bab 2 kajian pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/46761/3/bab 2.pdf · 9 tabel 2.2...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Apel
Kata apel berasal dari Inggris yaitu aeppel. Apel adalah buah yang
banyak dikonsumsi orang di seluruh dunia, bukan hanya untuk pencuci mulut
tapi juga untuk menambah gizi pada tubuh. Apel merupakan tanaman buah
tahunan yang berasal dari pengunungan caucacus di Asia dan kemudian
menyebar ke seluruh pelosok Asia. Varietas apel yang dikembangkan di
Indonesia umumnya datang dari Eropa dan Australia. Buah ini masuk ke
Indonesia pada tahun 1934 dan memiliki beberapa varietas apel unggulan
antara lain: Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble dan Wangli atau
Lali Jiwo (Dewi, 2014).
(Sugiyatno & Agisimanto, 2013) Gambar 2.1 Apel (Malus sylvestris)
Tanaman apel merupakan salah satu jenis tanaman buah yang banyak
dan mudah tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia, diantaranya di daerah
Batu (Malang), Pasuruan, Lumajang dan beberapa dataran tinggi yang tidak
banyak berkabut (Pertiwi, Yari & Putra, 2016). Tinggi tanaman apel dapat
7
mencapai 10 m, tetapi kini dibentuk menyerupai semak yang tingginya hanya
2-3 m (Mandira, 2010).
Pohonnya bercabang sedikit. Arah cabang cenderung ke atas (vertikal).
Kayunya keras dan mudah lentur. Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur,
keras tetapi renyah, dan airnya sedikit. Bila buah sudah tua warnanya ada yang
merah, kuning, atau hijau. Buah apel berbiji sedikit dan keras (Mandira, 2010).
2.2 Taksonomi Apel
Menurut sistematikanya, tanaman apel diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi: Spermatophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Rosales
Famili: Rosaceae
Subfamili: Maloideae
Genus: Malus
Species: Malus sylvestris
(Sufrida, 2007)
2.3 Kandungan Buah Apel
Apel mengandung beberapa komponen seperti makronutrien (protein,
karbohidrat, lemak, serat, energi dan gula), vitamin, mineral.
8
Tabel 2.1 Komposisi Apel
Nutrien (unit) Jumlah dalam porsi 100 g
Air (g) 85,56
Energi (kJ) 218
Protein (g) 0,26
Lemak total (g) 0,17
Karbohidrat (g) 13,81
Serat total (g) 2,4
Gula total (g) 10,39
Sukrosa (g) 2,07
Dekstrosa (g) 2,43
Fruktosa (g) 5,90
Laktosa (g) 0
Maltosa (g) 0
Galaktosa (g) 0
Starch (g) 0,05
(Roupas, 2010)
Menurut Persada (2009), distribusi kandungan kimia pada kulit dan
daging buah apel berbeda. Kulit apel mengandung total senyawa fenol yang
lebih kaya daripada daging buahnya. Kelompok senyawa fenol yang paling
penting adalah flavonoid. Contohnya seperti, antosianidin, flavanol dan
proantosianidin.
9
Tabel 2.2 Kandungan Flavonoid Apel
Jenis Flavonoid Jumlah dalam mg /100g
Antosianidin Sianidin 2,44
Delfinidin 0,00
Malvidin 0,00
Pelargonidin 0,00
Peonidin 0,01
Petunidin 0,00
Flavan-3-ols Epicatekin 6,07
Epikatekin 0,01
Epigalokatekin 0,36
Epigalokatekin 3-gallate 0,26
Katekin 0,89
Galokatekin 0,00
Flavanon Naringenin 0,00
Flavon Apigenin 0,00
Luteolin 0,17
Flavonol Kaempferol 0,02
Myricetin 0,00
Quercetin 4,27
(USDA, 2007)
Buah apel mengandung banyak serat, vitamin C, fitokimia, dan
flavonoid seperti quercetin. Kandungan senyawa fenolik utama dalam enam
jenis apel dan mendapati kandungan terbesar dalam mg/100 g apel segar
adalah quercetin glikosida (13,2 mg), prosianidin B2 (9,35 mg), asam
klorogenat (9,02 mg), epikatekin (8,65 mg), floretin glikosida (5,59 mg), dan
vitamin C (12,8 mg) (Widyaningtyas, Widodo & Sunnah, 2014).
10
2.4 Perasan Buah Apel
Berdasarkan hasil penelitian yang diilakukan oleh Cempaka, Santoso,
& Tanuwijaya (2014), didapatkan hasil pengukuran rata-rata kadar quercetin
pada berbagai bentuk pengolahan pada berbagai varietas apel Malus sylvestris
adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3 Rata-rata Kadar Quercetin pada Berbagai Bentuk Pengolahan pada
Berbagai Varietas Apel
Bentuk Pengolahan Rata-rata ± SD (mg/L)
Apel Segar 340,99 ± 4,9
Jus Apel (juicing) 16,23 ± 4,9
Smoothie Apel (blending) 99,18 ± 4,9
(Cempaka, Santoso, & Tanuwijaya, 2014)
Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar quercetin pada buah apel
yang paling tinggi setelah buah apel segar adalah jus apel. Pembuatan
perasan buah, sama halnya dengan penyarian yang merupakan proses
pemisahan kandungan bahan dengan ampas. Metode pembuatan perasan
yang paling efisien khususnya untuk mempertahankan kandungan buah apel
menggunakan metode juicing (Rahayu, 2016).
Penelitian Widyaningtyas, Widodo & Sunnah tahun 2014,
membuktikan perasan buah apel (Malus domestica) varietas Red Delicious
kadar 20% memiliki efek anti alergi terhadap respon anafilaksis pada tikus
jantan galur Wistar yang berbeda tidak signifikan dengan cetirizine.
2.5 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit
sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman.
11
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia
C6-C3-C. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen
dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke
dalam sub-sub kelompoknya (Redha, 2010).
Flavonoid adalah senyawaan fenolik yang diisolasi dari berbagai
bagian dari tanaman. Sampai saat ini, telah berhasil diisolasi lebih dari 8.000
jenis senyawaaan flavonoid. Pada tanaman, flavonoid memiliki beragam
fungsi. Di antaranya dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimikrobial,
fotoreseptor, atraktor visual, dan skrining cahaya. Flavonoid terutama berada
dalam bentuk turunan glikosilat. Bertanggung jawab atas warna daun, bunga,
dan buah (Simamora, 2009). Salah satu flavonoid yang paling penting adalah
quercetin (Cempaka, Santoso & Tanuwijaya, 2014).
2.5.1 Quercetin
Nama quercetin berasal dari kata “quercetum” yang artinya
hutan pohon ek (oak forest). Struktur quercetin yaitu 2-
phenylchoromen-4-one yang diklasifikasikan sebagai flavon.
Quercetin adalah flavonol, salah satu jenis flavonoid yang paling
sering didapatkan pada makanan (Smith, Oertle & Warren, 2016).
Quercetin banyak terkandung di dalam tumbuhan bawang, teh,
kacang-kacangan, rempah-rempah, apel, dan anggur merah
(Novianto, 2009). Dari sisi kuantitas, quercetin adalah jenis
flavonoid terbesar dalam apel (Lestario & Andini, 2016).
12
(Lakhanpal dan Rai, 2007)
Gambar 2.3 Struktur Molekuler Quercetin
Quercetin, pada konsentrasi nontoksik, diketahui memiliki
berbagai efek biologis (Smith, Oertle & Warren, 2016). Quercetin
juga memiliki efek yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia,
yaitu sebagai antikanker, antioksidan, antialergi, antivirus, dan
aktivitas antiinflamasi (Maulana, 2010).
2.5.2 Hubungan Senyawa Quercetin dan Aktivitas Antialergi
Sebagai antialergi, quercetin mampu menghambat produksi
dan pelepasan histamin maupun substansi alergi/inflamasi lainnya
dengan cara menstabilkan membran sel dari sel mast. Sel mast
berperan sebagai gerbang imun yang akan dideteksi oleh otak, sensor
terhadap stres lingkungan maupun stres emosi, serta berperan dalam
proses neuropatologis. Selain itu, dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Kempuraj, et al, ditemukan bahwa quercetin mampu
berperan sebagai inhibitor sel mast, mampu menyebabkan
penurunan pengeluaran triptase dan IL-6, dan menurunkan respon
stimulus histidine decarboxylase (HDC) mRNA terhadap sel mast.
Dari ketiga kemampuan quercetin tersebut, quercetin dipilih sebagai
13
komponen terapi dalam penyakit neurologis yang dimediasi oleh
degranulasi sel mast (Lakhanpal dan Rai, 2007).
Quercetin juga terbukti mampu menurunkan aktivasi dari
factor trasnskripsi NF-κB, yang akibatnya dapat meghambat
munculnya ekspresi dari TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8. Aktivasi
sitokin pada sel mast melalui Ig-E juga dapat dihambat dengan
ekstrak yang mengandung dosis quercetin yang signifikan (Smith,
Oertle & Warren, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Maryati (2014), tentang Efek
Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L) Sebagai Anti Alergi
Terhadap Respon Anafilaksis Pada Tikus Jantan Galur Wistar Yang
Diinduksi Ovalbumin, membuktikan bahwa quercetin berfungsi
menekan produksi histamin (hormon yang dikeluarkan oleh hati).
Quercetin dapat menghambat produksi dan pelepasan histamin yang
disebabkan oleh sel mast dan sel basofil dalam pengaruh antibodi
IgE karena quercetin memiliki afinitas yang kuat untuk sel mast dan
basofil. Itu sebabnya antioksidan ini mampu mengurangi
kemungkinan seseorang terinfeksi dengan berbagai alergen dan juga
membantu penyembuhan dari alergi.
Penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2010), tentang
Pengaruh Kuersetin Dan Kadar Imunoglobin Yang Diinduksi Putih
Telur Terhadap Derajat Alergi Imunoglobulin E Pada Marmot,
membuktikan bahwa quercetin pada dosis 13,92 mg/kg bobot badan
menunjukkan pengaruh sebagai antialergi. Selain itu, penelitian
14
tentang Efek Perasan Buah Apel (Malus Domestica) Varietas Red
Delicious Sebagai Anti Alergi Terhadap Respon Anafilaksis Pada
Tikus Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Ovalbumin yang
dilakukan oleh Widyaningtyas, Widodo & Sunnah (2014),
membuktikan bahwa perasan buah apel (Malus domestica) varietas
Red Delicious dengan mempunyai efek sebagai antialergi terhadap
respon anafilaksis pada tikus jantan galur wistar, yang ditunjukkan
melalui kadar persentase eosinophil yang menurun dan diameter
benjolan yang mengecil.
2.6 Alergi dan Hipersensitivitas
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Uthari, 2015).
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersentivitas oleh Roberts Coombs dan Philip HH Gell dibagi dalam 4 tipe
reaksi, yaitu Tipe I, II, III dan IV. Reaksi Tipe I disebut juga reaksi cepat atau
reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan
dengan alergen (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs yaitu:
1. Hipersensitivitas tipe I biasa disebut hipersensitivitas tipe cepat
(immediate hypersensitivity) yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi
15
apabila alergen atau antigen bereaksi dengan IgE spesifik yang terikat
pada bagian Fc sel mast atau sel-sel basofil yang beredar. Hal ini
menyebabkan degranulasi sel sel mast dan keluarnya zat-zat mediator
inflamasi.
2. Hipersensitivitas tipe II biasa disebut reaksi sitotoksik (cytotoxic
reaction) yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi apabila antibodi
bereaksi dengan antigen di permukaan sel yang menyebabkan
terjadinya fagositosis sel dengan cara opsonisasi. Proses sitotoksik di
atas melibatkan komplemen yang biasanya menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan.
3. Hipersensitivitas tipe III atau reaksi komplek imun (immune-complex
reaction) yaitu hipersensitivitas yang terjadi akibat pembentukan
komplek-komplek imun antara antigen dan antibodi humoral yang
menyebabkan pengaktifan komplemen.
4. Hipersensitivitas tipe IV atau hipersensitivitas tipe lambat dengan
perantaraan sel (delayed hypersensitivity) yaitu reaksi Hipersensitivitas
yang melibatkan limfosit T yang tersensitisasi oleh antigen akan
mengeluarkan sitokin (Nurhayati, 2003).
2.6.1 Mekanisme Alergi
Menurut Hikmah dan Dewanti (2010), terdapat 2
kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi, yaitu:
1. Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di
permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita
telah terpapar alergen sebelumnya, sehingga Ig E telah
16
terbentuk. Ikatan antara alergen dengan Ig E akan menyebabkan
keluarnya mediator-mediator kimia seperti histamin dan
leukotrien.
2. Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar
dengan alergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke
dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga
menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel
mast dan akan mengikat alergen. Ikatan sel mast, Ig E dan
alergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan
mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem,
spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat
ditemukan pada alergi antara lain: rinitis (bersin-bersin, pilek);
sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan
(menyebabkan inflamasi); kejang (spasme otot polos yang
ditemukan pada syok anafilaktik).
2.6.2 Mediator dalam Reaksi Alergi
Gejala klinis alergi yang muncul ditentukan oleh berbagai
macam mediator yang berasal dari berbagai sel seperti sel mast,
basofil, eosinofil dan neutrofil. Mediator-mediator tersebut antara
lain:
1. Histamin
17
Histamin merupakan amin vasoaktif yang berada di dalam
granul sitoplasma pada sel mast dan basofil, serta mempunyai
reseptor di berbagai bagian tubuh. Efek histamin pada gelaja
alergi terutama di pembuluh darah dan otot polos. Pelepasan
histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah serta kontraksi otot polos yang
dapat menyebabkan menifestasi klinis pada rinitis alergi,
urtikaria, bronkhospasme pada reaksi anafilaktik akut
(Ningrum, Suprihati & Santosa, 2016).
2. Prostaglandin
Prostaglandin adalah bioaktif yang berasal dari asam arakidonat
yang dihasilkan melalui aktivitas COX. Mediator tersebut
menimbulkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas kapiler (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2009).
3. Leukotrien
Leukotrien merupakan salah satu hasil/produk dari jalur 5-
lipoxygenase pada metabolisme asam arachidonat (Golden dan
Henderson, 2007). Leukotrien dihasilkan oleh sel mast mukosa
dan basofil, dan mempunyai reseptor spesifik di otot polos
bronkhus serta menyebabkan bronkhospasme persisten yang
terjadi pada asma (Abbas, Lichtman & Pillai, 2015).
4. Sitokin Inflamasi
18
Sel mast dan sel TH2 memproduksi berbagai macam sitokin
yang terlibat dalam reaksi alergi. Sitokin bekerja dalam
mengawali, mengatur, dan mempertahankan respon inflamasi
alergi. Sitokin tersebut antara lain:
a. IL-4, merupakan stimulus utama produksi IgE dan
perkembangan TH2 dari sel CD4 naif. IL-4 merangsang sel B
meningkatkan produksi IgG dan IgE dan ekspresi MHC-II,
serta mncegah aktivasi makrofag yang diinduksi IFN-γ dan
merupakan growth factor untuk sel mast terutama dalam
kombinasi dengan IL-3 (Baratawidjaja dan Rengganis,
2014).
b. IL-5, merupakan activator pematangan dan diferensiasi
eosinophil utama dan berperan dalam hubungan antara
aktivasi sel T dan inflamasi eosinophil (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2014).
c. IL-13, memiliki struktur homolog dengan IL-4 yang
diproduksi oleh sel CD4 TH2. Efek utamanya adalah dengan
menghambat aktivasi dan sebagai antagonis IFN- γ. IL-13
merangsang produksi mukus oleh sel epitel paru dan
berperan pada asma (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
2.7 Imunoglobulin E
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.
Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai
19
struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat.
Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut
(Siregar, 2010).
Imunoglobulin E (IgE) merupakan mediator pada hipersensitivitas
tipe cepat termasuk asma, rhinitis, alergik, urtikaria dan dermatitis atopik
(Paramita, 2013). IgE terdiri dari dua rantai berat yang identik (heavy chain)
dan dua rantai ringan yang identik (light chain), serta memiliki area yang
konstan. IgE tersusun dari lebih kurang 110 asam amino dalam susunan beta
dengan tiga atau empat rantai beta yang membentuk seperti huruf C
(Nugraha dan Suryana, 2016).
IgE mudah diikat sel mast, basofil dan eosinofil yang memiliki
reseptor untuk fraksi Fc dari IgE atau FceR. IgE dibentuk setempat oleh sel
plasma dalam selaput lender saluran napas dan cerna. Alergen yang diikat
silang (cross-linking) oleh dua molekul IgE pada permukaan sel mast akan
menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel. Hal itu menurunkan kadar
adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang menimbulkan
degranulasi sel mast (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
2.7.1 Pemeriksaan IgE
Pemeriksaan kadar IgE total dilakukan untuk menunjang
diagnosis penyakit alergi. Selain pada penyakit alergi, peningkatan
kadar IgE total dapat dijumpai pada penyakit infeki parasit dan
beberapa jenis penyakit immunodefisiensi (seperti sindrom Wiskott-
Aldrich, sindrom DiGeorge serta sindrom hiperIgE). Kadar IgE
dalam serum sangat rendah (dalam nanogram), oleh karena itu
20
diperlukan teknik yang lebih sensitif daripada teknik untuk
pemeriksaan kadar imunoglobulin yang lain.
Beberapa kit ELISA atau RIA untuk pemeriksaan kadar IgE
demgan berbagai jenis antibodi monoklonal dengan spesifisitas yang
tinggi. Interpretasi hasil harus disesuaikan menurut metode
pemeriksaan yang digunakan dan disesuaikan dengan nilai individu
normal (Paramita, 2013). Menurut Chu, et al (2012), kadar IgE pada
tikus dikatakan menderita asma apabila kadarnya di atas 3,95
IU/mL, sehingga kadar IgE pada tikus dikatakan normal apabila <3,
95 IU/mL.
2.8 Ovalbumin
Ovalbumin (OVA) merupakan protein utama yang berasal dari putih
telur berupa glikoprotein dengan berat molekul 45.000 dalton. Molekulnya
terdiri dari polipeptida berupa dua atau lebih gugus fosfat dengan rantai
manossa dan residu glikosamin. Sensitisasi dengan ovalbumin baik secara
inhalasi, oral maupun intraperitoneal terbukti dapat merubah kecenderungan
respon imun mencit ke arah TH2 (Lestari, 2016).
2.8.1 Alergi Yang Diinduksi Ovalbumin
Barlianto, Kusuma & Karyono (2009), membuktikan bahwa
paparan kronik ovalbumin secara inhalasi pada model binatang
alergi menyebabkan inflamasi alergi dan perubahan struktur saluran
napas. Penelitian yang dilakukan oleh Barlianto tersebut,
menggunakan alergen berupa ovalbumin chicken (Serva). Sensitisasi
21
awal dilakukan dengan pemberian ovalbumin 10 µg (OVA) dan 1
mg Al(OH)3 dalam 0,5ml normal salin secara intraperitoneal pada
hari ke-0 dan 14. Selanjutnya sensitisasi ulangan diberikan dengan
inhalasi ovalbumin 1% dalam 8ml normal salin dengan
menggunakan nebulizer Omron tipe NU-017 selama 20 menit secara
berkala sesuai jadwal seminggu 3 kali selama 6 minggu.
Menurut Cahiadewi, Santosa & Suprihati (2016), ovalbumin
apabila disuntikkan secara intraperitoneal pada hewan coba dan
dilanjutkan melalui inhalasi terbukti meningkatkan aktivasi TH2
dominan dalam mekanisme ketidakseimbangan TH1-TH2. Kondisi
TH2 dominan meningkatkan produksi IgE spesifik dan degranulasi
sel mast, sehingga dilepaskan berbagai mediator inflamasi, berupa
IL-4, IL-13, IL-5, dan eosinofil sebagai reaksi alergi.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Bowman dan Holt (2001)
membuktikan, mencit yang disentisisasi dengan OVA dalam buffer
saline secara intraperitoneal, atau OVA dalam alumunium
hidroksida secara intraperitoneal sebanyak 100 µg, dalam 28 hari
dilakukan pemeriksaan skin test didapatkan peningkatan respon
DTH diukur dari pembengkakan dan penebalan kulit di sekitar
telinga mencit setelah 24 jam.
Pemberian ovalbumin menurut penelitian yang dilakukan
oleh Ningrum, Suprihati & Santosa (2016), dapat melalui
intraperitoneal dan inhalasi. Sama halnya dengan cara pemaparan
ovalbumin yang dilakukan oleh Barlianto dengan intraperitoneal dan
22
inhalasi, namun pada penelitian ini, Ningrum hanya membutuhkan
waktu selama 30 hari. Induksi awal dilakukan dengan pemberian 10
μg ovalbumin (Grade V, Sigma Aldrich) dan adjuvan 2 mg Al(OH)3
(Sigma Aldrich) dalam 0,2 ml normal salin secara intraperitoneal
pada hari ke-0, 7 dan 14. Selanjutnya diberikan paparan ulang
ovalbumin 1% melalui inhalasi menggunakan nebulizer Omron pada
hari ke-19 sampai 22 selama 30 menit per hari. Dengan metode
pemberian ovalbumin tersebut, didapatkan reaksi inflamasi alergi di
saluran pernafasan mencit yang ditandai dengan meningkatnya
jumlah eosinofil.
Induksi ovalbumin secara intraperitoneal akan menyebabkan
sensitisasi alergi sistemik, akibat terjadinya pergeseran respon imun
ke arah ke arah TH2 dominan. Sel TH2 akan menghasilkan beberapa
sitokin, yaitu IL-4, IL-13 dan IL-5. Sitokin IL-4 dan IL-13
menstimulasi sel B untuk memproduksi IgE spesifik, yang pada
individu normal memproduksi IgM (isotype switching). Paparan
ulang ovalbumin melalui inhalasi akan menyebabkan inflamasi
alergi di saluran pernapasan, dengan stimulasi IL-5 yang diproduksi
TH2 meningkatkan infiltrasi eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang
banyak ditemukan di jaringan terutama saat terjadi proses inflamasi
pada reaksi alergi, sehingga sel ini dapat ditemukan di jaringan
peribronkhial paru pada mencit alergi yang diberi paparan
ovalbumin melalui inhalasi (Ningrum, Suprihati & Santosa, 2016).