bab 4 hasil & pembahasan 26072010

13
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pembuatan Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Pembuatan kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dilakukan untuk mengetahui umur dari kultur dengan tujuan untuk mendapatkan fase pertumbuhan inokulum yang paling tepat untuk proses fermentasi pakan dan suplemen herba. Karakter yang diharapkan dari inokulum adalah memiliki fase lag yang singkat dan mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang akan digunakan (Sidhi, 2009). Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae selama 22 jam pengamatan dapat dilihat pada gambar IV.1. 0:0 0 2:1 5 4:4 0 6:0 0 8:1 0 10: 00 12: 10 16: 30 18: 30 21: 00 22: 00 0 20000 40000 60000 80000 100000 Jumlah Sel/mm3 terhadap waktu Sel/mm3 waktu pengamatan Jumlah sel/mm3 Gambar IV.1 Kurva Pertumbuhan S. cerevisiae 19

Upload: ardian-perdana-putra

Post on 20-Jun-2015

393 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pembuatan Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae

Pembuatan kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dilakukan untuk

mengetahui umur dari kultur dengan tujuan untuk mendapatkan fase pertumbuhan inokulum

yang paling tepat untuk proses fermentasi pakan dan suplemen herba. Karakter yang

diharapkan dari inokulum adalah memiliki fase lag yang singkat dan mampu tumbuh dengan

baik pada substrat yang akan digunakan (Sidhi, 2009). Kurva pertumbuhan Saccharomyces

cerevisiae selama 22 jam pengamatan dapat dilihat pada gambar IV.1.

0:00 2:15 4:40 6:00 8:10 10:00 12:10 16:30 18:30 21:00 22:000

100002000030000400005000060000700008000090000

100000

Jumlah Sel/mm3 terhadap waktu

Sel/mm3

waktu pengamatan

Jum

lah

sel/

mm

3

Gambar IV.1 Kurva Pertumbuhan S. cerevisiae

0:00 2:15 4:40 6:00 8:10 10:00 12:10 16:30 18:30 21:00 22:004.00

4.50

5.00

5.50

6.00

6.50

pH terhadap waktu

pH

Axis Title

pH

Gambar IV.2 Perubahan PH sepanjang pengamatan kurva pertumbuhan S. cerevisiae

19

Page 2: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

Pada gambar IV.1 terlihat bahwa pertambahan jumlah sel mulai terlihat sejak 2 jam

pertama pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kultur telah berada dalam kondisi aktif dan

proses aktivasi yang dilakukan sebelumnya berjalan dengan baik. Kecepatan pertumbuhan sel

pada 2 jam pertama pengamatan lebih rendah dari jam-jam berikutnya. Hal ini disebabkan

karena mikroba masih dalam fase adaptasi (fase lag) dimana sel masih beradaptasi dengan

kondisi lingkungannya. Pada fase ini mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk

pertumbuhannya. Jika ditemukan senyawa kompleks yang tidak dikenalinya, mikroba akan

memproduksi enzim untuk merombak senyawa tersebut (Casselman, 2005).

Dari akhir jam ke-2 hingga akhir jam ke-6 terlihat adanya percepatan pertambahan sel

mikroba. Hal ini menandakan bahwa inokulum memasuki fase pertumbuhan eksponensial

(fase log). Kavanagh (2005) menyebutkan bahwa pada fase ini S. cerevisiae bereproduksi

dengan tunas. Kecepatan pertumbuhan tertinggi terjadi pada rentang antara jam ke-3 hingga

jam ke-6, sehingga inokulasi kultur pada proses fermentasi pakan paling optimal dilakukan

pada rentang waktu tersebut. Adanya aktivitas pertumbuhan yang tinggi juga terlihat dari

penurunan pH yang cukup tajam hingga akhir jam ke-4 pengamatan. Pada 4 jam pertama

pengamatan, konsentrasi produk metabolit belum membatasi pertumbuhan kultur.

Pada rentang setelah jam ke-6 hingga akhir pengamatan jumlah sel berfluktuasi naik

dan turun. Pertambahan dan penurunan jumlah sel pada rentang waktu ini berkisar antara

60.000 hingga 100.000 sel per mm3, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah sel cenderung

konstan atau pertumbuhan melambat pada rentang tersebut. Adanya penurunan kecepatan

tersebut terjadi karena dua sebab, yaitu adanya penurunan konsentrasi nutrisi karena habis

terkonsumsi dan munculnya metabolit tertentu yang menghambat pertumbuhan sel (Chomsri

et al. 2005). Setelah jam ke-18 terlihat adanya penurunan jumlah sel yang lebih tajam dari

sebelumnya. Hal ini menjadi indikasi kultur S. cerevisiae akan memasuki fase stasioner. Pada

fase ini, jumlah nutrisi dalam substrat sudah jauh berkurang dan tidak mencukupi untuk

pertumbuhan kultur (Casselman, 2005).

Dari pengamatan kurva pertumbuhan S. cerevisiae didapatkan bahwa pertumbuhan

tertinggi terjadi pada jam ke-4, sehingga inokulum yang paling baik digunakan untuk proses

fermentasi pakan oleh S. cerevisiae adalah kultur berumur 4 jam.

IV.2 Analisis Proksimat Sampel Pakan

Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, Universitas

Padjajaran, Jl. Singaperbangsa, Bandung. Hasil pengujian adalah sebagaimana tertera pada

tabel IV.1.

20

Page 3: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

Tabel IV.1 Data Hasil Analisis Proksimat

Proksimat 1A 1B 1C 2A 2B 2CAir (%) 3,29 4,072 3,458 3,99 4,702 4,088Abu (%) 10,32 10,26 10,606 11,55 11,367 11,713Protein Kasar (%) 27,96 27,38 27,499 31,09 30,197 30,316Serat Kasar (%) 9,41 10,825 10,58 6,16 7,9 7,655Lemak Kasar (%) 4,36 4,143 4,2 5,44 5,115 5,172BETN (%) 47,95 47,392 47,115 45,8 45,457 45,18

Dari data pada tabel IV.1 dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar dan lemak

kasar dari sampel yang bahan pakan utamanya difermentasi (2*) lebih tinggi dibandingkan

sampel yang bahan pakan utamanya tidak difermentasi (1*). Sampel 2A, 2B dan 2C memiliki

kandungan protein kasar diatas 30% sedangkan sampel lainnya berkisar antara 27,38 % -

27,96 %. Pakan yang menggunakan herba yang terfermentasi (1C dan 2C) juga menunjukkan

kandungan protein yang relatif lebih tinggi dibandingkan pakan yang menggunakan herba

tanpa fermentasi (1B dan 2B), pada jenis perlakuan pakan utama yang sama. Protein pada

sampel 1C (27,499%) lebih tinggi dari sampel 1B (27,38%), sedangkan sampel 2C (30,316%)

lebih tinggi dari sampel 2B (30,197%). Pertambahan kandungan protein substrat secara

umum terjadi dalam fermentasi berasal dari protein penyusun sel dan sintesis asam amino

oleh S. Cerevisiae (Sidhi, 2009).

Protein menjadi komponen paling dominan penyusun tubuh ikan, yaitu 18-30% dari

berat tubuh ikan (Afrianto, 2005) atau 70% dari berat kering ikan (Robinson, 2006). Hal ini

membuat kebutuhan protein dalam pakan cukup tinggi. Selain karena protein berperan

sebagai komponen penting dalam proses pertumbuhan, protein juga digunakan sebagai

sumber energi. Yang butuh menjadi bahan pertimbangan, sumber protein dalam pakan relatif

mahal (Afrianto, 2005) sehingga tingginya jumlah protein akan mempengaruhi biaya

budidaya ikan. Hal ini membuat penggunaan protein sebagai sumber energi harus ditekan dan

dioptimalkan untuk perbaikan jaringan dan pertumbuhan.

Untuk ikan jenis catfish secara umum, kebutuhan protein optimal pada usia

pertumbuhan (fingerling hingga sebelum dewasa) berada pada kisaran 30-36% (Andrew,

1976 dalam Afrianto, 2005). Kandungan protein pada sampel dengan bahan pakan utama

terfermentasi (2A, 2B dan 2C) berada pada kisaran ini, sedangkan pakan lainnya yang bahan

utamanya tidak terfermentasi (1A, 1B dan 1C) berada dibawah rentang tersebut. Meski

21

Page 4: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

demikian, kandungan protein yang lebih tinggi belum menjamin pertumbuhan yang optimal

(Sidhi, 2009).

Dari data tersebut juga ditemukan bahwa kandungan lemak juga meningkat pada

sampel dengan bahan pakan utama yang difermentasi (2A, 2B dan 2C) dibandingkan dengan

sampel yang tidak difermentasi (1A, 1B dan 1C). Robinson (2006) menyebutkan bahwa

pakan komersil bagi catfish secara umum memiliki kandungan lemak antara 5-6% sedangkan

SNI 01-4087-2006 (dalam Sidhi, 2009) menyebutkan kandungan minimal lemak pada pakan

lele dumbo adalah 5%. Kriteria tersebut dipenuhi oleh semua sampel dengan bahan pakan

utama terfermentasi tetapi tidak terpenuhi oleh semua sampel dengan bahan pakan utama

tidak terfermentasi.

Hasil uji proksimat juga mengindikasikan fermentasi pakan utama menurunkan

kandungan karbohidrat yang terdiri dari BETN (karbohidrat yang dapat dicerna seperti gula

dan pati) serta serat kasar. Kandungan BETN pada sampel dengan bahan utama tanpa

fermentasi berada diatas 47% sedangkan dengan proses fermentasi kandungannya berada

pada kisaran 45,18-45,8%. Kandungan serat kasar pada sampel dengan bahan utama

terfermentasi berada dibawah 8% dari sebelumnya berada diatas 9,4%. Penurunan

kandungan serat juga terlihat pada sampel dengan herba yang difermentasi dibandingkan

sampel dengan herba tanpa proses fermentasi pada perlakuan bahan pakan utama yang

sejenis.

IV.3 Uji Biologis Pakan

Selama 8 hari pengamatan dilakukan 3 kali pengukuran berat ikan yaitu pada T0, T1

dan T2 (hari ke-1, ke-5 dan ke-9). Berat rata-rata ikan pada hari pertama pengamatan (T0)

adalah 11,00 ± 1,2 g. Dari hasil pengamatan, dapat dihitung pertumbuhan relatif ikan selama

8 hari yang menghasilkan grafik pada gambar IV.3.

22

Page 5: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

1A 1B 1C 2A 2B 2C0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.110294117647059

0.289234954988284

0.32957052184269 0.313357843137

256 0.278686067019401

0.158923161729461

Pertumbuhan Relatif Lele selama 8 hari

PR

Perlakuan

Pert

amba

han

Bera

t (gr

/har

i)

Gambar IV.3 Data pertumbuhan relatif lele selama 8 hari pengamatan

Pada gambar IV.3 dapat dilihat bahwa pertumbuhan relatif tertinggi lele selama 8 hari

pengamatan dicapai pada sampel pakan 1C (0,330 g/hari), selanjutnya disusul sampel 2A

(0,313 g/hari). Pertumbuhan lele yang diberikan sampel pakan 1B dan 2B menunjukkan

perbedaan tipis yaitu masing-masing 0,289 g/hari dan 0,279 g/hari. Nilai pertumbuhan relatif

terendah ditemukan pada kelompok lele yang diberikan sampel pakan 1A (0,110 g/hari).

Dari data tersebut, belum terlihat adanya pola konsisten dari dampak fermentasi

terhadap pakan, baik pada bahan pakan utama maupun tanaman herba. Namun dapat dilihat

perbedaan yang mencolok antara ikan yang diberikan sampel pakan 1A dengan 2A yang

sama-sama tidak mengandung herba tetapi berbeda dalam perlakuan bahan pakan utama.

Pakan 2A menghasilkan pertumbuhan relatif 0,31 g/hari sedangkan sampel pakan 1A

menghasilkan pertumbuhan relatif 0,11 g/hari. Akan tetapi, data tersebut belum dapat

menjadi acuan bahwa fermentasi pakan utama menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik

dibandingkan yang tidak difermentasi, karena kondisi sebaliknya justru terlihat pada sampel

1C (0,33 g/hari) dan 2C (1,59 g/hari).

Pengujian statistik dengan one-way ANOVA dengan sofware SPSS ver. 17

menunjukkan meski adanya hasil yang bervariasi antar sampel pada gambar IV.3, namun

semua sampel tidak berbeda secara nyata. Hal ini diindikasikan dengan ditolaknya hipotesis

nol (nilai significance = 0,418) pada uji statistik Levene, yaitu hipotesis bahwa ada sampel

yang berbeda nyata dengan sampel lainnya. Dengan kata lain, belum terlihat pengaruh yang

cukup nyata dari fermentasi bahan pakan utama dan suplemen herba. Meski demikian,

pertumbuhan relatif terendah yang terlihat pada ikan yang diberi sampel pakan 1A dapat

23

Page 6: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

menjadi indikasi bahwa fermentasi berpengaruh positif terhadap pakan, walaupun tidak

signifikan.

Dengan hasil tersebut diatas, post hoc test tidak perlu dilakukan lagi. Post-hoc test

merupakan metode analisis statistik lanjutan dari hasil one way ANOVA jika jumlah sampel

yang dianalisis berjumlah lebih dari 2 jenis. Jika hasil one way ANOVA menyatakan bahwa

hipotesis nol diterima (ada sampel yang berbeda secara nyata dengan sampel lainnya), maka

butuh diketahui sampel manakah yang memiliki perbedaan nyata tersebut. Dalam post hoc

test, dilakukan perbandingan variansi antar tiap perlakuan sehingga akan diketahui letak

perbedaan diantara sampel-sampel tersebut.

Dibandingkan dengan hasil uji proksimat, hasil ini menunjukkan bahwa kandungan

nutrisi dalam pakan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ikan lele. Ada faktor-

faktor diluar kandungan nutrisi yang ikut mempengaruhi pertumbuhan lele, diantaranya

akseptabilitas ikan terhadap formula pakan yang diberikan. Selain itu faktor cekaman

lingkungan juga berpengaruh pada penurunan nafsu makan ikan (Datta, 2007) (Li et al.,

2006).

Akseptabilitas lele terhadap pakan diantaranya dipengaruhi komponen bahan baku

penyusun pakan. Meskipun lele termasuk omnivora namun mereka lebih menyukai pakan

hewani. Maka dari itu, harus ada komponen pakan hewani yang berperan sebagai atraktan

(pembangkit selera makan lele). Atraktan akan memberikan sinyal kimiawi yang akan

dirasakan ikan lele melalui sensor di barbell (kumis) (Sidhi, 2009), kemudian merangsang

lele untuk merespons pakan tersebut. Diantara komponen pakan yang umum berperan sebagai

atraktan pada pakan catfish adalah tepung ikan (Robinson & Li, 2006).

Tidak terlihatnya perbedaan nyata antar perlakuan dapat dipengaruhi beberapa faktor,

diantaranya yaitu:

1. Rentang waktu pengamatan yang singkat

Dalam penelitian ini waktu pengamatan pertumbuhan lele hanya 8 hari

pengamatan. Waktu pengamatan yang dianjurkan adalah minimal 2 minggu (14

hari) pengamatan. Hal ini didasari pengujian pakan pada penelitian Sidhi (2009)

yang dilakukan selama 14 hari. Akan tetapi, waktu pengamatan yang lebih

panjang dapat memperlihatkan hasil yang lebih valid mengenai dampak suatu

pakan terhadap pertumbuhan lele.

2. Frekuensi agitasi atau gangguan yang dialami ikan

Perilaku yang teramati selama pengujian adalah, lele biasanya akan berhenti

merespons pakan yang diberikan jika sebelumnya terlebih dahulu mengalami

24

Page 7: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

gangguan, misalnya saat dilakukan proses penimbangan, penggantian air dan

pengukuran faktor fisika kimia. Kemungkinan besar perlakuan-perlakuan tersebut

memicu stress pada ikan. Pengaruh stress tersebut dapat bertahan selama beberapa

jam hingga lebih dari 24 jam (1hari). Hal ini tentunya secara tidak langsung dapat

berpengaruh pada pertambahan bobot.

Kondisi tersebut telah disiasati dengan melakukan perlakuan penimbangan,

penggantian air dan pengukuran faktor fisika-kimia kurang lebih 1 jam setelah

pemberian pakan. Penentuan waktu 1 jam didasari perilaku yang teramati selama

proses aklimatisasi ikan, dimana terlihat bahwa pakan yang telah dimakan akan

kembali dimuntahkan oleh ikan jika ikan mengalami stress karena perlakuan-

perlakuan diatas. Jeda 1 jam diberikan dengan asumsi makanan telah tercerna

dengan baik dan telah mulai diolah di usus, sehingga tidak akan dimuntahkan

kembali.

Selain itu karena potensi stress paling berat adalah saat penimbangan ikan, maka

frekuensi pengukuran berat ikan dilakukan tidak terlalu sering dengan

memberikan jeda 4 hari antar pengambilan data. Stress karena penimbangan

terjadi pada saat pengambilan ikan menggunakan jaring. Selain itu stress muncul

disebabkan ikan berada dalam wadah penimbangan tanpa air selama beberapa

menit. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi pengukuran, karena ikan

bergerak lebih lincah saat wadah diisi dengan air sehingga mempengaruhi hasil

yang terbaca di neraca digital.

Untuk ikan lele, penimbangan dapat dilakukan dengan wadah tanpa air, karena

ikan dapat hidup tanpa air dalam waktu yang cukup lama. Datta (2007)

menyebutkan bahwa genus Clarias memiliki organ neomorfik yang

memungkinkan pengambilan oksigen secara langsung dari udara bebas. Hal ini

membuat mereka dapat hidup selama beberapa jam dalam kondisi air yang minim

atau berada dalam tingkat DO yang rendah. Meskipun begitu, tingkat kelembaban

kulit lele butuh untuk tetap dijaga.

IV.4 Pengamatan Kondisi Fisika Kimia

IV.4.1 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan bersamaan dengan pengukuran berat ikan. Nilai rata-rata

dari hasil pengukuran pH dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar IV.4.

25

Page 8: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

T0 T1 T26.00

6.50

7.00

7.50

8.00

8.50

9.00

pH air selama pengamatan

1A1B1C2A2B2C

Gambar IV.4 Grafik perubahan pH air selama uji pakan

Nilai pH yang diperoleh berada pada kisaran 7,11-8,12, dengan rata-rata 7,62 ± 0,51.

Prihatman (2000) menyebutkan bahwa kisaran pH untuk budidaya lele adalah 6,5-9, sehingga

nilai pH yang terukur diatas masih berada dalam kisaran yang ditoleransi lele.

IV.4.2 Pengukuran DO

Pengukuran DO tidak dapat dilakukan karena tidak ada alat (DO meter), sehingga

tidak ada indikator kondisi kadar oksigen terlarut dalam air. Akan tetapi telah dilakukan

antisipasi untuk menjaga ketersediaan oksigen terlarut dalam air dengan pemasangan aerator

dan penggantian air rutin setiap dua hari. Banyaknya penggantian air disesuaikan dengan

tingkat kekeruhan yang teramati secara visual. Datta (2007) menyebutkan penggantian air

dapat mencapai 70-80%, namun pada penelitian ini, penggantian air rata-rata adalah 25%

atau 5 L dari total 20 L volume air dalam akuarium.

IV.4.3Pengukuran Suhu

Pengukuran Suhu dilakukan dengan menggunakan termometer ruangan setiap 2 hari

sekali. Data suhu yang didapatkan dapat dilihat pada gambar IV.5.

26

Page 9: Bab 4 Hasil & Pembahasan 26072010

0 2 4 6 820.0

25.0

30.0

Grafik Perubahan Suhu

1A1B1C2A2B2C

Waktu (hari)

Suhu

(°C)

Gambar IV.5 Grafik perubahan suhu selama pengujian

Kisaran suhu yang optimal bagi budidaya lele adalah antara 25-28 0C, namun lele

masih dapat hidup secara normal pada suhu 20 0C (Prihatman, 2000). Suhu yang terukur

selama pengamatan berkisar antara 23,1 – 24,8 0C hal ini mengindikasikan bahwa

pengamatan dilakukan tidak pada suhu pertumbuhan yang optimal, akan tetapi lele masih

berada dalam kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan yang normal. Li (2006)

menyebutkan bahwa pertumbuhan ikan jenis catfish akan melambat pada suhu yang rendah.

Pada suhu 50 0F (10 0C) catfish akan berhenti makan dan jika berlangsung dalam waktu yang

lama akan berakibat pada penurunan berat badan.

27