bab 2 bunga cengkeh
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Infeksi merupakan penyakit yang dapat
ditularkan dari satu orang ke orang lain atau dari hewan ke manusia dan dapat
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan
protozoa (Shulman, Stanford T, John P phair , Herbert M ,Sommers. Dasar
Biologis Dan Klinis Penyakit Infeksi, yogyakarta :Univercity Gajah mada 1994.)
Salah satu penyakit infeksi yang banyak terdapat di negara berkembang seperti
Indonesia adalah disentri.
Disentri disebabkan bakteri Shigella dysentriae (disentri basiler) dan parasit
Entamoeba histolityca (disentri amuba) dimana disentri basiler mempunyai
prevalensi lebih tinggi (disentri.org). Disentri basiler biasa terjadi pada daerah
dengan keadaan sanitasi yang buruk dan penularan terutama melalui makanan dan
air yang terkontaminasi oleh ekskreta manusia. Sebagai vektor adalah serangga,
terutama lalat (buku ajar ilmu penyakit dalam FK Unair) . Masa inkubasi berkisar
antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rata-rata 7 hari pada orang dewasa,
namun bisa berlangsung sampai 4 minggu. Pada orang dewasa biasanya akan
mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare dan disertai demam yang
bisa mencapai 400 C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung
darah atau lender, tenesmus dan nafsu makan menurun. Sedangkan pada anak-
anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, penurunan
kesadaran, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi.(Nizam Oesman, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 5, 2009)
Untuk mengobati penyakit infeksi seperti disentri basiler yang disebabkan oleh S.
dysentriae digunakan obat-obatan antiobiotik. Antibiotik terpilih untuk disentri
basiler adalah ampisilin, kotrimoksazol, tetrasiklin. (Nizam Oesman, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 5, 2009) Fluoroquinolones seperti ciprofloxacin dan
norfloxacin telah aktif terhadap Shigella, namun terjadinya strain S. dysenteriae tipe
1 yang resisten terhadap antibiotik ini dan asam nalidiksik telah dilaporkan (WHO,
2005). Masalah resistensi kuman Shigella terhadap antibiotik bukan merupakan hal
yang baru, dimana sejak tahun 1960 telah mulai terjadi resistensi tersebut. (philippe
sansonetti et jean bergounioux, Harrison’s Infectious Diseases, 2010) Untuk
menghindari efek resistensi tersebut, maka dilakukan upaya untuk pencarian
senyawa antibakteri dari alam berupa tanaman obat tradisional yang dapat
digunakan untuk mengurangi efek negatif antibiotik tersebut. Indonesia kaya
dengan tanaman obat tradisional yang beragam jenisnya. Salah satu tanaman obat
tradisional yang banyak dimanfaatkan di Indonesia ialah bunga cengkeh(Syzygium
aromaticum)
Cengkeh merupakan tanaman sejenis rempah yang banyak didapatkan di
daerah Maluku dan sudah sejak lama dimanfaatkan dalam industri rokok kretek,
makanan, minuman dan obat-obatan. Hampir semua bagian tanaman bisa
dimanfaatkan, mulai bunga, tangkai dan daun cengkeh. Namun yang paling sering
digunakan adalah bagian daunnya. (Nurdjannah, 2004). Banyak manfaat yang bisa
didapat dari bunga cengkeh untuk keperluan kesehatan, seperti di Eropa, bunga
cengkeh digunakan untuk menghangatkan tubuh. Sedangkan di Indonesia,
tanaman cengkeh banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk mengatasi
berbagai macam penyakit, seperti sakit gigi, sinusitis, mual dan muntah, sakit
kepala, radang lambung, batuk, rematik, campak dan kolera.(Tendi Krishna
Murti,101 Ramuan Tradisional untuk mengatasi berbagai penyakit,2010)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui manfaat bunga cengkeh sebagai antimikroba dalam mengobati
penyakit disentri basiler yang disebabkan oleh S. dysentriae. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian Pengaruh Ekstrak Bunga Cengkeh Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Shigella dysentriae secara in vitro.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
yang diajukan adalah apakah ekstrak bunga cengkeh (Syzygium aromaticum)
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif Shigella dysentriae
secara in vitro ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bunga cengkeh (Syzygium
aromaticum) terhadap pertumbuhan Shigella dysentriae pada medium agar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui apakah ekstrak bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi dan memberikan data
ilmiah tentang aktivitas antimikroba bunga cengkeh terhadap dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae.
1.4.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan data sebagai
informasi kepada masyarakat tentang khasiat bunga cengkeh sebagai salah satu
obat alternatif untuk pengobatan disentri basiler karena berpotensi sebagai
antimikroba.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan umum bunga cengkeh
2.1.1 Klasifikasi bunga cengkeh
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus : Eugenia
Spesies : Eugenia caryophyllata Thunb.
(http://www.plantamor.com/index.php?plant=1930)
(http://
www.medikaholistik.com/medika.html?
xmodule=tanaman_detail&xid=32&ts=1369018274&qs=health)
2.1.2 Deskripsi dan Morfologi bunga cengkeh
Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn. Eugenia caryophyllata), dalam bahasa
Inggris diebut dengan cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari suku
Myrtaceae. Cengkeh merupakan tanaman yang asli berasal dari daerah Maluku.
berupa tanaman perdu yang memiliki batang besar dan berkayu keras. Tingginya
bisa mencapai 20-30 meter, bercabang lebat, dan dipenuhi ranting-ranting kecil
yang mudah patah. Daun cengkeh mempunyai bentuk bulat, memanjang, ujung
dan pangkalnya menyudut, lebar antara 2-3 cm dan berwarna hijau. Sedangkan
bunganya pada saat muda berwarna keunguan, lalu berubah menjadi kuning
kehijauan, dan berubah kembali menjadi merah muda jika sudah tua. Bunga kering
berwarna cokelat kehitaman dan rasanya pedas karena mengandung minyak atsiri.
Tanaman cengkeh akan mulai berbunga dengan baik setelah mencapai umur
6 tahun. Pada mulanya, kuncup-kuncupnya berwarna putih, kemudian berubah
menjadi hijau, dan pada akhirnya berubah warna menjadi merah muda yang sudah
mulai dapat digunakan sebagai bahan untuk pengobatan. Kuncup-kuncup ini
selanjutnya dipisahkan dari tangkainya serta dikeringkan baik dengan cara dijemur
maupun diasapi.
Gambar : bunga cengkeh yang telah dikeringkan ( Guy P. Kamatou et
all,2012)
2.1.3 Varietas / tipe-tpe cengkeh
Cengkeh di Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 yaitu : si putih, sikotok,
zanzibar dan ambon, dan sifat masing-masing tipe cengkeh tersebut sebagai
berikut :
1. Cengkeh Siputih
Pohon cengkeh untuk tipe ini tidak rindang, tingginya mencapai 2 m. Daun
muda yang terdapat di bagian pucuk berwarna kuning sampai hijau muda.
Sedangkan tangkai daun dan gagangnya yang muda berwarna kuning hijau,
sementara daun yang tua berwarna hijau. Bunga cengkeh untuk tipe ini
berwarna kuning, berukuran besar, tetapi jumlahnya tiap tandan kurang dari 15
bunga. Pada saat bunganya sudah masak warnanya tetap hijau muda atau
putih dan tidak berubah menjadi kemerahan, tangkai bunganya relative panjang
dan bunganya ini mulai berproduksi pada umur 6,5 sampai 8,5 tahun.
(Soenardi,1981)
2. Cengkeh Sikotok
Cengkeh Sikotok mempunyai pohon yang sangat rindang, berdaun lebat
hingga ranting-rantingnya tertutup daun. Daun muda atau daun pucuk berwarna
agak kemerah-merahan, tangkai daun dan cabang yang masih muda berwarna
hijau. Sedangkan daunnya yang tua berwarna hijau berukuran kecil dan sedikit
mengkilat. Jumlah bunga pertandan lebih dari 15 bunga serta bunganya
berwarna kuning sedangkan pada pangkalnya kadang-kadang sedikit merah.
(Soenardi,1981)
3. Cengkeh Zanzibar
Daun muda atau daun pucuk berwarna merah sampai merah muda,
tangkai daun dan cabang-cabang yang masih muda juga berwarna merah.
Sedangkan daunnya yang sudah tua berwarna hijau tua menghitam dan
daunnya berbentuk kecil mengkilat.
Cengkeh Zanzibar pohonnya sangat rindang. Jumlah bunga pertandan
biasanya lebih dari 15 bunga (bisa mencapai lebih dari 50 bunga) dan warna
bunganya merah. Bentuk bunganya agak langsing, bertangkai pendek dan
ketika muda berwarna hijau dan menjadi kemerahan setelah dipetik.
(Soenardi,1981)
4. Cengkeh Ambon
Tipe cengkeh ini tidak dianjurkan untuk ditanam karena daya adaptsainya
rendah sehingga produksi dan kualitas hasilnya kurang baik. Daun cengkeh
ambon daun yang muda berwarna merah muda atau hijau muda (lebih muda
dari Zanzibar), sedangkan daun yang tua berwarna hijau keabu-abuan.
Cengkeh tipe ini mulai berbunga pada umur 6,5-8,5 tahun, dimana bunganya
agak gemuk dan bertangkai panjang serta berwarna hijau pada saat muda dan
menjadi kuning setelah matang. Percabangan bunganya sedikit dengan jumlah
bunga kurang dari 15 pertandan.
2.1.4 Khasiat
Bagian cengkeh yang banyak digunakan adalah bunganya. Selain
dimanfaatkan dalam industri makanan, minuman dan rokok, bunga cengkeh juga
mulai banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan.Di Portugal, bunga
cengkeh yang masih hijau diambil cairannya dan diapakai sebagai obat jantung.
Pengobatan tradisional di Indonesia seperti mengunyah bunga cengkeh untuk
mengobati sakit perut dan meneteskan air rendaman bunga cengkeh pada mata
untuk mengobati sakit mata. Selain itu cengkeh juga bermanfaat untuk mengatasi
infeksi saluran pernapasan dan mengatasi noda jerawat. (Kompas.com, 2011)
2.1.5 Kandungan Bahan Aktif Tanaman Cengkeh
Kandungan bahan aktif tanaman cengkeh adalah minyak atsiri. Bunga
cengkeh mengandung 16-20% minyak atsiri (Suharmiati, 2005). Di dalam minyak
atsiri terdapat sekitar 72 - 90% eugenol. Komponen lain yang terkandung dalam
cengkeh adalah :
1. Asetil eugenol.
2. Beta-caryophyllene dan vanillin
3. Asam krategolik, tanin, asam galotanik, methyl salicylate (painkiller)
4. Flavonoid eugenin, kaempferol, rhamnetin, dan eugenitin
5. Tri terpenoids seperti asam oleanolik.
6. Bunga cengkeh kering mengandung sekitar 15-20% minyak atsiri, dan
kandungan di dalamnya yang utama adalah eugenol. 1 kilogram bunga
cengkeh yang telah dikeringkan mengandung sekitar 150 ml eugenol.
2.1.6 Eugenol
Eugenol (C10H1202), merupakan turunan guaiakol yang mendapat tambahan
rantai alil, dikenal dengan nama IUPAC 2-metoksi-4-(2-propenil) fenol. Ia dapat
dikelompokkan dalam keluarga alilbenzena dari senyawa-senyawa fenol.
Warnanya bening hingga kuning pucat, kental seperti minyak. Sumber alaminya
dari minyak cengkeh. Terdapat pula pada pala, kulit manis, dan salam. Eugenol
sedikit larut dalam air namun mudah larut pada pelarut organik. Aromanya
menyegarkan dan pedas seperti bunga cengkeh kering, sehingga sering menjadi
komponen untuk menyegarkan mulut. Senyawa ini dipakai dalam industri parfum,
penyedap, minyak atsiri, dan farmasi sebagai penyuci hama dan pembius lokal. Ia
juga mengjadi komponen utama dalam rokok kretek.
Gambar Struktur Eugenol (http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?
dbs+hsdb:@term+@rn+97-53-0)
2.1.7 Mekanisme Eugenol dalam Merusak Membran Sel
Dari beberapa literatur menunjukkan bahwa Eugenol dapat menginduksi
terjadisnya lisis dari sel bakteri melalui kerusakan protein dan komponen-
komponen lipid membran sel.( Guy P. Kamatou et all,2012). Hal ini menyebabkan
dinding sel bakteri menjadi rusak dan mengganggu permeabilitas sel bakteri,
akibatnya sel bakteri menjadi tidak selektif dan tidak dapat menginfeksi epitel usus
sehingga terjadilah penekanan pertumbuhan dan perkembangan bakteri pathogen.
2.2 Tinjauan umum Shigella dysentriae
2.2.1 Klasifikasi Shigella dysentriae
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysentriae
(www.bacmap.wishartlab.com/organisms/290)
(http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Shigella)
2.2.2 Morfologi dan Identifikasi Shigella dysenteriae
2.2.2.1 Ciri khas Shigella dysenteriae
Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif yang tipis dan
berbentuk coccobacili pada perbenihan muda. Kuman ini tidak bergerak dan tidak
berkapsul serta mempunyai ukuran 0,5 x 1 sampai 3 mikron. (Jawetz et al, 2005).
2.2.2.2 Biakan
Pada pembiakan, S. dysenteriae merupakan fakultatif anaerob, tetapi
dapat tumbuh dengan baik pada keadaan aerob dengan suhu optimum 370C dan
pH 7,4. (Satish Gupte, 1990).
2.2.2.3 Sifat Pertumbuhan
Semua Shigellae termasuk Shigella dysenteriae memfermentasi glukosa
dan tidak memfermentasi laktosa. (Jawetz, 2005). Karena tidak memfermentasi
laktosa, maka pada pembiakan agar Mac Conkey koloninya tidak berwarana,
kecuali Shigella sonnei yang memfermentasi laktosa secara lambat dan
membentuk koloni berwarna dadu. (Satish Gupte, 1990). Shigella dysenteriae
pertama kali ditemukan oleh ahli mikrobiologi asal Jepang Kiyoshi Shiga pada
tahun 1896 dimana ini merupakan asal dari nama genus ini.(Swapan Kumar
Niyogi, 2005).
2.2.3 Struktur Antigen
Shigella memiliki struktur antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih pada sifat serologik berbagai spesies, dan sebagian besar
organisme memiliki antigen O yang sama dengan basil enterik yang lain. Antigen
O somatic shigella adalah lipopolisakarida. Spesifitas serologiknya bergantung
pada polisakarida. ada lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi shigella berdasarkan
pada karakteristik biokimiawi dan antigennya.(Jawetz dan Alderberg, 2008)
2.2.4 Toksin
2.2.4.1 Endotoksin
Enterotoksin yang dihasilkan oleh kuman Shigella merupakan toksin yang
sifatnya termolabil dan menyebabkan pengumpulan cairan di ileum kelinci.
Aktivitas enterotoksinnya terutama pada usus halus. Pada waktu terjadi autolisis,
Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya yang toksik sehingga endtoksin ini
yang mungkin menambah iritasi dinding usus halus. (Jawetz dan Alderberg,
2008)
2.2.4.2 Eksotoksin
Shigella dysenteriae tipe I (basil Shiga) menghasilkan eksotoksin yang
tidak tahan panas yang dapat mengenai usus dan sistem saraf pusat. Eksotoksin
ini adalah protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan
bersifat mematikan untuk hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini
menimbulkan diare seperti verotoksin E. coli, mungkin melalui mekanisme yang
sama. Pada manusia, enterotoksin juga menghambat absorbsi gula dan asam
amino di usus halus. Sebagai “neurotoksin”, materi ini menyebabkan infeksi S.
dysenteriae yang sangat berat dan fatal serta menimbulkan reaksi susunan saraf
pusat yang berat (misalnya meningismus, koma). Pasien yang menderita infeksi
Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralisir
eksotoksin S. dysenteriae secara in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini
berbeda dengan sifat invasif shigella pada disentri. Keduanya dapat bekerja
berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang tidak berdarah, encer, dan
banyak kemudian invasi usus besar mengakibatkan disentri lanjut dengan feses
yang disertai dengan darah dan nanah. (Jawetz dan Alderberg, 2008)
2.3 Disentri Basiler ( Shigellosis)
2.3.1 Definisi
Disentri basiler merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Shigella dysenteriae. Spektrum dari gejala bervariasi mulai dari infeksi yang
sifatnya asimtomatik sampai disentri berat dengan gejala demam tinggi, menggigil,
kejang-kejang, kejang perut, tenesmus dan diare berdarah. Pada penderita gejala
awal berupa demam, diare cair yang kemudian pada hari yang kedua berubah
menjadi buang air besar yang lebih sering tetapi volume tinja sedikit dan disertai
darah dan lender. (Pelczar dan chan, 1998)
2.3.2 Patogenesis dan Patologi Disentri Basiler
Shigellosis disebut juga dengan disentri basiler. Sedangkan disentri sendiri
merupakan gangguan saluran pencernaan yang ditandai dengan peradangan usus
(terutama di kolon) yang disertai dengan nyeri perut, tenesmus, dan buang air
besar yang mengandung mukus dan darah. Disentri basiler disebabkan infeksi
Shigella dysenteriae dimana habitat alami dari bakteri ini adalah usus besar
manusia. Infeksi oleh bakteri ini terbatas pada saluran pencernaan manusia, jarang
melakukan invasi ke dalam darah. Dosis infektif bakteri Shigella dysenteriae
sampai menimbulkan penyakit disentri basiler yang sangat menular adalah 103
organisme. Shigella dysenteriae merupakan golongan Shigella sp yang cenderung
resisten terhadap antibiotik. (Jawetz et al, 2005)
Proses patologis yang penting dari disentri basiler adalah invasi epitel selaput
lendir oleh bakteri Shigella dysenteriae, pembentukan mikroabses pada dinding
usus besar dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan nekrosis selaput
lendir, ulserasi superficial, terjadi perdarahan, pembentukan “pseudomembrane”
pada daerah ulkus. Ulkus ini mengandung fibrin, leukosit, sisa sel, selaput lender
yang nekrotik, dan bakteri. Selama proses patologis, akan terbentuk jaringan
granulasi yang mengisi daerah ulkus sehingga terbentuk jaringan parut. (Jawetz et
al, 2005)
2.3.3 Imunitas
Infeksi diikuti oleh respons antibodi tipe spesifik. Injeksi shigella yang telah
mati merangsang produksi antibodi di serum tetapi tidak dapat melindungi manusia
dari infeksi. Antibodi IgA di usus mungkin penting dalam membatasi infeksi ulang;
antibodi ini dapat distimulasi dengan pemberian strain shigella hidup yang telah
dilemahkan melalui oral seperti vaksin percobaan. Antibodi serum terhadap antigen
somatik shigella adalah IgM (Jawetz, 2008).
2.3.4 Pengobatan
Pada kasus yang berat, ditangani dehidrasi dan hipotensi terlebih dahulu. Obat
pilihannya adalah trimethoprim-sulfamethoxasole (merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan pada shigellosis) yang diberikan dua kali sehari selama 7-10 hari.
Selain itu juga bisa diberikan floroquinolone (ciprofloxacin 750 mg diberikan secara oral
dua kali sehari selama 7-10 hari, atau levofloxacin 500 mg secara oral sekali sehari.)
(McPhee and Papadakis, 2009)
2.3.4.1Trimetoprim-Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
1. Deskripsi
Trimetiprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat
pada duat tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat
memberikan efek sinergi. Kombinasi kedua obat ini lebih dikenal dengan
kotrimoksazol. Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol,
meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih besar daripada sulfametoksazol.
Beberapa mikroba yang peka terhadap kombinasi ini (kotrimoksazol) adalah :
Str. Pneumonia, C. diptheriae, N. meningitis, E. coli, Salmonella, Shigella,
Serratia, dan spesies Klebsiella. (Farmakologi dan Terapi, 2008)
2. Farmakodinamik
Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasar kerjanya pada dua tahap yang
berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat.
Sulfonamid menghambat mauknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat,
sementara trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat
menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi pemindahan satu
atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine, dan timidin) dan
beberapa asam amino (metionin, glisin). Untuk kebanyakan kuman,
perbandingan kadara yang optimal dari sulfametoksazol : trimetoprim adalah 20 :
1. Trimetoprim umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol,
sehingga sediaan kombinasi untuk diformulasikan untuk mendapatkan kadar
sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim. (Farmakologi
dan Terapi, 2008)
3. Farmakokinetik
Trimetoprim biasanya diberikan secara per oral, bisa diberikan sendiri
ataupun kombinasi dengan sulfametoksazol dimana keduanya mempunyai waktu
paruh yang hampir sama. Trimetoprim-sulfametoksazol juga bisa diberikan
secara intravena. (Katzung, 2011) Trimetoprim cepat didistribusikan ke dalam
jaringan dan sekitar 40% terikat dalam protein plasma dengan adanya
sulfametoksazol. Sekitar 60% trimetoprim dan 25-50% sulfametoksazol
diekskresikan melalui urin setelah 24 jam pemberian. (Farmakologi dan Terapi,
2008)
4. Efek Samping
Kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol biasanya dapat menimbulkan
reaksi efek samping dari sulfonamide, seperti mual, muntah, vaskulitis,
kerusakan ginjal, dan kadang bisa terjadi gangguan saraf pusat. (Katzung, 2011)
2.3.4.2 Fluorokionolon
1. Deskripsi
Kuinolon yang penting adalah analog terfluorinasi sintetik asam nalidiksat.
Obat ini aktif terhadap berbagai macam bakteri gram-positif dan gram negatif.
(Katzung, 2011) Asam nalidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang
dipasarkan sekitar tahun 1960. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap
enterobacteriaceae (E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus), Shigella,
Salmonella, Vibrio, C. jejuni, H. influenza dan N. gonorrhoeae. (Farmakologi dan
Terapi, 2008)
2. Farmakodinamik
Obat golongan ini menyekat sintesis DNA bakteri dengan menghambat
topoismerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV bakteri. Adanya inhibisi DNA
girase ini mencegah relaksasi DNA supercoiled positif yang diperlukan untuk
proses transkripsi dan replikasi bakteri. Sedangkan inhibisi topoisomerae IV
bakteri menyebabkan terganggunya pemisahan kromosom DNA pascareplikasi
ke dalam masing-masing sel anakan selama pembelahan sel. (Katzung, 2011)
3. Farmakokinetik
Flurokuinolon diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Semua
fluorokuiniolon mencapai kadar puncaknya dalam 1-2 jam setelah pemberian
obat. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini
didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Beberapa fluorokuinolon
seperti siprofloksasin dan ofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan
serebrospinal bila ada meningitis. Keuntungan fluorokuinilon adalah waktu
paruhnya yang panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari. Sebagian
besar fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal.
(Farmakologi dan Terapi, 2008)
4.Efek Samping
Efek samping terpenting dari obat-obatan gololngan kuinolon ialah pada
saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna yang
paling sering dijumpai berupa mual dan hilangnya nafsu makan. Sedangkan efek
samping pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit
kepala, vertigo dan insomnia. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa terjadi efek
samping yang lebih berat seperti reaksi psikotik, halusinasi, depresi dan kejang
meskipun hal-hal ini jarang terjadi.
2.3.5 Pencegahan
Upaya pencegahan harus diarahkan pada pembersihan dari sumbernya dengan
cara :
1. Pengendalian sanitasi air, makanan, pembuangan sampah, dan
pengendalian lalat.
2. Isolasi penderita dan disinfeksi ekskreta (tinja)
3. Penemuan kasus – kasus subklinik dan pembawa bakteri, khususnya pada
pengurus makanan. (Jawetz, 2001)
2.3.6 Resistensi Shigella terhadap antibiotik
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Decy Subekti dan kawan –
kawan pada bulan Juni 1998 sampai November 1999 di beberapa Rumah Sakit di
Indonesia, menunjukkan bahwa sebagian besar spesies Shigella telah resisten
terhadap antibiotik – antibiotik seperti trimetropin – sulfametoksazol, ampisilin,
kloramfenikol, dan tetrasiklin. (Subekti, 2001)
2.4 Tinjauan Bahan Antibiotika
2.4.1 Antibiotika
Antibiotika dikenal sebagai agen antimikroba, adalah zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh bakteri dan fungi, yang memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya terhadap manusia
relatif kecil.(Tjay & Rahardja, 2008)
2.4.2 Penggolongan Antibiotika
1. Berdasarkan spektrum kerjanya
Berdasarkan spektrumnya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Berspektrum sempit (narrow spectrum), hanya mampu menghambat
segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat
ataumembunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja.
b. Berspektrum luas (broad spectrum) dapat menghambat atau
membunuhbakteri dari golongan Gram positif maupun Gram negatif
(Pratiwi, 2008).
2. Berdasarkan mekanisme kerjanya
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat digolongkan menjadi
lima golongan yaitu :
a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin,basitrasin
dan vankomisin.
b. Antibiotik yang merusak membran plasma.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah polimiksin, nistatin, dan
amfoterisin.
c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah golongan
aminoglikosida,makrolida, kloramfenikol, linkomisin dan tetrasiklin.
d. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah rifampisin dan golongan
kuinolon.
e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah sulfonamida,
kotrimoksazoldan asam p-amino salisilat (PAS) (Pratiwi, 2008)
3. Berdasarkan daya kerjanya
Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi:
a. Zat bakterisid, yaitu antibiotik yang pada dosis biasa berkhasiat
mematikan atau membunuh kuman.
b. Zat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang pada dosis biasa berkhasiat
menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. (Tjay & Rahardja,
2008)
2.4.3 Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik
Problem resistensi mikroorganisme terhadap antibiotic mula-mula ditemukan
pada tahun 1980-an dengan ditemukannya kasus multipel resisten pada bakteri
Streptococcus pneumonia, Mycobacterium tuberculosis, Staphylococcus aureus, dan
Enterococcus faecalis. Mikroorganisme patogen yang resisten terhadap antibiotik sulit
dieleminasi selama proses infeksi.
Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Resistensi primer (bawaan)
Merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini
misalnya disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik di dalam
mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme tersebut dapat mengurai
antibiotik. Contohnya adalah Staphylococcus yang mempunyai enzim penisilinase
yang dapat menguraikan penisilin dan sefalosporin. (Pratiwi, 2008)
2. Resistensi sekunder (dapatan)
Merupakan resistensi yang diperoleh akibat kontak dengan agen
antimikroba / antibiotik dalam waktu yang cukup lama dan dosis yang tinggi
sehingga menyebakan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Mekanisme
resistensi dapatan yang lain juga bisa terjadi akibat adanya mekanisme adaptasi
atau penyesuaian aktivitas metabolism mikroorganisme untuk melawan efek obat,
contohnya dengan perubahan pola enzim pada mikroorganisme sehingga
mikroorganisme dapat membentuk enzim yang dapat meguraikan antibiotik.
(Pratiwi, 2008)
3. Resistensi episomal
Resistensi jenis ini disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom
(episom = plasmid = di luar kromosom). Pada tahun 1955 terjadi epidemic disentri
basiler dan ditemukan bakteri Shigella dysenteriae yang resisten terhadap
kloramfenikol, streptomisin, sulfanilamide, dan tetrasiklin. Terdapat plasmid faktor
– R (faktor resistensi) pada plasmid bakteri yang merupakan gen yang
bertanggung jawab terjadinya resistensi. (Pratiwi, 2008)
2.5 Uji Aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas antimkroba dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari
suatu zat uji. Beberapa metode uji aktivitas antimikroba menurut Pratiwi (2008) :
1. Difusi
a. Metode disc diffusion
Untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen
antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme
yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
b. E – Test
Metode E – Test digunakan untuk memperkirakan MIC (minimum
inhibitory concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum) yaitu konsentrasi
minimal suatu agen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung
agen antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada
permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme.
c. Ditch – plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba diletakkan pada parit
yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji digoreskan ke arah parit yang
berisi agen antimikroba.
d. Cup – plate technique
Metode ini mirip dengan disc diffusin, dimana dibuat sumur pada media
agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut
diberi agen antimikroba yang akan di uji.
e. Gradient – plate technique
Pada metode ini, konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara
teoritis bervarias dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji
ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang di atasnya.
Plate di inkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba
berdifusi dan permukaan media mongering. Mikroba uji digoreskan pada arah
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang
total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan
dengan panjang perumbuhan hasil goresan.
2. Dilusi
Metode dilusi cari (Broth dilutin test)
Metode ini mengkur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM
(Kadar Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) atau
KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat
seri pengenceran agen antimikroba pada medium cari yang ditambahkan
dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang
terlihat jenih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.
Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut dikultur ulang pada media cair
pada penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi
selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi
ditetapkan sebagai KBM. (Pratiwi, 2008)
2.6 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak
mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat,
karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan kedalam minyak atsiri, alkaloid, dan flavonoida, dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia maka akan mempermudah
pemisahan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Berdasarkan atas
sifatnya, ekstrak dikelompokkan menjadi (Voigt, 1995) :
1. Ekstrak encer (Extractum tenue)….
2. Ekstrak kental (Extractum spissum)….
3. Ekstrak kering (Extractum siccum)…..
4. Ekstrak cair (Extratum fluidum)….
Beberapa metode ekstraksi yang menggunakan pelarut :
1. Maserasi…..
2. Perkolasi….
3. Refluks….
4. Sokletasi….
5. Digesti…
6. Infus…..
7. Dekok….
Cairan Penyari
Pelarut atau camouran pelarut dalam ekstraksi disebut menstruum (Ansel, 1989)
……
Macam-macam penyari yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Kloroform
2. Etil asetat
3. Etanol
4. Air
5. Campuran Air dan Etanol
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
4.1.1 Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental yang dilakukan di
laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
4.1.2 Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian postest dengan
kelompok kontrol (Randomized Post Test Only Control Group Design)
Pada penelitian ini terdapat kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Pada kelompok kontrol terdapat kelompok kontrol negatif (Shigella
dysenteriae diberikan aquadest) dan kelompok kontrol positif (Shigella
dysenteriae diberikan kotrimoksazol). Sedangkan pada kelompok
eksperimen, Shigella dysenteriae mendapat perlakuan dengan diberikan
ekstrak bunga cengkeh (Syzygium aromaticum)
4.1.3 Skema penelitian
4.2 Populasi, Sampel dan Besar Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi yang digunakan adalah bunga cengkeh (Eugenia caryophylatta)
yang berasal dari Maluku.
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah biakan Shigella dysenteriae yang diberi
perlakuan dengan pemberian berbagai konsentrasi ekstrak bunga cengkeh
(Eugenia caryophylatta).
Bakteri uji yang digunakan adalah Shigella dysenteriae, yang diperoleh
dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
4.2.3 Besar sampel
Besar sampel yang diperlukan dapat dihitung dengan menggubakan
rumus Federer :
(t – 1)(r – 1)≥ 15
t = jumlah kelompok perlakuan
r = jumlah rekapitulasi pengulangan tiap kelompok
Penelitian ini membutuhkan 10 kelompok kasus atau perlakuan, sehingga
dapat dihitung banyaknya pengulangan yang diperlukan :
(t – 1) (r – 1) ≥ 15
(10 – 1) (r – 1) ≥ 15
9 (r – 1) ≥ 15
9r – 9 ≥ 15
9r ≥ 15 + 9
9r ≥ 24
r ≥ 2,7
Jadi, pengulangan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak bunga cengkeh
(Eugenia caryophylatta) dengan volume dan konsentrasi yang sudah
ditentukan.
4.3.2 Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah diameter zona hambat ekstrak
bunga cengkeh (Eugenia caryophylatta) terhadap pertumbuhan Shigella
dysenteriae.
4.3.3 Variabel kendali
Variabel kendali dalam penelitian ini adalah biakan Shigella dysenteriae ,
suhu, dan lama inkubasi, serta cara pembuatan ekstrak.
4.4 Definisi Operasional Variabel
4.4.1 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI, 1995).
4.4.2 Ekstrak etanol bunga cengkeh (Eugenia caryophylatta)
Pada penelitian ini menggunakan bunga cengkeh (Syzygium aromaticum)
sebagai ekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 70%, diduga memiliki
aktivitas antibakteri pada konsentras tertentu.
4.4.3 Aktivitas Antimikroba
Adalah suatu aktivitas dari antimikroba berdasarkan kemampuan
membunuh mikroba (bakterisid) atau menghambat pertumbuhan mikroba
(bakteriostatik) (Farmakologi dan Terapi, 2008)
4.4.4 Shigella dysenteriae
Isolat yang diambil dari hasil pemeriksaan biakan yang diidentifikasi
secara standar di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Hang Tuah Surabaya.
4.5. Alat dan Bahan Penelitian
4.5.1 Alat
Cawan Petri
Timbangan analitik
Ose
Rak dan tabung reaksi
Mikropipet
Inkubator
Autoclave
Yellow tip
Blue tip
Gelas ukur
Vortex
Tabung erlenmayer
Api Bunsen
Stainless ring drop
Pinset steril
4.5.2 Bahan
Ekstrak bunga cengkeh (Eugenia caryophylatta)
Koloni bakteri Shigella dysenteriae
Mueller Hinton broth
Mueller Hinton agar
Aquadest steril
Antibiotik kloramfenikol
DMSO
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi :
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang
Tuah Surabaya
Laboratorium Formulasi Bahan Alam Fakultas Farmasi Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya
2. Waktu penelitian akan dilaksanakan dalam 2 bulan (Mei 2013 – Juni 2013)
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Determinasi tanaman
Determinasi tanaman bunga cengkeh (Eugenia caryophylatta) dilakukan
di Fakultas Farmasi Universitas Widya Mandala Surabaya. Hasil determinasi
tumbuhan dapat dilihat pada lampiran.
4.7.2 Pembuatan simplisia
4.7.3 Pembuatan ekstrak bunga cengkeh
a. Memasukkan simplisia ke oven dengan suhu 40°C selama 8 jam sampai
kering.
b. Menghaluskannya sampai membentuk serbuk dengan alat penggiling.
c. Menimbang serbuk (dihasilkan 150 gram)
d. Melakukan maserasi dengan etanol 96% kemudian mendiamkannya sampai
24 jam.
e. Melakukan penyaringan ekstrak dengan menggunakan kertas saring setelah
24 jam.
f. Kemudian melakukan maserasi lagi dengan etanol 96% sampai larutannya
jernih, lalu menguapkannya dengan alat rotary-evaporator sampai membentuk
ekstra.
4.7.4 Identifikasi Shigella dysenteriae
a. Menanam sampel pada media Nutrien Agar dan TCBS agar
b. Melakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
c. Melakukan pengecatan gram
d. Kemudian melakukan pengamatan pada mikroskop dengan pembesaran
1000x.
e. Didapatkan hasil gram negatif basil.
f. Melakukan uji biokimia dan menanamnya pada:
- Media TSIA
- Semi-solid
- Simmon’s citrate
- Indol
- Methyl red
- Voges-Proskauer
- Urea
g. Menginkubasi dalam suhu 37°C.selama 24 jam
h. Mengamati dengan tabel biokimia
i. Mendapatkan hasil sebagai berikut:
o TSI :
o Gas :
o H2S :
o Indol :
o Methyl red :
o Voges-Proskauer :
o Simmon’s citrate :
o Motility :
o Urea :
o Pengecatan gram :
4.7.5 Uji aktivitas antimikroba
Metode Difusi
Menanam bakteri pada media Mueller Hinton agar, lalu melakukan
inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
Mengambil bakteri dari Mueller Hinton agar, kemudian menanamnya pada
media Mueller Hinton broth dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
Menyamakan kekeruhan suspensi bakteri sehingga menjadi 0,5 Mc
Farland (setara dengan 1,5 x 108 CFU/ml).
Menggoreskan suspensi bakteri 0,5 Mc Farland (setara dengan 1,5 x 108
CFU/ml) pada media Mueller Hinton agar.
Mendiamkannya selama 3 menit.
Meletakkan disk antibiotik tetrasiklin dan ekstrak bunga cengkeh (Eugenia
caryophylatta) pada media Mueller Hinton agar (media Mueller Hinton
agar yang terpisah) dan melakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu
37°C.
Mengamati zona hambat yang terbentuk.
Metode Dilusi
Menanam bakteri dari Mueller Hinton agar pada media Mueller Hinton
broth dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
Menyamakan kekeruhan suspensi bakteri sehingga menjadi 0,5 Mc
Farland (setara dengan 1,5 x 108 CFU/ml).
Membuat deret konsentrasi ekstrak, yaitu dibagi menjadi 10 kelompok :
- Konsentrasi 100% : 0,5 gram ekstrak rumput laut merah ditambah dengan
0,5 ml DMSO.
- Konsentrasi 50% : dari konsentrasi 100% diambil 0,5 ml ditambahkan 0,5
ml DMSO.
- Konsentrasi 25% : dari konsentrasi 50% diambil 0,5 ml ditambahkan 0,5
ml DMSO.
- Konsentrasi 12,5% : dari konsentrasi 25% diambil 0,5 ml ditambahkan 0,5
ml DMSO.
- Konsentrasi 6,25% : dari konsentrasi 12,5% diambil 0,5 ml ditambahkan
0,5 ml DMSO.
- Konsentrasi 3,125% : dari konsentrasi 6,25% diambil 0,5 ml ditambahkan
0,5 ml DMSO.
- Konsentrasi 1,562% : dari konsentrasi 3,125% diambil 0,5 ml ditambahkan
0,5 ml DMSO.
- Konsentrasi 0,78% : dari konsentrasi 1,562% diambil 0,5 ml ditambahkan
0,5 ml DMSO.
- Kelompok kontrol negatif (K-) : suspensi bakteri
- Kelompok kontrol positif (K+) : 500 mg antibiotik tetrasiklin ditambah 0,5
ml aquades, kemudian ditambahkan 0,5 ml suspensi bakteri dengan
kekeruhan 0,5 Mc Farland.
Menambahkan 0,5 ml bakteri dengan kekeruhan 0,5 Mc Farland (setara
dengan 1,5 x 108 CFU/ml) pada masing-masing kelompok perlakuan 1-8.
Kesemua tabung tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C,
kemudian mengamati kekeruhannya dan membandingkannya dengan
kontrol positif dan negatif. Konsentrasi sampel terkecil yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri (jernih) ditentukan sebagai
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) / Minimum Inhibitory Concentration
(MIC).
Kemudian untuk menentukan Konsentrasi Bunuh Minimun (KBM) /
Minimum Bacteriocidal Concentration (MBC) :
- Melakukan penanaman bakteri, dengan mengambil dari media Mueller
Hinton broth yang tampak jernih (konsentrasi 50% dan 100%).
- Mencelupkan lidi kapas steril ke dalam tabung reaksi mikro (konsentrasi
50% dan 100%).
- Kemudian melakukan streaking pada media selektif TCBS agar dengan
lidi kapas yang telah dicelupkan.
- Mendiamkannya selama 3 menit pada suhu ruangan dan lakukan inkubasi
selama 24 jam pada suhu 37°C.
Mengamati pertumbuhan bakteri. Jika pada tabung yang jernih setelah
ditanam pada media selektif TCBS agar tidak terdapat pertumbuhan
koloni bakteri, maka konsentrasi pada tabung itulah yang merupakan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) / Minimum Bacteriocidal
Concentration (MBC).
DAFTAR PUSTAKA
- Nurdjannah, N. 2004. Diversifikasi Tanaman Cengkeh. Persfektif, Vol. 3
(2) : 61 – 70
- Ayoola, G. A., F. M. Lawore., T. Adelowotan., I. E. Aibinu., E.
Adenipekun., H. A. B. Coker and T. O. Odugbemi. 2008. Chemical
Analysis and Antimicrobial Activity of the Essential oil of Syzigium
aromaticum (clove). African J. of Microbiology Research (2) : 162-166.
- Jawetz, E,Melnick, J.L, Alderberg, E.A, 2008, Mikrobiologi Kedokteran,
Edisi 23, EGC, Jakarta, 66-68, 251-259
- Jawetz, et al, 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba
Medika. Surabaya
- Tjay, Tann Hoan., Rahardja, Kirana. 2008. Obat-Obat Penting. Penerbit
Elexmedia Komputindo. Jakarta.
- Pratiwi Sylvia T. 2008. “Mikrobiologi Farmasi”. Erlangga : Jakarta
- Gusti. 2003. Uji konsentrasi air perasan daun cengkeh (Syzygium aromaticum)terhadap pertumbuhan cendawan Alternaria porri penyebab penyakitbercak ungu pada bawang merah secara in vitro. Fakultas Pertanian Unand. Padang.
- Pelczar, M.J., S.Chen, 1996, Dasar-dasar Mikrobiologi 1, UI-Press,
Jakarta
- Pelczar, M.J., S.Chen, 1998, Dasar-dasar Mikrobiologi 2, UI-Press,
Jakarta
- McPhee, Stephen J. and Papadakis, Maxine A. (editor). (2009), Curent
Medical Diagnosis & Treatment, McGraw-Hill Companies, Inc USA
- Subekti, Decy et al. (2001), “Shigella spp. Surveilance in Indonesia :
The Emergence of Reemergence of S. dysenteriae, CDC, Vol &, No.!,
pp. 138 Available from :
http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol7no1/pdfs/subekti.pdf
- Soenardi, 1981, Petunjuk Bercocok Tanam Cengkeh, cetakan 1,
Yogyakarta, kanisius
- Guy P. Kamatou et all. (2012), “Eugenol—From the Remote Maluku Islands to the International Market Place: A Review of a Remarkable and Versatile Molecule, Available from : www.mdpi.com/journal/molecules
- Kompas, 2011, Cara Cerdas Memanfaatkan Cengkeh, Kompas.com- http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?dbs+hsdb:@term+@rn+97-53-0 - Suharmiati, 2005, Ramuan Tradisional untuk Keadaan Darurat di
Rumah, cetakan 1, PT. Agromedia Pustaka
- Anonim, 1979. Farmakope Indonesia. Cetakan III, Indonesia :
Departemen Kesehatan RI.
- Anonim, 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
- Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Cetakan I. Dirjen POM. Jakarta : Departemen Kesehatan RI