bab 3 realita kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan ...€¦ · realita kehidupan keluarga...
TRANSCRIPT
38
Bab 3
Realita Kehidupan Keluarga Tanpa Ikatan Pernikahan di Jemaat GMIT Imanuel Oesao,
Klasis Kupang Timur serta Faktor-faktor Penyebabnya
3.1 Pendahuluan
Oesao merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Kupang Timur, Nusa Tenggara
Timur. Meskipun Oesao bukan sebagai sebuah kota besar dan hanya sebagai sebuah
Kelurahan, tetapi kehidupan masyarakat Oesao hampir mirip dengan gaya kehidupan
masyarakat kota saat ini karena dipengaruhi oleh perubahan sosial. Perubahan sosial yang
terjadi bukan saja mempengaruhi gaya hidup masyarakat di kota tetapi masyarakat pinggiran
kota seperti Oesao pun terkena dampak dari perubahan sosial tersebut yang sedang melanda
kehidupan masyarakat saat ini dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakat Oesao turut mempengaruhi kehidupan berkelurga, di mana
terdapat pasangan-pasangan yang telah terbentuk dalam sebuah keluarga tetapi tidak terikat
dalam suatu pernikahan.
Bab ini akan membahas tujuh topik utama yang diangkat oleh penulis yaitu latar
belakang kehidupan Jemaat Imanuel Oesao, realitas dan sikap jemaat terhadap keluarga tanpa
ikatan pernikahan, bagaimaana respon gereja mengenai kehidupan berkeluarga tanpa ikatan
pernikahan di Jemaat GMIT Imanuel Oesao. Serta melihat apa faktor-faktor penyebab
terbentuknya kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan, baik dari faktor masuknya budaya
asing, faktor adat istiadat, faktor ekonomi dan faktor keluarga. Keempat faktor tersebut yang
mempengaruhi sehingga kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan cenderung semakin
meningkat.
39
3.2 Latar Belakang
3.2.1 Letak Geografis dan Iklim
Jemaat GMIT Imanuel Oesao merupakan salah satu Jemaat dalam Klasis Kupang
Timur. Jemaat ini termasuk dalam Kelurahan Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten
Kupang. Secara geografis adapun batas-batas wilayah Imanuel Oesao yaitu sebelah Barat
berbatasan dengan Jemaat GMIT Getsemani Babau, sebelah Timur berbatasan dengan Jemaat
GMIT Elim Naibonat, sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GMIT Kasih Karunia Oesao
dan sebelah Selatan berbatasan dengan Jemaat GMIT Laharoi Nunkurus.
Keadaan iklim yang terdapat di sini sama dengan iklim di daerah lain di Nusa Tenggara
Timur yaitu beriklim tropis, di mana musim panas berkisar antara bulan Maret sampai bulan
Oktober. Sedangkan, musim hujan berkisar antara bulan November sampai bulan Februari.
Keadaan iklim seperti ini disebabkan oleh karena keadaan Oesao yang berdataran rendah.
3.2.2 Sejarah Singkat Jemaat GMIT Imanuel Oesao
Sejarah gereja adalah kisah tentang perkembangan-perkembangan dan perubahan-
perubahan yang dialami gereja selama di dunia ini yaitu kisah tentang pergumulan antara injil
dengan bentuk-benuk yang kita pakai untuk mengungkapkan injil tersebut. Masuknya
kekristenan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan sejarah berdirinya jemaat GMIT
Imanuel Oesao. Babau sebagai pusat pemerintahan menjadi salah satu tempat bersemi dan
berkembangnya kekristenan melalui wadah gereja. Dahulu ketika jemaat mengambil
keputusan untuk mendirikan gereja sendiri dengan alasan jarak yang sangat jauh dari Oesao
ke Babau, jemaat di Oesao tersebut melakukan kebaktian di sebuah gedung sekolah yang
permanen (Sekolah Rakyat). Melalui wadah gedung sekolah itu, para pelayan dapat
40
melakukan kegiatan peribadatan dan pemberitaan injil kepada jemaat. Data sejarah yang
diperoleh bahwa pada tahun 1944 gereja yang baru itu telah dilayani oleh Pdt. Sahertian dan
Pdt. Habba. Pada tahun 1947 secara institusional Jemaat GMIT Imanuel Oesao diresmikan.
Ada pun pergumulan dan tantangan yang terjadi di dalam jemaat yang baru berdiri itu,
dan akhirnya pada tahun 1960 terjadi perpecahan dalam tubuh gereja Oesao. Perpecahan itu
menghasilkan 3 jemaat kecil diantaranya: Jemaat Imanuel Kampung Baru, Jemaat Imanuel
Oesao A, Jemaat Imanuel Efata Kayu Putih.Masa ini adalah masa tersulit bagi jemaat karena
harus memilih untuk di manakah mereka harus melakukan kebaktian setiap minggunya. Masa
tersulit ini berlangsung selama ± 5 tahun yaitu dari tahun 1960-1965. Masa tersulit yang
dialami oleh jemaat ini mendapat sambutan baik dari para tokoh-tokoh jemaat. Musyawarah
yang berlangsung ± 1 tahun itu menghasilkan suatu keputusan yang membuat jemaat merasa
lega yaitu mempersatukan kembali gereja yang telah terpecah itu.Setelah gereja dipersatukan
kembali, timbul permasalahan baru yaitu dimanakah akan ditempatkan gedung peribadatan
dari jemaat yang baru dipersatukan ini, apakah di Kampung Baru, Dilhao A ataukah di Kayu
Putih. Dalam kebingungan yang dialami oleh para tokoh-tokoh jemaat dan jemaat, maka
hadirlah seorang bapak yaitu Habel Ndaomanu yang dengan sukarela menyumbangkan
tanahnya seluas 4 are untuk dapat dibangunnya gedung gereja itu.
Adapun nama-nama Pendeta yang melayani di Jemaat Imanuel Oesao yaitu: Pdt.
Sahertian (1944-1947), Pdt. Habba (1947-1948), Pdt. Sodack (1948-1949), Pdt. E.D Liman
(1949-1954), Pdt. Rissi (1954-1955), Pdt. E.D Liman (1955-1958), Pdt. S.P Eluama (1958-
1960), Pdt. C. Nenohai (1960-1969), Pdt. Z.E Magang (1969-1980), Pdt. M.D. Beeh (1980-
1982), Pdt. D.D Kadja (1982-2001), Pdt. Ricky Ratu Edo (2001-2005), Pdt. Nahum Amalo
(2005-2006), Pdt. Welis Hawuhaba-Taedini, S.Th (2006-2011), Pdt. Yorita Kim-Tlonaen,
41
S.Th (2009-2013), Pdt. Velidia Tanau-Lioe, M.Si (2011-2015), Pdt. Adriana Oematan-
Siahaya, S.Th (2013-2017), Pdt Holy S.Th (2015 sampai sekarang). Jadi sampai saat ini
Jemaat Imanuel Oesao telah dipimpin oleh 18 pendeta.1
3.2.3 Jumlah Jemaat Imanuel Oesao
Jumlah anggota Jemaat Imanuel Oesao ± 3.868 jiwa. Jemaat ini dilayani oleh 2 orang
Pendeta, 129 Majelis Jemaat yang terdiri dari 73 Penatua, 34 Diaken dan 22 Pengajar.
Pembagian menurut wilayah-wilayah dapat dilihat pada tabel berikut:2
TABEL 1
Rincian Jumlah Jemaat
No Rayon Jumlah
KK
Anggota
Jemaat
Status Jemaat
Babtis Sidi Nikah Belum
Menikah
(KTIP) L P Jlh
1. Kayu Putih 243 305 367 672 612 543 234 9
2. Dilha’o A 294 403 449 852 776 366 275 19
3. Dilha’o B 223 295 323 618 558 296 197 15
4. Jembatan Dalam 1 143 210 343 553 505 296 131 12
5. Jembatan Dalam 2 87 129 286 415 343 156 46 18
6. Kampung Baru 91 203 254 457 441 230 87 4
7. Pukdale 67 163 138 301 289 110 64 3
Jumlah 1148 1708 2160 3868 3524 1997 1034 80
Dalam kehidupan berjemaatnya, tentu jemaat Imanuel Oesao juga memiliki masalah-
masalah yang sampai saat ini masih terus digumuli oleh gereja. Sebagai contoh permasalahn
yang sedang digumuli oleh gereja adalah masalah keluarga tanpa ikatan pernikahan yang
merupakan pokok masalah yang akan dibahas dalam bab ini. Berdasarkan data statistik
Jemaat Imanuel Oesao di atas terdapat juga jumlah pasangan yang belum menikah tetapi telah
1 Dokumen Jemaat GMIT Imanuel Oesao, tahun 2015.
2 Statistik Jemaat Imanuel Oesao, tahun 2015
42
membentuk sebuah keluarga yaitu berjumlah 80 pasangan. Dari jumlah pasangan yang telah
membentuk keluarga tanpa ikatan pernikahan ini menampilkan bagaimana permasalahan yang
sedang digumuli gereja dalam menghadapi jemaatnya yang telah berlaku menyimpang dari
ajaran gereja dan telah mengabaikan nilai, moral dan norma yang berlaku dalam masyarakat
tersebut.
Hal ini disebabkan karena banyak jemaat yang telah mengikuti perkembangan zaman
dan mengalami perubahan sosial, akibatnya banyak diantaranya telah menganggap bahwa
kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan kudus menjadi sesuatu yang biasa. Selain itu
ada juga jemaat lebih mengutamakan urusan adat (belis) dari pada urusan gereja (nikah
gereja) sehingga akibatnya banyak pasangan belum meresmikan hubungan mereka di gereja
karena masalah adat.3
3.2.4 Keadaan Ekonomi dan Mata Pencaharian Jemaat Imanuel Oesao
Manusia sebagai makhluk hidup adalah makhluk yang berkembang dan makhluk yang
aktif. Adapun motivasi seseorang untuk bekerja adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup dan keluarga karena pada dasarnya manusia cenderung untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan ini terdiri dari kebutuhan pokok (basic human needs) seperti makanan,
pakaian, sandang dan papan dan kebutuhan sekunder seperti pendidikan tinggi, kendaraan,
alat hiburan dan lain-lain.4
Sama halnya dengan masyarakat lain pada umumnya yang membutuhkan pekerjaan
untuk dapat memenuhi kebutuhannya, begitu pula masyarakat Oesao yang juga mempunyai
3Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Samuel Ndaomanu, tokoh masyarakat, Jumat, 25 November
2016. 4Hans Mulyanto, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 2.
43
mata pencaharian untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Terdapat beberapa mata
pencaharian dari jemaat tersebut yaitu dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
TABEL 2
Mata Pencaharian Jemaat Imanuel Oesao
No. Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase
1. Petani 832 30,4%
2. Pelajar/Mahasiswa 635 23,2%
3. Pedagang 307 11,2%
4. PNS 279 10,2%
5. Wiraswasta 256 9,3%
6. Ojek 189 6,9%
7. Ibu Rumah Tangga 146 5,3%
8. Polri/TNI 97 3,5%
Jumlah 2741 100%
Sumber: data statistik jemaat Imanuel Oesao tahun 2015
Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa sebagian besar Jemaat Imanuel
Oesao bermata pencaharian sebagai petani dengan persentase angka 30,4%. Hal ini
disebabkan oleh karena letak geografis dari daerah Oesao sendiri yang adalah dataran rendah
yang mengakibatkan hampir sebagian besar dari pada jemaat bermata pencaharian sebagai
petani. Selain bermata pencaharian sebagai petani, ada juga yang bekerja sebagai PNS,
Polri/TNI, wiraswasta, ojek, pedagang, pelajar/mahasiswa, dan ibu rumah tangga.
Melihat akan kondisi pekerjaan yang dimiliki masyarakat Oesao masih terbilang kurang
mapan keadaan ekonomi dalam kehidupannya karena sebagian besar hanya bermata
pencaharian sebagai petani. Dimana penghasilan dari pekerjaan sebagai petani yang tidak
tentu, apalagi jika keadaan iklim yang tidak begitu bagus serta jika tanaman terkena hama
maka dapat mempengaruhi tanaman yang ada, sehingga mengakibatkan banyak petani yang
gagal panen. Hal ini turut mempengaruhi penghasilan dari para petani tersebut.
44
Berdasarkan hasil penelitian penulis pada masyarakat Oesao, penulis melihat bahwa ada
sebagian muda-mudi yang tidak mau berusaha untuk mencoba mencari pekerjaan lain untuk
memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Banyak diantaranya yang lebih dahulu putus asa
sebelum berusaha mencari pekerjaan. Alasannya karena menurut mereka sangat sulit mencari
pekerjaan di era modern ini jika tidak memiliki ijazah sarjana. Kenyataannya bahwa sebagian
dari mereka yang bermata pencaharian sebagai petani tidak menamatkan sekolah mereka
hingga kejenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menamatkan pendidikan
hingga Sekolah Dasar, SMP dan SMA tetapi adapula diantara mereka yang tidak bersekolah.
Ini yang mengakibatkan sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan lain sehingga dapat
memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Hal tersebut dapat diketahui ketika penulis
mewawancarai beberapa anak dari para petani. Bahkan ada sebagaian muda mudi yang
mengatakan bahwa mereka akan meneruskan pekerjaan orang tua mereka sebagai petani.
Tetapi dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini ada juga sebagian muda-mudi
yang menyadari bahwa untuk dapat memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, mereka
mencoba untuk melakukan pekerjaan lain.
3.2.5 Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat atau kebudayaan.
Bagaimana sederhananya peradaban suatu masyarakat di dalamnya terjadi atau berlangsung
suatu proses pendidikan. Pendidikan telah ada sepanjang peradaban manusia. pendidikan pada
hakekatnya merupakan upaya manusia melestarikan hidupnya.5 Seseorang yang telah
mengecap pendidikan diharapkan kepribadian, kemampuan dan keterampilan semakin baik
5 John Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern (Jakarta: Gunung Agung,1989), 64.
45
sehingga ia dapat bergaul dan beradaptasi di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Hal ini
akan mempermudah seseorang tersebut dalam memenuhi hidupnya.6
Pendidikan merupakan satu faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi yang memiliki
pengaruh dalam masyarakat. Tingkat pendidikan seseorang akan membawa dampak bagi
kesempatan bekerja dan mendapat penghidupan yang lebih baik. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang semakin baik ditinjukkan melalui keberhasilan tingkat pendidikan
masyarakatnya. Hal ini karena pendidikan dianggap sebgai bentuk investasi bagi generasi
masyarakat selanjutnya.
Melihat akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat, maka dalam hal ini penulis juga
akan menampilkan tingkat pendidikan dalam jemaat Imanuel Oesao. Di mana tingkat
pendidikan tersebut sangat bervariasi, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan
Perguruan Tinggi. Data selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
TABEL 3
Tingkat Pendidikan Jemaat Imanuel Oesao
Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase
Belum Sekolah 352 9,1 %
Tamatan TK 287 7,4%
Tamatan SD 1222 31,6%
Tamatan SMP 796 20,6 %
Tamatan SMA 707 18,3%
Perguruan Tinggi 504 13,0%
Jumlah 3868 100%
Sumber: data statistik tahun 2015
6 Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 327.
46
Berdasarkan tabel di atas jelaslah bahwa Jemaat Imanuel Oesao masih memiliki tingkat
pendidikan yang rendah karena presentase tertinggi ada pada tingkat Sekolah Dasar yaitu
31,6 %, karena banyak diantaranya menamatkan pendidikannya hanya sebatas jenjang
Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan karena ada sebagian jemaat yang beranggapan bahwa
pendidikan itu tidak begitu penting karena bagi sebagian mereka lebih suka untuk bekerja dan
menghasilkan uang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dibandingkan dengan harus
bersekolah yang sudah tentu akan membutuhkan dana.7 Hal tersebut ternyata berdampak pula
pada mata pencaharian masyarakat Oesao yang jika dilihat dalam tabel 1 tentang mata
pencaharian Jemaat Imanuel Oesao, terlihat bahwa mata pencaharian sebagai petani berada
pada tingkat persentase paling tinggi yaitu 30,4 %. Karena pendidikan dari masyarakat Oesao
yang masih terbilang sangat rendah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sangat sulit bagi
masyarakat tersebut untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik dengan penghasilan yang
lebih baik pula.
Melihat akan hal ini, penulis dapat memberikan analisa bahwa keputusan yang diambil
jemaat tersebut agar tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi karena
terkendala dengan ekonomi. Pekerjaan jemaat yang hanya sebagai petani dengan penghasilan
yang tidak tentu ini mempengaruhi masyarakat untuk lebih mengutamakan mencukupi
kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum untuk bertahan hidup dibandingkan harus
memikirkan pendidikan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, tingkat kesadaran
orang tua semakin meningkat sehingga para orang tuapun dapat menyekolahkan anak mereka.
7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yater Bonlai, anggota Jemaat GMIT Imanuel Oesao, Sabtu, 11
November 2016.
47
Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel di atas, di mana jemaat yang berpendidikan Sarjanapun
sudah cukup banyak dengan jumlah presentase 13,0 %, sedangkan pendidikan SMA 18,3%
dan SMP 20,6 %. Ini membuktikan bahwa orang tua mulai menyadari akan pentingnya
pendidikan.
Ada sebagian penduduk yang mengalami putus sekolah karena berbagai faktor
penyebab dan salah satu faktor yang cukup mempengaruhi yaitu masalah dihamili dan
menghamili, sebagian dari 80 pasangan yang telah berkeluarga tanpa ikatan pernikahan
mengalami masalah hamil dan menghamili. Dari 22 narasumber yang telah berkeluarga tanpa
ikatan pernikahan ini yang diwawancarai oleh penulis terdapat 9 pasangan yang mengalami
masalah hamil dan menghamili sehingga para pasangan tersebut tidak dapat melanjutkan
pendidikan mereka dan terpaksa harus putus sekolah. Masalah hamil dan menghamili juga
merupakan salah satu faktor terbesar mengapa sehingga ada sebagian masyarakat ini tidak
dapat melanjutkan pendidikan mereka. Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada beberapa
narasumber terkait masalah tersebut, bahwa alasannya karena mereka malu akan keadaan
mereka dan terkadang dari masalah ini yang akhirnya menyebabkan banyak terbentuknya
keluarga tanpa ikatan pernikahan di jemaat Imanuel Oesao.
3.2.6 Sosio Budaya
Manusia selalu mempunyai kebudayaan dan tidak ada manusia yang tidak berbudaya,
oleh karena itu dikatakan bahwa kebudayaan memang tidak bisa dipisahkan dengan manusia.
Terdapat beberapa suku yang ada dalam masyarakat Oesao yaitu Suku Rote, Suku Timor,
Suku Sabu, Suku Sumba, Suku Flores, dan Suku Alor tetapi meskipun demikian sebagian
besar warga Oesao adalah Suku Rote, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Oesao
48
adalah masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan adat-istiadat dari Suku
Rote. Masyarakat Oesao merupakan masayarakat yang sangat menghargai adat-istiadat dan
masih terikat dengan tradisi. Sehingga dalam proses pernikahan dan sebelum sebuah
pernikahan diberkati di gereja maka terlebih dahulu harus dilaksanakan nikah adat. Hal ini
merupakan tradisi yang telah menempel pada kehidupan masyarakat Oesao, yang dalam
bahasa Rotenya nikah adat di sebut Sao Ha’dak.8 Selain itu, adapun kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Oesao yang menonjol dalam budaya yaitu belis dalam sebuah pernikahan.
Belis merupakan salah satu bagian dari rangkaian adat dan upacara nikah. Hal ini terjadi
karena kehidupan masyarakat sangat melekat pada tradisi dan adat-istiadat yang mereka
percayai sebagai suatu sistem yang mengontrol kehidupan mereka. Nikah adat (Sao Ha’dak)
bagi masyarakat Oesao dihayati sebagai norma hidup dan warisan nenek moyang (Ina Bo’i)
dan karena itu tidak boleh di kesampingkan. Oleh sebab itu, pernikahan merupakan tahapan
hidup yang masih berkaitan dengan adat istiadat dalam hal ini menyangkut soal belis atau mas
kawin.9
Bagi masyarakat Oesao belis adalah sejumlah harta yang diberikan oleh keluarga pria
kepada keluarga wanita dan kaum kerabat wanita. Belis atau mas kawin adalah sebagai tanda
terima kasih dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga dari pihak perempuan yang telah
merelakan anaknya pindah ke tempat pria. Selain itu sebagai pembuka hubungan keluarga
baru untuk seterusnya dan memberi nilai kepada seorang wanita, juga mempunyai nilai
penting dalam rangkaian ikatan secara lahir batin bagi suami istri. Bentuk belis yang berupa
hewan ternak dan beberapa benda adalah sebagai pengganti air susu ibu. Belis juga
8 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yafet Matatula, tokoh masyarakat, Sabtu, 12 November 2016.
9 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Pitter Kapitan, tokoh masyarakat, Sabtu, 12 November 2016.
49
mempunyai fungsi sebagai alat pengesahan perkawinan, memiliki fungsi ekonomi, fungsi
sosial, fungsi moral dan lambang status perempuan yang bermakna sebagai pengakuan
terhadap martabat seorang wanita yang dihargai dan dihormati dengan pemberian belis.10
Hasil analisa penulis terkait dengan permasalahan di atas bahwa belis bagi masyarakat
Oesao merupakan sejumlah barang-barang berharga yang diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan ketika proses nikah adat. Di mana belis memperlihatkan tinggi
rendahnya nilai penghargaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Karena itu, dalam
tradisi nikah adat Rote masalah pernikahan masih sangat berpengaruh dan bahkan belis atau
mas kawin menjadi persyaratan yang ikut menentukan legitimasi nikah adat tersebut. Hal ini
berarti kewajiban membayar belis dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan menentukan
status nikah adat dari kedua pasangan yang hendak bersatu dalam sebuah pernikahan. Selain
itu, tinggi rendahnya jumlah belis ikut menentukan status sosial dari keluarga tersebut.
Artinya bahwa, semakin tinggi status keluarga dari pihak perempuan maka jumlah belis yang
diberikan oleh pihak laki-laki harus berjumlah tinggi.
3.2.7 Hubungan Adat, Pemerintah, dan Gereja Dalam Melegitimasi Sebuah Pernikahan
1. Adat Istiadat
Suatu kebudayaan dibentuk oleh sekumpulan individu yang mempunyai latar belakang
dan ciri khas sendiri sesuai dengan lingkungan tempat individu tersebut bertempat tinggal.
Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
kerena kebudayaan lahir dari rasa, cipta dan karsa manusia. Kebudayaan yang ada di tengah-
tengah masyarakat, yang pembiasannya dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat disebut
10
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yonas Manafe, tokoh masyarakat, Minggu, 13 November
2016.
50
dengan adat istiadat. Adat istiadat yang diturunkan dari pendahulunya serta diwariskan ke
generasi berikutnya secara melembaga disebut tradisi.11
Tradisi suatu masyarakat merupakan bagian dari kebudayaan yang dapat memperkaya
kebudayaan nasional. Karena itu maka nilai-nilai budaya suku bangsa pada kebudayaan
daerahnya harus dipelihara dan dikembangkan. Salah satu unsur budaya yang masuk
sekaligus berpengaruh dalam kehidupan masyarakat adalah sistem pernikahan sebagai bagian
dari system kemasyarakatan yang hidup pada perilaku masyarakat. Pernikahan sebagai salah
satu unsur kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat membuat pernikahan
menjadi salah satu ritual yang cukup penting bagi masyarakat.
Kehidupan masyarakat dalam jemaat Imanuel Oesaopun masih melekat pada tradisi dan
adat-istiadat karena itu pernikahan adalah salah satu tahapan hidup yang masih sangat
berkaitan dengan adat. Pemuka adat berperan sebagai penentu tahap-tahap yang akan dilewati
dalam proses pernikahan adat. Selain pemuka adat, peran penting dalam pernikahan secara
adat juga dipegang oleh to’o huk (saudara laki-laki dari ibu mempelai perempuan). To’o huk
juga mengambil bagian dalam penentuan besar kecilnya belis atau mas kawin.
Sebelum kedua pasangan ini meresmikan hubungan mereka di gereja, terlebih dahulu
harus menyelesaikan urusan adat, setelah itu barulah hubungan mereka dapat diresmikan di
gereja. Dalam urusan pernikahan adat dilakukan dua kali pertemuan keluarga yaitu pertemuan
yang pertama hanya diberlakukan bagi keluarga inti (kumpul kenik), dalam pertemuan
tersebut akan dibahas tentang segala kebutuhan mempelai perempuan yang akan dibawa ke
rumah mempelai laki-laki sebagai antaran. Sedangkan dalam pertemuan keluarga yang kedua
11
Esten, Mursal, Kajian Transformasi Budaya (Bandung: Angkasa, 1999), 21.
51
diberlakukan secara umum, baik itu keluarga ataupun bukan keluarga, dan juga keluarga laki-
laki harus turut hadir dalam pertemuan yang kedua ini, karena dalam pertemuan yang kedua
ini akan membahas tentang jumlah belis yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan.12
Setelah melakukan pertemuan dengan keluarga perempuan maka keluarga dari pihak
laki-laki melakukan pertemuan juga dengan keluarganya untuk membahas soal jumlah belis
yang akan diberikan kepada pihak perempuan, dalam pertemuan ini pun dimaksudkan agar
keluarga dapat memberikan sejumlah uang (isi dompet) kepada pihak laki-laki. Hal ini di
maksudkan untuk membantu pihak laki-laki dalam membayar belis kepada pihak perempuan.
Setelah semua urusan telah selesai maka dilanjutkan dengan acara peminangan (acara masok
minta/ natane inak) dan juga membawa belis yang telah disepakati oleh kedua pihak untuk
diserahkan kepada pihak perempuan sebagai tanda pengikat dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan. Acara peminangan merupakan puncak dari segala urusan adat.
Prosesi nikah adat Suku Rote di Jemaat GMIT Imanuel Oesao yang harus dilakukan,
dapat dilihat dalam beberapa tahapan sebagai berikut: yang pertama, prosesi meminang
(natane inak) dalam prosesi ini, utusan dari keluarga calon mempelai laki-laki yakni 2 orang
to’o huk dan 2 orang te’o mana natanek datang kerumah calon mempelai perempuan dengan
membawa hewan yaitu berupa kambing atau babi dan sekarung beras untuk dimasak. Hal ini
merupakan simbol kekerabatan dan kekeluargaan yang harus terus dibina. Tujuan dari
pertemuan ini ialah meminta persetujuan dari pihak atau keluarga calon mempelai perempuan
12
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Martinus Manafe, tokoh masyarakat, Senin, 21 November
2016
52
untuk memperbolehkan sang calon mempelai laki-laki menikah dengan sang calon mempelai
perempuan.
Kedua, prosesi meminta belis (tao hutak) dalam pernikahan adat suku rote, belis
merupakan hal utama yang harus dipenuhi sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. Ketika
tiba saat tao hutak, keluarga calon mempelai laki-laki dalam hal ini to’o huk (saudara laki-laki
dari ibu calon mempelai perempuan), sebagai perwakilan orang tua, te’o dan mam to’o serta
para ketua adat datang kerumah mempelai laki-laki dengan tujuan untuk membicarakan
seberapa besar belis yang akan diminta oleh keluarga calon mempelai perempuan kepada
keluarga dari calon mempelai laki-laki. Pada umumnya belis yang diminta kepada keluarga
dari calon mempelai laki-laki adalah berupa uang berjumlah Rp 50.000.000,00 hingga Rp
100.000.000,00. Setelah adanya kesepakatan tentang jumlah belis yang harus dibayar oleh
keluarga calon mempelai laki-laki, keluarga dari calon mempelai perempuan mengucapkan
terima kasih dengan cara makan siri bersama dan dilanjutkan dengan paku mei (minum tuak).
Setelah acara paku mei, kedua belah pihak menyepakati tanggal lamaran dan tanggal
pernikahan.
Ketiga, prosesi lamaran, pada tahap ini pihak calon mempelai laki-laki datang ke rumah
calon mempelai perempuan dengan membawa antaran berupa lampu. Disini lampu
diibaratkan sebagai penerang dalam rumah tangga yang akan selalu bersinar dan menerangi
setiap sudut kehidupan dari rumah tangga yang akan dibangun oleh kedua pasangan tersebut.
Dulang pertama berisi satu rangkai pinang dalam ukuran yang besar. Hal ini merupakan
kebiasaan yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Pinang yang dibawa akan dibagikan
kepada seluruh undangan yang hadir pada saat acara lamaran telah selesai. Dulang kedua
berisi Alkitab dan amplop yang berisi uang. Alkitab disini diartikan sebagai suatu pedoman
53
dalam menjalankan rumah tangga yang akan dibangun. Sedangkan amplop yang dimaksud
terdiri dari amplop untuk to’o huk, untuk orang tua sebagai ungkapan trima kasih/pengganti
air susu ibu dan amplop untuk pemerintah dan gereja sebagai tempat melaksanakan
pemberkatan pernikahan. Dulang ketiga berisi pakaian untuk orang tua dan saudara dari sang
calon mempelai perempuan. Tujuan dari antaran ini adalah sebagai ungkapan terima kasih
karena telah memenuhi kebutuhan calon mempelai perempuan selama belum menikah.
Dulang keempat berisi pakaian untuk calon mempelai perempuan yakni pakaian gereja,
gaun pesta, sepatu dan pakaian dalam. Dulang kelima berisi peralatan untuk riasan wajah
mempelai perempuan dan peralatan mandi. Dulang keenam berisi pakaian pengantin yang
akan digunakan oleh sang mempelai perempuan pada saat pemberkatan dan resepsi
pernikahan. Setelah semua barang antaran diserahkan kepada pihak calon mempelai
perempuan, diadakan acara nasihat yang dilakukan oleh to’o huk, para tetua adat dan
perwakilan orang tua.
Keempat, prosesi pernikahan (sasaok) pada prosesi ini, kedua calon mempelai diantar
oleh keluarga ke gereja untuk mengikuti prosesi pemberkatan pernikahan yang dilakukan oleh
Pendeta dari gereja setempat. Setelah selesai pemberkatan, dilanjutkan dengan resepsi yang
diadakan dirumahnya mempelai perempuan. Acara resepsi pada umumnya biasa ditanggung
oleh keluarga dari pihak laki-laki.
Kelima, prosesi pengantaran mempelai wanita kerumah mempelai pria (dode inak).
Setelah acara resepsi, pada keesokkan harinya kedua mempelai yang telah menjadi sepasang
suami-isteri tersebut diantar kerumah mempelai laki-laki dan diantar oleh keluarga dari
mempelai perempuan bersama dengan ayah/ibu dari mempelai perempuan. Ketika tiba
54
dirumah mempelai laki-laki, mempelai perempuan disambut oleh petugas yang biasa disebut
dengan mansali oe. Setelah acara penyambutan, maka dilanjutkan dengan makan siri bersama
dan siri yang dimakan oleh para tamu dan tetua adat harus diantar sendiri oleh mempelai
perempuan dan mansali oe. Setelah acara makan siri bersama selesai, dilanjutkan dengan
nasihat yang akan dilakukan oleh to’o huk dan tetua adat dari pihak mempelai laki-laki.13
2. Negara (Pemerintah)
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 itu dimuat antara lain ketentuan-ketentuan
pelaksanaan mengenai: pencatatan perkawinan yaitu yang pertama, pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam oleh pegawai
pencatatan sebagai dimaksud dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk. Kedua, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan Perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Tatacara perkawinan diatur dalam
pasal 3-9 PP No. 9 tahun 1975 yang mencakup antara lain: (1) pemberitahuan, (2) penelitian,
(3) pengumuman dan (4) saat pencatatan, yakni menurut pasal 10 dan pasal 11.14
Walaupun UU perkawinan ini mempunyai makna positif (Bersifat nasional, aspek
agama mendapat perhatian, sistem monogami/ persyaratan poligami cukup ketat), namun ada
hal pokok yang menjadi problematik gereja yaitu tentang keabsahan perkawinan; di mana
letak keabsahan perkawinan pada negara atau gereja. Terhadap masalah pokok ini, sidang
MPL PGI 1989 telah merumuskan kesatuan pandangan sebagai berikut: Perkawinan adalah
13
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sarah Patty, tokoh masyarakat, Senin, 21 November 2016. 14
Wenata Sairin dan J.M Pattiasina, Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 45-47.
55
sah apabila dilakukan terlebih dahulu di hadapan pejabat Kantor Catatan Sipil, kemudian
diteguhkan atau diberkati oleh gereja. Pemerintah Catatan Sipil menafsirkan secara ketat
bunyi pasal 2 ayat 1 UU perkawinan bahwa yang dimaksud dengan keabsahan perkawinan
menurut hukum masing-masing agamanya adalah pemberkatan nikah (untuk agama Kristen).
Artinya bahwa Kantor Catatan Sipil baru akan mencatat pernikahan warga gereja sesudah
mereka diberkati.
Dalam rangkah pemenuhan undang-undang perkawinan dan serentak juga pemenuhan
ketentuan Tata Gereja maka urutan perkawinan adalah sebagai berikut pertama, pernikahan
gereja (istilah ini masih bersifat sementara). Di mana dalam acara ini hadir pendeta, majelis,
kedua calon mempelai dan keluarga mereka. Di sinilah dilakukan pengecekan administratif
(kelengkapan surat dan lain-lain), percakapan penggembalaan pernikahan, kebaktian singkat
(dengan liturgi yang baku) namun tidak ada berkat dengan penumpangan tangan. Jika secara
administratif para calon mempelai itu sudah memenuhi syarat dan telah dilakukan percakapan
atau penggembalaan pernikahan, maka hal itu dapat dianggap telah memenuhi ketentuan pasal
2 ayat (I) UU perkawinan. Sesudah melewati acara ini maka kedua calon mempelai itu
menerima “surat pernikahan” (dalam formulir baku). Kedua, surat pernikahan itu diberikan
kepada petugas Pencatatan Sipil yang akan mencatat perkawinan itu, sehingga secara yuridis-
formal perkawinan itu memiliki keabsahan. Ketiga, sesudah pencatatan itu, sebagai tanda
syukur dan kulminasi seluruh proses perkawinan, maka dilakukan kebaktian pemberkatan
nikah untuk meneguhkan dan memberkati perkawinan itu sebagai sesuatu yang telah ada dan
yang telah disahkan oleh pemerintah.15
15
Sairin dan Pattiasina, Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, 51.
56
3. Gereja
Setelah kedua lembaga, dalam hal ini lembaga adat dan pemerintah mengesahkan
sebuah penikahan barulah gereja memberkati pernikahan tersebut. Tahapan ini sesuai dengan
aturan gereja khususnya dalam ketetapan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, Ketetapan
Sinode GMIT XXVIII-GMIT No 12 tahun 1995. Dalam hubungan kerja sama dalam
perkawinan adat, maka pemerintah dan gereja hadir sebagai saksi. Dalam kenyataannya,
tahapan adat, pemerintah dan gereja seringkali tidak berjalan semestinya.
Bagi warga gereja di Indonesia sikap gereja-gereja sebenarnya telah jelas, persoalannya
adalah sejauh mana gereja dan umat Kristen Indonesia konsisten dan konsekuen dengan sikap
yang diambilnya itu, suatu sikap yang dilatarbelakangi oleh pandangan teologis yang dalam
dan tajam. Sejauh mana pula PGI bersama gereja-gereja mampu mengkomunikasikan dan
meyakinkan pandangan teologisnya itu kepada pemerintah dan masyarakat luas.
Di sisi lain, hubungan kerja sama dari ketiga instansi sekarang ini, kurang begitu dekat
dan baik khususnya dalam menghadapi masalah pernikahan. Sebelum mempelai
menunjukkan bukti yang sah bahwa mereka sudah “nikah gereja”, maka Catatan Sipil tidak
mau mencatatnya. Dengan demikian keputusan Sidang MPL PGI 1989 yang menyatakan
bahwa perkawinan Kristen dicatat dulu baru diberkati, tidak bisa dijalankan. Dan gereja
seringkali enggan untuk melakukan negosiasi tentang hal itu kepada pemerintah, kecuali jika
Petugas Pencatatan Sipil itu adalah warga gereja, maka urutan dicatat dulu baru diberkati, itu
bisa terlaksana. Sesuai fungsinya, ketiga lembaga baik adat, pemerintah dan gereja memiliki
kerjasama yang saling mendukung untuk mengarahkan pasangan-pasangan yang telah
berkeluarga tanpa ikatan pernikahan agar setelah pasangan-pasangan ini disahkan secara adat
57
dan pemerintah, maka kedua pasangan ini juga harus diarahkan untuk diberkati di gereja.
Untuk mengetahui tentang bagaimana kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan serta
melihat akan faktor-faktor penyebabnya, maka akan dibahas sebagai berikut.
3.3 Realita dan Sikap Jemaat Terhadap Kehidupan Keluarga tanpa Ikatan Pernikahan
Sebagian besar dari umat manusia sepanjang sejarah hidup dalam lembaga pernikahan,
karena itu masalah pernikahan menyangkut kepentingan semua orang. Moral pernikahan juga
layak menjadi salah satu sasaran perhatian kita, apalagi karena akhir-akhir ini tampaknya juga
ada pergeseran pandangan dan praktik hidup suami-istri di banyak tempat. Ada sebagian
masyarakat yang telah hidup sebagai keluarga tetapi tanpa ikatan pernikahan. Karena hal
tersebut melanggar nilai dan norma-norma yang berlaku di Indonesia maka para pasangan-
pasangan ini tidak mendapatkan ruang dalam kehidupan bermasyarakat karena kehidupan
tersebut dipandang sebagai sesuatu hal yang tabu.
Hidup bersama tanpa menikah adalah sesuatu hal yang dianggap kurang baik dan harus
dihindari. Moralitas agama memburukkannya dengan menganggapnya sebagai dosa. Karena
itu lebih baiknya meresmikan hubungan itu dalam sebuah pernikahan kudus. Tetapi yang
terjadi dalam kehidupan berjemaat dalam pembentukan sebuah keluarga masih terdapat
keluarga-keluarga yang telah terbentuk tetapi belum terikat dalam suatu pernikahan, baik
secara adat, gereja dan juga secara Negara. Oleh karena itu kehidupan keluarga-keluarga
tersebut tidak diakui dalam masyarakat. Dalam hal ini penulis mencoba membandingkan
jumlah pasangan-pasangan yang telah hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dari tahun 2013
sampai pada tahun 2015, ini dilakukan penulis untuk melihat apakah kehidupan keluarga
58
tanpa ikatan pernikahan ini cenderung berkurang setiap tahunnya atau sebaliknya cenderung
meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL 4
Jumlah pasangan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan dari Tahun 2013
sampai 2015
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
Rayon Belum
menikah
Rayon Belum
menikah
Rayon Belum
menikah
Kayu Putih 6 Kayu Putih 6 Kayu Putih 9
Dilha’o A 12 Dilha’o A 9 Dilha’o A 19
Dilha’o B 3 Dilha’o B 12 Dilha’o B 15
Jembatan
Dalam 1
14 Jembatan
Dalam 1
4 Jembatan
Dalam 1
12
Jembatan
Dalam 2
10 Jembatan
Dalam 2
16 Jembatan
Dalam 2
18
Kampung Baru 1 Kampung
Baru
3 Kampung
Baru
4
Pukdale - Pukdale 3 Pukdale 3
Jumlah 46 Jumlah 53 Jumlah 80
Jumlah total 80 Pasangan Sumber: Data statistik Jemaat Imanuel Oesao tahun 2015
Berdasarkan data statistik Jemaat GMIT Imanuel Oesao dari tahun 2013 hingga tahun
2015 terlihat sangat jelas bahwa setiap tahunnya kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan
cenderung bertambah. Awalnya di tahun 2013 sebanyak 46 pasangan hingga menjadi 53
pasangan di tahun 2014, dan terus menerus meningkat menjadi 80 pasangan di tahun 2015.
Dari hal ini menampilkan bahwa ada peningkatan jumlah keluarga tanpa ikatan pernikahan
selamat tiga tahun berturut-turut. Kenyataannya, jumlah pasangan keluarga tanpa ikatan
pernikahan ini kebanyakan berasal dari kalangan muda-mudi. Walaupun demikian pasangan-
59
pasangan ini tidak melakukan pernikahan kudus di gereja.16
Kenyataan ini menampilkan tidak
sedikitnya jumlah keluarga tanpa ikatan pernikahan dalam rumah tangga keluarga kristen.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan pokok yang diberikan kepada responden, maka
timbullah berbagai sikap terhadap keberadaan keluarga tanpa ikatan pernikahan di Jemaat
GMIT Imanuel Oesao, yaitu yang pertama sikap menolak di mana ada beberapa Jemaat
Imanuel Oesao tidak menerima suatu hubungan keluarga tanpa ikatan pernikahan. Ini
disebabkan karena menurut mereka kehidupan bersama diluar nikah merupakan pelanggaran
baik itu secara agama dan juga dari segi moral. Menurut mereka orang yang telah membentuk
keluarga tanpa ikatan pernikahan adalah orang-orang berdosa, karena bagi mereka telah
melanggar hukum taurat yang ada dalam Alkitab.17
Walapun mereka menolak akan kehidupan
keluarga tanpa ikatan pernikahan tetapi mereka tidak dapat melakukan sesuatu untuk dapat
mencegah kehidupan bersama itu, tetapi ada juga cara yang dilakukan sebagian orang untuk
menunjukkan ketidaksetujuan mereka, yaitu jika dilingkungan rumah mereka terdapat
pasangan-pasangan tersebut maka tindakan yang dilakukan yaitu dengan cara mengucilkan
mereka. Hal ini dilakukan karena ketakutan mereka bahwa anak-anak mereka dapat mengikuti
cara kehidupan tersebut sehingga dengan menghindari para pasangan keluarga tanpa ikatan
pernikahan merupakan cara yang tepat menurut mereka agar anak-anak mereka kelaknya
tidak terpengaruh.
Kedua sikap menerima, ada beberapa alasan dari beberapa jemaat tersebut sehingga
memutuskan untuk menerima kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan, sekalipun
mereka tahu benar bahwa yang dilakukan oleh para pasangan-pasangan ini adalah sebuah
16
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Enggelina Kiuk-Fangidae, majelis jemaat Imanuel Oesao, Kamis,
15 Desember 2016. 17
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Frengki Tameno, jemaat Imanuel Oesao, Kamis, 24
November 2016.
60
kesalahan. Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada beberapa masyarakat Oesao dalam
meresponi kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan, adanya alasan tersendiri bagi mereka
sehingga dapat menerima kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan. Ada sebagian yang
merasa prihatin dengan keadaan mereka, karena sering ditolak oleh beberapa masyarakat
sekitar.18
Sehingga mereka memutuskan untuk menerima para pasangan ini tanpa harus
memperdulikan status hubungan para pasangan ini. Selain itu ada juga alasan masyarakat lain
menerima mereka karena berhubungan dengan adat yaitu belis. Di mana karena para pasangan
ini belum bisa untuk membayar belis sehingga mereka harus berusaha mengumpulkan uang
secara bersama untuk dapat membayar belis kepada pihak perempuan.19
Jadi dapat
disimpulkan bahwa yang utama bagi masyarakat yang menerima keberadaan para pasangan
ini dengan alasan belis bukan karena keprihatinan melainkan karena urusan adat,
pengutamaan pada pelunasan belis. Karena pihak laki-laki tidak mampu untuk membayar
belis kepada pihak perempuan sehingga pernikahan tidak bisa di laksanakan. Bagi sebagian
jemaat menganggap bahwa belis harus diutamakan, setelah belis telah dilunasi atau dibayar
barulah bisa meresmikan hubungan pasangan tersebut di gereja.
Ketiga adalah sikap tidak peduli, selain sikap menolak dan juga sikap menerima
ternyata dari hasil wawancara juga terdapat sikap tidak peduli terhadap masalah kehidupan
berkeluarga tanpa ikatan pernikahan. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut tidak suka
mencampuri urusan orang lain karena bagi mereka apa yang dilakukan pasangan-pasangan
tersebut bukan merupakan tanggung-jawab dari mereka melainkan tanggung-jawab dari
18
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ita Saduk dan ibu Rin Suki, Jemaat Imanuel Oesao, kamis, 24
November 2016. 19
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Bendelina Humau, jemaat Imanuel Oesao, Jumat, 25 November
2016.
61
pasangan-pasangan itu sendiri.20
Karena itu tidak ada alasan bagi mereka untuk menerima
atau menolak kehidupan para pasangan keluarga tanpa ikatan pernikahan tersebut.
Menurut Ketua Majelis Jemaat Imanuel Oesao, memang tiap tahun ada pasangan-
pasangan yang memberi diri untuk melakukan nikah gereja, tetapi di tahun berikut dan bisa
saja dalam tahun yang sama hadir lagi pasangan-pasangan suami istri yang sudah tinggal
serumah membentuk sebuah keluarga tetapi belum terikat dalam pernikahan. Dengan
demikian, jumlah keluarga tanpa ikatan pernikahan ini lebih cenderung bertambah bukan
sebaliknya cenderung berkurang.21
Ketika para pasangan ini hendak melakukan pernikahan maka mereka hurus melewati
beberapa tahap yang telah ditentukan dari masing-masing pihak yaitu dari pihak keluarga
menyangkut adat-istiadat, pemerintah dan gereja. Setelah mereka menyelesaikan segala
urusan di atas, barulah kedua pasangan ini resmi menjadi suami istri,22
tetapi dalam
penyelesaian proses pernikahan ini, terdapat beberapa faktor yang menghambat, sehingga
para pasangan ini belum bisa meresmikan hubungan mereka sebagai suami-istri yang sah dan
mendapat pengakuan dari masyarakat dan gereja. Berdasarkan hal ini maka selanjutnya akan
dibahas faktor-faktor penyebab terhambatnya sebuah proses pernikahan.
3.4 Faktor Budaya Asing
Masuknya budaya asing ke Indonesia disebabkan salah satunya karena adanya krisis
globalisasi yang meracuni Indonesia. Masuknya budaya asing ke Indonesia telah juga
dirasakan oleh masyarakat Oesao saat ini. Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan
20
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yostan Ballo, jemaat Imanuel Oesao, Jumat, 25 November
2016. 21
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Adriana Siahaya Oematan, ketua majelis Jemaat GMIT Imanuel
Oesao, Rabu, 14 Desember 2016. 22
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Martinus Manafe, tokoh masyarakat, Jumaat, 16 Desember
2016.
62
menyangkut berbagai bidang kehidupan. Tentu saja pengaruh tersebut akan menghasilkan
dampak yang sangat luas pada system kebudayaan masyarakat. Begitu cepatnya pengaruh
budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya goncangan budaya yaitu suatu keadaan di
mana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar
sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ada
penyerapan unsur budaya luar secara cepat dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang
mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wujud yang di tampilkan dan
nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya.
Teknologi komunikasi dan informasi juga sangat mendorong perubahan melalui
keterbukaan informasi dan wawasan, masuknya informasi budaya asing yang tidak sesuai
dengan tradisi ketimuran, telah menciptakan wawasan baru sekaligus membentuk budaya baru
dalam pergaulan remaja pranikah. Teknologi yang berkembang pada era globalisasi ini
mempengaruhi karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial. Di zaman yang serba
canggih ini, banyak cara mengakses budaya asing serta mudahnya budaya asing masuk ke
Indonesia tanpa filterisasi. Masuknya budaya asing mempunyai pengaruh yang sangat kuat
serta memiliki dampak postitif atau sebaliknya memiliki dampak negatif.
Pada akhirnya membuat sebagian masyarakat Oesao rawan tergoda hal-hal negatif dan
berpengaruh kuat terhadap terjadinya pergeseran nilai budaya pacaran yang semakin bebas
dengan praktik aktifitas seksual yang melanggar norma sosial, nilai budaya lokal yang dapat
membahayakan dirinya. Masyarakat ini terbuka dengan inovasi-inovasi yang hadir dalam
kehidupannya, namun mereka belum dapat menyeleksi budaya yang sesuai dengan norma-
norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Pengaruhnya budaya asing dalam
kehidupan masyarakat Oesao menampilkan bagaimana kehidupan masyarakat saat ini yang
63
menganggap norma-norma yang berlaku di Indonesia tidak penting. Banyak generasi muda
zaman sekarang melakukan penyimpangan-penyimpangan tanpa menghiraukan norma yang
berlaku di negeri ini, mereka seakan tak takut akan adanya sanksi. Kebebasan dalam tradisi
berpacaran, diantaranya menyebabkan terjadinya paraktik aktifitas seksual pranikah, bahkan
peristiwa hamil pranikah semakin banyak terjadi. Akibatnya adalah menurunnya nilai
pernikahan dalam masyarakat Oesao. Sehingga dari hal tersebut menciptakan kehidupan baru
dalam sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan.
Seakan dikuasai oleh budaya asing membuat masyarakat Oesao ada yang telah memilih
untuk membangun sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan. Banyak diantaranya yang telah
tinggal serumah dan membentuk keluarga tanpa ikatan pernikahan. Banyak masyarakat Oesao
yang meniru gaya hidup dari bangsa asing saat ini atau kehidupan masyarakat Oesao saat ini
lebih berkiblat kebarat-baratan. Masuknya budaya asing dalam kehidupan masyarakat Oesao
membuat mereka mengabaikan budaya mereka sendiri. Bagi masyarakat Oesao yang telah
membentuk kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan menganggap hal ini sebagai
bagian dari kehidupan modern.23
Pasangan-pasangan ini berpendapat bahwa kehidupan bersama ini sebagai sebuah
percobaan, dimana jika dalam proses hidup bersama ini mereka mendapatkan adanya
kecocokan maka hubungan mereka akan dilanjutkan pada pernikahan, tetapi jika dalam
prosesnya mereka mendapatkan ketidakcocokkan dalam kehidupan bersama ini, maka mereka
akan mengakhiri kehidupan bersama ini sekalipun dalam kehidupan bersama mereka sudah
memiliki anak dari hasil hubungan tersebut.24
Selain itu ada juga yang memutuskan untuk
23
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Ibu Adriana Oematan-Siahaya, Ketua Majelis Jemaat
GMIT Imanuel Oesao, Minggu, 26 Februari 2017. 24
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Serly Manafe, Jemaat Imanuel Oesao, 27 Februari 2017.
64
memilih tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan karena dipengaruhi oleh keadaan
keluarganya yang berantakan karena perceraian orangtuanya. Hal ini menyebabkan sang anak
lebih memilih untuk tinggal bersama dengan pasangannya tanpa adanya ikatan pernikahan.
Menurutnya pernikahan tidak menjamin suatu rumah tangga itu dapat terus bertahan tanpa
adanya perceraian.25
Hembusan pengaruh budaya asing dianggap sebagai ciri khas kemajuan dalam ekspresi
kebudayaan kekinian, padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi
masyarakat itu sendiri. Keadaan ini terus mengikis budaya dan kearifan lokal yang menjadi
warisan terjadi kebudayaan masyarakat nusantara. Dari sinilah juga nilai tradisional secara
perlahan mengalami kepunahan karena tidak mampu bersaing dengan budaya modern dalam
bentuk pergaulan masyarakat. Dalam era globalisasi ini, jati diri masyarakat Oesao perlu
dibina lagi, hal ini diperlukan agar masyarakat Oesao tidak terbawa arus oleh pengaruh
budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan bahkan tidak cocok dengan kebudayaan yang
berlaku dalam masyarakat Oesao saat ini.
3.5 Faktor Adat-istiadat
Faktor adat-istiadat juga mempengaruhi sehingga banyak pasangan yang belum nikah.
Hal ini disebabkan karena besarnya belis dalam urusan adat yang menjadi kendala sehingga
menjadi hambatan dalam proses pernikahan. Karena kehidupan Jemaat Imanuel Oesao adalah
jemaat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan adat istiadat dan budaya sehingga
dengan sendirinya berbagai macam cara dalam mengatur kehidupan mereka masih
dipengaruhi oleh tradisi. Adat istiadat ini telah melekat dalam kehidupan jemaat sehingga
25
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Yulsi Dillak, Jemaat Imanuel Oesao, 27 Februari 2017.
65
dalam urusan pernikahan pun adat-istiadat tidak boleh dilupakan, sebab adat merupakan
kebiasaan hidup yang mengatur seluruh segi kehidupan manusia.
Dari hasil wawancara penulis pada beberapa pasangan yang telah berkeluarga tanpa
ikatan pernikahan, mereka mengatakan bahwa belis yang terlalu mahal yang mengakibatkan
sehingga mereka tidak dapat melangsungkan hubungan mereka dalam pernikahan. Sebab bagi
masyarakat Oesao dalam melangsungkan pernikahan, sebelumnya dari pihak laki-laki harus
memberikan belis kepada pihak dari keluarga perempuan. Belis tersebut berupa sejumlah
uang atau beberapa barang yang bernilai harganya karena ini sebagai prasyarat. Apabila
perempuan telah dihamili terlebih dahulu maka keluarga laki-laki wajib membayar denda
kepada keluarga perempuan di luar dari jumlah belis yang akan diberikan. Besarnya belis
tersebut yang akhirnya mengakibatkan banyak pasangan-pasangan yang tidak jadi menikah.26
Adat-istiadat yang awalnya mereka percayai sebagai system yang seharusnya
mengontrol kehidupan mereka, tetapi kenyataannya sekarang justru adat istiadat menjadi
penghambat bagi mereka dan seakan merusak niat baik mereka yang ingin menikah agar
dapat diakui masyarakat sekitar. Tetapi karena adat istiadat justru membuat mereka diabaikan,
tidak dianggap dan bahkan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena hal ini
sehingga mereka mengambil keputusan untuk tinggal bersama tanpa harus memperdulikan
nilai-nilai serta norma-norma yang terkandung dan terpelihara dalam masyarakat Oesao. Bagi
sebagaian mereka mengaggap bahwa budaya yang terkandung dalam masyarakat Oesao telah
ketinggalan zaman sehingga harus diganti dengan yang baru berdasarkan perkembangan
zaman sekarang ini. Karena itu, bagi sebagian pasangan ini merasa pernikahan tidak penting,
26
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Frans Kapitan, jemaat Imanuel Oesao, Sabtu, 17 Desember
2016.
66
yang penting bagi para pasangan ini adalah dapat bersatu dan hidup bahagia. Bahkan ada
pasangan yang mengatakan bahwa sekalipun mereka tidak menikah tetapi kehidupan mereka
jauh lebih bahagia dibandingkan kehidupan dari pasangan-pasangan yang telah meresmikan
hubungan mereka pada pernikahan.27
Sebab itu mereka menuntut agar kebudayaan yang
berlaku saat ini dapat diganti dengan kebudayaan yang baru yang sesuai dengan
perkembangan zaman yang semakin modern ini.
Ada pun masalah lain yang menghambat sebuah pernikahan dan berdampak pada anak-
anak dari pasangan-pasangan tanpa ikatan pernikahan ini yaitu anak-anaknya telah siap untuk
menikah tetapi terhambat pernikahannya karena orang tuanya belum menikah. Ada pasangan
yang telah siap untuk menikah dimana segala urusan adatpun telah diselesaikan dalam hal ini
belis dan selanjutnya masuk pada pemberkatan di gereja, tetapi tidak dapat dijalankan karena
orang tua dari salah satu pasangan tersebut belum menikah. Sehingga para pasangan ini harus
menunggu agar orang tua dari mereka dapat memberi diri untuk dapat meresmikan hubungan
mereka dalam pernikahan.28
Hasil analisa dari penulis terkait persoalan diatas di mana hal tersebut dilakukan gereja
dengan maksud agar para orang tua inipun juga segera mungkin memberi diri mereka untuk
dapat dikukuhkan dalam sebuah pernikahan. Tetapi kenyataan yang terjadi justru orang tua
yang bersangkutan tidak memberi diri untuk diberkati dalam sebuah pernikahan. Sehingga
pada akhirnya banyak anak muda memilih untuk tinggal bersama calon istri atau suaminya
dalam membentuk keluarga tanpa ikatan pernikahan. Inilah penyebab mengapa jumlah
pasangan yang belum menikah cenderung selalu meningkat. Ada juga aturan yang berlaku
27
Berdasarkan hasil wawancara dengan Henny Mihalleo, jemaat Imanuel Oesao, Sabtu, 17 Desember 2016. 28
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Yoka Manu dan Meddy Manu, jemaat Imanuel Oesao, Sabtu, 17
Desember 2016.
67
dalam adat-istiadat masyarakat Oesao yaitu apabila laki-laki tidak mampu untuk membayar
belis kepada pihak perempuan maka laki-laki tersebut harus tinggal dirumah perempuan.
Peraturan seperti ini pula ikut meningkatkan keberadaan keluarga tanpa ikatan pernikahan.
Mengapa demikian, karena tinggalnya laki-laki di rumah perempuan bukan berarti status
hubungan mereka sah menjadi suami istri. Hubungan mereka tetap tidak akan pernah
diresmikan kecuali telah membayar belis.
3.6 Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga mempengaruhi sehingga pasangan-pasangan ini belum
meresmikan hubungan mereka pada sebuah pernikahan. Kebiasaan dari masyarakat Oesao
bahwa setelah melangsungkan pemberkatan pernikahan di gereja maka dilanjutkan dengan
resepsi pernikahan (pesta yang mewah) sebagai tanda ucapan syukur dari keluarga. Karena
pesta yang mewah juga turut menentukan kedudukan atau status sebuah keluarga apalagi
keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang terpandang. Mereka ingin supaya dapat
menampilkan bahwa keluarganya dapat menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya yang
terbaik. Melangsungkan pesta pernikahan ini tidak terlepas dari biaya, dan biaya yang
dibutuhkan pun cukup besar. Berdasarkan adat-istiadat yang berlaku di Oesao di mana jika
sebuah pesta akan dilaksanakan maka itu merupakan tanggung-jawab dari pihak laki-laki
untuk mengadakan pesta tersebut.
Dari hasil wawancara, penulis mendapatkan ada beberapa pasangan yang pernikahan
mereka tidak dapat dilaksnakan, selain karena masalah belis atau mas kawin, ada juga
keluarga dari pasangan-pasangan ini yang menuntut agar pesta pernikahan diselengarakan
dengan mewah serta meriah. Hal ini merupakan tuntutan dari keluarga perempuan tanpa
68
memperdulikan ekonomi dari pihak laki-laki. Hal tersebut dialami oleh beberapa pasangan
yang diwawancarai oleh penulis. Dalam wawancara tersebut, pasangan ini mengakui bahwa
alasan mereka belum menikah karena tuntutan dari keluarga perempuan yang menuntut agar
dapat memberikan pesta yang mewah, ini dikarenakan keluarga dari pasangannya merupakan
keluarga yang terpandang di tempat itu, selain belis yang begitu besar jumlahnya pihak
perempuan juga menuntut pesta yang mewah kepada pihak laki-laki. Tetapi karena
permintaan dari pihak keluarga perempuan tidak dapat dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki,
maka pernikahan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Tetapi karena keinginan mereka untuk
tetap hidup bersama, akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal bersama dan membentuk
sebuah keluarga tanpa ikatan pernikahan.29
Dari permasalahan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa, terkadang keluarga dari
perempuan menuntut keluarga laki-laki untuk mengadakan pesta yang mewah tanpa melihat
kondisi keuangan dari keluarga laki-laki. Walaupun keluarga laki-laki telah membayar belis
dengan jumlah yang besar tetapi itu diluar dari pesta pernikahan, sehingga keluarga laki-laki
harus menyiapkan sejumlah uang yang besar untuk pesta tersebut. Akibat dari tuntutan
keluarga perempuan untuk mengadakan pesta yang besar yang mengakibatkan banyaknya
pasangan yang tidak jadi menikah karena ketidak-mampuan dari keluarga laki-laki untuk
mengadakan pesta yang mewah. Demi mempertahankan status sosial terkadang menjadikan
anak-anak sebagai korban. Hanya ingin menampilkan pesta yang mewah ada sebagian
orangtua dari kelurga perempuan memilih untuk menunda pernikahan anaknya, agar keluarga
laki-laki dapat mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar dapat menampilkan pesta yang
megah dan meriah.
29
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Aleksander Seubelan dan ibu Marta Kapitan, jemaat Imanuel
Oesao, Kamis, 15 Desember 2016.
69
Akibat dari gagalnya menikah maka pasangan-pasangan ini memilih untuk tinggal
serumah dengan berbagai alasan, salah satunya sambil mengumpulkan uang untuk dapat
mengadakan pesta yang mewah karena pernikahan itu merupakan peristiwa penting yang
dilakukan satu kali seumur hidupnya. Untuk itu mereka akan mengumpulkan biaya bersama
demi acara pernikahan yang terbaik.
3.7 Faktor Keluarga
Sebuah pernikahan Kristen dimulai dengan persetujuan antara dua keluarga bersama,
karena inilah maka faktor keluarga pun turut mempengaruhi sehingga ada pasangan-pasangan
yang belum bisa melangsungkan pernikahan walaupun telah tinggal serumah. Ada beberapa
alasan dari keluarga sehingga tidak menyetujui pasangan-pasangan tersebut untuk
melangsungkan pernikahan. Ketidak-setujuan ini muncul bukan saja dari keluarga perempuan
tetapi juga dari keluarga laki-laki.
Ada beberapa alasan dari keluarga perempuan yang tidak setuju anak perempuannya
menikah dengan laki-laki pilihannya. Hal ini disebabkan karena anak perempuannya masih
bersekolah walaupun ia telah hamil. Alasan yang lain bahwa karena calon suami dari anak
perempuan mereka, dianggap tidak memiliki pekerjaan yang layak, misalnya hanya sebagai
ojek, sopir, kondektur, dan sebagainya, atau karena pendidikan anak mereka lebih tinggi
daripada calon suami anak perempuan mereka.30
Ini membuat pihak keluarga perempuan bersikeras untuk tidak menikahkan anak
perempuan mereka dengan laki-laki yang berpendidikan lebih rendah atau karena memiliki
pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan keluarga perempuan. Selain itu, alasan yang lain
30
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Polce Regi, jemaat Imanuel Oesao, Minggu, 18 Desember
2016.
70
ialah karena laki-laki berasal dari keluarga yang tidak mampu dan tidak sanggup membayar
belis, sehingga keluarga perempuan prihatin kalau seandainya mereka mengutamakan nikah
gereja terlebih dahulu, bisa jadi setelah itu keluarga laki-laki tidak mau lagi membayar belis
kepada keluarga perempuan.31
Sedangkan alasan yang datang dari keluarga laki-laki yang juga tidak menyetujui anak
laki-lakinya menikah dengan perempuan pilihannya yaitu karena pasangan muda ini masih
bersekolah.32
Berdasarkan hal inilah maka pasangan-pasangan tersebut tidak jadi menikah. Ini
menyebabkan pasangan-pasangan ini mengambil keputusan untuk memilih meninggalkan
rumah dan tinggal bersama pasangannya, karena bagi pasangan-pasangan iniyang terpenting
yaitu mereka dapat bersatu dengan orang yang dicintai.
Alasan lain mengapa makin meningkatnya jumlah pasangan ini di Jemaat Imanuel
Oesao, bahwa ada beberapa pasangan yang calon istri atau suaminya merupakan pendatang
dari gereja atau daerah lain yang menetap di Oesao karena memiliki masalah dengan keluarga
di daerah asalnya, seperti pihak keluarga tidak menyetujui anaknya menikah dengan
perempuan atau laki-laki pilihannya. Kemudian laki-laki atau perempuan tersebut memilih
menetap di Oesao karena pasangannya berdomisili di Oesao dan terdaftar sebagai jemaat
Imanuel Oesao. Pada akhirnya pasangan ini tinggal bersama sebagai suami-istri walaupun
belum menikah.33
31
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yunus Kapitan, jemaat Imanuel Oesao, Minggu, 18 Desember
2016. 32
Berdasarkan hasil wawancara dengan Irma Tameno, jemaat Imanuel Oesao, Jumaat, 16 Desember 2016. 33
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Erna Mbatu, majelis jemaat Imanuel Oesao, Minggu, 18
Desember 2016.
71
3.8 Respon Gereja terhadap Kehidupan Kerkeluarga tanpa Ikatan Pernikahan
Meskipun pernikahan tidak disebut sebagai sakramen dalam tradisi Gereja Protestan,
namun gambaran-gambaran yang dapat dibaca dalam Alkitab yaitu dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru memberikan keterangan terhadap pentingnya pernikahan Kristen. Secara
khusus, Perjanjian Baru menggunakan istilah perkawinan sebagai lambang antara hubungan
Allah dengan gereja-Nya. Suatu perkawinan dinyatakan sah oleh Tuhan jika telah
dimeteraikan dengan berkat nikah kudus. Pemberkatan nikah kudus itu tidak dilakukan secara
tersembunyi, melainkan secara terbuka dan disaksikan oleh jemaat Tuhan. Lebih lanjut, sah
dan sakralnya sebuah perkawinan sangat bergantung pada peran gereja dalam proses untuk
memasuki sebuah perkawinan. Ini berarti bahwa gereja juga mempunyai peran dan andil yang
besar dalam pernikahan/ perkawinan Kristen.34
Pernikahan itu bermakna suci, mendasar dan merupakan anugerah dari Allah kepada
manusia. Dalam konteks GMIT telah ditetapkan bahwa pernikahan itu merupakan anugerah
Allah yang patut dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua orang yang menikah. Bagi gereja
tanpa adanya pemberkatan nikah kudus sesungguhnya perkawinan Kristen tidak pernah ada,
sekalipun mungkin suatu kehidupan bersama telah dibangun dan generasi baru pun telah
dilahirkan.35
Hal ini menggambarkan bagaimana sikap gereja yang sesungguhnya menolak
akan adanya kehidupan keluarga tanpa ikatan pernikahan.Gereja menganggap bahwa para
pasangan yang terlibat dalam kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan ini adalah
orang-orang berdosa yang harus diselamatkan. Diselamatkan dalam pemahaman gereja yaitu
34
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Ibu Adriana Oematan-Siahaya, Ketua Majelis Jemaat
GMIT Imanuel Oesao, Selasa 28 Februari 2017. 35
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Ibu Enggelina Kiuk-Fangidae, majelis Jemaat Imanuel
Oesao, Kamis, 2 Maret 2017.
72
membimbing para pasangan ini agar dapat memberikan diri mereka untuk diberkati di gereja
sehingga hubungan mereka ini dapat diakui dan diterima oleh masyarakat setempat.
Bagi gereja seharusnya kehidupan persekutuan pasangan-pasangan ini dilandaskan pada
pemahaman bahwa pernikahan itu adalah anugerah Allah. Pernikahan harus dimengerti
melalui kesadaran sesungguhnya terhadap kebenaran yang terkandung dalam pernikahan.
Gereja menganggap pernikahan sebagai suatu karunia atau pemberian dari Allah, oleh karena
itu sebuah pernikahan harus dijunjung tinggi oleh anggota-anggota gereja.
Menurut tuturan Ketua Majelis Jemaat Imanuel Oesao bahwa gereja sebagai gembala
bagi jemaat bertugas menjaga kekudusan hidup umat Allah dengan memberlakukan disiplin
gereja bagi jemaat yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan kudus. Disiplin itu
dijalankan dengan cara yakni para pasangan-pasangan ini tidak diperbolehkan mengikuti
sakramen seperti sakramen perjamuan kudus dan sakramen baptisan kudus.36
Dalam proses pelayanannya, pihak gereja telah berupaya melakukan perkunjungan
kepada keluarga dari pasangan-pasangan tanpa ikatan pernikahan ini, namun kunjungan-
kunjungan belum dilakukan secara berkala atau memiliki jadwal perkunjungan yang tetap
sehingga semua pasangan dapat dilayani. Ada beberapa pasangan berkeluarga tanpa ikatan
pernikahan yang setelah mendapat bimbingan, mereka telah berjanji untuk meresmikan
hubungan mereka dalam sebuah pemberkatan nikah di gereja, tetapi kenyataannya janji
tersebut tidak ditepati dengan berbagai alasan. Alasan-alasan itu membuat pihak gereja
36
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan Ibu Adriana Oematan-Siahaya, Ketua Majelis Jemaat
GMIT Imanuel Oesao, Selasa, 28 Februari 2017.
73
menjadi malas karena hanya janji yang diberikan untuk segera menikah namun janji itu tidak
dapat ditepati oleh pasangan-pasangan ini.37
Menurut penulis, salah satu titik singgungnya terletak pada bagaimana gereja
mengimplementasikan fungsi-fungsi pelayanan dalam menghadapi masalah tersebut. Peran
dari pada gereja dengan suara kenabiannya dianggap perlu agar tidak berhenti membimbing
dan mengajarkan jemaatnya untuk hidup murni. Kemurnian memampukan jemaat untuk
menghormati martabat seksualitas manusiawi dan menghormati kekudusan cinta kasih dalam
sebuah pernikahan. Dalam kemurnian, orang berjuang untuk menguasai perasaan dan hasrat,
menghargai kesucian cinta kasih suami-istri, dan berani bertanggung-jawab atas
perbuatannya.
Dalam kenyataan yang demikian, gereja seharusnya bertanggung-jawab tidak hanya
mengatur, meneguhkan serta memberkati pernikahan saja dan menganggap pernikahan di
gereja hanya sebagai sebuah ritus, tetapi juga bertanggung-jawab dalam memelihara,
melengkapi dan membina kelangsungan pernikahan. Karena itu, pemberkatan pernikahan
melalui gereja dimaksudkan agar pernikahan yang dibentuk selalu diberkati dan memperoleh
kebahagiaan.
37
Berdasarkan hasil wawancara via telphon dengan ibu Erna Mbatu, majelis jemaat Imanuel Oesao, 28
Februari 2017.
74
3.9 Penutup
Salah satu ciri pernikahan adalah memiliki komitmen secara total. Pernikahan Kristiani
bukanlah suatu hubungan tanpa ikatan pernikahan, melainkan hubungan seorang laki-laki dan
perempuan yang diikat oleh perjanjian seumur hidup dan komitmen secara total yang meliputi
seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, aspek kekudusan harus dijaga dalam sebuah
hubungan pernikahan.Kenyataan yang ada dalam keluarga-keluarga Kristen menunjukkan
bahwa keluarga-keluarga Kristen banyak yang terbentuk sebelum diberkati dalam suatu
pernikahan kudus.
Meningkatnya kasus adanya keluarga tanpa ikatan pernikahan dari tahun ke tahun di
Jemaat GMIT Imanuel Oesao menampilkan bahwa kekudusan hidup sebagai umat Allah tidak
terpelihara dengan baik. Selain itu, penyebab adanya kehidupan keluarga tanpa ikatan
pernikahan karena masyarakat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang negatif akibat arus
globalisasi. Sehingga tanpa berpikir panjang masyarakat mulai tergoda akan kehidupan
modern dan mengikuti arus perubahan tersebut. Selain itu, dipengaruhi oleh perubahan sosial
negatif yang akhirnya membuat masyarakat tidak mengenal jati diri, kurang sosialisasi,
perilaku konsumerisme yang tinggi, keresahan sosial, kurangnya peran keluarga dan pengajar
serta acuh tak acuh terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap
masyarakat. Perubahan sosial terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang
selalu ingin mengadakan perubahan dalam hidup. Hal-hal di atas tersebut turut mempengaruhi
kehidupan pernikahan, sehingga ada sebagian masyarakat Oesaomenerapkan gaya
hidupberkeluarga tanpa ikatan pernikahan dan kehidupan tersebut dianggap sebagai gaya
75
hidup modern berdasarkan perubahan sosial. Para pasangan yang telah terpengaruhi ini tidak
menyadari bahwa kehidupan berkeluarga tanpa ikatan pernikahan tersebut mempengaruhi
moralitas mereka.
Melihat kenyataan tersebut, ini menjadi persoalan penting bagi gereja sebagai gembala
bagi jemaat yang terdiri dari keluarga-keluarga kristen. Bagaimanakah gereja dalam hal ini
para pelayan melihat dan menyatakan kepedulian terhadap kasus keluarga tanpa ikatan
pernikahan. Peran dari gereja tidak hanya melaksanakan disiplin gereja bagi pasangan-
pasangan yang belum diberkati dalam pernikahan kudus, tetapi terlebih dari itu, kehadiran
gereja sangat dibutuhkan dalam hal ini agar kekudusan dari keluarga-keluarga Kristen tetap
terjaga sesuai kehendak Tuhan.