bab 2 tinjauan pustaka 1. pola asuh 1.1 defenisi ... -...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pola Asuh
1.1 Defenisi Pola Asuh
Pengertian pola asuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik
dan membimbing anak kecil (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sedangkan
pola asuh menurut Sunarti (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak
yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk
pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Pola asuh merupakan pola pengasuhan yang diberikan orangtua untuk
membentuk kepribadian anak (Prasetya, 2003). Pola asuh orangtua adalah pola
perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke
waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan anak dari segi negatif maupun segi
positif. Pengasuhan menurut Shochib, (2010) adalah orang yang melaksanakan
tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di
sini adalah mengasuh anak.
Menurut Darajat (dalam Shochib, 2010) mengasuh anak maksudnya adalah
mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan
keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian
diatas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan
kepentingan hidupnya.
1.2 Jenis-Jenis Pola Asuh
Tipe pola asuh terdiri dari dua dimensi perilaku yaitu Directive Behavior
dan Supportive Behavior. (1) Directive Behavior melibatkan komunikasi searah di
mana orangtua menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa yang harus
mereka lakukan, di mana, kapan, dan bagaimana melakukan suatu tugas. (2)
Supportive Behavior melibatkan komunikasi dua arah di mana orang tua
mendengarkan anak, memberikan dorongan, membesarkan hati, memberikan
teguran positif dan membantu mengarahkan perilaku anak. Anak yang disiplin diri
memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-aturan
pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri,
masyarakat, bangsa dan Negara. Artinya, tanggung jawab orangtua adalah
mengupayakan agar anak berdisiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan
Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan
alam dan mahkluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral. Orang tua yang mampu
berprilaku seperti diatas, berarti mereka telah mencerminkan nilai-nilai moral dan
bertanggung jawab untuk mengupayakannya (Shochib, 2010).
Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan orangtua, mata pencarian, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat dan
sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pola
asuh pedagang. Demikian pola asuh orangtua yang berpendidikan rendah dengan
Universitas Sumatera Utara
pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Dalam pelaksanaannya memang
orangtua menggunakan berbagai pola asuh sesuai dengan situasi baik secara
demokrasi, permisif, otoriter dan penelantar (Prasetya, 2003).
Tipe pola asuh menurut Prasetya (2003), yaitu :
a. Pola Asuh Demokrasi ( Autoritatif )
Pengasuhan Autoritatif adalah pola asuh demokrasi yang mendorong remaja
bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan
mereka. Pada umumnya pola pengasuhan ini di terapkan oleh orangtua yang
menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau
wawasan kehidupan masa depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan
masa kini, tetapi memahami bahwa ke masa depan harus dilandasi oleh
tindakan-tindakan masa kini. Mereka menyadari dan menghayati adanya
kesinambungan perkembangan kepribadian anak sepanjang hidupnya.
Pola asuh ini lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan
kepentingan dirinya sendiri tetapi mereka tidak segan-segan mengendalikan
anak. Berani menegur anak bila anak berperilaku buruk. Mereka mengerahkan
perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan,
dan keterampilan-keterampilan yang akan mendasari anak untuk membentuk
kepribadian dan kehidupan di masa yang mendatang. Komunikasi verbal
timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan
bersifat membesarkan hati remaja.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
anak-anak dengan tipe pola asuh autoritatif ini cenderung lebih mandiri, tegas
terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan instropeksi dan mengendalikan diri,
Universitas Sumatera Utara
mudah bekerjasama dengan orang lain secara sinergik serta ramah terhadap
orang lain yang menyebabkan mereka mudah bergaul dengan teman-teman
sebayanya maupun dengan orang-orang yang lebih dewasa.
b. Pola Asuh Pemanja (Permisif)
Pola pengasuhan pemanja atau Permisif ini merupakan kebalikan dari pola
pengasuhan otoriter. Segala sesuatu justru berpusat pada kepentingan anak.
Orangtua tidak mengendalikan perilaku sesuai dengan kebutuhan
perkembangan kepribadian anak. Orangtua atau pengasuhan yang tidak pernah
menegur atau tidak berani menegur perilaku anak meskipun perilaku anak
tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Dalam kondisi yang
demikian terkadang terkesan jangan sampai mengecewakan anak atau yang
penting jangan sampai anak menangis.
Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung lebih energik
dan responsif dari dibandingkan anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter,
namun mereka tampak matang secara sosial (manja), implusif, mementingkan
diri sendiri dan kurang percaya diri (cengeng). Bahkan sampai dewasa, ketika
mereka harus hidup dengan pasangannya bahkan menikah, kebiasaan-
kebiasaan kemanjaan tersebut sulit dihapuskan, lalu mereka menuntut
pasangannya atau setiap orang yang ada dilingkungan primernya untuk
memperlakukan dirinya seperti orangtua atau pengasuhannya yang dulu
melayani dan memanjakannya. Namun orangtua tipe pola pengasuhan seperti
ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai oleh anak.
Universitas Sumatera Utara
c. Pola Asuh Otoriter ( Autoritarian )
Kebanyakan pola asuh ini diterapkan oleh orangtua yang berasal dari pola
pengasuhan otoriter pula dimasa kanak-kanaknya atau oleh orangtua yang
menolak kehadiran anaknya. Pengasuhan Autoritarian atau pola asuh otoriter
adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja
untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk menghormati pekerjaan serta
usaha. Orang tua yang bersifat Autoritarian membuat batasan dan kendali yang
tegas terhadap remaja dan hanya sedikit melakukan komunikasi verbal.
Pengasuhan Autoritarian cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi
dimasa depan, selalu menetapkan standart yang mutlak yang ditentukan secara
sepihak dan harus di turuti, biasanya di ikuti dengan ancaman-ancaman.
Misalnya kalau tidak makan, maka tidak akan di ajak bicara. Orangtua tipe ini
cenderung memaksa, memerintah, menghukum, tidak mengenal kompromi dan
dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Sebagai contoh, seorang
orangtua Autoritarian bisa berkata “ Kamu harus melakukan apa yang saya
katakan, tidak ada tawar-menawar!”
Mereka tidak menyadari bahwa dikemudian hari nanti anak-anak dengan
pola pengasuhan otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih
rumit, memusingkan dan terkadang menyedot energi yang luar biasa besarnya.
Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi
dan tanggung jawab yang cukup, namun kebanyakan cenderung menarik diri
secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri. Kebanyakan
anak-anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan tugasnya karena takut akan
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan hukuman. Dalam kondisi yang ekstrim ini, anak laki-laki dengan
pola pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku
antisosial, agresif, impuls dan perilaku maladaptif lainnya, misalnya
membunuh, mencuri, narkoba dan sebagainya.
d. Pola Pengasuhan Penelantar
Orangtua tipe pola pengasuhan ini bukan hanya berarti menelantarkan anak
secara fisik ataupun nutrisial tetapi juga berarti menelantarkan anak dalam
kaitan psikis. Bisa jadi secara fisik, anak sama sekali tidak terlantar dan
nutrisial serta papan pangan tecukupi. Orangtua atau pengasuh kurang atau
bahkan sama sekali tidak peduli perkembangan psikis anak. Anak di biarkan
berkembang sendiri. Pola pengasuhan seperti ini pada umumnya diterapkan
oleh orangtua yang sebenarnya menolak kehadiran anak dengan berbagai
macam alasan. Terkadang tidak disadarinya atau tidak di akuinya dengan jujur,
selanjutnya tidak terjadi perubahan sikap ketika anaknya lahir.
Pola pengasuhan penelantaran, orangtua telah memprioritaskan
kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anak sehingga kepentingan
perkembangan kepribadian anak terabaikan. Banyak orangtua yang selalu
sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai jenis alasan pembenaran.
Tidak jarang diantara mereka yang tidak peduli atau tidak tahu sama sekali
dimana anaknya berada, dengan siapa saja mereka bergaul, sedang apa anak
tersebut dan sebagainya. Anak-anak terlantar ini merupakan anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
paling potensial terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan
tindakan kriminal lainnya (Prasetya, 2003)
Sedangkan Diana Baumrind (dalam Santrock, 2007) berpendapat ada cara
yang terbaik dalam mengasuh anak. Dia percaya bahwa orangtua tidak boleh
menghukum atau menjauh. Sebaliknya,orangtua menetapkan aturan bagi anak dan
menyayangi mereka. Diana Baumrind juga mengatakan bahwa ada 4 bentuk pola
asuh orangtua, yaitu : pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi, pola asuh
mengabaikan dan pola asuh yang menuruti. Akan tetapi banyak orangtua
menggunakan kombinasi beberapa teknik, dari pada satu teknik tertentu walaupun
salah satu teknik bisa dominan. Pengasuhan yang konsisten biasanya disarankan,
orang tua bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi
tertentu dan bersifat otoriter pada situasi yang lain, namun autoritatif di situasi
yang lain.
2. Keluarga
2.1 Defenisi Keluarga
Keluarga di defenisikan dalam berbagai cara. Defenisi keluarga berbeda
beda tergantung kepada orientasi teoritis “pembuat defenisi” yaitu dengan
menggunakan penjelasan yang penulis cari untuk menghubungkan keluarga
(Friedman, 1998). Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang di
ikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan tiap-tiap anggota keluarga
selalu berinteraksi satu sama lain ( Mubarak 2009).
Universitas Sumatera Utara
Pengertian keluarga dapat di tinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan kesatuan
sosial yang di ikat oleh hubungan darah antara yang satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat di bedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial,
keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang di ikat oleh adanya saling
berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang
lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga
berdasarkan hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga
pedagosis (Shochib, 2010).
Dalam pengertian psikologi, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama dalam tempat tinggal bersama-sama dan masing-masing anggota
merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling
memperhatikan dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian
pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalani oleh kasih
sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan,
yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri (Soelaeman, 1994 dalam
Shochib 2010).
Burgess dkk (1993 dalam Friedman 1998) membuat defenisi yang
berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai refrensi secara luas, dimana
keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah
dan ikatan adopsi yang biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga,
atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
tersebut sebagai rumah tangga dan anggota keluarga saling berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami
istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara-saudari. Seluruh
anggota keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang di
ambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
Uraian diatas menunjukkan bahwa keluarga juga merupakan suatu sistem.
Sebagai sistem yang mempunyai anggota, yaitu ayah, ibu, dan anak atau semua
individu yang tinggal di dalam rumah tangga tersebut. Anggota keluarga tersebut
saling berinteraksi, interalasi, interdependensi untuk mencapai tujuan bersama.
Keluarga merupakan sistem terbuka, sehingga dapat di pengaruhi oleh
suprasistemnya, yaitu lingkungan atau masyarakat. Sebaliknya, sebagai subsistem
dari lingkungan atau masyarakat, keluarga dapat mempengaruhi masyarakat. Oleh
karena itu, betapa pentingnya peran dan fungsi keluarga dalam membentuk
manusia sebagai anggota masyarakat yang sehat bio-psiko-sosial-dan spritual
(Mubarak 2009).
2.2 Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang
dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan bik agama maupun sosial budaya
yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapakan agar anak
menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Keluarga juga dipandang
sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi)
terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadian dan pengembangan ras
Universitas Sumatera Utara
manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi
kebutuhan tersebut. Melalui kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis
maupun sosiopsikologisnya. Apabila anak memperoleh rasa aman, penerimaan
sosial dan harga dirinya maka anak dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu
perwujudan diri ( Self Actualization). Iklim keluarga yang sehat atau perhatian
orang tua yang penuh kasih sayang mempunyai faktor esensial yang memfasilitasi
perkembangan psikologis anak tersebut (Dahlan, 2004).
Mengkaji lebih jauh lagi tentang fungsi keluarga ini dapat di kemukakan
bahwa secara psikologis keluarga berfungsi sebagai pemberi rasa aman bagi anak
dan anggota keluarga lainnya. Sebagai pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun
psikis, sumber kasih sayang dan penerimaan, model pola perilaku yang tepat bagi
anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, pemberi bimbingan
bagi perkembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, membantu anak
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan
dirinya terhadap kehidupan, pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan
motorik, verbal, sosial yang dibutuhkan untuk penyesuain diri, stimulator bagi
pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah
maupun dimasyarakat, pembimbing dalam mengembangkan aspirasi dan sumber
persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan
teman diluar rumah, atau apabila persahabatan diluar rumah tidak memungkinkan.
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi dan tugas keluarga yang dapat
dijalankan. Adapun fungsi keluarga adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Fungsi Biologis
Fungsi biologis yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan
membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
2. Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi
keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kedewasaan
kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi yaitu membina sosialisasi pada anak, mebentuk norma-
norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing
dan meneruskan nilai budaya.
4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi yaitu mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi
kebutuhn keluarga dimasa yang akan datang.
5. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat
dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa
yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa, serta
mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya (Mubarak, 2009).
Menurut Fridman 1998 dalam Mubarak 2009 yang mengidentifikasikan 5
fungsi keluarga, diantaranya adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Fungsi keluarga afektif (The Affective Function )
2. Fungsi Sosialisasi (The Socialization Fuction )
3. Fungsi Reproduksi ( The Reproductive Function )
4. Fungsi Ekonomi ( The Economic Fuction)
5. Fungsi Perawatan Keluarga/ Pemeliharaan Kesehatan ( The Health Care
Function ).
3. Belajar dan Prestasi Belajar
3.1 Defenisi Belajar
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini
berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada disekolah
maupun dilingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 2003).
Reber (1989) dalam kamusnya, Dictionary of Psikology membatasi belajar
dengan 2 macam defenisi. Pertama, belajar adalah proses memperoleh
pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan
psikologis kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang representatif karena
tidak megikutsertakan perolehan keterampilan nonkognitif. Kedua, belajar adalah
suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan
yang diperkuat.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar terutama belajar
di sekolah, perlu dirumuskan pengertian belajar secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,2003).
Belajar tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena sejak
manusia dilahirkan proses belajar di mulai dan berlangsung secara terus-menerus.
Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahan-perubahan perilaku
yang terjadi pada individu, misalnya perubahan dari tidak mengetahui sesuatu
menjadi mengetahui sesuatu ( Bakti, 2000). Perubahan yang terjadi pada bidang
kognitif menyebabkan peserta didik mampu melakukan analisis dan pemecahan
terhadap masalah-masalah yang dihadapinya sesuai dengan disiplin atau bidng
ilmu yang dipelajarinya. Bila perubahan itu meliputi bidang afektif, peserta didik
diharapkan akan menjadi peka terhadap nilai dan etika yang berlaku dalam bidang
ilmunya. Perubahan psikomotorik terjadi karena peniruan perilaku kemudian
secara bertahap mampu menggunakan perilaku itu secara tepat dan berurutan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah aktivitas yang dilakukan secara sadar dan menghasilkan
perubahan tingkah laku pada individu yang belajar dan perubahan yang dimaksud
adalah bersifat aktual maupun potensial serta berlangsung secara dalam waktu
yang relatif lama ( Bakti, 2000).
3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
secara global menurut Syah (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar siswa dapat kita bedakan menjadi 3 macam, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi
jasmani dan rohani siswa
2. Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), yakni kondisi lingkungan
disekitar siswa
3. Faktor pendekatan belajar (Approach to learning), yakni jenis upaya belajar
siswa meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan
kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran
Faktor-faktor diatas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan
mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap
ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor internal) umpamanya, biasanya
cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam.
Sebaliknya, seorang siswa yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan
mendapat dorongan positif dari orangtuanya (faktor eksternal), mungkin akan
memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi,
karena pengaruh faktor-faktor diataslah muncul siswa-siswa yang berprestasi
tinggi dan siswa yang berprestasi rendah atau gagal sama sekali.
1. faktor internal siswa
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni :
(a.) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan (b.) Aspek psikologis
(yang bersifat rohaniah)
a. Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ
tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya
dapat menurunkan kualitas kognitif sehingga materi yang dipelajarinya
pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani
agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan
minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola
istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara
tetap dan berkesinambungan.
b. Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat
mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar siswa. Namun,
diantara faktor-faktor rohaniah siswa dipandang lebih esensial itu adalah
sebagai berikut, yaitu :
1. Tingkat kecerdasan/ intelegensi siswa
2. Sikap siswa
3. Bakat siswa
4. Minat siswa
5. Motivasi siswa
1. Intelegensi Siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-
fisik untuk mereaksi rangsangan atau memyesuaikan diri dengan cara
yang tepat (Reber,1988). Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan
kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya
dengan intelegensi manusia lebih menonjol dari pada peran organ-organ
dalam tubuh lainnya, karena otak merupakan “menara pengontrol”
hampir seluruh aktivitas manusia.
2. Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa
kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif
tetap terhadap objek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif
atau negatif.
3. Bakat Siswa
Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang
(Reber, 1988). Dengan demikian, sebenarn
ya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk
mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan intelegensi.
Itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas atau
cerdas luar biasa disebut juga sebagai anak-anak yang berbakat.
4. Minat Siswa
Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber
(1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena
Universitas Sumatera Utara
ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya,
seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
5. Motivasi Siswa
Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme baik
manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.
Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasuk daya untuk bertingkah
laku secara terarah (Reber, 1988).
2. Faktor Eksternal
Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua
macam, yakni (1) Faktor lingkungan sosial dan (2) Faktor lingkungan
nonsosial.
3. Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang
digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses
mempelajari materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat
langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan
masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.
3.3 Prestasi Belajar
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) prestasi belajar merupakan
penguasaan dan keterampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran,
lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar
atau disebut juga pencapaian belajar adalah tingkat keberhasilan peserta didik
selama mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah (Bakti, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sari, 2004 (dalam Bakti,200) bahwa prestasi belajar adalah suatu
gambaran dari penguasaan kemampuan kognitif para peserta didik sebagaimana
telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu. Bukti keberhasilan yang disebut
dengan prestasi belajar siswa pada umumnya bersifat dokumentatif berupa buku
laporan kemajuan siswa atau rapor. Abdulah (1979) dalam Bakti (2000)
berpendapat bahwa dokument tersebut mempunyai fungsi, yaitu :
a. Sebagai indikator dari kualitas pengetahuan yang telah dimiliki
b. Sebagai lambang pemenuhan keinginan
c. Sebagai perangsang untuk meningkatkan pengetahuan
d. Sebagai indikator daya serap dan kecerdasan siswa
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan
dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma
pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar-mengajar.
Diantara norma-norma pengukuran tersebut adalah : (1) Norma skala angka dari 1
sampai 10 dan (2) norma skala angka dari 10 sampai 100 (Syah, 2003).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil
yang dicapai oleh siswa dari perbuatan usaha belajar serta bersifat dokumentatif.
Hasil belajar tersebut dituangkan kedalam bentuk nilai-nilai kuantitatif dan nilai
kualitatif. Nilai-nilai kuantitatif biasanya diwujudkan kedalam bentuk angka
dengan rentang waktu nilai 0 – 10 atau 10 – 100 (Bakti,2000).
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi belajar siswa/i menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008)
terdiri dari :
1. 75 – 90 = Baik (B)
2. 60 – 74 = Cukup (C)
3. 40 – 59 = Kurang (K)
Nilai-nilai yang bersifat kualitatif biasanya diberikan dengan menggunakan
kata sifat, seperti Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K). Nilai-nilai tersebut diatas
dilaporkan oleh sekolah secara lengkap dalam buku laporan kemajuan siswa atau
raport sebagai dokument resmi dengan maksud sebagai laporan
pertanggungjawaban sekolah kepada pemakai jasa pendidikan, yaitu orangtua
siswa atau masyarakat pada umumnya. Nilai raport merupakan perumusan
terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-
muridnya selama masa tertentu (Bakti, 2000).
Universitas Sumatera Utara