bab 2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · jintan hitam siap pakai (sumber:...
TRANSCRIPT
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa)
Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama blackseed (Nigella sativa)
merupakan tanaman asli Eropa Selatan dan banyak ditemukan di India,
Bangladesh, Mesir, Sudan, Turki, Irak, Iran, dan Pakistan (Goreja 2003).
Tanaman jintan hitam merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam
famili Ranunculaceae dan merupakan tanaman herbal berbunga berupa tanaman
semak semusim dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Budi daya perbanyakan
tanaman dilakukan dengan biji (Nergiz dan Ötles 1993; Adi 2008).
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Hutapea (1994), klasifikasi dari tanaman jintan hitam adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Ranunculales
Famili : Ranunculaceae
Genus : Nigella
Spesies : Nigella sativa
2.1.2 Morfologi
Menurut Hutapea (1994), jintan hitam merupakan tanaman dengan warna
batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar rapat
atau jarang, dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Tanaman ini
berdaun tunggal dan lonjong dengan panjang 1.5-2 cm serta ujung pangkalnya
meruncing, tepi berigi berwarna hijau, pertulangan menyirip dengan tiga tulang
daun yang berbulu. Kelopak bunganya kecil berjumlah lima, berbentuk bulat telur,
sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar.
5
Mahkota berjumlah 8 berwarna putih kekuningan dengan benang sari yang
banyak dan berwarna kuning. Biji tanaman ini berbentuk bulat, kecil, jorong
bersusut 3 tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm
seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman dan biji jintan hitam (Nigella sativa)
(sumber: World Scientific 2009; Yulianti dan Junaedi 2006).
2.1.3 Khasiat
Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat
tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et
al. 2009). Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994).
Sedangkan menurut Hargono (1985), biji jintan hitam berguna sebagai pelancar
ASI, pencegah muntah, pencahar, pengkelat (pengikat ion logam) dan pengobatan
pasca persalinan. Studi klinis terbaru menunjukkan bahwa ekstrak jintan hitam
memiliki efek terapi seperti bronkhodilatator, imunomodulator, antibakteri,
hepatoprotektif (Demir et al. 2006), dan antidiabetes (Al-Hader et al. 1993 ; El-
Shabrawy dan Nada 1996). Bentuk komersial ekstrak minyak siap pakai yang
digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ekstrak minyak jintan hitam siap pakai
(sumber: indonetwork.co.id).
6
Berbagai bentuk sediaan jintan hitam komersial lainnya yang dapat
ditemukan di pasaran antara lain ekstrak dalam bentuk bubuk atau ekstrak minyak
yang dikemas di dalam kapsul, dan dalam bentuk campuran dengan madu atau
minyak zaitun.
Jintan hitam memiliki banyak kegunaan menurut berbagai penelitian yang
telah dilakukan. Beberapa kegunaan jintan hitam antara lain untuk memperkuat
sistem kekebalan tubuh sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kanker,
AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan tingkat kekebalan
tubuh (El-Kadi et al. 1986). Jintan hitam juga dimanfaatkan sebagai bahan
antibakterial, karena minyak atsiri jintan hitam efektif melawan bakteri seperti
Vibrio cholera, Eschericia coli, dan Shigella sp. Jintan hitam juga baik
dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat radikal bebas dan
menghilangkannya (Astawan 2009).
Selain itu, jintan hitam tidak menimbulkan alergi karena memiliki aktivitas
antihistamin. Kristal nigellone merupakan agen penghambat histamin yang
bekerja menghambat proteinkinase C yang dikenal sebagai zat yang memacu
pelepasan histamin. Kristal nigellone juga menurunkan pengambilan kalsium dari
sel yang peka, sehingga dapat menghambat pelepasan histamin (Chakravarty
1993).
Ekstrak jintan hitam berguna untuk mengurangi efek radang sendi.
Turunan dari fixed oil jintan hitam yaitu thymoquinone merupakan agen
antiperadangan. Cara kerjanya adalah dengan menghambat pembentukan
eicosanoid (El-Dakhakhny et al. 2000). Thymoquinone yang terkandung dalam
ekstrak jintan hitam dapat menghambat jalur siklo-oksigenase dan lipo-oksigenase
dari metabolisme arakhidonat. Lipo-oksigenase dapat mengkatalisis pembentukan
leukotrienes dari asam arakhidonat yang berfungsi sebagai mediator dari alergi
dan peradangan. Siklo-oksigenase adalah enzim pertama dalam metabolisme
siklo-oksigenase yang dihasilkan dari asam arakhidonat yang akhirnya
menghasilkan prostaglandin dan trombosit. Prostaglandin juga merupakan
mediator peradangan. Selain itu, thymoquinone juga dapat menghambat
peroksidasi non-enzimatis. Dengan demikian mendukung fakta bahwa ekstrak
jintan hitam dapat melawan reumatik dan peradangan (Houghton et al. 1995).
7
Thymoquinone juga menunjukkan aktivitas antioksidan di dalam sel
(Mansour et al. 2002; Demir et al. 2006). Selain itu, kombinasi dari bagian lipid
dan struktur hormon dalam jintan hitam meningkatkan aliran air susu ibu
(Agarwal et al. 1979; Adi 2008).
2.1.4 Kandungan Kimia
Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak,
saponin, polifenol, nigelin (zat pahit), nigellone, dan thymoquinone (Suryo 2010).
Sedangkan menurut Al-Jabre et al. (2003), kandungan biji jintan hitam antara lain:
thymoquine, thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine,
nigellidine, nigellimine-N-oxide dan α-hedrin. Komposisi biji jintan hitam
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam
Komposisi Jumlah (mg/100g)
Air (moisture) 6.4 ± 0.15
Lemak 32.0 ± 0.54
Serat Kasar 6.6 ± 0.69
Protein 20.2 ± 0.82
Abu 4.0 ± 0.29
Karbohidrat 37.4 ± 0.87
Sumber: Nergiz dan Ötles 1993
Biji jintan hitam juga mengandung logam yang berjumlah sekitar 1510.8
mg/100g biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan logam dalam biji jintan hitam
Komposisi Jumlah (mg/100g)
Kalsium 188.0 ± 1.50
Besi 57.5 ± 0.50
Natrium 85.3 ± 16.07
Kalium 1180.0 ± 10.00
Sumber: Nergiz dan Ötles 1993
Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang
cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam
tersaji pada Tabel 3.
8
Tabel 3 Komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam
Asam lemak Jumlah (mg/100g)
Miristat (C14:0) 1.2 ± 0.04
Palmitat (C16:0) 11.4 ± 1.00
Stearat (C18:0) 2.9 ± 0.24
Oleat (C18:1) 21.9 ± 1.00
Linoleat (C18:2) 60.8 ± 2.67
Arakhidat (C20:0) Sedikit
Eicosadienoat 1.7 ± 0.11
Sterol Jumlah (mg/100g)
Campesterol 11.9 ± 0.99
Stigmasterol 18.6 ± 1.52
β-sitosterol 69.4 ± 2.78
Sumber: Nergiz dan Ötles 1993
Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan
adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai
obat dan zat pembentuk rasa. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji
jintan hitam tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan tokoferol dan polifenol minyak biji jintan hitam
Komposisi Jumlah (mg/100g)
Total tokoferol 340 ± 8.66
Alfa-tokoferol 40 ± 10.00
Beta-tokoferol 50 ± 15.00
Gamma-tokoferol 250 ± 13.00
Total polifenol 1 744 ± 10.60
Sumber: Nergiz dan Ötles 1993
Biji jintan hitam dapat direkomendasikan sebagai makanan tambahan yang
cukup bergizi. Kandungan vitamin dari biji jintan hitam tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi vitamin biji jintan hitam
Vitamin (mg/100g)
B1 (Thiamin) 831 ± 11.36
B2 (Riboflavin) 63 ± 3.32
B6 (Pyridoxin) 789 ± 8.89
PP (Niasin) 6 311 ± 16.52
Asam Folat 42 ± 4.58
Sumber: Nergiz dan Ötles 1993
Jintan hitam mengandung 8 jenis dari 10 asam amino esensial dan 7 jenis
dari 10 asam amino non-esensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam tersaji
pada Tabel 6.
9
Tabel 6 Komposisi asam amino biji jintan hitam
Asam amino (mg/100g) Asam amino (mg/100g)
Alanin 3.77 Serin 1.98
Valin 3.06 Asam aspartat 5.02
Glisin 4.17 Metionin 6.16
Isoleusin 4.03 Fenilalanin 7.93
Leusin 10.88 Asam glutamat 13.21
Prolin 5.34 Tirosin 6.08
Treonin 1.23 Lisin 7.62
Arginin 19.52
Sumber: Babayan et al. 1978
Jintan hitam sudah digunakan sejak jaman dahulu selain karena bijinya
memiliki aroma khas yang sering digunakan sebagai bumbu untuk penyedap
masakan (Nugroho 2006), berbagai khasiatnya juga telah dirasakan. Menurut
Goreja (2003), seorang ilmuwan terdahulu sekaligus dokter dari Persia yaitu Ibn
Sina menggunakan biji jintan hitam sebagai obat untuk mengatasi demam, sakit
gigi, sakit kepala, pilek, luka atau iritasi luar, obat antijamur dan obat cacing,
terutama pada anak. Penggunaan ramuan jintan hitam menyebar dengan cepat di
kalangan masyarakat Muslim dan telah menjadi kebutuhan pokok dalam
kehidupan sehari-hari sebagai rempah kaya nutrisi untuk menjaga kesehatan.
Menurut berbagai penelitian terdahulu, kandungan jintan hitam terbukti
mampu memperkuat dan menstabilkan sistem imunitas tubuh (Schleicher dan
Saleh 2000) dengan meningkatkan rasio antara sel-T helper dan sel-T supressor
sebesar 55% dengan rata-rata pencapaian aktivitas sel pembunuh alami sebesar
30% (Haq et al. 1999). Jintan hitam mampu menstimulasi sumsum tulang dan sel
imun, melindungi sel normal dari perusakan sel oleh virus, menghancurkan sel
tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi oleh sel-B (Astawan
2009).
2.2 Madu
Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh
manusia sebelum mengenal gula karena bisa langsung dikonsumsi tanpa diolah
(Suranto 2004). Sedangkan menurut Al-Qassemi dan Robinson (2003), madu
adalah salah satu makanan pemanis tertua yang paling populer, dan selama
berabad-abad selalu mempertahankan citra yang alami. Madu merupakan zat
10
kental manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai jenis tanaman yang
berbeda (Pohl dan Sergiel 2009).
Madu umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah, seperti kristal cair
atau disisir dan digunakan sebagai obat, dimakan sebagai makanan atau
dimasukkan sebagai bahan dalam resep berbagai makanan. Madu digunakan
sebagai suplemen makanan, pengobatan medis dan makanan alami, tanpa
menambahkan zat apapun. Madu juga dianggap sebagai indikator pencemaran
lingkungan yaitu dengan keberadaan logam dalam kadar tertentu yang tidak
seharusnya ditemukan pada madu (Bağci et al. 2007).
Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan
daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Selain itu, di dalam madu terdapat
zat asetilkolin yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar
peredaran darah dan menurunkan tekanan darah. Madu mengandung zat
antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka bakar dan infeksi. Salah satu sifat
madu adalah preservatif atau bersifat mengawetkan. Madu murni memiliki
osmolaritas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup, sehingga madu sering
digunakan sebagai bahan pengawet dan dapat disimpan baik selama ratusan tahun
(Suranto 2004).
Komposisi kimia dari lebah madu tergantung pada aktivitas biologi
tanaman yang dikumpulkan serta kondisi makro dan mikroklimat. Banyak
senyawa dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan. Salah satunya adalah
asam L-askorbat. Asam L-askorbat adalah antioksidan fase cair paling efektif
dalam plasma darah yang berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk
perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres
oksidatif (Kesić et al. 2009).
Fruktosa, glukosa, dan sukrosa adalah komponen utama madu, selain zat-
zat gula lainnya dalam konsentrasi yang lebih sedikit. Terdapat juga zat lain dalam
jumlah sedikit yaitu asam amino, resin, protein, garam, mineral, asam organik,
lakton, asam amino, mineral, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C,
vitamin K, niasin, asam pantotenat, asam folat, dan pigmen. Madu mengandung
banyak mineral seperti kalsium, besi, seng, kalium, fosfor, magnesium, selenium,
kromium mangaan, natrium, kalium, dan alumunium (Suranto 2004; Mohammed
11
dan Babiker 2009). Kandungan mineral magnesium dalam madu ternyata sama
dengan kandungan magnesium yang ada dalam serum darah manusia. Selain itu,
kandungan mineral besi dalam madu dapat meningkatkan kadar hemoglobin,
sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase,
glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase (Suranto 2004). Madu biasanya
dikonsumsi dengan cara dicampur dengan minyak jintan hitam dan minyak zaitun.
Dalam sediaan komersial juga banyak dijumpai beberapa sediaan madu siap
konsumsi. Sediaan madu yang dapat dijumpai antara lain sediaan madu murni,
campuran madu dengan minyak zaitun atau campuran madu dengan ekstrak
minyak jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3.
Gambar 3 Campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu komersial
(sumber: dutaherbal.indonetwok.co.id).
2.3 Mencit (Mus musculus)
Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan.
Hewan ini paling kecil diantara jenisnya yang memiliki galur mencit yang
berwarna putih (Malole dan Pramono 1989). Mencit putih memiliki bulu pendek
halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang
daripada badan dan kepala. Taksonomi mencit menurut Besselen (2004):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodensia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
12
Gambar 4 Mencit (Mus musculus) (sumber: Rothbart 2004).
Sampai saat ini, mencit sering digunakan sebagai hewan model untuk
penelitian dasar pada obat, toksikologi, medikasi, kultur jaringan dan organ,
mikologi, uji sensitifitas kulit, imunologi, ophtalmologi, onkologi, dan biologi
reproduksi (Hafez 1970). Selain itu, mencit merupakan salah satu hewan pengerat
yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran
banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, serta sifat-sifat produksi dan reproduksinya
menyerupai hewan mamalia (Nafiu 1996), dapat berkembang biak dengan cepat,
pemeliharaan yang relatif mudah walaupun dalam jumlah banyak, ekonomis dan
efisiensi dalam hal tempat dan biaya (Malole dan Pramono 1989). Oleh karena itu,
mencit banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian medis, biomedis, dan
obat-obatan herbal karena memiliki arti penting pada penelitian berbasis genetik.
Tabel 7 Data biologis mencit normal
Data Biologis Waktu/Jumlah
Berat dewasa
a. Jantan 20-40 g
b. Betina 18-35 g
Konsumsi air 6.7 ml/dewasa/hari
Konsumsi pakan
Total leukosit
5 g/dewasa/hari
5-12 × 103/mm
3
a. Neutrofil
b. Limfosit
7-37%
63-75%
c. Monosit 0-3%
d. Eosinofil 0-4%
e. Basofil 0-1.5%
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988
2.4 Darah
Darah merupakan jaringan khusus yang bersirkulasi, terdiri dari sel-sel
yang terendam dalam plasma darah (Dellmann dan Brown 1989). Beberapa fungsi
darah di dalam sirkulasi diantaranya: (1) membawa gas-gas dan oksigen (O2) dari
paru-paru ke dalam jaringan dan membawa (CO2) dari jaringan ke paru-paru. (2)
13
membawa produk-produk metabolit atau nutrien oleh saluran pencernaan menuju
ke jaringan tubuh. (3) membawa produk-produk metabolit dari jaringan perifer ke
tempat-tempat ekskresi. (4) membawa enzim dan hormon ke dalam jaringan target
spesifik. (5) mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh.
(6) mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan saat perlukaan dengan
proses pembekuan darah. (7) mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan
terhadap penyakit (Frandson 1992).
Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi
oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui
atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan. Menurut Jain (2003), jika
tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis, maka gambaran darah juga akan
mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan karena faktor
internal seperti pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus stres,
proses produksi darah, kebuntingan, dan suhu tubuh. Perubahan eksternal antara
lain infeksi kuman penyakit, fraktura, dan perubahan lingkungan.
Komponen darah terdiri dari 60% bagian cair (plasma darah) dan 40%
bagian padat (butir darah). Bila darah disentrifuse terdiri dari tiga lapisan yaitu,
54% plasma darah pada lapisan pertama terdiri dari 91% air, 7% protein darah,
dan 2% nutrisi, hormon serta elektrolit, lapisan kedua adalah buffy coat dengan
persentase 1% yang terdiri dari leukosit dan trombosit, serta 45% eritrosit pada
lapisan ketiga (Guyton dan Hall 2005).
Gambar 5 Buffy coat (sumber: Hall et al. 2009).
Platelet-poor plasma
Buffy coat
(platelet and white blood cells
Red blood cells
Buffy coat
(platelet and white blood cells)
Red blood cells
14
2.4.1 Sumsum Tulang
Sumsum tulang merupakan tempat dihasilkannya sel darah. Pada sumsum
tulang terdapat sel yang disebut stem cell hemopoietic pluripotent (SHSC) yang
akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2005). Proses
berlangsungnya pembentukan darah disebut hemopoiesis (Manoharan dan
Sethuraman 2003). Pada saat janin, hemopoiesis terjadi di kantung kuning telur,
hati, limpa dan sumsum tulang (pada semua tulang). Sedangkan pada saat dewasa,
hemopoiesis terjadi di tulang vertebrata, tulang iga, sternum, tulang tengkorak,
tulang sacrum dan pelvis, serta ujung proksimal femur (Fawcett 2002).
Sel darah diproduksi dengan tahap perkembangan yang berbeda-beda
secara morfologi maupun fungsinya. Pembentukan sel darah tergantung adanya
SHSC dalam sumsum. Sel induk ini berjumlah kurang dari 0.2% dari populasi
total sel berinti dalam sumsum. Kebanyakan dari mereka dalam keadaan tidak
aktif dan hanya membelah setelah interval tertentu atau terhadap permintaan luar
biasa akan sel darah baru. Sel induk yang beredar dapat mengalami pembelahan
atau pembaharuan diri untuk mempertahankan jumlah sel pluripoten atau
mengalami pembelahan diferensiasi yang menghasilkan sel progenitor. Sel
progenitor tidak atau sedikit sekali memiliki kemampuan memperbarui diri dan
harus berkembang menjadi satu jenis sel darah. Sel induk dan sel progenitor jalur
spesifik yang berasal darinya secara morfologis dan sitokimia tidak dapat
dibedakan. Dalam perkembangannya, turunan sel progenitor berbagai jalur sel
berlanjut melalui sederet tahap intermediet yang secara morfologis dapat
dibedakan berdasarkan ukuran, konfigurasi inti, dan ada atau tidaknya granul
spesifik dalam sitoplasma (Weiss dan Wardrobe 2010).
2.4.2 Hemopoiesis
Menurut Fawcett (2002), potensi perkembangan masing-masing sel
pembentuk koloni dapat lebih jelas dengan identifikasi mikroskopik sel darah
dewasa. Jika semua jalur sel darah tercakup, maka sel asal adalah sebuah sel induk
hemopoietik pluripoten (PHSC). Jika granulosit dan monosit yang diperoleh,
progenitor bipotennya disebut unit pembentuk koloni monosit (CFU-GM). Jika
hanya granulosit yang ditemukan, koloni tersebut berasal dari unit pembentuk
15
koloni granulosit (CFU-G), dan jika hanya monosit yang ada, sel asalnya adalah
unit pembentuk koloni monosit (CFU-M). Sel progenitor unipoten yang hanya
menghasilkan satu dari jenis sel lain yaitu yaitu eritrosit (CFU-E), eosinofil (CFU-
Eo), megakariosit (CFU-Meg), dan seterusnya seperti terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Skema proses hemopoiesis (sumber: Morrel 2011).
2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel darah putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani, yaitu leukos yang
berarti putih dan cytes yang berarti sel. Menurut Guyton dan Hall (2005), sel
darah putih (leukosit) merupakan unit yang aktif dari sistem pertahan tubuh.
Fungsi utama dari leukosit adalah merusak bahan-bahan infeksius dan toksik
melalui proses fagositosis (dilakukan oleh makrofag dan neutrofil) serta
membentuk antibodi. Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi
dengan fungsi yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan dan dapat keluar
dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya (Dellmann
dan Brown 1989).
Sel darah putih dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit
disimpan di dalam sumsum tulang sampai mereka diperlukan di dalam sirkulasi
dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfe (Guyton dan Hall 2005). Menurut
16
Jain (1993), leukopenia atau penurunan jumlah leukosit di dalam sirkulasi,
umumnya disebabkan karena neutropenia atau limfopenia. Leukositosis
merupakan keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10.000/µl.
Leukositosis merupakan suatu reaksi terhadap adanya cidera. Leukositosis ini
disebabkan produksi sumsum tulang yang meningkat, sehingga jumlahnya dalam
darah cukup untuk menyelenggarakan emigrasi pada waktu ada jaringan cidera
atau radang (Guyton dan Hall 2005). Leukosit terbagi atas dua golongan besar
berdasarkan ada tidaknya granula.
Leukosit Agranulosit
2.4.3.1 Limfosit
Limfosit termasuk dalam leukosit agranular karena di dalam
sitoplasmanya tidak terdapat granula. Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu limfosit besar (large lymphocyte) dan limfosit kecil
(small lymphocyte). Pada fetus, limfosit dibentuk di sumsum tulang dan
dipengaruhi oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar timus untuk limfosit-T
maupun bursa equivalen oleh limfosit-B dan kemudian akan berdiferensiasi,
sehingga dapat menghasilkan antibodi pada anak-anak (Ganong 2005). Pada akhir
masa fetal dan post natal, kebanyakan limfosit diproduksi di limpa, limfonodus
dan usus yang berhubungan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ
sekunder bergantung pada stimulasi antigenik.
Limfosit sebagian besar disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid
kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah. Limfosit
tersebar dalam limfonodus namun dapat juga dijumpai dalam jaringan limfoid
khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus gastrointestinal, dan sumsum
tulang. Masa hidup limfosit berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-
tahun, hal ini dikarenakan ketergantungan tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton dan
Hall 2005). Secara umum limfosit berupa sel bulat kecil berdiameter 7-12 µm,
dengan nukleus berlekuk yang terpulas gelap dan sedikit sitoplasma biru terang
(Fawcett 2002).
17
Gambar 7 Limfosit (sumber: Sobotta 1993).
Menurut Tizard (1987) fungsi utama limfosit adalah memproduksi
antibodi atau sebagian sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang dibawa
oleh makrofag, menghasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration
inhibitor factor (MIF) yang mencegah perpindahan makrofag. Menurut Dellmann
dan Brown (1989) zat lain yang juga dihasilkan dari limfosit yang terstimulasi
adalah faktor kemotaktik untuk makrofag, lymphocyte transforming factor dan
faktor penyebab peradangan. Jumlah limfosit dalam darah dipengaruhi oleh
jumlah produksi, resirkulasi dan proses penghancuran limfosit. Setelah limfosit
hancur atau dihancurkan, kemudian akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke
hati (Jain 1993; Tizard 1987).
2.4.3.2 Monosit
Monosit adalah leukosit terbesar berdiameter 15-20 µm. Sitoplasmanya
lebih banyak daripada sitoplasma sel limfosit. Nukleus seperti ginjal atau mirip
tapal kuda. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai
bermigrasi ke dalam jaringan menjadi makrofag tetap pada sinusoid hati, sumsum
tulang, alveoli paru-paru dan jaringan limfoid (Dellmann dan Brown 1989).
Gambar 8 Monosit (sumber: Sobotta 1993).
Monosit berperan sebagai prekursor untuk makrofag dimana sel ini akan
mencerna dan membaca antigen. Monosit juga berfungsi melindungi tubuh
18
terhadap organisme penyerang terutama dengan fagositosis (Guyton dan Hall
2005). Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung dari bahan yang difagosit
(Tizard 1987).
Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam. Begitu masuk
ke dalam jaringan sel-sel ini membengkak dengan ukuran yang sangat besar untuk
membentuk makrofag jaringan, dan dalam bentuk ini sel-sel tersebut dapat
bertahan hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kecuali bila mereka
dimusnahkan karena melakukan fungsi fagositik (Guyton dan Hall 2005).
Leukosit Granulosit
2.4.3.3 Neutrofil
Neutrofil merupakan sel leukosit dengan mobilitas tinggi sehingga
menjadi sel pertama yang sampai ke jaringan penghasil substansi kimia yang
bersifat kemotaksis. Substansi kimia tersebut mampu merangsang neutrofil keluar
dari pembuluh darah melalui proses diapedesis atau gerakan amuboid (Ganong
2005). Menurut Dellmann dan Brown (1989) sel neutrofil dewasa berukuran 10-
12 µm. Inti bergelambir 2-5, sitoplasma bergranul eosinofilik dan basofilik.
Setelah 6-10 jam di dalam darah, memasuki jaringan dan tahan 1-2 hari. Waktu
paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat
mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah diperlukan pembentukan
lebih dari 100 milyar sel neutrofil per hari.
Gambar 9 Neutrofil (sumber: Sobotta 1993).
Secara klinis apabila jumlah neutrofil muda meningkat dalam sirkulasi
disebut left shift. Kondisi ini ditemukan pada saat infeksi akut. Sedangkan apabila
jumlah neutrofil abnormal dengan hipersegmentasi disebut right shift yang
ditemukan pada infeksi kronis atau stres (Dellmann dan Brown 1989). Menurut
19
Tizard (1987), fungsi utama neutrofil adalah penghancur bahan asing melalui
proses fagositosis yaitu menghancurkan benda asing dengan segera. Oleh karena
itu, neutrofil disebut sebagai lini pertahanan pertama. Bersama dengan makrofag,
neutrofil dalam sirkulasi darah meningkat cepat saat terjadi infeksi yang akut.
2.4.3.4 Eosinofil
Eosinofil termasuk leukosit granulosit yang berukuran hampir sama dengan
neutrofil. Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar 2-8% dari total jumlah
leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam
aliran darah (Tizard 1987). Diameter eosinofil 10-15 µm dengan granula berwarna
merah di dalam sitoplasmanya sehingga dapat dikenal dengan nama asidofil.
Jangka waktu hidup sel ini 3-5 hari.
Gambar 10 Eosinofil (sumber: Sobotta 1993).
Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat di dalam sirkulasi. Eosinofil
melepaskan protein, sitokinin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi
peradangan tetapi mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh.
Jumlah eosinofil yang beredar dalam sirkulasi darah akan meningkat pada
penyakit alergi (Ganong 2005). Eosinofil berperan sebagai sel fagosit tetapi bukan
terhadap bakteri atau runtuhan-runtuhan sel, melainkan terhadap komponen asing
yang telah bereaksi dengan antibodi pada penderita infeksi parasit (Guyton dan
Hall 2005). Eosinofil ditarik ke lokasi terjadinya reaksi antigen-antibodi kemudian
memakan kompleks antigen-antibodi tersebut (Swenson 1984). Sedangkan
menurut (Tizard 1987), enzim yang ada dalam eosinofil efektif menghancurkan
larva cacing dan mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast
dan basofil oleh karena itu sel ini juga berfungsi mengendalikan atau mengurangi
reaksi hipersensitivitas.
20
2.4.3.5 Basofil
Basofil merupakan sel myeloid yang jumlahnya paling sedikit di dalam
darah. Jumlah basofil berkisar 0-1.5% dari total leukosit. Basofil berdiameter 10-
12 µm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur. Butirnya berukuran 0.5-1.5
µm berwarna biru tua sampai ungu sering menutupi inti yang berwarna agak
cerah. Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuron,
kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik (Dellmann dan Brown
1989). Antikoagulan heparin yang ada dalam basofil akan dilepaskan di daerah
peradangan untuk mencegah timbulnya pembekuan serta stasis darah dan limpa
(Frandson 1992).
Gambar 11 Basofil (sumber: Sobotta 1993).
Pembentukan basofil terjadi dalam sumsum tulang bersamaan dengan
pembentukan neutrofil. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktivitas
pendarahan dan alergi, memiliki reseptor imunoglobulin E (IgE) dan
imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi dan membangkitkan
reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif (Dellmann dan Brown
1989). Adanya rangsangan alergen yang bereaksi dengan IgE maka basofil akan
melepaskan berbagai mediator dan mengakibatkan reaksi anafilaktik. Masa hidup
basofil beberapa hari sedangkan sel mast bisa berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan (Jain 1993).