bab 2 sejarah dan konteks - binus library · 2020. 5. 30. · 15 bab 2 sejarah dan konteks...

14
15 BAB 2 SEJARAH DAN KONTEKS Penetapan batas ZEE di wilayah tumpang tindih antara Indonesia dan Filipina di utara Laut Sulawesi telah dirundingkan sejak tahun 1994 sampai 2014. Selama 20 tahun, banyak rintangan dan hambatan dalam pemyelesaian penetapan garis batas ZEE Indonesia dan Filipina, mulai dari kondisi kewilayahan di wilayah garis batas ZEE tersebut sampai tingkat visibilitas isu di masyarakat domestik dan petinggi negara di kedua belah pihak. Dinamika penetapan garis batas ZEE antara Indonesia dan Filipina sempat mengalami kondisi dimana negara lebih mementingkan permasalahan yang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan masalah yang sedang dirundingkan (dormant) sampai akhirnya dinamika penetapan garis batas ZEE di wilayah tersebut dapat terselesaikan secara damai (peacefully resolved). Sehubungan hal tersebut, Penulis akan menjelaskan sejarah hubungan antara Indonesia dan Filipina hingga sengketa tersebut akhirnya dapat terselesaikan dengan damai. 2.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dan Filipina Di masa lalu, dikatakan bahwa laut itu tidak boleh dikuasai oleh siapapun (Mare Liberum). Namun kemudian keluar doktrin lain yang menyatakan bahwa laut itu dikuasai bersama dan tidak boleh dikuasai oleh negara (Res Communis Omnium) (Kwang, tt). Hal-hal yang diatur adalah kebebasan berlayar dan pemanfaatan sumber daya alam laut. Jadi setiap negara bebas untuk mengambil sumber daya laut karena laut merupakan milik bersama. Pada zaman penjajahan, yang memerintah di kawasan Indonesia adalah Hindia Belanda. Untuk memerintah Indonesia, Hindia Belanda menggunakan politiknya yang terkenal yaitu “Divide et Impera” atau politik pecah belah. Melalui politik pecah belah atau divide et impera, Belanda ingin membagi pulau Indonesia satu dengan yang lain. Hal itu berarti ada bagian yang menjadi wilayah internasional. Hindia Belanda juga menetapkan suatu Ordonantie tahun 1939 yaitu “Territorial Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442. Mengenai Ordonantie 1939 ini, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan jarak lebar wilayah laut teritorial Indonesia sejauh 3 mil, tolak ukurnya adalah garis pasang surut dari tiap pulau.

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB 2

    SEJARAH DAN KONTEKS

    Penetapan batas ZEE di wilayah tumpang tindih antara Indonesia dan Filipina

    di utara Laut Sulawesi telah dirundingkan sejak tahun 1994 sampai 2014. Selama 20

    tahun, banyak rintangan dan hambatan dalam pemyelesaian penetapan garis batas

    ZEE Indonesia dan Filipina, mulai dari kondisi kewilayahan di wilayah garis batas

    ZEE tersebut sampai tingkat visibilitas isu di masyarakat domestik dan petinggi

    negara di kedua belah pihak. Dinamika penetapan garis batas ZEE antara Indonesia

    dan Filipina sempat mengalami kondisi dimana negara lebih mementingkan

    permasalahan yang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan masalah yang sedang

    dirundingkan (dormant) sampai akhirnya dinamika penetapan garis batas ZEE di

    wilayah tersebut dapat terselesaikan secara damai (peacefully resolved). Sehubungan

    hal tersebut, Penulis akan menjelaskan sejarah hubungan antara Indonesia dan

    Filipina hingga sengketa tersebut akhirnya dapat terselesaikan dengan damai.

    2.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dan Filipina

    Di masa lalu, dikatakan bahwa laut itu tidak boleh dikuasai oleh siapapun (Mare

    Liberum). Namun kemudian keluar doktrin lain yang menyatakan bahwa laut itu

    dikuasai bersama dan tidak boleh dikuasai oleh negara (Res Communis Omnium)

    (Kwang, tt). Hal-hal yang diatur adalah kebebasan berlayar dan pemanfaatan sumber

    daya alam laut. Jadi setiap negara bebas untuk mengambil sumber daya laut karena

    laut merupakan milik bersama.

    Pada zaman penjajahan, yang memerintah di kawasan Indonesia adalah Hindia

    Belanda. Untuk memerintah Indonesia, Hindia Belanda menggunakan politiknya

    yang terkenal yaitu “Divide et Impera” atau politik pecah belah. Melalui politik

    pecah belah atau divide et impera, Belanda ingin membagi pulau Indonesia satu

    dengan yang lain. Hal itu berarti ada bagian yang menjadi wilayah internasional.

    Hindia Belanda juga menetapkan suatu Ordonantie tahun 1939 yaitu “Territorial Zee

    en Maritieme Kringen Ordonnantie” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442.

    Mengenai Ordonantie 1939 ini, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan jarak lebar

    wilayah laut teritorial Indonesia sejauh 3 mil, tolak ukurnya adalah garis pasang surut

    dari tiap pulau.

  • 16

    Dalam konteks negara kepulauan atau Archipelagic State seperti Indonesia,

    ketentuan ini tentunya sangat merugikan. Karena hal itu berarti, lebar 3 mil dari garis

    pasang surut yang diukur dari tiap pulau merupakan wilayah laut teritorial Indonesia

    dan selebihnya adalah laut bebas. Karena merupakan laut bebas, Indonesia harus

    tunduk terhadap ketentuan Freedom of the Sea yang artinya di wilayah laut bebas

    tersebut semua orang bebas melakukan navigasi, menangkap ikan, memasang kabel,

    mengelola hasil laut, dan bebas melintas di udara di atas wilayah laut bebas.

    Namun pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan

    kemerdekaannya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan

    Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Indonesia. Kemudian pada tanggal

    13 Desember 1957, Indonesia membuat Deklarasi Djuanda, yang memberitahukan

    kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di

    dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

    Laut-laut antar pulau kemudian merupakan wilayah Republik Indonesia dan

    bukan kawasan bebas. Indonesia juga menyatakan menganut prinsip-prinsip negara

    kepulauan (Archipelagic State). Meski sempat mendapat pertentangan besar dari

    beberapa negara, namun Indonesia berhasil mendapat pengakuan di mata dunia dan

    tertuang dalam UNCLOS 1982, yang mengatur tentang batas Laut Teritorial adalah

    wilayah yang dihitung selebar 12 mil dari garis pantai, dan negara pantai mempunyai

    kedaulatan atas seluruh kekayaan alam di wilayah tersebut (Djalal, 1996). Zona

    Tambahan (Contiguous Zone) dapat diukur dari garis terluar pada garis pangkal laut

    dari mana lebar laut teritorial diukur dan tidak lebih dari 24 mil laut untuk mengatur

    keperluan bea cukai, imigrasi, karantina kesehatan sampai pencegahan pelanggaran

    atas perundang-undangan wilayahnya (Djalal, 1996).

    Selanjutnya ZEE adalah zona yang dapat diukur selebar 200 mil dari garis

    pangkal atau 188 mil di luar Laut Wilayah. Pada zona ini, negara pantai tidak

    memiliki kedaulatan wilayah namun mempunyai kedaulatan atas kekayaan alamnya

    serta wewenang atau jurisdiksi untuk pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan

    anjungan-anjungan, penelitian ilmiah kelautan sampai memberikan perlindungan

    lingkungan laut (Djalal, 1996). Kemudian Landas Kontinen yang mengatur wilayah

    dasar laut diukur sampai selebar 200 mil hingga maksimal 350 mil dari garis dasar

    pangkal, mengatur kedaulatan atas kekayaaan alam dasar laut dengan bentuk

  • 17

    sedentary species dan mineral baik pada permukaan dasar laut maupun tanah di

    bawahnya (Djalal, 1996).

    Sementara Filipina yang merupakan Archipelagic State terbesar kedua di dunia

    (Nurbintoro, 2018) pernah dikuasai oleh kolonialis Kerajaan Spanyol dari tahun

    1565. Namun saat perang Amerika Serikat melawan Spanyol tahun 1898, Amerika

    memenangkan perang yang terjadi. Spanyol akhirnya memberikan Filipina sebagai

    negara jajahannya kepada Amerika Serikat tanggal 10 Desember 1898 melalui Pasal

    3 dalam Treaty of Paris, dengan ketentuan penyerahan pulau-pulau Filipina termasuk

    didalamnya terdapat Pulau Miangas. Kepemilikan Pulau Miangas diselesaikan

    dengan adanya perjanjian ekstradisi 1976, dan putusan Permanent Court of

    Arbitration (PCA) tahun 1928 yang menyatakan bahwa Pulau Miangas milik

    Belanda dan status kepemilikan pulau tersebut jatuh kepada Indonesia (Permanent

    Court of Arbitration, 1928).

    Filipina juga mengklaim batas teritorialnya berdasarkan Treaty of Washington

    1900 antara Amerika Serikat dan Spanyol mengenai ‘Cession of Outlying Islands of

    Philippines’ dan Treaty 1930 antara Amerika Serikat dan Great Britain tentang

    ‘Boundaries: Philippines and North Borneo’ (Nurbintoro, 2018). Maka dari itu,

    karena faktor terbelenggu oleh sejarah, Filipina tidak dapat mengikuti ketentuan

    wilayah maritim yang ditetapkan secara internasional melalui UNCLOS 1982, Pasal

    57 mengenai ZEE (Perwita & Ircha Tri, 2018).

    Filipina yang berhasil merebut kemerdekaan dari Amerika Serikat tanggal 4 Juli

    1946, akhirnya mencoba menyesuaikan kembali hukum nasionalnya, agar dapat

    mengikuti ketentuan UNCLOS 1982. Perubahan penetapan titik-titik dasar garis

    pangkal (baseline) negara Filipina dilakukan dengan melakukan amandemen

    terhadap ketentuannya tahun 1961 mengenai Archipelagic Baselines Law Republic

    Act 3046 dan diamandemen dengan Republic Act 5446 tahun 1968 yang kemudian

    kembali diubah menjadi ketentuan Republic Act 9522 yang dikeluarkan bulan Maret

    tahun 2009 (Anggaramurti, 2015) mengenai. Berikut adalah perubahan garis pangkal

    kepulauan Filipina berdasarkan hukum yang diubahnya:

  • 18

    Gambar 2.1. Perubahan yang Terjadi Akibat Perubahan Amandemen

    Sumber: (Bensurto, 2017)

    Perjanjian penetapan batas ZEE juga sesuai dengan dasar ‘Treaty of Friendship

    between the Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines’ pada tanggal

    21 Juni 1951 dan dijalankan sejak 20 November 1953, yang pada pasal 2 tertulis jika

    terdapat persengketaan yang terjadi antara kedua belah pihak dapat diselesaikan

    secara diplomasi melalui mediasi atau arbitrasi dan dapat dibawa ke ranah

    International Court of Justice untuk mendapatkan putusan akhir (Kementerian Luar

    Negeri, 1951).

    Hal tersebut didukung dengan Piagam PBB Pasal 33 ayat 1 mengenai para pihak

    yang tersangkut dalam suatu sengketa yang dapat membahayakan pemeliharaan

    perdamaian dan keamanan internasional dapat melakukan perundingan untuk

    penyelesaian masalah, dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsoliasi, arbitrasi,

    penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan

    regional atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri (United Nations,

    1945). Adapun ‘Manila Declaration on the Peaceful Settlement of International

    Disputes’ pada section 1 paragraf 3 dan 10 yang menggarisbawahi pihak yang

    terlibat sengketa bebas memilih prosedur dan cara penyelesaian sengketa seperti

    melakukan negosiasi langsung adalah cara yang fleksibel dan efektif untuk

    menyelesaikan permasalahan secara damai (United Nations, 1982).

    Maka dari itu, perjanjian perbatasan maritim pertama yang diselesaikan oleh

    Filipina ini dilakukan dengan cara negosiasi. Penetapan garis batas ZEE Indonesia

    dan Filipina di Laut utara Sulawesi merupakan garis batas ZEE yang pertama kali

    dilakukan Indonesia dengan Filipina. Perjanjian ditandatangani pihak dari kedua

  • 19

    negara tanggal 23 Mei 2014 di Manila melalui ‘Agreement between The Government

    of The Republic of Indonesia and The Government of the Republic of The Philippines

    Concerning The Delimitation of The Exclusive Economic Zone Boundary’.

    Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut melalui DPR RI, sebagai salah satu

    lembaga legislatif Indonesia dan pemegang kekuasaan pembuat undang-undang.

    Setelah diajukan menjadi rancangan undang-undang ke DPR RI. Perjanjian tersebut,

    ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengesahan

    Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik

    Filipina Mengenai Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif, 2014 sejak tanggal 29

    Mei 2017. Sementara Filipina meratifikasi perjanjian penetapan garis batas ZEE

    Indonesia dan Filipina melalui Kongres Filipina dan Senat Filipina sebagai

    pemegang kekuasaan untuk membuat undang-undang. Kesepakatan perjanjian yang

    diajukan oleh Presiden Filipina kepada Senat, akhirnya diatur dalam Persetujuan

    Senat Filipina, Resolution No. 1048 tanggal 15 Februari 2017. Namun Senat Filipina

    baru meratifikasi pada tanggal 3 Juni 2019 (Parameswaran, 2019).

    Perjanjian penetapan batas ZEE antara Indonesia dan Filipina mulai berlaku pada

    saat pertukaran instrumen ratifikasi pun akhirnya dilakukan oleh Menteri Luar

    Negeri masing-masing negara pada acara ASEAN Ministerial Meeting ke–34 di

    Bangkok tanggal 1 Agustus 2019 (Agusman D. D. & Gulardi, 2019). Kemudian

    instrumen tersebut juga telah didepositkan ke PBB pada tanggal 27 September 2019

    (Department of Foreign Affairs Republic of the Philippines, 2019). Hal ini membuat

    Indonesia dan Filipina segera memulai perundingan untuk membahas landas

    kontinen antar kedua negara.

    2.2 Dinamika Perundingan Penetapan Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina

    Perjanjian dimulai saat pertemuan informal yang dilakukan kedua negara tahun

    1973 dan 1986. Namun perundingan tersebut masih berupa penjajakan. Perundingan

    dilanjutkan dengan pertemuan ‘The First Senior Official Meeting on The Limitation

    Maritime Boundary’ diselenggarakan di Manado tanggal 23 sampai 25 Juni 1994.

    Pertemuan setingkat pejabat senior ini dilakukan Indonesia sebagai upaya untuk

    segera menyelesaikan penetapan garis batas ZEE dengan Filipina.

  • 20

    Gambar 2.2. Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina Sebelum Adanya

    Kesepakatan Delimitasi

    Sumber: (Decentralization Support Facility, 2011)

    Pertemuan membahas tentang prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam

    penetapan garis batas ZEE. Pembahasan penarikan garis batas di wilayah perairan

    Sulawesi itu pun, selanjutnya dibahas sejak tahun 1994 sampai 2014. Pembahasan

    penarikan garis batas ZEE tersebut dibicarakan dalam forum Joint Permanent

    Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG–MOC) sebanyak tujuh

    kali pertemuan dan selesai pada JPWG–MOC ke–8 dibantu dengan adanya sub

    working group dan Joint Technical Team on Maritime Boundary Delimitation (JTT–

    MBD).

    Gambar 2.3. Proposal Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina

    Sumber: (Sutisna, 2019)

  • 21

    Sebelum melakukan JTT–MBD, Departemen Luar Negeri Filipina

    melakukan persiapan dengan memimpin ‘The Philippine Technical Working

    Group on Maritime Boundary Delimitation’ yang membahas posisi Negara

    Filipina dalam negosiasi dengan Indonesia, mempersiapkan grafik yang

    memperlihatkan area tumpang tindih, sampai pilihan-pilihan alternatif dari

    Filipina agar mencapai kesepakatan dengan Indonesia (Department of Foreign

    Affairs Philippines, 2014). Adapun pertemuan informal yang dilakukan antara

    Indonesia dan Filipina dapat memberikan kesempatan bagi kedua negara untuk

    mempercepat kesepakatan. Masing-masing pihak akan saling bernegosiasi pada

    poin yang bertentangan selama JPWG–MOC berlangsung.

    Pertemuan yang dilakukan oleh Indonesia dan Filipina dilakukan untuk

    membahas wilayah ZEE kedua negara yang tumpang tindih. Indonesia

    mengusulkan untuk memakai prinsip proportionality yang diambil titiknya

    berdasarkan rasio panjang garis pangkal. Sementara Filipina mengusulkan

    prinsip median line berdasarkan pembagian yang sama untuk kedua belah pihak

    (Anggaramurti, 2015). Dalam proses perundingan, kedua negara melakukan

    pertukaran pandangan dan data serta pembagian segmentasi, kemudian

    Indonesia dan Filipina juga melakukan adjustment turning points yang

    dihasilkan dari perundingan. Jika dilakukan proporsionality test pada bagian

    yang telah dilakukan pembagian wilayah yang sama untuk kedua negara masih

    kurang proporsional, maka dapat segera dirundingkan kembali.

    Gambar 2.4. Segmentasi Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina

    Sumber: (Anggaramurti, 2015)

  • 22

    Terdapat lima segmen yang dibagi pada saat perundingan penetapan garis

    batas ZEE Indonesia dan Filipina terjadi, segmen 1 di perairan sekitar Laut

    Sulawesi bagian tengah, segmen 2 berada di perairan sekitar Laut Sulawesi

    bagian timur, segmen 3 di perairan diantara Pulau Marore (Indonesia) dan Pulau

    Balut (Filipina), segmen 4 berada di perairan utara Pulau Miangas, segmen 5 di

    perairan Samudera Pasifik menjelang perairan Palau (Patmasari, Eko, & Astrit,

    2016). Pada pertemuan informal di Batam yang terjadi tahun 2007, terjadi

    kesepakatan untuk segmen 1, 3, 5. Lalu pada Prepatory Meeting untuk JPWG–

    MOC ke-8 tahun 2014, disepakati segmen 2 dan 4. Proses bargaining position

    yang dilakukan antar kedua negara telah berdasarkan garis median line yang

    sesuai dengan panjang baseline sampai luas perolehan wilayah (Anggaramurti,

    2015). Hal ini dilakukan untuk mencapai equitable solution berdasarkan hukum

    Internasional, UNCLOS 1982.

    Pada segmen 4 yang berdekatan dengan Pulau Miangas, dikarenakan kondisi

    penarikan garis batas yang sempit, maka digunakan prinsip median line antara

    kedua negara untuk mempercepat proses perundingan (Kementerian Luar Negeri,

    2019). Dengan mengimplementasikan konsep Negara Kepulauan dalam

    penetapan garis batas ZEE Indonesia dan Filipina, akan membuat preseden baik

    untuk Indonesia dan negara-negara kepulauan lainnya (Dewan Perwakilan

    Rakyat, 2017).

    Gambar 2.5. Penetapan Garis Batas Maritim Indonesia dan Filipina

    Sumber: (Kementerian Pertahanan, tt)

  • 23

    Perjanjian penetapan garis batas ZEE ini, akhirnya disepkati dan ada

    beberapa faktor yang membuat dinamika jalannya perundingan menjadi

    terhambat. Faktor kondisi internal Filipina masih tidak stabil dikarenakan

    Filipina mengalami berbagai kendala perubahan politik internal yaitu kudeta

    terhadap Presiden Gloria Macapagal Arroyo tahun 2007 dan pemilu di tahun

    2010 yang dimenangkan Beniqno S. Aquino III diwarnai konflik internal

    (Anggaramurti, 2015) karena rakyat Filipina menginginkan penghapusan politik

    dinasti di negaranya. Pada tahun 2009, Filipina juga melakukan perubahan

    hukum nasionalnya agar selaras dengan hukum internasional, UNCLOS 1982.

    Hal ini menyebabkan perundingan penetapan garis batas ZEE sempat dalam

    kondisi dimana negara Filipina memiliki prioritas masalah lain dibandingkan

    pembahasan masalah yang sedang dirundingkan (dormant).

    Pada kunjungan Presiden Filipina, Y. M. Benigno S. Aquino III ke Indonesia

    tanggal 8 Maret 2011, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang

    Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia dan Filipina bersepakat untuk

    mempercepat negosiasi penuntasan batas maritim kedua negara atau yang

    disebut dengan Maritime Boundary Delimitation (Asisten Deputi Naskah dan

    Penerjemahan Kementerian Sekretariat Negara, 2011). Di samping itu, saat

    pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara Indonesia dan Filipina

    berlangsung, Sekretaris Luar Negeri Filipina, Albert F. Del Rosario dan Menteri

    Luar Negeri Indonesia, Dr. R. M. Marty M. Natalegawa juga melakukan

    penandatanganan ‘Joint Declaration Concerning Maritime Boundary

    Delimitation’ untuk mempercepat negosiasi penetapan garis batas maritim

    Indonesia dan Filipina berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982. Mereka juga

    menginstruksikan tim teknis untuk melakukan serangkaian pertemuan untuk

    menghasilkan kesepakatan penetapan garis batas ZEE kedua negara

    (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015).

    Meski dinamika wilayah penyelesaian penetapan garis batas ZEE Indonesia

    dan Filipina sempat memiliki kondisi dormant, namun pada tahun 2011, petinggi

    kedua negara mendorong agar penetapan garis batas ZEE ini dapat segera

    terselesaikan. Hal ini membuat permasalahan menjadi terlihat oleh masyarakat

    domestik di kedua negara (visible). Ketua delegasi Filipina pada JPWG–MOC

    ke-8, Evan P. Garcia mengatakan bahwa kesimpulan dari negosiasi

    membuktikan persahabatan, kesabaran, niat baik dan komitmen kedua negara

  • 24

    untuk menyelesaikan masalah maritim secara damai (Department of Foreign

    Affairs Republic of The Philippines, 2014).

    Setelah ditetapkannya garis batas ZEE antar kedua negara, Indonesia juga

    melakukan perundingan terhadap pertemuan tiga titik garis batas ZEE (Three

    junction point) antara Indonesia–Filipina–Malaysia di sisi barat, dan di sisi timur

    antara Indonesia–Filipina–Palau (Fatmawati, 2017). Dalam perjanjian kedua

    negara tersebut, menyepakati garis batas delimitasi ZEE seperti berikut:

    Gambar 2.6. Delimitasi Garis Batas ZEE Indonesia dan Filipina

    Sumber: (Syafi'i, 2019)

    Tabel 2.1 Garis Batas Delimitasi ZEE Berdasarkan Datum World Geodetic

    System of 1984

    Point Latitude Longitude

    1 3o 06’ 41” N 119o 55’ 34” E

    2 3o 26’ 36” N 121o 21’ 31” E

    3 3o 48’ 58” N 122o 56’ 03” E

    4 4o 57’ 42” N 124o 51’ 17” E

    5 5o 02’ 48” N 125o 28’ 20” E

    6 6o 25’ 21” N 127o 11’ 42” E

    7 6o 24’ 25” N 128o 39’ 02” E

    8 6o 24’ 20” N 129o 31’ 31” E

    Sumber: (Senate of The Philippines, 2014)

  • 25

    Berikut daftar pertemuan yang dilakukan Indonesia dan Filipina untuk

    penetapan garis batas ZEE kedua negara:

    Tabel 2.2. Daftar Pertemuan Indonesia dan Filipina Mengenai Penetapan

    Garis Batas ZEE

    No. Pertemuan Tempat dan Tanggal

    1. Pertemuan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, 1973

    2. Perundingan tahun 1986 1986

    3. The First Senior Official Meeting on The Limitation

    Maritime Boundary

    Manado, 23–25 Juni

    1994

    4. Joint Permanent Working Group on Maritime and

    Ocean Concerns (JPWG–MOC) ke–1

    Manila, 1–3 Desember

    2003

    5. JPWG–MOC ke–2 Jakarta, 3–5 Agustus

    2004

    6. Sub Working Group Meeting on Maritime Boundary

    Delimitation

    Manado, 3–4 Maret 2005

    7. Kunjungan Presiden Indonesia Susilo Bambang

    Yudhoyono ke Filipina, kedua negara menyepakati

    untuk segera menyelesaikan delimitasi batas maritim

    Agustus 2005

    8. JPWG–MOC ke–3 Cebu, 21–23 September

    2005

    9. Joint Technical Team on Maritime Boundary

    Delimitation (JTT–MBD) ke–1

    Batam, 5–7 Desember

    2005

    10. JTT–MBD ke–2 Manila, 16–17 Maret

    2006

    11. JTT–MBD ke–3 Bogor, 29 Mei 2006

    12. JPWG–MOC ke–4 Bogor 29 Mei–1 Juni

    2006

    13. JTT–MBD ke–4 Manila, 31 Juli–1

    Agustus 2006

    14. JTT–MBD ke–5 Bandung, 14–15

    September 2006

    15. Pada sela-sela Pertemuan Sub Regional Conference Jakarta, 5 Maret 2007

  • 26

    on Terrorism

    Keterangan : Menteri Luar Negeri Indonesia dan

    Sekretaris Luar Negeri Filipina sepakat untuk

    menginstruksikan kepada pejabat terkaitnya untuk

    menyelesaikan perundingan delimitasi batas maritim

    16. JPWG–MOC ke–5 Davao, 20–22 Maret

    2007

    17. JPWG–MOC ke–6 Yogyakarta, 23–25 Mei

    2007

    18. JPWG–MOC ke–7 Jakarta, 19–21 Juni 2007

    19. Batam Informal Meeting

    Keterangan: Informal, Non–Binding Exercises Based

    on the Cebu Principles of the JPWG–MOC

    Batam, 2–3 Juli 2007

    20. Pertemuan Bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat

    Tinggi ASEAN ke–14

    Keterangan : Indonesia dan Filipina telah siap untuk

    melanjutkan perundingan delimitasi batas maritim

    Pattaya Thailand, 10

    April 2009

    21. The Declaration of the Presidents of the Republic of

    the Philippines and the Republic of Indonesia

    dan Joint Declaration Concerning Maritime

    Boundary Delimitation antara Menteri Luar Negeri

    Indonesia dan Filipina

    Jakarta, 8 Maret 2011

    22. Maritime Boundary Delimitation Discussions Manila, 15–16 Desember

    2011

    23. Prepatory Meeting to the 8th Joint Permanent

    Working Group on Maritime and Oceans Concern

    (PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC)

    Jakarta, 29 Oktober 2012

    24. Pertemuan Direktur Perjanjian Polkamwil Kemlu

    Indonesia dengan Assistant Secretary on Ocean

    Concerns Office Kemlu Filipina

    Jakarta, 19 November

    2013

    25. The 2nd PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 7–9 Januari 2014

    26. The 3rd PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 4–5 April 2014

    27. The 4th PrepMeeting to the 8th JPWG–MOC Jakarta, 17 Mei 2014

  • 27

    28. JPWG–MOC ke–8 Jakarta, 18 Mei 2014

    29. Agreement Between The Government of Republic of

    Indonesia and The Government of Republic of The

    Philippines Concerning The Delimitation of The

    Exclusive Economic Zone Boundary

    Manila, 23 Mei 2014

    30. JPWG–MOC ke–9 Makati City, 8–10 Juni

    2016

    31. JPWG–MOC ke–10 DI Yogyakarta, 19–20

    September 2019

    Sumber: (Anggaramurti, 2015) dan (diolah oleh penulis dari berbagai sumber)

  • 28