bab 2 telaah pustaka dan pengembangan...
TRANSCRIPT
12
Bab 2
Telaah Pustaka
dan Pengembangan Model
2.1 Definisi Konsep
2.1.1 Agresivitas Pajak Perusahaan
Perusahaan menganggap pajak sebagai
sebuah tambahan beban biaya yang dapat
mengurangi keuntungan perusahaan. Oleh karena
itu perusahaan diprediksi melakukan tindakan yang
akan dapat mengurangi beban pajak perusahaan.
Menurut Frank dkk. (2009) seperti yang dikutip oleh
Chen dkk. (2010), tindakan yang dilakukan
perusahaan untuk mengurangi pendapatan kena
pajak melalui perencanaan pajak baik secara legal
(tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion) disebut
dengan agresivitas pajak perusahaan. Walaupun
tidak semua tindakan perencanaan pajak melanggar
hukum, akan tetapi semakin banyak celah yang
digunakan maka perusahaan tersebut dianggap
semakin agresif.
Pertimbangan untuk membayar pajak secara
efisien yang mendorong perusahaan untuk
menyusun perencanaan pajak (tax planning) melalui
13
penghindaran pajak (tax avoidance). Tax
avoidance adalah suatu bentuk perencanaan pajak
untuk meminimalkan beban pajak dengan
memanfaatkan kelemahan-kelemahan ketentuan
perpajakan sebagai hal yang positif untuk efisiensi
pembayaran pajak. Sedangkan penyelundupan pajak
(tax evasion) merupakan sebuah perencanaan pajak
yang melanggar ketentuan peraturan perundang –
undangan perpajakan, seperti dengan tidak
melaporkan penjualan secara benar atau membuat
biaya fiktif. Pada umumnya tingkat agresivitas pajak
dipengaruhi oleh faktor manfaat dan risiko yang
akan ditimbulkannya.
Manfaat agresivitas pajak perusahaan adalah
penghematan pengeluaran atas pajak sehingga
keuntungan yang diperoleh pemilik menjadi semakin
besar atau penghematan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mendanai investasi perusahaan
yang dapat meningkatkan keuntungan perusahaan
dimasa yang akan datang. Sedangkan bagi agen,
agresivitas pajak akan dapat meningkatkan bonus
dari pemilik karena meningkatnya laba bersih akibat
penghematan pajak yang dilakukannya. Sedangkan
kerugian dari agresivitas pajak perusahaan adalah
kemungkinan perusahaan mendapat sanksi dari
14
kantor pajak berupa denda, serta turunnya harga
saham perusahaan akibat pemegang saham lainnya
mengetahui tindakan agresivitas pajak perusahaan
yang dilakukan oleh manajemen. Bagi pemerintah,
tindakan agresivitas pajak perusahaan ini akan
mengurangi pendapatan negara dalam sektor pajak.
2.1.2 Pajak Penghasilan Badan di Indonesia
Melalui Undang-Undang No 17 tahun 2000
mengenai Pajak Penghasilan badan, pemerintah
menetapkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan
tarifnya bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dibagi
dalam tiga lapisan, yaitu PKP sampai dengan Rp.
50.000.000,00 dikenakan tarif pajak 10%, PKP dari
Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp.
100.000.000,00 dibebankan tarif pajak 15%, dan
PKP diatas Rp. 100.000.000,00 dibebankan pajak
sebesar 30%. Pada bulan Desember 2007,
Pemerintah mengeluarkan aturan penurunan tarif
pajak penghasilan sebesar 5%, yang berlaku efektif
tanggal 1 Januari 2008 untuk Perseroan Terbuka
yang telah memenuhi syarat proporsi pemegang
saham publik minimal 40%.
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah
melakukan perubahan perundang-undangan
15
dibidang perpajakan. Undang-undang pajak yang
baru yaitu UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku pada tahun 2009.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mencakup
perubahan tarif pajak penghasilan badan dari
sebelumnya menggunakan tarif pajak bertingkat
menjadi tarif pajak tunggal yaitu sebesar 28% untuk
tahun fiskal 2009 dan 25% untuk tahun fiskal 2010
dan seterusnya.
Tarif PPh ini masih dapat dikurangi lagi
sebesar 5% apabila wajib pajak dalam negeri yang
berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak
dalam negeri dengan peredaran bruto maksimal Rp.
50.000.000.000,00 mendapatkan fasilitas potongan
tarif sebesar 50% dari tarif yang berlaku umum.
Diharapkan dengan tarif pajak yang baru, maka
wajib pajak badan dapat lebih diuntungkan sehingga
penerimaan dari wajib pajak badan lebih meningkat.
2.1.3 Likuiditas
Likuiditas didefinisikan sebagai kepemilikan
sumber dana yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan dan kewajiban yang akan jatuh tempo
16
serta kemampuan untuk membeli dan menjual aset
dengan cepat. Perusahaan dengan rasio likuiditas
yang tinggi menunjukkan tingginya kemampuan
perusahaan dalam memenuhi utang jangka
pendeknya, yang menandakan bahwa perusahaan
dalam kondisi keuangan yang sehat serta dapat
dengan mudah menjual aset yang dimilikinya jika
diperlukan. Perusahaan yang mempunyai rasio
likuiditas tinggi disebut sebagai perusahaan yang
likuid.
Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya
tinggi tidak menjamin likuiditasnya baik. Hal ini
dimungkinkan karena rasio profitabilitas dihitung
dari laba akuntansi dibagi dengan investasi, aset,
atau ekuitas, yang mana laba akuntansi menganut
basis akrual. Oleh karena itu, untuk mengukur
kondisi keuangan perusahaan, selain profitabilitas,
ukuran penting yang lain adalah arus kas. Likuiditas
perusahaan dapat diketahui dari neraca dengan
membandingkan jumlah aktiva lancar (current
assets) dengan utang lancar (current liabilities), hasil
perbandingannya disebut current ratio.
2.1.4 Leverage
Keown (2005) mendefinisikan leverage sebagai
17
penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap
(fixed rate of return) dengan harapan memberikan
keuntungan yang lebih besar dari pada biaya
tetapnya sehingga akan meningkatkan pengembalian
bagi pemegang saham. Perusahaan dalam
memenuhi sumber dananya dimungkinkan
menggunakan utang. Utang yang dilakukan
perusahaan akan menimbulkan beban tetap berupa
bunga yang dibebankan oleh kreditur. Bunga harus
dibayar dan ditambahkan pada biaya operasi tanpa
memperdulikan tingkat laba perusahaan.
Ketentuan dalam peraturan perpajakan di
Indonesia membatasi perbandingan antara utang
dengan modal sendiri untuk keperluan
penghitungan PPh badan yaitu maksimal 3
dibanding 1. Pembatasan dimaksudkan untuk
mengatur maksimal pinjaman yang diperbolehkan
agar tidak semua biaya bunga dapat dikurangkan
sehingga penghasilan kena pajak menjadi kecil.
Selain untuk mencegah adanya modal terselubung
juga bertujuan untuk mendorong perusahaan
melakukan investasi melalui ekuitas karena untuk
mencegah perusahaan dalam kesulitan keuangan
(financial distress).
18
2.1.5 Komisaris Independen
Indonesia menggunakan sistem continental
yang memiliki dua tingkat dalam menjalankan tata
kelola perusahaan, yaitu dewan direksi dan dewan
komisaris (FCGI, 2003). Dewan direksi merupakan
pihak yang diberi wewenang untuk mengelola
perusahaan. Sedangkan dewan komisaris adalah
pihak yang mengawasi jalannya tata kelola
perusahaan yang dilakukan oleh manajemen.
Anggota dari dewan komisaris terdiri dari komisaris
independen yang tidak memiliki hubungan
keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan
komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang
saham pengendali atau hubungan lain yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
Dewan komisaris memainkan peranan penting
dalam memonitor kinerja direksi dalam menjalankan
perusahaan dan memberikan nasihatnya. Komisaris
independen memikul tanggung jawab untuk
mendorong secara proaktif agar komisaris dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan
penasihat direksi dapat memastikan perusahaan
memiliki strategi bisnis yang efektif, memastikan
19
perusahaan memiliki eksekutif dan manajer yang
profesional, memastikan perusahaan memiliki
sistem pengendalian dan sistem audit yang bekerja
dengan baik, memastikan perusahaan mematuhi
hukum dan perundangan yang berlaku maupun
nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan (FCGI, 2003).
Keberadaan komisaris independen di
Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan
Direksi PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor: Kep
315/ BEJ/06-2000 perihal Peraturan No I-A,
tentang Pencatatan Saham dan Efek bersifat Ekuitas
selain Saham yang diterbitkan oleh Perusahaan
Tercatat pada butir mengenai Ketentuan tentang
Komisaris Independen. Dalam peraturan tersebut
dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan perusahaan yang baik, perusahaan yang
tercatat di BEJ wajib memiliki komisaris independen
yang jumlah proporsionalnya sebanding dengan
jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang
saham pengendali dengan ketentuan jumlah
komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari
jumlah seluruh anggota komisaris.
2.1.6 Manajemen Laba
Menurut Scott (2000), manajemen laba adalah
20
tindakan manajer untuk melaporkan laba yang
dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau
perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode
akuntansi. Manajemen laba merupakan suatu
tindakan oportunistik yang dilakukan oleh
manajemen untuk memaksimalkan utilitasnya
dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
utang, dan political cost. Manajemen laba juga
merupakan bentuk efficient contracting, dimana
manajemen laba memberikan kepada manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan
perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian
yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak
yang terlibat dalam kontrak.
Sejauh ini hanya model berbasis agregate
accruals Modified Jones Model yang diterima sebagai
model untuk mendeteksi manajemen laba.
Komponen total akrual dalam Modified Jones Model
terdiri dari discretionary accruals dan non
discretionary accruals. Discretionary accruals
merupakan komponen total akrual yang berasal dari
rekayasa manajerial dengan memanfaatkan
kebebasan dan fleksibelitas dalam menentukan nilai
estimasi pada metode akuntansi. Sedangkan, non
discretionary accruals merupakan komponen total
21
akrual yang diperoleh secara alami dari pencatatan
akuntansi dengan mengikuti standar akuntansi yang
diterima secara umum (Alim, 2008).
Ada berbagai motivasi yang mendorong
dilakukannya manajemen laba berdasarkan teori
akuntansi positif (Watts & Zimmerman, 1986 dalam
Wulandari, 2005), yaitu:
a. Hipotesis program bonus (bonus plan hypotesis),
merupakan dorongan bagi manajemen dalam
meningkatkan jumlah laba yang dilaporkan agar
memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba
tersebut.
b. Hipotesis perjanjian utang (debt covenant
hypotesis), kontrak muncul karena perjanjian
antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis
pada kompensasi manajerial dan perjanjian utang.
Semakin tinggi rasio utang atau ekuitas suatu
perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin
dekatnya perusahaan terhadap kendala-kendala
dalam perjanjian utang dan semakin besar
probabilitas pelanggaran perjanjian, maka
semakin mungkin manajer untuk menggunakan
metode-metode akuntansi yang meningkatkan
pendapatan perusahaan.
22
c. Hipotesis biaya politik (political cost hypotesis),
merupakan motivasi yang muncul karena
manajemen memanfaatkan kelemahan akuntansi
yang menggunakan estimasi akrual dan pilihan
metode akuntansi dalam mensiasati berbagai
regulasi pemerintah.
Scott (2000) menambahkan beberapa motivasi
terjadinya manajemen laba yaitu motivasi pajak,
pergantian CEO, penawaran saham perdana (IPO),
motivasi pasar modal. Berkaitan dengan motivasi
pajak, pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan
laba akan memberikan hasil yang berbeda terhadap
laba yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak.
Perusahaan besar lebih mungkin untuk
menggunakan pilihan akuntansi yang mengurangi
profit yang dilaporkan daripada perusahaan kecil
(Belkaoui, 2000). CEO yang mendekati masa
pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang
kurang berhasil memperbaiki kinerjanya cenderung
melakukan manajemen laba untuk menghindari
pemecatannya. Perusahaan yang akan melakukan
penawaran saham perdana (IPO), manajer
termotivasi melakukan manajemen laba untuk
memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya.
23
Terdapat beberapa pola manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer, antara lain :
a. Taking A Bath, sering disebut big bath dan
dilakukan agar laba pada periode berikutnya
menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini
dimungkinkan karena manajemen menghapus
beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-
perkiraan mendatang pada periode sekarang.
b. Income increasing, dilakukan agar laba pada
periode sekarang menjadi lebih tinggi dari yang
seharusnya.
c. Income decreasing, dilakukan agar laba periode
sekarang lebih rendah dari yang seharusnya.
d. Income Smoothing (perataan laba), merupakan
bagian dari manajemen laba yang merupakan
kegiatan perusahaan untuk melakukan
perubahan atau merekayasa laba secara smooth
atau lembut.
2.2 Pengembangan Hipotesis
2.2.1 Likuiditas dan Agresivitas Pajak
Perusahaan dengan rasio likuiditas yang tinggi
menunjukkan tingginya kemampuan perusahaan
dalam memenuhi utang jangka pendek. Hal ini
menunjukkan keuangan perusahaan dalam kondisi
24
yang sehat dan tidak memiliki masalah mengenai
arus kas. Dengan kondisi keuangan dan arus kas
yang baik maka perusahaan akan mampu
menanggung biaya-biaya yang muncul seperti pajak.
Perusahaan tidak enggan untuk membayar pajak
sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku dan
tidak perlu bersikap agresif terhadap pajak.
Penelitian yang dilakukan oleh Bradley (1994)
dan Siahaan (2005) memberikan bukti bahwa
perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas
kemungkinan tidak akan mematuhi peraturan
perpajakan dan cenderung melakukan penghindaran
pajak. Tindakan ini dilakukan oleh perusahaan
untuk mengurangi pengeluaran atas pajak dan
memanfaatkan penghematan yang dilakukan untuk
mempertahankan arus kas. Oleh karena itu,
perusahaan yang memiliki rasio likuiditas rendah
akan cenderung memiliki tingkat agresivitas pajak
perusahaan yang tinggi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Bradley (1994) serta Siahaan (2005) dan uraian
hubungan likuiditas dengan agresivitas pajak,
kemudian dirumuskan hipotesis pertama sebagai
berikut :
25
H1 : Likuiditas memberikan pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tindakan agresivitas pajak
perusahaan.
2.2.2 Leverage dan Agresivitas Pajak
Perusahaan dimungkinkan menggunakan
utang untuk memenuhi kebutuhan operasional dan
investasi perusahaan. Akan tetapi, utang akan
menimbulkan beban tetap (fixed rate of return) bagi
perusahaan yang disebut dengan bunga. Pasal 6
ayat (1) huruf a UU Nomor 36 tahun 2008
menyebutkan bahwa bunga sebagai bagian dari
biaya usaha yang dapat dikurangkan sebagai biaya
(tax deductible) dalam proses penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) badan. Semakin besar utang
perusahaan maka beban pajak akan menjadi lebih
kecil karena bertambahnya unsur biaya usaha dan
pengurangan tersebut sangat berarti bagi
perusahaan yang terkena pajak tinggi. Oleh karena
itu makin tinggi tarif bunga akan makin besar
keuntungan yang diperoleh perusahaan dari
penggunaan utang tersebut.
Manfaat yang ditimbulkan dari penghematan
pajak akibat adanya bunga membawa implikasi
meningkatnya penggunaan utang perusahaan.
26
Penelitian Ozkan (2001) memberikan bukti bahwa
perusahaan yang memiliki kewajiban pajak tinggi
akan memilih untuk berutang agar mengurangi
pajak. Dengan sengajanya perusahaan berutang
untuk mengurangi beban pajak maka dapat
disebutkan bahwa perusahaan tersebut agresif
terhadap pajak.
Berdasarkan uraian hubungan leverage dan
agresivitas pajak, maka dirumuskan hipotesis kedua
sebagai berikut :
H2 : Leverage memberikan pengaruh positif dan
signifikan terhadap tindakan agresivitas pajak
perusahaan.
2.2.3 Komisaris Independen dan Agresivitas Pajak
Dewan komisaris merupakan pihak yang
mempunyai peranan penting dalam mengawasi
kinerja direksi. Dewan komisaris independen
dianggap melakukan pengawasan yang lebih baik
terhadap manajemen karena bebas dari berbagai
kepentingan internal perusahaan. Fama dan Jensen
(1983) dalam Wulandari (2005) juga menyatakan
bahwa komisaris independen dapat menjadi
pengawas internal bagi manajemen dalam
mengambil kebijakan, strategi bisnis serta
27
memberikan nasihat kepada direksi. Dimana dengan
semakin banyaknya jumlah komisaris independen
maka pengawasan yang dilakukan terhadap
tindakan manjemen akan semakin ketat.
Dalam kaitannya dengan agresivitas pajak,
manajemen bersifat oportunistik dimana mereka
memiliki motif untuk memaksimalkan laba bersih
agar meningkatkan bonus yang akan diterimanya.
Salah satu cara untuk meningkatkan laba bersih
adalah menekan pajak yang harus dibayarkan. Hal
ini mendorong manajemen melakukan agresivitas
pajak perusahaan. Prilaku agresif yang dilakukan
manajemen dapat membawa dampak negatif bagi
pemegang saham seperti menurunkan kredibilitas
perusahaan jika tindakan tindakan tersebut
terdeteksi oleh pihak yang berwenang. Oleh karena
itu, diperlukan mekanisme untuk mengawasi kinerja
manajemen. Melalui peranan dewan komisaris
dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap
operasional perusahaan, diharapkan proporsi
komisaris independen dapat memberikan kontribusi
yang efektif untuk mencegah prilaku agresivitas
pajak perusahaan yang dilakukan oleh manajemen.
Berdasarkan uraian tersebut, kemudian
dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut :
28
H3 :Proporsi komisaris independen memberikan
pengaruh negatif dan signifikan terhadap
tindakan agresivitas pajak perusahaan.
2.2.4 Manajemen Laba dan Agresivitas Pajak
Menurut Scott (2000), salah satu alasan
adanya manajemen laba adalah motivasi pajak.
Pajak menjadi masalah bagi perusahaan karena
membayar pajak berkaitan langsung dengan
besarnya laba bersih perusahaan. Laba selama ini
dijadikan indikator utama keberhasilan manajemen
dalam mengelola perusahaan. Oleh karena itu,
manajemen akan melaporkan laba disesuaikan
dengan tujuannya untuk meminimalkan
penghasilan kena pajak perusahaan. Perusahaan
lebih mungkin untuk menggunakan pilihan
akuntansi yang mengurangi profit (income
decreasing) yang dilaporkan untuk menurunkan
pendapatan kena pajak sehingga perusahaan dapat
melakukan penghematan atas beban pajak.
Penelitian seperti yang dilakukan oleh Badertscher
dkk. (2009) menunjukkan bukti bahwa manajemen
laba dijadikan alat bagi perusahaan untuk
melakukan penghindaran pajak.
29
Perusahaan dapat memilih strategi manajemen
laba secara konserfatif atau agresif. Bila strategi
yang dipilih adalah konservatif maka penghematan
dari pajak juga akan sedikit dan menandakan bahwa
perusahaan tidak melakukan agresivitas pajak
perusahaaan. Namun bila strategi agresif yang
dipilih dalam manajemen laba maka perusahaan
dianggap juga agresif terhadap pajak karena
mengincar penghematan pajak yang besar pula.
Frank dkk. (2009) menemukan bahwa ada
hubungan positif antara aggressive financial
reporting dan tax reporting aggressiveness. Jadi jika
perusahaan melakukan laporan keuangan secara
agresif, maka juga dilakukan rekayasa terhadap
pelaporan pajak.
Berdasarkan uraian tersebut, kemudian
dirumuskan hipotesis keempat sebagai berikut :
H4 : Manajemen laba memberikan pengaruh positif
dan signifikan terhadap tindakan agresivitas
pajak perusahaan.
30
2.3 Model Penelitian
Gambar 2.1
Model Penelitian
Agresivitas
Pajak
H1 (-)
H2 (+)
H3 (-)
Likuiditas
Leverage
Manajemen
Laba
H4 (+)
Proporsi Komisaris
Independen