaanya harus terpisah dari makanan agar memiliki absorpsi yang maksimal (Wilkins ,2005).

Ketidakpatuhan sendiri dianggap sebagai permasalahan yang cukup besar terjadi dalam pengobatan pasien, WHO menyatakan bahwa ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah suatu permasalahan yang mencolok terjadi pada seluruh dunia. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan bisa memberikan dampak yang buruk terhadap hasil pengobatan, penyakit bisa lebih memburuk atau bahkan menyebabkan kematian. ketidakpatuhan juga menyebabkan meningkatnya biaya pengobatan dan bertambah lamanya waktu pengobatan (Tan Xi, 2014).

2.2.3 Deteksi Terhadap Kepatuhan

Metode pendeteksi ketidakpatuhan yang ideal akan mampu mengukur kepatuhan pasien pada tempat dan waktu kejadian di lokasi pasien mengambil resep pengobatan. Observasi dengan metode langsung memberikan hasil pengukuran kepatuhan yang ideal namun metode ini tidak praktis untuk digunakan. Dalam pengukuran kepatuhan pasien terdapat 2 metode yaitu metode langsung dan tidak langsung (Wilkins, 2005).

Metode langsung menggunakan suatu penanda biologis atau menggunakan senyawa penanda didalam tubuh pasien sebagai penanda kepatuhan pasien selama jangka waktu tertentu dalam terapi pasien tersebut. Sebagai contoh adalah dengan mengukur kadar glukosa dalam darah terhadap pasien diabetes melitus, pengukuran metode ini memberikan hasil yang objektif atau juga dapat dengan mengukur cairan biologis tubuh untuk mendeteksi indikator farmakologi kepatuhan (Wilkins, 2005).

Metode tak langsung memiliki beberapa metode, ada dengan cara mewawancarai atau self report pasien atau dengan metode pill count.Terdapat juga metode pengukuran kepatuhan tidak langsung yang lain yaitu dengan computerize compliance monitor yaitu metode pengukuran yang menggunakan teknologi komputerisasi, namun biaya yang dikeluarkan juga cukup besar (Wilkins, 2005). Pada metode self report perlu digunakan suatu pertanyaan yang terstruktur seperti Morisky Medication Adherence Scale untuk mengukur kepatuhan pasien. Namun masalah yang sering terjadi dalam metode self report adalah penyimpangan dari pasien itu sendiri ketika proses wawancara, karena pasien tidak menjawab dengan jawaban yang sebenarnya (Tan Xi, 2014).

Pada penelitian ini metode pengukuran kepatuhan yang digunakan adalah metode tidak langsung dengan memakai 2 metode yaitu pill count untuk mengukur % kepatuhan dari pasien dan self report MMAS-8 (Morisky medication adherence scale).

2.2.4 MMAS-8 (Morisky medication adherence scale)

Pada tahun 1986 Morisky mengeluarkan suatu metode pengukuran kepatuhan pasien pertama kali di uji coba pada pasien hipertensi. Awalnya morisky hanya memakai 4 item saja dan jawabannya bersifat dichotomous ya/tidak. Namun hasil yang diperoleh tidak terlalu baik karena nilai cronbach alpha yang diperoleh hanya sebesar 0,61 lebih rendah dari 0,70 dan spesifisitas sensitifitasnya masih rendah. Pada tahun 2008 Morisky mengembangkannya menjadi 8 item MMAS-8, yaitu pengembangan dari MMAS-4. Pada MMAS-8 terdiri dari 7 pertanyaan dichotomous dan pertanyaan terakhir adalah likert. Hasil psychometric yang diperoleh cukup tinggi yaitu sensitivitas & spesifisitasnya 93%, 55%, nilai cronbach alpha 0,83 tinggi (Tan Xi, 2014).

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Waleed M Sweileh (2014) yang melakukan survei kepatuhan terhadap pasien diabetes tipe 2 di Palestina. Pada penelitian ini besar sampel yang digunakan adalah 405 dilakukan di klinik Al-makhfia. Diperoleh hasil 232 pasien dianggap patuh (MMAS-8 Adherence score 6) 173 pasien dianggap tidak patuh (MMAS-8 Adherence score