bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41187/3/jiptummpp-gdl-ingeamalia-47046-3-bab2.pdf · dari...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cinnamomum verum
2.1.1 Taksonomi
Cinnamomum verum memiliki taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Superdivisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Subdivisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum Schaeff
Spesies : Cinnamomum verum
(ITIS, 2015)
(Wang, 2011)
Gambar 2.1
Kulit Batang Cinnamomum verum
6
2.1.2 Sinonim
Cinnamomum zeylanicum
2.1.3 Nama
2.1.3.1 Nama daerah
Di Indonesia, tanaman kayu manis dikenal dengan beberapa nama daerah.
Di Sumatera disebut Holim, Holim manis, Modang siak–siak (Batak); di Melayu
disebut Kanigar, Kayu manis; di Minangkabau disebut Madang kulit manih; di
Jawa disebut Huru mentek; di Sunda disebut Kiamis; di Madura disebut Kanyengar
; di Nusa tenggara disebut Kesingar, Kecingar; di Bali disebut Cingar; di Sasak
disebut Onte; di Sumba disebut Kaninggu Sumba; di Flores disebut Puundinga
(Aspan, 2010)
2.1.3.2 Nama asing
Kreol (kanèl); Inggris (cinnamon tree, true cinnamon, ceylon cinnamon);
Prancis (cannelle, cannellier, cennellier de Ceylon); Hindi (elavagnum, vayana,
karu va,karuwa, twak); Luganda (budalasini); Melayu (kayu manis); Spanyol
(canelero, canela legítima, canela) (Orwa, 2009).
2.1.4 Morfologi
Kayu manis memiliki pohon yang berwarna hijau yang tingginya
mencapai 8-17 m di alam liar. Pada masa panen, batangnya keras dengan diameter
30-60 cm dengan kulit batang yang tebal dan memiliki daun yang kasar dengan
panjang 11-16 cm dan ujung yang runcing. Tangkai daun memiliki panjang 1-2 cm
dan beralur pada permukaan atas. Lamina biasanya 5-18 x 3-10 cm, bulat telur atau
elips. Terkadang terlihat 3 atau 5 bentukan seperti vena membujur ditemukan di
dasar lamina dan berjalan hampir ke ujung daun. Daun kayu manis tunggal,
7
berbentuk lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 4-14 cm, lebar 1-6
cm, pertulangan daun melengkung, berbau harum ketika diremas, warna daun
ketika muda merah pucat, dan setelah daun tua menjadi berwarna hijau. Terdapat
pula bunga-bunga yang berwarna kekuningan yang berbentuk tabung dengan 6
lobus. Bunga majemuk, berbentuk malai, tumbuh di ketiak daun, berambut halus,
tangkai panjang 4-12 mm, benang sari dengan kelenjar di tengah tangkai sari,
mahkota panjang 4-5 mm, dan berwarna kuning. Ukuran buahnya memiliki panjang
± 1 cm, ketika masih muda berwarna hijau dan setelah tua menjadi berwarna hitam.
Bijinya kecil-kecil, bulat telur, masih muda berwarna hijau dan setelah tua menjadi
berwarna hitam. Akar pohon tunggang dan berwarna coklat. Terdapat pula bagian
yang penting dan banyak diteliti kandungannya adalah kulit batangnya (Orwa,
2009).
Kulit batang kayu manis sering digunakan sebagai pembeda antar spesies
kayu manis. Cinnamomum verum memiliki ketebalan kulit batang 8-10 mm,
memiliki banyak lapisan lembut dengan gulungan yang erat, dan memiliki warna
cokelat yang lebih terang dari spesies cinnamon lainnya (Paranagama, 2001).
2.1.5 Habitat dan distribusi geografis
Cinnamomum verum atau dikenal pula dengan Cinnamomum zeylanicum
dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah dengan ketinggian di bawah 500 mdpl
(Suryani, 2009). Tanaman kayu manis membutuhkan iklim yang hangat dan
lembab, bukan keadaan yang panas dan dingin yang ekstrem. Keadaan kekeringan
yang berkepanjangan harus dihindari dan frekuensi hujan yang optimal adalah 150
hari per tahun atau >2000 mm. Temperatur yang sesuai adalah 270C rata-rata per
tahun. Dataran yang berbatu tidak cocok untuk tanaman kayu manis. Tanaman ini
8
juga harus dihindari dari genangan air, karena dapat menyebabkan kualitas tanaman
yang tidak diharapkan, rasa yang pahit, dan aroma yang berkurang (Orwa, 2009).
Cinnamomum verum berasal dari Sri Lanka kemudian menyebar ke
negara-negara lain. Kayu manis dengan spesies ini sudah dibudidaya oleh negara
lain dan dapat ditemukan di India, Cina, Burma, dan Indonesia terutama di Pulau
Jawa (Paranagama, 2001).
2.1.6 Kandungan kimia
Komponen kimia dominan yang terkandung pada minyak atsiri
Cinnamomum verum adalah sinamaldehid, eugenol, dan kamper. Sinamaldehid dan
eugenol merupakan komposisi yang memiliki efek farmakologis paling besar.
Buah, batang, daun, dan akar kayu manis memiliki komposisi kimia yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Bagian kayu manis yang memiliki
sinamaldehid tertinggi yaitu bagian batang atau kulit batang yaitu 60-80 (Rao,
2014). Komponen-komponen kimia yang terdapat pada kulit batang Cinnamomum
verum dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Yang, 2005).
Tabel 2.1 Komponen Kimia dari Bagian-bagian Tanaman Cinnamomum verum
Part of the plant Compound
Leaves Cinnamaldehyde: 1.00 to 5.00%
Eugenol: 70.00 to 95.00%
Bark Cinnamaldehyde 65.00 to 80.00%
Eugenol: 5.00 to 10.00%
Root bark Camphor: 60.00%
Fruit trans-Cinnamyl acetate (42.00 to 54.00%)
and caryophyllene (9.00 to 14.00%)
C. zeylanicum buds Terpene hydrocarbons: 78%
alpha-Bergamotene: 27.38%
alpha-Copaene: 23.05%
Oxygenated terpenoids: 9.00%
C. zeylanicum flowers (E)-Cinnamyl acetate: 41.98%
trans-alpha-Bergamotene: 7.97%
Caryophyllene oxide: 7.20%
(Rao, 2014)
9
Tabel 2.2 Komponen Kimia Batang Cinnamomum verum
Compound Rta (min) Relative (%)
Benzaldehyde
α-Phellandrene
Linalool
Linalyl acetate
Cinnamaldehyde
Eugenol
β-Caryophyllene
Benzoic acid
Benzyl cinnamate
7.8
11.2
21.7
35.1
35.8
41.8
45.3
65.0
80.5
12.2
1.1
1.1
0.6
58.1
5.1
0.7
0.8
0.6
(Yang, 2005)
Kayu manis memiliki berbagai manfaat sebagai efek farmakologi, salah
satunya adalah sebagai anti jamur. Mekanisme kerja sinamaldehid adalah dapat
menghambat sintesis β-(1,3)-glucan dan kitin yang merupakan komponen utama
dari dinding sel jamur (Bang, 2000). Sedangkan, salah satu mekanisme kerja
eugenol adalah menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan unsur utama
membran sel Trichophyton rubrum (Pereira, 2013). Selain memiliki efek anti jamur,
kayu manis juga memiliki manfaat lain yaitu antioksidan, anti inflamasi, anti
diabetes, anti bakteri, anti jamur, insektisida, dan analgesik (Paranagama, 2001;
Manosi, 2013).
10
2.2 Trichophyton rubrum
2.2.1 Taksonomi
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum
(Graser, 2000)
2.2.2 Morfologi dan identifikasi
T.rubrum memiliki karakteristik eukarotik, yaitu memiliki nukleus dengan
nukleolus, membran nukleus, dan kromosom linear. Sitoplasma mengandung
sitoskeleton aktin dan organela. Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari
nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi
dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Komponen utama
membran sel jamur adalah ergosterol. Struktur kimia dari dinding sel jamur berbeda
dengan bakteri yang tidak mengandung peptidoglikan, gliserol atau asam teikoat
ribitol, atau lipopolisakarida. Polisakarida pada jamur adalah mannan, glukan, dan
kitin. Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri
dari sel-sel yang mempunyai dinding. Benang-benang hifa bila bercabang dan
membentuk anyaman disebut miselium (Ryan, 2004).
Trichophyton rubrum adalah jamur patogenik yang bersifat antropofilik
dan merupakan jamur yang paling umum menyebabkan infeksi jamur kronis pada
11
kulit dan kuku manusia dengan menginfeksi jaringan keratin. Pertumbuhan
koloninya dari lambat hingga bisa menjadi cepat. Hasil kultur T. Rubrum pada
media SDB memberikan gambaran tampak atas, yaitu koloni yang datar, berwarna
putih kekuning-kuningan, tampak seperti bulu halus, dan teksturnya yang lunak
dapat dilihat pada Gambar 2.2. Sedangkan, tampak bawah memberikan gambaran
berwarna kuning kecokelatan hingga seperti merah ceri yang dapat dilihat pada
Gambar 2.3. Tindakan subkultur, misalnya menggunakan Lactritmel Agar atau
Potato Dextrose Agar (PDA) dapat dilakukan untuk mendaptkan pigmentasi lebih
baik. (Kurniati, 2008; Ellis, 2007).
Gambar 2.2
Tampak Atas Hasil Kultur T. Rubrum dengan SDB
(Ellis, 2007)
(Ellis, 2007) Gambar 2.3
Tampak Bawah Hasil Kultur T. Rubrum dengan SDB
12
Beberapa strain dari T. rubrum telah dibedakan yaitu T.rubrum berbulu
halus dan T. rubrum tipe granuler. Trichophyton rubrum berbulu halus memiliki
karakteristik yaitu produksi mikrokonidia yang jumlahnya sedikit, halus, tipis,
kecil, dan tidak mempunyai makrokonidia seperti yang tertera pada Gambar 2.4.
Sedangkan karakteristik tipe granuler yaitu produksi mikrokonidia dan
makrokonidia yang jumlahnya sangat banyak. Mikrokonidia berbentuk clavate dan
piriform, sedangkan makrokonidia berdinding tipis dan berbentuk seperti cerutu
seperti pada gambar 2.5. T. rubrum yang berbulu halus merupakan dermatofita yang
tersebar secara luas. Sedangkan, tipe granular merupakan yang sering menjadi
penyebab tinea korporis di Asia Tenggara dan Australia (Ellis, 2007).
Gambar 2.4
T.rubrum Tipe Berbulu Halus
(Ellis, 2007)
Gambar 2.5
Bentukan Cerutu T.rubrum Tipe Granuler
(Ellis, 2007)
13
2.2.3 Patogenesis
Invasi jamur Trichophyton dapat menimbulkan kelainan pada kulit,
rambut, dan kuku. Jamur Trichophyton rubrum termasuk golongan jamur
antropofilik yaitu jamur yang hidup di tubuh manusia untuk pertumbuhannya
(Gandahusada, 2003).
Trichophyton rubrum dapat hidup dan berkembang pada lapisan epidermis
dengan enzim keratinase, protease dan katalase. Selain itu, jamur patogen ini juga
memproduksi enzim hidrolitik, yaitu fosfatase, super oksid dismutase, asam lemak
jenuh dan lipase. Trichophyton rubrum setelah menginvasi sel keratin, menerobos
ke dalam epidermis dan selanjutnya akan menimbulkan reaksi peradangan atau
inflamasi. Reaksi peradangan tersebut timbul akibat Trichophyton rubrum serta
bahan yang dihasilkan berada di daerah kutan, yaitu dari lapisan kulit yang meliputi
stratum korneum hingga stratum basale (Hadiloekito, 2007).
2.2.4 Uji kepekaan terhadap antimikroba (in vitro)
2.2.4.1 Metode dilusi
Cara ini digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan
Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari obat antimikroba. Prinsip dari metode dilusi
yaitu : menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah
tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diisi dengan
antimikroba yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya, seri tabung
diinkubasikan pada suhu 300C selama 36-48 jam dan diamati terjadinya kekeruhan
pada tabung. Konsentrasi terendah antimikroba pada tabung yang ditunjukkan
dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba)
adalah KHM dari antimikroba. Selanjutnya, biakan dari semua tabung yang jernih
14
diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan keesokan harinya diamati
ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah antimikroba pada
biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba
adalah KBM dari antimikroba terhadap mikroba uji (Dzen, 2003).
2.2.4.2 Metode difusi cakram
Obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas
yang mengandung antimikroba tertentu ditanam pada media perbenihan agar padat
yang telah dicampur dengan mikroba yang diuji, kemudian diinkubasikan 300C
selama 36-48 jam. Selanjutnya, diamati adanya area jernih di sekitar cakram kertas
yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen, 2003).
Untuk mengetahui hasil uji kepekaan tersebut (apakah isolat mikroba
sensitif atau resisten terhadap antimikroba), dapat dilakukan dua cara seperti
berikut:
a. Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari area jernih
di sekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh NCCLS. Dengan tabel
NCCLS ini dapat diketahui kriteria sensitif, sensitif intermediet, dan resisten
(Dzen, 2003).
b. Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan
yang terjadi antara mikroba kontrol yang sudah diketahui kepekaannya terhadap
obat tersebut dengan isolat mikroba yang diuji. Pada cara Joan-Stokes, prosedur
uji kepekaan untuk mikroba kontrol dan mikroba uji dilakukan bersama-sama
dalam satu piring agar. (Dzen, 2003).
15
2.2.5 Media pertumbuhan
2.2.5.1 Sabouraud Dextrose Broth (SDB)
Salah satu media yang digunakan dalam pembiakan jamur dalam bentuk
cair adalah Sabouraud Dextrose Broth. SDB dapat digunakan dalam pembiakan
jamur, ragi, dan mikroorganisme asam. Kandungan dekstrosa yang tinggi dan pH
yang asam merupakan sifat yang mendukung pertumbuhan jamur dan menghambat
pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan modifikasi dari Sabouraud Dextrose
Agar dengan setengah jumlah dektrosa dan tanpa agar (Murray, 2007).
2.2.5.2 Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Sabouraud Dextrose Agar (SDA) merupakan media digunakan untuk budidaya jamur
patogen & komensal dan ragi. SDA sangat baik untuk isolasi terutama dermatofita. SDA
digunakan untuk menentukan kandungan mikroba dalam kosmetik, juga digunakan dalam
evaluasi mikologi makanan, dan secara klinis membantu dalam diagnosis ragi dan jamur
penyebab infeksi. Intisari enzimatik kasein dan intisari enzimatik dari jaringan hewan
menyediakan nitrogen dan sumber vitamin yang diperlukan untuk pertumbuhan organisme
(Murray, 2007).
2.3 Dermatofitosis
2.3.1 Definisi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh
dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin,
seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Dermatofitosis
memiliki karakteristik lesi inlamasi maupun yang tidak inflamasi pada kulit, kuku,
dan rambut (Verma, 2008).
16
2.3.2 Sinonim
Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata (Budimulja, 2009).
2.3.3 Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang
berbeda yang berhubungan dengan penyakit infeksi. Penyebab infeksi dermatofita
yang paling dominan adalah Tricophyton diikuti Epidermophyton dan
Microsporum, dimana yang paling banyak adalah spesies Tricophyton rubrum
diikuti T.mentagrophytes, M. canis dan T.tonsurans. Kemampuannya untuk
membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan menggunakannya sebagai
sumber makanan menyebabkan mereka mampu berkolonisasi pada jaringan keratin
(Verma, 2008).
2.3.4 Klasifikasi
Dermatofitosis dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi. Dengan
demikian dikenal bentuk-bentuk :
Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala. Di dalam klinik
tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas, yaitu Grey patch
ringworm, Kerion, dan Black dot ringworm.
Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
Tine kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan
kadang-kadang sampai perut bagian bawah
Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 tinea
diatas (Budimulja, 2009).
17
2.3.5 Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit
tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras
dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena
pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi
eksaserbasi. Dermatofitosis yang disebabkan T.rubrum merupakan 60% dari
seluruh infeksi jamur superfisial pada manusia (Havlickova, 2008; Wang, 2006).
Infeksi biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan
binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan
mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi
melalui benda misalnya pakaian, perabot dan sebagainya (Goedadi, 2001).
Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis
dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi
dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang
menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi
dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi. Laki-
laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia
18-25 tahun serta 40-50 tahun (Yossela, 2015).
2.3.6 Patogenesis
Dermatofita biasanya hidup pada lapisan tanduk dari kulit, rambut, dan
kuku. Lingkungan yang hangat dan lembab merupakan keadaan yang baik untuk
18
proliferasi jamur. Jamur dapat mengeluarkan keratinase dan enzim lain untuk
menyerang lapisan yang lebih dalam dari stratum korneum, meskipun biasanya
kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya tidak menyerang
secara mendalam, karena mekanisme pertahanan nonspesifik tubuh manusia yang
dapat mencakup aktivasi faktor serum inhibitor, komplemen, dan leukosit
polimorfonuklear.
Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofita menginvasi secara perifer
dalam pola sentrifugal. Sebagai respon infeksi, bagian batas lesi yang aktif
mengalami peningkatan proliferasi sel epidermis sehingga menyebabkan kulit
bersisik. Hal ini juga menyebabkan pertahanan parsial dengan cara melepaskan
kulit yang terinfeksi dan menghasilkan kulit yang baru, sehingga bagian sentral lesi
adalah bagian yang sehat. Dermatofita dapat dieliminasi dengan pertahanan
imunitas seluler (Lesher, 2015).
Trichophyton rubrum merupakan salah satu dermatofita yang paling sering
menyebabkan dermatofitosis khusunya tinea korporis, dan karena dinding selnya,
jamur ini sulit untuk dibasmi. Dinding selnya mengandung mannan sebagai barier
protektif yang mampu menghambat imunitas seluler, menghalangi proliferasi dari
keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme terhadap pertahanan alami kulit
(Lesher, 2014).
2.3.7 Manifestasi Klinis
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong
dengan tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa
melebar. Lesi berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya terlihat lebih sehat. Batasnya
19
biasanya berbentuk vesikuler dan sentrifugal. Lesi dengan deskripsi di atas dikenal
dengan bentukan ring worm. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak
terspisah satu dengan yang lainnya. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-
lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi yang pertama
kali (Budimulja, 2009).
Berdasarkan beberapa jenis lesi, kemunculan yang klasik adalah bentuk
anular dengan sisik yang melintasi batas eritematosa. Dermatofitosis yang
menahun, tanda-tanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya meninggalkan
daerah hiperpigmentasi saja. Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika
berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan (Verma,
2008).
2.3.8 Pemeriksaan penunjang
2.3.8.1 Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis dermatofitosis dapat
menggunakan pemeriksaan mikroskopis, yaitu menggunakan larutan KOH 10-20%
(Verma, 2008) Gambar 2.6 Tinea Korporis
Bentukan Anular pada Paha
20
dengan kerokan skuama lesi. Sampel kerokan harus diambil dari batas aktif lesi
karena jamur didapatkan terbanyak pada lokasi tersebut. Sesudah 15 menit atau
sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini
memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau
bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3μ (Lesher,
2015; Hay, 2004).
Kultur jamur lebih spesifik daripada pemeriksaan KOH dalam infeksi
dermatofita. Ketika gejala klinis mendukung, namun pemeriksaan KOH negatif
maka dibutuhkan pemeriksaan kultur jamur. Kultur dilakukan dalam media agar
sabaoraud pada suhu kamar (25-30⁰C), kemudian sekitar satu minggu dilihat dan
dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Pemeriksaan ini biasanya menggunakan
DTM (Dermatophyte Test Medium) yang mengandung antibakteri dan anti jamur
sebagai bahan dasar agarnya. DTM mengandung larutan fenol dengan warna
merah, yang akan mengakibatkan perubahan warna dari warna kuning menjadi
merah terang di bawah kondisi alkali, yang mengindikasikan hasil positif kultur
dermatofita (Lesher, 2014).
2.3.8.2 Pemeriksaan histopatologi
Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin pada tinea corporis
menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat inflamasi superfisial.
Neutrofil dapat dilihat di stratum korneum, yang merupakan petunjuk diagnostik
yang signifikan. Pada saat tertentu, cabang hifa bersepta terlihat dalam stratum
korneum dengan pewarnaan hematokslin dan eosin, tetapi pewarnaan khusus
(misalnya, periodik asam-Schiff, Gomori methenamine silver) mungkin
diperlukan (Lesher, 2015).
21
2.3.8.3 Pemeriksaan lampu Wood
Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis tinea kapitis.
Rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan, kemudian pancaran
lampu Wood akan memberikan fluoresensi warna hijau kekuningan pada kasus
tinea kapitis tertentu (Budimulja, 2009).
2.3.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu
Wood, dan pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan
histopatologi (Verma, 2008; Lesher, 2015).
2.3.10 Diagnosis banding
Tinea kapitis harus dibedakan dengan alopesia areata, dermatitis seboroik,
psoriasis, dan impetigo. Tinea barbe sulit dibedakan dengan sikosis barbe. Tinea
kruris memiliki diagnosis banding antara lain, eritrasma, dermatitis seborik, dan
kandisiasis. Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang
biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah.
Diagnosis banding tinea unguium adalah kandidiasis dan psoriasis. Sedangkan,
penyakit lain yang dapat mericuhkan diagnosis tinea korporis adalah dermatitis
seboroik, psoriasis, dan pitiriasis rosea (Budimulja, 2009).
2.3.11 Pengobatan
2.3.11.1 Farmakologis
Pada dermatofitosis dengan lesi terbatas, cukup diberikan obat topikal.
Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral
atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik
rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivat imidazole, alilamin,
22
toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang
meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres
basah secara terbuka. Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat,
kombinasi antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien. Pada Tabel 2.1 memaparkan obat-
obat yang digunakan pada terapi dermatofitosis (Verma, 2008).
Penyakit Terapi Topikal Terapi Sistemik
Tinea Kapitis Sebagai ajuvan
Selenium sulfida
Zink pirition
Povidone iodine
Ketokonazol
Griseofulvin, 20-25
mg/kg/hari
Flukonazol, 6 mg/kg/hari
Itrakonazol, 3-5 mg/kg/hari
Terbinafin, 3-6 mg/kg/hari
Tinea barbae Sebagai ajuvan
Antifungi topikal
Griseofulvin, 1 g/hari
Itrakonazol, 200 mg/hari
Terbinafin, 250 mg/hari
Flukonazol, 200 mg/hari
Tinea
korporis/kruris
Alilamin
Imidazol
Tolnaftat
Butenafin
Siklopiroksolamin
Dewasa :
Flukonazol, 150
mg/minggu
Itrakonazol, 100 mg/hari
Terbinafin, 250 mg/hari
Griseofulvin, 500 mg/hari
Anak-anak :
Griseoulvin, 10-20
mg/kg/hari
Itrakonazol, 5 mg/kg/hari
Terbinafin, 3-6 mg/kg/hari
Tinea
pedis/manum
Alilamin
Imidazol
Siklopiroksolamin
Benzilamin
Tolnaftat
Asam undesilenat
Dewasa :
Terbinafin, 250 mg/hari
Itrakonazol, 200 mg
2x/hari
Flukonazol, 150
mg/minggu
Anak-anak :
Itrakonazol, 5 mg/kg/hari
Tabel 2.1 Terapi Dermatofitosis
(Verma, 2008)
(Verma, 2008)
23
2.3.11.2 Non farmakologis
Selain pengobatan farmakologis, diperlukan pula pengobatan non
farmakologis agar proses kesembuhan pasien lebih efektif. Pengobatan non
farmakologis yang dapat diberikan adalah memberikan edukasi untuk
pentingnya menjaga kebersihan kulit dan lingkungan pribadi. Selain itu,
memberikan edukasi pasien agar daerah lesi selalu kering, pemakaian pakaian
longgar dan menyerap keringat dan tidak menggaruk lesi (Kanti, 2014).
2.3.12 Prognosis
Dermatofitosis mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang
adekuat. Selain pengobatan medikamentosa, perbaikan pada perilaku sehari-hari
juga harus diperhatikan agar kesembuhan pasien dapat optimal seperti selalu
menjaga kebersihat kulit dan menghindari pakaian yang selalu membuat kulit basah
(Budimulja, 2009).