bab 2 hermeneutik poskolonial dengan perspektif ritus oli ...€¦ · menurut ashcroft, seperti...

24
13 Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 2.1 Pendahuluan Untuk melakukan pembacaan terhadap teks Matius 26:36-46 dalam perspektif poskolonial, maka sangat penting bagi penulis untuk mendefinisikan apa itu poskolonial dalam kaitannya dengan penafsiran Alkitab. Oleh karena itu, bagian pertama dalam bab ini akan berisi definisi poskolonial dan hermeneutik poskolonial dalam Alkitab. Selanjutnya, penulis juga akan memaparkan tentang ritus korban yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Hal ini diperlukan untuk menolong penulis merekonstruksi sebuah pemahaman baru tentang Yesus sang korban. 2.2 Poskolonial Studi poskolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”) merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. 1 Studi ini menimbulkan kegairahan, kebingungan maupun skeptisisme dari pelbagai pihak yang mendalaminya. Setelah Edward Said menggebrak dunia dengan dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978 dan istilah pascakolonial dipopulerkan antara lain oleh Bill Ashcroft pada tahun 1989, sampai menjelang abad ke 21, para pakar masih saja tetap mempersoalkan masalah-masalah yang primer menyangkut teori ini. 2 Memang benar bahwa pendalaman terhadap istilah “poskolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit 1 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, ED.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 1. 2012), 102 2 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia: Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial, Budi Susanto (edt.), (Yogyakarta: Kanisisus, 2008), 15

Upload: others

Post on 30-Nov-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

13

Bab 2

Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba

dalam Komunitas Masyarakat Aramaba

2.1 Pendahuluan

Untuk melakukan pembacaan terhadap teks Matius 26:36-46 dalam perspektif

poskolonial, maka sangat penting bagi penulis untuk mendefinisikan apa itu poskolonial

dalam kaitannya dengan penafsiran Alkitab. Oleh karena itu, bagian pertama dalam bab ini

akan berisi definisi poskolonial dan hermeneutik poskolonial dalam Alkitab. Selanjutnya,

penulis juga akan memaparkan tentang ritus korban yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat Aramaba. Hal ini diperlukan untuk menolong penulis merekonstruksi sebuah

pemahaman baru tentang Yesus sang korban.

2.2 Poskolonial

Studi poskolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”)

merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia.1 Studi

ini menimbulkan kegairahan, kebingungan maupun skeptisisme dari pelbagai pihak yang

mendalaminya.

Setelah Edward Said menggebrak dunia dengan dengan paradigma orientalismenya

di tahun 1978 dan istilah pascakolonial dipopulerkan antara lain oleh Bill Ashcroft pada

tahun 1989, sampai menjelang abad ke 21, para pakar masih saja tetap mempersoalkan

masalah-masalah yang primer menyangkut teori ini.2 Memang benar bahwa pendalaman

terhadap istilah “poskolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit

1 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan

Poskolonial, ED.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 1. 2012), 102 2 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia: Oposisi Biner dalam Wacana Kritik

Pascakolonial, Budi Susanto (edt.), (Yogyakarta: Kanisisus, 2008), 15

Page 2: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

14

menjelaskan sepenuhnya apa yang tercakup sebenarnya dalam bidang studi ini. Kesulitan ini

sebagai akibat interdisipliner studi-studi pascakolonial yang merentang dari analisis literer

hingga ke riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga

teori ekonomis, serta terkadang menggabungkan bidang tertentu dengan bidang lainnya.3

Teori poskolonial menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang

masih berlanjut sampai era modern ini. Selain penjajahan Barat atas Timur, juga penjajahan

yang dilakukan kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam

struktur masyarakat (sublaterm-dalam bahasa Gayatri Chakravot Spivak). Selain itu, tokoh-

tokoh lain melihat dampak dari kolonisasi dari sudut pandang yang berbeda. Franz Fanon

misalnya, tertarik pada pembangunan nasionalisme dengan mengurai problem penjajahan

kelompok kulit putih atas kelompok kulit hitam. Ia mengartikan kolonialisme sebagai

penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah

tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih sebagai benda. Menurutnya, rakyat terjajah

itu bukan hanya kerja mereka yang dirampas, tetapi mereka yang dalam jiwanya diciptakan

kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya

lokal mereka. Kompleks inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat

koloni. Sementara itu, Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran unsur-

unsur budaya sebagai dampak kolonisasi. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan

melahirkan hibriditas.4

Oleh karena itu, untuk masuk pada defenisi poskolonial, pertama-tama perlu

dihubungkan dengan istilah kolonialisme. Kolonialisme (dari kata Latin: Colonia=

pertanian-pemukiman) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk

asli oleh penduduk pendatang. Di dalam membentuk pemukiman baru “oleh pendatang”

3 Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto

(edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 7. 4 Nanang Martono, Sosisologi Perubahan ..., 104

Page 3: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

15

kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara

penduduk lama dengan pendatang baru. Terkadang pembentukan komunitas (koloni) baru

ini ditandai oleh usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang

sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan masal,

perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan.5

Ania Loomba dalam tulisannya mengartikan kata post dengan “kejadian setelah”

yang merujuk pada dua definisi, yakni: pertama, waktu, yaitu datang setelah. Dari

pengertian ini dibatasi pada masa dimana suatu negara mengalami penjajahan oleh negara

lain yang menduduki negara tersebut. Oleh karena abad kolonialisme itu sudah lewat dan

keturunan rakyat-rakyat yang dulu dijajah itu kini hidup dimana-mana, maka seluruh dunia

adalah poskolonial. Kedua, ideologis, dalam arti menggantikan. Poskolonialisme hadir

untuk menggantikan masa kolonial yang telah berakhir. Arti ini mengalami perdebatan yang

coba diurai oleh Loomba. Para pengkritik istilah ini menyampaikan bahwa bagaimana

mengatakan poskolonialisme atau kolonialisme telah berakhir jika berbagai ketimpangan

dari pemerintah kolonial belum bisa dihapuskan? Istilah ini prematur. Sebuah negara pada

saat yang sama poskolonial (merdeka secara formal) dan juga neokolonial (tergantung

secara ekonomi dan kultural).6

Ini bukan berarti bahwa teori atau pendekatan pascakolonial sudah berjalan di

tempat. Publikasi tentang teori ini, termasuk berbagai penelitian yang menarik di macam-

macam aspek kehidupan terus dikembangkan. Masalahnya barangkali terletak pada konsep-

konsep dasar teori pascakolonial itu sendiri yang memang problematis, yakni oposisi biner

dan konstruksi identitas budaya. Masalah kedua adalah pada terminologi yang

menggabungkan kata “pasca” dengan kata “kolonialisme.” Hal ini bisa mengacu pada

wilayah yang pernah dirambah oleh kolonialisme, tetapi kemudian melampauinya.

5 Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial ..., 9.

6 Ania Loomba, Kolonialisme/Poskolonialisme, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003, 9.

Page 4: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

16

Ketegangan antara kedua kata itu, beserta interpretasi dan aplikasinya yang beraneka

membuat batasan sehingga teori pascakolonial tidak pernah stabil.7

Poskolonial lahir dari konteks negara-negara dunia ketiga yang mengalami

penjajahan sebagai sebuah pengalaman kolektif. Realita yang dialami oleh negara-negara

dunia ketiga dapat dirangkum dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, adanya realitas

berkelanjutan dimana terdapat kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar orang dan

kemewahan yang dinikmati hanya oleh segelintir orang. Kedua, adanya kontrol ekonomi

yang berkelanjutan dan hegemoni imperial yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga.

Ketiga, dikeluarkannya negara-negara dunia ketiga dari berbagai proses pengambilan

keputusan penting dalam masyarakat. Keempat, terjadi militerisasi tidak hanya dalam

kehidupan politik, tetapi juga sebagai cara hidup. Kelima, adanya persaingan ideologi.8

Poskolonial mempelajari banyak masalah yang dihadapi negara-negara Timur akibat

penjajahan negara-negara Barat. Ia mencoba mengajukan beberapa kritik mengenai akibat

hegemoni dan dominasi Barat yang ternyata masih banyak terjadi dibanyak negara Timur,

meskipun negara-negara tersebut telah merdeka secara politik. Dominasi ini masih terjadi

sampai saat ini.9 Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana

atau studi mengenai analisis pendudukan teritori oleh orang-orang Eropa, pelbagai institusi

kolonial Eropa, operasi imperialis, seluk-beluk pembentukan subjek dalam wacana kolonial

dan perlawanan dari subjek-subjek tersebut, dan yang terpenting respons berbeda atas

serangan-serangan tersebut dan warisan kolonial kontemporer dalam masa sebelum dan

sesudah kemerdekaan negara atau komunitas.10

7 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia,..., 16

8 Yusak B. Setyawan, Bahan Kuliah Hermeneutik Poskolonial: Postcolonial Studies and The Third

World Context (Hour 2), Salatiga, 2010, 1 9 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, 101

10 Adeline M.T., Politik Informasional dan Krisis Demokrasi, dalam Hermeneutika Paskakolonial: Soal

Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt), Yogyakarta: Kanisius, 2004, 63.

Page 5: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

17

Dari segi budaya, defenisi poskolonial kerap dihubungkan dengan proses konstruksi

budaya menuju budaya “putih global.” Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan

perkembangan dan model bagi budaya yang lain. Masyarakatnya tetap dipandang sebagai

penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya, sehingga mereka

harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya.11

Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa istilah poskolonial memiliki makna

yang sangat kompleks dan membingungkan. Akan tetapi, bagi penulis teori ini

menunjukkan bahwa ia tidak hanya berlaku pada satu masa atau waktu tertentu melainkan

teori ini berlaku terus menerus dari masa ke masa. Teori ini menjadi sarana untuk

menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan untuk mendapatkan setidaknya pembebasan

dan pemberdayaan. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat relevan untuk

diberlakukannya teori ini. Hal ini karena Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh dunia

Barat, baik itu dalam bidang politik, agama, ekonomi, dan lain sebagainya.

2.3 Hermeneutik Poskolonial

Di dalam berbagai bidang ilmu termasuk di dalamnya ilmu teologi, metode

hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, menginterpretasi dan menerjemahkan

teks-teks. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai dalam penelitian teks-teks kuno yang

autoritatif, misalnya kitab suci, kemudian juga diterapkan dalam teologi dan direfleksikan

secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial.

Hermeneutik terutama berurusan dengan teks-teks. Persoalannya ialah teks yang ada

seringkali berasal dari zaman dulu. Di sini tentu kita berusaha keras untuk menangkap

makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Budi Hardiman menyebutnya dengan

problematik hermeneutik, bagaimana menafsir teks. Problematika ini dihadapi dalam

11

Hendar Putranto, Wacana Pascakolonial dalam Masyarakat Jaringan dalam Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004). 78

Page 6: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

18

berbagai bidang sejarah menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi-

tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu

sejarah, musikologi, politikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, hermeneutik sangat

dibutuhkan untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk

budaya masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.12

Meskipun

demikian, kita perlu menyadari bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks adalah

mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai

identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas reproduktif. Menafsir berarti

menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat

empati dan rekonstruksi. Namun, Gadamer menyampaikan sesuatu yang berbeda karena

menurutnya metode tersebut tidaklah tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai tugas

produktif atau tugas kreatif. Maksudnya ialah bahwa kita justru membiarkan diri mengalami

perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini

pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga. Suatu teks perlu dipahami

dalam cakrawala masa lampau dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.13

Konsep ini menunjukkan bahwa kita tidak tinggal dalam cakrawala yang tertutup juga

bukan dalam cakrawala yang unik. Selama perpaduan cakrawala menafikan konsep totalitas

dan keunikan pengetahuan, maka konsep ini akan selalu menunjukkan ketegangan yang

akrab dan yang asing, antara yang dekat dengan yang jauh; dan karenanya permainan

perbedaan dilibatkan dalam proses pertautan (konvergensi).14

Memahami teks dan istilah-istilah dalam Alkitab telah dilakukan dengan sangat

intens sebagaimana diusahakan dalam hermeneutik. Pendekatan-pendekatan hermeneutik

dalam memahami teks-teks Alkitab telah dilakukan ahli-ahli. Secara singkat terdapat tiga

12

F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 36-37

13 F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme,..., 48

14 Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Muhammad Syukri (Bantul: Kreasi Wacana, 2006),

83.

Page 7: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

19

pendekatan hermeneutik jika dilihat dari bagaimana makna teks diperoleh. Pertama, makna

teks didapatkan dibalik teks. Teks diasumsikan sebagai jendela yang dengannya penafsir

melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dibaliknya. Pendekatan-pendekatan yang

dikembangkan adalah pendekatan-pendekatan historis kritis dengan pelbagai variannya.

Kedua, makna didapatkan di dalam teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan-pendekatan naratif yang mengharuskan penafsir memasuki dunia teks,

menghayati teks dan kemudian memperoleh makna teks setelah masuk ke dalamnya. Ketiga,

makna teks ditemukan di depan teks, yakni makna yang ditemukan oleh penafsir sebelum

memahami teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan sangat beragam, mulai dari

pendekatan-pendekatan feminis dan pendekatan-pendekatan reader-response criticism.15

Metode penafsiran respons pembaca (the reader-response method), tumbuh dan

berkembang atas pemikiran dari Gadamer dan Ricoeur. Metode ini menekankan perlunya

keikutsertaan pembaca dan penerjemah dalam menentukan apa arti teks itu sekarang,

kemungkinan perbedaannya, dan sebagian dari pertentangan artinya.16

Yusak Setyawan berpendapat bahwa studi-studi poskolonial sangat menolong dalam

menghubungkan teologi biblika dan konteks Indonesia. Hal ini ia sampaikan tentunya

dengan tidak mengatakan bahwa berbagai pendekatan dalam teologi biblika tidak penting,

walaupun sebagian tidak terlalu relevan. Menurutnya, interaksi antara studi-studi

poskolonial dengan hermeneutik biblis menghasilkan apa yang untuk sementara disebut

sebagai hermeneutik poskolonial. Hermeneutik poskolonial menekankan kembali

hermeneutik sebagai strategi pemahaman dari sudut pandang yang melakukan pemahaman.

Mengingat pemaham berada pada konteks aktual tertentu yang walaupun bereksistensi pada

masa kini, tetapi juga memuat jalinan pengalaman masa lampau dan berpengharapan pada

15

Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus Kristus, Sebagai Diskursus Politik, Suatu Perspektif Poskolonial Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus, (Wasakita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat), 3

16 Lukman Tambunan, Khotba dan Retorika, Peranan Retorika dalam Penyampaian Firman, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2010), 111

Page 8: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

20

masa yang akan datang, maka prapaham dalam proses interpretasi mendapatkan pengertian

yang baru. Penafsiran adalah bagian dari olah hermeneutik atau bisa juga dikatakan olah

hermeneutik memuat praktik penafsiran. Hal ini tercakup dalam konstelasi jaring-jaring

penjajahan (kolonial), tetapi yang terus berlanjut dalam kekinian (poskolonial). Lebih dari

itu, hermeneutik poskolonial melakukan perubahan radikal dengan tidak menjadikan

konteks sebagai objek berteologi, tetapi menonjolkan pentingnya konteks poskolonial

sebagai penentu untuk memahami teks-teks biblis. Dengan demikian, hermeneutik

poskolonial menekankan peran pemaham atau penafsir teks dengan perspektif, pendirian,

komitmen dan pemihakan sambil mencoba melihat teks dari dimensi konteksnya sendiri

yang mencakup konteks kesejarahan. Dengan kata lain, proses pemahaman terhadap teks

biblis tidak pernah bersifat netral, bebas nilai, dan “objektif” walaupun tetap dimensi

kesejarahan dari dan dalam teks (hostory of text dan history in text ) tetap perlu diperhatikan

dengan serius.17

Studi poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori

studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan

dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Tujuannya untuk mengangkat dan

menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan serta yang telah hilang dalam

sejarah. Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya, dan politik.

Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi yang mendobrak “penjajahan”

dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Studi poskolonial menyarankan

juga teks-teks mesti harus didekati dari perpektif penafsir dalam konteks pengalamannya

sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampaknya yang masih

tetap dirasakan sampai sekarang ini. Dalam kaitannya dengan hermeneutik terhadap teks-

17

Yusak B. Setyawan, Teologi Biblika dalam Arena Publik Menuju Corak Baru dalam Berteologi Boblika di Indonesia, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Berteologi di Indonesia, Izak Lattu, R. T. Pilakoannu, E. I. Nuban Timo dan Steve Gasperz, (edt.), (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 220-221

Page 9: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

21

teks Alkitab, defenisi yang dikemukakan oleh Sugirtharajah menjadi sangat krusial. Studi-

studi poskolonial adalah strategi pembacaan terhadap teks dari perspektif orang yang

mengalami penjajahan dan dampak dari penjajahan yang sampai sekarang masih tetap

berlangsung dan peduli dengan identitas diri agar dapat memberikan alternatif pemahaman

yang barangkali merupakan perlawanan dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari

konteks yang berbeda. Perspektif poskolonial menyarankan bahwa ketika penafsir

memahami teks, penafsir membawa agenda sesuai dengan pengalaman aktual dalam

konteks poskolonial. Oleh karena itu yang sangat krusial dalam hermeneutik bukan

persoalan eksegese atau eisegese sesuai dengan yang ditekankan dalam pendekatan historis

kritis, melainkan bagaimana penafsir memahami teks dengan tidak hanya menyadari

melainkan menyertakan perspektif dan kepentingannya. Di sini penafsiran tidak lagi sekadar

merupakan usaha untuk memahami teks melainkan upaya yang bersifat etis dalam

memahami teks sebagaimana dikatakan oleh Daniel Patte.18

Karena itu, sebagai penafsir dan teolog (juga sosiolog) Indonesia, yang tinggal di

Indonesia hendaknya melibatkan diri dan menyajikan konteks Indonesia dalam fokus

“pembebasan” dan “sensitivitas” kultural bersanding pada teks-teks kitab suci yang

dimaksud. Hermeneutik Postkolonial bukanlah bangunan metode yang tunggal, melainkan

jamak. Mendefinisikannya dalam bentuk definisi tunggal akan mendapat kritik pada dirinya

sendiri. Meskipun demikian, secara simplistis, Hermeneutik Postkolonial berarti bahwa teks

dipahami atau ditafsirkan dari perspektif konteks. Konteks yang dimaksud adalah identitas

diri penafsir dan identitas locus-nya. Karena itu, aspek yang mesti ada dalam proses

penafsiran menggunakan Hermeneutik Postkolonial adalah liberation focused dan cultural

sensitivity. Indonesia menjadi loci postkolonial, yang di dalamnya termaktub beberapa

problematika yang khas dalam studi-studi postkolonial, seperti: kolonialisme dan

18

Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4

Page 10: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

22

imperialisme, wacana-wacana kolonial, oposisi biner, kaum subaltern, feminisme dan

gender, serta ideologi dan identitas kultural.19

Indonesia sebagai negara dalam pengalamannya yang dikolonialisasi mengalami

penjajahan yang berlapis, bahkan masuknya Kekristenan yang dihantar oleh orang Eropa

menggunakan Alkitab dalam tugas misi termasuk dalam kolonialisasi. Penginjilan dan

kolonialisasi memiliki hubungan yang berjalan beriringan. Hal ini menyebabkan integrasi

kultur dalam agama atau kepercayaan maupun gaya hidup. Secara pragmatis, Alkitab

melanggengkan ekslusivisme bagi penganutnya dan tak jarang digunakan sebagai alat untuk

menaklukkan dan menguasai yang lain, sehingga penginjilan dan teks Alkitab yang

beriringan dengan kolonialisasi mengabaikan bahkan menolak unsur-unsur lokal, termasuk

agama-agama suku yang dianggap kafir. 20

Di sini Alkitab dilihat sebagai literatur yang dipenuhi dengan indikasi-indikasi

kolonial dan berbagai upaya dominasi entah itu ras, gender, kebangsaan, dan lain

sebagainya. Ada dua jenis interpretasi dalam hermeneutik poskolonial. Pertama, interpretasi

untuk menginterogasi cerita-cerita Alkitab dan interpretasinya yang melegitimasi indikasi

kolonial. Kedua, interpretasi untuk mengikat atau menimbulkan sebuah pembacaan teks

yang emansipatif (emancipatory reading of the texts) yang dihadirkan oleh hermenutik

dalam keprihatinan poskolonial. Ketertarikan kritik poskolonial tidak terletak pada

kebenaran teks tersebut, tapi pada pertanyaan apakah ada indikasi ideologi kolonial dalam

teks tersebut.21

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan

hermeneutik poskolonial yang berfokus pada isu-isu ekspansi, dominasi, dan imperialisasi,

menjadi pusat kekuatan dalam menginterpretasi Alkitab. Poskolonial adalah teori yang

19

Bayu Laksono, Tanah yang Ditaklukkan, Tanah yang Diberikan: Ambivalensi pada kisah teks Yosua 6, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016

20 R. Styers. Postcolonial Theory and the Study of Christian History. (Church History ,2009), 853.

21

R.S. Sugirtharajah, Asian Biblical Hermeneutics and Postcolonialism: Contesting The Interpretation, Sheffield: Sheffield Academy Press, 1999, ix.

Page 11: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

23

memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam

konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan

dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.22

Oleh karena itu, di dalam menafsir sebuah

teks dalam hal ini yang berhubungan dengan penelitian penulis, maka penulis akan

menggunakan pendekatan reader-response. Pendekatan ini akan memudahkan penulis untuk

membaca teks berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam sebuah wilayah di Kabupaten

Alor-NTT. Pengalaman tentang sebuah ritus korban yang membuat penulis menyimpulkan

makna sebuah teks dalam Alkitab.

2.4 Ritus Oli Somba dalam Masyarakat Aramaba

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pekerjaan menafsir membutuhkan

perspektif dan konteks dari penafsir. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan tentang

konteks ritus korban yang dalam masyarakat Aramaba yang dikenal dengan sebutan oli

somba. Hal inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks Matius 26:36-46.

Secara geografis, Aramaba merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Pantar.

Desa ini meruapakan bagian dari wilayah kecamatan Pantar Tengah Kabupaten Alor, Nusa

Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah 10,73Km² dan 1,073Ha. Batas-batas

wilayahnya, sebagai berikut: Sebelah timur berbatasan dengan Desa To’ang, sebelah barat

berbatasan dengan Desa Mauta, sebelah utara berbatasan dengan Desa Muriabang, dan

sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay.23

Desa Aramaba termasuk daerah yang beriklim tropis dan merupakan daerah dataran

rendah yang di kelilingi gunung. Oleh karena letaknya yang berada dekat gunung berapi

yakni Gunung Sirung, maka tekstur tanahnya tergolong sebagai tanah vulkanis. Hal inilah

22

Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4 23

Data PBS Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Page 12: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

24

yang menyebabkan tanahnya termasuk tanah yang gembur dan subur. Namun, oleh karena

keterbatasan air, maka daerahnya terlihat kering.24

Nama untuk desa ini merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seorang ibu

kepada masyarakat setempat. Konon dikisahkan bahwa ibu tersebut rela mengorbankan

dirinya sebagai pemberian kepada yang Ilahi (Lahatala) karena telah memberikan sumber

mata air yang menjadi kesulitan hidup mereka. Secara harafiah nama Aramaba terdiri dari

dua kata yakni, ara dan maba. Ara artinya besar dan maba artinya dingin. Jadi, Aramaba

dapat diartikan sebagai air yang mengalir deras dan dingin. Nama itu sesuai dengan sumber

mata air yang telah ditemukan oleh ibu tersebut.25

Meskipun kontak awal dengan Agama Kristen sudah terjadi pada 1916, namun

seperti pandangan agama suku lainnya di Indoneisa, orang Pantar Barat termasuk orang

Aramaba masih setia mempertahankan pandangan mereka tentang alam semesta.

Maksudnya ialah bagaimana masyarakat Aramaba memahami hubungannya dengan suatu

kesatuan kosmis yang memberikan suatu gaya hidup tersendiri. Menurut mereka, alam

semesta merupakan kesatuan berlapis tiga, yakni: Ir tang butang atau alam atas, ir tawagang

atau alam tengah, dan ir mo’ang atau alam bawah sebagai tempat. Ir tang butang dipercaya

sebagai tempat bersemayam illah tertinggi atau dalam bahasa setempat disebut Lahatala. Ir

tawagang sebagai tempat tinggal manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu,

ir mo’ang diyakini sebagai tempat kediaman orang mati (bena), arwah leluhur (talle tapas

gorma’ang) dan roh jahat (ir neda/ir gaiyaning). Meskipun demikian, ketiganya merupakan

suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, keseimbangan di

antara ketiganya harus tetap dijaga agar tidak menciptakan ketidakteraturan dalam tata tertib

alam semesta. Masyarakat Aramaba tentu saja berupaya untuk menjaga keseimbangan alam

semesta ini. Mereka meyakini bahwa jika keseimbangan alam ini tidak dijaga dan

24

Data PBS Kabupaten Alor Provisni Nusa Tenggara Timur (NTT) 25

Wawancara, Soleman Biri (Tokoh Adat), 22 April 2017, Kalabahi, Pukul 09.00 WITA

Page 13: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

25

dipelihara dengan baik, maka akan terjadi malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan

seperti, bencana banjir, gempa bumi, dan lain-lain. Selain itu, keseimbangan alam semesta

perlu untuk dijaga agar tercipta keharmonisan relasi antara mereka dengan Lahatala, roh

para leluhur, dan para jin serta memulihkan hubungan antar manusia. Harun Hadiwijono

menyatakan bahwa seluruh kekuatan alam semesta ini diyakini sebagai yang

mengorientasikan pemikiran, ucapan, tindakan, dan tujuan hidup.26

Oleh karena itu,

pelaksanaan upacara atau ritus-ritus keagamaan memainkan peranan sentral. Pihak yang

dipandang layak bertindak sebagai pelaksana ritus adalah imam (marang/labbe).27

Ada berbagai jenis upacara atau ritus keagamaan yang berlaku di dalam kehidupan

masyarakat Aramaba. Di antaranya yaitu, ritus penanaman dan penuaian padi atau hasil

kebun lainnya dan juga ritus pendamaian. Upacara atau ritus keagamaan ini tidak hanya

berlaku di Aramaba saja, tetapi secara umum berlaku juga bagi masyarakat yang tinggal di

wilayah Pantar Tengah.

Dalam hubungannya dengan tulisan ini, penulis akan membahas mengenai ritus

pendamaian. Ritus pendamaian tersebut terdiri dari beberapa jenis, yaitu ritus Galoming,

ritus Tung Pinni, ritus Ber Gasaru, ritus Tang Pi’uwang Solang, dan ritus Oli Somba. Ritus

galoming bertujuan untuk mengembalikan nama baik kepada seseorang yang telah

dicemarkan nama baiknya. Ritus Tung Pinni bertujuan untuk memulihkan harga diri atau

martabat akibat perbuatan amoral, yakni perzinahan. Ritus Ber Gasaru merupakan ritus

yang bertujuan untuk memulihkan dua pihak yang telah bermusuhan akibat perkataan atau

bahasa yang menyinggung dan menyakiti perasaan pihak lain. Ritus ini juga biasanya

disebut sebagai “acara buka hati.” Ritus Tang Pi’uwang Solang berkaitan dengan bagaimana

mendamaikan dua pihak yang berselisih (terlibat pertengkaran) yang mengakibatkan

26

Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang Tersobek, Sebuah Kristologi Pendamaian darri Perspektif Orang Pantar Barat, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Beteologi di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 231

27 Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang,..., 232

Page 14: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

26

kerusakan hubungan antara satu terhadap yang lainnya. Sementara itu, ritus Oli Somba

biasanya dilakukan sebagai reaksi atas terjadinya kasus pembunuhan dengan tujuan untuk

melakukan upaya pemulihan hubungan antara keluarga korban dan juga pelaku agar terlepas

dari ancaman penyakit bahkan juga kematian. Ritus ini berbeda dengan ritus lainnya karena

ada darah yang harus ditumpahkan dalam rangka upaya pemulihan atau pendamaian. Untuk

itulah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan secara jelas ritus Oli Somba yang

berlaku di wilayah Aramaba.28

2.5 Ritus Oli Somba (Persembahan Korban) dalam Suku Aramaba

Oli Somba merupakan salah satu dari sekian ritus pendamaian yang telah menjadi

budaya orang Aramaba. Namun demikian, ritus ini bukan hanya terdapat dalam Desa

Aramaba, tetapi juga menjadi budaya dari seluruh masyarakat yang berada di wilayah

Pantar khususnya Pantar Barat (kini telah dimekarkan menjadi Pantar Tengah dan Pantar

Barat) yang meliputi wilayah Tubbe, Lamma, Mauta, dan De’ing.

Secara harafiah, Oli berarti korban dan Somba berarti sembah. Dengan demikian,

maka Oli Somba dapat diartikan sebagai persembahan korban. Oli Somba mengandung

makna korban atau pengganti hidup (awa gawenung). Ritus ini biasanya dilakukan untuk

mengakhiri suatu pertikaian atau peperangan antara suku/kampung yang diakibatkan oleh

karena terjadinya kasus pembunuhan. Di dalam ritual tersebut, pihak yang saling

bermusuhan atau yang berperang mengangkat sumpah untuk menghindari terjadinya konflik

yang berkepanjangan. Sumpah yang dilakukan dalam bahasa setempat dikenal dengan

istilah bela sakang (sumpah saudara). Ada dua jenis ritus Oli Somba yakni aname somba

(korban manusia) dan mo’bai somba (korban hewan/binatang). Meskipun demikian, ritus

yang biasanya kerap digunakan adalah aname somba, sedangkan mo’bai somba hanyalah

28

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 10.00 WITA

Page 15: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

27

alternatif kedua jika tidak ditemukan manusia/budak/hamba yang layak dijadikan korban.29

Berbicara mengenai budak menunjukkan bahwa dalam komunitas masyarakat Aramaba juga

berlaku sistem kasta atau pembagian kelas sosial masyarakat setempat. Zadrak Magang

dalam penelitiannya tentang kehidupan orang Aramaba menemukan tentang adanya

pembagian kelas sosial tersebut. Pembagian kelas tersebut terdiri dari kelas atas (rayang

kawasang atau penguasa/raja/bangsawan), kelas menengah (tawaka kapitang atau wakil

raja, hukung marang/labbe atau imam, kora-madda atau kepala suku/tua adat), dan kelas

bawah (tabbang-kola atau hamba/budak belian).30

Hamba/budak belian semata-mata

dipandang sebagai obyek kekuasaan kalangan atas dan menengah. Kewajiban mereka hanya

mengabdi dan takluk di bawah perintah tuannya. Seluruh milik kepunyaan mereka

sepenuhnya adalah milik raja. Dengan demikian, raja berhak menentukan setiap apa yang

menjadi keinginannya terhadap mereka tanpa ada sanggahan atau protes dari mereka atau

para hamba/budak belian tersebut. Termasuk ketika mereka dipilih untuk menjadi korban

dalam ritus oli somba/aname somba.31

Ritus oli somba dilakukan dengan melewati beberapa tahap, mulai dari tahap

persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pasca pelaksanaan. Adapun tahap-tahap tersebut,

sebagai berikut:32

2.5.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini, seluruh peserta yang terlibat dikumpulkan di lokasi di mana ritus ini

akan diadakan. Peserta tersebut adalah Rayang-Kawasang (raja dan atau para bangsawan,

Tawaka-Kapitang (wakil raja), Kora-Madda (kepala suku atau para tetua adat), Hukung-

29

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 30

Zadrak E. Maggang, Hukum Pembalasan, Suatu Konfrontasi Antara Konsep Penuntutan Darah di dalam Agama Suku Pantar Barat dengan Pengertian Paqad menurut Alkitab Perjanjian Lama, (Skripsi Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, 1994), 8

31 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

32 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

Page 16: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

28

Marang/Labbe (Imam), dan seluruh rakyat kecuali perempuan. Alasan mengapa perempuan

tidak diperbolehkan untuk mengikuti ritual tersebut oleh karena mereka menganggap

bahwa perempuan itu tidak kudus/suci (darah kotor/haid). Setelah semua peserta berkumpul,

maka akan dipilih Labbe (Imam) dari salah satu suku untuk bertugas sebagai pemimpin

ritual Oli Somba. Biasanya akan dipilih dari suku/kampung yang cukup berpengaruh atau

yang paling besar. Selain itu, dalam tahap ini akan disiapkan juga alat dan bahan yang akan

dipergunakan dalam ritual. Alat/bahan yang tersebut yaitu:

2.5.1.1 Korban

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua jenis korban dalam

ritus ini, yakni korban manusia (aname somba) dan korban binatang (mo-bai somba). Dalam

ritus aname somba, korban yang disiapkan adalah seorang manusia yang berasal dari kaum

lapisan bawah, yakni yang berstatus hamba/budak belian (tabbang-kola). Budak ini

biasanya dibeli dari kampung yang jauh dengan pertimbangan agar tidak terjadi komplain

dan pembalasan dendam. Dalam ritus mo’bai somba, jenis hewan yang layak dikorbankan

haruslah babi/kambing betina yang tak bercacat cela (tidak pernah dikawinkan sebelumnya).

2.5.1.2 Alat-alat/bahan

Selain korban, ada beberapa alat dan bahan lainnya yang diperlukan untuk

menjalankan ritus ini. Pertama, Kota atau Mezbah Batu (Kota), yakni sebuah batu yang

digunakan sebagai mezbah yang berbentuk bundar atau ceper. Mezbah ini dijadikan sebagai

altar dalam upacara/ritus Oli Somba. Selain itu yang disiapkan juga dar-marasa (darah

nifas), to (tuak putih), mosang (parang panjang), tawali (kuali besar), dan teku (tempurung

kelapa). Seluruh alat dan bahan yang telah disiapkan diletakkan di atas kota (mezbah) dan

selanjutnya upacara/ritus tersebut siap untuk dilaksanakan.

Page 17: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

29

2.5.2 Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, para peserta khususnya Rayang-kawasang, Tawaka-kapitang, Kora-

madda, dan Labbe berdiri mengelilingi altar. Selanjutnya, para Kora-madda memegang

korban yang akan disembelih tepat di atas tawali (kuali besar). Labbe yang bertugas sebagai

pemimpin ritus, berdiri sambil memegang mosang (parang panjang) lalu diarahkan ke langit

seraya mengucapkan mantera/doa kepada Lahatala. Ada tiga pokok doa/mantera yang

diucapkan oleh sang Labbe, yakni: pertama, Lahatala gai ber sosoli wang dogging-nattang

Gai mura-dipa aggi ma ppi’i rasa. Artinya, kiranya persembahan ini dapat memuaskan hati

Lahatala sehingga menghindarkan kami dari angkara murka. Kedua, damaya-bali’ang,

taume-anuku takalli-anuku, gaddi ma aname tanggolang Lahatala, aname tanggolang ni

marungper tang tanggolang gunnang geguaddang. Artinya, kiranya kami mendapatkan

damai sejahtera dan terciptanya hubungan atau relasi yang baik antara kami sesama manusia

dan juga antara kami manusia dengan Lahatala, termasuk alam semesta dan segala sesuatu

yang ada di kolong langit ini. Ketiga, Aggi ma pir kalalang ta, taume-anuku takalli-anuku

sinaddi ati’ang, sekang gatenang-kawwa. Artinya, kiranya persembahan ini menjadi suatu

pertanda bahwa kesatuan hati dan kesetiaan di antara kami tidak akan pernah berakhir.

Setelah mantera itu diucapkan, ia kemudian menancapkan mosang ke dalam tanah

lalu menariknya kembali dan menggorok leher korban dan membiarkan darah korban

menetes ke dalam tawali. Darah itu kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lainnya

yang telah disiapkan sebelumnya (tuak putih dan darah nifas). Selanjutnya, Labbe

mengambil campuran darah tersebut dengan menggunakan teku (tempurung kelapa) dan

dibagi-bagikan kepada seluruh peserta untuk diminum secara bergiliran. Selesai proses

minum darah, daging korban dibakar di atas mezbah untuk disantap bersama. Darah yang

diminum dipercaya sebagai lambang kehidupan yang mengikat secara turun temurun.

Korban yang dibakar dianggap sebagai persembahan syukur bagi leluhur terkhususnya

Page 18: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

30

kepada Lahatala. Selain itu, daging yang disantap bersama juga sebagai pertanda bahwa

mereka sudah berdamai karena hubungan mereka telah dipulihkan. Sementara proses

pembakaran berlangsung, seluruh peserta melakukan lego-lego/sauke (merupakan tarian

adat orang Pantar) mengelilingi altar sampai daging selesai dimakan. Menjadi catatan

penting bagi mereka ialah selama ritual ini dilakukan, peserta dilarang keras untuk

bersin/pessing karena akan menggagalkan kekudusan ritual.

2.5.3 Tahap Pascapelaksanaan

Dalam tahap ini akan diadakan sumpah adat atau sumpah saudara yang dipimpin

oleh Labbe. Sumpah tersebut dalam bahasa setempat disebut bela sakkang. Bahwa mereka

yang bertikai telah berdamai dan untuk itu di antara mereka tidak diperkenankan/tidak

diperbolehkan bahkan dilarang keras untuk saling kawin/mawin.

Selain itu, jika ada sesuatu barang/benda milik kepunyaan salah satu pihak yang

diambil, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja, maka pihak yang kehilangan dilarang

untuk mencela atau bahkan memarahi. Jika sumpah saudara ini dilanggar, maka mereka

meyakini bahwa mereka akan mendapatkan malapetaka dalam kehidupan mereka bahkan

sampai pada keturunan mereka. Setelah sumpah ini diucapkan, mereka lalu berjabatan

tangan dan mengakhiri ritual tersebut.33

Demikian penjelasan mengenai ritual Oli Somba dimulai dari pengertian sampai

pada prosesnya. Ritus ini, diakui oleh masyarakat setempat bahwa hingga kini sudah tidak

lagi dilaksanakan. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa kekuatan sumpah tersebut terasa

nyata dan menyatu dalam kehidupan mereka. Artinya bahwa, jika mereka melakukan

larangan-larangan yang telah diucapkan dalam proses ritual tersebut, mereka tentu akan

mendapatkan malapetaka dari para leluhur dan Lahatala.34

33

Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA 34

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

Page 19: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

31

Akan tetapi, setelah Kekristenan masuk di Pulau Pantar, ritus ini tidak lagi dilakukan

karena dianggap sebagai ajaran sesat sesuai dengan pemberitaan dari para penginjil yang

masuk di wilayah mereka. Selain itu, alasan mereka yang lain ialah karena mereka merasa

jijik untuk meminum darah manusia/hewan yang dijadikan sebagai korban.35

Tidak hanya

ritus oli somba yang ditiadakan tetapi beberapa ritus lainnya pun turut ditiadakan.

Kekristenan telah benar-benar menghapus budaya yang telah mengakar dalam kehidupan

masyarakat Aramaba. Sangkaan bahwa budaya yang mereka miliki adalah sebuah ajaran

sesat/kafir telah diterima dan diikuti bahkan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dari yang

kuasa. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam ritus–ritus tersebut tetap dijaga hingga

saat ini. Sebagai contoh, dasar-dasar dari bela sakang juga masih dijadikan sebagai dasar

pembicaraan damai jika terjadi konflik di antara mereka.36

2.6 Makna atau Hakekat Ritus Oli Somba dalam Komunitas Aramaba

Upacara korban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan,

minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara

korban sebagai suatu komunikasi non-verbal antara manusia dan mahkluk adikodrati,

meliputi persembahan, persekutuan, dan silih.37

Sindhunata menyebutkan bahwa ritus

korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan

eksistensinya.38

Pemberian korban erat kaitannya dengan pendamaian, baik itu antara

manusia dan sesama, manusia dan alam semesta terlebih kepada yang ilahi atau yang

disebut Tuhan oleh hampir sebagian besar manusia di bumi ini. Kirchberger juga

menjelaskan bahwa pemberian korban mengandung beberapa makna. Pertama, persembahan

korban mengandung aspek persekutuan karena dilakukan dalam upacara yang dirayakan

35

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 36

Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA 37

Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 214 38

Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 98

Page 20: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

32

secara bersama-sama. Kedua, kurban mengandung arti silih dosa/pemulihan hubungan

manusia dengan Allah.39

Merujuk kepada tahap-tahap pelaksanaan ritus Oli Somba di atas, maka

sesungguhnya ritus ini juga memiliki makna yang bersifat mengikat bagi semua pihak yang

terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang melakukan ritual tersebut. Makna

dan hakekat inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks pada bagian selanjutnya.

Penulis menyimpulkan tiga makna dari pelaksanaan ritus Oli Somba, sebagai berikut:

2.6.1 Oli Somba Sebagai Bentuk Penyatuan Masyarakat (Pendamaian)

Tujuan utama dari ritus Oli Somba adalah mendamaikan kembali dua pihak, yakni

keluarga korban dengan pelaku dan keluarga pelaku, atas peristiwa pembunuhan yang

terjadi. Oleh karena tujuan utamanya adalah mendamaikan, maka ritus ini memiliki nilai

yang tinggi. Tidak mudah bagi seseorang atau sebuah keluarga yang kehilangan anggota

keluarganya karena dibunuh, mau memaafkan apalagi berdamai dengan pelaku

pembunuhan. Kenyataan umum dalam komunitas masyarakat adalah adanya upaya balas

dendam terhadap pihak pelaku. Jadi, jika dalam sebuah komunitas masyarakat terjadi

sebuah ritual pendamaian seperti ritual Oli Somba, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua

belah pihak, baik keluarga korban maupun pelaku dan keluarga pelaku memiliki kesadaran

tinggi akan pentingnya hidup dalam suasana damai dan rukun.

Dampak dari ritual Oli Somba bagi kedua belah pihak yang bersifat mengikat turun-

temurun merupakan bukti bahwa ritual ini memiliki kekuatan yang tidak dapat dilepaskan.

Tahap pascapelaksaan ritual Oli Somba, dimana masing-masing pihak mengucapkan

sumpah yang menguatkan pelaksanaan ritual merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ritual

39

G. Kirchberger, Gereja, Yesus Kristus, Sakramen, Roh Kudus (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1991), 58-65

Page 21: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

33

ini menjadi alat pendamaian yang ampuh untuk menyelesaikan sebuah persoalan hidup

bermasyarakat yang kompleks.

2.6.2 Oli Somba Sebagai Bentuk Permohonan Kepada Lahatala (Tuhan)

Sekalipun ritus Oli Somba dimaknai memiliki nilai utama sebagai alat pendamaian,

namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa ritus Oli Somba merupakan sebuah ritual yang

memiliki unsur sebagai bentuk permohonan. Akan tetapi bentuk permohonan yang nampak

dalam ritus ini, bukanlah bentuk permohonan dari pihak pelaku dan keluarga pelaku

pembunuhan kepada keluarga korban agar terjadi pendamaian diantara mereka. Bentuk

permohonan dalam ritus Oli Somba ini sebenarnya ditujukan kepada Lahatala melalui

ucapan doa/mantra yang dilakukan oleh Labbe. Dengan ketiga pokok doa yang disampaikan

dan persembahan yang diberikan dipercaya dapat memuaskan hati Lahatala sehingga dapat

menjauhkan mereka dari angkara murka. Selain itu, ritus ini dilakukan agar dapat tercipta

hubungan yang harmonis antara mereka yang melakukan ritus maupun antara manusia

dengan Lahatala. Selanjutnya, agar persembahan itu menjadi sebuah tanda kesatuan hati

dan kesetiaan dari mereka yang melakukan ritus dan kesatuan tersebut bernilai kekal.

Dengan pengertian lain, pendamaian akan terjadi diantara kedua belah pihak yang sama-

sama melakukan ritus Oli Somba, jika permohonan kepada Lahatala dinaikkan oleh Labbe

dan aturan pelaksanaan ritus tidak dilanggar oleh para peserta.

Oleh karena ritus ini juga memiliki makna sebuah bentuk permohonan, maka

dibutuhkan kesiapan dari para pihak yang terlibat dalam ritus tersebut termasuk korban

(aname somba atau mo-bai somba). Aname-somba merupakan seorang budak yang

dipastikan tidak akan menggagalkan prosesi ritus, demikian juga jika korban berupa mo-bai

somba, haruslah binatang yang tidak bercela. Kesiapan yang matang akan memungkinkan

permohonan para pihak direstui dan dikabulkan oleh Lahatala.

Page 22: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

34

2.6.3 Persembahan Korban (Oli Somba) Sebagai Penebus Kesalahan Dengan Cara

“Pengkambinghitaman”

Sama halnya dengan ritus persembahan korban pada umumnya, Oli Somba juga

memiliki makna penebusan kesalahan. Dalam hubungannya dengan ritus ini, kesalahan yang

dimaksudkan adalah yang dilakukan oleh orang yang melakukan pembunuhan karena telah

menghilangkan nyawa seseorang dan menimbulkan pertikaian. Kesalahan yang dilakukan

oleh pembunuh merupakan sebuah kesalahan yang fatal oleh karena itu harus ada jalan atau

cara untuk menebus atau mengahapus kesalahan tersebut. Masyarakat Aramaba meyakini

bahwa jalan atau cara yang harus dilakukan yakni melalui proses pemberian persembahan

korban (Oli Somba). Artinya ada darah yang harus ditumpahkan untuk menggantikan darah

yang sebelumnya telah ada akibat peristiwa pembunuhan. Di sini darah memainkan peranan

penting dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan. Tanpa adanya pemberian darah

sebagai pengganti, maka kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh tidak akan terampuni

dan akan menimbulkan pertikaian yang semakin bertambah panjang. Dengan demikian, ritus

Oli Somba sangat berperan penting juga dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan.

Kesalahan si pembunuh dengan sendirinya akan termaafkan lewat ritus persembahan korban

ini.

Akan tetapi, penulis menemukan bahwa dalam upaya untuk menebus kesalahan

terkandung juga unsur pengalihan kesalahan atau yang disebut sebagai

“pengkambinghitaman”. Maksudnya ialah korban dalam ritus tersebut seolah menjadi

“kambing hitam” atas peristiwa peperangan/pertikaian yang terjadi. Hal ini karena korban

adalah pihak yang tidak bersalah bahkan tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi.

Namun, oleh karena kesadaran bahwa ia berasal dari kelompok masayarakat kelas bawah

(budak), maka ia tidak dapat membantah dan bahkan dengan sukarela ia harus menyerahkan

dirinya untuk dikorbankan. Seberapa besar pun suara yang akan disampaikan tidak akan

Page 23: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

35

diperhatikan atau didengar oleh mereka yang menyebut diri penguasa dari kelas atas. Pada

akhirnya kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh dalihkan kepada pihak yang siap

untuk dijadikan korban.

2.7 Kesimpulan

Studi poskolonial adalah sebuah studi yang walaupun membingungkan tetapi sangat

relevan jika diterapkan dalam konteks dunia masa kini. Studi ini sangat menolong untuk

menganalisa praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme, oposisi biner dan lain

sebagainya yang terjadi dalam konteks dunia di era modern ini.

Kolonialisme yang dimaksudkan bukan hanya tentang apa yang dilakukan oleh

dunia Barat terhadap dunia Timur atau yang dilakukan satu negara terhadap negara lainnya,

seperti yang telah dikemukakan oleh para tokoh poskolonial. Studi ini juga menolong untuk

merekonstruksi bentuk-bentuk kolonisasi/penjajahan dalam bentuk apa pun. Maksudnya

ialah dengan studi poskolonial, kita dapat mengkritik wacana-wacana dalam sebuah teks

atau pun konteks yang berhubungan dengan kekerasan/penindasan yang dialami oleh kaum

subaltern, feminisme dan gender serta ideologi dan identitas kultur.

Teks-teks kitab suci juga menjadi teks yang bisa ditafsir dengan menggunakan studi

poskolonial. Salah satunya, yakni Alkitab yang dipercaya umat Kristen sebagi sebuah kitab

suci. Oleh karena sejak awalnya Alkitab dipandang sebagai sebuah kitab suci, maka teks ini

seolah tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Namun, dalam kenyataanya tidak bisa

dipungkiri bahwa Alkitab ditulis oleh manusia yang tentu saja dipengaruhi oleh politik,

ekonomi, dan sosio-budaya si penulis serta disesuaikan dengan situasi dan konteks yang

terjadi pada waktu penulisan. Situasi dan konteks yang berlaku dalam penulisan Alkitab

tentu juga mengandung unsur penjajahan dan dominasi yang terjadi pada saat itu. Untuk itu,

dengan menggunakan hermeneutik poskolonial dalam menafsir teks Alkitab, maka tentu

Page 24: Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli ...€¦ · Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan

36

penafsir akan sangat tertolong untuk menyampaikan dan menginterpretasikan teks Alkitab

sesuai dengan konteks dari penafsir.

Ritus korban Oli Somba yang menjadi budaya di dalam kehidupan masyarakat

Aramaba menjadi salah satu konteks yang penting untuk diperhatikan kembali. Walaupun

ritus ini tidak dilakukan lagi oleh karena dianggap sebagai ajaran sesat/kafir, namun makna

serta nilai yang terkandung di dalamnya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat

Aramaba. Beberapa makna yang ditemukan dalam ritus tersebut yakni, pertama, ritus Oli

Somba sebagai penyatuan masyarakat (pendamaian). Kedua, Oli Somba sebagai bentuk

permohonan kepada Lahatala (Tuhan). Ketiga, Oli Somba sebagai penebus kesalahan

dengan cara “pengkambinghitaman.” Ketiga makna ini melahirkan pertanyaan yang akan

penulis jadikan sebagai alat untuk menafsir teks Matius 26:36-46 yakni, bagaimana

memahami Yesus sebagai korban dari perspektif Oli Somba? Namun, sebelum melakukan

hal tersebut ternyata bahwa teks yang akan ditafsir juga memiliki konteksnya sendiri. Oleh

karena itu, dalam bab selanjutnya penulis akan memaparkan tentang konteks sosio-kultural

dari teks dimaksud.

`