bab 2 tinjauan pustaka - library.binus.ac.id ti bab 2.pdf · 9 secara garis besar dalam pandangan...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kualitas
Profitabilitas adalah salah satu faktor utama dalam upaya pencapaian
sukses bisnis dalam suatu korporasi. Kesuksesan penjualan adalah langkah awal
yang banyak ditentukan dari derajat kualitas suatu produk atau jasa yang
ditawarkan. Peningkatan kualitas dan upaya penekanan biaya produksi
operasional adalah masalah penting di keseluruhan proses industrialisasi, baik
di industri manufaktur maupun jasa pelayanan. Di bawah ini beberapa
pengertian kualitas menurut beberapa sumber:
Kualitas merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
karakteristik, derajat, atau nilai-nilai dari suatu keunggulan (American
Heritage Dictionary, 1996).
Kualitas adalah totalitas karakteristik dari berbagai entitas yang
memberikan segenap kemampuannya pada nilai-nilai kebutuhan serta
nilai-nilai kepuasan (ISO 8402).
Kualitas adalah mengerjakan dengan cara yang benar dan setiap saat
berpikir dengan cara yang benar (Motorola, DFSS, 2003).
9
Secara garis besar dalam pandangan teknis, konsep kualitas menurut
The American Society for Quality (ASQ) terbagi menjadi dua prinsip, yaitu:
1. Karakteristik produk maupun jasa pelayanan dilihat dari seberapa besar
kemampuan produk maupun jasa pelayanan itu memberikan nilai pada
kebutuhan, harapan, dan kepuasan konsumen.
2. Suatu produk atau jasa pelayanan yang bebas dari nilai-nilai defisiensi.
Dengan pandangan tersebut, ASQ mendefinisikan kualitas berdasarkan
pada seberapa besar sebuah produk atau jasa pelayanan memiliki kemampuan
dalam memuaskan konsumen seiring dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
serta harapan-harapan konsumen. Lalu yang dimaksud dengan bebas defisiensi
adalah pemberian pelayanan total kepada konsumen secara konsisten yang
dimulai dari pra penjualan hingga pasca penjualan.
Kualitas dapat didefinisikan dalam berbagai macam definisi. Berikut ini
adalah definisi kualitas yang dikemukakan oleh para ahli (Suardi, 2003, p. 2-3):
Philip B. Crosby
Crosby berpendapat bahwa mutu/kualitas berarti kesesuaian
terhadap persyaratan, seperti jam tahan air, sepatu tahan lama, atau
dokter yang ahli. Crosby juga mengemukakan pentingnya melibatkan
setiap orang pada proses dalam organisasi. Pendekatan Crosby
merupakan proses top down.
10
W. Edwards Deming
Deming berpendapat bahwa kualitas berarti pemecahan masalah
untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus, seperti penerapan
kaizen di Toyota dan gugus kendali mutu pada Telkom.
Joseph M. Juran
Juran berpendapat bahwa kualitas berarti kesesuaian dengan
penggunaan, seperti sepatu yang dirancang untuk olahraga atau sepatu
kulit yang dirancang untuk ke kantor atau ke pesta. Pendekatan Juran
merupakan orientasi pada upaya pemenuhan harapan pelanggan.
K. Ishikawa
Ishikawa berpendapat bahwa kualitas berarti kepuasan
pelanggan. Dengan demikian, setiap bagian proses dalam organisasi
memiliki pelanggan. Kepuasan pelanggan internal akan menyebabkan
kepuasan pelanggan organisasi.
2.2 Six Sigma
2.2.1 Sejarah Six Sigma
Sejak tahun 1920an, kata 'sigma' telah dipergunakan oleh para
matematikawan dan insinyur sebagai suatu simbol untuk suatu unit pengukuran
dalam variasi kualitas produk. (Catatan sigma dituliskan dalam huruf kecil „s‟
karena dipergunakan dalam konteks unit pengukuran secara umum).
11
Pada pertengahan 1980an, para insinyur di Motorola Inc, USA
menggunakan 'Six Sigma' sebagai suatu nama informal untuk inisiatif dalam
perusahaan untuk mengurangi kesalahan dalam proses produksi, karena itu
mencerminkan kualitas tingkat tinggi yang sesuai. (Catatan, penggunaan kata
Sigma disini dituliskan dengan huruf besar 'S' karena dalam konteks ini Six
Sigma adalah nama „merk‟ untuk inisiatif Motorola.)
Beberapa orang insinyur – ada beberapa pendapat apakah yang pertama
Bill Smith atau Mikel Harry – merasa bahwa mengukur kesalahan dalam satuan
ribuan adalah standar yang tidak mencukupi. Oleh karena itu mereka
meningkatkan skala pengukuran menjadi dalam per sejutaan, disebut sebagai
kesalahan dalam satu juta kesempatan (defect per million) yang akhirnya
mendorong penggunaan terminologi 'Six Sigma' yang diadopsi dari merk 'Six
Sigma', dimana Six Sigma dikenal dan dianggap sama dengan 3.4 kesalahan
dalam satu juta kesempatan – 3.4 DPMO (defect per million opportunity).
Pada penghujung 1980an, melanjutkan keberhasilan dari inisiatif di atas,
Motorola memperluas penggunaan metode Six Sigma ke proses bisnis yang
penting dan secara nyata Six Sigma menjadi „merk‟ formal internal untuk
metodologi perbaikan proses dalam meningkatkan hasil, yaitu, melampaui
pengertian awal yang hanya 'mengurangi kesalahan‟.
12
Pada tahun 1991 Motorola mensertifikasikan 'Black Belt' ahli Six Sigma
yang pertama, yang mengindikasikan permulaan dari formalisasi atas training
sertifikasi untuk metode Six Sigma.
Pada tahun 1991 juga, Allied Signal, (sebuah perusahaan besar untuk
avionics yang merger dengan Honeywell pada tahun 1999), mengadopsi
metode Six Sigma, dan mengklaim perbaikan dan pengurangan biaya yang
besar dan nyata dalam 6 bulan penerapannya. Sepertinya CEO baru Allied
Signal Lawrence Bossidy mempelajari apa yang telah dilakukan Motorola
dengan Six Sigma dan juga melakukan pendekatan kepada CEO Motorola Bob
Galvin untuk mempelajari bagaimana Six Sigma dapat diterapkan di Allied
Signal.
Pada tahun 1995, CEO General Electric Jack Welch (Welch mengenal
Bossidy karena Bossidy sebelumnya bekerja dengan Welch di GE dan Welch
sangat terkesan dengan pencapaian Bossidy dalam penggunaan Six Sigma)
memutuskan untuk menerapkan Six Sigma di GE, dan pada tahun 1998 GE
mengklaim bahwa Six Sigma telah menghasilkan lebih dari 750 juta dollar
pengurangan biaya. Informasi ini diperoleh dari buku George Eckes, The Six
Sigma Revolution.
Pada pertengahan 1990an Six Sigma telah berkembang sebagai „merk‟
yang dapat ditransfer dan diterapkan sebagai inisiatif dan metodologi
perusahaan, ditandai dengan penerapan di GE dan beberapa perusahaan
13
manufaktur besar, dan juga termasuk organisasi-organisasi di luar perusahaan
manufaktur.
Pada tahun 2000, Six Sigma secara efektif telah berdiri dengan kokoh di
industri sebagai suatu metodologi, termasuk pelatihan, jasa konsultasi dan
penerapannya di berbagai organisasi di dunia.
2.2.2 Pengertian Six Sigma
Six Sigma adalah sebuah sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk
mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis. Six Sigma
secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan
pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, data, dan analisis statistik,
dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki, dan menanamkan
kembali proses bisnis (Pande, 2002).
Six Sigma adalah suatu metodologi bisnis yang bertujuan meningkatkan
nilai-nilai kapabilitas dari aktivitas proses bisnis. Proses adalah sesuatu yang
dimulai dari perencanaan, desain produksi sampai dengan fungsi-fungsi
konsumen (kebutuhan, keinginan, ekspektasi). Dalam konsep Six Sigma dikenal
dua proses kerja yang disebut proses kerja internal dan eksternal. Proses
internal meliputi seluruh aspek fungsi dan kegiatan yang ada di dalam
perusahaan, sedangkan proses eksternal adalah seluruh kegiatan yang dimulai
dari pengelolaan produk jadi atau promosi hingga distribusi ke konsumen.
14
Tujuan Six Sigma adalah meningkatkan kinerja bisnis dengan
mengurangi berbagai variasi proses yang merugikan, mereduksi kegagalan-
kegagalan produk atau proses, menekan cacat-cacat produk, meningkatkan
keuntungan, mendongkrak moral personil atau karyawan, dan meningkatkan
kualitas produk pada tingkat yang maksimal.
Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem bisnis dan
industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara
pemasok (bisnis dan industri) dan pelanggan (pasar). Berikut ini merupakan
tingkat sigma dengan jumlah cacat per satu juta kemungkinan (DPMO) yang
akan ditunjukkan pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Tingkat Sigma dan DPMO
Sigma DPMO
6 3.4
5 233
4 6,210
3 66,807
Sumber : Gaspersz, Vincent. 2008. The Executive Guide To Implementing Lean Six Sigma.p.10
Dibandingkan dengan metode pengendalian kualitas sebelumnya, Six
Sigma memiliki keunggulan pada fungsi-fungsi proses. Six Sigma tidak sekadar
berorientasi pada kualitas produk atau jasa, tetapi juga pada seluruh aspek
operasional bisnis dengan penekanan dalam fungsi-fungsi proses.
15
2.3 Dewan Kepemimpinan Six Sigma
Salah satu aspek yang memublikasikan dengan baik gerakan Six Sigma
adalah dibentuknya dewan ahli pengukuran dan perbaikan proses. Dewan
kepemimpinan kualitas yang dikenal juga sebagai Dewan Kualitas (Quality
Council), Komite Pengarah Six Sigma, Senior Champions, atau berbagai nama
lainnya merupakan orang-orang yang berada pada posisi manajemen puncak
(Top Management) dari organisasi. Peranan dari orang-orang yang berada
dalam posisi ini adalah:
1. Menetapkan visi, peran, dan infrastruktur dari Six Sigma
2. Menciptakan Master Improvement Story dari organisasi
3. Memilih program-program spesifik Six Sigma dan mengalokasikan
sumber-sumber daya
4. Meninjau-ulang secara periodik tentang kemajuan dari barbagai
program Six Sigma serat menawarkan ide-ide dan bantuan agar
menghindarkan terjadinya overlapping pada program Six Sigma
5. Berperan secara individual sebagai “Sponsor” dari proyek Six Sigma
6. Membantu mengkuantifikasikan dampak dari usaha-usaha Six Sigma
kepada orang-orang yang berada di tingkat bawah dalam organisasi
7. Menilai kemajuan serta mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan dalam usaha-usaha peningkatan Six Sigma
16
8. Membagi atau menyebarluaskan praktik-praktik terbaik dari Six Sigma
ke seluruh organisasi serta kepada pemasok-pemasok kunci dan
pelanggan-pelanggan utama
9. Membantu mengatasi hambatan-hambatan dalam organisasi yang
berdampak negatif pada program-program Six Sigma
10. Menerapkan praktik-praktik terbaik yang dipelajari dari implementasi
program Six Sigma pada gaya manajemen organisasi.
Champions
Individu yang berperan sebagai Champions bagi program-program
Six Sigma harus mampu menjamin bahwa semua fungsi utama dalam
organisasi itu memiliki keterkaitan pada Six Sigma.
Terdapat dua jenis Champions, yaitu Deployment Champions dan
Project Champions. Kedua jenis Champions ini harus memiliki peran
kepemimpinan eksekutif dalam bisnis. Seorang champion boleh berasal dari
wakil presiden eksekutif atau wakil presiden yang mengepalai kelompok
fungsional.
Deployment Champions bertanggung jawab untuk:
Mengembangkan dan mengeksekusi rencana-rencana implementasi
dan penyebarluasan Six Sigma pada unit-unit bisnis strategis atau
pada area tanggung jawab yang telah didefinisikan,
17
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari sistem-sistem
pendukung Six Sigma
Deployment Champions paling sering melaporkan kepada Senior
Champions, yang boleh juga menjadi presiden atau wakil presiden dari unit
bisnis atau area tanggung jawab mereka.
Project Champions harus bertanggung jawab untuk
mengidentifikasi, memilih, mengeksekusi dan menindaklanjuti proyek-
proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts. Project Champions akan
mengembangkan dan mengawasi sampai kepada hal-hal terperinci yang
berkaitan dengan rencana-rencana implementasi dan penyebarluasan.
Fungsi utama Project Champions pada tingkat unit bisnis adalah
mengawasi Black belts dan memfokuskan Six Sigma pada tingkat proyek.
Selain itu, Project Champions harus mampu mengatasi atau menyelesaikan
hambatan-hambatan kultural dari organisasi, menciptakan sistem-sistem
pendukung, menjamin agar sumber daya finansial cukup tersedia, dan
mengidentifikasi proyek-proyek Six Sigma.
Project Champions melakukan:
Penilaian terhadap kapabilitas organisasi
“Benchmarking” terhadap manajemen dan produk dari organisasi
18
Analisa kesenjangan secara terperinci, menciptakan suatu kondisi
agar visi perusahaan dapat dioperasikan pada tingkat proyek Six
Sigma
Pengembangan rencana penyebarluasan proyek-proyek Six Sigma
pada lintas fungsi dalam organisasi
Kepemimpinan manajerial dan teknis kepada Master Black Belts
dan Black Belts
Master Black Belts
Merupakan individu-individu yang dipilih oleh Champions untuk
bertindak sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam perusahaan untuk
menumbuhkembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan-pengetahuan
strategis yang bersifat terobosan-terobosan Six Sigma ke seluruh organisasi.
Secara umum, Master Black Belts bertanggung jawab untuk:
1. Bekerjasama dengan Champions
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan bahan-bahan pelatihan
tentang Six Sigma kepada berbagai tingkat dalam organisasi
3. Membantu dalam mengidentifikasi proyek-proyek Six Sigma
4. Melatih dan mendukung Black Belts dalam pekerjaan-pekerjaan
proyek Six Sigma
19
5. Berpartisipasi dalam peninjauan ulang proyek-proyek Six Sigma
serta memberikan bantuan-bantuan berupa keahlian teknis (analisa
dan metode Six Sigma)
6. Mengambil tanggung jawab kepemimpinan dari program-program
Six Sigma yang telah diumumkan Champions dan menjadi program
official yang utama.
7. Menyediakan fasilitas untuk menyebarluaskan praktik-praktik
terbaik berdasarkan prinsip-prinsip Six Sigma ke seluruh organisasi.
Black Belts
Merupakan individu-individu yang menerapkan dan
mnyebarluaskan konsep-konsep Six Sigma dari satu proyek ke proyek lain
yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental. Black Belts
mendedikasikan diri dan mengalokasikan waktu kerja mereka 100% pada
proyek-proyek Six Sigma.
Secara umum, seorang Black belts bertanggung jawab:
1. Merangsang pemikiran Champions
2. Mengidentifikasikan hambatan-hambatan yang ada dalam proses Six
Sigma
3. Memimpin dan mengarahkan tim dalam mengeksekusi proyek Six
Sigma
20
4. Melaporkan kemajuan-kemajuan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan
5. Membantu Champions, apabila diperlukan
6. Mendefinisikan dan membantu orang lain dalam penggunaan alat-alat
Six Sigma yang sesuai, teknik-teknik manajemen tim dan pertemuan
(Management Meeting)
7. Menyiapkan penilaian proyek Six Sigma secara terperinci selama tahap
pengukuran
8. Mempertahankan jadwal proyek dan menjaga kemajuan proyek Six
Sigma menuju solusi akhir dan hasil-hasil.
9. Memperoleh masukan-masukan dari operator, supervisor lini pertama,
dan pemimpin-pemimpin tim
10. Mengelola resiko proyek Six Sigma
11. Mendukung transformasi baru atau proses-proses baru menuju
operasional yang berlangsung terus-menerus, serta bekerjasama dengan
manajer-manajer fungsional atau pemilik proses
12. Mendokumentasikan hasil-hasil akhir dan menciptakan Story Board
(peta-peta kemajuan) proyek Six Sigma
Green Belts
Merupakan individu-individu yang bekerja paruh waktu (part time)
dalam area yang spesifik atau mengambil tanggung jawab pada proyek-
21
proyek kecil dalam lingkup proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black
Belts. Green Belts merupakan karyawan di seluruh organisasi yang
mengeksekusi proyek Six Sigma sebagai bagian dari pekerjaan mereka
secara keseluruhan. Mereka hanya mempunyai tanggung jawab yang kecil
pada proyek Six Sigma serta waktu kerja mereka terfokus hanya pada
proyek Six Sigma yang berkaitan secara langsung dengan pekerjaan rutin
mereka sehari-hari.
Secara umum Green Belts memiliki tanggung jawab untuk:
1. Berpartisipasi pada proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black
Belts dalam konteks tanggung jawab yang telah ada pada mereka.
2. Mempelajari metodologi Six Sigma untuk dapat diaplikasikan pada
proyek-proyek tertentu berskala kecil yang akan ditangani oleh
mereka
3. Melanjutkan mempelajari dan mempraktikkan metode-metode dan
alat-alat Six Sigma setelah proyek Six Sigma itu berakhir.
2.4 Model Perbaikan DMAIC Six Sigma
Define, Measure, Analyze, Improve and Control (DMAIC) merupakan
langkah-langkah dalam metode Six Sigma. Berikut ini merupakan penjelasan
singkat mengenai langkah-langkah DMAIC.
22
2.4.1 Define
Langkah define dilakukan dengan cara membuat project statement,
Voice of Customer (VOC) dan diagram SIPOC.
Project Statement
Dalam pembuatan project statement terdapat beberapa hal di
dalamnya, yaitu:
a. Business Case, yang berisi latar belakang dilakukannya proyek Six
Sigma dari permasalahan yang ada.
b. Problem Statement, yang berisi pernyataan masalah yang akan
dibahas. Lebih fokus daripada business case.
c. Project Scope, yang berisi pernyataan ruang lingkup dan
pembatasan dari proyek Six Sigma yang dijalankan.
d. Goal Statement, yang berisi tujuan dijalankannya proyek Six Sigma.
Dalam mendefinisikan tujuan dari proyek Six Sigma yang benar
apabila mengikuti prinsip SMART sebagai berikut:
Specific : Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma
harus bersifat spesifik yang dinyatakan secara tegas. Tim
peningkatan kualitas Six Sigma harus menghindari pernyataan-
pernyataan tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik.
Pernyataan tujuan sebaiknya menggunakan kata kerja.
23
Measurable : Tujuan proyek pengingkatan kualitas Six Sigma
harus dapat diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat
guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan-ulang, dan tindakan
perbaikan di waktu mendatang. Pengukuran harus mampu
memunculkan fakta-fakta yang dinyatakan secara kuantitatif
menggunakan angka-angka.
Achieveable : Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma
harus dapat dicapai melalui usaha-usaha yang menantang.
Result-Oriented : Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma
harus berfokus pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target
kualitas yang ditetapkan, yang ditunjukkan melalui penurunan
DPMO (Cacats Per Million Opportunities), peningkatan kapabilitas
proses (Cpm; Cpmk), dan lain-lain.
Time-Bound : Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma
harus menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan harus
dicapai secara tepat waktu.
Diagram SIPOC (Supplier, Input, Process, Output, Customer)
Diagram SIPOC adalah salah satu diagram model yang sangat
penting dalam fungsi-fungsi operasional bisnis. Diagram SIPOC juga dapat
dimanfaatkan ke dalam proses manufaktur yang digunakan manajemen dan
24
peningkatan proses. Adapun elemen diagram SIPOC adalah sebagai
berikut:
a. Suppliers : Merupakan orang atau kelompok orang yang
memberikan informasi kunci, material, atau sumber daya lain
kepada proses. Jika suatu proses terdiri dari beberapa sub-proses,
maka sub-proses sebelumnya dapat dianggap sebagai pemasok
internal (internal suppliers).
b. Inputs : Segala sesuatu yang diberikan oleh pemasok (suppliers)
kepada proses.
c. Processes : Sekumpulan langkah yang mentransformasi, dan secara
ideal menambah nilai pada inputs (proses transformasi nilai tambah
kepada inputs). Suatu proses biasanya terdiri dari beberapa sub-
proses.
d. Outputs : Merupakan produk (barang dan/atau jasa) dari suatu
proses. Dalam industri manufaktur outputs dapat berupa barang
setengah jadi maupun barang jadi (final product). Termasuk ke
dalam outputs adalah informasi-informasi kunci dari proses.
e. Customers : merupakan orang atau kelompok orang, atau sub-proses
yang menerima outputs. Jika suatu proses terdiri dari beberapa sub-
proses, maka sub-proses sesudahnya dapat dianggap sebagai
25
pelanggan internal (Internal Customers). Proses berikut merupakan
pelanggan Anda (The Next Process is Your Customers).
Sumber: www.modernanalyst.com. 2011
Gambar 2.1 Contoh Diagram SIPOC
Voice of Customer (VOC)
Proyek Six Sigma sepatutnya merupakan:
1. Suatu strategi dan sistem yang secara terus menerus menelusuri dan
memperbaharui kebutuhan pelanggan, aktivitas pesaing, perubahan
pasar, dan lain-lain. Dengan demikian, program Six Sigma seyogianya
menjadi suatu sistem “Voice of Customer (VOC)”.
2. Suatu deskripsi kebutuhan spesifik, standar kinerja yang terukur untuk
setiap output kunci, yang didefinisikan oleh pelanggan.
26
3. Standar-standar pelayanan yang dapat diamati dan jika memungkinkan
dapat diukur, untuk keterkaitan-keterkaitan kunci (key interfaces)
dengan pelanggan.
4. Suatu analisa kinerja dan standar-standar pelayanan berdasarkan pada
kepentingan relatif terhadap pelanggan dan dampaknya pada strategi
bisnis.
Langkah pertama dalam mendefinisikan kebutuhan spesifik
pelanggan adalah memahami dan membedakan di antara dua kategori
persyaratan kritis, yaitu: (1) persyaratan output, dan (2) persyaratan
pelayanan.
Persyaratan output berkaitan dengan karakteristik dan/atau fitur dari
produk akhir (barang dan/atau jasa) yang diserahkan kepada pelanggan
pada akhir dari suatu proses. Pada dasarnya persyaratan output berkaitan
dengan daya guna (usability) atau efektivitas dari produk akhir (barang
dan/atau jasa) itu di mata pelanggan (dari sudut pandang pelanggan). Lalu,
persyaratan pelayanan merupakan petunjuk bagaimana pelanggan
seharusnya diperlakukan atau dilayani selama eksekusi dari proses itu
sendiri. Persyaratan pelayanan cenderung menjadi lebih subjektif dan peka
terhadap situasi, dibandingkan persyaratan output yang biasanya dapat
didefinisikan secara konkret.
27
2.4.2 Measure
Awal tahap measure adalah menentukan karakteristik kualitas (Critical
To Quality) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari
pelanggan. Penetapan CTQ harus disertai dengan pengukuran yang dapat
dikuantifikasikan ke dalam angka-angka. Dalam melakukan pengukuran
karakteristik kualitas, pada dasarnya harus memperhatikan aspek internal dan
eksternal. Dalam bisnis, aspek internal dapat berupa tingkat kecacatan produk,
biaya-biaya karena kualitas jelek (cost of poor quality = COPQ) seperti
pekerjaan ulang, cacat dan lain-lain, sedangkan aspek eksternal dapat berupa
kepuasan pelanggan, pangsa pasar (market share), dan lain-lain.
Setelah menentukan CTQ, lalu dilakukan pengukuran. Pengukuran
dalam metode DMAIC dikenal dua macam pengukuran, yaitu:
Pengukuran kinerja proses
- Membuat peta kontrol
- Menghitung kapabilitas sigma dan kapabilitas DPMO
Pengukuran kinerja tingkat output
- Menghitung kapabilitas DPMO
- Menghitung tingkat sigma
Data merupakan hal penting dalam tahap measure. Menurut Vincent
Gaspersz (1998, p.43) data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk
28
bertindak. Berdasarkan data, dapat dipelajari fakta-fakta yang ada dan
kemudian mengambil tindakan yang tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam
konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu:
Data Atribut (Attributes Data), yaitu data kualitatif yang dapat dihitung
untuk pencatatan dan analisis. Contoh dari data atribut karakteristik
kualitas adalah ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses
administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada
produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan
lain-lain. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit
nonkonformans atau ketidaksesuaian dengan spesifikasi atribut yang
ditetapkan.
Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur
untuk keperluan analisis. Contoh dari data variabel karakteristik kualitas
adalah diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam
kantong, banyaknya kertas setiap rim, konsentrasi elektrolit dalam
persen, dan lain-lain. Ukura-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi,
diameter, volume biasanya merupakan data variabel.
2.4.2.1 Pengukuran Kinerja Proses
Peta Kontrol
Pada dasarnya peta-peta kontrol digunakan untuk:
29
Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian batas
statistikal, dimana semua nilai rata-rata dan range dari sub-sub
kelompok (subgroups) contoh berada dalam batas-batas pengendalian
(Control limits), oleh karena itu variasi penyebab-khusus menjadi tidak
ada lagi dalam proses.
Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap
stabil secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab umum.
Menentukan kemampuan proses (process capability), setelah proses
berada dalam pengendalian statistikal, batas-batas dari variasi proses
dapat dikendalikan.
Peta kontrol pada dasarnya memiliki:
Garis tengah (central line), yang dinotasikan sebagai CL.
Sepasang batas kontrol (Control Limits), dimana satu batas kontrol
ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol atas
(Upper Control Limit), biasa dinotasikan dengan UCL. Dan satunya
ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol
bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL.
30
CL
LCL
UCL
Sumber : file2shared.wordpress.com. 2009
Gambar 2.2 Contoh Grafik Peta Kontrol
Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan
dari proses. Jika nilai yang di-plot di peta kontrol masih berada dalam
batas kontrol maka proses yang berlangsung dianggap terkontrol,
sedangkan jika nilai di-plot berada di luar batas kontrol maka proses
dianggap di luar kontrol sehingga perlu diambil tindakan perbaikan.
Dalam penggunaan peta kontrol, langkah pertama yaitu harus
menentukan data yang akan diolah merupakan data variabel atau data
atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur untuk
keperluan analisis dan data atribut merupakan data kualitatif yang dapat
dihitung untuk pencatatan dan analisis. Data atribut diperoleh dalam bentuk
unit-unit ketidaksesuaian dengan spesifikasi atribut yang ditetapkan.
Peta kendali U
Peta kendali U digunakan untuk mengadakan pengujian terhadap
kualitas proses produksi dengan mengetahui banyaknya kesalahan pada satu
31
unit produk sebagai sampelnya. Selain itu, sampel yang digunakan
bervariasi karena seluruh produk yang dihasilkan akan diuji. Produk di
departemen welding apabila terjadi cacat, dapat di-rework.
Berikut rumus yang digunakan dalam perhitungan untuk membuat
peta kontrol U:
n
ciu
n
u3uUCL
uCL n
u3uLCL
u Garis Pusat
ci = banyaknya kesalahan/cacat pada setiap unit produk sebagai
sampel pada setiap kali observasi
n = ukuran sampel
UCL = Upper Control Line
CL = Central Line
LCL = Lower Control Line
Dalam membuat peta kontrol dapat menggunakan MINITAB 14 dengan
langkah sebagai berikut:
1. Masukkan data yang akan diolah.
2. Klik Stat> Control Chart> Attributes Chart> u.
32
3. Masukkan data kolom cacat ke dalam variabel dan data kolom
jumlah inspeksi ke dalam sub group sizes. Klik OK
4. Muncul tampilan peta kontrol u.
Setelah melakukan perhitungan peta kontrol u dan data telah berada
dalam kondisi pengendalian statistikal, hal selanjutnya dilakukan
perhitungan kinerja proses dalam bentuk tabel nilai kapabilitas DPMO dan
Sigma.
2.4.2.2 Perhitungan Kinerja Tingkat Output
Pengukuran kinerja tingkat output dilakukan secara langsung pada
produk akhir (barang dan/atau jasa) yang akan diserahkan kepada pelanggan.
Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output akhir dari
proses itu dapat memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan, sebelum produk itu
diserahkan kepada pelanggan (Vincent Gaspersz, 2002, p.119). Informasi yang
diperoleh dapat dijadikan pedoman dasar untuk melakukan pengendalian dan
peningkatan kualitas dari karakteristik output yang diukur itu. Hasil pengukuran
pada tingkat output dapat berupa data variabel atau data atribut, yang akan
ditentukan kinerjanya menggunakan satuan pengukuran DPMO (Defect Per
Million Opportunities) dan Kapabilitas Sigma (Nilai Sigma).
Setelah melakukan pengukuran kinerja proses, langkah selanjutnya
adalah melakukan perhitungan DPMO dan tingkat Sigma. Berikut ini
merupakan langkah-langkah perhitungan DPMO dan tingkat sigma:
33
1. Unit (U)
Sebuah item yang sedang diproses atau produk atau jasa akhir yang
diberikan kepada pelanggan.
2. Opportunities (OP)
Merupakan variasi yang timbul dari proses, sehingga akan
menghasilkan produk produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pelanggan.
3. Defect (Df)
Merupakan jumlah kegagalan untuk memenuhi kebutuhan atau harapan
pelanggan atau standar yang telah ditetapkan.
4. Defect Per Unit (DPU)
Merupakan jumlah rata-rata cacat terhadap jumlah unit yang diproses.
Defect per unit (DPU) = U
Df
5. Total Opportunities (TOP)
TOP = U x OP
6. Defect Per Opportunities (DPO)
Merupakan proporsi cacat terhadap jumlah peluang dalam sebuah
kelompok.
Defect Per Opportunities (DPO) = TOP
Df
7. Defect Per Million Opportunities (DPMO)
34
Merupakan jumlah cacat yang akan muncul jika ada satu juta peluang.
DPMO = DPO x 1.000.000
8. Level Sigma
Perhitungan level sigma dapat dilakukan menggunakan microsoft excel
dengan formula berikut (Evan & Lindsay, 2007):
Level Sigma = normsinv )1000000
DPMO-1000000( + 1,5
Angka 1,5 merupakan konstanta sesuai dengan konsep Motorola yang
mengizinkan terjadi pergeseran nilai rata-rata sebesar ±1,5 Sigma.
2.4.3 Analyze
2.4.3.1 Diagram Pareto
Diagram Pareto adalah grafik batang yang menunjukkan masalah
berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Masalah yang paling banyak terjadi
ditunjukkan oleh grafik batang pertama yang tertinggi serta ditempatkan pada
sisi paling kiri, dan seterusnya sampai masalah yang paling sedikit terjadi
ditunjukkan oleh grafik batang terakhir yang terendah serta ditempatkan pada
sisi paling kanan.
Pada dasarnya, diagram Pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi
untuk:
35
Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalah-masalah
atau penyebab-penyebab dari masalah yang ada.
Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting melalui
pembuatan ranking terhadap masalah-masalah atau penyebab-penyebab
dari masalah itu dalam bentuk yang signifikan.
Pada diagram Pareto terdapat prinsip yang menyatakan aturan 80/20
yang artinya 80% masalah kualitas disebabkan oleh 20% penyebab kecacatan,
sehingga dipilih jenis-jenis cacat dengan kumulatif mencapai 80% dengan
asumsi bahwa dengan 80% tersebut dapat mewakili seluruh jenis cacat yang
terjadi.
Sumber: managers-net.com. 2011
Gambar 2.3 Contoh Diagram Pareto
36
2.4.3.2 Diagram Fishbone
Diagram sebab-akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan
hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses
statistical, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-
faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan
oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab-akibat ini sering juga disebut
sebagai diagram tulang ikan (fishbone diagram) karena bentuknya seperti
tulang ikan atau suka disebut juga sebagai diagram Ishikawa karena pertama
kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada
tahun 1953.
Pada dasarnya, diagram sebab-akibat dapat dipergunakan untuk
kebutuhan-kebutuhan berikut:
Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah
Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah
Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut
37
Sumber: pdca.wordpress.com. 2011
Gambar 2.4 Contoh Diagram Fish Bone
2.4.4 Improve
2.4.4.1 FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
Menurut Vincent Gaspersz (2002, p.246) FMEA adalah suatu prosedur
terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode
kegagalan (failure modes). Suatu mode kegagalan adalah apa saja yang
termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi di luar batas
spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk
yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan FMEA,
yaitu:
Mode kegagalan potensial/jenis kegagalan
38
Suatu mode kegagalan yang terkait dengan proses adalah setiap
penyimpangan dari spesifikasi yang disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam variabel-variabel yang mempengaruhi proses.
Efek dari kegagalan
Keadaan/hasil yang terjadi karena terjadinya kegagalan.
Penyebab kegagalan, yaitu hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya
kegagalan.
Tingkat nilai keparahan (Severity), adalah suatu nilai/bobot yang berupa
angka yang menandakan tingkat keparahan dari akibat yang timbul
karena terjadinya kegagalan.
Tingkat nilai kejadian (Occurence), adalah suatu nilai/bobot yang
berupa angka yang menandakan tingkat sering atau tidaknya kegagalan
terjadi.
Tingkat nilai deteksi (Detectability), adalah suatu nilai/bobot yang
berupa angka yang menandakan tingkat kemampuan proses untuk
mendeteksi terjadinya kegagalan.
RPN (Risk Priority Number), adalah suatu nilai berupa angka yang
menandakan suatu modus kegagalan menjadi prioritas utama untuk
diperbaiki. RPN merupakan hasil kali dari angka severity, occurence
dan detectability.
RPN = S x O x D
39
Tindakan perbaikan/penanggulangan, merupakan saran atau
rekomendasi yang dibuat untuk mengatasi penyebab kegagalan yang
terjadi.
40
Tabel 2.2 Tingkat Nilai Severity
Sumber: Stamatis, D. H. 2003. Six Sigma and Beyond. p. 247
Severity (S)
Efek Deskripsi Rating
Tidak Ada Tidak ada efek yang diperhatikan oleh pelanggan. 1
Sangat Kecil Sangat kecil gangguan kelancaran yang terjadi di lini
produksi.
Sangat kecil produk yang harus di rework.
2
Kecil Kecil gangguan kelancaran yang terjadi di lini
produksi.
Sedikit jumlah (<5%) produk yang harus di-rework
langsung.
3
Sangat
Rendah Sangat rendah gangguan kelancaran yang terjadi di lini
produksi.
Jumlah produk yang di-rework langsung berjumlah
sedang (<10%).
4
Rendah Rendah gangguan yang terjadi di lini produksi.
Jumlah produk yang di-rework langsung berjumlah
sedang (15%).
5
Sedang Gangguan kelancaran yang terjadi di lini produksi
bersifat sedang.
Jumlah produk yang menjadi scrap bersifat sedang
(>20%).
6
Tinggi Mengganggu kelancaran di lini produksi.
Jumlah produk yang menjadi scrap bersifat sedang
(>30%).
Proses mungkin dihentikan.
Pelanggan tidak puas.
7
Sangat Tinggi Mengganggu kelancaran lini produksi.
Hampir 100% produk menjadi scrap.
Proses tidak dapat diandalkan.
Pelanggan sangat tidak puas.
8
41
Tabel 2.2 Tingkat Nilai Severity (lanjutan)
Sumber: Stamatis, D. H. 2003. Six Sigma and Beyond. p. 247
Tabel 2.3 Tingkat Nilai Occurence
Occurence (O)
Tingkat
Kejadian
Deskripsi Frekuensi Rating
Sangat Kecil Kegagalan sangat tidak mungkin terjadi. <1 dari 1.500.000 1
Kecil Sedikit terjadi kegagalan. 1 dari 150.000 2
1 dari 15.000 3
Sedang Sesekali terjadi kegagalan. 1 dari 2000 4
1 dari 400 5
1 dari 80 6
Tinggi Kegagalan terjadi berulang. 1 dari 20 7
1 dari 8 8
Sangat Tinggi Kegagalan tak bisa dihindari. 1 dari 3 9
>1 dari 2 10
Severity (S)
Efek Deskripsi Rating
Berbahaya,
adanya
peringatan
Dapat membahayakan operator dan peralatan.
Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah.
Kegagalan akan terjadi dengan adanya peringatan.
9
Berbahaya,
tanpa adanya
peringatan
Dapat membahayakan operator dan peralatan.
Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah.
Kegagalan akan terjadi tanpa adanya peringatan.
10
42
Tabel 2.4 Tingkat Nilai Detectability
Detectability (D)
Tingkat Deteksi Deskripsi Rating
Hampir Pasti
Terdeteksi
Pengontrolan proses hampir selalu dapat mendeteksi
potensi kegagalan.
1
Sangat Tinggi Sangat tinggi kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
2
Tinggi Tinggi kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
3
Cukup Tinggi Cukup tinggi kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
4
Cukup Ada kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
5
Rendah Kecil kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
6
Sangat Rendah Sangat kecil kemungkinan pengontrolan proses akan
mendeteksi potensi kegagalan.
7
Kecil Besar kemungkinan pengontrolan proses tidak akan
mendeteksi potensi kegagalan.
8
Sangat Kecil Sangat besar kemungkinan pengontrolan proses tidak
akan mendeteksi potensi kegagalan.
9
Tidak Terdeteksi Pengontrolan proses tidak akan mendeteksi potensi
kegagalan.
10
Sumber: Stamatis, D. H. 2003. Six Sigma and Beyond. p. 253
2.4.5 Control
Tahap terakhir dari metode DMAIC adalah tahap control yang
dilakukan dengan tindakan pengendalian terhadap proses secara terus menerus
untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target kesempurnaan Six Sigma.
Dalam tahap ini dilakukan Trial and Error terhadap persentase penurunan
cacat yang berpengaruh terhadap nilai sigma dan biaya rework di departemen
welding.
43
2.5 Cost of Poor Quality (COPQ)
COPQ bertujuan untuk mengetahui berapa banyak biaya yang harus
dikeluarkan saat terjadi cacat di dalam proses. Langkah-langkah menghitung
COPQ: untuk semua jenis kesalahan.
1. Hitung banyak kejadian selama periode waktu tertentu.
2. Tentukan biaya tenaga kerjanya yang berhubungan dengan rework cacat
yang ada.
Banyak cacat per hari x banyak orang yang bekerja di area terjadi cacat
x jam kerja per hari x upah per jam
3. Tentukan biaya material dari cacat
Biaya per item cacat x banyaknya cacat per hari
4. Jumlahkan hasil dari langkah ke 2 dan ke 3
Ada dua golongan besar biaya kualitas, yaitu biaya untuk menghasilkan
produk berkualitas dan biaya yang harus dikeluarkan karena menghasilkan
produk cacat. Menurut Russel (1996), secara keseluruhan, biaya kualitas
tersebut meliputi:
1. Biaya untuk menghasilkan produk yang berkualitas (cost of achieving
good quality) yaitu biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
membuat produk yang berkualitas sesuai dengan keinginan pelanggan,
meliputi:
44
a. Biaya pencegahan
b. Biaya penilaian
2. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk
cacat (cost of poor quality), meliputi:
a. Biaya kegagalan internal (internal failure costs) yaitu biaya yang
harus dikeluarkan karena perusahaan telah menghasilkan produk
yang cacat tetapi cacat produk tersebut telah diketahui sebelum
produk tersebut sampai kepada pelanggan. Biaya ini meliputi:
Biaya yang dikeluarkan karena produk harus dibuang (scrap
costs), yaitu biaya yang telah dikeluarkan perusahaan tetapi
produk yang dihasilkan ternyata produk cacat sehingga harus
dibuang dan adanya biaya untuk membuang produk tersebut.
Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya untuk
memperbaiki produk yang cacat.
Biaya kegagalan proses (process failure costs) yaitu biaya yang
harus dikeluarkan dalam proses produksi tetapi ternyata produk
yang dihasilkan adalah produk cacat.
Biaya yang harus dikeluarkan karena proses produksi tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya (process downtime costs).
45
Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan terpaksa harus
menjual produk di bawah harga patokannya karena produk yang
dihasilkannya cacat (price-downgrading costs).
b. Biaya kegagalan eksternal (external failure costs) yaitu biaya yang
harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat dan produk ini
telah diterima oleh konsumen, meliputi:
Biaya untuk memberikan pelayanan terhadap keluhan pelanggan
(customer complaint costs).
Biaya yang harus dikeluarkan karena produk yang telah
disampaikan kepada konsumen dikembalikan karena produk
tersebut cacat (product return costs).
Biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani tuntutan
konsumen terhadap adanya jaminan kualitas produk (warranty
claims costs).
Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan harus
memberikan jaminan atau garansi bagi konsumen bahwa produk
yang dihasilkan adalah baik (product liability costs).
Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak dipercaya
oleh konsumen sehingga tidak mau lagi membeli
Produk ke perusahaan tersebut (lost sales costs).