bab 1jhasbab

Upload: dwifajarwatiprayitno

Post on 14-Oct-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HXSHZjxBJZbJZBBX H zx

TRANSCRIPT

61

KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIFITAS DANCE/MOVEMENT THERAPY DENGAN LAGU DOLANAN JAWA TERHADAP SKOR INSOMNIA LANSIA PASCA BENCANA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

MONIKA TATYANA YUSUF20100310057PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2014HALAMAN PENGESAHAN KTIEFEKTIFITAS DANCE/MOVEMENT THERAPY DENGAN LAGU DOLANAN JAWA TERHADAP SKOR INSOMNIA LANSIA PASCA BENCANA

Disusun oleh:

MONIKA TATYANA YUSUF20100310057Telah disetujui pada tanggal 30 Januari 2014Dosen pembimbing

Dosen pengujidr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc, Sp.KJ dr. H. Kusbaryanto, M.Kes.

NIK. 173 042

NIK. 173 022MengetahuiKaprodi Pendidikan Dokter FKIKUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni,M.Kes. Sp.OG

NIK. 173027PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Monika Tatyana YusufNIM

: 20100310057 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas

: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan karya tulis ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, Januari 2014 Yang membuat pernyataan,

Monika Tatyana Yusuf KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabilalamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat Nya sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul Efektifitas Dance/Movement Therapy dengan Lagu Dolanan Jawa Terhadap Skor Insomnia Lansia Pasca Bencana. Penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih kepada:1. Allah AWT, atas segala kemudahan, kelancaran dalam dapat menyelesaikan karya tulis ini.2. dr. H. Ardi Pramono Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.3. Dr. Alfaina Wahyuni,Sp.OG.,M.Kes selaku Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.4. dr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc,SpKj yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat dengan penuh dedikasi dan keikhlasannya.5. dr. H. Kusbaryanto, M.Kes., selaku dosen penguji seminar KTI. Terimakasih atas saran dan masukan yang bermanfaat bagi KTI penulis.

6. Kedua orangtua serta keluarga yang senantiasa mendukung dan mendoakan.7. Bapak/Ibu warga Dukuh Petung dan Jambu yang telah menjadi responden penelitian serta kader lansia Dukuh Petung dan Jambu yang memberikan izin dan membantu terselenggaranya intervensi.

8. Sahabat dan rekan penelitian seperjuangan terbaik Nitami Oktavia Indiarti yang senantiasa selalu menyemangati dan membantu saat mengerjakan penelitian ini.9. Adik angkatan 2011 Dika Rizki Ardiana yang senantiasa membantu penelitian dalam pembuatan modul CD dan pelaksaan intervensi penelitian.10. Sahabat-sahabat tersayang: Rina Wulandari, Sonia Pramesti, Patria Emantika, Tantari Rahmawati, Marita Puspitasari, Fanny Susanti yang senantiasa memberikan dukungan dan doa sehingga KTI ini dapat selesai dengan baik.11. Kakak angkatan 2009 mas Herlingga dan mas Habibi yang bersedia membantu memberikan referensi dalam pembuatan KTI ini.12. Rekan penelitian, Lusi, Arif, Dea, Mira, Zulfa dan Anggita atas kerjasamanya yang baik dan kompak.Penulis sadar bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari pembaca. Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan jiwa.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Yogyakarta, Januari 2014 Penulis

DAFTAR TABELTabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Dusun Petung dan Dusun Jambu, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta..............................70Tabel 2. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada Responden Lansia Kelompok Perlakuan....................................................73Tabel 3. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada Responden Lansia Kelompok Kontrol.......................................................74Tabel 4. Hasil Analisa Independent Sample T Test Skor Pre-test Insomnia Responden Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.........................75 Tabel 5. Hasil Analisa Mann Whitney Test Skor Post-test Insomnia Responden Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol................................76Tabel 6. Hasil Analisa Perbedaan Rerata Skor Pre-test dan Post-test Insomnia Responden Lansia Kelompok Perlakuan..........................................77Tabel 7. Hasil Uji Beda Independent Sample T-Test Selisih Skor Insomnia Pre-test dan Post-test pada Responden Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.......................................................................................78DAFTAR LAMPIRANLamp. 1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent).............106Lamp. 2. Formulir Identitas Diri Responden Penelitian..................................107Lamp. 3. Kuesioner Skor Insomnia..............................................................108

Lamp. 4. Modul/Panduan Pelaksanaan Dance/Movement Therapy...................110Lamp. 5. Hasil Analisa Data SPSS..............................................................117BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan pemerintah dalam hal pembangunan di segala bidang, telah mewujudkan hasil yang positif, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kesehatan. Peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpengaruh terhadap meningkatnya kualitas kesehatan penduduk serta usia harapan hidup manusia. Usia harapan hidup yang meningkat ini pun akan diikuti meningkatnya jumlah populasi penduduk yang berusia lanjut.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) di dunia jumlah lanjut usia (lansia) diperkirakan berjumlah 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Indonesia proporsi penduduk lansia tahun 2010 meningkat sekitar 9,77 persen, sedangkan tahun 2020 diperkirakan proporsi lanjut usia dari total penduduk Indonesa dapat mencapai 11,34 persen dari total keseluruhan penduduk (Komnas Lansia, 2010). Berdasarkan data dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat (Kesra,2008) di Indonesia diperkirakan Usia Harapan Hidup (UHH) pada tahun 2020 akan mencapai usia sekitar 71,1 tahun.Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat memiliki Usia Harapan Hidup (UHH) tertinggi di Indonesia yaitu 74 tahun dengan angka tertinggi ada di Kabupaten Sleman yaitu 75,6 tahun melebihi usia harapan hidup nasional yaitu 71 tahun (Kesra,2012).Menurut data Badan Pusat Statistik RI - SUSENAS 2009 jumlah penduduk lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah yang tertinggi dengan persentase 14,02% diikuti Jawa Tengah 10,99%, Jawa Timur 10,92%, dan Bali 10,79%.

Menurut Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lansia Nomor 13 Tahun 1998 pasal 1, lanjut usia (lansia) adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Proses menua merupakan suatu proses fisiologi yang akan terjadi pada setiap manusia. Menurut Setiati, dkk., (2010) proses menua adalah proses yang mengubah seseorang dewasa sehat menjadi seseorang yang frail (lemah, rentan) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksposensial.

Beberapa perubahan baik fisik dan psikologis terjadi pada lansia diantaranya terjadi perubahan secara fisiologis pada sistem kardiovaskular, gastrointestinal, hormonal, dan lain-lain yang memengaruhi terjadinya penurunan kondisi fungsi organ, aktifitas fisik, dan hubungan sosial. Faktor-faktor tersebut dapat membawa lansia rentan terhadap beberapa masalah penuaan (aging problem) terutama gangguan jiwa yaitu penurunan fungsi kognitif, depresi, kecemasan dan insomnia (Deary, et al., 2009).Salah satu yang banyak ditemukan pada lansia adalah insomnia. Walaupun insomnia dapat dialami oleh kategori semua umur, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah tersebut sangat rawan terjadi pada lansia. Hal ini dibuktikan bahwa pada lansia terjadi peningkatan prevalensi terhadap insomnia, khususnya insomnia primer (Roepke, et al., 2010). Insomnia adalah keluhan tidur yang sering dialami oleh kebanyakan lansia dicirikan dengan kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur diikuti dengan berkurangnya fungsi seseorang itu dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Insomnia memiliki beberapa subtipe diantaranya sulit untuk memulai tidur, mempertahankan tidur sepanjang malam, terbangun tiba-tiba pada dini hari lalu sulit untuk kembali tidur, dan sulit tidur karena kondisi maladaptif dari seseorang terhadap lingkungannya (Israel, et al., 2009).

Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2010 dengan partisipan sebanyak lebih dari 9000 lansia yang berumur lebih dari 65 tahun, 42% diantaranya mengalami kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur. Setelah dilakukan penilaian lebih lanjut 3 tahun kemudian, sebanyak 15% lansia yang sebelumnya tidak mengeluhkan adanya gangguan tidur menjadi mengalami gangguan tidur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kejadian gangguan tidur pada lansia sekitar 5% per tahunnya. Hal ini tentunya akan mengurangi kualitas hidup lansia (Roepke, et al., 2010). Menurut Amir (2011) setiap tahun diperkirakan sekitar 20-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius, prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Terkadang insomnia ini berkaitan dengan penyakit penyerta (organik) dan gangguan mental. Banyak lansia dengan penyakit organik seperti arthritis, kanker, nokturia, gagal jantung kongestif, obstruksi paru-paru kronik mengeluhkan adanya sulit tidur (Foley, et al., 2004). Seseorang dengan gangguan mental seperti depresi sangat berkaitan juga dengan insomnia. Insomnia yang tidak disembuhkan dapat menjadikan depresi dan begitu sebaliknya insomnia juga dapat menjadi salah satu gejala dari depresi dengan karakteristik insomnia yang persisten atau berkepanjangan (Cole, et al., 2003).Menurut World Health Organization (2002) bencana adalah peristiwa yang dapat terjadi di suatu daerah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) bencana dapat mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur dalam sosial masyarakat dan menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar setiap individu. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah : 155-157 berikut

Arti :Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al Baqarah (2) : 155-157).

Kejadian bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 banyak menyisakan dampak-dampak yang cukup serius di Yogyakarta. Salah satu daerah yang terkena dampak dari erupsi tersebut adalah Dusun Petung dan Dusun Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Berkaitan dengan hal tersebut, lansia pasca bencana pastilah memiliki kerentanan lebih besar daripada lansia yang tidak mengalami bencana untuk mengalami masalah seperti gangguan fisik, terutama gangguan jiwa seperti trauma, kecemasan, gejala depresi dan tanpa terkecuali insomnia karena banyaknya stressor yang dihadapi saat pasca bencana.

Faktor psikososial juga sangat berperan dalam memengaruhikualitas hiduplansia,misalnyakehilangan pasangan hidup, kehilangan sistem pendukung dari keluarga, teman dan tetangga, perubahan status dan perannya dalam kelompok sosial (Williams, et al., 2008). Sama halnya dengan lansia pasca bencana erupsi Merapi di DIY, mereka mengalami trauma pasca bencana, kehilangan tempat tinggal, harta benda, keluarga, dan pekerjaan. Sementara sekarang lansia tersebut harus tinggal di tempat yang berbeda dari tempat tinggal terdahulu. Mereka sulit untuk melakukan pekerjaan mereka sebelum erupsi Merapi seperti beternak, mencari rumput, bertani, karena tempat, situasi, dan kondisi yang tidak memungkinkan sehingga menyebabkan lansia-lansia tersebut tidak memiliki kegiatan. Hal ini membuat kualitas hidup lansia pasca bencana menjadi tidak baik dengan berbagai macam masalah yang dialami.

Untuk meningkatkan kualitas hidup lansia pasca bencana, maka dapat dilakukan upaya preventif yang dapat mencegah gangguan jiwa pada lansia. Menurut Roepke, et al., (2010) salah satu gangguan jiwa pada lansia yang banyak prevalensinya adalah insomnia. Jika pada uraian di atas disebutkan bahwa lansia yang tidak mengalami bencana saja mempunyai persentase sekitar 42% -50% untuk mengalami insomnia maka lansia pasca bencana dapat mempunyai kerentanan yang lebih besar untuk mengalami insomnia. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai terapi yang efektif untuk insomnia baik secara farmakologik dan non-farmakologik. Secara farmakologik, dapat dilakukan terapi dengan benzodiazepine (Flurazepam, Quazepam, Midazolam, Triazolam dll) atau benzodiazepine receptor agonist seperti (Zaleplon, Zopiclone, dan Zolpidem) (Montgomery, et al., 2006). Sedangkan non-farmakologik telah dilakukan penelitian mengenai intervensi aktivitas fisik mulai dari yang berintensitas sedang (moderate) hingga aerobik, edukasi higiene tidur, terapi relaksasi untuk meningkatkan kualitas tidur lansia. Dalam beberapa penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa terapi non farmakologik mempunyai efikasi yang sama dengan terapi farmakologik dan lebih memberikan manfaat bagi kesehatan sehingga banyak direkomendasikan bagi pasien insomnia. Terlebih lagi terapi farmakologik banyak mempunyai efek samping yang merugikan apalagi bagi lansia bila digunakan dalam jangka waktu yang lama atau adanya diskontinuitas secara tiba-tiba dari obat tersebut (Ramakhrisnan, et al., 2007).

Terapi non farmakologik bagi pasien insomnia yang paling sering digunakan adalah edukasi hygiene tidur dan aktifitas fisik sedang (Ramakhrisnan, et al., 2007). Salah satu aktifitas fisik sedang yang dapat dilakukan sebagai alternatif adalah menari atau yang dikenal dengan Dance/Movement Therapy. Menurut American Dance Therapy Association, Dance/Movement Therapy adalah suatu psikoterapeutik yang menggunakan gerakan sebagai integrasi fisik dan emosional dan merupakan salah satu aktifitas fisik sedang yang bersifat holistik. Dance/Movement Therapy dipilih karena selain memberikan kontribusi terhadap kesehatan secara fisik, juga dapat menggabungkan dengan aspek kombinasi emosi, stimulasi sensori, koordinasi motorik dan musik, juga menciptakan keakraban dalam hubungan sosial sesama individu (Harris, et al., 2007;Bremer Zoe, 2007;Williams et al., 2008). Dance/Movement Therapy dihipotesiskan dapat meningkatkan kualitas tidur lansia dengan berdasarkan kepada teori bahwa aktivitas fisik sedang seperti berjalan, bersepeda dapat memberikan efek termogenik, meningkatkan serotonin dan imunitas, serta mengurangi kecemasan dan depresi (Giselle, et al., 2012). Aktifitas fisik dengan intensitas sedang yang dilakukan seperti berjalan, bersepeda dapat dianalogikan pada kegiatan menari (dancing). Kattenstroth, et al., (2010) menyebutkan bahwa menari termasuk salah satu aktifitas fisik (exercise) yang mengkombinasikan emosi, koordinasi antara motorik dan musik, stimulasi sensorik, dan dapat memperkaya interaksi sosial dan interaksi seorang individu dengan lingkungan sekitarnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, kegiatan menari bagi lansia ini dilakukan secara teratur dengan jadwal yang telah ditentukan. Sedangkan untuk memudahkan lansia beradaptasi dengan tarian yang baru dipelajarinya, maka digunakan iringan musik lagu daerah setempat dengan maksud menyesuaikan latar belakang budaya lansia pasca bencana tersebut.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan lagu dolanan jawa seperti Gundul-Gundul Pacul, Suwe Ora Jamu, Menthok-Menthok, Padhang Bulan, Tul Jaenak, dll. Sedangkan gerakan yang ditarikan adalah gerakan-gerakan sederhana meliputi pemanasan (warming up), latihan kaki dan tangan (hand and foot exercise), gerakan untuk koordinasi tangan dan kaki, menari berkelompok (group dance) yang mudah diikuti oleh lansia serta tidak membahayakan (Heiberger, et al., 2011).Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui efektifitas Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa terhadap penurunan skor insomnia yang dialami oleh lansia pasca bencana sebagai salah satu alternatif intervensi preventif maupun terapi non farmakologik insomnia bagi lansia pasca bencana. B. Perumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa efektif terhadap penurunan skor insomnia lansia pasca bencana di Dukuh Petung dan Dukuh Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis efektifitas Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa terhadap penurunan skor insomnia pada lansia di Dukuh Petung dan Dukuh Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta.2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis skor insomnia lansia pasca bencana sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa pada responden kelompok perlakuan. b. Menganalisis skor insomnia awal dan akhir lansia pasca bencana pada responden kelompok kontrol. c. Menganalisis perbedaan skor insomnia awal dan akhir lansia pasca bencana yang diberikan kegiatan Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa pada responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Dukuh Petung dan Dukuh Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan Sleman Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :1. Teoritis

a. Bagi Ilmu Kedokteran Jiwa

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dokter dalam melaksanakan intervensi di masyarakat khususnya dalam hal penanganan kepada lansia dengan insomnia baik yang mengalami pasca bencana atau tidak.

b. Bagi Institusi Kesehatan

Penelitian ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan dalam hal terapi non-farmakologi bagi lansia yang mengalami insomnia. 2. Praktis

a. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan sehingga dapat memberikan pelayanan dan perawatan kepada lansia pasca bencana.b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya terkait insomnia.

c. Bagi Lanjut Usia Pasca Bencana Penelitian ini diharapkan dapat dilakukan secara mandiri oleh lansia pasca bencana atau oleh care givers lansia, sehingga diharapkan memberikan hiburan kepada lansia, meningkatkan hubungan interpersonal antar lansia, menurunkan skor insomnia yang dialami dan memiliki kualitas hidup di masa tua yang lebih baik.d. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan menjadi informasi serta masukan yang dapat membantu lansia mengatasi insomnia sehingga diharapkan kualitas hidup lansia menjadi lebih baik.e. Bagi Tenaga Kesehatan dan Kader LansiaDapat memberikan informasi dalam memberikan terapi pada lansia yang mengalami insomnia dengan menyediakan modul Dance/Movement Therapy baik secara tertulis maupun audiovisual sebagai terapi non farmakologi yang lain untuk mengatasi masalah insomnia pada lansia.E. Keaslian Penelitian

Berikut telah dilakukan beberapa penelitian mengenai terapi non farmakologi bagi insomnia dan mengenai Dance/Movement Therapy :1. Giselle S. Passos et al., (2010) dengan judul Effect of Acute Physical Exercise on Patient with Chronic Primary Insomnia. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efek dari latihan fisik akut dari intensitas sedang hingga intensitas yang tinggi terhadap insomnia kronik primer dan kecemasan sebelum tidur. Subyek dalam penelitian ini adalah 48 pasien insomnia berusia antara 36-48 tahun. Skor insomnia dinilai dari polysomnograph, sedangkan skor kecemasan sebelum tidur dinilai dengan STAI Questionnaire-State Scale (State Trait Anxiety Inventory). Didapatkan hasil dari polysomnogram bahwa dengan latihan fisik akut pada intensitas sedang dapat menurunkan Sleep Onset Latency 50% dan total waktu terbangun (Total Wake Time) sebesar 30%, meningkatkan total waktu tidur (Total Sleep Time) 18%, efisiensi tidur (Sleep Eficiency)13%, dan dari hasil STAI didapatkan latihan fisik dengan intensitas sedang dapat menurunkan kecemasan (Anxiety) 15%. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu sama-sama terapi non farmakologi bagi insomnia. Sedangkan perbedaannya adalah pada intervensi, instrumen, dan subyek penelitiannya. Pada penelitian yang akan dilaksanakan, intervensi yang dilakukan adalah Dance/Movement Therapy dimana aktifitas fisik dengan intensitas sedang seperti berjalan, bersepeda statis dan treadmill yang juga termasuk dalam aerobic exercise, penulis analogkan dengan Dance/Movement Therapy karena mempunyai mekanisme yang sama untuk menurunkan skor insomnia. Sedangkan instrumen yang digunakan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah Insomnia Rating Scale dari Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta dan untuk subyek penelitian adalah lansia pasca bencana berusia >65 tahun.2. Reid J. Kathryn et al., (2010) dengan judul Aerobic Exercise Improves Self-Reported Sleep and Quality of Life in Older Adults with Insomnia. Pada penelitian ini bertujuan untuk menilai efikasi latihan fisik aerobic dan edukasi hygiene tidur untuk menurunkan skor insomnia, depresi dan meningkatkan kualitas hidup pada penderita insomnia. Subjek penelitian adalah pasien dewasa lanjut berusia 55 tahun. Skor insomnia pada penelitian ini menggunakan PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index), ESS (Epworh Sleepiness Scale), sedangkan kualitas hidup dinilai dengan SF-36 (Short Form-36) dan untuk depresi dinilai dengan CES-D (Centre for Epidemiological Studies Depression Scale). Didapatkan hasil bahwa latihan fisik aerobik ditambah terapi edukasi sleep hygiene dapat meningkatkan kualitas tidur, perasaan senang (mood), dan kualitas hidup pasien insomnia pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya peningkatan kualitas tidur.Perbedaannya adalah pada intervensi yang dilakukan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah Dance/Movement Therapy. Instrumen penelitian yang akan digunakan adalah Insomnia Rating Scale dari Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta. 3. Kattenstroth, J.C., et al., (2010) dengan judul Superior Sensory, Motor and Cognitive Performances in Elderly Individuals with Multi Year Dancing Activities. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan fungsi kognitif, sensorik dan motorik antara lansia berumur 65-84 tahun yang pada masa mudanya memiliki riwayat aktivitas menari dan berolahraga kira-kira selama 16,5 tahun terakhir dibandingkan dengan lansia yang pada masa mudanya tidak memiliki riwayat tersebut. Subyek penelitian adalah lansia yang berusia 65-84 tahun. Fungsi kognitif diukur dengan menggunakan RSPM (Raven Standard Progressive Matrices), Geriatric Concentration Test, sedangkan pada fungsi keseimbangan diukur dengan Roomberg Test, fungsi motorik diukur dengan cara Tapping dan Hand-Arm Steadiness, fungsi sensorik diukur dengan Touch Treshold. Didapatkan hasil bahwa pada lansia yang mempunyai riwayat menari dan berolahraga pada masa mudanya memiliki nilai yang lebih tinggi dalam test di segala aspek yaitu fungsi kognitif, sensorik, dan motorik. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sama-sama bertujuan untuk menilai efektifitas dance therapy bagi lansia. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel tergantung mengenai efek yang diukur pada lansia yaitu fungsi kognitif, sensorik, dan motorik sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah skor insomnia.

4. Jeong, YJ et al., (2005) dengan judul Dance/Movement Therapy Improves Emotional Responses and Modulates Neurohormones in Adolescent with Mild Depression. Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil kesehatan psikologikal dan perubahan neurohormon pada remaja dengan depresi ringan. Subyek penelitian ini adalah remaja berusia rata-rata 16 tahun dan dipilih secara acak dan sukarela (volunteer) dari remaja-remaja tersebut dengan jumlah masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah 20 orang. Dance/Movement Therapy dilakukan selama 12 minggu. Instrumen yang digunakan adalah Scores for Psychological Distress (SCL 90-R) yang terdiri dari Dimension of Somatization (SOM), Obsessive-Compulsive (O-C), Interpersonal Sensitivity (I-S), Depression (DEP), Anxiety (ANX), Hostility (HOS), Phobic Anxiety (PHOB), Paranoid Ideation (PAR), Pshycoticism (PSY). Hasil yang didapatkan adalah adanya penurunan pada Scores for Psychological Distress (SCL 90-R) dan terdapat kenaikan dari serotonin dan dopamine serta stabilisasi dari sistem saraf simpatis. Persamaan yang terdapat pada penelitian ini adalah sama-sama menggunakan intervensi Dance/Movement Therapy. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian tersebut adalah remaja sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan adalah lansia pasca bencana dan perbedaan variabel dependent (tergantung) pada penelitian tersebut adalah depresi sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah insomnia. Penulis memiliki asumsi bahwa antara depresi dan insomnia dapat saling berhubungan karena insomnia termasuk dalam salah satu gejala dari depresi. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

F. Landasan Teori

1. Lanjut Usia

a. Pengertian Lansia

Menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Kejadian ini pasti akan dialami oleh setiap manusia yang berusia panjang dan tidak dapat dihindari. Sedangkan menurut BAB I pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraaan Lanjut Usia, bahwa lansia adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas atau lebih (Maryam, 2008).

b. Batasan Lanjut Usia Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) meliputi :

a) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 59 tahun.

b) Lanjut usia (elderly) yaitu seseorang yang berusia antara 60-74 tahun.

c) Lanjut usia tua (old) yaitu seseorang yang berusia antara 75-90 tahun.

d) Usia sangat tua (very old) yaitu seseorang yang berusia di atas 90 tahun atau lebih.2. Proses Menua

a. Definisi Proses Menua

Menurut Darmojo (2010) proses menua adalah proses sepanjang hidup, alamiah terjadi terus-menerus dan telah melalui tiga fase dalam kehidupan yakni anak, dewasa, dan tua. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika membicarakan proses menua :

a) Aging (bertambahnya umur) yaitu menunjukkan efek waktu;suatu proses perubahan; biasanya bertahap dan spontan;b) Senescence (menjadi tua) yaitu hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian);c) Homeostenosis yaitu penyempitan / berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ.

(Setiati, dkk., 2010) Saat terjadi proses menua, manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes mellitus, dan kanker) yang akan menyebabkan lansia menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastasis kanker, dsb. (Darmojo, 2010).

b. Teori Penuaan

Menurut Setiati (2010), setelah dilakukan penelitian eksperimental di bidang gerontologi dasar, dihasilkan beberapa teori tentang proses menua yang dapat diterima saat ini, antara lain :

(1) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory of Aging)Teori ini diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun 1956 yang menyatakan bahwa proses menua normal merupakan akibat kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan yang terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai proses selular atau metabolisme normal yang melibatkan oksigen. Contohnya adalah reactive nitrogen species dan reactive oxygen species. Karena elektronnya tidak berpasangan, maka secara kimiawi, radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi lain misalnya protein dan lemak tidak jenuh.

Membran sel dengan mengandung sejumlah lemak dapat bereaksi dengan radikal bebas dan mengalami perubahan struktur. Akibat perubahan struktur tersebut, membran sel menjadi lebih permeabel terhadap berbagai substansi. Tidak hanya membran sel namun stuktur di dalam sel seperti lisosom dan mitokondria juga diselimuti membran yang mengandung lemak dan mudah diganggu oleh radikal bebas.

Kejadian ini semakin lama akan merusak membran dan fungsi sel. Teori ini mengatakan bahwa sejalan dengan waktu telah terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap dan jika telah melewati ambang batasnya maka akan timbul suatu perubahan-perubahan yang disebut penuaan. Sebenarnya setiap individu telah diberi kemampuan untuk menghasilkan antioksidan sebagai penangkal, tetapi pada tingkat tertentu antioksidan tidak dapat melindungi tubuh dari radikal bebas yang berlebihan.(2) Teori GlikosilasiSeiring bertambahnya usia terdapat proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan antara glukosa dan protein yang disebut advanced glycation end products (AGEs). Pada saat manusia menua, AGEs berakumulasi bersama kolagen di berbagai jaringan.

Muatan kolagen yang tinggi menyebabkan jaringan ikat menjadi kurang elastis dan lebih kaku. Kondisi ini juga dapat memengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs juga diduga berinteraksi dengan DNA sehingga mungkin dapat menganggu kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada DNA. (3) Teori DNA RepairTeori DNA Repair atau mitochondrial DNA repair ini terkait erat dengan teori radikal bebas karena sebagian besar radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria. Mutasi DNA mitokondria (mtDNA) dan pembentukan ROS di mitokondria saling memengaruhi satu sama lain membentuk vicious cycle yang dapat memperbanyak kerusakan oksidatif dan disfungsi selular, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.

Mutasi mtDNA pada manusia terjadi setelah pertengahan usia 30 an dan terakumulasi seiring dengan pertambahan usia, namun jarang melebihi 1%. Rendahnya jumlah akumulasi mutasi mtDNA ini karena sebenarnya mutasi mtDNA ini dapat dicegah oleh proses repair yang terjadi di tingkat mitokondria, namun apabila terdapat gangguan repair pada kerusakan oksidatif ini maka dapat menyebabkan percepatan proses penuaan (accelerated aging). Selain itu, mutasi mtDNA akibat gangguan repair ini juga dikaitkan dengan munculnya keganasan, diabetes mellitus dan penyakit neurodegeneratif. c. Perubahan Fisiologi pada Lansia

Proses menua diiringi oleh beberapa perubahan fisiologis pada lansia yang mencakup beberapa sistem dalam tubuh manusia. Menurut Nugroho (2008), perubahan akibat proses menua terdiri dari ;

1) Perubahan Fisik atau Fisiologi

a) Sel

Jumlah sel menurun, ukuran sel besar, cairan tubuh berkurang, perbaikan sel terganggu, berat otak berkurang.

b) Sistem Persarafan

Sel saraf otak lambat dalam bereaksi, hubungan persarafan, memori dan ketahanan terhadap suhu menurun.

c) Sistem Pendengaran

Penurunan pendengaran, membran timpani atrofi, terjadi penggumpalan serumen, tinnitus serta mengalami vertigo.

d) Sistem Penglihatan

Spinchter pupil timbul sklerosis, respon sinar menghilang dan kornea berbentuk sferis. Lensa mata buram, penurunan daya akomodasi, lapang pandang dan membedakan warna.

e) Sistem Kardiovaskular

Katup jantung tebal dan kaku, elastisitas dinding aorta menurun. Penurunan curah jantung, efektifitas pembuluh darah perifer dan elastisitas pembuluh darah hilang.

f) Sistem Suhu

Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan penurunan aktifitas otot.

g) Sistem Pernafasan

Atrofi otot pernafasan, aktifitas silia menurun, penurunan elastisitas paru, alveoli melebar, reflek batuk berkurang, penurunan sensitifitas terhadap hiperkarbia dan hipoksia.

h) Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, penurunan pengecapan, rangsang lapar, peristaltik, absorpsi, hepar mengecil, aliran darah berkurang.

i) Sistem Reproduksi

Pada lansia wanita terjadi atrofi pada vagina, ovarium, uterus, payudara, selaput lender vagina berkurang, berubah warna, dan sifat. Sedangkan pada lansia pria fungsi seksual dan reproduksi spermatozoa tetap.

j) Sistem Genitourinaria

Atrofi ginjal, penurunan aliran darah, keseimbangan elektrolit dan asam terganggu, otot vesika urinaria lemah, kapasitas menurun. Pada lansia pria, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga terjadi retensi urin dan juga meningkatnya resiko pembesaran prostat.k) Sistem Endokrin

Penurunan hormone estrogen, progesterone, testoteron, kelenjar pancreas, kelenjar adrenal, ACTH, TSH, FSH, LH, aktivitas tiroid, aldosteron, dan sekresi hormon kelamin.

l) Sistem Integumen

Kulit berkerut, kusam, respon trauma menurun, rambut tipis dan putih. Pertumbuhan kuku lambat dan keringat berkurang.

m) Sistem Muskuloskeletal

Densitas tulang dan kartilago turun, demineralisasi, gerakan terbatas, gangguan gaya berjalan, jaringan penghubung melemah, persendian membesar, kaku otot dan tendon atrofi.

2) Perubahan Psikososial

Perubahan peran dalam keluarga, kehilangan jabatan, penghasilan dan menjadi pensiun membuat lansia merasa sepi dan tidak dihargai dalam hidupnya karena mempunyai kesempatan lebih sedikit daripada saat berusia muda.

3) Perubahan Psikologi pada Lansia

Komponen yang berperan di sini adalah kapasitas penyesuaian diri yang terdiri atas pembelajaran, memori (daya ingat), perasaan, kecerdasan, dan motivasi.

Proses penuaan pada usia lanjut terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Adanya penurunan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi (Rosidawati, et al., 2008). Perubahan psikologis yang terjadi bisa karena dampak perubahan fisik dan psikososial. Perubahan tersebut meliputi short term memory, frustasi, kesepian, ketakutan kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan (Maryam, 2008).

3. Bencana dan Pasca Bencana

a. Pengertian Bencana

Menurut WHO (World Health Organization) (2002) bencana (disaster) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya skor kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu memerlukan respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BNPB, 2012).b. Dampak Psikologis Pasca BencanaTerdapat berbagai macam masalah yang timbul setelah terjadinya bencana, diantaranya adalah masalah kesehatan, sosial, dan psikologis. Salah satunya yang berdampak panjang adalah masalah psikologis. Respon psikologis dan perilaku pasca bencana dibagi menjadi empat fase:

1) Fase pertama terjadi beberapa jam setelah bencana sampai beberapa hari: emosi yang kuat, tidak percaya dengan apa yang terjadi, perasaan tumpul, takut dan kebingungan. Respon tersebut merupakan respon normal setelah mengalami kejadian yang luar biasa. Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguan stres akut.

2) Fase kedua ini biasanya berdatangan bantuan dari luar daerah tersebut. Gejala - gejala intrusif (flashback atau mimpi buruk), ketegangan berlebihan, keluhan fisik (kelemahan, terasa melayang, sakit kepala dan mual), mudah marah, iritabilitas dan menarik diri dari pergaulan. Gangguan jiwa yang dapat terjadi adalah gangguan stres pasca trauma, gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan penyesuaian, gangguan penyalahgunaan zat.

3) Fase ketiga terjadi beberapa bulan sampai satu tahun pasca bencana. Fase ini ditandai dengan rasa tidak puas dan kemarahan ketika harapan untuk mendapatkan pertolongan dan pemulihan secara emosional maupun lingkungan tidak terpenuhi. Rasa kebersamaan menurun dan masing-masing anggota masyarakat fokus pada kebutuhan sendiri. Gangguan jiwa yang dapat dialami adalah gangguan stres pasca trauma kompleks, gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan penyesuaian, gangguan penyalahgunaan zat.

4) Fase keempat (rekontruksi) terjadi lebih dari satu tahun atau lebih. Survivor mulai mencoba membangun kembali kehidupannya dengan kembali ke pekerjaan semula atau mencari pekerjaan baru, membangun kembali rumahnya dan membuat jaringan sosial serta dukungan sosial baru. Pada fase ini sebagian besar survivor mampu pulih pada fungsi psikososial yang optimal, sebagian kecil (kurang dari 1 %) berkembang menjadi gangguan mental yang kompleks dan menetap. Gangguan jiwa yang dapat dialami adalah gangguan stres pasca trauma kompleks, gangguan kepribadian pasca peristiwa katastropik (Benedek et al., 2005 cit Suyanto, 2011 ). c. Kelompok Rentan

Kerentanan adalah keadaan atau sifat perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan,dan menanggulangi dampak bahaya tertentu (Efendi, 2009).

Menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan penjelasan Pasal 26 Ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, penyandang cacat, dan lanjut usia (Efendi, 2009).4. Tidur

a. Pengertian Tidur

Menurut Kaplan (2010) tidur merupakan suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respons terhadap stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga. Tidur yang sebenarnya bermakna sebagai keadaan dimana otak dan pikiran serta tubuh diberi kesempatan untuk dapat beristirahat.Tidur dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu tersebut berada di dalam keadaan bawah sadar dan seseorang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik (Guyton, 2008).b. Proses Tidur Untuk mendapatkan proses tidur tidak ada satu pusat pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil sistem atau pusat yang terletak di batang otak dan saling mengaktifkan serta menghambat satu sama lain (Kaplan, 2010). Perangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur dengan sifat-sifat keadaan tidur alami. Kemungkinan perangsangan tersebut dilakukan oleh neurotransmitter serotonin (Guyton, 2008).

Daerah perangsangan yang paling mencolok dapat menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuclei rafe yang terletak di separuh bagian bawah pons dan di medulla. Serabut saraf dari nuklei ini menyebar setempat di formatio reticularis batang otak dan juga ke atas menuju thalamus, hipothalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan neokorteks serebri. Selain itu serabut-serabut ini juga menyebar ke bawah menuju medulla spinalis dan berakhir di radiks posterior. Telah diketahui bahwa banyak ujung serabut nuclei rafe ini menyekresikan serotonin (Guyton, 2008).

Selain itu, daerah perangsangan yang lain adalah beberapa area di nucleus traktus solitarius yang merupakan daerah terminal di medulla dan pons serta beberapa regio pada diensefalon meliputi bagian rostral hipotalamus terutama area suprachiasma (Guyton, 2008).c. Siklus Tidur

Terdapat 2 status primer pada siklus tidur yaitu rapie eye movement (REM) dan non- rapid eye movement (non REM). Status non REM (NREM) dibagi menjadi 4 stadium antara lain :

Stadium 1 : Saat transisi antara bangun penuh dan tidur, durasinya sekitar 30 detik sampai dengan 7 menit dan mudah sekali untuk dibangunkan. Dengan karakteristik gelombang otak low-voltage, terdapat campuran gelombang alfa, beta, dan kadang teta pada pemeriksaan electroencephalografi (EEG), tidak terdapat gelombang sleep spindles , kompleks K dan gelombang delta. Tonus otot lebih menurun daripada saat terjaga. Tidak terdapat gerakan mata yang cepat.

Stadium 2 : Semakin dalam tidur dibandingkan stadium 1, pada stadium ini sudah mulai sulit untuk dibangunkan walaupun dengan panggilan berulang-ulang. Ditandai dengan gelombang otak low voltage pada EEG. Terdapat campuran gelombang alfa, beta, dan teta. Perbedaan dengan stadium 1 adalah adanya gelombang high voltage yang disebut sleep spindles dan K complexes. Pada tonus otot terkadang terdapat peningkatan secara tiba-tiba menandakan otot belum rileks secara sepenuhnya.

Stadium 3 : Kira-kira 10 menit setelah stadium 2, seseorang akan memasuki stadium 3. Bersama stadium 4, sering disebut tidur yang dalam atau delta sleep. EEG menunjukkan gelombang yang lambat dengan amplitudo tinggi. Terdapat gelombang delta 20-50% dan sleep spindles. Pada stadium ini dikeluarkan growth hormone untuk pertumbuhan dan perbaikan untuk mempertahankan keutuhan dan kemudaan jaringan tubuh. Tidak terdapat gerakan bola mata yang cepat

Stadium 4 : Pada stadium ini sama seperti stadium 3 yaitu tidur dalam. Dengan gelombang delta lebih dari 50% dan terdapat gelombang sleep spindles. Tonus otot menurun daripada stadium sebelumnya. Tidak terdapat gerakan bola mata yang cepat. REM : Ditandai oleh periode autonom yang bervariasi, seperti perubahan detak jantung, tekanan darah, laju pernafasan, dan berkeringat. Terdapat campuran gelombang alfa,beta, dan teta pada pemeriksaan EEG. Pada stadium inilah mimpi saat tidur terjadi (Prayitno, 2002 ; Rahayu, 2009).

Dua puluh lima persen waktu tidur dihabiskan pada status REM dan tujuh puluh lima persen pada status non REM. Pada orang muda sehat waktu yang dibutuhkan dari stadium 1 sampai 3 adalah 45 menit. Sedangkan stadium 4 berlangsung sekitar 70-120 menit dan berulang sebanyak 6 kali. Waktu tidur pada orang dewasa normal adalah 8 jam. Empat jam pertama tidur terjadi pengulangan status non REM terutama pada stadium 3 dan 4, sedangkan empat jam kedua lebih banyak terjadi pengulangan pada stadium 1 dan 2 serta status REM (Rahayu, 2009). d. Pola Tidur Pada tidur orang normal terdapat pola tidur yang dinamakan pola siklus tidur dan bangun (irama sirkadian). Pola siklus tidur dan bangun (irama sirkadian) adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Irama sirkadian ini dipengaruhi oleh stimulus cahaya. Stimulasi cahaya terang masuk melalui mata dan menstimulasi nucleus supra-chi asmatic (NSC) di hipotalamus. NSC akan mengeluarkan suatu neurotransmitter yang memengaruhi pengeluaran berbagai hormone pengatur suhu tubuh, kortisol, growth hormone (GH) dan lain lain yang meregulasi siklus untuk bangun dan tidur (Rahayu, 2009).

Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperature badan, kortisol, dan GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormone melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal (bagian kecil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan memengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperature badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam dan terus meningkat sepanjang malam lalu menghilang pada jam 9 pagi (Rahayu, 2009).e. Perubahan Pola Tidur pada Lansia Seiring dengan bertambahnya usia terdapat berbagai keluhan mengenai sulit untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan lansia mengalami perubahan tidur diantaranya adalah karena proses menua secara fisiologik, perubahan irama sirkadian, kondisi medis dengan penyakit tertentu, peningkatan konsumsi suatu obat-obatan, gangguan psikiatri seperti depresi, insomnia, kecemasan, serta perubahan lingkungan dan gaya hidup (Roepke et al.,2010).

Secara fisiologik memang terdapat perubahan jam kebutuhan tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Pada usia 12 tahun kebutuhan tidur adalah sembilan jam, usia 20 tahun kebutuhan tidur berkurang menjadi delapan jam, usia 40 tahun menjadi tujuh jam, dan bertambahnya usia menjadi 60 dan 80 tahun masing-masing kebutuhan tidur menjadi enam setengah jam (Prayitno, 2002).

Terdapat perubahan durasi dan pola tidur pada lansia, pada lansia terjadi peningkatan durasi pada stadium 1 yaitu stadium transisi antara keadaan terjaga menuju keadaan tidur, normalnya waktu yang dibutuhkan adalah 3 -5 menit pada stadium 1 namun pada lansia dapat memanjang dari waktu normal. Dengan adanya disrupsi pada stadium 1 ini, maka akan berakibat pada disrupsi stadium-stadium tidur yang lainnya, seperti terjadinya penurunan pada stadium 3 dan 4, dimana stadium ini merupakan stadium tidur yang dalam (Roepke et al., 2010).

Selain itu fase REM dapat terjadi lebih awal dan juga terjadi peningkatan durasi. Fase REM adalah fase dimana seseorang mengalami mimpi. Sehingga pada lansia yang mengalami peningkatan durasi REM biasanya akan sering bermimpi di setiap tidurnya dan terkadang bermimpi buruk (Prayitno, 2002 ; Roepke et al 2010).

Berikut adalah tabel perubahan pola tidur pada lanjut usia yang diambil dari laporan subjektif lansia yang tinggal di rumah atau panti wreda. 15-75 % dari mereka mengeluhkan ketidakpuasan dari segi kualitas dan lamanya waktu tidur.

Perubahan Pola Tidur Lansia (Prayitno, 2002)

Pola Tidur Laporan Subjektif

Lamanya di tempat tidurMeningkat

Total waktu tidurMenurun

Ancang-ancang tidur (sleep latency)Meningkat

Terjaga setelah dimulai waktu tidurMeningkat

Tidur singkat pada siang hariMeningkat

Efisiensi TidurMenurun

Perubahan Dalam Struktur Tidur Pada Lansia (Prayitno, 2002)

Fase TidurHasil Polisomnografik

NREM

Stadium 1Meningkat

Stadium 2Bervariasi (umumnya menurun)

Stadium 3Menurun

Stadium 4Menurun

REM

KualitasMenurun

5. Insomnia Pada Lansia

a. Pengertian Insomnia

Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur. Insomnia adalah keluhan tidur yang paling sering ditemui dan dapat bersifat sementara atau menetap. Biasanya insomnia dengan periode singkat disebabkan oleh kecemasan, kesedihan yang mendalam. Pasien dengan insomnia biasanya memiliki satu atau lebih dari beberapa gejala yaitu sulit untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari dan sulit untuk kembali tidur, sering terbangun pada pagi-pagi buta, dan mengeluh lesu atau merasa tidak segar pada saat bangun tidur (Kaplan, 2010;Roy, 2012).

b. Jenis - Jenis Insomnia

Menurut Stanley & Beare (2006) insomnia berdasarkan waktunya dibagi menjadi 3 :

1. Jangka Pendek

Insomnia ini terjadi selama beberapa minggu (< 3 minggu). Keadaan ini cenderung tidak berat. Biasanya disebabkan karena stressor, seperti kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, dll. Insomnia ini akan menghilang ketika orang tersebut telah berhasil untuk beradaptasi dengan stressornya sehingga biasanya tidak memerlukan intervensi medis.

2. Sementara

Gangguan tidur yang bersifat sementara ini biasanya disebabkan karena perubahan lingkungan seperti kebisingan, berbedanya tempat tidur dari tempat yang biasanya, dan pengalaman yang menimbulkan ansietas.

3. Jangka panjang (kronis) atau menetap

Gangguan tidur ini berlangsung selama lebih dari 3 minggu bahkan seumur hidup. Biasanya disebabkan karena kebiasaan tidur yang buruk, konsumsi alkohol, masalah psikologis yang berat, dan penggunaaan obat tidur yang berlebihan. 40% dari orang dengan insomnia kronis ini memiliki keluhan gangguan tidur lain seperti gangguan tidur karena kaki gelisah, nyeri kronis, apnea tidur, dan memiliki underlying disease seperti arthritis, diabetes mellitus, dan kanker.

Sedangkan menurut Hidayat (2008) insomnia juga dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Insomnia initial

Insomnia yang terjadi dengan gejala kesulitan untuk jatuh tertidur atau mengawali tidur.

2. Insomnia intermiten

Insomnia yang terjadi dengan gejala atau keluhan sulit untuk mempertahankan tidur sehingga sering terbangun beberapa kali pada malam hari.

3. Insomnia terminalInsomnia yang terjadi dengan keluhan sering terbangun pada malam hari setelah itu kesulitan untuk memulai tidur kembali.c. Faktor Penyebab Insomnia pada Lansia

Terdapat beberapa faktor penyebab insomnia yang banyak dialami oleh lansia diantaranya ;

1. Faktor Fisiologik / Proses Menua

Sebuah studi mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia maka semakin turun hormone melatonin yang diproduksi dan berakibat terhadap menurunnya efisiensi tidur dan meningkatnya kejadian gangguan tidur irama sirkadian (Roepke, et al., 2010).

Hal ini didasari dari semakin bertambahnya usia juga diikuti dengan menurunnya fungsi nucleus suprachiasmatic yang mengatur pengeluaran hormon siklus bangun-tidur. Sehingga menyebabkan berkurangnya sinkronisasi antara siklus bangun dan tidur serta seringnya terbangun pada malam hari (Roepke, et al., 2010).

2. Faktor Hormonal

Biasanya yang mengalami gangguan tidur dengan faktor hormonal adalah wanita lanjut usia karena faktor menopause yang dialami. 25-50% wanita menopause mengeluh sulit untuk memulai dan mempertahankan tidur. Pada menopause terjadi perubahan hormone berupa penurunan hormon estrogen. Sebuah studi mengatakan bahwa estrogen mempunyai peran dalam siklus tidur dengan menaikkan waktu tidur, menurunkan sleep latency atau waktu untuk memulai tidur dan frekuensi bangun di malam hari (Roepke, et al., 2010)

3. Faktor Penyakit

Penyakit yang diderita oleh individu dapat menimbulkan nyeri atau distress fisik yang dapat mengganggu siklus tidur. Nyeri yang ditimbulkan ini dapat meningkatkan frekuensi terbangun di malam hari atau rasa tidak nyaman sehingga sulit untuk memulai tidur. Penyakit yang biasanya menyebabkan gangguan tidur dan banyak dialami oleh lansia diantaranya penyakit kardiovaskular seperti infark miokard,gagal jantung kongestif, kemudian diabetes mellitus, penyakit gangguan pernafasan, nyeri kronis seperti arthritis, kanker juga memberikan dampak gangguan tidur (Foley, et al., 2004).

4. Faktor Psikologis

Faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, kesedihan dapat memberikan kontribusi terhadap insomnia pada lansia. Faktor psikologis ini biasa dialami oleh lansia di atas 65 tahun (Wolkove, et al., 2007).

Sebuah studi mengatakan bahwa depresi dan insomnia saling berkaitan, insomnia yang tidak tertangani dengan baik atau individu yang mengalami insomnia persisten, terutama wanita dapat menaikkan faktor resiko untuk berkembang menuju depresi, sedangkan depresi juga dapat menyebabkan insomnia. Pada individu dengan depresi terjadi penurunan serotonin yang berakibat terhadap gangguan tidur (Cole, et al., 2003;Israel, et al., 2009).

Menurut studi yang dilakukan oleh Ohayon dan Roth, 65% orang dengan depresi, 61% orang dengan gangguan panik, dan 44% orang dengan gangguan ansietas umum mengalami insomnia (Israel, et al., 2009).5. Faktor Medikasi

Penggunaan obat pada lansia semakin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya sakit yang diderita. Terkadang ketidakwaspadaan seorang dokter dalam memberikan obat kepada lansia juga memberikan kontribusi gangguan tidur atau insomnia terhadap lansia (Wolkove, et al., 2007).

Obat-obatan seperti penyakit kronis dan gangguan jiwa sering memberikan dampak insomnia diantaranya adalah stimulant sistem saraf pusat (modafinil, methylphenidate), antihipertensi (-blockers, -blockers), obat gangguan pernafasan seperti bronchodilator (theophyline, albuterol, dekongestan (pseudoephedrines), diuretik, hormone (corticosteroids, hormone tyroid), obat psikotropik (SSRIs, MAO inhibitors), sehingga perlu disarankan untuk penggunaan obat yang bersifat stimulan atau diuretik sebaiknya digunakan saat siang hari, sedangkan obat yang bersifat sedative dikonsumsi sebelum waktu tidur (Wolkove, et al., 2007;Israel, et al., 2009).

d. Dampak Insomnia

Terdapat berbagai dampak yang tidak baik bagi individu yang menderita insomnia. Individu yang sering terbangun pada malam hari atau sulit untuk memulai tidur dapat mengalami EDS (excessive day sleep) pada saat melakukan aktivitas sehari-hari (Neikurg, et al., 2009). Individu dengan EDS dapat secara tiba-tiba tertidur pada saat sedang menonton televisi, saat berbicara, menyetir, bahkan saat mengerjakan pekerjaan rumah atau kantor mereka sehingga semakin lama kewaspadaan individu tersebut terhadap lingkungan sosial dan pekerjaan pun menurun (Neikurg, et al., 2009;Roepke, et al., 2010).

Tidur yang kurang atau inadekuat dapat menyebabkan naiknya morbiditas dan mortalitas pada lanjut usia. Serta menurunkan kualitas hidup lansia tersebut. Dalam sebuah studi individu dengan tidur yang kurang atau tidak adekuat mempunyai waktu reaksi yang lebih rendah serta mengalami disfungsi kognitif seperti gangguan memori (Neikurg, et al., 2009). e. Penatalaksanaan Insomnia

Tujuan yang diharapkan dari terapi untuk insomnia adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas tidur, kewaspadaan dan konsentrasi individu dalam kegiatan sehari-hari, serta meminimalkan efek buruk dari obat (Ramakhrisnan, et al., 2007). Pada dasarnya terdapat 2 macam penatalaksanaan untuk insomnia, yaitu terapi farmakologik dan non farmakologik. Beberapa studi terbaru mengatakan bahwa terapi non farmakologi sebaiknya dipakai sebagai lini pertama dari penatalaksanaan insomnia karena memiliki efektifitas yang sama seperti terapi farmakologi, misalnya benzodiazepines (Neikrug, et al., 2009)

Berikut adalah terapi non farmakologi bagi insomnia (Ramakhrisnan, et al., 2007) ;

1. Cognitive Behavior Therapy

Terapi ini berusaha untuk mengubah anggapan yang salah dari tidur itu sendiri misalnya seperti tidur harus 8 jam atau lebih. Selain itu Selama terapi ini pasien diberikan tips mengenai hygiene tidur yaitu menghindari terlalu banyak membuang waktu berada di tempat tidur, mempertahankan konsistensi waktu tidur dan waktu terjaga, berolahraga secara teratur, minum susu dan konsumsi roti sebelum tidur, menghindari menonton televisi dan membaca sebelum tidur, jangan terlalu banyak minum sebelum tidur, dan tidur dengan cahaya yang redup.

2. Olahraga

Berolahraga yang dimaksud adalah olahraga dengan intensitas sedang seperti bersepeda, berenang, berjalan. Dan sebaiknya berolahraga ini dilakukan secara teratur. Akan tetapi jangan melakukan olahraga sesaat sebelum tidur.

3. Terapi Relaksasi

Terapi relaksasi dilakukan dengan cara menegangkan kemudian merilekskan otot tubuh. Biasanya terapi ini dilakukan terutama bagi gangguan tidur seperti sindrom kaki gelisah (restless legs syndrome).

4. Terapi Kontrol Stimulus

Terapi dengan cara menghindari hal-hal yang dapat menstimulus individu untuk terjaga seperti cahaya baik dari lampu atau televisi, temperatur ruangan yang ekstrim, kebisingan, alkohol, cafein, konsumsi makan dalam jumlah besar sesaat sebelum tidur, merokok, minimalkan minum terlalu banyak sebelum tidur. Jika gagal untuk tidur setelah 20 menit di tempat tidur, sebaiknya segera melakukan hal yang lain dan kembali tidur jika benar-benar sudah merasa mengantuk.

5. Temporal Control Measures

Terapi dengan mencoba mempertahankan waktu terjaga dan terbangun secara konsisten dan meminimalkan tidur pada siang hari.

Terapi farmakologik dapat digunakan berbagai macam obat diantaranya adalah benzodiazepines (triazolam, estazolam, temazepam, flurazepam, midazolam), non benzodiazepines (zolpidem, zaleplone, eszopiclone), melatonin receptor agonist (ramelteon), antihistamines (diphenhydramine, doxylamine) (Ramakhrisnan, et al., 2007;Montgomery, et al., 2006). Benzodiazepines bekerja dengan mengikat reseptor GABA dan GABAA, meningkatkan waktu tidur dan kualitas tidur dengan mengurangi latensi tidur dan frekuensi bangun di malam hari. Benzodiazepine dengan kerja cepat dan waktu paruh yang pendek lebih dipilih, seperti estazolam, triazolam, temazepam.

Pada penggunaan jangka panjang atau > 4 minggu benzodiazepine sering menimbulkan toleransi, ketergantungan, fenomena withdrawal sehingga obat ini lebih bermanfaat pada terapi jangka pendek insomnia. Fenomena withdrawal menyebabkan kecemasan, depresi, nausea, insomnia berulang, sering bermimpi, mimpi buruk, dan gangguan ingatan. Gejala withdrawal dapat terjadi beberapa jam setelah putus obat benzodiazepine short acting atau lebih dari 3 minggu putus obat benzodiazepine long acting (Ramakhrisnan, et al., 2007). Efek samping benzodiazepine adalah penurunan fungsi kognitif, psikomotor, gangguan memori, meningkatkan resiko untuk jatuh dan kehilangan kewaspadaan (Montgomery, et al., 2006).

Saat ini beberapa studi membuktikan bahwa terapi dengan menggunakan generasi obat hipnotik baru non benzodiazepine (zaleplon, zolpidem, eszopiclone) mempunyai efektifitas yang tidak berbeda secara signifikan dengan benzodiazepine, namun lebih aman daripada benzodiazepine untuk terapi insomnia terutama untuk lansia (Neikrug, et al., 2009). Zaleplon dapat menurunkan latensi tidur tetapi tidak terlalu efektif untuk mengatasi frekuensi terbangun di malam hari. Zolpidem dapat menurunkan latensi tidur, meningkatkan durasi dan kualitas tidur, serta menurunkan frekuensi terbangun di malam hari (Montgomery, et al., 2006).

Eszopiclone sama seperti zolpidem yaitu menurunkan l,atensi tidur dan menurunkan frekuensi terbangun di malam hari. Eszopiclone adalah satu-satunya obat non benzodiazepines yang diijinkan oleh FDA dapat digunakan selama lebih dari 35 hari. Obat-obat ini mempunyai efek samping yang lebih ringan daripada benzodiazepines yaitu tidak menimbulkan insomnia berulang, tetapi obat ini juga mempunyai efek samping berupa gangguan memori dan psikomotor (Ramakhrisnan, et al., 2007).f. Pengukuran Skor Insomnia

Pengukuran skor insomnia dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner KSPBJ (Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta) Insomnia Rating Scale yang memiliki 8 jenis pertanyaan dengan uraian yang spesifik dan berkaitan dengan gejala insomnia. Penilaian hasil kuesioner dilakukan dengan menggunakan skor yang telah ditentukan, skor yang dimiliki adalah 3 untuk gejala berat, skor 2 untuk gejala sedang, skor 1 untuk gejala ringan, serta skor 0 untuk tanpa gejala.

Hasil skor dijumlahkan sehingga akan didapatkan skor untuk melihat derajat insomnia. Apabila skor 0-8 berarti normal, jumlah skor 9-12 dikatakan insomnia ringan, jumlah skor 12-18 berarti insomnia sedang, jumlah skor >18 berarti insomnia berat.6. Dance/Movement Therapya. Pengertian Dance/Movement Therapy

Menurut American Dance Therapy Association (ADTA), Dance/Movement Therapy adalah suatu psikoterapeutik yang menggunakan gerakan sebagai proses integrasi fisik dan emosional seorang individu. Psikoterapeutik yang dimaksud adalah suatu terapi yang lebih mengedepankan sisi psikologikal daripada sisi intervensi medikasi untuk menyembuhkan suatu kelainan psikis seperti depresi, ansietas yang mana seperti telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa depresi, panik, dan ansietas bila tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan insomnia (Pericleous, 2011;Israel, et al., 2009).

Dance/Movement Therapy adalah suatu aktifitas fisik yang menyeluruh karena memasukkan musik, exercise (olahraga), stimulus sensori ke dalam satu kesatuan yang sangat efektif untuk mengurangi gangguan psikologikal. Menari berbeda dengan olahraga pada umumnya karena saat menari seseorang dapat mengekspresikan perasaannya melalui gerakan dan membuat individu tersebut menjadi lebih mengerti akan perasaan yang sebenarnya dirasakan (Pinniger, et al., 2012). b. Unsur Dance/Movement Therapy

Terdapat 3 unsur yang menjadi dasar dalam Dance/Movement Therapy, yaitu ;

1. Gerakan

Menurut teori Rudolf Laban tentang interaksi gerakan dan pikiran, gerakan merupakan sarana untuk menyampaikan segala apa yang ada dalam pikiran manusia. Gesture tubuh seorang individu dapat memperlihatkan ekspresi, emosi, dan semangat yang ada dalam dirinya. Melalui gerakan saat menari seseorang dapat menemukan sesuatu yang baru dalam kehidupannya dan stimulus untuk menyalurkan kreativitasnya (Pericleous, 2011).

2. Musik dan Ritme

Musik dan ritme adalah dua unsur yang saling berhubungan karena musik akan menghasilkan ritme atau irama. Melalui musik seseorang akan secara spontan dan termotivasi menggerakan tubuhnya mengikuti ritme yang ada mengangguk-anggukan kepala, menepuk-nepuk tangan dan telapak kaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa musik dan ritme secara bersamaan dapat memberikan stimulus seseorang untuk melakukan gerakan yang ritmis (Pericleous, 2011). c. Manfaat Dance/Movement Therapy1. Sebagai Sarana Berekspresi

Dancing (menari) adalah suatu aktifitas fisik yang ekspresif dimana semua pesertanya mendapatkan kebebasan untuk berekspresi melalui gerakan tari baik dengan meniru atau dari gerakan yang diciptakan sendiri berdasarkan kreatifitas masing-masing dengan mengikuti irama musik (Harris et al., 2007). Dengan adanya irama (rhytm) akan membuat seorang individu untuk menggerakkan tubuhnya dan membuat suatu kesatuan gerakan (Pericleous, 2011).

Pada saat menari, seorang individu diharapkan dapat mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan baik senang, sedih, marah secara spontan, meningkatkan kemampuan kreatifitas melalui menciptakan gerakan, serta dapat mengurangi ketegangan yang sedang dirasakan (Pericleous, 2011). 2. Sebagai Sarana Membangun Hubungan Interpersonal dan Rekreasi

Menari juga dapat menguatkan solidaritas dan meningkatkan hubungan interpersonal (Harris, 2007). Pada jaman dahulu untuk membangun semangat sebelum berperang atau berburu dan untuk merayakan suatu keberhasilan dilakukan dengan menari bersama (Pericleous, 2011). Menari dalam Dance/Movement Therapy sebaiknya dilakukan secara berkelompok (group dance) sehingga individu tersebut dapat merasakan kebersamaan, seperti tertawa bersama sebagai bagian dari rekreasi, melestarikan sosial budaya dan menambah hubungan pertemanan (Harris, et al., 2007;Pericleous, 2011). Tidak jarang terapis Dance/Movement Therapy banyak mendapatkan riwayat terjadinya penyakit baik fisik maupun mental dari individu tersebut karena hubungan interpersonal yang terjalin diantara mereka (Pericleous, 2011).

3. Sebagai Bentuk Alternatif Olahraga

Dancing (menari) dapat menjadi bentuk alternatif olahraga. Bahkan sebuah studi oleh Earhart (2009) menyebutkan bahwa dance therapy dapat menjadi bentuk alternatif bagi seseorang dengan Parkinson. Dance therapy dapat menjadi salah satu bentuk olahraga aerobik seperti berjalan di atas treadmill, bersepeda, dll. Dengan irama yang bersemangat, seseorang dapat menggerakkan dan mengangkat kaki dan tangan secara ritmis dan bergantian, melatih keseimbangan, kekuatan kaki dan tangan, serta fleksibilitas, selain itu menari juga dapat memberikan efek yang baik bagi fungsi kardiovaskular (Earhart, 2009).

4. Sebagai Sarana Meningkatkan Fungsi Kognitif

Sebuah studi oleh Kattenstroth, et al., (2010) pernah dilakukan terhadap lansia berusia 65-84 tahun, bahwa lansia yang pada masa mudanya memiliki riwayat berolahraga dan rutin menari memiliki skor fungsi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan yang jarang berolahraga dan menari pada masa mudanya. Menari dapat menjadi sarana untuk meningkatkan fungsi kognitif karena menari menjadi suatu aktifitas fisik yang holistik. Pada saat menari seorang individu melakukan aktifitas fisik, koordinasi antara motorik dan sensorik, keseimbangan, melatih memori gerakan bersama dengan musik, ekspresi, emosi dll. yang dapat melatih seseorang untuk melakukan koordinasi hal-hal tersebut dalam otaknya, sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif (Kattenstroth, et al., 2010).d. Dance/Movement Therapy Bagi Insomnia

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa Dance/Movement Therapy dapat menjadi bentuk alternatif olahraga bahkan sebagai olahraga aerobik karena melatih gerakan kaki dan tangan secara ritmis (Earhart, 2009). Hal inilah yang dimanfaatkan dari Dance/Movement Therapy sebagai bentuk aktifitas fisik atau olahraga bagi penderita insomnia.

Dalam sebuah studi tentang terapi non farmakologi bagi insomnia, disebutkan bahwa aktifitas fisik seperti latihan aerobik dengan intensitas sedang dapat menjadi intervensi yang efektif bagi penderita insomnia (Giselle, et al., 2012). Menurut Giselle et al., (2012), latihan akut akan memberikan efek termogenik, penurunan ansietas, dan peningkatan kadar serotonin. Sedangkan pada latihan yang lama akan memberikan efek antidepressant, penurunan ansietas, dan peningkatan imunitas.

1. Efek Termogenik

Salah satu penyebab insomnia pada seseorang adalah kegagalan tubuh untuk menurunkan suhu tubuh sesaat sebelum tidur. Untuk dapat memasuki tidur dan mempertahankan tidur secara normal, sesaat sebelum tidur hormon melatonin diproduksi untuk menurunkan suhu tubuh secara sedikit demi sedikit dengan cara menaikkan aliran darah menuju kulit atau perifer kemudian panas dihantarkan menuju lingkungkan sekitar(Guyton, 2008;Rahayu, 2009;Giselle, et al., 2012).

Regulasi suhu tubuh ini diatur oleh nucleus suprachiasmatic yang mengatur stimulasi dan inhibisi hormon pengatur suhu tubuh seperti kortisol, growth hormon, dan hormon melatonin. Sedangkan pada lansia telah didapatkan menurunnya produksi hormon melatonin sehingga sering terjadi insomnia (Guyton, 2008;Rahayu, 2009;Giselle, et al., 2012).

Untuk mengatasi kegagalan tubuh meregulasi suhu tubuh sesaat sebelum tidur, latihan aerobik dengan intensitas sedang seperti dancing therapy dapat menjadi alternatif terapi. Latihan aerobik akan meningkatkan suhu tubuh pusat sehingga akan merangsang hipotalamus untuk melakukan pendinginan sebagai bentuk homeostasis tubuh dengan menaikkan aliran darah menuju kulit atau perifer seperti tangan, kaki, wajah dan menghantarkan panas tersebut ke lingkungan sekitar (Giselle, et al., 2012).

2. Penurunan Ansietas

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Giselle pada 2010 dikatakan bahwa latihan fisik akut selain dapat meningkatkan kualitas tidur pada orang dengan insomnia kronik juga dapat menurunkan kecemasan sebelum tidur (anxiety pre-sleep). Akan tetapi mekanisme bagaimana latihan fisik ini dapat menurunkan ansietas belum diketahui secara jelas sehingga memerlukan penelitian yang lebih jauh lagi (Giselle, et al., 2010). 3. Peningkatan Kadar Serotonin

Serotonin adalah salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh ujung serabut nuclei rafe untuk merangsang daerah otak tertentu untuk menimbulkan keadaan tidur (Guyton, 2008). Insomnia terjadi karena adanya defisit produksi serotonin. Menurut Chauloff (1997 cit Giselle et al., 2012) dengan studinya berjudul Effect of Acute Physical Exercise in Serotonergic System latihan fisik akut dapat meningkatkan konsentrasi serotonin otak melalui dua cara, yang pertama adalah lipolisis.

Pada saat lipolisis, terjadi pelepasan asam lemak bebas (free fatty acid) di dalam darah yang akan menggantikan ikatan antara asam amino esensial triptofan dengan albumin. Sehingga terjadilah peningkatan konsentrasi triptofan bebas dalam darah. Yang kedua, triptofan bebas ini memasuki sawar darah otak dengan cara berkompetisi dengan asam amino esensial yang lain. Dan selanjutnya triptofan ini akan mengalami proses biosintesis dan menjadi serotonin (5HT).

4. Memberikan Efek Antidepresan

Obat antidepresan selain bekerja pada sistem saraf pusat juga bekerja sebagai muscle relaxant sehingga memberi efek penurunan pada fase REM. Dan latihan akut juga telah dibuktikan dapat mengurangi fase REM sehingga dapat memberikan efek antidepresan. (Giselle, et al., 2012). Namun mekanisme latihan akut menyebabkan efek antidepresan masih membutuhkan penelitian yang lebih jauh, kesimpulan yang mungkin dapat diambil, latihan fisik seperti dance therapy, bersepeda, berjalan adalah sebuah bentuk olahraga sehingga meningkatkan efek relaksasi otot. Efek antidepresan semakin meningkat baik apabila dilakukan latihan fisik jangka panjang.e. Durasi dan Intensitas Dance/Movement Therapy

Beberapa studi menyebutkan bermacam-macam untuk durasi Dance/Movement Therapy. Namun banyak studi menyebutkan kegiatan ini dapat dilakukan dengan kisaran 30-60 menit atau 60-90 menit di setiap kegiatannya (Earhart, 2009;Pinniger, et al., 2012)f. Gerakan Dance/Movement Therapy

Terdapat beberapa analisa dalam pembuatan gerakan Dance/Movement Therapy menurut Laban, yang disebut Laban Movement Analysis. Setiap gerakan dianalisa berdasarkan kategorik yang terdiri dari 3 elemen : berat ringan, langsung tidak langsung, mendadak tidak mendadak.1) Gerakan mengapung terdiri dari elemen ringan, tidak langsung, bertahap, contoh : gerakan mengapung seperti bulu.

2) Gerakan mendorong terdiri dari elemen berat, langsung, mendadak, contoh : gerakan mendorong seperti permainan sepak bola.

3) Gerakan meremas terdiri dari elemen berat, tidak langsung, bertahap, contoh : gerakan seperti menggiling adonan.

4) Gerakan menekan terdiri atas elemen berat, langsung, bertahap, contoh : gerakan menekan tombol (Siahaan, 2011).Selain itu gerakan dan musik juga bisa disesuaikan dengan sosial budaya setempat agar peserta lebih mudah beradaptasi dengan gerakan dalam pelaksanaannya (Harris, et al., 2007).7. Lagu Dolanan Jawa

a. Pengertian Lagu Dolanan Jawa

Lagu dolanan jawa adalah bentuk seni sastra tradisional atau nyanyian rakyat dengan suatu irama tertentu yang dinyanyikan oleh sekelompok anak-anak. Lagu dolanan ini biasa dinyanyikan dengan bermain-main atau pada suatu permainan daerah tertentu. Setiap lagu dolanan memiliki maksud tertentu atau memiliki lirik-lirik atau syair indah yang memiliki makna (Fuadhiyah, 2011).

Menurut Rahardjo, lagu dolanan adalah lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak Jawa baik dengan gerak maupun tidak. Sering diiringi musik atau gerakan sehingga akan lebih menyenangkan (Ardiyanti, 2003).

b. Macam Lagu Dolanan Jawa

Setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai macam lagu dolanan, contohnya di Jawa Tengah yang memiliki hampir seratus lebih judul lagu dolanan jawa. Macam lagu dolanan Jawa diantaranya adalah Cublak-Cublak Suweng, Gundhul-Gundhul Pacul, Menthok-Menthok, Sluku-Sluku Bathok, Jamuran, Padhang Bulan, Jaranan dll. (Fuadhiyah, 2011). G. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti: Variabel antara: Variabel pengganggu

: Arah hubungan

H. Hipotesis

Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa efektif dalam menurunkan skor insomnia pada lansia pasca bencana.

BAB III

METODE PENELITIAN

I. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment dengan rancangan pretest-posttest with control group design, yaitu rancangan untuk mencari hubungan sebab akibat dengan melibatkan 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (Nursalam, 2008). KelompokPre-testIntervensiPost-test

R1O1XO2

R2O3-O4

Keterangan :

R1= kelompok perlakuan.

R2= kelompok kontrol.

X= diberikan perlakuan.

-= tidak diberikan perlakuan.O1

= skor insomnia lansia kelompok perlakuan sebelum dilakukan intervensi Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.

O2

= skor insomnia lansia kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.

O3

= skor insomnia lansia kelompok kontrol.O4 = skor insomnia lansia kelompok kontrol tanpa diberikan perlakuan.J. Populasi dan Sampel1. Populasi Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah lansia pasca bencana erupsi merapi yang tinggal di huntap (hunian tetap) Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta sebanyak 408 lansia. 2. SampelSampel dalam penelitian ini adalah lansia pasca bencana di Dusun Petung sebagai kelompok perlakuan dan lansia pasca bencana di Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol. Perkiraan besar sampel merujuk pada uji hipotesis beda rata-rata berpasangan (rumus analitis numerik berpasangan) menurut Dahlan (2010).

N =

Keterangan :

Z= deviat baku alfa.

Z

= deviat baku beta.

S= simpang baku dari selisih nilai antar kelompok.

X1-X2= selisih minimal rerata yang dianggap bermakn

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah, sehingga Z = 1,64. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka Z = 1,28.

Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa ;

X1-X2 = 3,00

S (Simpangan baku) = 3,26

N = N =

N = = N = 10,06 orang = 10 orang

Menurut Dempsey (2002) sampel sebesar 30 atau lebih sudah dianggap mewakili keakuratan populasi atau dengan kata lain representatif untuk dianalisis. Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 67 orang lansia, yaitu 36 orang lansia sebagai kelompok perlakuan dari Dusun Petung dan 31 orang lansia sebagai kelompok kontrol dari Dusun Jambu.Teknik sampling yang peneliti gunakan adalah teknik purposive sampling. Dimana suatu penetapan sampel dipilih dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau memenuhi kriteria inklusi, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).Dalam penelitian ini, peneliti membatasi subjek penlitian dalam kriteria-kriteria berikut :

Kriteria inklusi :

1) Lansia pria dan wanita (usia 60 tahun).

2) Bersedia menjadi responden dalam penelitian.

3) Komunikasi verbal baik supaya mempermudah peneliti untuk bertanya atau berkomunikasi

4) Lansia yang menetap di Dusun Petung dan Dusun Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Kriteria eksklusi :

1) Gangguan jiwa berat.

2) Penyakit fisik berat atau terminal.

3) Menggunakan obat penenang atau obat tidur.Kriteria drop out :

Tidak mengikuti kegiatan / intervensi lebih dari sekali.

K. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di hunian tetap Dusun Petung dan Dusun Jambu, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Agustus 2013.L. Variabel dan Definisi Operasional1. Variabel Penelitian

a) Variabel Bebas : Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.b) Variabel Antara : Efek termogenik, menurunkan ansietas, meningkatnya level serotonin, efek antidepresan.c) Variabel Terikat : Skor insomnia lansia pasca bencana.d) Variabel Pengganggu : Dukungan keluarga. 2. Definisi Operasionala) Lansia menurut UU No.13 Tahun 1998 adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam hal ini lansia yang dimaksud adalah lansia pasca bencana berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Skala yang digunakan adalah skala nominal (lansia dengan diberi intervensi dan lansia tanpa diberi intervensi).b) Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa adalah suatu kegiatan menari dengan diiringi lagu dolanan jawa. Gerakan menari untuk kegiatan ini dibuat oleh peneliti berdasarkan referensi dan jurnal ilmiah. Terapi ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk olahraga atau aktifitas fisik yang menyeluruh (tidak hanya mengambil unsur aktifitas fisik namun juga sebagai sarana rekreasi dan membangun hubungan interpersonal). Terapi ini dilakukan dengan durasi selama 60 menit dilakukan sekali dalam seminggu dengan 4 sesi pertemuan. Dance/Movement Therapy ini menggunakan iringan lagu dolanan jawa dengan maksud disesuaikan dengan latar belakang budaya lansia setempat sehingga mudah beradaptasi dan lebih menyatu dengan lagu iringan tersebut saat menari. Lagu dolanan jawa yang digunakan iringan adalah Cublak-Cublak Suweng, Dondong Opo Salak, Gundhul-Gundul Pacul, Kodok Ngorek, Sluku-Sluku Bathok, dll.c) Insomnia adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan memulai atau mempertahankan tidur atau ketidakmampuan untuk mendapatkan tidur yang adekuat baik secara kuantitas maupun kualitas (Kaplan, 2010). Pengukuran skor insomnia diukur dengan menggunakan kuesioner KSPBJ (Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta) Insomnia Rating Scale dengan interpretasi skor 3 untuk gejala berat, skor 2 untuk gejala sedang, skor 1 untuk gejala ringan dan skor nol untuk tanpa gejala. Pengukuran dilakukan dua kali yaitu saat pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Skala yang digunakan adalah skala numerik (skor insomnia).M. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner Data Diri Responden

Kuesioner data diri responden sebagai data dasar atau data primer mengenai keadaan responden meliputi ; nama, alamat, jenis kelamin, usia, agama, pendidikan, pekerjaan (sebelum dan sesudah bencana), aktivitas saat ini, kehilangan apa saja saat bencana (harta, keluarga,ternak), riwayat penyakit dahulu, penyakit yang diderita saat ini, obat yang diminum saat ini. 2. Alat Pengukuran Skor Insomnia

Pengukuran skor insomnia diukur dengan menggunakan KSPBJ (Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta) Insomnia Rating Scale. Kuesioner ini terdiri dari delapan pertanyaan, dimana masing-masing kelompok pertanyaan dirinci kembali menjadi pilihan untuk gejala-gejala yang lebih spesifik yang dapat digunakan sebagai skoring setiap gejala insomnia.

Masing-masing pertanyaan diberi penilaian angka atau skor 0-3 yaitu skor 0 untuk tanpa gejala, skor 1 untuk gejala ringan, skor 2 untuk gejala sedang, dan skor 3 untuk gejala berat. Jika semua skor dari delapan pertanyaan tersebut dijumlahkan maka akan menjadi total skor sebuah interpretasi derajat insomnia yaitu sebagai berikut :

0-8

= Normal

9-12

= insomnia ringan

13-18

= insomnia sedang

>18

= insomnia berat 3. Media

a) Modul tertulis dan video Dance/Movement Therapy yang dibuat oleh peneliti sebagai panduan bagi kader lansia.b) Sound system dan laptop untuk memutar lagu dolanan jawa. N. Cara Pengambilan Data

G. Uji Validitas dan Reabilitas

Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dari KSPBJ (Kelompok Studi Psikologi Jakarta) Insomnia Rating Scale yang telah baku. Kuesioner ini telah diuji validitas dan reabilitas dengan hasil yang tinggi, baik antar psikiater dengan psikiater (r = 0,95) maupun antar psikiater dengn dokter non psikiater (r = 0,94) sehingga kuesioner ini dapat menilai insomnia secara subyektif dengan hasil penilaian yang objektif (Suryo, 2003 cit Noviani, 2009).

Uji validitas modul tertulis dan video CD Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa telah divalidasi oleh pakar. Modul tertulis dan video CD berisi langkah-langkah gerakan yang terdiri dari tiga tahap gerakan yaitu Step I, II, dan III (modul terlampir).H. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dari penilaian skor insomnia dengan menggunakan KSPBJ Insomnia Rating Scale dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah dilakukan intervensi Dance/Movement Therapy diuji dengan analisis univarat dan bivariat

a) Analisis Univaratb) Uji distribusi normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Dipilih uji Shapiro-Wilk karena sampel berjumlah 50. Data terdistribusi normal apabila p>0,05. Analisis data karakteristik responden dinyatakan dengan frekuensi dan persentase karakteristik demografi subjek, sehingga gambaran karakteristik responden dinyatakan dalam mean, modus, dan median.c) Analisis BivaratAnalisis ini digunakan untuk menganalisis data pre-test dan post-test skor insomnia pada kelompok kontrol dan perlakuan. Apabila data terdistribusi normal maka perbedaan skor insomnia pada masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol akan diuji dengan Paired Sample T-test, apabila data terdistribusi tidak normal maka akan dilakukan uji statistik non parametrik Wilcoxon test. Kemudian untuk membandingkan skor insomnia pre-test dan post-test antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol akan diuji dengan Independent Sample T-test bila data terdistribusi normal dan diuji dengan Mann-Whitney Test bila data tidak terdistribusi normal. Pada hasil akhir akan didapatkan nilai signifikansi. Bila sig < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima, bila sig > 0,05 maka Ho diterima dan H1 ditolak. I. Etika Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan beberapa prinsip pertimbangan etik menurut Nursalam (2008) yaitu :

1. Penelitian ini melindungi hak responden dengan cara merahasiakan identitas responden agar tidak diketahui oleh orang lain dan hanya diketahui peneliti saja (confidentially).

2. Responden mengisi lembar persetujuan (informed consent) untuk membuktikan kepada responden bahwa peneliti akan melindungi hak-hak responden dan tidak akan menimbulkan hal atau efek negatif terhadap responden (respect human dignity).

3. Pada penelitian ini, peneliti tidak hanya memberikan terapi kepada kelompok perlakuan saja, tetapi kelompok kontrol juga diberikan terapi yang sama dengan cara yang sama setelah penelitian selesai dilakukan agar mendapatkan manfaat yang sama bagi penanganan insomnianya.BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hunian tetap Dusun Petung dan Dusun Jambu, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hunian tetap merupakan bangunan tetap bantuan dari pemerintah bagi warga di lereng Gunung Merapi yang tempat tinggalnya terkena bencana erupsi. Hunian tetap ini telah dihuni oleh warga sejak Agustus 2012.

Kelurahan atau Desa Kepuharjo terdiri dari 8 dusun yaitu Dusun Kaliadem, Jambu, Petung, Kopeng, Batur, Pagerjurang, Kepuh, dan Manggong. Keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Kepuharjo adalah 2817 jiwa dengan 902 kepala keluarga, 1384 pria, 1433 wanita dan 408 diantaranya adalah lansia. Dari 8 dusun tersebut, yang menjadi tempat penelitian kami adalah Dusun Petung dan Dusun Jambu. Dusun Petung berjumlah 102 kepala keluarga dengan 36 lansia. Dusun Jambu berjumlah 102 kepala keluarga dengan 31 lansia.

Desa Kepuharjo dilalui Sungai Gendol di sebelah timur. Setiap musim penghujan pasir dan batu dari puncak Merapi terbawa oleh banjir menuju ke sungai ini. Dengan kondisi demikian pemerintah Desa Kepuharjo bekerja sama dengan relawan sekitar untuk memberikan peringatan dini ketika datang banjir terutama kepada penambang dan warga yang beraktifitas di sekitar Sungai Gendol.

Hunian tetap Dusun Petung dan Jambu, Desa Kepuharjo berlokasi 11 km dari Gunung Merapi. Dilihat dari lokasi dusun tersebut yang cukup dekat dengan Gunung Merapi, maka daerah ini merupakan daerah rawan bencana terutama erupsi Gunung Merapi. Selain daerah rawan bencana, daerah tersebut juga merupakan salah satu daerah yang cukup parah pasca bencana erupsi Gunung Merapi 26 November 2010.

Beberapa permasalahan timbul pada daerah rawan bencana maupun pasca bencana erupsi Gunung Merapi tersebut diantaranya adalah masalah ekonomi berupa kerugian materiil seperti kehilangan harta benda, ternak, pekerjaan. Selain itu, masalah kesehatan seperti penyakit fisik yang berkaitan dengan erupsi yaitu ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan psikologis diantaranya meningkatnya kecemasan, depresi, insomnia, menurunnya fungsi kognitif, kepercayaan diri, dan harga diri juga memberikan dampak yang buruk bagi warga di daerah tersebut. 2. Gambaran Karakteristik RespondenResponden dalam penelitian ini berjumlah 52 lansia yang berasal dari dua dusun yaitu 27 lansia sebagai kelompok perlakuan dari Dusun Petung dan 25 lansia sebagai kelompok kontrol dari Dusun Jambu, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. Lansia di Dusun Petung sebagai kelompok perlakuan yang memenuhi kriteria adalah 36 lansia. Lansia yang mengalami drop out sebanyak 9 lansia sehingga menjadi 27 lansia karena ketidakhadiran pada saat intervensi lebih dari satu kali pertemuan dan posttest yang diadakan.

Sedangkan jumlah lansia di Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol yang memenuhi kriteria adalah 31 lansia. Lansia yang mengalami drop out sebanyak 6 lansia sehingga menjadi 25 lansia karena ketidakhadiran pada saat posttest diadakan.

Hasil karakteristik responden dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui gambaran karakteristik responden penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status tinggal bersama keluarga atau sendiri, dan status riwayat adanya penyakit fisik yang menyertai atau tidak. Adapun karakteristik responden dari kedua kelompok sebagai berikut ;

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Dusun Petung (n=27) dan Dusun Jambu (n=25), Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta (Maret, 2013)

KarakteristikKelompok PerlakuanKelompok KontrolP value

N%N%

1. Usia

60-74 tahun

75-90 tahun17

1063,0

37,019

676,0

24,00,309

2. Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan0

270

100,05

2020,0

80,00,05

3. Pendidikan

Tidak Sekolah

SD

SMP

SMEA17

9

0

163,0

33,3

0

3717

8

0

068,0

32,0

0

00,612

4. Pekerjaan

Tidak bekerja

Petani

Pedagang11

15

140,7

55,6

3,71

22

24,0

88,0

8,0

0,007

5. Status Pernikahan

Menikah

Cerai meninggal10

1737,0

63,010

1540,0

60,00,826

6. Tinggal Bersama

Keluarga

Sendiri20

774,1

25,916

964,0

36,00,432

7. Status Penyakit

Sehat

Punya Sakit18

966,7

33,315

1060

400,618

Sumber : Data Primer yang diolahBerdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden pada kelompok perlakuan dan kontrol sebagian besar berusia 60-74 tahun yaitu 17 orang (63%) pada kelompok intervensi dan 19 orang (76%) pada kelompok kontrol. Karakteristik jenis kelamin didominasi oleh lansia perempuan, pada kelompok perlakuan adalah 27 orang (100%) dan 20 orang (80%) pada kelompok kontrol. Sedangkan untuk karakteristik pendidikan, kedua kelompok responden mayoritas tidak bersekolah dengan persentase rata-rata kedua kelompok adalah 65,5%.

Untuk karakteristik pekerjaan, responden kedua kelompok sebagian besar bekerja sebagai petani dengan persentase rata-rata kedua kelompok adalah 71,8% dan yang kedua adalah tidak bekerja dengan persentase rata-rata kedua kelompok 22,35%. Status pernikahan kedua kelompok responden sebagian besar adalah cerai meninggal dengan rata-rata persentase kedua kelompok 61,5%.

Mengenai status tinggal bersama, kedua kelompok responden sebagian besar tinggal bersama keluarga dengan rata-rata persentase kedua kelompok sebesar 69,05%. Berdasarkan status sakit kedua kelompok responden sebagian besar memiliki status sehat dengan persentase rata-rata kedua kelompok adalah 63,35%. Sedangkan untuk status sakit persentase rata-rata kedua kelompok adalah 36,65%.

Uji homogenitas pada tabel diatas menunjukan bahwa karakteristik responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan nilai p>0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa karakteristik responden pada kedua kelompok tida