bab 3 waruga dalam budaya minahasa, pembangunan …
TRANSCRIPT
44
BAB 3
WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN DAN
PERLAWANAN SOSIAL DI SULAWESI UTARA
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang temuan hasil penelitian terkait
dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga
atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Deskripsi hasil
penelitian ini akan diawali dengan uraian gambaran umum Desa Kawangkoan dan
Desa Kuwil serta sejarah dan tradisi Waruga di Minahasa.
3.1 Gambaran Umum Desa Kawangkoan
3.1.1 Sejarah Singkat Desa Kawangkoan1
Berdasarkan penelitian, ada dua versi terkait dengan sejarah Desa
Kawangkoan. Versi pertama, secara historis, ada sepasang suami dan istri yang
berasal dari Walantakan Kembuan (Tonsea Lama) hendak mencari tempat untuk
dijadikan pemukiman. Dalam perjalanan, mereka harus menyusuri tepi aliran
sungai Tondano dan harus mendaki pegunungan yang bernama kero-kero. Ketika
sampai puncak, mereka melihat suatu tanah datar yang sangat luas. Kemudian,
mereka membuat sebuah patung batu di tepi tanah datar itu sebagai tanda serta
tempat itu diberi nama Kina'engkoan yang artinya setelah melihat tanah datar.
Lalu, sepasang suami dan istri tinggal di tempat tersebut. Berpuluh-puluh tahun
lamanya, semakin banyak penduduk yang menempati kampung Kina'engkoan.
Adapun seorang yang pandai dalam kampung tersebut bernama Makalow
sekaligus juga adalah Kepala Balak atau yang sekarang ini disebut sebagai Kepala
Distrik. Daerah kepemimpinannya yakni dari seluruh Kalawat sampai ke Lekepan
1 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan,
Minahasa Utara.
45
(Likupang). Dalam masa kepemimpinannya, nama Kina'engkoan menjadi
Kinawangkoan yang berarti kampung yang kecil telah terbit seorang pandai yang
menjadi besar (wangke). Pada tahun 1845 terjadi peristiwa kebakaran besar di
perkampungan tua sehingga penduduk harus berpindah ke tempat yang sekarang
ini. Peristiwa tersebut terjadi pada zaman kepemimpinan Kepala Desa (Hukum
Tua) yang bernama Paulus Rotinsulu. Kepindahan penduduk meninggalkan kubur
Opo Makalow yang kemudian dipugar oleh Gubernur Muda Drs. H. R. Ticoalu
pada tahun 1966. Penghidupan masyarakat saat itu bercocok tanah jagung, padi
dan kelapa.2
Adapun versi kedua, para leluhur telah membangun Waruga sekaligus juga
memberi nama tempat itu, yaitu Wanua ure Kina-angko‟an dan Wanua Ure
Pinandeian.3 Tempat itu diyakini bukan hanya sekedar tempat pemukiman, tetapi
tempat bagi para leluhur melakukan ritual ungkapan syukur karena telah berjuang
dan memenangkan peperangan dari penjajahan. Nama „Kina-angko'an‟ terkait
dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukiman tersebut. Nama
itu jika dieja dalam bahasa Melayu Manado adalah sesampainya terlihat (pe
tahoba kasana). Kata Kina-angko‟an yang kemudian menjadi Kawangkoan terkait
dengan kisah tentang para leluhur yang mencari hunian baru. Menurut informan,
perjalanan para leluhur untuk mendapatkan pemukiman tidaklah mudah. Mereka
harus menyusuri sungai dan lembah, mendaki bukit dan melewati jurang. Ketika
sampai puncak, para leluhur melihat tanah yang rata, lalu mereka memutuskan
untuk menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Ungkapan Kina-angko‟an
2 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi
Unggulan Desa, (Manado: Pusat Pengelolaan dan Pengembangan Kuliah Kerja Nyata Terpadu,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unsrat, 2016) 157
3 Wanua berarti kampung atau negeri, sedangkan ure berarti tua.
46
mengekspresikan pandangan bahagia dan teriakan sukacita para leluhur karena
telah menemukan tempat tersebut. Dataran itu tidak hanya rata tetapi
memungkinkan bagi kelanjutannya sebagai sebuah pemukiman yang layak bagi
suatu negeri. Ungkapan ini juga menandai persetujuan Tuhan Semesta Alam
(Empung Wailan Wangko)4 oleh para leluhur melalui tanda “Kuwil” dari bilangan
“Manguni”. Itulah kawasan Wanua ure Kina-angko‟an, tempat puluhan Waruga
berada.5 Selain itu terkait dengan penelitian, perlu juga dijelaskan mengenai
Pinandeian karena bukit itu berada di wilayah Desa Kawangkoan dan tempat
adanya Waruga. Pinandeian yang berarti tempat para orangtua yang cerdas
(tempat jadi pande atau pintar). Pinandeian juga adalah tempat masyarakat
dididik ketika hendak berperang.6
3.1.2 Keadaan Geografis
Desa Kawangkoan adalah salah satu desa dari wilayah Kecamatan Kalawat,
Kabupaten Minahasa Utara yang terletak 1 km ke arah Timur dari kota
Kecamatan. Desa Kawangkoan mempunyai luas wilayah seluas ± 270 hektar.
Desa Kawangkoan berbatasan dengan:
- Sebelah Utara : Desa Kolongan;
- Sebelah Selatan : Desa Kolongan Suwaan dan Sukur;
- Sebelah Timur : Kali Tondano, Desa Kuwil, Kaleosan;
- Sebelah Barat : Desa Kalawat, Kawangkoan Baru.7
4 Istilah Empung Wailan Wangko merupakan istilah yang lama. Istilah ini kemudian
mengalami transformasi, yakni dengan istilah Opo Empung. Kedua istilah itu memiliki esensi yang
sama.
5 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
6 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara
7 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan,
Minahasa Utara.
47
Tabel 1. Pola Tata Guna Lahan Desa Kawangkoan
No. Lahan Luas (ha)
1. Bangunan/Pekarangan 55 ha
2. Ladang Pekuburan 1 ha
3. Sawah 25 ha
4. Hutan8 -
5. Perkebunan 315 ha
6. Perkantoran 56 m²
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
3.1.3 Kependudukan
Berdasarkan Data Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara
administrasi berjumlah 1.815 jiwa tahun 2019. Secara rinci jumlah penduduk pada
tabel di bawah ini:
Tabel 2. Jumlah Penduduk
JAGA JUMLAH JIWA JUMLAH
KK L P Total
1 130 132 262 79
2 117 130 247 80
3 163 156 319 85
4 181 193 374 102
5 123 128 251 85
6 172 193 365 89
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
3.1.4 Mata Pencaharian
Secara umum kondisi perekonomian Desa Kawangkoan ditopang oleh
beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam
beberapa bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri,
karyawan swasta, pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang,
8 Hutan yang ada di Desa Kawangkoan sedang diratakan karena proses pembangunan
Waduk dan Jalan Tol sehingga pemerintah Desa Kawangkoan belum bisa memastikan luas hutan
yang tersisa atau bahkan sudah tidak ada hutan sama sekali di Desa ini nantinya.
48
peternak, dan lain-lain. Secara khusus di bidang pertanian, masyarakat belum
memakai alat teknologi yang memadai untuk membantu dalam proses menanam
sehingga masih secara manual.
Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan
Menurut Mata Pencaharian.
No. Pekerjaan Jumlah
1. Petani 159
2. Buruh Tani 129
3. Peternak 4
4. Pedagang 26
5. Perawat 2
6. Wirausaha 11
7. Karyawan Swasta 67
8. PNS 44
9. TNI/POLRI 2
10. Pensiunan 2
11. Tukang Bangunan 11
12. Sopir/Ojek 13
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
Selain itu, lahan kebun di Desa Kawangkoan banyak ditanami pisang dan
palawija. Kedua komoditi pertanian tersebut masih menjadi andalan petani di desa
ini, dan dapat dikembangkan. Selain kedua komoditi tersebut, pepaya banyak
dihasilkan dari perkebunan di desa ini. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa
Kawangkoan berupa pabrik minyak kelapa.
3.1.5 Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kawangkoan dapat dijabarkan
sebagaimana tabel di bawah ini:
49
Tabel 4. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah
TK/PAUD 39 orang
Sekolah Dasar (SD) 208 orang
Sekolah Menengah Pertama
(SMP/SLTP) 84 orang
SMA/SMK 67 orang
D2 – D4 2 orang
S1 – S3 29 orang
Tidak Sekolah9 161 orang
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
3.1.6 Sistem Pemerintahan
Berikut ini nama-nama Kepala Desa (Hukum Tua10
) yang telah bertugas
dalam pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara:
9 Di Desa ini banyak anak-anak (seumuran SD) yang tidak sekolah disebabkan karena
tingkat perekonomian dari keluarga yang rendah dan anak-anak memilih untuk membantu
orangtua mereka di Kebun. Namun ada juga keluarga yang memiliki tingkat perekonomian yang
baik, namun anak-anak mereka tidak berminat untuk sekolah – Hasil Wawancara dengan
Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan), 05 Agustus 2019, pukul 14:30
WITA, di Desa Kawangkoan.
10
Sebutan Hukum Tua digunakan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 di samping
sebutan Walak. Sejak tahun 1825, sebutan Hukum Tua adalah sebutan resmi untuk seorang Kepala
desa atau Kepala kampung – lih. F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa, (Manado: Yayasan
Penerbitan Merdeka, 1962) 65
50
Tabel 5. Nama-nama Kepala Desa Kawangkoan
No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan
1. Paulus Rotinsulu -
2. Pontororing Wagiu 1845 – 1869
3. Bastianus Mandey -
4. Manuel Wariki 1869 – 1911
5. Hermanus Sumeisey 1911 – 1927
6. Alexander Andries Ticoalu 1927 – 1950
7. Samuel Hein Ticoalu 1950 – 1952
8. Bastian E. T. Gerung 1953 – 1959
9. Herling M. Rotinsulu 1959 – 1962
10. Frederik M. Pangemanan 1962 – 1964
11. Tayu Wellem Korah 1964 – 1965
12. Hendrik D. Rotinsulu 1981 - 1983
13. Petrus Dumanauw 1972 – 1976
14 Alex R. Wagiu 1976 – 1981
15. Hendrik D. Rotinsulu 1981 – 1983
16. Jopie Ticoalu 1983 – 1996
17. Tinneke Dumanauw 1996 – 2006
18. Franky Sigarlaki 2006 – 2013
19. Paulus Kodong 2013 – Sekarang
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
3.1.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama
Dalam kehidupan sosial di Desa Kawangkoan, masyarakat biasanya
berbahasa Tonsea, Manado, Sangihe, serta bahasa Indonesia. Kebanyakan
masyarakat didominasi oleh masyarakat yang berasal dari Kepulauan Sangihe
sehingga ada budaya Sangihe yang disebut Tulude yang baru diadakan sekali di
Desa ini.11
Dalam keseharian, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan
ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Masyarakat selalu
memelihara budaya Mapalus (gotong royong). Misalnya, ketika ada salah satu
11 Hasil Wawancara dengan Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan),
05 Agustus 2019, pukul 13:00 WITA di Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.
51
anggota keluarga yang mengalami kedukaan, masyarakat secara spontan
membantu keluarga melalui pendirian tenda di sekitaran rumah duka. Adapun
ketika salah satu anggota keluarga yang hendak pindah rumah, masyarakat
diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian dikumpulkan bersama.
Selain itu di Desa ini terdiri dari masyarakat yang plural dari segi agama yakni
Kristen Protestan (Gereja Masehi Injili di Minahasa atau GMIM, Advent,
Pantekosta) serta Katolik dan Islam. Meskipun begitu, mesyarakat menjalani
kehidupan dengan rukun dan damai bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi
antarumat beragama.
3.2 Gambaran Umum Desa Kuwil
3.2.1 Sejarah Singkat Desa Kuwil12
Desa Kuwil merupakan desa pertanian yang terletak sekitar 10 km sebelah
selatan pusat Kec. Kalawat. Desa ini memiliki luas wilayah 600 Ha yang sebagian
besar wilayahnya berupa kawasan pertanian dan peternakan, sementara sisanya
menjadi kawasan pemukiman, sarana, dan prasarana desa. Secara historis, asal-
usul Desa Kuwil bermula dari perpindahan penduduk Kalewoan untuk
menghindari serangan Suku Bantik sebagai balasan peristiwa Pinandean dan
Siridisa. Peristiwa tersebut banyak menelan korban jiwa karena orang yang akan
melakukan musyawarah dijebak dan dijatuhkan saat berada di tengah jembatan.
Disa sebagai pemimpin di kala itu berupaya melarikan diri, tetapi kemudian
tertangkap. Ia dibunuh dan jasadnya dibuang ke jurang. Lokasi pembangunan
jasad Disa dengan masyarakat dengan sebutan Siridisa. Pada saat itu, penduduk
Kalewoan melakukan perjalanan dengan berpencar mengikuti arah mata angin.
12 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.
52
Mereka yang menuju arah utara membangun perkampungan Kina'engkoan yang
kemudian bernama Kawangkoan, dan yang ke arah selatan membangun
perkampungan Kina‟leosan yang kemudian bernama Kaleosan. Mereka yang
menuju ke arah Barat bersama pemimpinnya Opo Pinatik Ne Kalawat Timani
Umbanua kemudian membangun perkampungan Wanue Ure yang merupakan
cikal bakal berdirinya Desa Kuwil.
Desa Kuwil berdiri pada tahun 1878 di bawah pimpinan Tunduan Lucas
Sendow. Cerita dari tua-tua kampung bahwa nama tersebut diperoleh dari sebuah
upacara adat yang dilakukan oleh Tona‟as, Tunduan, Walian dan beberapa tua-
tua, yang memohon kepada leluhur untuk memberi suatu tempat yang baik
sebagai tempat pemukiman yang baru. Saat upacara adat tengah berlangsung,
seekor burung berkicau dari suatu tempat berjarak sekitar 250 m dari lokasi
upacara dengan suara kicauan nyaring…koeil…koeil… sebanyak beberapa kali.
Atas kesepakatan bersama, pemukiman lama dipindahkan ke lokasi baru di sekitar
asal bunyi suara burung. Mereka menamakan pemukiman baru dengan sebutan
sebagaimana suara kicauan burung yaitu Koeil. Sebutan ini kemudian berubah
menjadi Kuwil.
“Burung yang mengeluarkan bunyi kicauan… koeil… adalah
jenis burung berukuran kecil, warna sayap hitam keabu-abuan
dengan bulu bagian dada berwarna putih”.13
3.2.2 Keadaan Geografis
Desa Kuwil adalah salah satu desa wilayah Kecamatan Kalawat, Kabupaten
Minahasa Utara yang terletak 15 km dari ibukota Provinsi, 10 km dari ibukota
Kabupaten dan 5 km ke arah Timur dari kota kecamatan. Desa Kuwil mempunyai
13 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi
Unggulan Desa, 161
53
luas wilayah 600 hektar (918,49 km²) yang terdiri dari perkampungan,
perkebunan, sawah, kolam ikan, hutan dan rawa. Desa Kuwil berbatasan dengan:
- Sebelah Utara : Sungai Tondano;
- Sebelah Selatan : Desa Kaleosan;
- Sebelah Timur : Desa Kawangkoan;
- Sebelah Barat : Desa Maumbi, Desa Watutumow, Desa
Sawangan.14
3.2.3 Kependudukan
Berdasarkan data dari Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat
secara administrasi, berjumlah 918 jiwa di tahun 2019. Secara rinci, jumlah
penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6. Jumlah Penduduk
JAGA JUMLAH JIWA JUMLAH
KK L P Total
1 70 71 141 50
2 62 74 136 43
3 73 83 156 48
4 68 73 141 46
5 97 90 187 68
6 82 75 157 54
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.
3.2.4 Mata Pencaharian
Secara umum kondisi perekonomian Desa Kuwil ditopang oleh beberapa
mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa
bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri, karyawan swasta,
pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang, peternak, dan lain-lain.
14 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.
54
Tabel 7. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan
Menurut Mata Pencaharian.
No. Pekerjaan Jumlah
1. Petani 200
2. Buruh Tani 100
3. Peternak 20
4. Pedagang 20
5. Petani Ikan 5
6. Wirausaha 10
7. Karyawan Swasta 28
8. PNS 28
9. TNI/POLRI 3
10. Pensiunan 15
11. Tukang Bangunan 11
12. Sopir/Ojek 28
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.
3.2.5 Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kuwil dapat dijabarkan sebagaimana
tabel di bawah ini:
Tabel 8. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah
TK/PAUD 12 orang
Sekolah Dasar (SD) 70 orang
Sekolah Menengah Pertama
(SMP/SLTP) 46 orang
SMA/SMK 53 orang
D2 – D4 6 orang
S1 – S3 40 orang
Tidak Sekolah 2 orang
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.
3.2.6 Sistem Pemerintahan
Sejak berdirinya Pemukiman Koeil yang kemudian menjadi Desa Kuwil,
tercacat kepemimpinan sebagai berikut:
55
Tabel 9. Nama-nama Kepala Desa Kuwil
No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan
1. Lukas Sendow 1878 – 1880
2. Hermanus Maramis 1880 – 1882
3.
Mesak Damapoli (Penghargaan
Hukum Tua Bintang oleh
Belanda)
1882 – 1927
4. Worotikan Tegas 1927 – 1945
5. James Wurangian 1945 – 1946
6. Andrias T. Okem 1946 – 1959
7. Sigar Lengkong (Pjs.) 1959 – 1960
8. Frans Sambow (Pjs.) 1960 – 1969
9. Andrias T. Okem -
10. Ratu Gustaf Okem 1969 – 1975
11. Frederik Wurangian 1975 – 1981
12. Herman Nicolas Wangania 1981 – 1982
13. Drs. Welly Wangania 1982 – 1986
14 Yopie Karongkong 1986 – 1989
15. Piet Damapoli 1989 – 1998
16. Max P. Sambow 1998 – 2007
17. Henkie L. Runtuwene 2007 – sekarang
Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.
3.2.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama
Dalam kehidupan sosial, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan
ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Bahasa yang biasa
digunakan ialah bahasa Manado, bahasa daerah Tonsea dan juga bahasa
Indonesia. Masyarakat selalu memelihara budaya Mapalus (gotong royong).
Misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami kedukaan,
masyarakat secara spontan membantu keluarga melalui pendirian tenda di
sekitaran rumah duka. Adapun ketika salah satu anggota keluarga yang hendak
pindah rumah, masyarakat diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian
dikumpulkan bersama. Selain itu, tradisi Pengucapan syukur (thanksgiving) pada
56
setiap tahun dilakukan oleh masyarakat Desa Kuwil yang pada waktu dan
tanggalnya disesuaikan dengan program gereja. Dari segi keagamaan, Desa Kuwil
membuat Badan Kerja Sama antarumat beragama (BKSAUA). Kerukunan
keagamaan terjalin dengan baik dan kondusif. Misalnya setiap sebulan sekali,
BKSAUA membuat program Ibadah Oikoumene yang dihadiri oleh seluruh
denominasi gereja yang berada di Desa Kuwil. Kemudian dalam ibadah duka
misalnya dari anggota keluarga yang beragama Kristen, orang yang beragama lain
diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan.15
3.3 Sejarah dan Tradisi Waruga
Secara umum kebanyakan orang melihat Waruga hanya sebuah kubur batu
semata. Namun, bagi masyarakat adat, Waruga adalah asal-usul, identitas keluarga
(silsilah) dan memiliki nilai historis yang sangat penting terkait dengan
perjuangan para leluhur.16
Ketika masyarakat melihat Waruga, maka mereka akan
mengingat identitas dan sejarah hidup orang Minahasa. Waruga menjadi memori
atau ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang telah mereka tanamkan.
Hingga saat ini, kebaikan para leluhur sangat berharga bagi masyarakat Minahasa
karena para leluhur telah menjaga dan memperjuangkan tanah ini.17
Waruga adalah artefak budaya berupa kubur batu berbentuk kubus dan
beratap seperti rumah dengan hiasan motif-motif artistik yang tersebar di beberapa
tempat di Sulawesi Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Arkeologi,
menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan Waruga yang tersebar di seluruh tanah
15 Hasil Wawancara dengan Selvie Agu (Sekretaris Desa Kuwil), 07 Agustus 2019, pukul
09:30 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.
16
Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,
pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa dan Iswan Sual (Masyarakat Adat Minahasa), 12 Juli
2019, pukul 19:00 WITA, di Kota Manado.
17
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
57
Minahasa sebanyak 1.859 buah.18
Arti Waruga itu sendiri dari yang diperoleh
penulis memiliki beberapa versi. Ada yang mendefinisikan Waruga berasal dari
kata moruga yang berarti „direbus‟.19
Hal ini didasarkan karena jenazah yang
diletakkan dalam Waruga setelah dimakamkan akan membengkak seperti daging
yang direbus. Versi yang kedua, secara etimologis, Waruga berasal dari kata wa
sebagai singkatan dari wawa, yang berarti „sepenuhnya, secara menyeluruh‟ dan
kata ruga yang secara harafiah berarti „pakaian usang‟ atau „dirusak dari tubuh‟.20
Dari pengertian literal dua kata tersebut, Waruga berarti „tempat di mana tubuh
larut‟. Versi yang ketiga, mendefinisikan Waruga dari kata Wale dan roha (Wale:
rumah, roha: roh) yang berarti tempat bersemayam roh. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat Minahasa terhadap roh leluhur yang senantiasa
menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun).
Gambar 1. Kubur Batu Waruga
Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga, Minahasa Utara
18 Sriwigati, Persebaran Waruga: Situs-Situs dan Populasinya, cet. ketiga – sebuah bunga
rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai
Arkeologi Sulawesi Utara, 2016) 77
19
Santoso Soegondho, Akar Budaya Waruga di Tanah Minahasa, cet. ketiga – sebuah
bunga rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai
Arkeologi Sulawesi Utara, 2016)
20
Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and
Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018.,
https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html
diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.
58
Para antropolog memperkirakan, cara pemakaman Waruga sudah berusia
ribuan tahun. Secara historis, Waruga merupakan kuburan tua peninggalan zaman
dan budaya Megalitikum (zaman batu besar) yang tersebar di Sulawesi Utara.
Awalnya Waruga masuk ke Sulawesi Utara melalui Minahasa Utara yaitu daerah
Likupang atau daerah-daerah sekitarnya lalu menyebar di tanah Tonsea dan terus
berkembang ke Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa
Selatan dan Kabupaten Minahasa Tenggara. Dari hasil penelitian arkeologi
menyebutkan bahwa kubur batu Waruga mulai dikenal sejak abad ke-4 SM.
Kemudian penggunaan Waruga mulai ditinggalkan sekitar awal abad 20 M. Kini
peti kubur batu Waruga dan situsnya sebagian telah dialihkan fungsinya atau
dimanfaatkan menjadi objek pariwisata dan budaya serta situs cagar alam budaya
Minahasa.21
Waruga terbuat dari jenis batuan beku atau sedimen dengan nama batuan tufa
atau lava basal (dalam bahasa daerah disebut tras atau domato dan juga batu asli
dari sungai)22
, yang semakin mengeras, kuat dan tahan lama bila berada di tempat
terbuka. Bentuk penutup Waruga yang tersebar di wilayah Minahasa umumnya
berbentuk seperti atap rumah. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa kubur
harus dianggap sebagai tiruan rumah untuk penghormatan dan kenyamanan bagi
orang yang telah meninggal. Pada bagian penutup dan di bawah, terdapat ornamen
unik dan pola hias yang dipahatkan pada Waruga. Waruga yang tidak memiliki
ornamen menunjukkan Waruga yang sudah sangat tua. Pola hias tersebut
menunjukkan status sosial semasa hidupnya. Ada yang berupa manusia
(anthropomorphic), binatang, benda dan pola hias geometri. Penelitian Kolibu
21 Soegondho, Akar Budaya Waruga, 17.
22
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
59
menuliskan bahwa motif dan ornamen-ornamen pada Waruga merupakan simbol
falsafah dan pedoman hidup masyarakat Minahasa. Di samping untuk kepentingan
estetika, ornamen-ornamen Waruga merupakan gambaran keyakinan masyarakat
Minahasa terhadap kehidupan kekal setelah kematian. Sebagai sebuah kekekalan,
maka berbagai usaha dilakukan guna mendapatkan kekekalan tersebut.23
Ornamen
dan pola hias ini menggambarkan nilai-nilai kepercayaan yang pernah hadir di
Tanah Minahasa.
Waruga dikenal sebagai wadah kubur komunal, artinya kubur batu ini dapat
berisi lebih dari satu orang.24
Pada masa lalu di Tanah Minahasa, Waruga terletak
di pekarangan rumah atau di sekitar rumah penduduk. Di setiap rumah penduduk,
biasanya terdapat sebuah Waruga atau lebih. Di Waruga itu diletakkan benda-
benda yang disebut bekal kubur. Bekal kubur identik dengan si mati. Benda-benda
itu antara lain periuk, panci berisi beras atau nasi, piring, botol, saguer, keris,
tombak dan lain-lain sebagainya. Bekal kubur tersebut ada yang terbuat dari tanah
liat, keramik, perunggu, besi dan lain-lain. Dengan bekal kubur, masyarakat
Minahasa berharap agar orang yang meninggal memakai bekal kubur untuk pergi
ke alam lain (arwah). Dari segi ekonomis, bekal-bekal kubur ini memiliki nilai
jual yang sangat tinggi sehingga tak jarang Waruga dirusak oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab.25
Misalnya, observasi yang dilakukan oleh penulis
di Desa Sawangan dan juga hasil perekaman dan dokumentasi dari Tim Peneliti
Badan Arkeologi Kota Manado menunjukkan beberapa Waruga yang pada bagian
23 Ronald Kolibu, “Ornamen Waruga Pada Rumah Minahasa Sebagai Pencitraan
Budaya”, Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 7 No. 2 2011, Surakarta, Sekolah Tinggi
Seni Indonesia, 260-281
24
Soegondho, Akar Budaya Waruga, 3
25
Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari
2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.
60
penutupnya ada bekas pemangkasan tanda seseorang yang berusaha mencuri
bagian dari Waruga dan juga bekal kubur.26
Di dalam artefak Waruga ini, jenazah didudukkan dengan tumit kaki
menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Posisi ini layaknya posisi
jongkok. Filosofinya adalah “sebagaimana manusia dilahirkan dengan posisi
jongkok, maka dengan posisi itulah saat manusia meninggal”.27
Masyarakat
Minahasa pada masa lalu menganut kepercayaan kelahiran kembali (rebirth).
Konsepsi lahir kembali adalah bahwa si mati akan lahir kembali di alam yang
berbeda yaitu dari alam yang fana ke alam yang baka. Kepercayaan Minahasa ini
disebut dengan Malesung (agama asli Minahasa). Dalam tradisi Minahasa tidak
mengenal adanya sorga dan neraka, mereka meyakini sebuah tempat yang disebut
Kesendukan. Arti Kesendukan adalah suatu tempat yang tinggi dan di sana ada
semua leluhur dan orangtua Minahasa yang sangat dirindukan oleh masyarakat
Minahasa. Konsep Tuhan menurut tradisi Minahasa adalah leluhur yang paling
awal. Dia adalah sumber yang menentukan keberadaan manusia sampai saat ini.
Sistem kepercayaan Malesung mengenal adanya dewa atau Yang Maha Tinggi
yang disebut Opo Empung. Penyebutan Opo Empung merupakan penyebutan
yang terkemudian. Awalnya ungkapan tua yang disebut Empung Wailan Wangko
adalah leluhur atau Tuhan.28
Opo Empung dianggap sebagai pencipta seluruh
alam, dunia dan segala isinya, yang dikenal oleh manusia yang memujanya.
Kepercayaan Malesung mempercayai roh leluhur atau yang disebut dotu
26 Laporan Perekaman dan Pendokumentasian Situs Megalitik Kawangkoan, Kecamatan
Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016.
27
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
28
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
61
merupakan seorang yang sakti dan juga sebagai pahlawan, seperti pemimpin
komunitas besar yang juga disebut kepala walak dan komunitas desa, Tona‟as.29
Sekalipun para leluhur sudah mati, mereka senantiasa menolong manusia, yang
dianggap sebagai cucu mereka (puyun). Karena itu, Waruga merupakan
manifestasi dari penghormatan masyarakat pendukung budaya megalitik terhadap
leluhur atau nenek moyang (dotu-dotu). Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat
adat Minahasa sampai saat ini terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa hidup
mereka tidak dapat dilepaskan dengan Yang Maha Tinggi (Opo Empung) dan para
leluhur (dotu-dotu).
Waruga bernilai tinggi bagi orang Minahasa karena merupakan penanda dari
perjalanan para leluhur. Benda itu adalah tempat penitipan jiwa sementara para
leluhur Minahasa. Zaman dahulu, jika ada orang yang dapat memperlihatkan
kesungguhannya menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan sangat
dihargai. Kuburannya dibuat dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan
mengenai peran semasa hidupnya di tengah masyarakat.30
Waruga menjadi
penting karena di dalam kubur batu Waruga terdiri dari orang-orang penting,
berwibawa dan merupakan pahlawan kehidupan dan pahlawan kemanusiaan.
Mereka juga dianggap memiliki kelebihan dengan anggota masyarakat lain pada
umumnya.31
29 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke-14, (Jakarta:
Djambatan, 1993) 159-160
30
Marheini L. Mawuntu, “Redefinisi dan Rekonstruksi Tou: Kajian Sosial terhadap
Identitas Sosial Minahasa dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”, (Disertasi,
Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) 2
31
Hasil Wawancara dengan Iswan Sual (Masyarakat adat Minahasa), 12 Juli 2019, pukul
19:00 WITA, di Kota Manado. Adapun dari beberapa informan yang mengatakan bahwa orang-
orang yang diwarugakan (ada di dalam Waruga) adalah orang-orang yang penting, berjasa dan
telah memberi diri mereka untuk menjaga tanah Minahasa ini. Penulis mempertanyakan
bagaimana dengan orang-orang Minahasa atau masyarakat „biasa‟ dulu? Menurut informan orang-
62
Masyarakat Minahasa mempercayai roh leluhur memiliki kekuatan magis
sehingga wadah harus dibuat sebaik dan seindah mungkin. Masyarakat juga
percaya bahwa apabila manusia meninggal dunia, maka rohnya (spirit) akan
pindah ke alam lain. Karena itu, kubur batu ini menjadi rumah jiwa (house of
soul) bagi mereka yang meninggal. Dengan demikian, Waruga mengandung nilai-
nilai leluhur yang patut mendapat apresiasi tinggi dari bangsa pewaris budaya
nenek moyang itu.
3.3.1 Tata Cara Penghormatan Leluhur (Sumiri/Sumigi)
Ekspresi penghormatan dalam ritus-ritus di sekitaran Waruga terus dilakukan.
Masyarakat adat mempertahankan nilai-nilai luhur dengan melakukan ritual (tata
cara) dengan menjadikan Waruga sebagai media. Waruga merupakan wujud dari
kepercayaan asli Minahasa (agama lokal) atau Malesung.32
Praktik keagamaan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa ialah ritual penghormatan
leluhur (Sumigi atau Sumiri), ucapan syukur, ritual dalam rangka meminta
petunjuk dan yang terpenting ialah “kembali mengingat dan mengenang”.
Misalnya permohonan bagi Yang Maha Tinggi (Opo Empung) untuk menurunkan
hujan dan menjadikan lahan padi menjadi lahan subur dan sebagainya.33
Ekspresi
penghormatan kepada leluhur juga menjadi bagian dalam tata cara orang
Minahasa.
Ritual penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa biasa
disebut ritual Zumeta atau ba lepas dan ritual dengan sesajian. Secara sistematis,
orang Minahasa biasa (orang-orang yang tidak terlalu memiliki pengaruh signifikan) mereka hanya
dikuburkan di dalam tanah dan di atasnya terdapat batu sebagai penanda.
32
Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 02 Januari 2019, pukul 14:31 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.
33
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul
14:33 WIB.
63
penghormatan pertama, dimulai ketika memasuki Waruga dengan melepaskan
alas kaki, menghentakan kaki tiga kali (batada kaki) sambil mengucapkan
“permisi” dan “ehem” (batuk). Ketiga hal ini merupakan simbol dari masyarakat
Minahasa yang sedang mempraktekkan tradisi dari para leluhur tempo dulu saat
bertamu masuk ke dalam rumah seseorang. Pada saat bertamu, seseorang harus
menghentakkan kaki (batada kaki) sebagai simbol pembersihan alas kaki
(pembersihan diri). Masyarakat adat juga menghentakkan kaki di tanah sebagai
simbol penghormatan seperti seseorang memasuki pintu rumah pada waktu
bertamu.34
Kemudian, angka tiga memiliki arti relasi antara manusia, alam dan
Yang Maha Tinggi (Opo Empung).
Gambar 2. Alas kaki yang dilepas sebelum masuk dalam situs Waruga
Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di
Desa Sawangan, Minahasa Utara.
Penghormatan kedua, masyarakat Minahasa melakukan pembersihan di
sekitaran Waruga (ba bersih) sebagai wujud menyatunya masyarakat dengan
tempat atau area Waruga serta menjadi bagian dari alam. Penghormatan ketiga,
masyarakat adat memutari Waruga sebanyak tiga atau sembilan kali yang berarti
masyarakat semakin dekat dengan para leluhur dan menunjukkan bahwa tradisi itu
masih tetap dilakukan. Angka tiga merupakan simbol yang diyakini adanya relasi
antara Yang Maha Tinggi (Opo Empung), alam dan manusia, sedangkan angka
34 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
64
sembilan bagi orang Minahasa adalah simbol angka kesempurnaan. Tetapi juga,
makna simbol angka sembilan yakni bentuk kerendahan hati sebelum angka
sepuluh yang hanya dimiliki oleh Yang Maha Tinggi (Opo Empung).
Penghormatan keempat, ritual dengan memasang rokok (Zumeta atau Ba
Lepas) di salah satu Waruga yang diyakini sebagai leluhur mereka. Asap dan api
rokok memberi sebuah tanda bagi leluhur, bahwa ada yang berkunjung dan
hendak memohon berkat atau petunjuk, rezeki untuk keluarga, permohonan
memiliki keturunan, usaha dan pekerjaan dilancarkan, dan lain-lain sebagainya.
Rokok juga menjadi simbol purifikasi atau pemurnian untuk membersihkan area
di sekitaran Waruga.35
Leluhur memang sudah mati tapi masih ada dalam hati
semua masyarakat Minahasa serta mampu menolong manusia. Selain rokok, ada
yang ba lepas saguer36
, sirih, pinang, telur, nasi bungkus dan lain-lain. Benda-
benda itu adalah hal yang disukai oleh para leluhur.37
Dalam proses ritual Zumeta, terjadi proses dialog antara orang yang masih
hidup dan leluhur bagaikan seorang anak yang mengadu kepada orangtuanya. Di
sekitaran Waruga, masyarakat biasanya bercerita dengan leluhur, mencurahkan isi
hati mereka, menceritakan bagaimana usaha dan kerja yang sementara dilakukan.
Mereka juga rela menghabiskan waktu sepanjang hari duduk di sekitaran Waruga.
Karena itu, selain jadi panutan dan orangtua, leluhur bisa jadi teman bercerita.
Orang Minahasa memiliki ajaran agar anak-anak menghormati orangtua mereka.
Ketika berdialog, para leluhur akan memberikan pesan, mandat atau
35 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
36
Saguer merupakan minuman khas Minahasa yang keluar dari mayang pohon enau dan
mengandung alkohol. Saguer dianggap sebagai minuman para leluhur dan dianggap suci oleh
penduduk purba Minahasa.
37
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
65
menyampaikan hal-hal penting lainnya. Pesan moral seperti saling mengasihi
(baku-baku bae), jangan mencari masalah dengan orang lain (jang bking suka
orang lain) serta tidak melupakan Yang Maha Tinggi (jang lupa ada Opo
Empung), dan lain-lain. Dengan maksud mengingatkan adanya Yang Maha Tinggi
(Opo Empung) maka masyarakat dapat menjalani hidup dengan tidak
sembarangan. Setelah mendapatkan pesan tersebut, maka masyarakat Minahasa
berupaya untuk menerapkan pesan tersebut dalam kehidupan mereka.38
Gambar 3. Rokok yang dinyalakan & Dialog dengan leluhur
di dalam situs Waruga
Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga
Desa Tonsewer, Minahasa.
Masyarakat Minahasa mencurahkan kerinduan mereka terhadap para
orangtua atau leluhur. Dalam pengertian bahwa Waruga menjadi tempat yang
tepat untuk bisa meluapkan perasaan dan kerinduan mereka. Waruga menjadi
simbol yang menegaskan siapa yang patut menjadi teladan. Teladan-teladan sosial
yang ditinggalkan oleh para leluhur karena telah mempertahankan tanah Minahasa
menjadi pembelajaran bagi generasi masa kini dalam mewujudkan keutuhan dari
Tou Minahasa (karakter bangsa).39
Kualitas dari para orangtua juga ada dan
38 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,
pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
39
Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,
pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
66
diteruskan oleh keturunannya sehingga tradisi menghormati orangtua harus tetap
dijaga dari generasi ke generasi. Generasi saat ini dituntut untuk terus
mengoptimalkan diri bahkan menapaki jalan yang lurus (Karondoran). Artinya
masyarakat Minahasa melakukan kebaikan bagi sesama, selalu mengoreksi diri,
tidak membuat masalah dan sebagainya: “Karena kita hidup dari kasih sayang
Tuhan” (Karna torang ini hidop dari Opo Empung pe sayang)”.40
Selanjutnya, ritual sebagai simbol dan ekspresi penghormatan leluhur melalui
ritual dengan menyediakan sesajian. Orang Minahasa menyebutnya ritual dengan
tata cara (ba ator). Sesajian ini antara lain sirih pinang, rokok, kapur, bulu yang
berisikan saguer, telur, nasi bungkus, daun, lilin, darah segar ayam, terkadang juga
kepala babi dan lain-lain. Tujuan dari ritual ini ialah masyarakat menghormati
leluhur, berobat, bernazar, dan meminta petunjuk sesuai kebutuhan masyarakat.
Bagi masyarakat adat, sesajian merupakan simbol makanan pokok atau bahan
alami yang sering dimakan oleh para leluhur ketika mereka masih hidup.41
Karena
itu, makanan-makanan tersebut bukanlah dimakan dalam pengertian harafiah oleh
roh leluhur, tetapi sebagai simbol penghormatan kepada leluhur.42
Berkaitan
dengan waktu pelaksanaan ritual di Waruga biasanya ketika terjadi bulan
purnama, tapi juga sifatnya relatif karena sesuai dengan tanda-tanda, yakni
melalui mimpi atau ketika burung Manguni (lambang atau simbol Minahasa)
40 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
41
Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,
pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
42
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
67
mengeluarkan bunyi. Hal itu menandakan bahwa para leluhur meminta untuk
dikunjungi dan dihormati.43
Gambar 4. Proses Ritual dengan Sesajian
Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di
Desa Sawangan, Minahasa Utara.
Pada akhirnya, masyarakat Minahasa menaikkan doa (kunci deng doa) sambil
mengangkat kedua tangan layaknya seorang anak yang meminta kepada orangtua
dan mensyukuri kehidupan manusia. Doa menghubungkan manusia dengan para
leluhur dan juga alam semesta ini. Pada saat berdoa atau selesai berdoa,
masyarakat biasanya melihat suatu tanda atau merasakan dan mendengar bisikkan
yang berisi pesan-pesan, petunjuk atau mandat dari para leluhur. Berikut ini
adalah isi doa yang biasanya disampaikan di sekitar Waruga:
Opo Empung,
Opo Ririmpuran
Iko si timani, timotol langi‟ lesar wo
Untampa kenu
Endo inaniya kenu
Nikai si makawia lesar kenu
Pahaleien nai, rapitenai nikai
Wo pakelu-kelunganla, piki-pikian an reges lewo
Toro tumoro nikai, lekep.44
43 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.
44
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. Menurut Charlie Samola, masyarakat diajarkan oleh
Tona‟as bagaimana melakukan ritual penghormatan kepada leluhur ketika berziarah ke situs
Waruga. Setelah itu, masyarakat dapat melakukan ritual sendiri tanpa ada Tona‟as karena telah
diajarkan sebelumnya – Hasil Wawancara Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
68
Secara harfiah dapat diterjemahkan:
Ya Tuhan,
Engkau yang memulai menciptakan langit dan tempat ini.
Di hari ini, kami yang telah berada di tempat ini, yang meminta,
Mendekatlah kepada kami dan lindungilah kami serta
jauh-jauhkanlah angin jahat/yang jahat/tak baik.
Boleh-bolehkanlah kami, sempurna/genap.
3.3.2 Ziarah Kultural (Lumales)
Masyarakat adat dan pemerhati budaya mendapatkan mandat dari para
leluhur ketika mereka melaksanakan ritual untuk melakukan ziarah kultural atau
yang disebut dengan Lumales. Dalam istilah filosofis, tradisi Lumales berarti
“menapaki jalan leluhur”.45
Ziarah ini biasa dilakukan masyarakat Minahasa pada
saat berkunjung ke situs Waruga, tempat rumah jiwanya para leluhur. Sejak tahun
± 2004, masyarakat adat dan para pemerhati budaya melakukan ziarah kultural
dan menyaksikan secara langsung situs-situs budaya secara khusus kubur batu
Waruga yang telah menjadi korban vandalisasi, penjarahan, pengkrusakkan
Waruga, pencurian Waruga, serta Waruga yang rusak karena waktu atau proses
alam.46
Secara historis, pada tahun 1960-1970, telah terjadi pencurian Waruga dan
juga perdagangan barang antik (Pasar Gelap) tahun 2005.47
Tetapi juga di tahun
2019, telah terjadi pengrusakkan Waruga oleh oknum yang tidak
bertanggungjawab di Desa Kaima, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa
Utara.48
45 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
46
Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
47
Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan
Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.
48
Harian Komentar Manado, Senin, 17 Juni 2019 Nomor 5332 Tahun XIX.
69
Ziarah Lumales ini bertujuan untuk memperbaiki dan mengatur benda-benda
kultural yang telah mengalami kehancuran serta yang terpenting ialah
penghormatan kepada leluhur. Selain itu, dengan melakukan perjalanan ziarah,
masyarakat dapat menemukan, mempelajari sejarah dan asal-usul benda-benda
budaya seluruh daerah Minahasa, termasuk Waruga yang ada di Minahasa Utara.
Menurut informan, dalam selang beberapa tahun ini, masyarakat adat dan para
pemerhati budaya semakin menggebu-gebu untuk mencari lebih dalam mengenai
jati diri orang Minahasa. Karena itu, Minahasa sedang mengalami kebangkitan
kultural. Selain komunitas adat atau penghayat adat mendapatkan mandat dari
leluhur, Lumales ini juga dilakukan oleh komunitas intelektual. Masyarakat adat
dan juga para pemerhati budaya terdiri atas orang-orang yang berpendidikan
Sarjana, Magister dan juga Doktoral. Karena itu, melalui komunitas intelektual
yang melakukan ziarah kultural serta menyaksikan ritual dari masyarakat adat,
mereka dapat merekonstruksi makna-makna, nilai historis dan kultural, lalu
mempublikasikannya melalui media cetak, media sosial serta tulisan-tulisan,
sehingga semua orang memiliki pemahaman tentang betapa pentingnya Waruga
sebagai budaya Minahasa.
3.3.3 Tindakan Penyimpangan terhadap Waruga
Orang Minahasa khususnya masyarakat adat dan pemerhati budaya meyakini
ada akibat-akibat bagi mereka yang mencoba mengganggu Waruga. Menurut
penjaga situs Waruga di Desa Sawangan, Minahasa Utara, menyaksikan ada
dampak-dampak secara langsung terjadi bagi tindakan yang mengganggu Waruga
(mo dapa depe katula).49
Bagi masyarakat adat, Waruga adalah tempat yang tidak
49 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari
2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.
70
sembarangan (nd boleh tasalah akang kwa). Salah satu kasus akibat tidak
menghormati Waruga, yakni seorang laki-laki yang jatuh akibat memiliki niat
jahat dan ingin menentang roh leluhur ketika hendak masuk ke dalam situs
Waruga. Selain itu salah satu keluarga atau sanak saudara mengalami sakit yang
parah bahkan mengalami kematian.50
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di
dalam Waruga bukan hanya diletakkan jenazah, tapi apa yang disebut dengan
„bekal kubur‟. Bekal kubur berkaitan dengan „si mati‟ yang juga merupakan
benda-benda kesayangan mereka sewaktu hidup. Berbagai jenis bekal kubur ialah
benda-benda seperti logam, pedang, tombak, gelang perunggu maupun piring.
Fungsi bekal kubur dianggap akan membekali „si mati‟ ke alam lain. Bagi
masyarakat adat, bekal kubur diyakini memiliki daya kekuatan. Berikut ini sebuah
kesaksian dari masyarakat lokal:
Seorang bapak mencoba mengambil barang (bekal kubur) yang
ada di Waruga. Di dalam Waruga terdapat peninggalan dari
leluhur saat dia meninggal. Tujuan dari bapak mengambil
barang tersebut, ialah untuk mendapatkan kekuatan agar dapat
memindahkan gunung klabat. Besoknya, ketika ia bangun, ia
terkejut karena tidak bisa berjalan. Keluarganya pun shock
beserta dengan warga sekitar. Ketika ditelusuri penyebabnya,
masyarakat (tua-tua) menganjurkan agar beliau mengembalikan
barang tersebut. Masyarakat dan keluarganya mengangkat dia
dan bersama-sama pergi ke tempat Waruga berada. Pada besok
hari, bapak ini kembali berjalan seperti semula.51
Bukan hanya itu, beberapa orang mencoba mencuri barang tersebut karena
nilai jualnya yang sangat tinggi, serta penawaran untuk menjual Waruga kepada
orang asing. Dampak yang ditimbulkan yaitu sakit, gangguan mental dan sampai
kepada kematian.
50 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh, (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari
2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.
51
Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari
2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.
71
3.3.4 Penetrasi Kekristenan dan Kepercayaan Lokal Minahasa
Secara historis, tradisi penguburan menggunakan Waruga di Minahasa mulai
ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem
penguburan tanah yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi
bersamaan dengan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Belanda
mendatangkan para penginjil, mendirikan sekolah-sekolah Kristen, munculnya
komunitas-komunitas kecil, serta para pedagang asing. Egoisme Barat yang
memandang orang Minahasa memiliki pemikiran yang kuno sehingga mendorong
mereka memperkenalkan konsep Tuhan yang benar.52
Tradisi penguburan
menggunakan Waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Malesung yakni
pengkultusan arwah leluhur dan nenek moyang lambat laun beralih ke tradisi
penguburan dalam tanah dengan konsep kepercayaan agama Kristen.53
Jenazah
yang dikuburkan dalam Waruga mengeluarkan bau yang tidak sedap dan menjadi
wabah penyakit kolera sehingga banyak anggota masyarakat mengalami
kematian.54
Karena itu, Belanda dan Kekristenan memperkenalkan kuburan yang
dikenal sampai saat ini, yakni jenazah dikuburkan di dalam tanah. Perubahan
seperti itu tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap hingga pada awal abad
52 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
53
Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.
54
Pinontoan mengutip Watuseke dalam bukunya menjelaskan di Minahasa terjadi
epidemik wabah cacar yang menewaskan sebanyak 15.600 atau ± 1/6 dari total jumlah penduduk
waktu itu. Menurutnya karena banyaknya orang yang meninggal pada waktu bersamaan, maka
cara pemakaman Waruga berubah menjadi cara pemahaman di kubur di dalam tanah - lih. Denni
H. R. Pinontoan, Walian dan Tuang Pandita: Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen
pada abad XIX, (Yogyakarta: Pustaka Pranala, 2019) 63. Bila dibandingkan dengan informan
yang lain, ada yang tidak setuju dengan mengatakan bahwa wabah penyakit tersebut hanya bagian
dari politik kolonial Belanda di saat itu agar kuburan batu Waruga digantikan dengan kuburan
dalam tanah mengikuti kuburan Kekristenan seperti sekarang ini. Hal ini masih menjadi
perbincangan dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
72
ke-20.55
Belanda menyebut masyarakat lokal Minahasa sebagai bangsa Alifuru.
Bagi mereka, Alifuru dikaitkan dengan ketidakberadaban, liar (barbar) dan
memiliki pemikiran kuno. Kekristenan melihat bahwa masyarakat adat melakukan
penyembahan atau „mentuhankan‟ kubur batu Waruga. Karena itu pemahaman
terhadap penyembahan berhala tersebut harus dijauhi. Menurut informan,
masyarakat adat melihat bahwa Kekristenan menjadi anti-adat dan budaya bahkan
dengan statement „kebudayaan Minahasa itu sesat‟.56
“Jauh sebelum Kekristenan datang, orang Minahasa sudah
memuja pada Yang Maha Tinggi (Opo Empung). Zaman
dahulu tidak pernah memuja patung-patung atau berhala”57
–
Kepala Adat Desa Kuwil
Seiring berjalannya waktu hingga saat ini, kepercayaan lokal masyarakat
Minahasa yang disebut dengan Malesung mulai tergerus dengan pemahaman dan
pemikiran dari Kekristenan. Karena itu, bagi masyarakat adat dan pemerhati
budaya, kebanyakan orang Minahasa telah melupakan leluhurnya akibat dari
pengkristenan dan juga ajaran dan doktrin yang menyebutkan bahwa kepercayaan
lokal adalah menyembah batu (ba opo-opo). Adapun istilah-istilah seperti:
“Mereka yang sering pergi ke batu dan memanggil arwah orang mati” (dorang
kwa tu ja pigi-pigi di batu, pi balapas deng pangge arwah orang so mati).
“Hebat sekali orang yang berasal dari luar, datang cari makan
di sini lalu berbuat seenaknya kepada kami!” (Hebat sekali
orang dari luar, cari makang dari sini, kong beking sagala
rupa bgni pa torang).58
55 Jhohannes Marbun, “Misionaris dan Perubahan Budaya Masyarakat Minahasa di balik
Waruga”, 2010, https://joemarbun.wordpress.com/2010/08/31/missionaris-dan-perubahan-budaya-
masyarakat-minahasa-di-balik-waruga., diakses tanggal tanggal 19 November 2018, pukul 14:50
WIB.
56
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul
14:33 WIB.
57
Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.
58
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh, (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul
16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
73
Bagi masyarakat adat, istilah ba opo-opo dari Kekristenan menjadi stigma yang
sangat kejam. Kekristenan menganggap bahwa masyarakat adat Minahasa terdiri
dari orang-orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Menurut informan, mereka
tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan pijakan, identitas dan jati diri.59
Ketika Kekristenan dan bangsa Belanda datang di tanah Minahasa, kepercayaan
lokal dalam hal ini dari para leluhur menerima Kekristenan dengan tangan
terbuka. Lambat laun, masyarakat Minahasa mulai melepaskan kepercayaan lokal
dan menganut agama yang datang dari luar Indonesia. Pada tahun 2016, terkait
dengan pembangunan di Minahasa Utara, menurut informan, ketika proses
pembangunan pelaksana proyek melaksanakan ibadah menurut kepercayaan
Kekristenan di lokasi Waruga Kina-angko‟an. Ibadah tersebut dipimpin oleh
seorang Pendeta dengan menggunakan Liturgi Kematian. Tata cara untuk
mendoakan orang-orang mati karena Waruga adalah kuburan. Setelah ibadah
menurut kepercayaan Kekristenan, masyarakat adat melakukan ritual-ritual terkait
dengan pemindahan Waruga (Mera Waruga atau I To‟tol Sumaup).60
Dalam ritual
Mera Waruga, masyarakat adat memerlukan sesajian. Karena itu, masyarakat
meminta kepada pihak pelaksana proyek untuk bertanggungjawab dalam hal
pendanaan. Menurut informan yang menyaksikan secara langsung ritual tersebut,
terlihat seorang Tona‟as mendapat izin pada leluhur untuk memindahkan
Waruga.61
Pada tahun 2018, ketika pembangunan sampai di lokasi Waruga Wanua
59 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
60
Hal ini juga senada dengan pendapat dari Balai Arkeologi Manado: „berdoa saja‟ tidak
perlu melakukan ritual-ritual seperti itu. Tapi di sisi lain, menolak juga pemindahan dengan
menggunakan alat berat.
61
Dalam hasil wawancara dengan beberapa informan, pemindahan melakukan ritual ini
dilakukan oleh seorang Tona‟as yang berasal dari luar Minahasa Utara. Ini menjadi permasalahan
besar bagi seluruh komunitas adat Minahasa juga karena yang memimpin bukan dari Minahasa
74
Ure Pinandeian, tidak lagi menggunakan ritual pemindahan Waruga. Menurut
informan, pemerintah telah bekerja sama dan sepakat dengan masyarakat adat
Desa Kawangkoan dengan hanya doa menurut kepercayaan Kekristenan, namun
dengan bahasa daerah Tonsea.62
Menurut informan, pemerintah sempat
mengeluarkan statement dengan menyatakan:
Hanya masalah kecil saja kok, berdoa saja kepada Tuhan bukan
kepada Alifuru! (ngoni le cuma begitu, berdoa jo pa Tuhan, nd
usah pa Alifuru!”).63
3.4 Dinamika dan Kronologi Pembangunan Waduk dan Jalan Tol
Keputusan untuk melaksanakan pembangunan awalnya diterima secara baik
melalui institusi Presiden tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang di
dalamnya pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung dan Waduk Kuwil, Minahasa
Utara. Namun, seiring berjalannya waktu, situasi dan kondisi pembangunan
mengandung kompleksitas, dinamika dan dilema antara pemerintah dan
masyarakat sehingga terjadi pro dan kontra. Pembangunan ini dilakukan di
wilayah Desa Kawangkoan sekitar 315 hektar dan Desa Kuwil sekitar 19 hektar di
bawah pelaksana proyek Balai Wilayah Sungai Provinsi Sulawesi Utara I yang
bekerja sama dengan Perusahaan PT. Wika – DMT, KSO, PT. Nindya Karya
(Persero) dengan supervisi Konsultan PT. Indra Karya (Persero) Wilayah II – PT.
Darma Dedana Cipta Consultans – PT. Maxitech Utama Indonesia.
Utara tapi dari luar. Informan yang lain berpendapat bahwa sudah ada kepentingan di antara yang
membuat ritual dan dengan pihak pelaksana proyek. Semua Tona‟as menolak ketika dihubungi
untuk melaksanakan ritual karena mereka tidak setuju Waruga harus dipindahkan. Namun, tiba-
tiba muncul Tona‟as yang menyetujui pemindahan tersebut dan selanjutnya melakukan upacara
adat sehingga proyek pemindahan tetap berjalan.
62
Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Minahasa Utara.
63
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 05
September 2018, pukul 13:50 WIB.
75
Kawasan pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan merupakan salah satu
program pembangunan nasional, yang direncanakan sebagai daerah tangkapan air
dan sumber air yang berada di sekitar wilayah tersebut, sehingga pada musim
hujan, air akan mengalir ke arah waduk tersebut dan bahaya banjir dapat
dicegah.64
Waduk berfungsi sebagai tempat menampung aliran air yang berasal
dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Tondano dan juga dapat mengontrol curah
hujan. Selain itu, Waduk juga bisa jadi tempat rekreasi, destinasi pariwisata,
tenaga listrik, dan penyediaan air bersih.65
Alasan dinamakan Waduk Kuwil itu
karena melihat aliran sungai melewati Desa Kuwil dan berdampak pula bagi Desa.
Karena itu, masyarakat lokal Desa Kuwil mengizinkan pembangunan tersebut
dengan tanda tangan dari masyarakat menjadi bukti dilaksanakannya
pembangunan Waduk ini.66
Pengerjaan proyek strategis nasional ini berdasarkan peraturan yang
tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI 3/2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan perubahannya, yaitu Perpres 56/2017,
Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara Nomor 01
Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Minahasa Utara
2013-2033 yang pada bagian tentang sistem jaringan sumber daya air,
menyebutkan pembangunan waduk multifungsi di Desa Kuwil-Kawangkoan.
64 Banjir Bandang pernah terjadi di Kota Manado tahun 2014 dan beberapa tahun
belakangan ini.
65
Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Minahasa Utara.
66
Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00
WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara. Berdasarkan observasi penulis, seperti halnya yang
disampaikan Kepala Desa, dampak yang dimaksud ialah dampak dari curah hujan yang sangat
tinggi yang terjadi pada tahun 2014 sehingga membuat jembatan dari Desa Kuwil mengalami
kerusakan yang cukup parah. Karena itu, pemerintah dan masyarakat berinisiatif untuk
membangun kembali jembatan yang terbuat dari kayu-kayu sehingga jembatan dapat diakses bagi
pengguna jalan transportasi.
76
Rencana tersebut dipertegas pula dalam Perda 1/2014 tentang RT/RW Provinsi
Sulawesi Utara tahun 2014-2034, yang juga menyebutkan rencana pembangunan
bendungan di Desa Kuwil dan Sawangan.67
Dalam harian Kompas, menyebutkan
bahwa Waruga harus dipindahkan untuk kelanjutan pembangunan Bendungan
Kuwil senilai Rp. 1.413.605.000.000 (termasuk PPN) atau 1,4 Triliun atas biaya
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).68
Selain itu, berdasarkan
informasi umum, masa pelaksanaan konstruksi pembangunan yakni 8 Agustus
2016 – 6 Agustus 2020 dengan tahun anggaran 2016-2020.
Pada Oktober 2016 dan Juli 2018, pembangunan ini menggerus Waruga yang
terletak di dua lokasi yakni Waruga Kinaengkoan dan Waruga di Bukit
Pinandeian dengan wilayah yang sama. Mega proyek tersebut membuat Waruga
yang harus dipindahkan ke lokasi strategis yang tidak terkena pembangunan.
Lokasi tersebut masih berada di wilayah Desa Kawangkoan. Bagi pihak pelaksana
proyek, kedudukkan awal masing-masing Waruga berada di “zona inti” yang
menjadi daerah genangan air waduk.69
Polemik pembangunan mulai terjadi.
Waruga yang berada di Bukit Pinandean yang berada di wilayah Desa
Kawangkoan. Tapi menurut informan, memang Waruga berada di wilayah Desa
Kawangkoan, tapi pemiliknya berasal dari Desa Kuwil. Selain itu, Kepala Desa
Kuwil mengaku tidak dilibatkan dalam proses relokasi tersebut.70
Proses relokasi
menggunakan fasilitas pengangkutan atau alat berat yang disebut alat eskavator.
67 Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and
Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018.,
https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html
diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.
68
Koran Harian Kompas, Kamis, 26 Juli 2018. Jumlah anggaran tersebut juga
dicantumkan dalam Informasi Umum di lokasi pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan.
69
Hasil Wawancara dengan Ipak Fahriani (Peneliti Balai Arkeologi Manado), 15 Juli
2019, 11:34 WITA, di Kota Manado.
70
Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00
WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.
77
Alasannya kubur batu tersebut tidak dapat diangkat dengan tenaga manusia dan
juga ada beberapa Waruga tertahan dengan akar pohon. Akan tetapi, hal ini juga
menuai polemik dari masyarakat Minahasa yang dengan tegas menolak relokasi
dengan cara tidak etis tersebut karena mengakibatkan Waruga menjadi rusak dan
hancur. Apalagi ketika masyarakat menyaksikan secara langsung, bekas puing
hancurnya Waruga, gigi-gigi dan tulang dari para leluhur berserakan di jalan dan
di atas tanah.71
Padahal, menurut informan, di beberapa tempat di Minahasa,
pemindahan Waruga dilakukan masyarakat adat secara Mapalus (gotong royong)
dengan cara memikul serta harus dilakukan dengan hati-hati.72
Cara pemindahan
ini menuai polemik dan kontroversial. Ada yang setuju dengan pemindahan tapi
harus disertai dengan perbaikan terhadap Waruga. Di sisi lain, ada yang tidak
setuju karena bukan hanya melihat Waruga tetapi juga melihat nilai-nilai dari
tanah tersebut.
Gambar 5. Gigi para leluhur yang ditemukan.
Sumber: Dokumentasi oleh Rinto Taroreh
Pada tahun 2016, awalnya Waruga dipindahkan secara manual yakni dengan
menggunakan bambu dan diangkat oleh masyarakat. Akan tetapi, hanya dua
71 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
72
Hasil Wawancara dengan Bode Talumewo (Sejahrawan Minahasa), 23 Juli 2019, 15:03
WITA, di Kota Manado. Ketika membandingkan hasil wawancara dengan beberapa informan,
mereka mengaku kaget ketika Waruga dipindahkan dengan menggunakan alat berat.
78
Waruga saja yang dapat diangkat secara manual karena kondisi masyarakat sudah
dalam keadaan lelah. Karena itu, pihak kontraktor menawarkan cara dengan
menggunakan alat eskavator kepada masyarakat mengingat proyek ini memiliki
target yakni waktu yang harus ditempuh. Sedangkan pada tahun 2018, proses
pemindahan Waruga di Bukit Pinandeian, langsung menggunakan alat eskavator
dan tidak melalui ritual dan pengangkatan secara manual.
Pemerintah setempat dan pelaksana proyek menilai masyarakat adat
Minahasa dan para pemerhati budaya tidak merawat Waruga sebelum
dipindahkan. Menurut observasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan, mereka menemukan kubur batu Waruga dalam keadaan terlilit
dengan pohon dan bagian kepala Waruga dipenuhi rerumputan bahkan terpisah
dengan badan dari Waruga itu sendiri. Namun, dengan tegas masyarakat
Minahasa menolak hal tersebut, karena sebelum pembangunan dilakukan di Desa
Kuwil-Kawangkoan, mereka telah melakukan ziarah kultural terlebih dahulu dan
merawat Waruga atas mandat dari para leluhur.73
Awalnya masyarakat sebenarnya mengetahui akan ada pembangunan di
daerah Kawangkoan pada tahun 2016, tetapi mereka tidak mengetahui jika
pembangunan terkena situs budaya Waruga. Ketika masyarakat ber-Lumales,
mereka terkejut di tempat adanya Waruga telah dilingkari dengan police line.
Melihat hal itu, aparat keamanan mengusir masyarakat secara langsung.74
Masyarakat mengakui bahwa mereka tidak menerima pemberitahuan dari
pemerintah dan pihak pelaksana proyek terkait dengan pembangunan yang akan
73 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
74
Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,
pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.
79
dilakukan di sekitaran situs dan di atas tanah tersebut. Padahal tanah itu bukanlah
tanah pribadi, tapi merupakan tanah adat satu-satunya di Minahasa. Segera setelah
itu, masyarakat melakukan semacam sosialisasi di Balai Desa Kawangkoan.
Sosialisasi tersebut berisikan makna dan pentingnya Waruga beserta tanah yang
memiliki nilai historis dan kultural. Tetapi juga mereka menyatakan tidak setuju
terhadap pemindahan Waruga. Pembangunan tersebut juga membuat penduduk
yang tinggal di lokasi pembangunan, menimbulkan persoalan mengenai tanah
mereka.
“Coba bayangkan bila itu kuburan orangtua sendiri, bagaimana
perasaan kita bila ada yang seenaknya mengobrak-abrik!”.75
Selain itu, masyarakat telah mendengarkan janji dari pemerintah. Janji
tersebut ialah setelah pemindahan akan dilakukan perbaikan terhadap Waruga,
mengitari Waruga dengan pagar dan mengatur kembali semua Waruga sesuai
dengan tradisi kultural masyarakat adat. Setelah melakukan perbaikan, pemerintah
juga berjanji untuk membangun tempat itu sebagai tempat pariwisata sehingga ada
pendapatan daerah secara ekonomis. Namun, janji-janji tersebut tidak ditepati oleh
pemerintah sampai penulis melakukan observasi di lokasi pembangunan. Karena
itu, masyarakat Minahasa berinisiatif untuk memperbaiki Waruga Kuwil-
Kawangkoan. “Tidak usah menunggu pemerintah, kita saja yang bergerak!“
(sudah jo mo tunggu tu pemerintah, torang jo bergerak). Menurut informan,
masyarakat adat dan pemerhati budaya tidak perlu menunggu pemerintah atau dari
siapapun untuk memperbaiki Waruga-Waruga yang sudah hancur ini.76
75 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
76
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
80
3.4.1 Konflik di antara Masyarakat Minahasa
Berdasarkan penelitian, dinamika pembangunan menyebabkan perpecahan di
antara masyarakat adat, pemerhati budaya dan organisasi-organisasi masyarakat
adat karena perbedaan pemahaman di antara mereka. Dari satu sisi, menyetujui
pemindahan Waruga asalkan pemerintah memperbaiki Waruga tersebut. Di sisi
lain, tidak menyetujui pemindahan Waruga karena bukan hanya sekedar objek
atau kubur batu semata, tetapi juga berkaitan dengan tanah. Tanah tersebut
diyakini merupakan tanah adat dan masyarakat menyebutnya sebagai tanah milik
bersama (Kalakeran). Masyarakat memahami bahwa Waruga menyatu dengan
tanah, tempat Waruga didirikan.77
Secara spontan, masyarakat Minahasa
merespon serta melakukan perlawanan di tempat pelaksana proyek pembangunan.
Di tempat tersebut terjadi perpecahan yakni saling mengancam di antara anggota
masyarakat satu dengan yang lain: “Mereka berbaju budaya, tapi mendukung
pelaksana proyek. Kami melihat sudah ada kepentingan di antara mereka dengan
pelaksana proyek pembangunan”. Masyarakat yang melakukan kepentingan
dengan pihak pelaksana proyek yakni penduduk lokal Desa Kawangkoan dan
Desa Kuwil. Situasi lebih memanas ketika semua masyarakat berada di lokasi
pembangunan, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba kemasukkan arwah leluhur.
Setelah itu seorang bapak yang dianggap sebagai pemimpin dari suatu kelompok
memarahinya secara langsung karena ia hanya berpura-pura kemasukkan arwah.
Hal itu diketahui karena leluhur tidak pernah berbicara dengan dialek Manado,
tapi menggunakan bahasa daerah (bahasa asli). Bapak tersebut mengecewakan
situasi „memalukan‟ ini terjadi di atas tanah para leluhur. Tetapi juga, berdasarkan
77 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,
pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.
81
wawancara penelitian dengan beberapa informan yang menyatakan kekecewaan
dengan teman-teman mereka yang baru saja muncul pada saat pembangunan yang
menggerus Waruga Pinandeian di tahun 2018. Padahal, kejadian ini sudah terjadi
sejak tahun 2016 pada Waruga Kina'engkoan. Mereka tiba-tiba muncul dan
berlagak seperti Pahlawan Kesiangan.
3.5 Resistensi Masyarakat Minahasa
Penghancuran, ketidakadilan serta keberpihakan dari pembangunan proyek
raksasa dari pemerintah membuat masyarakat Minahasa yang terdiri atas
masyarakat adat, komunitas-komunitas adat, organisasi-organisasi masyarakat
adat (ormas adat) dan para pemerhati budaya melakukan perlawanan (resistensi).
Komunitas-komunitas adat ini adalah orang-orang yang memang sejak dulu peduli
terhadap situs-situs budaya, merawat dan melakukan penataan tanpa dibayar dan
apa yang mereka lakukan dipublikasikan di media sosial. Masyarakat ini bukan
hanya yang ada di wilayah Tonsea78
, tapi juga dari semua wilayah Minahasa turut
melakukan perlawanan.79
Selain itu, masyarakat mainstream80
yang awalnya tidak
menaruh perhatian besar dengan budaya dan tradisi Minahasa, juga turun ambil
bagian dalam upaya perlawanan ini dan mengakui diri sebagai masyarakat adat.
Masyarakat merasa sepenanggungan karena ini terkait dengan persoalan
Minahasa. Gugatan masyarakat berangkat dari pemindahan Waruga Kina-
angko‟an dan Waruga Pinandeian. Pembangunan mega proyek dinilai
78 Suku Tonsea adalah salah satu sub-etnis di Provinsi Sulawesi Utara yang meliputi Kota
Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupung Timur. Terdapat sembilan
sub-etnis Minahasa yakni Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, Pasan,
Babontehu dan Bantik.
79
Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul
14:00 WITA, di Kota Manado.
80
Penyebutan mainstream oleh informan dimaksudkan kepada masyarakat “kekinian”
yang berpijak pada pengetahuan modern - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya
Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.
82
mengabaikan nilai-nilai historis dan kultural yang diyakini oleh masyarakat
Minahasa. Padahal kubur batu Waruga ini juga telah diakui dan dilindungi oleh
UNESCO. Secara prinsipal-kultural, pemerintah tidak bisa memindahkan Waruga
dengan menggunakan alat berat.81
Waruga menjadi bukti adanya peradaban,
masyarakat juga memandang penting mengenai tanah atau tempat tersebut
sebagai:“Tempat yang sangatlah spesial!”.82
Tanah Adat di Bukit Pinandeian yang merupakan tanah
kedudukan Waruga. Itu adalah “Negeri Tua” yang merupakan
milik dari Masyarakat Budaya”. “Pemerintah harus peka
terhadap budaya, ini kekayaan budaya”.83
Masyarakat memaknai tanah sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dengan
Waruga. Tanah Kina'engkoan dan Pinandeian merupakan tanah adat sekaligus
tanah kedudukkan tempat Waruga berada. Tempat tersebut seharusnya tidak
diganggu, apalagi dengan proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Jika diganggu, maka masyarakat Minahasa akan kehilangan pijakan serta penanda
identitas budaya.84
Pemindahan dan perubahan lokasi menghilangkan makna
aslinya. Masyarakat menginginkan agar Waruga dan tanah tetap dalam kondisi
keaslian dan apa adanya. Selain itu, tanah itu adalah penanda dan bukti peradaban
paling pertama dan tertua masyarakat Tonsea.85
“Bagaimana dengan anak dan
81 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.
82
Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
83
Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea
Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.
84
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April
2019, pukul 11:25 WITA.
85
Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan
Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.
83
cucu kita nanti secara khusus bagi masyarakat Tonsea? Ketika mereka lahir,
mereka sudah tidak memiliki pijakan dan jati diri”.86
“Tanah itu adalah milik adat. Tanah itu bukan tanah biasa.
Tanah itu adalah warisan leluhur kami dari satu generasi ke
generasi lainnya”.87
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat melakukan
perlawanan karena kubur batu Waruga sebagai penanda identitas dan jati diri
orang Minahasa, tetapi juga persoalan tanah yang merupakan tanah adat satu-
satunya di Minahasa. Tujuan perlawanan adalah untuk menegur, mengingatkan
serta menolak keras kepada pemerintah atau lembaga pelaksana proyek untuk
tidak memindahkan Waruga.88
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh
masyarakat Minahasa, yakni sebagai berikut:
3.5.1 Aksi Protes
Aksi Protes ini langsung dilakukan oleh masyarakat Minahasa di tempat
pelaksana proyek pembangunan tersebut dengan kemarahan, kesedihan,
kekecewaan mereka karena hancurnya Waruga-Waruga. Mereka menilai
pemerintah telah sengaja melakukan pengrusakkan atas nama pembangunan.89
Dalam aksi protes tersebut masyarakat menggunakan pakaian adat Minahasa serta
ada di antara mereka membawa senjata tajam.90
Di saat itu hendak terjadi
86 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25
WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.
87
Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul
14:00 WITA, di Kota Manado.
88
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April
2019, pukul 11:25 WITA.
89
Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan
Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.
90
Dalam wawancara dengan Ipak Fahriani (Tim Peneliti Balai Arkeologi Kota Manado),
mereka juga mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan secara langsung untuk melakukan
perekaman dan dokumentasi Waruga sebagai upaya penyelamatan data terhadap situs megalitik.
Seperti halnya yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2016 pada situs megalitik Waruga
Kina'engkoan. Dari pihak arkeologi, mereka menyatakan tidak setuju dengan pemindahan
84
pertumpahan darah: “waktu itu semua masyarakat sudah siap untuk mati!”
(samua tu masyarakat so siap skali for mati!). Masyarakat lebih memilih
kematian fisik dibandingkan kematian ingatan para leluhur dan identitas kultural.
Menurut informan, aksi yang dilakukan tidak hanya sampai pada aksi protes, tapi
juga masyarakat dengan jumlah yang sangat besar bersamaan dengan komunitas-
komunitas adat seluruh Minahasa bergantian mendatangi lokasi pembangunan dan
menetap di sana dengan tujuan menjaga Waruga beserta tanah di lokasi proyek.
Selama ± 1 (satu) bulan masyarakat bertahan dan menjaga tempat itu dengan
membuat tenda (camp) dan tidur di lokasi pembangunan serta mereka memilih
untuk tidak makan sekalipun.
“Kami cinta Minahasa, ini jati diri Minahasa. Jati diri kami
seperti dihina dan diinjak-injak!”.91
Namun, masyarakat tidak mampu melanjutkan aksi karena langsung diblok
oleh aparat keamanan. Menurut informan, beberapa aparat keamanan saat itu pun
mengalami dilema, di mana di sisi lain mereka harus menjalankan tugas untuk
mengamankan lokasi pembangunan dan polemik yang terjadi, namun di sisi pula,
mereka mengaku sedih dengan kondisi Waruga yang telah mengalami kehancuran
karena mereka juga ada dalam identitas yang sama sebagai orang Minahasa.
Pada tanggal 22 April 2019 di Bundaran Airmadidi, Minahasa Utara
bertepatan dengan Hari Lingkungan Nasional, komunitas adat yang terdiri atas
para aktivis dan seniman turun ke jalan melakukan “aksi solidaritas”. Selain
menolak pengrusakkan alam oleh manusia, aksi tersebut banyak menyinggung
serta menolak pengrusakkan Waruga yang terjadi akibat pembangunan di
memakai alat berat eskavator. Akan tetapi, pembangunan terus berjalan dan Waruga menjadi
hancur.
91
Hasil Wawancara dengan anggota Masyarakat adat Minahasa, 03 Januari 2019, pukul
11:51 WITA, di Watu Pinabetengan, Minahasa.
85
Minahasa Utara. Masyarakat Minahasa meyakini bahwa alam juga menjadi bagian
dari hidup mereka terutama terkait dengan warisan leluhur. Menurut informan,
aksi tersebut secara langsung berfokus pada pembangunan yang mengorbankan
peninggalan leluhur dan tambang yang merusak tanah dan air sebagai sumber
hidup.92
Masyarakat mendukung jalannya pembangunan, tapi tidak dengan
menghancurkan Waruga karena tidak hanya sekedar kubur batu biasa. Masyarakat
menilai bahwa pembangunan dilakukan hanya untuk segelintir orang saja, dan
tidak bagi masyarakat adat dan para pemerhati budaya. Menurut informan,
pembangunan bukannya menghidupkan dan memajukan masyarakat Minahasa,
namun justru pembangunan secara perlahan membunuh orang Minahasa itu
sendiri.93
Dalam aksi solidaritas, masyarakat membuat sebuah pementasan teater.
Gambar 6. Pementasan Teater di Bundaran, Airmadidi, Minahasa Utara
Sumber: Dokumentasi oleh Bode Grey Talumewo94
Dalam gambar tersebut terlihat dua orang yang tubuhnya dicat masing-
masing berwarna biru dan merah. Biru melambangkan alam dan bumi yang dihuni
oleh manusia, sedangkan merah melambangkan keserakahan manusia
92 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
93
Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan
Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.
94
Bode Grey Talumewo, “Peringatan Hari Bumi, 22 April 2019, di Bundaran
Tumatenden Airmadidi”.,
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10217113202115635&set=p.10217113202115635&ty
pe=3&theater diakses pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 20:16 WITA.
86
menghancurkan alam karena lajunya modernisasi dan pembangunan. Adapun
sekelompok orang yang memakai pakaian Kawasaran yang melambangkan orang
Minahasa yang selama ini menjaga tanah dan alam tempat mereka tinggal.95
3.5.2 Aksi Save Waruga
Aksi tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ, pada bulan Juli 2019,
ketika Presiden Indonesia berkunjung ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, komunitas
adat dan organisasi masyarakat adat Kota Bitung juga melakukan aksi dan
menunjukkan tulisan spanduk “Selamat datang Pak De”. Namun, di balik itu ada
tulisan-tulisan #SaveWaruga #SaveTanahAdat. Aksi tersebut secara spontan
dilakukan dengan harapan bahwa Presiden Indonesia dapat memberikan solusi
dan memperhatikan situasi situs Waruga yang menjadi korban pembangunan di
Minahasa Utara. Secara spontan, aksi tersebut dihentikan oleh aparat yang sedang
menjaga keamanan di daerah tersebut karena tidak memiliki izin melakukan aksi
serta kalimat: “Di sini bukan tempat yang cocok mengatakan hal itu!” (bukang di
sini depe tampa ngoni bilang begitu).96
Adapun momen Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2018 di Istana Presiden,
beberapa anggota masyarakat Minahasa diundang untuk melakonkan Tarian
Kawasaran. Momen tersebut mereka pakai untuk mengunggah foto di media
sosial dengan latar belakang Istana Presiden dengan memakai pakaian adat serta
memegang secarik kertas dengan tulisan #SaveWaruga.
Selain itu, beberapa anggota masyarakat adat Minahasa yang diutus pada
Kongres Masyarakat adat Nasional yang diselenggarakan oleh AMAN (Aliansi
95 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
96
Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,
pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.
87
Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2017 memakai momen ini untuk menyuarakan
#SaveWaruga. Menurut informan, dalam Kongres tersebut pihak AMAN
mengundang Presiden Joko Widodo untuk datang dalam Kongres AMAN tahun
2017, tapi Presiden saat itu berhalangan hadir. Beberapa waktu kemudian
Presiden mengundang AMAN di Istana Presiden dan membicarakan terkait
dengan masyarakat adat. Di saat itu AMAN membawa Surat Terbuka “Titip
Salam untuk Jokowi”97
yang di dalamnya merupakan suara dari masyarakat adat
Minahasa terkait dengan proyek pembangunan nasional yang menggerus warisan-
warisan kultural. Surat terbuka tersebut tertulis demikian:
“Titip Salam Buat Jokowi”98
Kebijakan pemerintah yang berpihak pada Masyarakat Adat selama ini
sangat baik. Apresiasi tentu harus diberikan untuk Pak Presiden, Jokowi,
terutama dari masyarakat adat. Tetapi berbarengan dengan itu (bahkan lebih
cepat dari itu) proyek-proyek pembangunan nasional pemerintahan Jokowi-
JK sering menyakitkan hati masyarakat adat.
Di Sulawesi Utara, Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016,
secara sistematis telah menghancurkan kawasan situs sejarah budaya
masyarakat adat Minahasa.
Proyek tersebut adalah Pembangunan Waduk Kuwil di Minahasa Utara
yang ditinjau langsung oleh Jokowi Desember 2016 lalu dan Pembangunan
Jalan Tol Manado-Bitung.
Masyarakat Minahasa adalah masyarakat yang kondisinya termasuk
paling tragis. Hampir seluruh ingatan tentang jati dirinya, nilai-nilai warisan
leluhur telah dirampas sejak era kolonial hingga kini. Situs sejarah budaya
seperti Waruga (makam tua leluhur Minahasa) dan Watu Tumotowa (situs
penanda pendirian kampung) adalah sedikit ingatan yang tersisa. Karena
itulah Waruga dan Watu Tumotowa sangat berharga bagi masyarakat
Minahasa.
Situs-situs itu bukan hanya sekedar objek penelitian, sumber studi yang
dilindungi Undang-Undang tapi terutama adalah bukti peradaban, pintu
masuk menuju ingatan tentang siapa orang Minahasa dan tempat
persemayaman para leluhur.
97 Surat ini juga dimuat di Surat Kabar Media Sulut berjudul “Sorot Kezaliman atas Situs
Budaya: AMAN Sulawesi utara Titip Salam Buat Jokowi”, Kamis 19 Juli 2018.
98
Surat ini diambil dari Rivo Gosal (Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi
Utara), Agustus 2019.
88
Penghormatan terhadap leluhur adalah hal penting bagi masyarakat
Minahasa. Karena itu, penghancuran situs-situs ini juga dianggap tindakan
kurang ajar, bentuk penghinaan terhadap orang Minahasa.
Sejak awal teriakan demi teriakan disuarakan masyarakat Minahasa,
mengritisi rencana penghancuran kawasan situs tersebut. Sayang, teriakan itu
tak pernah didengar.
Ada harapan besar, tangis masyarakat adat Minahasa ini bisa didengar
Bapak Presiden Joko Widodo yang kami banggakan. Hingga segala bentuk
penghancuran situs sejarah budaya atas nama pembangunan di Minahasa
bisa dihentikan.
Masyarakat Minahasa tidak pernah menolak pembangunan, apalagi
dengan alasan untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi pembangunan yang
mengabaikan situs sejarah budaya, harta penting warisan leluhur Minahasa,
tentu akan selalu ditolak.
Namun, setelah disampaikan, tidak ada jawaban bahkan hingga saat ini
pembangunan masih terus berlanjut. Selain itu, pada Hari Masyarakat Adat di
Bali, mereka mengkampanyekan hal yang sama. Menurut informan, mereka
melakukan hal tersebut „keluar daerah‟ supaya upaya menyelamatkan budaya di
Minahasa dapat diketahui oleh masyarakat secara nasional bahkan internasional.99
3.5.3 Mediasi dan Dialog di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara
Dengan berpakaian adat Minahasa, masyarakat melakukan hearing atau
mendatangi Kantor DPRD Kota Manado untuk berdialog dengan pihak dan
oknum yang terkait dengan persoalan pembangunan di Minahasa Utara.100
Gerakan ini merupakan perwakilan komunitas adat di Sulawesi Utara. Menurut
informan, sebelum masyarakat melakukan gerakan, mereka mengadakan upacara
adat di Waruga Wanue Ure Lotta, Pineleng. Tujuan diadakan upacara adat,
masyarakat memohon restu dan perlindungan dari Yang Maha Tinggi (Opo
Empung) karena persoalan yang sedang mereka hadapi adalah persoalan yang
99 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,
pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.
100
Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,
pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.
89
sangat serius. Mereka juga memohon agar para leluhur ikut terlibat dalam upaya
perjuangan yang dilakukan.
Di Kantor Dewan, terjadi mediasi dan dialog dengan pemerintah. Dalam
proses dialog, masyarakat membaca gagasan pengetahuan yang merupakan hasil
diskusi dari 29 orang mengenai pentingnya Waruga dan tanah adat Kina-angko‟an
dan Pinandeian.101
Masyarakat menyatakan untuk tetap melanjutkan
pembangunan, tapi dengan tegas menolak untuk memindahkan Waruga. Gugatan-
gugatan masyarakat Minahasa termuat dalam tulisan antara lain:
Mengutuk tindakan penghancuran Waruga Kuwil-Kawangkoan;
Menolak relokasi Waruga tersebut dari tempat aslinya, Wanua Ure
Kina-angko‟an;
Meminta DPRD Sulawesi Utara untuk bersama-sama dengan
masyarakat Adat Minahasa menuntut oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab karena telah merusak situs-situs budaya di
Kuwil-Kawangkoan;
Meminta DPRD Sulut untuk bersama-sama mendesak aparat
hukum mengusut kasus pengrusakkan situs budaya di Kuwil-
Kawangkoan hingga tuntas;
101 Ke-29 orang tersebut merupakan perwakilan dari komunitas-komunitas adat di
Minahasa antara lain: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara (AMAN), Gerakan
Minahasa Muda, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Institut Kajian Budaya Minahasa,
Mawale Cultural Center, Tou Muda Sumonder, Pinaesaan Tontemboan, Waraney Wuaya, Barisan
Pemuda Adat Nusantara, Komunitas Mapatik, Tou Muda Tolour, Gerakan Mahasiswa Minahasa,
Tou Muda Tombulu, Tou Muda Tonsawang, Tontemboan Muda, Komunitas Tondano, Tou
Rangow Muda, Masyarakat Muda Bersatu Wuwuk, Pawowasan Tondano, Klabat Muda, Tou
Muda Tonsea, Pinawetengan Muda, Sanggar Tumondei, Kama Mawale, Sanggar Bukit Berbunga
Amurang, Tou Muda Bitung Tonsea, Mahasiswa Pecinta Budaya dari Universitas Sam Ratulangi
(UNSRAT), Universitas Negeri Manado (UNIMA), dan Universitas Kristen Indonesia Tomohon
(UKIT).
90
Mendesak Pemerintah (termasuk DPRD) untuk mencegah pihak
manapun melakukan pengrusakkan terhadap situs sejarah budaya
di Minahasa;
Meminta kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Eksekutif
dan Legislatif) dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara untuk
membuat program yang bisa merangsang kesadaran masyarakat
agar bisa mencintai warisan budaya leluhur, membuat Perda
(Peraturan Daerah) perlindungan terhadap situs-situs budaya
Minahasa, melakukan penataan kembali Waruga yang telah dirusak
dan dijarah.102
Gambar 7. Komunitas Adat di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara
Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng103
Hasil-hasil dari dialog tersebut ialah meninjau kembali lokasi pembangunan,
mengeluarkan Surat Resmi dan menyampaikan aspirasi masyarakat ke Pemerintah
Pusat serta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi situs dan
warisan budaya. Menurut informan, pemerintah telah melakukan peninjauan
102 Jaringan Komunitas Budaya, “Save Waruga, Save Minahasa”, 10 November 2016 di
Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara.
103
Rikson Childwan Karundeng, Album Foto Facebook “Save Waruga, Save Minahasa”.,
https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3
diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA.
91
kembali, tapi setelah itu, tidak ada hasil bahkan sampai saat ini belum ada
informasi terkait dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah.104
Hal ini membuat
masyarakat semakin kecewa dan marah dengan tindakan pemerintah. Ditambah
lagi tidak ada perwakilan pemerintah dari Kabupaten Minahasa Utara dalam
proses mediasi dan dialog tersebut.
Sebelum melakukan dialog, beberapa anggota komunitas adat secara kolektif
melakukan tarian Kawasaran di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara.
Tarian Kawasaran adalah tarian perang tradisional Minahasa yang berfungsi
sebagai penunjuk jalan dan perintis jalan. Dengan melakonkan tarian Kawasaran
menjadi simbol masyarakat melakukan peperangan terhadap jiwa keserakahan dan
bagi oknum-oknum yang berusaha menghancurkan Waruga. Tarian ini juga
menunjukkan bahwa eksistensi keminahasaan itu masih dan akan terus ada.
Dalam pengertian yang lain pula, tarian Kawasaran berada di posisi terdepan
untuk menuntun masyarakat agar proses mediasi berlangsung lancar dan damai.
Menurut informan, ketika memasuki Kantor Dewan, masyarakat memiliki rasa
kecewa dan kemarahan yang sangat besar terhadap pemerintah. Karena itu, tarian
Kawasaran berperan sebagai penengah atas persoalan yang terjadi antara
masyarakat dan pemerintah.105
Perlawanan ini juga dilakukan di tempat-tempat
yang dapat menarik perhatian banyak orang seperti di pusat kota Manado yakni
daerah pertokoan modern yang berada di Jl. Boulevard Manado. Dalam aksinya,
setiap anggota masyarakat memegang sebuah kertas dengan tulisan #SaveWaruga
#SaveTanahAdat.
104 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan
Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.
105
Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,
pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.
92
Gambar 8. Tarian Kawasaran sebelum proses mediasi di Kantor Dewan
(kiri); Masyarakat adat melakukan aksi #SaveWaruga (kanan) dengan
melakonkan Tarian Kawasaran di sekitar pertokoan modern di Kota Manado.
Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng106
3.5.4 Perlawanan berbasis Seni dan Sastra
Masyarakat adat dan pemerhati budaya juga melakukan perlawanan yang
berbasis pada sastra dan budaya. Respon masyarakat bukan hanya aksi secara
langsung tapi melalui seni. Melalui komunitas Mawale Movement, anggota-
anggota yang mempunyai minat di bidang seni memiliki tujuan: (1) Menanamkan
kembali spirit keminahasaan: (2) Menyorot isu-isu kebudayaan yang terjadi di
Minahasa.107
Dinamika pembangunan yang terjadi di Minahasa Utara membuat
komunitas seni ini menggambar sebuah lukisan, seperti berikut:
106 Rikson Childwan Karundeng, Album Foto “Save Waruga, Save Minahasa”.,
https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3
diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA.
107
Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
93
Gambar 9. “Mawalui” karya Charlie Samola.
Mawalui berarti orang yang kelihatannya berasal dari Minahasa, tapi
memiliki kepentingan di baliknya dan suatu saat akan berkhianat. Gambar yang
menyerupai „hantu‟ tersebut merupakan simbol dari suatu kekuasaan atau energi
yang sangat kuat dan orang Minahasa tidak mampu untuk melawan. Menurut
informan, komunitas sastra memiliki harapan bahwa karya mereka akan
memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Minahasa tentang pentingnya
budaya sebagai jati diri dan identitas orang Minahasa.108
Melalui gambar ini juga
hendak memberi peringatan agar kasus seperti pembangunan di Minahasa Utara
dan ketidakpedulian kultural ini tidak akan pernah terjadi lagi. Selain itu, gambar
ini memberikan pemahaman kepada generasi muda yang tak lagi peduli dengan
budaya karena adanya pengaruh modernisasi yang menimbulkan sikap
“pembiaran budaya”. Hal tersebut menyebabkan krisis identitas dari seluruh
masyarakat Minahasa.109
108 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
109
Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat
Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.
94
3.5.5 Mulut Ke Mulut, Media Sosial, Lagu “Rumah Jiwa”
Dampak pembangunan ini ternyata tidak main-main. Informasi mengenai
pembangunan dan hancurnya situs Waruga mewabah yakni dengan istilah mulut
ke mulut masyarakat Minahasa bahkan di dalam media sosial. Menurut informan,
mulut ke mulut ini merupakan cara tua dan sederhana dari masyarakat sehingga
masyarakat yang sejak awal tidak menaruh perhatian mengenai adat dan budaya
Minahasa ikut mencari informasi lebih mendalam mengenai persoalan
pembangunan yang terjadi.110
Diskusi-diskusi, seminar dan focus group
discussion (FGD) mulai bermunculan akibat dari pembangunan tersebut, seperti
Diskusi Ilmiah yang bertemakan “Waruga, mau ke mana?” yang dimediasi oleh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, Forum Bakudapa “Selamatkan
Waruga”, dan lain-lain sebagainya. Hasil dari diskusi tersebut dilanjutkan dengan
aksi oleh masyarakat dengan kembali mengunjungi situs-situs dan benda-benda
purbakala seperti Waruga dan melakukan perawatan (ba bersih). Mereka telah
kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sehingga tidak lagi menunggu janji
pemerintah untuk menindaklanjuti mengenai keberadaan Waruga. “Hari ini kita
bicara baik-baik, besoknya mereka langsung bongkar”.111
Karena itu, muncul
inisiatif dari berbagai kalangan komunitas untuk meninjau warisan budaya yang
ada di Minahasa. Selain itu, masyarakat Minahasa juga menciptakan sebuah lagu:
110 Menurut informan, masyarakat juga yang awalnya merasa budaya dan adat Minahasa
sebagai sesuatu yang menjijikan, ikut dalam pencarian informasi bahkan mulai mencintai budaya
Minahasa - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,
pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.
111
Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,
pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.
95
Di masa lampau itu keringat darah terbuang dan
Tanah pijakan ini pengorbanan
Terima kasih mereka atas kedamaian ini
Ketenangan sukacita kami.
*Reff:
Saudara lihatlah sejenak Rumah Jiwa para leluhur kita
Mengenang semua terlintas angin
Hati menangis bangga menatap kita.
Kini raga terkulai, tulang gigi tersebar.
Suara hati kami terabaikan!
Dengarkan jerit kami, dengarkan tangis kami!
Ketenangan sukacita kami*.
(Ciptaan: Andre Lengkong)
Sebuah lagu dan video diciptakan oleh masyarakat Minahasa sebagai bagian
dari ekspresi kekecewaan dan kesedihan mereka terhadap tindakan pembangunan
yang menggusur jati diri mereka. Lagu ini ternyata berdampak bagi orang-orang
yang bukan berasal dari Minahasa. Mereka menyatakan kepedulian mereka
dengan budaya Minahasa. Salah satunya ialah seseorang yang berasal dari
Sangihe ketika mendengar lagu “Rumah Jiwa” secara spontan teringat dengan
leluhurnya di tanah Sangihe bahkan langsung memberi diri untuk menyanyikan
lagu ini dan dimasukan dalam bentuk video tersebut ke dalam dunia maya. Video
dan lagu tersebut diunggah di sosial media dan You Tube.112
Lagu ini juga
dinyanyikan dalam festival budaya Minahasa seperti festival Kimuwu.113
Adapun
propaganda media melalui video yang disebarluaskan dengan #SaveWaruga
#SaveTanahAdat. Dari seluruh masyarakat adat se-nusantara dan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara bahkan film dokumenter #SaveWaruga “Rumah Jiwa
112 Minahasa Poenya, “Lagu Minahasa – Rumah Jiwa”,
https://www.youtube.com/watch?v=_AX09yP4Lq8 Published on Oct 16, 2018, diakses pada
tanggal 16 Juli 2019, pukul 19:30 WITA dengan 2.151 views.
113
Hasil Wawancara dengan Andre Lengkong (Pemerhati Budaya Minahasa), 1 Agustus
2019, pukul 15:18 WITA, di Kota Manado.
96
Leluhur”.114
Masyarakat nusantara tersebut dari Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Jawa Timur, Bogor, Palu, Halmahera, Lombok, Goa, Sumatera Utara,
Palembang, Jawa Barat, Maluku Utara, Maluku Tengah dan juga Swiss
menyatakan mendukung gerakan masyarakat Minahasa “Selamatkan Waruga!”
serta mendukung kembalinya jati diri Minahasa. Mereka juga menyatakan bahwa
pengrusakkan Waruga adalah bunuh diri.115
Tragis! Hampir seluruh ingatan tentang jati diri telah
dirampas oleh era kolonial hingga kini.
Ini merupakan tindakan kurang ajar! Bentuk penghinaan
terhadap orang Minahasa Pengrusakkan secara sistematis
ini akan selalu kami tolak!
I Yayat U Santi!116
Beberapa kali kami mencoba melawan, tapi apalah daya
tangan kapitalis terlalu besar!
3.5.6 Perlawanan Alam
Dalam pemahaman masyarakat Minahasa khususnya masyarakat adat,
Waruga bukanlah kubur biasa, tapi Waruga itu sakral. Menurut para informan,
mereka memaknai ketika ada yang mengganggu, merusak, mencuri, bahkan tidak
menghormati Waruga maka akan ada dampak yang serius. Persoalan
pembangunan ini ternyata meninggalkan korban yang tidak sedikit, yakni 7
(tujuh) korban yang meninggal dunia.117
Ada yang mengalami sakit hingga pada
akhirnya meninggal. Selain itu, mesin yang dipakai dalam pembangunan dan alat
114 Armando Loho, “Film Dokumenter #SaveWaruga Rumah Jiwa Leluhur”,
https://www.youtube.com/watch?v=Uippp7e5Ol4&t=452s, published on Sept 24, 2019, diakses
pada tanggal 30 September 2019, pukul 00:34 WITA dengan 5.586 views.
115
Rikson Karundeng, “Masyarakat Adat Se-Nusantara Gugat Pengrusakkan Waruga”,
https://www.youtube.com/watch?v=yCLc8Y1tPAI, published on Aug 2, 2018, diakses pada
tanggal 23 Juli 2019, pukul 12:06 WITA dengan 1.575 views.
116
Akar Kanonang, “Waruga, Warisan Leluhur Minahasa Terancam”,
https://www.youtube.com/watch?v=04tiuGbnTuY&t=19s , published on Jul 19, 2018, diakses
pada tanggal 23 Juli 2019, pukul 11:00 WITA dengan 1.741 views.
117
Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul
18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.
97
berat seperti eskavator masing-masing mengalami kerusakkan. Masyarakat
meyakini hal tersebut adalah bagian dari karma karena menggerus Waruga dan
tanah leluhur mereka. Tetapi juga menjadi tanda untuk memberhentikan proyek
pemerintah ini. Ketika hal itu terjadi serta aksi yang dilakukan oleh masyarakat
Minahasa, selama 3 (tiga) bulan proyek tersebut terjeda untuk sementara waktu.
Menurut masyarakat adat dan lokal, waktu selesai relokasi Waruga Kina'engkoan,
badai dan hujan keras dari sore menjelang malam terjadi usai mengangkat Waruga
Kepala Walak Kalawat Atas, Dotu Makalew ne Wurangian Dua. Karena itu,
muncul istilah dari masyarakat yakni “Pinandeian Menangis”. Menurut kesaksian
warga sekitar, bagian tangan alat eskavator patah. Truk pekerja terperosok dan
para pekerja meninggal dunia akibat jatuh ke sungai, lalu diikuti longsor. Ada
juga penampakan nenek, penghuni negeri tua, Waruga yang bergerak serta
mengeluarkan suara, bahkan seseorang yang mengaku didatangi arwah leluhur.
Tak sampai di situ, seorang mantan pejabat Minahasa Utara, yang memfasilitasi
pemindahan waruga, tak berselang lama diberhentikan dan jatuh sakit. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan fenomena yang diyakini oleh
masyarakat adat, karena karma.
3.6 Kesimpulan
Dalam penelitian ini didapati betapa dalamnya pemaknaan masyarakat
Minahasa terhadap warisan leluhur kubur batu Waruga. Waruga tidak hanya
dilihat dari objeknya, tapi nilai-nilai yang merefleksikan siapa, bagaimana dan jati
diri orang Minahasa serta tanah adat (kalekeran). Waruga merupakan memori atau
ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan, sehingga
melalui ritual-ritual di sekitaran Waruga membuktikan masyarakat terus
98
mempertahankan tradisi luhur Minahasa. Pemaknaan itu yang membuat
masyarakat mengeskpresikan kemarahan, kesedihan, kekecewaan dengan
melakukan perlawanan. Mereka bahkan bersedia untuk mengorbankan nyawa dan
bentrok dengan aparat keamanan demi menjaga ikatan dari generasi ke generasi
dengan para orangtua (leluhur). Selain dengan tujuan menolak dan mengutuk
tindakan pemerintah atas pembangunan yang menghancurkan warisan leluhur
Minahasa, mereka juga berkeinginan agar melalui aksi memberi peringatan
kepada seluruh masyarakat Minahasa bahwa lambat laun pijakan, identitas
kultural serta jati diri tentang siapa orang Minahasa akan semakin hilang.
Masyararakat memang tidak bisa menahan lajunya modernitas dan pembangunan,
namun pembangunan yang tidak melihat tradisi dan kepercayaan adalah bukti
Minahasa sedang dihancurkan perlahan-lahan.