bab 2 kajian pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1 konflik dalam …eprints.umm.ac.id/39694/3/bab...
TRANSCRIPT
26
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konflik Dalam Perspekif Sosiologi
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir di dalam kehidupan
sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa
ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam
pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap
kehidupan sosial, adapun hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan
integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial dari
setiap individu ataupun kelompok tertentu.
Longman Dictionary of Contemporary English, mengartikannya
sebagai ketidak pahaman atau ketidak sepakatan antara kelompok atau
gagasan-gagasan yang berlawanan. konflik sosial adalah salah satu bentuk
interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga
saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu
proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan
yang relatif sama terhadap hal yang sifatnya terbatas, konflik sosial sendiri
bisa diartikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang
27
bersifat menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan (Wordpress, 2017: 28
Nov).
Ihsan Ali Fauzi mengartikan konflik keagamaan sebagai sebuah
perseteruan yang menyangkut nilai, klaim dan identitas dengan melibatkan
isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau
ungkapan keagamaan (Fauzi, 2009: 28). Dalam bentuknya yang ekstrem,
konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan
hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai
lawan atau saingannya.
2.1.2 Bentuk-Bentuk Konflik
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut:
A. Berdasarkan Sifatnya.
Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik
destruktuif dan konflik konstruktif.
1. Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang,
rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap
pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso,
Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
2. Konflik Konstruktif
28
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena
adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam
menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu
konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu
perbaikan, misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi
(Lauer, 2001: 98).
B. Posisi Konflik
1. Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur
yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan
dengan bawahan dalam sebuah kantor.
2. Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang
memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi
antar organisasi massa
3. Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi
sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan
yang ekstrim.
Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut
dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana
29
individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-
macam peranan yang dimilikinya.
2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak
terorganisir.
4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara,
atau organisasi internasional (Lauer, 2001: 102).
2.1.3 Religious (Agama)
Agama merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Agama
sendiri merupakan fenomena universal karena mudah untuk ditemukan di
dalam setiap elemen masyarakat. Eksistensisnya pun juga telah ada sejak
zaman prasejarah, yang mana pada saat itu orang-orang sudah menyadari
bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, dan kekuatan tersebut
juga telah mempengarui dalam setiap lini kehidupannya, seperti pada
zaman orang-orang yunani kuno mereka sudah mulai memikirkan berbagai
fenomena alam yang melingkupi dirinya dan mempertanyakan mengenai
faktor-faktor penyebab terjadinya sesuatu, dimana para filusuf pada waktu
itu sudah mempertanyakan mengenai penyebab utama (causa prima) alam
semesta, dimana hasil dari perenungan yang dilakukan secara spekulatif
mengenai permasalahan mitos dan legenda, yang diyakini kebenaranya
oleh masyarakat (Haryanto, 2016:21).
Agama pada umumnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan perlu didekati dengan
pengetahuan ilmiah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, misalnya mengapa
30
manusia berada di dunia, apa saja tujuan hidup manusia, mengapa manusia
hidup dan mati, dan apa yang terjadi ketika manusia meninggal. Oleh
karena itu agama sendiri mengendung inti dari seperangkat kepercayaan,
simbol, dan ritual. Kepercayaan tersebut mengikat individu dan dijadikan
sebagai pedoman di dalam kehidupan bersama. Ritual secara regular
diulang-ulang dan merupakan bentuk dari suatu perilaku yang di tentukan
secara berhati-hati, serta yang melambangkan nilai-nilai atau kepercayaan
yang dihargai. Dalam pandangan Turner (Turner, 2006:284 dalam
Haryanto, 2016:27), bahwa agama menunjukkan kepada proses-proses dan
institusi-institusi sosial yang mengikat individu secara otoritatif ke dalam
tatanan sosial. Pandangan Turner ini sejalan dengan Aguste Comte
(Denison, 2011: dalam Haryanto, 2016:28) yang mengeklaim bahwa
agama merupakan akar dari tatanan sosial.
Menurut Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of the
Religious Life (sebagaimana dikutip Vigilant dan Wiliamson, 2007:148
dalam Haryanto, 2016:22) mendefinisikan bahwa agama sebagai
seperangkat kepercayaan dan praktik-praktik yang mendasari
perkembangan moral komunitas. Durkheim melihat bahwa agama sebagai
suatu kreasi sosial “nyata” yang memperkuat solidaritas melalui kesamaan
pandangan masyarakat mengenai moral.
Konsepsi agama menurut Durkheim meliputi dua kategori yang saling
berlawanan (oposisi biner), yakni antara yang sakral dan yang profan
dimana keduanya juga memiliki pembedaan antara kolektif dan individual.
Adapun konsepsi mengenai sakral (sacred) merujuk pada sesuatu yang
31
bersifat suci, ketuhanan, dan berada di luar jangkauan alam pikiran
manusia. Sementara profan merupakan dunia nyata, dunia kehidupan
sehari-hari yang berbeda di bawah kendali manusia. agama merupakan
domain masyarakat (kolektif) sperti ritual-ritual yang dilakukan secara
bersama-sama, sedangkan magis merupakan praktik yang dilakukan secara
indivual (Haryanto, 2016:22). Dalam konteks masyarakat Indonesia, magis
dapat diartikan dengan ritus-ritus yang dilakukan oleh dukun atau
paranormal di dalam melayani sebuah permintaan dari pasien atau
kliennya. Adapun yang berkaitan dengan oposisi biner antara yang sakral
dan yang profan, adalah agama dihadirkan sebagai jembatan yang
menghubungkan antara keduanya, hal tersebut di perlukan karena manusia
membutuhkan kepastian di tengah-tengah kebimbangan dan ketidak
pastian akan masa depannya.
Menurut Durkheim, fungsi utama agama ialah meningkatkan kohesi
dan solidaritas sosial. Unsur kohesi dan solidaritas sosial yang tinggi akan
menyebabkan kontrol sosial yang kuat juga. Setiap individu memiliki
sense of belonging terhadap komunitasnya sehingga hal tersebut dapat
berfungsi ganda baik dalam meningkatkan self control maupun social
control. Selain itu, karena individu memiliki sense of belonging yang
tertinggi baik terhadap komunitas maupun agama yang dianutnya, individu
juga akan merasa mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
kepercayaan yang dianutnya.
Karakteristik utama dari semua agama dalam pandangan Durkheim
ialah kolektivitas baik dalam pandangannya terhadap dunia (world of
32
view), sistem simbol yang digunakan (totem), ritual yang dilakukan,
maupun dalam mempertahankan kesucian (secred). Pada level individual,
agama mempunyai fungsi yang mengarah pada tujuan hidup manusia.
2.1.4 Sosial Keagamaan
Berbicara mengenai sosial keagamaan tentu tidak terlepas dari unsur
kata sosial dan agama, yang mengandung unsur masyarakat, budaya,
ideologi, dan politik. Begitu pula manusia dikatakan makhluk sempurna
karena dianugerahi nurani, kemampuan berfikir, akal, dan ketereampilan,
hal tersebut dimiliki manusia demi memperjuangkan eksistensi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup, dan untuk memenuhi kebutuhannya
baik secara materi maupun spiritual. Oleh karena itu manusia yang
berbudaya akan selalu menjalin hubungan-hubungan dengan sosial atau
masyarakat, agama, ideologi, politik, dan budaya.
Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya
manusia perlu mengadakan hubungan antara lain:
a. Hubungan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan
agama
b. Hubungan manusia dengan manusia yang kemudian melahirkan
sosial
c. Hubungan manusia dengan kekuatan yang kemudian melahirkan
politik.
d. Hubungan manusia dengan keindahan yang kemudian melahirkan
budaya.
33
Dunia bagi orang beriman adalah penjara, dalam arti harus
menanggung kepahitan dengan pasif, sehingga dengan keyakinan iman
seperti itu mereka merasa harus menemukan dunia baru yang
menentramkan, yaitu dunia dengan intensitas ritual yang tinggi. Bagi
mereka agama memungkinkan untuk melakukan aktualisasi dalam konteks
kesalehan pribadi, tetapi jelas tidak fungsional jika keikut sertaan dalam
menyelesaikan urusan dunia (sosial) tersebut juga dalam keadaan yang
rumit ini.
Perubahan ini memang meresahkan, tetapi yang penting bagaimana
perubahan sosial itu diangkat menjadi sebuah kesadaran. Memang setiap
transformasi sering dimulai dari keresahan yang positif dan akan menjadi
basis kesadaran potensial dalam menegakkan tatanan baru yang lebih baik,
termasuk di dalamnya tatanan moral dan tatanan sosial keagamaan
(Abdurrahman, 1995: 228).
Jika ingin bersikap aktual dalam perubahan kemanusiaan, agama tidak
bisa hanya berbicara tentang “dunia nanti” yang memang akan dihadapi
setiap manusia, tetapi juga mengenai “dunia sekarang” yang sedang dan
segera dihadapinya. Untuk itu agama harus mampu menumbuhkan etos
dan etik pembangunan harkat kehidupan yang lebih baik. Dalam kaitan ini
inti konsep dosa dan pahala, moralitas (morality) dan inmortalitas
(immortality) setelah kematian, harus menumbuhkan tanggung jawab
sosial pada diri setiap orang. Dari sini dapat diciptakan orde yang stabil
dan berbudaya.
34
Pemahaman tentang bagaimana agama memberikan jawaban dan
sumbangan terhadap tatanan sosial masyarakat sangat tergantung pada
sistem pendidikan. Sistem belajar yang berorientasi pada pembentukan
masyarakat belajar dilingkungan keluarga dan masyarakat (the religius
learning society) sehingga agama dapat berfungsi sebagai basis
penghayatan yang menumbuhkan etos dan etik sosial keagamaan
(Abdurrahman, 1995: 23i).
2.1.5 Salafi
Salafi menurut istilah ialah setiap orang yang berada di atas Manhaj
Salaf dalam aqidah, syari’at, akhlak dan dakwah. Secara bahasa Salaf
berasal dari kata salaf-yaslufu-salafan, yang artinya terdahulu. Secara
lebih luas, arti kata salaf sendiri berarti seseorang yang telah mendahuli
atau terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Adapun salaf
menurut istilah yang lebih kusus adalah sifat yang khusus dimutlakkan
kepada tiga generasi umat terbaik yaitu orang-orang yang mengikuti
sunnah Rosulullah S.A.W, yang mana meraka adalah para sahabat, tabi’in,
tabi’ut at-tabi’in (Jawas, 2009: 22).
Kata salaf sering sekali dikaitkan dengan kata ulama, diamana kata
ulama salaf disini diartikan sebagai ulama yang lama yang berlawanan
dengan ulama baru atau khalaf atau kontemporer. Salafi dalam konteks
faham keagamaan adalah penisbatan kelompok orang, atau komunitas
yang mempraktekkan Islam berdasarkan teks Al-qur’an dan As-sunnah
sebagaimana yang di contohkan oleh para sahabat Nabi Muhammad
S.A.W. salafi atau shalufush shaleh yaitu tiga generasi umat terbaik Islam,
35
yaitu golongan para sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in. yang mana mereka
dianggap sebagai orang-orang yang telah memahami dan mempraktekkan
Islam secara benar. Pada era awal perkembangan Islam, salafi bukan
faham, aliran, ataupun sebuah ideologi. Salafi sendiri merupakan sebuah
praktik keberagamaan yang sangat berbeda dengan praktik keagamaan
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, Qodariyah, dan Jabariyah (Syafi’I maufid, 2009:16)
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, faham dan
ajaran yang di bawa oleh orang-orang salafi merupakan dakwah Islam
yang berpedoman pada Al-qur’an dan Sunnah Rosululloh S.A.W dengan
bermanhaj shalufush shaleh. Oleh karena itu salafiah merupakan gerakan
tentang pemikiran ajaran Islam yang berusaha menghidupkan kembali atau
memurnikan ajara Islam yang berlandaskan pada Al-qur’an dan hadis Nabi
S.A.W, sebagaimana yang telah di amalkan oleh para salaf (tiga generasi
umat terbaik). Adapun tujuan dari gerakan tersebut ialah, agar umat Islam
kembali kepada kedua sumber utama pemikiran Islam, yaitu Al-qur’an dan
As-sunnah, serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak
berlandaskan pada kedua sumber ajaran tersebut. Gerakan tersebut juga
bertujuan untuk mengembalikan keotentitasan ajaran Islam dari pengaruh-
pengaruh kepercayaan dan tasawuf yang menyesatkan, serta ingin
menghilangkan tentang ajaran tasawuf yang mengkultuskan para ulama
dan pemujaan terhadap kuburan para wali ataupun tokoh-tokoh agama
(Tholhah, 2003:33).
36
Salafi sendiri merupakan salah satu kelompok keagamaan
transnasional, yang mama gerakan transnasional tersebut merupakan
gerakan keagamaan yang memiliki tingkat jaringan internasional.
Kelompok atau gerakan keagamaan tersebut datang kesuatu negara dengan
membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari negeri seberang (timur
tengah) yang di nilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih
dahulu eksis seperti paham keagamaan lokal di negeri ini yaitu NU,
Muhammadiyah, PERSIS, dan lain sebagainya.
Kelompok salafi muncul pertama kali pada akhir abad ke-19 di Saudi
Arabia. Pengaruh Saudi Arabia mengalir ke Indonesia melalui Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII)1. Ajaran Salafi masuk ke Indonesia
melalui para sarjana alumni Timur Tengah, terutama mereka yang
bersekolah di Universitas-Universitas di Arab Saudi dan Kuwait, dimana
dua negara ini merupakan basis utama atau sentral gerakan salafi di
seluruh dunia. Selain itu, dua negara kayak minyak tersebut juga
merupakan sumber utama pendanaan bagi kelangsungan aktivitas gerakan
salafi, dan bukan hanya itu saja dukungan yang diberikan juga langsung
dari tokoh-tokoh intelektual bangsa Arab di antaranya ialah Arab Saudi,
Kuwait, dan Yaman (Mubarak, 2007:119, dalam Mufid, 2011:217).
2.1.6 Kelompok Salafi yang ada di Desa Kembiritan
Awal mula dakwa salfi masuk dan mulai berkembang di Dusun
Tebuan Desa Kembiritan di mulai sejak tahun 2000, dimana pada waktu
itu ada salah satu tokoh masyarakat yang menjembatani masuknya dakwah
1 DDII adalah Dewan Dakwah Islam Indonesia, merupakan organisasi dakwah yang
didirikan oleh Muhammad Natsir (1908-1993) dan para mantan Masyumi lainnya 1967.
37
Islamiyah yang beridiologi Salaf untuk masuk pada salah satu masjid yang
ada di Dusun Tebuan (Masjid Mujahiddin), dan berdasarkan dari latar
belakang masjid yang di gunakan sebagai tempat penyebaran dakwah
tersebut dapat kita ketahui bahwa masjid tersebut merupakan masjid milik
dari mayoritas jama’ah yang berideologikan faham Muhammadiyah.
Dusun Tebuan atau yang biasa kita kenal dengan Dusun Kerajan II ini
merupan salah satu dusun yang ada di Desa Kembiritan Kecamatan
Genteng Kabupaten Banyuwangi, dengan letak geografis nya yang
berbatasan dengan Desa Karang Sari di sebelah utara, Desa Wringin Rejo
di sebelah selatan, Desa Sumber Sari di sebelah timur, dan Desa Genteng
wetang di sebelah barat.
Dakwah salafi masuk ke Dusun Tebuan di perantarai oleh salah satu
tokoh masyrakat yang bernama bapak Sutaji, dengan berdasarkan
kesepakatan bersama yang di lakukan oleh warga masyarakat yang
menginginkan sosok da’i atau ustadz yang tulen dengan mengajarkan
ilmu-ilmu tentang keislman yang hakiki (ideologi Salaf).
Masjid Mujahiddin sebagai masjid pertama yang di bangun dan berdiri
di Dusun Tebuan ini secara tidak langsung tentu memiliki pengikut atau
jama’ah yang dominan, artinya lebih banyak jama’ahnya ketimbang
masjid-masjid yang lainnya. Hal tersebut tentu menjadi peluang bagi
kelangsungan dakwah salafi untuk menyebarkan ideologi keislaman
mereka, dimana hal tersebut juga berdasarkan dari permintaan masyarakat
yang menginginkan adanya aktivitas keagamaan yang di lakukan di masjid
Mujahiddin. Peluang untuk menyebarkan dakwah tersebut bukan berarti
38
berjalan lancar tanpa adanya kendala, namun hal tersebut justru
merupakan awal dari permasalahan baru yang muncul, meskipun aktivitas
dakwah tersebut awalnya di inginkan oleh warga masyarakat dusun namun
selang berjalannya waktu, sebagian masyarakat menilai bahwa
pemahaman yang di bawa oleh kelompok muslim salafi ini berbeda
dengan cara pandang keislaman warga masyarakat yang ada, sehinga
permasalahan ini menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat.
Permasalahan tersebut dilatar belakangi oleh keadaan sebagian
masyarakat yang pro atau masyarakat yang mendukung aktivitas dakwah
yang di bawa oleh kelompok salafi dengan masyarakat yang kontra atau
yang menolak dengan aktivitas dakwah tersebut, sehingga perbedaan
pendapat ini menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Dakwah keagaman merupakan salah satu cara educations yang
dilakukan oleh seorang Ustadz atau Mubalihg (orang yang berdakwah)
kepada masyarakat mengenai tatacara keagamaan, yang mana educations
ini berisi tentang bagaimana seharusnya manusia itu beribadah atau
berinteraksi kepada Tuhannya dengan cara yang baik dan benar. Selain itu
dakwah adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat setempat, bahkan dakwah tersebut dapat dikatakan
mempunyai energi trigger yang luar biasa bila mana mampu membuat
masyarakat setempat mengalami metemorfose yang positif dalam berbagai
aspek kehidupannya. Di samping berbagai dampak yang dinilai positif,
hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang
tidak diharapkan, seperti semakin buruknya kesenjangan sosial antar
39
kelompok masyarakat, memburuknya kualitas integrasi, dan hal-hal yang
mengancam keharmonisan sosial keagamaan.
Dampak negatif yang disebabkan karena adanya pola ideologi atau
faham yang bersifat primordialisme, yaitu menganggap bahwa kebenaran
idologi kelompok tersebut lebih benar ketimbang ideologi kelompok
lainnya. Sementara itu banyak pakar juga yang telah menyadari bahwa
dakwah merupakan salah satu cara yang baik untuk menyatukan
masyarakat, bila mana dalam menyebarkan ideologi tersebut tidak di
tunggangi oleh kepintingan-kepentingan sebagian kelompok tertentu yang
dapat merugikan kelompok lainnya, sehingga keharmonisaan di dalam
kerebagaman mampu terwujud.
2.1.7 Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 november 1912 yang
bertepatan dengan tanggal 18 dzulhijah 1330, yang di rintis oleh K.H
Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Beliau mempunyai nama asli yang bernama
Muhammad Darwis, dan kedua orang tua beliau bernama K.H Abu Bakar
dan Siti Aminah (Darban dan Pasha, 2000: 76). Pada mulanya
Muhammadiyah merupakan kelompok kecil dengan mempunyai misi yang
sedikit bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan penduduk Bumi Putera
yaitu masyarakat yang ada di sekitar keraton Yogyakarta.
Muhammadiyah sebagai kelompok Islamik yang Modernis lebih
memfokuskan untuk membangun Islamic-Society (Masyarakat Islam) dari
pada Islamic-State (Negara Islam), yaitu organisasi yang lebih
memfokuskan di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, dan kesehatan
40
(Shepard, 2004: 74). Pandangan modernis tersebut tentu berbeda dengan
pandangan sekuler yang bermakna antara memisahkan agama dengan
negara atau pun sebaliknya negara dengan agama. Pandangan
Muhammadiyah dalam konteks sejarah Indonesia menjadi sangat penting
bila di telisik lebih jauh lagi, dimana organisasi tersebut juga pernah ikut
berjuang di dalam kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah, dan hal
tersebut sebagaimana yang terdapat di dalam piagam Jakarta.
Kontribusi Muhammadiyah tentu bukan hanya saja ikut serta dalam
merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah saja, namun juga
telah berkontribusi memberikan solusi dalam mengatur undang-undang
kenegaraan sebagaimana yang telah bersumber dari Pancasila sebagai
sumber yang memiliki legitimasi secara teologis dan sosiologis yang kuat
untuk menjadi lahan persemaian baldatun thoibah wa robbun ghofur tanpa
harus menjadi negara Islam sebagaimana butir terakhir dalam pernyataan
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).
Kesadaran berorganisasi khususnya dikalangan intelektual muslim
indonesia selain untuk meningkatkan mutu keagamaan, disisi lain muncul
pengaruh dari Ethische Politiek “Politik Etis” (Republika, 2005: 12),
keadaan pendidikan tersebut di prakarsai oleh pemerintah kolonial
Belanda yang bertujuan untuk menjauhkan kurikulum pendidikan dari
pelajaran-pelajaran agama dan mengganti pendidikan tersebut dengan
basis sekuler dan lebih memuja-muja barat (Lubis, 2005:26).
Pada tanggal 20 desember 1912 organisasi Muhammadiyah
mengajukan permohonan hukum (recthtspersoom) kepada pemerintah
41
kolonial Belanda dengan di lengkapi Rancangan Anggaran Dasarnya
untuk meminta ujin dalam malakukan gerakan pendidikan, hingga
akhirnya Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No. 8,
tanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara legal atas berdirinya
Muhammadiyah dengan wilayah operasinya terbatas pada residentsi
Yogyakarta (Darban, 2000:76). Setelah Muhammadiyah menerima Besluit
tersebut selanjutna organisasi itu merumuskan tujuannya sebagaimana
berikut:
1. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W.
kepada bumiputera di dalam residensi Yogyakarta
2. Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya
Bertepatan menjelang diselenggarakannya kongres ke-9 Budi Utomo
pada tahun 1917, pembenahan administrasinya pun di mulai untuk
menyongsong pengembangan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta, hal
tersebut merupakan momentum yang sangat tepat karena ketika K.H
Ahmad Dahlan tersebut mendapat kesempatan untuk bertabligh dalam
kongres Budi Utomo. Tabligh K.H Ahmad Dahlan tersebut secara tidak
langsung telah menarik para peserta kongres yang ada sehingga hal
tersebut mendapat banyak perhatian dan permintaan terhadap organisasi
Muhammadiyah untuk mengisi di tempat-tempat mereka seperti beberapa
wilayah di Jawa (Ibid: 76).
Setelah keluarnya izin dari pemerintah Hindia Belanda Muhammadiyah
mulai mendirikan cabang di luar Jawa sejak tahun 1921, seperti mulai di
daerah Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Banyuwangi, Jakarta,
42
Kudus dan Garut. Pada tahun 1925 berdiri Muhammadiyah di Kudus dan
pada tahun itu juga Muhammadiyah telah mendirikan cabang di luar jawa
seperti di Padang Panjang, Sumatra barat hingga tahun 1938 cabang
Muhammadiyah telah merata ke seluruh daerah Hindia Belanda. Adapun
Pemberian nama Muhammadiyah oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri
mempunyai arti bahwa diharapkan organisasi tersebut mampu mengikuti
Nabi Muhammad S.A.W tentang segala tindakan dan prilakunya (Ibid:
44).
2.1.8 Nahdhotul Ulama
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai
reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus
sunnah waljamaah, adapun tokoh-tokoh yang ikut berperan diantaranya
adalah K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Wahab Hasbullah dan para ulama pada
masa saat kegiatan reformasi masih mulai berkembang luas, dimana ulama
pada saat itu belum begitu terorganisasi namun mereka sudah saling
mempunyai hubungan yang sangat kuat (Hasyim, 2002: 66).
Berdirinya Nahdhotul Ulama sendiri tidak terlepas dari upaya dalam
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja), dan ajaran-
ajaran yang bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-
keputusan para ulama sebelumnya), dan Qiyas (kasus-kasus yang ada
dalam cerita al Qur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari
K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-bidang
hukum-hulum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai
43
NU menganut kuat madzhab Syafi’i. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan),
menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidzi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam
Abu Qosim Al Junaidi.
Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif, pemikiran
Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu
pendapat yang benar. Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh
Sunni yang terkemuka dalam masalah Qada dan Qadar yang menyangkut
soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah
pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa
sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq). Pemikiran
yang dikembangkan oleh Hasan AL-Basri inilah yang sebenarnya
kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah waljama’ah (Ridwan,
2004: 95).
Nahdlatul Ulama’ berasal dari bahasa arab, yaitu Nahdlatul yang
artinya bangkit atau bergerak, dan Ulama adalah orang-orang yang alim
atau orang yang mengetahui tentang ilmu agama, sehingga nama
Nahdlatul Ulama’ adalah merupakan usulan dari Ulama’-ulama’ pada
zaman dahulu. Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi masyarakat dan
keagamaan yang mempunyai lambaga yang menggambarkan dasar tujuan
dan cita-cita dari keberadaan organisasi.
Lambing Nahdlatul Ulama’ diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah,
setelah melalui proses perenungan dan hasil sholat istikharah sebagai
44
petunjuk dari Allah S.W.T, sehingga lambang Nahdlatul Ulama’ adalah
sebagai berikut:
1. Globe (bola dunia) melambangkan bumi, dimana hal
tersebut mempunyai filosofi bahwa tanah merupakan
tempat manusia hidup dan tempat mencari kehidupan
yaitu dengan berjuang, beramal, dan berilmu. Bumi
mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan
akan kembali ke tanah.
2. Peta Indonesia yang terlihat pada globe (bola dunia),
melambangkan bahwa NU berdiri di Indonesia dan
berjuang untuk kekayaan Negara RI.
3. Tali bersimpul yang melingkari globe (bola dunia),
melambangkan persatuan yang kokoh dan ikatan di
bawahnya melambangkan hubungan manusia dengan
Allah SWT. Untaian tali berjumlah 99. Melambangkan
asmaul husna agar manusia hidup bahagia di dunia dan
akhirat.
4. Bintang besar, melambangkan kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw, dan empat bintang di atas garis
katulistiwa melambangkan kepemimpinan Khulafaur
Rosyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khottob, Usman
bin Affan, Ali bin Abi Tholib, serta empat di bawah
garis katulistiwa melambangkan empat madzhab yaitu:
Imam Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali.
45
5. Tulisan arab “Nahdlatul Ulama” membentang dari
kanan ke kiri, hal tersebut menunjukkan bahwa ke
organisasian yang berarti kebangkitan para ulama’.
6. Warna dasar hiijau melambangkan kesuburan tanah air
Indonesia sedangkan tulisan yang berwarna putih
melambangkan kesucian.
Berdasarkan uraiaan di atas dapat disimpulkan NU adalah organisasi
keagamaan yang setia mengikuti ajaran Nabi Muhammad S.A.W.
Nahdlatul Ulama merupakan organisasi terbesar di Indonesia, dan
mempunyai peran strategis dalam membentuk struktur sosial yang ideal.
Struktur organisasi Nahdlatul Ulama sendiri terdiri dari para kiai yang
merupakan simbiosis dari ulama-ulama Indonesia yang ada, dan posisi kiai
merupakan sentral figur dalam kehidupan masyarakat.
Menghadapi problem yang menghimpit masyarakat, seperti kemiskinan
kebodohan, imperialisme budaya dan kesewenang-wenangan penguasa,
ulama harus tampil digarda depan. Sangat naif jika ulama hanya bertugas
memberi contoh dalam ritual-ritual keagamaan semata. Sebab esensi
ibadah adalah mencakup dua dimensi, yaitu, dimensi ubudiyah, hubungan
individu dengan tuhan, dan dimensi mu’amalah, hubungan manusia
dengan manusia yang lain (sosial), jadi keduanya harus berjalan secara
simultan tanpa menyisihkan salah satunya, menyisihkan salah satu
dimensi, berarti suatu kepincangan dalam memahami nilai-nilai Tuhan.
Ulama adalah pewaris nabi, warasatul anbiya’ wal mursalin, maka yang
46
bertanggungjawab digarda depan dalam mengemban misi kenabian adalah
para ulama (Burhan, 1981: 21).
2.2 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang membantu melakukan
penelitian dalam relasi sosial keagamaan kelompok salafi dengan
masyarakat dusun. Yaitu antara lain terdapat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 0.1 Penelitian Terdahulu
No Penulis Dan Judul Hasil Relevansi
1. Konflik sosial dalam
Hubungan Umat
Beragama. St. Aisyah
Bm, UIN Alauddin
Makasar. 2014
Konflik sosial dalam
hubungan antar umat
beragam terjadi karena
terjadi ketidak mampuan
untuk menenterjemahkan
pesan dari wahyu, yang
mengakibatkan keputus
asaan dari ketidak pastian
dalam beragama. Penyebab
konflik dapat berupa
politik, kesenjangan
ekonomi, kesenjangan
budaya, sentimen etnis dan
agama
Relevansi dari penelian
terseut dengan penelitian
yang peneliti lakukan
adalah sama-sama ingin
menguak penyebab di
balik konflik yang terjadi,
meskipun dalam metode
penggunaannya penelitian
yang di lakukan oleh
Aisyah dengan yang
peneliti lakukan berbeda
namun cakupan
permasalahan yang ingin
di kaji menunjukkan
adanya persamaan.
2. Anatomi Konflik dan
Solidaritas Masyarakat
Pedesaan Jawa (Studi
Fenomenologis
Terhadap Dinamika
Keberagamaan
Masyarakat Lokal Desa
Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Mohammad
Irfan yang menjelaskan
mengenai dinamika konflik
keberagamaan masyarakat
Desa Pakuncen,
menunjukkan karakteristik
Kesamaan dari penelitian
yang peneliti angkat
adalah sama-sama ingin
menguak dinamika
konflik yang terjadi pada
masing-masing
permasalahan yang
47
Pakuncen). Muhammad
Irfan, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
2015
keislaman pada masyarakat
Pakuncen yang dikenal
dengan sebutan Islam adat
(Islam Kejawen) dan Islam
Masjid, yang mana pada
corak pada kelompok Islam
Masjid ada beberapa jenis
yaitu NU, Jama’ah Tablig,
dan Salfi. Permasalahan
yang terjadi pada kedua
kelompok tersebut adalah
masalah sengketa pendirian
masjid, diamana menurut
kelompok Islam Kejawen
area pendirian masjid itu
berdiri di kawasan yang di
keramatkan, sementara bagi
kelompok Islam Masjid
pendirian masjid
merupakan kebutuhan
untuk mengaktualisasi
ajaran keagamaan dan tidak
memaknai wilayah itu
sebagai bagian kesakralan.
muncul, dimana dalam
penelitian yang peneliti
angkat kali ini berusaha
untuk menggali lebih
dalam mengenai faktor
dan latar belakang
terjadinya konflik dalam
prespektif Ralf
Dahrendorf, yang dilatar
belakangi oleh
kepentingan-kepentingan
tertentu sehingga
memunculkan konflik.
3 Gerakan Purifikasi
Islam di Surakarta
(Studi tentang Al-Islam
1928-1960). Almuntaqo
Zainuddin, UIN Sunan
Kali Jaga Yogyakarta.
2009
Gerakan purifikasi Islam di
Surakarta berupaya
menciptakan keharmonisan
di tengah-tengah
perbedaan, perbedaan
ideologi tersebut di tengarai
memiliki dua arus yang
besar sehingga berpotensi
menimbulkan konflik yang
berkelanjutan,
permasalahan yang terjadi
Relevansi penelitian ini
dengan penelitian saya
terletak pada kesamaan
dalam membangun
kehamonisan di tengah-
tengah perbedaan di
dalam keberagamaan.
Penelitian ini menemukan
bahwa di dalam
menciptakan hubungan
interaksi yang bersifat
48
adalah perbedaan cara
pandang kelompok
keagamaan Islam modernis
dengan kelompok
keagamaan Islam
tradisionalis. Berdasarkan
dengan kondisi tersebut
masyarakat islam di
Surakarta seara umum di
sarankan untuk netral,
artinya tidak perlu
memihak diantara
keduanya, dan sebagai jalur
alternativinya adalah
dengan kembali kepada
keotentitasan suatu ajaran
agama Islam yaitu Al-
qur’an dan As-sunnah
asosiatif maka di
perlukannya tindakan
yang netral, artinya adalah
dengan melakukan kerja
sama yang bersifat tidak
memihak dalam ruang-
ruang muamalah.
4 Anatomy of the Salafi
Movement (Studies in
Conflict and Terrorism).
Quintan Wiktorowicz,
Jurnal Society of
Religions, 10 January
2005
Gerakan salafi atau yang
sering disebut dengan
Wahabi, menggambarkan
keberagaman tokoh sebagai
dasar panutannya, seperti
halnya disini adalah Osama
bin Laden dan Mufti Arab
Saudi, serta mencerminkan
suatu kelompok yang luas,
posisi terkait isu politik,
dan kekerasan (Jihad).
Dimana pada Jurnal ini
menjelaskan mengenai
sumber persatuan yang
menghubungkan ekstrimis
kekerasan dengan orang-
orang puritan tanpa melalui
Relevansi penelitian ini
dengan penelitian yang
saya angkat adalah
terletak pada kesamaan
dalam mengupas masalah
konflik yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat
multi religions, dimana
pada jurnal tersebut juga
telah membahas masalah
jihad (dakwah) yang
berhubungan dengan
tujuan terciptanya
integrasi
49
konflik destruktif. Dimana
pada jurnal ini di jelaskan
bahwa Salafi memiliki
kepercayaan agama yang
sama namun juga memiliki
segi perbedaan atas
penilaian terhadap masalah
kontemporer yang berlaku
2.3 Landasan Teori Konflik Kepentingan Ralf Dahrendorf
Fenomena Konflik sosial keagamaan kelompok muslim salafi dengan
identitas keagamaan (NU dan Muhammadiyah) masyarakat yang terjadi di
Dusun Tebuan Desa Kembiritan Kecamatan Genteng Kabupaten
Banyuwangi ini merupakan suatu fakta yang riil dan benar-benar terjadi di
tengah-tengah realitas masyarakat yang majemuk. Bukti-bukti nyata secara
empiris dan berdasarkan subjektivitas narasumber dalam memberikan
informasi yang berkaitan mengenai dinamika konflik sosial keagamaan
yang terjadi dalam masyarakat di Dusun Tebuan tersebut akan di uraikan
pada bab-bab selanjutnya.
Dalam hal ini peneliti akan mencoba menggunakan pendekatan
berdasarkan dari rumusan masalah, “bagaiamana dinamika konflik
keagamaan yang terjadi pada masyarakat di Dusun Tebuan, Desa
Kembiritan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur?”,
dengan teori sebagai sandaran dalam menganalisis serta untuk
menerangkan dari permasalahan yang di teliti. Maka peneliti akhirnya
menggunakan teori konflik Ralf Dahrendrof yang akan di jabarkan di
bawah ini.
50
Pengertian tentang konflik sering di fahami sebagai suatu kondisi yang
menunjukkan adanya pertentangan antara dua belah pihak atau lebih, yang
memiliki perbedaan mengenai cara pandang atau pun kepentingan-
kepentingan yang ingin di capai, menurut Gamble sebagaimana yang telah
dikutip oleh Sabian Utsman, konflik adalah suatu bentrok sikap, pendapat,
perilaku, tujuan dan kebutuhan yang saling bertentangan. Termasuk juga
perbedaan terhadap asumsi-asumsi, keyakinan dan nilai-nilai yang dianut.
Lebih lanjut Sabian Utsman menyebutkan bahwa konflik akan muncul
apabila ada beberapa aktivitas individu atau kelompok yang saling
bertentangan. pertentangan itu jika menyebabkan adanya suatu tindakan
atau aktivitas yang di lakukan oleh orang lain menjadi tidak atau kurang
berarti (Utsman, 2007: 16).
Adapun yang dimaksud dengan konflik di sini ialah suatu keadaan
dimana sekelompok orang dengan identitas berbeda terlibat dalam
pertentangan yang di lakukan secara sadar dari suatu kelompok tertentu
terhadap suatu kelompok lainnya, hal tersebut di latar belakangi oleh
keinginan dalam menggapai suatu tujuan tetapi di balut dengan suatu
kepentingan yang saling bertentangan, baik dalam masalah penetapan
nilai-nilai ideologi, keyakinan (trust), agama dan lain sebagainya, serta
klaim terhadap status, kekuasaan, ataupun sumber daya. Dahrendrof
menyebutkan bahwa konflik atau pertentangan kepentingan tersebut dapat
bersifat laten maupun bersifat manifest. Dikatakan bersifat laten apabila
bentuk kepentingan-kepentingan itu tidak atau belum disadari oleh
individu ataupun kelompok yang sedangkan melakukan konflik, dan
51
konflik akan bersifat manifest jika bentuk konflik kepentingan tersebut
terjadi dan telah di sadari oleh individu maupun kelompok yang berkonflik
atau “sedang berkonflik”. (Dahrendrof, 1956: 173).
Dalam perspektif konflik dahrendorf tersebut sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Johnson, mentengahkannya dengan premis-premis utama
konsepsi konflik, yaitu: pertama, setiap masyarakat senantiasa berbeda di
dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain
bahwa perubahan sosial merupakan gejala yang melekat dalam setiap
masyarakat. Kedua, setiap masyarakat di dalam dirinya terkandung konflik
atau dengan kata lain bahwa konflik merupakan gejala yang melekat
dalam setiap masyarakat. Ketiga, setiap unsur dalam suatu masyarakat
memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-
perubahan sosial. Keempat, setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasa
yang mendominasi sejumblah orang (kebebasan yang di paksakan)
(Johnson,:194).
Jika hal tersebut dikaitkan dengan agama sebagai kondisi dan motivasi
penyebabkan dari lahirnya kekerasan, permusuhan bahkan konflik
destruktif, maka dapat kita ketahui jika hal tersebut didasarkan dengan
beberapa kreteria berikut, yaitu: Pertama, ketika individu maupun
kelompok mengklaim kebenaran dari agamanya merupakan kebenaran
yang mutlak dan satu-satunya keyakinan yang harus di peluk. Kedua,
agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan
terhadap suatu pemimpin agama secara membabi buta (Fanatisme).
Ketiga, agama bisa berintegrasi dengan kekerasaan, ketika pemeluk agama
52
mulai merindukan sebuah keadaan yang ideal seperti di masa lalu dan
bertekat merealisasikannya di masa sekarang (Jihad). Keempat, agama
bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah
disuarakan. Maka hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa agama
merupakan salah satu sumber utama dari penyebab terjadinya konflik.
Terjadinya konflik tersebut juga bisa dimotivasi dari suatu
kepentingan-kepentingan yang ingin di capai seperti (a) karena
mempertahankan tempat suci, (b) untuk melindungi ajaran agama yang
dirasa sedang dalam bahaya, (c) untuk mempertegas identitas kelompok
dari dalam dan melawan orang dari luar kelompok.
Sedangkan Hayanto menyebutkan paling tidak ada tiga alasan
mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan sebagai landasan
dan pembenaran prilaku tindak kekerasan. Pertama, karena agama dapat
berfungsi sebagai ideologi, dimana fungsi agama ini dijadikan perekat
suatu masyarakat di karenakan hal tersebut mampu untuk memberikan
kerangka penafsiran dalam pemaknaan mengenai pola relasi antar umat
manusia atau dalam artian sejauh mana tatanan sosial dianggap sebagai
representasi religius yang di kehendaki Tuhan. Kedua, adalah fungsi
agama sebagai faktor identitas, dalam hal ini agama secara spesifik dapat
diidentikkan dalam kepemilikannya pada manusia atau terhadap suatu
kelompok manusia tertentu, dimana pada kepemilikan identitas tersebut
dianggap mampu untuk memberikan stabilitas, status, pandangan hidup,
cara berfikir, etos, dan lain sebagainya. Ketiga, fungsi agama sebagai
legitimasi etis dalam hubungan antar manusia, berbeda halnya dengan
53
agama yang sebagai kerangka penafsiran saja, dimana mekanisme ini tentu
bukan sakralisasi antar manusia melainkan suatu hubungan antar manusia
yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama (Haryatmoko,
2000:17).
Peter Suwarno menyebutkan timbulnya konflik sosial bernuansa
agama dapat dipicu atau disebabkan oleh beberapa faktor yang melatar
belakangi diantaranya adalah polarisasi masyarakat yang berdasarkan dari
garis identitas keagamaan yang semakin meningkat, serta dibarengi juga
oleh menguatnya keyakinan akan adanya kebenaran dan interpretasi teks
agama yang tunggal. Terlebih lagi pimpinan atau tokoh agama cenderung
menekankan pentingnya figh dari pada akhlak, religious purification dari
pada religious compassion. Disamping itu, kurangnya public sharing yang
sejalan dengan semakin meningkatnya polarisasi keagamaan tersebut.
Kondisi ini dapat dilihat dalam konteks, semisalkan pembangunan atau
pendirian tempat ibadah ataupun organisasi yang bercirikan agama tertentu
dalam mengambil ruang lingkup interaksi umum (Suwarno, 2007: 21-26).
Menurut Dahrendorf, konsep kepentingan tersembunyi, kepentingan
nyata, kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok
konflik adalah konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial. Di bawah
kondisi yang ideal tak ada lagi variabel lain yang diperlukan. Tetapi,
karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain yang ikut
berpengaruh dalam proses konflik sosial. Dahrendorf menyebut kondisi-
kondisi teknis seperti personil yang cukup, kondisi dan situasi politik
secara keseluruhan, dan kondisi sosial seperti keberadaan hubungan
54
komunikasi dan lain sebagainya, maka hal tersebut juga telah
mempengarui dalam kondisi penyebab terjadinya konflik. Menurut
Dahrendorf cara orang direkrut ke dalam suatu kelompok semu merupakan
kondisi sosial yang penting, dia menganggap bahwa jika rekruitmen
berlangsung secara acak dan ditentukan oleh peluang, maka akan
menjadikan kelompok kepentingan, dan kelompok kepentingan tersebut
akhirnya berubah menjadi kelompok konflik.
Dari uraian tentang konflik dan faktor-faktor penyebabnya, maka bila
ditinjau dari segi sifatnya, konflik dapat muncul dalam dua bentuk yang
berbeda, yaitu: konflik bersifat laten dan konflik bersifat manifes. Konflik
yang bersifat laten cenderung tertutup tersembunyi dan tidak terlihat di
permukaan), sehingga sulit terdeteksi dan diprediksi. Sedangkan konflik
bersifat manifes adalah konflik terbuka dan mudah diketahui. Suatu bentuk
konflik manifes bisa saja merupakan ledakan konflik laten yang
tersembunyi sebelumnya (Kartodirjo, 1984:24).
Berkaitannya dengan itu, Johan Galtung mengajukan sebuah model
untuk menganalisis sebuah konflik yang bersifat laten dan manifes
tersebut. Galtung menyatakan bahwa konflik dapat dilihat dalam sebuah
segitiga konflik, yang didalamnya terdapat, pertama, sikap (S); kedua,
perilaku (P); dan ketiga, kontradiksi (K). Kontradiksi dapat berupa
frustasi, suatu tujuan atau kebutuhan yang terhalang, yang mengarah pada
agresif sebagai sikap, dan agresi sebagai perilaku (Galtung, 2003: 160).
Lebih lanjut Galtung menjelaskan bahwa sebuah struktur konflik
tanpa sikap (S) dan kontradiksi (K) merupakan sebuah konflik laten yang
55
bersifat teoritis, dugaan. Sedangkan konflik manifes diidentifikasi dengan
perilaku (P) yang empiris dan terlihat. Pada tataran perilaku, partisipan
konflik dapat mengalami, mengamati perilaku dari konflik yang terjadi.
Sebuah konflik merupakan proses yang dinamis dimana sikap (S) dan
perilaku (P) serta kontradiksi (K) secara konstan dapat berubah dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Ketika ketiga komponen tersebut muncul
secara bersamaan, maka hal ini yang disebut konflik total (manifes).
Ketiganay secara bersamaan membentuk segitiga konflik (Galtung, 2003:
161). Sebagaimana tergambar pada bagan di bawah ini.
Berdasarkan uraian diatas, maka teori konflik ini digunakan untuk
menjelskan dan menganalisis fenomena konflik yang terjadi dalam
kehidupan keberagamaan masyarakat Dusun Tebuan. Teori konflik ini
akan memandu untuk melihat bentuk konflik, faktor penyebabnya atau
kepentingan-kepentingan yang melatarbelakangi kemunculan konflik,
serta menjelaskan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari konflik
tersebut. Disamping itu juga digunakan untuk melihat bagaimana potensi
konflik manifes masyarakan Dusun Tebuan yang multi keyakinan dan
multi ideologi keagamaan.