bab 2. tinjauan pustaka
DESCRIPTION
tinjauan pustakaTRANSCRIPT
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Jarak Pagar
Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia.
Selain tidak berkompetisi dengan pemenuhan produk pangan dalam
pemanfaatannya, tanaman jarak pagar juga dapat dikembangkan pada lahan-lahan
marginal atau lahan reklamasi. Pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak dapat
dilakukan dengan metode pengepresan dan ekstraksi pelarut. Pada umumya
metode pengepresan dilakukan dengan menggunakan pengepres hidrolik atau
pengepres berulir. Walaupun relatif lebih sederhana, motode pengepresan
menghasilkan ampas yang masih mengandung minyak sebesar 7-10 %, sedangkan
metode ekstraksi pelarut mampu memisahkan minyak secara optimal, hingga
kandungan minyak pada ampas kurang dari 0,1 % berat keringnya (Syah, 2006).
Walaupun demikian, metode pengepresan merupakan metode yang umum
digunakan dalam ekstraksi minyak jarak. Menurut Bailey (1959), metode
pengepresan merupakan metode terbaik untuk biji-bijian yang mengandung
minyak sebesar 30-70 %. Diagram alir proses ekstraksi minyak jarak dengan
metode pengepresan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan
pengepres berulir (Hambali et al. 2006).
Pemanasan bji dengan uap kering
Minyak jarak
pagar
Pemisahan
Penghancuran
Pengupasan kulit biji
Pengepresan hidrolik
Pengepresan berulir
kontinu
Bungkil (ampas)
Biji jarak pagar
Kulit biji
6
Minyak yang diperoleh dari kedua metode tersebut disebut minyak jarak
kasar atau Crude Jatropha Curcas Oil (CJCO). Crude Jatropha Curcas Oil
dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah untuk memasak dan
menggantikan tenaga uap di industri (Prihandana, 2006). Minyak jarak kasar juga
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan diolah lebih lanjut
menjadi surfaktan. Komposisi asam lemak minyak jarak pagar dapat dilihat pada
Tabel 1
Tabel 1 Komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar
Sumber : Gubitz et al. (1999)
2.2. Metil Ester
Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi
trigliserida minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak
pagar, minyak kedelai, dan lainnya. Transesterifikasi berfungsi untuk
menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol
atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau
KOH.
Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan
tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi biodiesel melibatkan
transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara
alkohol yang mungkin, metanol disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al.
2004; Meher et al. 2004). Transesterifikasi merupakan suatu reaksi
kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan
metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu
Kandungan asam lemak Persentase
Asam miristat (14:0) 0 – 0.1
Asam palmitat (16:0) 14.1 – 15.3
Asam palmitoleat (16:1) 0 – 1.3
Asam stearat (18:0) 3.7 – 9.8
Asam oleat (18:1) 34.3 – 45.8
Asam linoleat (18:2) 29.0 – 44.2
Asam linolenat (18:3) 0 – 0.3
Asam arakhidat (20:0) 0 – 0.3
Asam behenat (22:0) 0 – 0.2
7
produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2 disajikan reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester
(biodiesel).
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung
kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah
kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, jenis katalis dan
konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan jenis
alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, intensitas pencampuran dan penggunaan
cosolvent organik. Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh: kualitas minyak
(feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain
yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan
(Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan,
air, gliserol bebas, gliserol terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen,
1996).
Reaksi transesterifikasi secara curah (batch) lebih sederhana dan dapat
mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80 - 94% dalam waktu 30–120
menit. Hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh rasio molar minyak dengan alkohol,
waktu reaksi, suhu, jenis katalis, konsentrasi katalis, karakteristik trigliserida dan
intensitas pencampuran. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan
untuk mengurangi ukuran reaktor dan waktu reaksi. Krisnangkura et al. (1992)
R1 C
O
OCH2
R2 C
O
OCH
R3 C
O
OCH2
+ 3 CH3OH
HOCH2
HOCH
HOCH2
3 R C
O
OCH3 +
Trigliserida Metanol Gliserin Metil ester
Katalis
Gambar 2 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
8
melaporkan sebanyak 96% metil ester minyak sawit telah terbentuk dalam 60
menit pada rasio metanol dan minyak sawit 13:1 (minyak sawit dicampur toluen
pada 1:1) sementara Noureddini et al. (1998) memperoleh hasil 98% dalam 1
menit sampai 1 jam.
2.3. Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)
Reaksi sulfonasi metil ester minyak jarak pada reaktor STFR
menghasilkan senyawa methyl ester sulfonic acids (MESA) yang berwarna gelap
dan bersifat asam. Senyawa tersebut merupakan produk antara dalam proses
produksi metil ester surfaktan (MES). MacArthur et al. (1997), menyatakan
bahwa absopsi SO3 oleh metil ester dalam falling film reactor akan menghasilkan
senyawa antara (II) dan (III). Reaksi dapat dilihat pada tahapan reaksi 1-3. Pada
reaksi (3) senyawa antara akan membentuk methyl ester sulfonic acid (MESA)
yang ditunjukkan oleh senyawa (IV).
Gambar 3 Mekanisme reaksi sulfonasi metil ester pada reaktor falling film
(Mac Arthur et al. 1997)
9
Keberhasilan reaksi pembentukan MESA pada reaktor STFR sistem
kontinyu sangat ditentukan oleh jumlah bahan metil ester dan gas SO3 yang
masuk ke dalam reaktor yang dihitung berdasarkan perbandingan mol. Menurut
Roberts et al. (2008), rasio mol SO3 dan metil ester harus lebih besar dari 1,2 agar
konversi metil ester menjadi MESA maupun MES tercapai secara sempurna.
Karakteristik MESA yang bersifat asam, tidak stabil menyebabkan
perlunya reaksi netralisasi sebelum diaplikasikan. Keasaman (pH) MESA pada
umumnya lebih kecil dari 1 dan cenderung mengalami degradasi selama
penyimpanan sampai dilakukan proses netralisasi. Menurut Gupta dan Wiese,
(1992) proses netralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH,
NH4OH, NaOH, atau alkanolamin.
2.4. Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)
Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas pada
permukaan yang tinggi. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam
disebabkan oleh struktur molekulnya yang tidak seimbang. Molekul surfaktan
dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas
bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan
bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci
air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation
atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon
(Gambar 4). Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki
fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997).
Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, yaitu sebagai bahan utama
pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier
pada industri kosmetik dan farmasi, industri cat, serta sanitasi pada industri
pangan (Hui, 1996e). Flider (2001) menyebutkan bahwa jutaan ton surfaktan
digunakan setiap tahunnya pada beragam aplikasi yang berbeda. Walaupun
pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan
(washing and cleaning applications), namun surfaktan banyak pula digunakan
untuk produk pangan, pertambangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta produk
kosmetika dan produk perawatan diri (personal care products).
10
Gambar 4 Visualisasi struktur molekul surfaktan (Gervasio, 1996)
Menurut Hui (1996e) dan Matheson (1996) surfaktan dapat
diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik,
dan amfoterik. Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur
kimia dan perilaku yang berbeda. Surfaktan anionik adalah bahan aktif
permukaan yang bagian hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion
negatif). Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus
kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus
anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh
khas surfaktan anionik adalah alkohol sulfat dan ester sulfonat.
Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan
anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau
bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat
(MES) adalah sebagai berikut (Watkins, 2001) :
R CH C
O
SO3Na
OCH3
Metil Ester Surfaktan sebagai golongan baru dalam kelompok surfaktan
anionik telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk
pencuci dan pembersih (washing and cleaning products) (Hui, 1996e; Matheson,
1996). Pemanfaatan surfaktan MES sebagai bahan aktif pada deterjen telah
Ekor (gugus non polar)
Kepala (gugus polar)
11
banyak dikembangkan karena prosedur produksinya mudah, memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensinya tinggi walaupun pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat,
mempunyai asam lemak C16 dan C18 yang mampu memberikan tingkat detergensi
yang terbaik, memiliki sifat toleransi terhadap ion Ca2+
yang lebih baik, memiliki
tingkat pembusaan yang lebih rendah dan memiliki stabilitas yang baik terhadap
pH serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Bahkan MES C16-
C18 memperlihatkan aktivitas permukaan yang baik, yaitu sekitar 90 persen
dibandingkan alkil benzen sulfonat linier (LABS) (de Groot, 1991; Hui, 1996b;
Matheson, 1996).
Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi
MES serupa dengan AS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS. Hal
tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang diindikasikan
akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins, 2001).
Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa
kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas
enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan
kandungan garam (disalt) lebih rendah.
2.5. Sulfonasi Metil Ester
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester
dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi
yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum
(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H.
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang
harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang
ditambahkan, jenis dan konsentrasi katalis, pH, waktu dan suhu netralisasi (Foster,
1996).
Reaksi sulfonasi molekul metil ester dari asam lemak dapat terjadi pada
tiga sisi, yaitu : 1) gugus karboksil, 2) bagiam α-atom karbon, 3) rantai tidak jenuh
12
(ikatan rangkap). Secara stokiomerti kemungkinan terjadinya reaksi sulfonasi
pada ketiga sisi molekul metil ester disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kemungkinan posisi pengikatan gugus sulfonat pada reaksi sulfonasi
pada metil ester (Jungermann, 1979).
Menurut Roberts et al. (2008), jika rasio mol SO3 dengan metil ester
secara signifikan lebih rendah dari 1,2, maka konversi ME menjadi MES secara
sempurna tidak dapat dicapai. Waktu aging yang diperlukan tergantung pada
suhu proses, rasio mol SO3 dengan metil ester, tingkat konversi yang diinginkan
dan karakteristik reaktor yang digunakan. Untuk reaktor sistem batch dengan
rasio mol 1,2 lama proses 45 menit untuk suhu 90 oC atau 3,5 menit untuk suhu
120oC mampu menghasilkan konversi 98%. Pada Gambar 4 disajikan mekanisme
reaksi sulfonasi metil ester.
Gambar 6 Mekanisme reaksi sulfonasi metil ester (Mac Arthur et al. 1998)
2.6. Single Tube Falling Film Reaktor (STFR)
Single tube falling film reactor (STFR) merupakan bentuk pilot plant dari
Multi tube falling film reactor (MTFR) yang ada di industri. Falling film reaktor
pada umumnya digunakan dalam suatu proses produksi yang membutuhkan
kontrol suhu pada batas-batas tertentu. Mekanisme kerja falling film reactor pada
proses sulfonasi metil ester dimulai dengan mengalirkan umpan ke dalam reaktor
membentuk lapisan tipis pada permukaan dalam reaktor. Selanjutnya reaktan
13
dalam bentuk gas melewati bagian dalam reaktor yang telah terlapisi cairan
umpan. Pengaturan suhu reaksi antara umpan dengan gas reaktan dapat dilakukan
dengan melakukan pemanasan umpan maupun pemanasan bagian luar reaktan
dengan uap/steam. Hal penting yang harus diperhatikan pengoperasian falling
film reactor adalah pengaturan suhu yang sesuai dengan karakteristik bahan dan
sifat reaktif reaktan. Jika permukaan tube terlalu panas, maka akan terjadi
overheating pada produk. Seiring dengan waktu, bahan yang mengalami
overheating tersebut akan menempel pada permukaan dinding reaktor membentuk
kerak, sehingga menghambat aliran bahan.
Menurut Stein dan Baumann (1975), lapisan metil ester bereaksi dengan
gas SO3 yang dimasukkan dari reaktor bagian atas. Pada reaktor dipasang saluran
pemisah antara fase gas dan cairan. Metil ester yang masuk ke dalam reaktor akan
membentuk lapisan tipis yang selanjutnya akan bereaksi dengan gas SO3 yang
masuk dari bagian atas. Pada awalnya aliran metil ester dan reaktan gas SO3
bersifat laminar yang ditunjukkan dengan gerak partikel-partikel fluidanya
bergerak mengikuti garis lurus, kecepatan fluidanya rendah, viskositasnya tinggi
dan lintasan gerak fluida teratur antara satu dengan yang lain.
Aliran fluida pada pipa pada umumnya diawali dengan aliran laminer
kemudian pada fase berikutnya aliran berubah menjadi aliran turbulen. Kecepatan
aliran turbulen relatif lebih besar akan menghasilkan aliran yang komplek,
sehingga tidak adanya keteraturan dalam lintasan fluidanya, aliran banyak
bercampur, kecepatan fluida tinggi, panjang skala aliran besar dan viskositasnya
rendah. Karakteristik aliran turbulen ditunjukkan oleh terbentuknya pusaran-
pusaran dalam aliran, yang menghasilkan percampuran terus menerus antara
partikel cairan di seluruh penampang aliran. Untuk membedakan aliran apakah
turbulen atau laminer, terdapat suatu angka tidak bersatuan yang disebut Angka
Reynold (Reynolds number).
Perubahan aliran laminar menjadi turbulen dalam proses sulfonasi metil
ester sulfonat akan menyebabkan kontak bahan dengan gas SO3 menjadi semakin
intensif, sehingga reaksi sulfonasi metil ester akan semakin sempurna. Mekanisme
aliran bahan dan gas SO3 dapat dilihat pada Gambar 7.
14
Gambar 7 Mekanisme aliran cairan dan gas pada falling film reactor
(www.surfactants.co.cc)
Dinding
pipa
Dinding
pipa
Aliran turbulen
Cairan gas
Aliran laminar
Cairan gas