bab 2 tinjauan pustaka 2.1. definisi sirosis...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sirosis Hepatis
Istilah Sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec tahun 1819,
yang berasal dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow),
karena terjadi perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk
(Hadi, 2002).
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan
penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan
vaskular dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah , 2009).
Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk patologisnya terdiri dari
perkembangan fibrosis yang menjadi suatu keadaan adanya distorsi
bentuk hati yang akan membentuk nodul regeneratif. Hal ini menyebabkan
penurunan massa hepatoseluler, penurunan fungsi, dan perubahan aliran
darah. Induksi fibrosis terjadi dengan aktivasi sel stellate hati, sehingga
terjadi peningkatan pembentukan jumlah kolagen dan komponen lain dari
matriks ekstraseluler (
Sirosis hepatis merupakan entitas patologik yang ditandai dengan
(1) nekrosis sel hati, progresif lambat dalam waktu lama yang akhirnya
Fauci et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan gagal hati kronis dan kematian; (2) fibrosis, yang mengenai
vena sentralis dan daerah porta; (3) nodul regeneratif, akibat hiperplasia
sel hati yang bertahan hidup; (4) distorsi pada arsitektur lobular hati
normal; dan (5) mengenai seluruh hati secara difus (Taylor, 2006).
Menurut Lindseth; sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang
dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar
jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati. Sirosis hepatis dapat
mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang
sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price, 2006).
2.2. Etiologi dari Sirosis Hepatis
Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas,
tetapi sering disebutkan antara lain :
2.2.1. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Schiff (1998) bahwa di negara Asia faktor
gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hepatis. Dari
hasil laporan Hadi di dalam simposium patogenesis sirosis hepatis di
Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian
makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hepatis yang berpenghasilan rendah,
yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar,
Universitas Sumatera Utara
mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah (Hadi,
2002).
2.2.2. Hepatitis Virus
Infeksi virus merupakan penyebab paling sering dari sirosis
hepatis. Hanya HBV atau HCV mengakibatkan penyakit hati kronis. Virus
Hepatitis D adalah virus yang tidak lengkap yang hanya patogen bila
bersama-sama dengan HBV. Virus A dan E penyebab hepatitis, tetapi
tidak berkembang menjadi sirosis hepatis. Virus hepatitis G telah
diidentifikasi tidak menghasilkan penyakit hati. Infeksi HBV didiagnosis
oleh adanya antigen permukaan hepatitis B (HBsAg); HCV, oleh anti-HCV
dan HCV RNA (Anand, 2002).
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab sirosis hepatis, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit
hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah
dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan
untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan
perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A (Hadi,
2002).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati
akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan
kerusakan kronis akan berupa sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang
sering disebut-sebut ialah alkohol (Hadi, 2002).
Alkohol adalah bentuk minuman yang difermentasi yang banyak
dikonsumsi oleh orang-orang dari berbagai masyarakat dan peradaban di
seluruh dunia mulai dari periode Neolitik sekitar 10.000 SM sampai saat
ini. Penyalahgunaan alkohol dihubungkan dengan sirosis hepatis,
bagaimanapun telah terungkap dari berbagai penelitian dan studi yang
dilakukan, dimulai pada akhir abad ke-18. Karena pecandu alkohol
dengan sirosis hepatis secara konsisten kekurangan gizi dan memiliki
tubuh kurus dipercaya bahwa penyakit hati tidak disebabkan oleh
meminum terlalu banyak alkohol tetapi dikarenakan terus-menerus
kekurangan asupan gizi yang seharusnya
Dalam perkembangannya pada saat hasil dari studi epidemiologis
yang rinci dan studi klinis pada manusia dan studi eksperimental pada
tikus dilakukan evaluasi. Hal ini ditunjukkan pada manusia sama seperti
hewan laboratorium bahwa alkohol dapat langsung merusak sel-sel hati
terlepas dari status gizi host. Kerusakan hati dimulai dengan hati yang
. Konsep teori etiologi gizi untuk
penyebab sirosis menjadi faktor yang sangat kuat yang berlanjut sampai
pertengahan tahun 1960 (Nayak, 2011).
Universitas Sumatera Utara
berlemak (steatosis), menyebabkan steatohepatitis, fibrosis progresif dan
akhirnya akan menyebabkan sirosis hepatis. Sampai dengan tahap sirosis
ada perbaikan jika alkohol dihentikan (Nayak, 2011).
Pada kondisi kalori dari protein kurang pada hewan dan manusia
maka akan mendorong steatosis yang parah dan luas, tetapi tidak
menyebabkan fibrosis yang signifikan dan tidak pernah menjadi sirosis.
Bahkan, pembentuk kolagen dihati dapat diatasi pada tahap kekurangan
protein (Nayak, 2011).
2.2.4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada
orang-orang muda dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi basal
ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna
coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga
disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan
tembaga dalam jaringan hati (Hadi, 2002).
2.2.5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua
kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari
Fe.
Universitas Sumatera Utara
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hepatis (Hadi, 2002).
Jika tidak diobati, hemokromatosis ini akan sangat berbahaya dan
hal ini juga mengarah ke (micronodular) sirosis. Penurunan spontan belum
diamati. Tingkat kelangsungan hidup pada sirosis haemochromatotic
adalah 60-65% setelah 10 tahun (Kuntz, 2006).
2.2.6. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap
reaksi dan nekrosis sentrilobuler (Hadi, 2002).
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran
empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini
lebih banyak dijumpai pada kaum wanita (Hadi, 2002).
3. Penyebab sirosis hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (Hadi,
2002).
2.3. Klasifikasi Sirosis Hepatis
Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi:
Universitas Sumatera Utara
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis
yang nyata.
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan
tanda klinik yang jelas.Sirosis hepatis kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak
terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui
biopsi hati (Hadi, 2002).
Secara morfologi Sherlock membagi sirosis hepatis bedasarkan
besar kecilnya nodul, yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler (Hadi,
2002).
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis
hepatis atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis
makronoduler atau sirosis toksik atau subacute yellow, atrophy
cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis
mikronoduler, sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty
cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama
faktor lipotropik.
Universitas Sumatera Utara
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis (Hadi, 2002).
Schiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
1. Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis
alkoholik
2. Sirosis postnekrotik
3. Sirosis biliaris (Hadi, 2002).
2.4. Gejala dan Temuan Klinis
2.4.1. Gejala Sirosis Hepatis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang
tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau
melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Temuan Klinis Sirosis Hepatis
Temuan klinis sirosis meliputi spider angio maspiderangiomata
(atau spider telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa
vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan
atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan
dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa
ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada
orang sehat, walaupun ukuran lesi kecil (Nurdjanah, 2009).
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar
telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme
hormon esterogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan
pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme dan keganasan
hematologi.Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal
dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum
diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa
ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.
Osteoartropati gipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan
nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara
spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada
Universitas Sumatera Utara
pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga
mengkonsumsi alkohol (Nurdjanah, 2009).
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan
androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan
aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah
feniminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause. Atrofi testis hipogonadisme
menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada alkoholik
sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa
membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba
keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis
yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa
merah lien karena hipertensi porta (Nurdjanah, 2009)
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat
hipertensi porta. Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien
sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan
porto sistemik yang berat. Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tidak terlihat.
Warna urin terlihat gelap seperti air teh (Nurdjanah, 2009)
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-
ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.
Universitas Sumatera Utara
Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:
1. Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
2. Batu pada vesika felea akibat hemolisis
3. Pembesaran kelenjar parotis terutama sirosis alkohlik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini
akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh beta
pankreas (Nurdjanah,2009).
Menurut Price (2006), tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan
tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada
kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap
bilirubin.Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati.
Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan
penyakit (Price, 2006).
2. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis.
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin,
air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama
asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus.
Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air (Price, 2006).
Universitas Sumatera Utara
3. Hati yang membesar.
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah.
Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan
menimbulkan rasa nyeri bila ditekan (Price, 2006).
4. Hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal
yang menetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati (Price, 2006).
2.5. Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium, untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
2.5.1. Diagnosa Sirosis Hepatis Berdasarkan Pemeriksaan
Laboratorium
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita
ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine
berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah
terjadi syndrome hepatorenal (Hadi, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu
suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman
(Hadi, 2002).
3. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang
–kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam
folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita
pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi
hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni (Hadi, 2002).
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis
globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap
hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya
dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam
darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing
diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.
Universitas Sumatera Utara
Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu,
kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka
untuk mendeteksi kelainan hati secara dini (Hadi, 2002).
Untuk pengelolaan lebih lanjut , maka penderita sirosis hepatis dengan
tanda-tanda hipertensi portal dapat dibagi atas tiga kelompok berdasarkan
kriteria/klasifikasi dari Child, yaitu Child A yang mempunyai prognosis
baik.Child B mempunyai prognosis sedang, dan Child C yang mempunyai
prognosis buruk (Hadi, 2002).
Tabel 2.1. Skor Child-Pugh
2.5.2. Sarana Penunjang Diagnostik
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
foto toraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography
(PTP) (Hadi, 2002).
A B C
Serum Bilirubin (mg/dl) < 2 2 – 3 > 3
Serum Albumin (mg/dl) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8
Asites Tidak ada Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Gangguan Neurologi Tidak ada Minimal Koma Lanjut
Waktu Protrombin < 4 4– 6 > 6
Universitas Sumatera Utara
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada
tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan
tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul. Pada fase
lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan
permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan
sebagian lagi dalam batas nomal (Hadi, 2002).
3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hepatis akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk
nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi
biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa (Hadi,2002).
2.6. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: Edema
dan asites, SBP, Perdarahan saluran cerna, Sindroma hepato-renal,
Sindroma hepato-pulmoner, Hipersplenisme, dan Kanker hati.
2.6.1. Edema dan Asites
Dengan semakin beratnya sirosis hepatis,maka terjadi pengiriman
sinyal ke ginjal untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh.
Garam dan air yang berlebihan, pada awalnya akan mengumpul dalam
Universitas Sumatera Utara
jaringan di bawah kulit sekitar tumit dan kaki , karena efek gravitasi pada
waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema atau
sembab pitting (pitting edema). Pembengkakan ini menjadi lebih berat
pada sore hari setelah berdiri atau duduk dan berkurang pada malam hari
sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Kemudian
dengan semakin beratnya sirosis dan semakin banyaknya garam dan air
yang diretensi, air akhirnya juga akan mengumpul dalam rongga abdomen
antara dinding dan perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini
disebut asites yang berakibat pembesaran perut, keluhan rasa tak enak
dalam perut dan peningkatan berat badan ( Hernomo, 2007).
Dari segi epidemiologi asites adalah salah satu komplikasi utama
dari sirosis hepatis
Untuk membedakan penyebab asites , dilakukan pemeriksaan
SAAG (serum-ascites albumin gradient) : bila nilainya > 1.1 gram %,
penyebabnya adalah penyakit non peritoneal (hipertensi
portal,hipoalbuminemia, asites chyllous, tumor ovarium). Sebaliknya bila
nilainya < 1,1 mg % disebabkan eksudat (keganasan, peritonitis-karena
dan hipertensi portal. Dalam waktu 10 tahun sejak
diagnosis sirosis, lebih dari 50% pasien akan terjadi penimbunan cairan
(asites). Perkembangan asites dikaitkan dengan prognosis buruk pada
pasien sirosis hepatis, dengan mortalitas 15% dalam satu tahun dan 44%
dalam lima tahun yang telah di follow-up. Oleh karena itu, pasien dengan
asites harus dipertimbangkan untuk transplantasi hati, sebaiknya sebelum
perkembangan disfungsi ginjal (Biecker, 2011).
Universitas Sumatera Utara
TBC, jamur, amuba atau benda asing dalam peritoneum). Asites juga
dibagi dalam 4 tingkatan asites, yaitu : tingkat 1, hanya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan seksama; tingkat 2, deteksi lebih mudah tapi
biasanya jumlahnya hanya sedikit; tingkat 3, tampak jelas tetapi tidak
terasa keras; dan tingkat 4, bila asites mulai terasa keras (Hernomo,
2007).
2.6.2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk
pertumbuhan kuman. Dalam keadaan normal, rongga perut hanya
mengandung sedikit cairan, sehingga mampu menghambat infeksi dan
memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari
usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana mereka
akan dibunuh semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut
tidak mampu lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain
itu, lebih banyak bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari
usus ke asites. Karena itu infeksi dalam perut dan asites ini disebut
sebagai peritonitis bakteri spontan (spontaneous bacterial peritonitis) atau
SBP. SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien.
Beberapa pasien SBP ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali,
namun sebagian lagi mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa
tak enak di perut, diare dan asites yang memburuk (Hernomo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dibagi menjadi tiga sub
kelompok: (1) peritonitis bakteri spontan didefinisikan jika positif ditemukan
bakteri dalam asites, bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang
meningkat dalam ascites (> 250 sel/mm3). Mikroorganisme yang
menyebabkan SBP terdapat dalam 60% -70% kasus. (2) Kultur negatif
asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA) ,
penimbunan cairan (asites) steril, infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan
dengan kultur, hanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear diatas
batas 250 sel/mm3 yang terlihat. Jika sampel asites mengandung darah,
SBP diagnosis dibuat dengan menemukan lebih dari satu granulosit
neutrophilic per 250 eritrosit. (3) Monomicrobial non-neutrocytic
bacterascites (hanya bacterascites) jarang dijelaskan. Pada gangguan ini,
positif kultur bakteri tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Hal ini
biasanya terungkap dalam Child-Pugh pasien kelas A. Pemulihan dari
bacterascites dapat terjadi secara spontan (pada 60% -80%), atau dapat
berkembang menjadi SBP khas. Bacterascites cukup sering tanpa gejala,
dan antibiotik digunakan hanya jika gejala muncul dan temuan kultur
persisten (Lata dkk, 2009).
2.6.3. Perdarahan Varises Esofagus
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran
darah dari usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan
tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan
Universitas Sumatera Utara
aliran darah dan peningkatan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah
esofagus dan bagian bawah atas lambung akan melebar, sehingga timbul
varises esofagus dan lambung. Semakin tinggi tekanan portalnya.
Semakin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien
mengalami perdarahan varises (Hernomo, 2007).
Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien
tekanan portal (perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena
cava inferior). Hal ini terjadi karena peningkatan aliran darah portal atau
peningkatan resistensi vaskuler atau kombinasi keduanya. Pada sirosis
hepatis, faktor utama yang menyebabkan hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang
menjadi peningkatan aliran darah portal
Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang
cepat, dapat berakibat fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa
muntah darah atau hematemesis. Bahan yang dimuntahkan dapat
berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti kopi ( coffee
grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.Buang
air besar berwarna hitam dan lembek (melena) dan keluhan lemah dan
pusing pada saat posisi berubah ( orthostatic dizziness atau fainting),
yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan
perubahan posisi berdiri dari berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari
varises manapun dalam usus. Misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang
terjadi. Meskipun belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk rumah
(Theophilidou, dkk 2012).
Universitas Sumatera Utara
sakit dengan perdarahan aktif varises esofagus, berisiko tinggi untuk
mengalami PBS ( Hernomo, 2007).
2.6.4. Enselopati Hepatik
Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan
digunakan oleh bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini,
beberapa bahan akan terbentuk dalam usus.Bahan-bahan ini sebagian
akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya misalnya
amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan
toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk
didetoksifikasi (Hernomo, 2007).
Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat
kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan
darah. Sebagai tambahan , beberapa bagian darah dalam vena porta
tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena yang lain
(bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam hati. Sehingga terjadi akumulasi bahan ini di dalam darah.
Apabila bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan
terganggu. Kondisi ini disebut enselopati hepatik. Tidur lebih banyak pada
siang dibanding malam ( perubahan pola tidur) merupakan tanda awal
enselopati hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak
mampu berkonsentrasi, atau menghitung, kehilangan memori, bingung,
Universitas Sumatera Utara
dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya enselopati hepatik
yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian (Hernomo, 2007).
Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat
sensitif terhadap obat-obat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi
dalam hati. Dosis berapa obat tersebut harus dikurangi untuk menghindari
efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat golongan sedatif
dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat yang lain yang
tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat ginjal. Ada tiga
tipe enselopati hepatik yang mendasari : tipe A, askibat gagal hati akut;
tipe B, akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis dan tipe C, akibat
penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa pintasan porto-sistemik
(Hernomo, 2007).
Dalam beberapa penelitian Enselopati hepatikum dikaitkan dengan
status gizi. Peneltian soros dkk dengan metode prospektif mengevaluasi
Enselopati hepatikum pada 128 pasien dengan sirosis hepatis dari
berbagai etiologi. Enselopati hepatikum ini dievaluasi dengan
menggunakan kriteria West Haven dan dua tes psikometri (number
connection test A dan B). Enselopati hepatikum didefinisikan sebagai
enselopati hepatikum terbuka menurut kriteria West Haven dan / atau
number connection test A dan / atau B > 3 standar deviasi dari populasi
umum. Status gizi dievaluasi dengan pengukuran BMI dan antropometri
serta estimasi perubahan berat terakhir. Malnutrisi didefinisikan sebagai
pengukuran antropometri bawah persentil ke-5 sesuai dengan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
standar untuk populasi umum dan / atau BMI < 20 kg/m2
Kalaitzakis
dan / atau
penurunan berat badan ≥ 5% -10% dalam 3-6 bulan sebelumnya. Penyakit
diabetes melitus juga dinilai dengan pengukuran glukosa puasa (
, 2008).
Dari hasil peneltian 40% dari pasien tersebut kekurangan gizi, 26%
menderita diabetes, dan 34% enselopati hepatikum. Pasien dengan
malnutrisi lebih sering menderita enselopati hepatikum dibandingkan
dengan mereka yang tidak kekurangan gizi (46% vs 27%, P = 0,031).
Dalam analisis multivariat, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
number connection test A secara independen berkorelasi dengan umur,
keparahan sirosis dinyatakan dalam skor Child-Pugh, diabetes dan
malnutrisi. Dalam penelitian ini mereka tidak melaporkan seberapa banyak
pasien memiliki diabetes mellitus. Namun, risiko diabetes mellitus telah
dilaporkan meningkat pada pasien dengan sirosis karena hepatitis C dan
mayoritas pasien yang terdaftar dalam studi ini 56% memiliki sirosis virus.
Oleh karena itu tidak diketahui apakah pasien dengan enselopati
hepatikum memiliki proporsi yang lebih tinggi memiliki diabetes
dibandingkan dengan pasien tanpa enselopati hepatikum ( Kalaitzakis,
2008).
2.6.5. Sindroma Hepatorenal
Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi
sindroma hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena
Universitas Sumatera Utara
terdapat penurunan fungsi ginjal namun ginjal secasa fisik sebenarnya
tidak mengalami kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini
disebabkan perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma
hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk
membersihkan bahan-bahan toksik dai darah dan kegagalan
memproduksi urin dalam jumlah adekuat,meskipun fungsi lain ginjal yang
penting, misalnya retensi garam tidak terganggu (Hernomo, 2007).
Definisi dan kriteria diagnostik untuk sindroma hepatorenal dibentuk
pada tahun 1994 didasarkan pada tiga konsep berikut: 1. Gagal ginjal
pada sindroma hepatorenal adalah fungsional dan disebabkan oleh
vasokonstriksi arteriolar intrarenal; 2. Sindroma hepatorenal terjadi pada
pasien dengan disfungsi sirkulasi sistemik yang disebabkan oleh
vasodilatasi ekstra-renal; 3. Ekspansi volume plasma tidak meningkatkan
gagal ginjal ( Salerno
Bila fungsi hati membaik atau dilakukan transplantasi hati pasien
sindroma hepatornal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa penurunan fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahan-
bahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak berfungsi. Ada dua tipe
sindroma hepatorenal : tipe 1, penurunan fungsi terjadi dalam beberapa
bulan, dan tipe 2, penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam wakti
satu sampai dua minggu (Hernomo, 2007).
, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.6.6. Sindroma Hepatopulmoner
Sindroma Hepatopulmoner adalah komplikasi yang jarang dari
penyakit hati dari berbagai etiologi yang ada dan mungkin menunjukkan
prognosis buruk. Oleh karena itu, diperlukan metode skrining non-invasif
yang sederhana untuk mendeteksi sindroma hepatopulmoner ini. Dalam
beberapa penelitian atau studi, pulse oximetry dievaluasi untuk
mengidentifikasi pasien dengan sindroma hepatorenal (Deibert
Pada pasien sirosis lanjut dapat berkembang menjadi sindroma
hepatopulmoner, meskipun ini jarang terjadi. Pasien-pasien ini mengalami
kesulitan bernafas akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis
yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar paru adalah tidak
tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil dalam paru
yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah lewat
paru mengalami putusan sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup
oksigen dari udara dalam alveoli. Akibatnya adalah pasien mengalami
perasaan sesak nafas atau nafas pendek, terutama pada saat latihan
(Hernomo, 2007).
, 2006).
2.6.7. Hipersplenisme
Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah
merah, leukosit dan trombosit yang sudah tua .Darah dari limpa akan
bergabung dengan aliran darah dari usus masuk ke dalam vena porta.
Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi peningkatan
Universitas Sumatera Utara
blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke
limpa, dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali (Hernomo, 2007).
Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, hingga
menimbulkan nyeri perut. Dengan pembesaran limpa ini, fungsi filtrasi
terhadap terhadap sel-sel darah dan trombosit ikut meningkat, sehingga
jumlahnya akan menurun.Hipersplenisme merupakan istilah yang di pakai
untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan jumlah sel darah
merah (anemia), penurunan sel darah putih (leukopenia), dan atau
trombosit yang rendah (trombositopenia). Anemia menyebabkan perasaan
lemah, leukopenia menyebabkan peka terhadap infeksi, trombositopenia
menyebabkan pembekuan darah dan menimbulkan perdarahan yang
memanjang (Hernomo, 2007).
2.6.8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)
Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati
primer (hepatocellular carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor
berasal dari hati. Kanker hati sekunder merupakan kanker hati yang
berasal dari penyebaran kanker dari tempat lain dalam tubuh (metastasis).
Keluhan terbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan,
pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai
tambahan, kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan sejumlah
bahan yang menimbulkan berbagai kelainan : peningkatan sel darah
Universitas Sumatera Utara
merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan kalsium
darah yang tinggi (hiperkalsemia) (Hernomo, 2007).
Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan
risiko peningkatan kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama
dua dekade terakhir, kejadian kanker jenis ini meningkat di Amerika
Serikat, terutama karena penyebaran HBV dan HCV. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah pencegahan. Pengukuran pencegahan termasuk
didalamnya skrining dengan alpha-fetoprotein
dan ultrasonografi setiap 6
bulan ( Anand , 2002).
2.7. Penatalaksanaan
Menghilangkan pencetus yang menyebabkan sirosis kemungkinan
akan menghambat perkembangan menjadi kelas CPT (Child Pugh
Turcotte) kelas A, B, dan C lebih tinggi dan untuk mengurangi timbulnya
kanker hati. Dari penelitian dan studi membuktikan bahwa pengobatan
kausal bahkan dapat membalikkan atau dengan kata lain memperbaiki
keadaan sirosis (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pasien dengan sirosis alkoholik harus berpuasa karena konsumsi
alkohol sangat mendukung fibrogenesis hati dan dekompensasi. Fungsi
hati sering memburuk dalam 2-3 minggu pertama withdrawal karena
alkohol memiliki efek imunosupresif. Pasien dengan sirosis kompensasi
replikasi HCV bermanfaat diberikan pengobatan antiviral berdasarkan
interferon. Eradikasi virus dan sebagai akibat penurunan risiko
Universitas Sumatera Utara
dekompensasi hepatik dan karsinoma hepatoseluler dapat tercapai hingga
mencapai 40 dan 70% pasien dengan genotipe 1 dan 2, atau 3 masing-
masing sesuai kondisinya ( Schuppan dan Afdhal, 2008).
Dalam sebuah meta-analisis terakhir 75 dari 153 sirosis dengan
biopsi-terbukti menunjukkan perbaikan kondisi sirosis pada biopsi setelah
pengobatan berhasil, tetapi hasil perlu penyesuaian tinjauan dari
variabilitas sampel biopsi. Bagaimana kegunaan pemakaian interferon
selama 3-4 tahun dapat mencegah dekompensasi hati atau karsinoma
hepatoseluler pada subyek dengan stadium 3 atau 4 fibrosis yang tidak
respon terhadap terapi interferon-ribavirin saat ini sedang dilakukan
evaluasi dalam percobaan prospektif besar dan luas (HALT-C, EPIC-3 dan
copilot ) (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pengobatan jangka panjang dengan nukleosida oral dan inhibitor
nukleotida polimerase HBV tidak hanya memperlambat sirosis hepatis
atau memperbaiki keadaannya namun juga terbukti dapat mencegah
komplikasi penyakit hati stadium akhir. Dalam sebuah studi 3 tahun
lamivudine untuk HBV, menindaklanjuti biopsi hati menunjukkan perbaikan
sirosis pada 8/11 pasien (73%) (60) dan 436/651 pasien dengan HBV-
sirosis dirawat dengan lamivudine selama rata-rata 32 bulan terjadi
pengurangan >50% dari titik akhir klinis yang parah, seperti yang
didefinisikan oleh dekompensasi hati, karsinoma hepatoseluler,
spontaneous bacterial peritonitis, perdarahan varises gastroesofagus,
Universitas Sumatera Utara
atau kematian terkait dengan penyakit hati yang didapat ( Schuppan dan
Afdhal, 2008).
Dalam replikasi HBV sirosis (> 105
Dalam satu studi besar, pengobatan adefovir telah berhasil
digunakan pada pasien dengan pra-transplantasi resistensi lamivudine,
yang menyebabkan penekanan replikasi virus HBV ketingkat tidak
terdeteksi pada 76% pasien baik dengan stabilisasi atau peningkatan skor
CTP dan kelangsungan hidup 90%. Data pada reversibilitas dan stabilisasi
penyebab lain dari sirosis kurang didefinisikan dengan baik. Penelitian
kohort menunjukkan bahwa beberapa pasien sirosis hepatitis autoimun
menunjukkan regresi setelah pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid dan venesection pasien dengan hemochromatosis herediter
dapat menurunkan perkembangan komplikasi dari hipertensi portal
(Schuppan dan Afdhal, 2008).
Copies/mL) pengobatan
lamivudine sering menghasilkan perbaikan klinis, bahkan setelah
dekompensasi. Tingginya tingkat resistensi lamivudine yang mencapai
56% dan 70% setelah 3 dan 4 tahun pengobatan, masing-masing kini
sejak adanya alternatif yang sama baiknya ditoleransi seperti adefovir,
entecavir atau telbivudine, atau kombinasinya yang tersedia yang
menampilkan tingkat yang lebih rendah dari resistensi virus dan profil
mutasi yang berbeda (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.8. Prognosis
Prognosis untuk pasien sirosis tergantung pada komplikasi masing-
masing. Yang mendasari proses morfologi, seperti nekrosis, fibrosis dan
regenerasi, gabungan untuk derajat yang sangat berbeda dalam pasien
sirosis tunggal. Ada juga perbedaan-perbedaan individu dalam tanggapan
hemodinamik dan efek yang sesuai pada ginjal, paru-paru dan hati, dll.
Oleh karena itu sangat sulit memberikan prognosis yang akurat dalam
setiap kasus. Selain itu, seperti prognosis hanya mencakup jangka waktu
tertentu yang relatif singkat (beberapa bulan sampai satu tahun) (Kuntz,
2008).
Berbagai indeks telah dikembangkan menggunakan parameter
sebaik mungkin untuk menghitung probabilitas kematian atau
kelangsungan hidup dalam setiap kasus. Klasifikasi sirosis menurut
kriteria yang dibuat oleh Child dan Turcotte (1964) dan modifikasi oleh
Pugh (1973) telah diterima secara luas. Prognosis dari sirosis yang
disebabkan oleh racun (alkohol atau obat-obatan, bahan kimia, dll) adalah
jauh lebih baik dengan menghilangkan kausal atau penyebab
(Kuntz,
2008).
Universitas Sumatera Utara