bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41455/3/jiptummpp-gdl-sorayafadh-50844-3-babii.pdf · pada...

26
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Tidur 2.1.1 Pengertian Tidur Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur memiliki tahapan yakni tidur yang sangat ringan sampai tidur yang sangat dalam. (Guyton, 2012) 2.1.2 Tipe Tidur 2.1.2.1 Tidur Gelombang Lambat Tahap tidur ini begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lain. Pada tidur gelombang lambat sangat jarang ditemui adanya mimpi. Apabila seseorang mengalami mimpi pada saat tidur gelombang lambat, biasanya mimpi yang dialami oleh seseorang tersebut tidak bisa diingat. 2.1.2.2 Tidur REM ( Tidur Paradoksikal, Tidur Desinkronisasi) Dalam keadaan tidur malam yang normal, tidur Rapid Eye Movement (REM) biasanya muncul sekitar 5 sampai 30 menit dan biasanya muncul setiap 90 menit. Durasi tidur REM sangat ditentukan oleh keadaan seseorang, apabila seseorang sangat mengantuk maka waktu tidur REM berjalan sangat singkat bahkan tidak ada. Sebaliknya apabila seseorang tidur dalam keadaan yang nyenyak durasi tidur REM bisa makin lama.

Upload: others

Post on 15-Nov-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Tidur

2.1.1 Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat

dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.

Tidur memiliki tahapan yakni tidur yang sangat ringan sampai tidur yang sangat

dalam. (Guyton, 2012)

2.1.2 Tipe Tidur

2.1.2.1 Tidur Gelombang Lambat

Tahap tidur ini begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan

tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lain. Pada tidur

gelombang lambat sangat jarang ditemui adanya mimpi. Apabila seseorang

mengalami mimpi pada saat tidur gelombang lambat, biasanya mimpi yang

dialami oleh seseorang tersebut tidak bisa diingat.

2.1.2.2 Tidur REM ( Tidur Paradoksikal, Tidur Desinkronisasi)

Dalam keadaan tidur malam yang normal, tidur Rapid Eye Movement

(REM) biasanya muncul sekitar 5 sampai 30 menit dan biasanya muncul setiap 90

menit. Durasi tidur REM sangat ditentukan oleh keadaan seseorang, apabila

seseorang sangat mengantuk maka waktu tidur REM berjalan sangat singkat

bahkan tidak ada. Sebaliknya apabila seseorang tidur dalam keadaan yang

nyenyak durasi tidur REM bisa makin lama.

7

Terdapat beberapa hal yang sangat penting dalam tidur REM :

1. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh

yang aktif.

2. Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur

gelombang lambat, namun seseorang terbangun spontan dipagi hari sewaktu

episode tidur REM.

3. Tonus otot diseluruh tubuh sangat berkurang dan ini menunjukkan adanya

hambatan yang kuat pada area pengaturan otot di spinal.

4. Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi irreguler, dan ini

merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi.

5. Walaupun ada hambatan yang sangat kuat pada otot perifer, masih timbul

pergerakan otot yang tidak teratur.

6. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di seluruh otak

meningkat sebanyak 20%.

Selama 1 hari (24 jam), manusia mempunyai waktu tidur normal, yaitu

selama 6 hingga 10 jam. Pola tidur manusia dipengaruhi oleh umur. Hal ini dapat

dilihat dengan terdapatnya gambaran yang khas pada kelompok usia, yaitu :

1. Kelompok Usia Bayi

Pada kelompok usia bayi, secara keseluruhan memiliki waktu tidur yang

lebih lama dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Pada bayi baru lahir,

durasi tidur total dalam sehari adalah 14-16 jam. Tidur fase REM pada bayi

merupakan fase yang sangat lama dari total tidur dengan mengorbankan fase

NREM tahap tiga.

8

2. Kelompok Usia Anak dan Remaja

Pada kelompok usia anak dan remaja dibedakan menjadi:

- Infant (anak usia 3-11 bulan) membutuhkan tidur 12 – 14 jam/ hari dan 20

– 30% tidur REM

- Toodler (anak usia 1-3 tahun) membutuhkan tidur 11 – 12 jam/ hari dan

25% tidur REM

- Preschooler (anak usia 3-5 tahun) membutuhkan tidur 11 jam dan 20%

tidur REM

- Usia sekolah (anak usia 6-10 tahun) tidur 10 jam/ hari dan 18,5% tidur

REM,

- Adolescent (anak usia 10-17 tahun) membutuhkan tidur 8,5 jam/ hari dan

20% tidur REM

3. Kelompok Usia Dewasa

Pada kelompok usia dewasa, terjadi beberapa tahapan, yaitu :

– Fase NREM tahap satu, dianggap sebagai transisi antara bangun dan tidur. Fase

ini terjadi setelah jatuh tertidur dan selama periode ini, biasanya terjadi 2-5%

dari total waktu tidur.

– Fase NREM tahap dua, terjadi selama periode tidur dan terjdi 45-55% dari

waktu tidur total.

– Fase NREM tahap tiga, terjadi pada sepertiga pertama malam dan merupakan

5-15% dari total waktu tidur. REM merupakan 20-25% dari waktu tidur total

dan terjadi pada 4-5 episode sepanjang malam.

9

4. Kelompok Usia Lanjut

Pada kelompok ini, tidur yang terjadi pada fase NREM tahap dua akan

meningkat, sedangkan pada fase NREM tahap tiga, waktu tidur akan berkurang

(Japardi, 2002)

Aktivitas tidur dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu oleh SAR

dan BSR. SAR terletak dalam mesenfalon dan dibagian atas dari pons fase s.

Fungsi SAR adalah memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri dan sensori raba,

kemudian untuk mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran serta menerima

stimulus dari korteks serebri, termasuk rangsangan proses berfikir dan emosi.

Pada keadaan sadar, SAR akan melepaskan hormon katekolamin seperti

norepinefrin, sedangkan pada keadaan tidur, BSR akan mengeluarkan hormon

serotonin yang berasal dari sel khusus pada pons dan batang otak. (Sherwood,

2013)

2.1.3 Tahapan Tidur

2.1.3.1 Fase Non- REM

Pada fase NREM ini juga terbagi dalam empat tahap, yakni :

– Tahap 1

Ini merupakan tahap awal individu memulai untuk tidur dari fase terjaga.

Dalam tahap 1 ini akan berlangsung dengan waktu yang sangat singkat, antara 5

hinga 10 menit. Rata-rata orang tertidur pada menit ketujuh. Tahap ini dimana

sangat mudah terganggu dari rangsangan luar karena tahap yang sangat mudah

untuk individu terbangun. Awal fase tahap ini ditandai dengan kelopak mata

tertutup, diiringi dengan berkurangnya tonus otot serta akan terlihat pergerakan

bola mata ke kanan dan ke kiri. Pada tahap ini individu bisa merasakan adanya

10

sensasi seperti tersentak atau terjatuh karena adanya kontraksi otot yang timbul

secara spontan. Stadium tidur yang paling ringan didapatkan adanya aktivitas

teratur, tegangan rendah, frekuensi 3-7 siklus per detik dan pada

electroencephalography (EEG) terlihat gelombang theta.

– Tahap 2

Tahap yang merupakan lanjutan tahap 1. Pada tahap ini bisa dikatakan

bahwa individu tersebut mulai tertidur. Biasanya tahapan ini berlangsung antara

10-30 menit. Otot tonus yang mulanya berkurang, sekarang menjadi lebih

berkurang (rileks), detak jantung menjadi lambat secara perlahan, aktivitas yang

dilakukan oleh otak pun akan menjadi singkat dan cepat namun berirama (Sleep

Spindle) dan terdapat komplek K trifasik pada EEG serta gerakan dari bola mata

terhenti. Suhu tubuh pun ikut turun secara perlahan. Individu yang sudah berada

pada tahap ini agak susah dibangunkan.

– Tahap 3 dan 4

Kedua tahap ini merupakan tahapan yang paling dalam dari NREM.

Individu akan susah dibangunkan. Namun perbedaan dari kedua tahapan ini

adalah kedalaman tidur individu tersebut. Pada tahapan ini, ketika individu

tersebut diberi rangsangan dari luar agar dia bangun dari tidurnya, maka pada saat

dia terbangun, akan mengalami diorientasi sesaat dikarenakan aktivitas otak

sangat lambat, sehingga membutuhkan beberapa menit untuk dilakukannya

penyesuaian terhadap lingkungan. Pada bagian yang paling dalam dari tahap ini

ialah aliran darah akan lebih banyak diarahkan menuju otot dengan tujuan agar

energi fisik pada tubuh terisi kembali. Pada rekaman EEG juga terdapat perbedaan

antara tahap 3 dan 4. Pada tahap 3 gelombang yang muncul ialah gelombang delta

11

namun kurang dari 50%, sedangkan pada tahap 4 gelombang delta muncul lebih

dari 50%. (Sleepdex, 2014)

Selama tahapan Deep Sleep dari fase NREM, tubuh akan melakukan

pembentukan ulang (regeneration) dan memperbaiki sel-sel tubuh serta

memperkuat dari kekebalan tubuh individu tersebut.

2.1.3.2 Fase REM

Pada fase REM, biasanya akan dimulai ketika memasuki menit ke 70

hingga 90 menit setelah individu tertidur. Fase REM merupakan fase yang lebih

dalam dibandingkan dengan NREM. Selama fase REM, akan terjadi pergerakan

bola mata atau bisa disebut berkedut serta pola pernapasan menjadi tidak teratur

dan juga irama jantung menjadi meningkat. REM merupakan fase saat individu

bisa merasakan mimpi. Otak akan memberikan perintah pada otot-otot tubuh

untuk tidak bergerak, khususnya untuk ekstremitas pada individu tersebut. Saat

individu mengalami mimpi, ektremitas tidak bergerak.

Siklus dari fase NREM dan REM ini terjadi berulang selama individu

tertidur, setidaknya individu tersebut melewati 3 tahapan dalam NREM sebelum

memasuk fase REM. Biasanya perputaran dari fase NREM ke fase REM

mebutuhkan waktu berkisar 1 ingga 2 jam, dan pada orang yang tidur normal,

siklus ini bisa berulang sekitar 3 hingga 4 kali dalam satu malam (Sleepdex, 2014)

Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga

tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak

dalam fase 3 dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta

sepertiga akhir lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda

dan relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki – laki muda

12

(20 – 29 tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 – 90 tahun) akan

memberikan gambaran pola tidur yang berbeda.

Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur

menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat

gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda

15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan

pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu

28 % dari pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan

bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya

kesegaran sesuai bertambahnya usia (Sleepdex, 2009).

2.1.4 Pola Tidur

Seseorang pasti memiliki pola tidur yang berbeda-beda, tergantung

dengan aktivitas yang dilakukannya. Pola tidur juga ditentukan oleh keadaan

biologis seseorang yang terletak di bagian dalam otak.

Seseorang yang memiliki pola tidur yang teratur dalam hidupnya akan

memiliki kualitas tidur yang lebih baik dan dalam melakukan aktivitas terlihat

lebih prima. Sedangkan seseorang yang memiliki pola tidur yang berubah-ubah

tiap harinya, memiliki kualitas tidur yang buruk dan juga dalam melakukan

aktivitas terlihat lebih lesu.

2.1.4.1 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru

setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu

yang diperlukan untuk memulai tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Septiyadi,

2007). Kualitas tidur dapat dinilai dengan menggunakan The Pittsburgh Sleep

13

Quality Index (PSQI). PSQI menggunakan 7 komponen untuk menilai kualitas

tidur dari seseorang, antara lain :

– Penilaian terhadap lama waktu tidur

– Kualitas tidur

– Masa laten tidur

– Gangguan tidur

– Efisiensi tidur

– Disfungsi tidur pada siang hari

– Penggunaan obat tidur ( Kunert & Kolkhorst, 2007).

Jadi apabila salah satu dari ketujuh hal tersebut mengalami gangguan,

maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap kualitas tidur. Untuk

penilaian lama waktu waktu tidur dapat dinilai dari waktu tidur yang sebenarnya

dialami seseorang pada malam hari. Pada penilaian terhadap kualitas tidur dinilai

bagaimana seseorang menilai rata-rata kualitas tidurnya. Pada masa laten tidur,

akan dilakukan penilaian dimulai dari berapa menit yang diperlukan seseorang di

tempat tidur sebelum akhirnya tertidur dan apakah orang tersebut tidak dapat tidur

selama 30 menit. Pada penilaian gangguan tidur, dinilai dengan cara apakah

seseoran terbangun dari tidurnya pada saat tengah malam atau bangun pagi yang

terlalu cepat, bangun tidur untuk pergi ke kamar mandi, kesulitan saat bernafas,

batuk atau mendengkur, merasa kedinginan, kepanasan, mengalami mimpi buruk,

merasa sakit dan alasan lainnya yang mengganggu tidur.

Penilaian terhadap efisiensi tidur dinilai ketika seseorang biasanya

memulai tidur pada malam hari dan ketika seseorang biasanya bangun di pagi

hari, serta dinilai juga ketika sesorang tertidur pulas dimalam hari. Selanjutnya

14

penilaian terhadap disfungsi tidur pada siang hari yang dimulai dengan melihat

seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda terjaga sadar saat

mengikuti pelajaran di sekolah, makan, dan berkativitas sosial, serta dinilai juga

seberapa banyak masalah yang membuat seseorang tidak antusias untuk

menyelesaikan pekerjaannya serta yang terakhir, pada penilaian terhadap

penggunaan obat tidur hanya ditunjukkan pada penilaian seberapa sering

seseorang mengkonsumsi obat-obatan yang berguna untuk membantu proses

tidurnya. (Wavy, 2008)

Kuisioner PSQI terdiri dari 9 pertanyaan dengan masing-masing

pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor

komponen 1-7 dengan rentang 0-21. Skor diatas 5 mengindikasikan pola tidur

yang buruk. Kuisioner ini telah diuji validitas dan reabilitas (Cronbach’s alpha)

yaitu 0,83 (Smyth, 2012).

2.1.4.2 Kuantitas Tidur

Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur yang dimiliki individu

( Konzier et all, 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan setiap individu

berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangannya, dari bayi sampai lansia.

Seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (usia dewasa tengah 6-8

jam) belum menjamin untuk mendapatkan waktu tidur yang berkualitas.

2.2 Perkembangan Emosi

2.2.1 Perkembangan

2.2.1.1 Pengertian

Perkembangan adalah berkembangnya kemampuan (skill) dalam

struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam poka yang teratur dan dapat

15

diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan.(Soejatmiko, 2001) Disini

menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel, organ-organ, dan sistem organ

yang berkembang sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.

Perkembangan meliputi perkembangan fisik, perkembangan emosi,

perkembangan kognitif, perkembangan psikososial (Patmonodewo, 2008). Dalam

proses perkembangan anak usia prasekolah ada hal yang melekat pada ciri-ciri

anak tersebut. Pertama pada ciri fisik, anak usia prasekolah terlihat lebih aktif

sehingga memerlukan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Kedua

pada ciri sosial, pada tahap ini anak usia prasekolah lebih cepat bersosialisasi

dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, anak usia prasekolah cenderung

untung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada

ciri perkembangan kognitif anak usia prasekolah umumnya terampil dalam

berbahasa.

2.2.1.2 Aspek Perkembangan

Dalam pemantauan perkembangan memiliki empat aspek dasar yang

dinilai, yaitu :

a) Perkembangan kemampuan gerak kasar

Semua gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh.

Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan

dan pengendalian gerak tubuh, yang mana perkembangan tersebut erat kaitannya

dengan perkembangan pusat motorik di otak. Disebut gerakan kasar bila gerakan

yang dilakukan melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan biasanya

memerlukan tenaga karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar, misalnya :

16

gerakan membalik dari telungkup menjadi telentang, gerakan duduk, berdiri,

berjalan, dan lain-lain.

b) Perkembangan kemampuan bicara, bahasa, dan kecerdasan

Sebagai makhluk sosial, anak akan selalu berada diantara atau bersama

orang lain. Agar dicapai saling pengertian, maka diperlukan kemampuan

berkomunikasi. Pada bayi, kemampuan kata-kata atau komunikasi aktif belum

dapat dilakukan, sehingga menyatakan perasaan dan keinginannya dilakukan

melalui tangisan dan gerakan. Kesanggupan mengerti dan melakukan apa yang

diperintahkan oleh orang lain disebut komunikasi pasif.

Komunikasi aktif dan pasif perlu dikembangkan secara bertahap. Anak

dilatih untuk mau dan mampu berkomunikasi aktif (berbicara, mengucapkan

kalimat, menyanyi, dan lain-lain) serta berkomunikasi pasif (anak mampu

mengerti orang lain).

c) Perkembangan kemampuan gerak halus

Hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh

otot-otot kecil, tetepi memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya : gerakan

mengambil suatu benda yang hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk,

menggunting, gerakan menempel, dan lain-lain

d) Perkembangan kemampuan bergaul (sosialisasi) dan mandiri

Pada awal kehidupannya, seorang anak bergantung pada orang lain

dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut berubah

dalam jumlah maupun derajat kualitasnya sesuai dengan bertambahnya umur

anak. Dengan makin mampu anak melakukan gerakan motorik, anak terdorong

17

untuk melakukan sendiri berbagai hal dan terdorong untuk bergaul dengan orang

lain selain anggota keluarganya sendiri.

2.2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi

Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak secara

keseluruhan pada garis besarnya ialah :

a) Faktor Dalam (internal)

Faktor genetik herediter konstitusional menentukan sifat bawaan anak

tersebut yang memang menjadi ciri khas yang biasanya diturunkan dari orang

tuanya. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses

tumbuh kembang anak. Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor

bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.

b) Faktor Luar (eksternal)

Faktor lingkungan merupakan salah satu dari faktor eksternal. Faktor

lingkungan yang dimaksud adalah suasa dimana anak tersebut berasa. Lingkungan

merupakan faktor yang cukup menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.

Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,

begitu sebaliknya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-psiko-sosial” yang

mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi dampai akhir hayatnya.

Selain lingkungan, pola tidur juga merupakan faktor eksternal yang

berpengaruh dalam tumbuh kembang individu terlebih pada anak-anak. Terdapat

dampak dua arah yang saling mempengaruhi antara masalah tidur dan

perkembangan anak. Gangguan tidur meningkatkan bebas pengasuhan dan stress

yang terjadi dalam keluarga. Gangguan tidur juga ikut berkontribusi dalam

rendahnya derajat kesehatan umum. Stress yang terjadi dalam keluarga dapat

dikaitkan dengan kurangnya kualitas tidur pada anak usia prasekolah. Selain itu,

18

ada hubungan antara tidur dan perkembangan pada anak-anak. Gangguan tidur

pada anak-anak dapat dikaitkan dengan gangguan kognitif, verbal, perhatian,

swadaya dan masalah.

2.2.2 Emosi

2.2.2.1 Pengertian

Menurut William Kames (dalam Wegde, 1995), emosi adalah

kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila kita berhadapan dengan

objek tertentu dalam lingkungannya.

2.2.2.2 Fungsi Emosi

Berhubungan dengan fungsi emosi, Coleman dan Mammen

menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi :

1. Emosi adalah sebagai pembangkit energi (energizer)

Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami,

bereaksi, dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisai energi kita;

marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari,

dan cinta mendorong kita untuk mendekat dan bermesraan.

2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger)

Bagaimana keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah,

kita mengetahui bahwa kita dihambat atau diserang orang lain, sedih berarti kita

kehilangan sesuatu yang kita senangi, bahagia berarti memperoleh sesuatu yang

kita senangi, atau menghindar dari hal yang dibenci.

3. Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi

juga membawa pesan dalam komunikasi interpersonal

19

Ungkapan emosi dapat diketahui secara universal. Dalam retorika

diketahui bahwa 3 pembicaraan yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato

dipandang lebih hidup, dinamis, dan lebih menyenangkan.

4. Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.

Kita mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa sehat

walafiat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita memperolehnya

ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.

2.2.2.3 Pengelompokan Emosi

Emosi menurut (Syamsu Yusuf: 2008, 117) dapat dikelompokkan

dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris da emosi kejiwaan (psikis)

1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar

terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.

2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan,

diantaranya:

a. Perasaan Intelektual, yaitu emosi yang mempunyai sangkut paut dengan ruang

lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk; 1) rasa yakin dan

tidak yakin terhadap suatu hal karya ilmiah, 2) rasa gembira karena mendapat

suatu kebenaran, 3) rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan

ilmiah yang harus dipecahkan.

b. Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungn dengan orang lain,

baik bersifat perseorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini, seperti a) rasa

solidaritas, b) persaudaraan, c) simpati, d) kasih sayang dan sebagianya.

20

c. Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan

buruk atau etika (moral). Contohnya; a) rasa tanggung jawab, b) 7 rasa bersalah

apabila melanggar norma, c) rasa tenteram dalam mentaati norma.

d. Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan

keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.

e. Perasaan Ketuhanan, Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan,

dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.

Dengan Kata lain, manusia dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena

memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai Homo Divinans dan Homo

Religius, yaitu sebagai makhluk yang berkeTuhanan atau makhluk beragama.

2.2.2.4 Mekanisme Emosi

Proses terjadinya emosi dalam diri seseorang menurut Lewis and Rose

Blum ada 5 tahapan yaitu :

a. Elicitors yaitu adanya dorongan peristiwa yang terjadi contoh : peristiwa banjir,

gempa bumi maka timbulah perasaan emosi seseorang.

b. Receptors yaitu kegiatan yang berpusat pada sistem syaraf contoh : akibat

peristiwa banjir tersebut maka berfungsi sebagai indera penerima.

c. State yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi contoh :

gerakan reflex atau terkejut pada sesuatu yang terjadi.

d. Experission yaitu terjadinya perubahan pada rasiologis. Contoh: tubuh tegang

pada saat tatap muka.

Menurut Syamsuddin Kelima komponen tadi digambarkan dalam 3

variabel yaitu:

a. Variabel Stimulus: rangsangan yang menimbulkan emosi.

21

b. Variabel Organismik: Perubahan fisiologis yang terjadi saat mengalami emosi.

c. Variabel Respon : Pada sambutan ekspresik atas terjadinya pengalaman emosi

(Reza dkk, 2010)

2.2.2.5 Perkembangan emosi pada anak usia sekolah

Perkembangan emosi pada anak melalui beberapa fase yaitu :

a. Pada bayi hingga 18 bulan

1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di

sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini berperan

dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap orang lain serta

interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan ASI secara teratur

memberikan rasa aman pada bayi.

2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa nyaman

dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara

orang di sekitarnya.

3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan

emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. 11 Pada bulan ke-12 sampai 15,

ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. Ia akan

gelisah jika ia dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan

bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang di tunjukan orang-orang

yang berada di sekitar dalam merespon kejadian tertentu.

b. 18 bulan sampai 3 tahun

1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di

lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan

banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Fase

22

ini anak belajar membedakan cara benar dan salah dalam mewujudkan

keinginannya.

2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk

mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan ekspresi

wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat membantu anak

mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orang tua menerjemahkan

mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa verbal.

3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan

emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak

mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.

c. Usia antara 3 sampai 5 tahun

1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif

sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan

anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan

oleh orang lain.

2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa

bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda 12 pada beberapa orang.

Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa senang, sementara

yang kalah akan sedih.

d. Usia antara 5 sampai 12 tahun

1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak

mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu menjaga rahasia.

Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan

informasi.

23

2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah

menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat menverbalsasikan

konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin

menyadari perasaan diri dan orang lain.

3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial

dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain.

Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. Anak belajar

apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi

agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi & Yuliani, 2006).

4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang

norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi

bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal.

Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat

diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa

emosi mereka juga makin beragam.

2.2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi

a. Keadaan anak

Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan

pada diri anak akan sangat mempengaruhi perkembangan emosional, bahkan akan

berdampak lebih jauh pada kepribadian anak. Misalnya: rendah diri, mudah

tersinggung, atau menarik diri dari lingkunganya.

b. Faktor belajar

Pengalaman belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang

mereka gunakan untuk marah. Pengalaman belajar yang menunjang

perkembangan emosi antara lain:

24

1) Belajar dengan coba-coba

Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam

bentuk perilaku yang memberi pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberi

kepuasan.

2) Belajar dengan meniru

Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi

orang lain, anak bereaksi dengan emosi dan metode yang sama dengan orang-

orang yang diamati.

3) Belajar dengan mempersamakan diri

Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan

yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang

ditiru. Disini anak hanya meniru orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan

emosional yang kuat dengannya.

4) Belajar melalui pengondisian

Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi

emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan

mudah dan cepat pada awalawal kehidupan karena anak kecil kurang menalar,

mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.

5) Belajar dengan bimbingan dan pengawasan

Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi

terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap

rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan

dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang

membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan (Fatimah, 2006)

25

c. Konflik – konflik dalam proses perkembangan

Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase

perkembangan yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses. Namun jika anak

tidak dapat mengamati konflik-konflik tersebut, biasanya mengalami gangguan-

gangguan emosi.

d. Lingkungan keluarga

Salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi nilai keluarga mengenai

bagaimana anak bersikap dan berperilaku. Keluarga adalah lembaga yang pertama

kali mengajarkan individu (melalui contoh yang diberikan orang tua) bagaimana

individu mengeksplorasi emosinya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan

utama bagi perkembangan anak. Keluarga sangat berfungsi dalam menanamkan

dasar-dasar pengalaman emosi, karena disanalah pengalaman pertama didapatkan

oleh anak. Keluarga merupakan lembaga pertumbuhan dan belajar awal (learning

and growing) yang dapat mengantarkan anak menuju pertumbuhan dan belajar

selanjutnya. Gaya pengasuhan keluarga akan sangat berpengaruh terhadap

perkembangan emosi anak. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan

keluarga yang emosinya positif, maka perkembangan emosi anak akan menjadi

positif. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan

emosinya negatif seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif, mudah

marah, kecewa dan pesimis dalam menghadapi masalah, maka perkembangan

emosi anak akan menjadi negatif (Syamsu, 2008). Keterkaitan secara teoritik

antara lingkungan keluarga dengan pengungkapan emosi juga dijelaskan oleh

Goleman (2000), yang meninjau terjadinya proses pengungkapan emosi sejak

awal yaitu pada masa anak-anak. Goleman (2000) menjelaskan bahwa cara-cara

26

yang digunakan orang tua untuk menangani masalah anaknya memberikan

pelajaran yang membekas pada perkembangan emosi anak. Gaya mendidik orang

tua yang mengabaikan perasaan anak, yang tercermin pada persepsi negatif orang

tua terhadap emosi, emosi anak dilihat sebagai gangguan atau sesuatu yang selalu

direspon orang tua dengan penolakan. Pada masa dewasa, anak tersebut tidak

akan menghargai emosinya sendiri yang menimbulkan keterbatasan dalam

mengungkapkan emosinya. Sebaliknya, pada keluarga yang menghargai emosi

anak yang dibuktikan dengan penerimaan orang tua terhadap ungkapan emosi

anak, pada masa dewasa nanti anak akan menghargai emosinya sendiri sehingga

ia mampu mengungkapkan emosinya pada orang lain.

2.3 Hubungan Antara Pola Tidur Dengan Perkembangan Emosi

a. Syaraf Emosional Otak

Sejauh ini, dua penelitian telah meneliti efek dari kurang tidur pada emosi

menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI). Dalam studi

sebelumnya, kurang tidur individu dipamerkan meningkat secara signifikan

aktivasi amigdala (besarnya 60% lebih besar) dalam menanggapi rangsangan

emosional yang negatif dibandingkan dengan kelompok kontrol beristirahat

(Yoo et al., 2007). Selain itu, hasil menunjukkan penurunan konektivitas antara

amigdala dan korteks prefrontal medial (daerah yang telah ditemukan untuk

terlibat dalam kontrol penghambatan dengan proyeksi penghambatan kuat

untuk amigdala) di kurang tidur relatif terhadap kontrol (tidur normal)

kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa kurang tidur dapat mengganggu

regulasi emosi dengan menurunkan proses penghambatan top-down dari reaksi

emosional. Dalam studi kedua yang digunakan fMRI untuk menyelidiki

27

manifestasi dari link ini di jaringan otak emosional, reaksi terhadap rangsangan

positif diperiksa (Gujar et al., 2011). Peneliti menemukan bahwa kurang tidur

reaktivitas diperkuat seluruh jaringan otak reward mesolimbic dalam

menanggapi gambar emosional yang positif. Perubahan neuroanatomical

diungkapkan perilaku, dengan peningkatan jumlah rangsangan dinilai sebagai

menyenangkan dalam kelompok kurang tidur. Temuan ini melengkapi data

mengenai kenaikan neurokimia aktivitas dopamin dalam jaringan otak yang

memberi imbalan yang relevan berikut kurang tidur akut (Volkow et al., 2009).

Temuan ini juga konsisten dengan penelitian mengenai manfaat yang mungkin

emosional kurang tidur pada pasien yang menderita depresi berat (Gillin et al.,

2001). Secara keseluruhan, data fMRI memberikan bukti awal mengenai peran

penting tidur dalam mengatur fungsi otak emosional.

b. Hubungan Mekanisme Tidur REM

Dalam memeriksa peran tidur jaringan otak REM afektif yang mendasarinya

telah menerima perhatian khusus. Studi Neuro-pencitraan telah menunjukkan

peningkatan signifikan dalam aktivitas dalam jaringan otak ini selama tidur

REM (Walker dan van der Helm, 2009). Selanjutnya, bukti klinis menunjukkan

bahwa hampir semua psikiatri dan neurologi gangguan mood afektif

berhubungan dengan perubahan dalam tidur REM (Baglioni et al, 2010; Benca

et al, 1992; Lee dan Douglass, 2010). Atas dasar literatur empiris dan klinis ini,

beberapa model telah diajukan, menunjukkan bahwa tidur REM berfungsi

sebagai modulator dari proses otak afektif. Karena karakteristik

neuroanatomical, neurofisiologis, dan neurokimia, tidur REM telah

dihipotesiskan untuk menawarkan lingkungan biologis optimal, di mana

28

pengalaman emosional negatif diperbaiki, sehingga menguntungkan "terapi"

hasil (Levin dan Nielsen, 2009; Walker, 2009; Walker dan van der Helm,

2009). Sebuah studi baru-baru memberikan dukungan untuk ini kerangka

teoritis. Ditemukan bahwa tidur REM selama tidur siang, sebagai lawan dari

tidur siang tanpa tidur REM, mungkin membalikkan peningkatan progresif

dalam pengalaman ketakutan sepanjang hari, dan pada saat yang sama

meningkatkan peringkat rangsangan positif (Gujar et al., 2011). Beberapa studi

telah menghasilkan hasil yang kontras mengenai konsekuensi emosional tidur

REM. Misalnya, McNamara et al. (2010), menemukan bahwa setelah bangun

dari tidur REM dibandingkan dengan tidur non-REM, depresi / peserta cemas

menunjukkan peningkatan diri penilaian negatif dan pengurangan diri penilaian

positif. Selain itu, produksi yang lebih besar dari emosional, kenangan negatif

dengan isyarat netral ditemukan setelah REM dibandingkan dengan terbangun

tidur non-REM baik untuk individu sehat dan depresi / cemas. Temuan yang

dilaporkan oleh Lara-Carrasco et al. (2009) juga mengaitkan tidur REM

dengan reaktivitas tinggi terhadap rangsangan negatif. Persentase yang lebih

tinggi dari kurang tidur REM dalam penelitian ini mengakibatkan adaptasi

yang lebih baik terhadap rangsangan negatif relatif terhadap REM lebih rendah

persentase kurang tidur. Tidur REM sangat berhubungan dengan fungsi

emosional, meskipun tampaknya bahwa hubungan yang tidak langsung atau

searah. Menariknya, Riemann et al. (2012) baru-baru ini telah memperkirakan

bahwa tidur REM "ketidakstabilan" mendasari pengalaman subjektif dari tidur

yang terganggu pada pasien insomnia, yang sering terjelaskan oleh perubahan

obyektif dalam parameter tidur. Telah menyarankan bahwa fragmentasi

29

meningkat dari tidur REM, karakteristik pasien ini, dapat membuat kognisi

negatif bangun seperti lebih mudah diakses oleh persepsi sadar dan memori,

sehingga menciptakan pengalaman tidur non-restoratif. Selain itu, fragmentasi

tidur REM dapat mengganggu fungsi jaringan otak emosional selama tahap

tidur ini, kemungkinan memberikan kontribusi untuk lebih emosional dan

gangguanl kognitif.

c. Proses informasi Emosi

Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa membangkitkan emosi

rangsangan diingat lebih baik daripada yang netral, baik di laboratorium dan

dalam kehidupan nyata (Walker, 2009). Bukti terbaru telah muncul,

menunjukkan bahwa selama tidur kenangan yang diubah dengan cara yang

emosional adaptif. Bukti juga telah menghasilkan mengenai hubungan positif

antara tidur REM dan bias konsolidasi terhadap fitur negatif dari adegan yang

kompleks. Selanjutnya, besarnya bias konsolidasi ini tampaknya ditentukan

oleh waktu tidur, dan dimaksimalkan ketika tidur berikut segera setelah belajar

(Payne et al., 2012). Oleh karena itu, kurangnya waktu tidur mempengaruhi

keadaan emosional individu. Selain itu, tidur tampaknya selektif

mempengaruhi encoding kenangan baru, sehingga membentuk profil kenangan

emosional (Walker dan van der Helm, 2009). Misalnya, kurang tidur

ditemukan merusak encoding kenangan emosional netral dan terutama positif,

sedangkan rangsangan emosional yang negatif tidak signifikan dipengaruhi

oleh kurangnya tidur (Walker dan Tharani, 2009). Temuan ini menyarankan

perubahan selektif dalam memori, dimana kurang tidur individu cenderung

untuk mengingat pengalaman negatif, tapi lupa, atau memperhatikan kurang

30

dari yang positif. Pengaruh tidur pada emosional juga di modifikasi oleh fitur

lain dari pengolahan informasi emosional. Beberapa studi telah dikaitkan

gangguan tidur dengan dikompromikan pengenalan ekspresi wajah. Kurang

tidur telah ditemukan untuk merusak wajah. Temuan serupa baru-baru ini

menunjukkan pada anak-anak dan remaja awal, menunjukkan bahwa kualitas

tidur yang buruk diprediksi kinerja yang lebih rendah di wajah-emosi tugas

pengolahan informasi, tetapi tidak di wajah tugas pengolahan informasi netral

dari waktu ke waktu (Soffer-Dudek et al., 2011). Sejalan dengan itu, Killgore

et al. (2008) menunjukkan efek yang merugikan dari kurang tidur pada

kapasitas dilaporkan dewasa 'untuk memahami emosi baik pada diri sendiri dan

orang lain. Dengan demikian, tampak bahwa kurangnya tidur dikompromikan

memiliki efek merugikan pada persepsi dan pengolahan rangsangan emosional,

dan akibatnya pada pengalaman emosional.

d. Proses Hubungan Energi Dengan Kewaspadaan

Dalam upaya untuk menjelaskan konsekuensi emosional negatif kurang tidur,

Zohar et al. (2005) menekankan potensi defisit pasokan energik dan mencatat

bahwa sangat penting untuk memperhitungkan konteks di mana emosi timbul.

Dalam studi lapangan memanjang yang dirancang dengan baik, daripada

menggunakan random sampling dari kondisi emosional, para peneliti

menggunakan metodologi pengalaman-sampling. Warga menerima panggilan

telepon secara acak kali selama hari kerja mereka, isyarat mereka untuk

melaporkan keadaan berubah baru-baru ini, dan untuk menilai respon

emosional konsekuen mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah

peristiwa mengganggu, kurang tidur meningkatkan emosi negatif. Namun, efek

31

yang sama tidak ditemukan ketika peristiwa seperti itu tidak dilaporkan

sebelum evaluasi emosi. Pengaruh kurang tidur mempengaruhi terbalik, dengan

efek nol dalam konteks peristiwa tujuan meningkatkan, sebagai lawan

peningkatan positif mempengaruhi dengan tidak adanya peristiwa tersebut.

Para penulis menekankan pentingnya analisis tergantung pada konteks di

bidang penilaian emosional, dan ditafsirkan temuan ini berdasarkan model

kognitif-energi, menunjukkan bahwa tidur diinduksi perubahan persediaan

energik diperlukan untuk reaksi emosional self-regulation pengaruh (Zohar et

al., 2003). Yakni, ketika kurang tidur dan menghadapi situasi memuaskan,

tingkat energi yang rendah mungkin tidak cukup untuk mencapai kepuasan

yang optimal, sedangkan menghadapi situasi yang menantang menyebabkan

tingkat inflasi negatif mempengaruhi (Zohar et al., 2005).