bab 2 tinjauan pustaka - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2011-2-00700-tias bab...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teknik Pengukuran Kerja
Pengukuran kerja adalah metoda penetapan keseimbangan antara kegiatan
manusia yang dikontribusikan dengan unit output yang dihasilkan. Teknik
pengukuran kerja diperlukan untuk menghitung waktu baku (Standard Time)
penyelesaian pekerjaan dalam rangka memilih alternatif metoda kerja yang terbaik.
Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata - rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Waktu baku ini sangat diperlukan terutama sekali untuk :
1. Perencanaan kebutuhan tenaga kerja.
2. Menyeimbangkan lintasan produksi.
3. Estimasi biaya - biaya untuk upah karyawan/pekerja.
4. Penjadwalan produksi dan penganggaran.
5. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan /
pekerja yang berprestasi.
6. Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.
7
Pada dasarnya teknik pengukuran kerja dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian, yaitu :
1. Pengukuan kerja secara langsung.
2. Pengukuran kerja secara tidak langsung.
2.2 Pengukuran Waktu Kerja Jam Henti
Pengukuran waktu kerja jam henti (stop watch time study) diperkenalkan oleh
Frederick W. Taylor sekitar abad 19 yang lalu. Metoda baik diaplikasikan untuk
pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan berulang-ulang (repetitive). Dari
hasil pengukuran akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus
pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan sebagai standar penyelesaian
pekerjaan bagi semua pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti
itu. Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan
Waktu (2003, p171) secara garis besar, langkah-langkah untuk pelaksanaan
pengukuran waktu kerja dengan jam henti ini dapat diuraikan sebagai berikut:
o Definisi pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan
beritahukan maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang
dipilih untuk diamati dan supervisor yang ada.
o Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian
pekerjaan seperti lay out, karakteristik/ spesifikasi mesain atau
peralatan kerja lain yang digunakan dan lain-lain.
8
o Amati, ukur dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk
menyelesaikan elemen-elemen kerja tersebut.
o Tetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat. Teliti
apakah jumlah siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi
syarat atau tidak?, test pula keseragaman data yang diperoleh.
o Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance yang
ditunjukkan oleh operator tersebut sehingga akhirnya akan diperoleh
waktu kerja normal.
o Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan
fleksibilitas. Waktu longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi
kondisi-kondisi seperti kebutuhan personil yang bersifat pribadi,
faktor kelelahan, keterlambatan material, dan lain-lainnya.
o Tetapkan waktu kerja baku (standard time) yaitu jumlah total antara
waktu normal dan waktu longgar.
Berdasarkan langkah-langkah terlihat bahwa pengukuran kerja dengan jam
henti ini merupakan cara pengukuran yang obyektif karena disini waktu ditetapkan
berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak hanya sekedar diestimasi secara subyektif.
Dalam hal ini berlaku juga asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
o Metoda dan fasilitas untuk menyelesaikan pekerjaan harus sama dan
dibakukan terlebih dahulu sebelum kita mengaplikasikan waktu baku
ini untuk pekerjaan serupa.
9
o Operator harus memahami benar prosedur dan metoda pelaksanaan
kerja sebelum dilakukan pengukuran kerja. Operator-operator yang
akan dibebani dengan waktu baku ini diasumsikan memiliki tingkat
keterampilan dan kemampuan yang sama dan sesuai untuk pekerjaan
tersebut. Untuk ini persyaratan mutlak pada waktu memilih operator
yang akan dianalisis waktu kerjanya benar-benar memiliki tingkat
kemampuan yang rata-rata.
o Kondisi lingkungan fisik pekerjaan juga relatif tidak jauh berbeda
dengan kondisi fisik pada saat pengukuran kerja dilakukan.
o Performance kerja mampu dikendalikan pada tingkat yang sesuai
untuk seluruh periode kerja yang ada.
Peralatan yang dibutuhkan untuk aktivitas pengukuran kerja dengan jam henti
ini adalah antara lain jam henti (stop-watch), papan pengamatan, lembar pengamatan,
dan alat tulis serta penghitung (calculator).
Setelah semua pengukuran telah selesai dan data yang diinginkan telah ada,
maka langkah berikutnya adalah perhitungan waktu baku. Cara untuk mendapatkan
waktu baku dari data-data tersebut adalah :
a. Hitung Waktu Siklus
Waktu Siklus merupakan waktu yang diperlukan dalam membuat satu
produk.
b. Hitung Waktu Normal
Wn = Ws x p
10
Wn = Waktu Normal
Ws = Waktu Siklus
p = Faktor Penyesuaian
c. Hitung Waktu Baku
Setelah perhitungan diatas selesai, waktu baku bagi penyelesaian
pekerjaan didapatkan dengan :
Wb = Wn + 1
2.2.1 Penyesuaian
Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan
Waktu (2003, p196), penyesuaian adalah proses dimana penganalisis pengukuran
waktu membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam
pengamatan dengan konsep pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar.
Selama pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja
yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa
kesungguhan, sangat lambat karena disengaja, sangat cepat seolah dikejar waktu, atau
menjumpai kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Hal-hal inilah yang
mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu cepat atau lambat dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan.Waktu siklus yang telah kita cari adalah waktu yang
diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang diselesaikan secara wajar dan benar oleh
operator. Bila ketidakwajaran terjadi, maka pengukur harus menilainya dan
11
berdasarkan penilaian inilah penyesuaian dilakukan.
Westing house company (1927) memperkenalkan sistem penyesuaian yang
lebih lengkap dibandingkan dengan sistem yang telah ada, seperti sistem Bedaux.
Pada sistem Westinghouse, selain kecakapan (skill) dan usaha (effort) yang telah
dinyatakan oleh Bedaux sebagai faktor yang mempengaruhi performance manusia,
Westinghouse juga menambahkan dengan kondisi kerja (working condition) dan
keajegan (consistency) dari operator dalam melakukan kerja. Untuk ini Westinghouse
telah berhasil membuat suatu tabel penyesuaian yang berisikan nilai-nilai angka yang
berdasarkan tingkatan yang ada untuk masing-masing faktor tersebut. Untuk
menormalkan waktu yang diperoleh dari pengukuran kerja dengan jumlah ke empat
rating faktor yang dipilih sesuai dengan performance yang ditunjukkan oleh operator.
Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara
kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi hanya
sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat mana merupakan kemampuan maksimal
yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan. Secara psikologis keterampilan
merupakan aptitude untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Untuk usaha atau effort cara Westinghouse membagi juga atas kelas-kelas
dengan tabel masing-masing. Yang dimaksud usaha disini adalah kesungguhan
yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya.
Yang dimaksud dengan kondisi kerja atau condition pada cara Westinghouse
adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, temperatur, dan
kebisingan ruangan. Bila tiga faktor lainnya yaitu keterampilan, usaha, dan
12
konsistensi merupakan apa yang dicerminkan operator, maka kondisi kerja
merupakan sesuatu diluar operator yang diterima apa adanya oleh operator tanpa
banyak kemampuan merubahnya.
Faktor konsistensi atau consistency perlu diperhatikan karena kenyataan
bahwa pada setiap pengukuran waktu angka-angka yang dicatat tidak pernah
semuanya sama, waktu penyelesaiaan yang ditunjukkan pekerja selalu berubah-ubah
dari satu siklus ke siklus lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari. Selama
ini masih dalam batas-batas kewajaran masalah tidak timbul, tetapi jika
variabilitasnya tinggi maka hal tersebut harus diperhatikan.
2.2.2 Kelonggaran
Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam buku Ergonomi, Studi Gerak dan
Waktu (2003, p201), waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-
mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik bekerja menyelesaikan
pekerjaan pada kecepatan/ tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada
prakteknya kita akan melihat bahwa tidaklah mungkin operator tersebut akan
mampu bekerja secara terus-menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama
sekali. Kenyataan yang terjadi adalah operator akan sering menghentikan kerja dan
membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat
melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya. Kelonggaran yang
dibutuhkan yang akan menginterupsi proses produksi ini dapat diklasifikasikan
13
menjadi personal allowance, fatique allowance, dan delay allowance. Waktu baku
yang akan ditetapkan merupakan besar waktu normal dengan kelonggaran-kelonggaran
yang dibutuhkan.
1. Kelonggaran untuk Kebutuhan Pribadi (Personal Allowance)
Yang termasuk dalam kelonggaran pribadi adalah hal-hal seperti minum
sekedar hanya untuk menghilangkan rasa haus, untuk menghilangkan ketegangan
atau kejemuan dalam bekerja. Kebutuhan seperti ini adalah hal yang mutlak, bila
dilarang akan mengakibatkan pekerja stress dan tidak dapat bekerja dengan baik
sehingga produktivitas menurun. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang relatif ringan-
dimana operator bekerja selama 8 jam per hari tanpa jam istirahat yang resmi,
sekitar 2 sampai 5% (atau 10 sampai 24 menit) setiap jari akan dipergunakan
untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat personil ini.
Meskipun jumlah waktu longgar untuk kebutuhan personil yang diperlukan
ini akan bervariasi tergantung pada individu pekerjanya dibandingkan dengan
jenis pekerjaan yang dilaksanakan, akan tetapi kenyataannya untuk pekerjaan-
pekerjaan yang berat dan kondisi kerja yang tidak enak (terutama untuk
temperatur tinggi) akan menyebabkan kebutuhan waktu untuk personil ini lebih
besar lagi. Allowance untuk hal ini dapat lebih besar dari 5%.
2. Kelonggaran untuk Menghilangkan Rasa Fatique (Fatique Allowance)
Rasa fatique tercermin bila menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun
kualitas. Bila rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk
menghasilkan performance normalnya maka usaha yang dikeluarkan pekerja
14
lebih besar dari keadaan normal dan hal ini akan menambahkan rasa fatique.
Dalam hal ini waktu yang dibutuhkan untuk keperluan istirahat akan sangat
tergantung pada individu yang bersangkutan, interval waktu dari siklus kerja
dimana pekerja akan memikul beban kerja secara penuh, kondisi lingkungan fisik
pekerjaan, dan faktor-faktor lainnya.
3. Kelonggaran untuk Hambatan-Hambatan yang Tak Terhindarkan (Delay
Allowance) Yang termasuk dalam hambatan yang tak terhindarkan adalah menerima atau
meminta petunjuk pengawas, melakukan penyesuaian mesin, memperbaiki
kemacetan-kemacetan singkat, mengasah peralatan gerinda, dan lain-lain. Hal-hal
seperti ini hanya dapat diusahakan serendah mungkin.
Langkah pertama menentukan waktu longgar adalah menentukan besarnya
kelonggaran untuk ketiga hal di atas yaitu untuk kebutuhan pribadi,
menghilangkan rasa lelah dan hambatan yang tidak terhindarkan. Kesemuanya,
yang biasanya masing-masing dinyatakan dalam persentase dijumlahkan dan
kemudian mengalikan jumlah ini dengan waktu normal yang telah dihitung
sebelumnya.
2.3 Line Balancing
2.3.1 Definisi Line Balancing
Line Balancing adalah suatu keadaan proses operasi produksi yang saling
bergantungan dan mempunyai waktu penyelesaian pada setiap stastiun kerja yang
15
sama atau kira-kira sama, sehingga diharapkan penyelesaian proses produksi dari
stasiun kerja ke stasiun kerja lainnya berjalan dengan lancar dan dengan kecepatan
yang tetap atau seimbang. Keseimbangan lini produksi bermula dari lini produksi
massal, dimana dalam proses produksinya harus dibagikan kepada seluruh operator
sehingga beban kerja operator merata. Jadi dalam line balancing mempelajari
bagaimana kita merancang suatu lintasan produksi agar tercapai keseimbangan beban
yang dialokasikan pada setiap stasiun kerja dalam menghasilkan produk.
Istilah Line Balancing atau penyeimbangan lini atau dengan nama lain
assembly line balancing adalah suatu metode penugasan terhadap sejumlah pekerja
ke dalam stasiun-stasiun kerja yang saling berkaitan dalam suatu lini produksi
sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu stasiun yang besarnya tidak melebihi
waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Hubungan atau saling keterkaitan antara satu
pekerjaan dengan pekerjaan lainnya digambarkan dalam suatu precedence diagram
atau diagram pendahulu.
2.3.2 Bagian-bagian Line Balancing
1. Work Elemen
Merupakan bagian dari keseluruhan pekerjaan dalam proses perakitan.
Umumnya digunakan symbol N dalam mendefinisikan jumlah total dari
elemen kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu perakitan dan
simbol i untuk elemen kerjanya.
16
2. Workstation (WS)
Adalah lokasi pada lini perakitan atau pembuatan suatu produk dimana
pekerjaan diselesaikan baik dengan manual maupun otomatis.
3. Cycle Time (CT)
Cycle Time atau waktu siklus adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan
untuk menghasilkan sebuah unit pada tiap stasiun. Jika waktu yang
dibutuhkan untuk elemen-elemen kerja pada satu stasiun melampaui waktu
siklus lini, maka stasiun tersebut mengalami keterlambatan. Cycle Time
dinyatakan dalam :
4. Tack Time
Takt Time dapat didefinisikan sebagai waktu maksimum yang diijinkan
untuk memproduksi sebuah produk untuk memenuhi permintaan. Kecepatan
aliran produksi diharapkan untuk lebih cepat atau sama dengan takt time.
Dalam lingkungan lean manufacturing, waktu kecepatan diatur hingga
sejajar dengan takt time. Takt time dinyatakan dengan :
17
5. Station Time (ST)
Station Time atau waktu stasiun adalah jumlah waktu dari elemen-
elemen kerja yang ditunjukan pada stasiun kerja yang sama. Waktu
stasiun tidak boleh melampaui waktu siklus.
6. Waktu Mengaggur
Waktu Menganggur adalah selisih antara waktu stasiun dengan
waktu perstasiun kerja. Perbedaan antara waktu stasiun dengan waktu
siklus disebut juga dengan idle time (ID).
7. Precedence Constrains
Merupakan suatu aturan dimana suatu elemen kerja dapat dikerjakan
apabila satu atau beberapa elemen kerja telah dikerjakan terlebih dahulu.
8. Precedence Diagram
Merupakan suatu aturan kerja pada Precedence constrains yang
ituangkan dalam bentuk gambar.
9. Efisiensi Lini (Line Efficiency)
Adalah perbandingan dari total waktu perstasiun kerja terhadap
keterkaitan waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja, yang dinyatakan
dalam persentase.
18
Dimana :
STk = Total waktu baku di stasiun kerja ke-k
Wmaks = Waktu baku terbesar di stasiun kerja
10. Balance Delay
Merupakan perbandingan antara waktu menggangur dengan waktu
siklus dan jumlah stasiun kerja, atau dengan kata lain jumlah antara
balance delay dan line efficiency sama satu.
11. Smoothness Index
Merupakan suatu index yang menunjukkan kelancaran relative dari suatu
keseimbangan lini perakitan. Rumus perhitungan smoothness index adalah :
2.4 Metode Keseimbangan Lini Produksi
Dalam menyeimbangkan suatu lini produksi terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan, salah satunya adalah metode heuristic. Model heuristic ini
menggunakan aturan-aturan yang logis dalam memecahkan masalah. Inti dari
19
pendekatan secara heuristic ini adalah untuk mengaplikasikan kegiatan yang dapat
mengurangi bentuk permasalahan secara efektif, sehingga model ini dirancang untuk
menghasilkan strategi yang relative baik dengan dengan mengacu pada batasan-
batasan tertentu. Model heuristic ini banyak digunakan dalam masalah yang berkaitan
dengan keseimbangan lini produksi. Kriteria pokok pendekatan dengan metode ini
adalah pemecahan yang lebih baik dan lebih cepat.
Berikuti ini adalah beberapa metode heuristic yang umum dikenal dalam
menyelesaikan masalah keseimbangan lini, yaitu :
2.4.1 Metode Helgeson Bernie atau Rangked Positional Weight (RPW)
Pendekatan ini menggunakan cara penjumlahan waktu dari operasi-operasi
yang terkontrol dalam sebuah stasiun kerja dengan operasi tertentu yang disebut
sebagai bobot posisi. Pengurutan operasi yang menurun dilakukan menurut bobot
posisinya yang mengarah. Pada teknik perancangan dari teknik pengurutan bobot
posisi (ranked positional weight technique). Metode heuristic ini mengutamakan
waktu elemen kerja yang terpanjang, dimana elemen kerja ini akan diprioritaskan
terlebih dahulu untuk ditempatkan dalam stasiun kerja yang kemudian diikuti oleh
elemen kerja yang lain yang memiliki waktu elemen yang lebih rendah.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan yang perlu dlakukan dalam menyelesaikan
keseimbangan lini dengan metode ini :
1. Tentukan precedence diagram sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Tentukan positional weight (bobot posisi) untuk setiap elemen
20
pekerjaannya dari suatu operasi dengan memperhatikan precedence
diagram. Cara penentuan bobot posisinya adalah sebagai berikut:
Bobot (RPW) = Waktu Operasi Tersebut + Waktu Proses Operasi
Berikutnya
3. Urutkan elemen operasi berdsarkan bobot posisi yang telah didapatkan pada
langkah kedua. Pengurutannya dimulai dari elemen operasi yang memiliki
bobot posisi yang terbesar.
4. Lanjutkan dengan penempatan elemen pekerjaan yang memiliki bobot
posisi terbesar sampai yang terkecil kesetiap stasiun kerja.
5. Jika pada setiap stasiun kerja terdapat waktu yang berlebihan (dalam hal
ini waktu tiap stasiun kerja melebihi waktu maksimumnya), maka ganti
elemen kerja yang dalam stasiun kerja tersebut ke stasiun kerja berikutnya
selama tidak menyalahi diagram precedence.
6. Ulangi lagi langkah ke-4 dan ke-5 diatas sampai seluruh elemen
pekerjaan telah ditempatkan kedalam stasiun kerja.
2.4.2 Metode Region Approach
Pendekatan ini melibatkan pertukaran antara pekerjaan setelah dipeoleh
keseimbangan lintasan mula-mula. Dengan pendekatan ini kombinasi dari pekerjaan
yang sesuai untuk pertukaran akan menjadi dangat kaku dan tidak layak untuk
21
jaringan yang besar. Sebagai dasar pembobotannya adalah OPC yang ditransformasikan
menjadi precedence diagram dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tentukan precedence diagram sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Pembagian operasi kedalam precedence diagram dalam beberapa region atau
daerah dari kiri kekanan, dengan syarat dalam satu daerah tidak boleh ada
operasi yang saling bergantungan. Kumpulkan semua pekerjaan kewilayah
precedence yang terakhir. Hal ini akan menjamin bahwa pekerjaan dengan
sedikit ketergantungan akan paling sedikit dipertimbangkan untuk pekerjaan
yang paling akhir dalam penjadwalannya.
3. Pengurutan waktu pekerjaan dari yang paling maksimum ke yang paling
minimum kedalam setiap wilayah precedence. Ini akan menjamin pekerjaan
terbesar akan diprioritaskan terlebih dahulu, memberikan kesempatan untuk
memperoleh kombinasi yang paling baik dengan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih kecil.
Gambar 2.1 Pembagian Pos/Wilayah Pada Region Approach
I IV V VI VII III II
22
4. Pengelompokkan pekerjaan-pekerjaan dengan urutan sebagai berikut :
• Mula-mula wilayah paling kiri.
• Dalam sebuah wilayah, mula-mula dikerjakan pekerjaan yang
mempunyai waktu yang terbesar.
5. Pengelompokkan operasi kedalam stasiun kerja berdasarkan syarat yang tidak
melebihi waktu maksimum yang telah ditetapkan. Pada akhir setiap stasiun
kerja, harus diputuskan apakah penggunaan waktunya dapat diterima atau
tidak. Jika tidak, periksa semua pekerjaan yang memiliki hubungan
precedence. Tentukkanlah apakah penggunaan akan meningkat bila dilakukan
pertukaran pekerjaan yang berada dalam wilayah yang sama atau sebelumnya
dengan pekerjaan yang sedang dipertimbangkan. Bila ya, lakukan pertukaran.
6. Teruskan hingga semua elemen operasi ditempatkan pada semua stasiun
kerja.
2.4.3. Metode Largest Candidate Rule (LCR)
Metode Largest Candidate Rule merupakan metode yang paling sederhana.
Adapun prosedur metode tersebut secara jelas dapat dijelaskan sebgai berikut :
1. Tentukan precedence diagram sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
2. Urutkan semua elemen operasi dari yang paling besar waktunya hingga
23
yang paling kecil.
3. Elemen kerja pada stasiun kerja pertama diambil dari urutan yang paling
atas. Elemen kerja dapat diganti atau dipindahkan kestasiun berikutnya,
apabila jumlah elemen kerja telah melebihi batas waktu siklusnya.
4. Lanjutkan proses langkah kedua, hingga semua elemen kerja telah berada
dalam stasiun kerja dan memenuhi atau lebih kecil atau sama dengan
waktu siklus (cycle time).
2.4.4. Metode J-Wagon
Metode heuristic ini mengutamakan jumlah elemen kerja bergantung
yangterbanyak, dimana elemen kerja tersebut akan diprioritaskan terlebih dahulu
untuk ditempatkan dalam stasiun kerja dan diikuti oleh elemen kerja yang lainnya
yang memiliki jumlah elemen kerja bergantung yang lebih sedikit. Apabila terdapat
dua elemen kerja yang memiliki bobot yang sama, maka akan diprioritaskan terlebih
dahulu adalah elemen kerja yang memiliki waktu pengerjaan yang lebih besar.
Sedangkan prosedur selanjutnya sama dengan metode Ranked Positional Weight,
yang berbeda hanyalah dalam penentuan bobotnya (bukan waktu operasi), tetapi
berdasarkan jumlah operasi.
Bobot (J-Wagon) = Jumlah Proses Operasi - Operasi yang Bergantung
Pada Operasi Tersebut
24
2.4.5. Metode Reversed Ranked Positional Weight (Reversed RPW)
Sebelum masuk metode reversed ranked positional weight (Reverse RPW),
kita harus mengenal metode ranked positional weight (RPW) terlebih dahulu. Cara
penentuan bobot dari reversed RPW dimulai dari proses akhir.
Bobot (RPW) = Waktu Proses Operasi Tersebut + Waktu Proses
Operasi-Operasi Yang Mengikutinya
Pengelompokkan operasi kedalam stasiun kerja dilakukan atas dasar urutan
RPW (dari yang terbesar) dan juga memperhatikan pembatas berupa waktu siklus dan
elemen pendahulunya. Metode heuristic ini mengutamakan waktu elemen kerja yang
terpanjang, dimana elemen kerja ini akan diprioitaskan terlebih dahulu untuk
ditempatkan dalam stasiun kerja dan diikuti oleh elemen kerja yang memiliki waktu
elemen yang lebih rendah. Proses ini dilakukan dengan memberikan bobot. Bobot ini
diberikan pada setiap elemen kerja dengan memperhatikan diagram precedence.
Dengan sendirinya elemen pekerjaan yang memiliki ketergantungan yang
besar akan memiliki bobot yang semakin besar pula. Dengan kata lain, akan lebih
diprioritaskan (Bedworth, P364).
Metode reversed RPW memiliki cara pengerjaan yang hampir sama dengan
metode RPW, hanya saja pengerjaannya dibalik. Metode ini memberikan prioritas
25
bagi operasi-operasi kerja yang lebih lama berada dilintasan lini. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat cara pengerjaannya sebagai berikut :
1. Gambarkan jaringan precedence sesuai dengan keadaan sebenarnya,
kemudian diagram precedence dibalik atau dicerminkan dengan urutan
sebagai berikut :
a. Elemen kerja terakhir menjadi elemen kerja pertama pada diagram
baru.
b. elemen kerja terakhir kedua menjadi elemen kerja kedua pada
diagram baru.
c. dan seterusanya.
2. Tentukkan positional weight (bobot posisi) untuk setiap elemen pada diagram
precedence baru sesuai dengan aturan rumus yang telah dipaparkan diatas.
3. Urutkan elemen pekerjaan berdasarkan positional weight pada langkah kedua
diatas, elemen pekerjaan yang memiliki positional weight tertinggi diurutkan
pertama kali.
4. Lanjutkan penempatan elemen pekerjaan yang memiliki positional weigh
tertinggi hingga terendah kesetiap stasiun kerja.
5. Jika pada stasiun kerja terdapat kelebihan waktu dalam hal ini waktu stasiun
melebihi waktu siklus, tukar atau ganti elemen pekerjaan yang ada dalam
stasiun kerja tersebut ke stasiun kerja berikutnya selama tidak menyalahi
diagram precedence.
6. Ulangi langkah ke-4 dan ke-5 diatas sampai seluruh elemen pekerjaan sudah
26
ditempatkan kedalam stasiun kerja.
7. Setelah didapatkan pembagian stasiun kerja yang baru, kemudian stasiun kerja
pertama menjadi yang terakhir, stasiun kerja kedua menjadi kedua terakhir,
dan seterusnya. Elemen-elemen yang ada didalamnya juga dikembalikan
keposisi awal.
2.5. Kapasitas dan Produktivitas Produksi
2.5.1. Pengertian Kapasitas
Menejer operasi bertanggung jawab untuk memberikan kapasitas yang cukup
guna memenuhi kebutuhan perusahaan.
Kapasitas didefinisikan sebagai kemampuan produktif dari suatu fasilitas yang
biasanya dinyatakan sebagai volume keluaran (output) perperiode waktu atau
merupakan laju produktif maksimum atau kemampuan konversi dari suatu operasi
organisasi (Handoko, P299). Definisi lain menyebutkan bahwa kapasitas adalah
kemampuan pembatas dari unit produksi untuk berproduksi dalam waktu tertentu,
dan biasanya dinyatakan bentuk keluaran persatuan waktu atau kapasitas dapat
dikatakan merupakan laju keluaran maksimum dari suatu operasi.
Keputusan mengenai kapasitas dimaksud untuk menghasilkan jumlah
produksi yang tepat, ditempat yang tepat dan dalam waktu yang tepat pula.
Keputusan kapasitas harus diambil berdasarkan perkiraan permintaan dan
perencanaan yang matang, agar ketersediaan kapasitas jangka panjang ditentukan dari
ukuran fisik yang dipakai. Sedangkan untuk jangka pendek kapasitas dapat
27
Gambar 2.3. Proses Produksi Satu Tingkat (one stage) & Bertingkat (multiple
stage)
diperbanyak melalui subkontrak, tambahan giliran kerja (lembur) atau menyewa
tempat. Perencanaan kapasitas tidak hanya menyangkut besarnya fasilitas, tetapi juga
menyangkut berapa orang yang dibutuhkan dalam pengoperasiannya. Dengan kata
lain, menyesuaikan antara pemenuhan permintaan pasar dan keinginan untuk menjaga
kestabilan tenaga kerja. Secara garis besar kapasitas yang ada harus dialokasikan
dengan gugus-gugus tugas melalui penjadwalan tenaga kerja dan peralatan fasilitas.
2.5.2. Penetapan Kapasitas Yang Dibutuhkan
Kapasitas produksi ditentukan oleh kemampuan mesin atau kapasitas fasilitas
produksi terpasang (Wignjosoebroto, 1995, P322). Proses produksi dapat
diselenggarakan melalui satu tahapan proses (one stage) atau melalui beberapa
tahapan proses (multiple stage).
Dalam pengaturan sistem produksi yang baik adalah dengan menentukan
28
jumlah mesin atau peralatan produksi yang dibutuhkan secara tepat.
2.5.3 Pengertian Produktivitas
Peningkatan kinerja dalam suatu perusahaan dapat dicapai antara lain dengan
ukuran produktivitas. Produktivitas merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa
jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki
(input) terhadap hasil (output) yang akan diperoleh (Hidayati, 2005). Secara sederhana
produktivitas dapat dikatakan merupakan rasio dari apa yang dihasilkan (output)
terhadap keseluruhan faktor produksi yang digunakan (input). Nilai produktivitas
ideal memiliki nilai 100%, ini memiliki arti bahwa kuantitas output yang dihasilkan
persis sama dengan kuantitas input yang digunakan.