bab 4 pajak i print

25
Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu aliran Legisme terikat sekali pada undang-undang. Terdapat 7 penafsiran (interpretasi) yang digunakan dalam lapangan hukum perdata, namun juga dapat digunakan dalam lapangan hukum publik, termasuk dalam hukum pajak sebagai alat untuk mencoba memahami peraturan atau undang-undang : 1. Penafsiran Historis Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie). Misalnya dokumen rapat para pembuat undang-undang, dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan DPR, dan dokumen 1

Upload: asta

Post on 06-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu aliran Legisme terikat sekali pada undang-undang.

Terdapat 7 penafsiran (interpretasi) yang digunakan dalam lapangan hukum perdata, namun juga dapat digunakan dalam lapangan hukum publik, termasuk dalam hukum pajak sebagai alat untuk mencoba memahami peraturan atau undang-undang :

1. Penafsiran HistorisPenafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie).

Misalnya dokumen rapat para pembuat undang-undang, dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan DPR, dan dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan DPR, dan dokumen surat-surat lainnya yang dibuat secara resmi baik oleh pemerintah maupun pemerintah dengan DPR. Dengan menggunakan penafsiran historis dapat diketahui maksud dari pembuat undang-undang atas isi dari suatu undang-undang.

Penafsiran undang-undang menurut sejarah, maka substansinya adalah menelusuri secara saksama dan cermat terhadap latar belakang terbentuk atau lahirnya sebuah Undang-undang. Penafsiran menurut sejarah terbagi atas 2 (dua), yaitu

(a). Penafsiran menurut sejarah undang-undang;

(b) Penafsiran menurut sejarah hukum.

Selain itu, sejarah Undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi Undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam konteks Undang-undang atau yang lazim disebut penafsiran subyektif.

2. Penafsiran SosiologisPenafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat atau penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan atas azas keadilan masyarakat.3. Penafsiran Sistematik

Penafsiran Sistematik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang dimaksud (dalam satu undang-undang) atau dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang lainnya.Kalimat-kalimat yang terpapar dalam rentetan kata-kata tersebut tersusun secara sistematis . Selain itu, pasal-pasal yang terdapat dalam sebuah undang-undang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya atau menjelaskan antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan.Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dimaksud, Chainur Arrasyid mengungkapkan bahwa inti dari penafsiran sistematis terhadap undang-undang, yaitu setiap undang-undang tidak terlepas antara satu dengan lainnya, selalu ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur.Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ketentuan paling menguntungkan dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang diberlakukan adalah UU pidana baru yang menguntungkan.4. Penafsiran Autentik

Penafsiran autentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat sebuah pasal mengenai ketentuan umum yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminology untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan dengan penafsiran autentik. Sementara itu, penjelasan dari suatu pasal yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukanlah merupakan penafsiran autentik, tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal, yang sering kali pada penjelasannya masih menimbulkan ketidakjelasan.Dalam berbagai perundang-undangan, pembentuk undang-undang telah memasukkan banyak keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Pembentuk undang-undang dalam memasukkan keterangan itu sesuai dengan maksud dan kehendak pembentuk undang-undang ketika undang-undang dibentuk. Dalam KUHP, penjelasan umum ini dimuat dalam Bab IX Buku I (Pasal 86-101 bis). Misalnya, arti waktu malam yang diterangkan dalam Pasal 98 ialah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, atau ternak yang diterangkan dalam Pasal 101 ialah semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi.

Dikatakan penafsiran autentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.

5. Penafsiran Tata Bahasa

Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam pemakaian sehari-hari.

Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari kata-kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika) merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain.Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah pengertian bagi pembacanya.

Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain, ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . .

Redaksi kata dapat disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib, sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada.

6. Penafsiran Analogis

Penafsiran analogis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberikan kiasan (ibarat analog) pada kata0kata yang tercantum dalam undang-undang, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk dalam suatu ketentuan jadi termasuk berdasarkan analog yang dibuat. Menurut Prof.Scholten, penafsiran analogis ini sama dengan penafsiran secara luas (ekstentif) yang memperluas arti suatu ketentuan. R. Santoso Brotodiharjo, S.H. dalam bukunya pengantar ilmu hukum pajak,memberikan contoh penafsiran analogis dengan mengambil kata "penjualan" dijadikan menjadi "pemindahan ke tangan lain" (dari peraturan yang ada ditarik ke peraturan yang bersifat umum) selanjutnya kata "pemindahan ke tangan yang lain" ditarik suatu kesimpulan yang juga termasuk hibah, pemasukan harta (inbreng) dan wasiat.

Penafsiran analogis ini adalah sama dengan penafsiran secara ekstensif yang maksudnya memperluas suatu aturan hingga suatu peristiwa menjadi termasuk dalam aturan yang ada. Penafsiran analogis ini tidak boleh dipakai dalam undang-undang pajak karena merugikan Wajib Pajak (WP) dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak (sebagi aturan yang bersifat khusus) menjadi berlaku, padahal Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa segala pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang ( UU oajak yang bersifat khusus).7. Penafsiran A Contrario

Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Berdasarkan perlawanan pengertian tersebut. ditarik suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tidak diatur dalam pasal undang-undangnya atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal suatu undang-undang. Seperti halnya penafsiran analogis, penafsiran ini di dalam bidang hukum pajak juga tidak diperbolehkan karena akan merugikan Wajib Pajak (WP) dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas mengaturnya.

Penafsiran peraturan di bidang perpajakan pada dasarnya boleh saja dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi, penafsiran yang dilakukan oleh setiap orang tidak mempunyai kekuatan mengikat.Penafsiran yang memounyai kekuatan yang mengikat hanyalah penafsiran otentik menrut undang-undang perpajakan dan penafsiran yang dilakukan oleh hakim pengadilan pajak apabila terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dengan petugas pajak (fiskus). Berdasarkan prinsip hukum bahwa hakim harus menemukan hukum sekalipun dalam ketentuan undang-undang tidak diatur, maka hakim pengadilan pajak mempunyai tugas menemukan hukum untuk tujuan memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, penafsiran yang dilakukan oleh hakim pengadilan pajak merupakan penafsiran yang bersifat mengikat bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa pajak. 8. Macam-macam Ketetapan Pajak

Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak Wajib Pajak (WP) adalah berupa surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :

a. Surat Tagihan Pajak (STP)

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

c. Surat KEtetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Penjelasan masing-masing surat ketetapan pajak tersebut di atas seperti di bawah ini.a. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melekukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 KUP. Surat tagihan Pajak diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut:

1.Apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar

2.Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung

3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga

4.Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPn dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

5.Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak.

6.Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.

Penerbitan surat tagihan pajak ditambrah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% seblan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi admnistrasi, dan jumlah pajak yang msih harus dibayar. SKPKB diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat tertangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

2. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.

3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPn dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tariff 0%.

4. Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda maupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% ebulan akan dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajibpajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah ajak ang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :

1. Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dripada perhitungan yang sebenarnya.

2. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.

3. Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.

Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang.

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKPLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalm Pasal 17 Undang-undang KUP yang telah diterbitkan untuk hal-hal sbb:

1. Untuk Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembeyaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

2. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

3. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak.

e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam Pasal 17A Undang-undang KUP dalam hal sbb:

1. Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

2. Untuk PPn, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

3. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas pajak bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) ang trlah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB.

9. Daluwarsa Penetapan

a. Daluwarsa kurang dari lima tahunDaluwarsa kurang dari lima tahun adalah tentang hak wajib pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) yang menyatakan rugi atau lebih bayar. Jangka waktu yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk membetulkan adalah tiga tahun sejak batas penyampaian SPT berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Redaksinya tidak secara langsung menyebutkan tiga tahun tetapi harus disampaikan paling lama dua tahun sebelum daluwarsa penetapan. Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.Redaksi ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan bahwa Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Redaksi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang masih mengunakan angka paling lama dua tahun sering dianggap bahwa daluwarsa sejak tanggal 1 Januari 2008 masih tetap dua tahun. Banyak yang tidak cermat membaca bahwa dibelakangnya masih ada keterangan sebelum daluwarsa penetapan. Daluwarsa penetapan adalah lima tahun, jadi daluwarsa pembetulan SPT rugi atau lebih bayar adalah tiga tahun, lima dikurangi dua sama dengan tiga.Penulis berpendapat bahwa redaksi sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 kurang sesuai, berdasar pengalaman empiris banyak yang memahai daluwarsanya dua tahun, karena angka yang tertulis masih dua tahun. Lebih jelas kalau ketentuan tersebut ditulis langsung tiga tahun sehingga pembaca mudah mengingat karena kontras dengan aturan sebelumnya, dua menjadi tiga.

Jika ditelisik sejarah Undang-Undang KUP ternyata dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan tidak mengatur daluwarsa pembetulan SPT, tetapi mensyaratkan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Tentunya akan timbul pertanyaan apakah ada ketentuan daluwarsa tindakan pemeriksaan? Juga akan timbul pertanyaan apakah pembetulan SPT yang menyatakan tidak rugi atau tidak lebih bayar tidak diatur daluwarsanya?Dan jika tidak diatur daluwarsanya jika Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT setelah dalam jangka waktu lima tahun akan diterbitkan STP atau dengan kata lain adakah daluwarsa penerbitan STP? Pertanyaan tersebut akan dijawab dalam pembahasan berikutnya.b. Daluwarsa lima tahunPasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).Ketentuan ini sudah jelas mengatur bahwa penerbitan SKPKB daluwarsa setelah lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Adapun penerbitan SKPKB tersebut harus berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain. Sudah ada kepastian hukum bahwa setelah lewat lima tahun tidak bisa lagi diterbitkan SKPKB maka besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam SPT menjadi pasti. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang KUP. Hanya saja rumusan ketentuan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan karena jelas tertulis bahwa yang menjadi pasti setelah lima tahun adalah yang diberitahukan dalam SPT. Pertanyaannya adalah bagaimana jika Wajib Pajaktidak menyampaikan SPT kemudian diketahui ada data kongkret,

Daluwarsa penerbitan SKPKBT juga lima tahun yaitu jika ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). SKPKBT merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya, artinya untuk dapat diterbitkan SKPKBT harus pernah diterbitkan ketetapan sebelumnya dan diterbitkan berdasarkan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKB.Ketentuanini berbeda dengan penerbitan SKPKB yang bisa berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain. Daluwarsa penagihan pajak dalam jangka waktu lima tahun tersebut tertangguh apabiladiterbitkan Surat Paksa, ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalamPasal 13 ayat (5) Undang-Undang KUP, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)Undang-Undang KUP, ataudilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Jika tidak ada alasan penangguhan, setelah lewat dari lima tahun maka hak melakukan penagihan akan hapus. Direktorat Jenderal Pajak tidak bisa melakukan penagihan dengan surat paksa.

c. Daluwarsa lebih dari lima tahunDaluwarsa penerbitan SKPKB lima tahun tidak berlaku jika Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ada dua alasan mengapa dalam hal ini daluwarsanya lebih dari lima tahun. Pertama, proses peradilan pidana sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bisa lebih dari lima tahun jika masing-masing pihak yang berperkara menempuh upaya hukum banding maupun kasasi. Jika ketentuan daluwarsanya mengikuti lima tahun akan banyak kasus pidana perpajakan atau pidana lainnya yang merugikan keuangan Negara tidak bisa diterbitkan ketetapannya karena alasan daluwarsa. Kedua, daluwarsa tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan adalah sepuluh tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang KUP. Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa awal proses tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan adalah berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan maka dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan tahun ini DJP mendapat data Wajib Pajak untuk delapan tahun yang lalu. Berdasarkan data tidak bisa dilakukan pemeriksaan untuk menerbitkan SKPKB. Berdasarkan Pasal 40 juncto Pasal 43A Undang-Undang KUP, namun masih bisa dilakukan tuntutan tindak pidana di bidang perpajakan. Misalnya diperlukan waktu dua tahun sampai dengan adanya putusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka walaupun sudah sepuluh tahun masih bisa diterbitkan SKPKB berdasarkan keterangan lain.

Penerbitan SKPKBT dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP harus dilakukan dengan pemeriksaan dalam rangka menerbitkan SKPKBT. Berbeda dengan penerbitan SKPKB yang bisa dengan pemeriksaan atau berdasar keterangan lain yang dalam hal ini adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Daluwarsa lebih dari lima tahun juga berlaku untuk penetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang KUP, berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013. Ketentuan ini diatur dalam Pasal II Undang-Undang KUP, ketentuan ini untuk memberi kepastian hukum karena adanya batas daluwarsa penetapan yang tahun 2007 dan sebelumnya sepuluh tahun sedangkan tahun 2008 dan seterusnya lima tahun. Jika tidak ada aturan peralihan ini juga akan menimbulkan ketidakadilan karena tahun pajak 2008 daluwarsa penetapannya akhir tahun 2013, sedangkan tahun 2007 daluwarsa penetapannya akhir tahun 2017.

d. Daluwarsa Sepuluh TahunPasal 40 Undang-Undang KUP mengatur bahwa tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Jangka waktu sepuluh tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terhutang, selama sepuluh tahun.

Jika hasil penuntutan tindak pidana Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana maka ada dua hal yang berkaitan dengan daluwarsa. Pertama, jika dalam proses pemeriksaan bukti permulaan terbukti Wajib Pajak melakukan tindak pidana perpajakan karena kealpaan yang pertama kali maka pemeriksaan bukti permulaan dapat dihentikan dan diterbitkan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP. Artinya, berbeda dengan daluwarsa penerbitan SKPKB Pasal 13 Undang-Undang KUP yang daluwarsa dalam jangka waktu lima tahun, maka penerbitan SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP bisa lebih dari lima tahun karena mengikuti daluwarsa penuntutan tidak pidana perpajakan.

Kedua, pemeriksaan bukti permulaan dalam rangka penuntutan tindak pidana perpajakan diteruskan ke persidangan, hasil sidang ada dua kemungkinan, Wajib Pajak tidak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan atau Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan berupa kealpaan yang bukan pertama kali atau karena kesengajaan. Wajib Pajak yang terbukti melakukan tindak pidana perpajakan akan dikenakan sanksi pidana perpajakan, selain itu juga akan diterbitkan SKPKB atau SKPKBT dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%.e. Tidak Diatur DaluwarsanyaJika pembetulan SPT yang rugi atau lebih bayar daluwarsanya tiga tahun, bagaimana dengan pembetulan SPT yang tidak menyebabkan rugi atau tidak lebih bayar, misalnya untung atau kurang bayar. Hal ini dalam Undang-Undang KUP tidak diatur. Penulis berpendapat bahwa hal ini juga tidak perlu diatur daluwarsanya, artinya boleh saja tahun ini Wajib Pajak membetulkan SPT sepuluh atau lima belas tahun yang lalu dengan status kurang bayar. Sebagai ketentuan SPT dianggap lengkap atas kurang bayar tersebut harus dibayar sebelum SPT pembetulan disampaikan.Pertanyaan berikutnya adalah apakah atas pembayaran kurang bayar dalam SPT pembetulan setelah melewati daluwarsa juga diterbitkan STP dengan sanksi bunga 2% per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (2a) Undang-Undang KUP? Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa STP tersebut harus diterbitkan dengan sanksi bunga 2% per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP. Pengenaan sanksi bunga 2% per bulan tersebut dikalikan dengan jumlah bulan pembetulan, misalnya jangka waktu pembetulan SPT adalah sepuluh tahun kemudian maka sanksi bunganya dikalikan dengan seratus dua puluh bulan, tidak dibatasi maksimal dua puluh empat bulan. Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, Wajib Pajak yang di STP dengan sanksi bunga 2% per bulan yang dikenakan melebihi dua puluh empat bulan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP dan ataspermohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sehinggabesarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dikenakan untuk jangka waktu palinglama 24 (dua puluh empat) bulan.

Penerbitan SKPKB atau SKPKBT diatur jelas daluwarsanya, tetapi tidak demikian dengan penerbitan SKPN dan SKPLB. Undang-Undang KUP hanya mengatur bahwa penerbitan SKPN atau SKPLB setelah dilakukan pemeriksaan. Padahal pemeriksaan juga tidak diatur daluwarsanya. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa pemeriksaan untuk penerbitan SKPN atau SKPLB tidak diatur daluwarsanya, tentu saja hal ini akan menimbulkan ketidak adilan dan tidak adanya kepastian hukum. Untuk memberi keadilan dan kepastian hukum sebaiknya Undang-Undang KUP mengatur daluwarsa penerbitan SKPN atau SKPLB.

KesimpulanInterpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu aliran Legisme terikat sekali pada undang-undang.

Terdapat 7 penafsiran (interpretasi) yang digunakan dalam lapangan hukum perdata, namun juga dapat digunakan dalam lapangan hukum publik, termasuk dalam hukum pajak sebagai alat untuk mencoba memahami peraturan atau undang-undang :

1. Penafsiran Historis2. Penafsiran Sosiologis3. Penafsiran Sistematik

4. Penafsiran Autentik

5. Penafsiran Tata Bahasa6. Penafsiran Analogis7. Penafsiran A ContrarioSurat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :a. Surat Tagihan Pajak (STP)

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

c. Surat KEtetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Daluarsa Penetapan terdiri atas :a. Daluwarsa kurang dari lima tahunb. Daluwarsa lima tahunc. Daluwarsa lebih dari lima tahund. Daluwarsa Sepuluh Tahune. Tidak Diatur DaluwarsanyaDaftar Pustaka B. Ilyas, Wirawan. 2013.Hukum Pajak.Jakarta : Salemba Empat

http://www.jurnalhukum.com/penafsiran-hukum-interpretasi-hukum/ diakses pada 25 Februari 2015

http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/10/penafsiran-dalam-hukum-pidana-1.html diakses pada 25 Februari 2015

https://wanuahukum.wordpress.com/2012/10/24/hukum-pidana-ii-penafsiran-hukum-pidana/ diakses pada 25 Februari 2015

http://pengertianmenurutahli.blogspot.com/2013/10/metode-penafsiran-hukum-pajak.html diakses pada 25 Februari 2015

http://henrich27.blogspot.com/2013/04/penafsiran-dalam-hukum-pajak.html diakses pada 25 Februari 2015

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12578-beberapa-tahun-ketentuan-daluwarsa-dalam-undang-undang-kup) diakses pada 26 Februari 2015

http://ganjar-asdi.blogspot.com/2010/11/macam-macam-ketetapan-pajak.html)diakses pada 26 Februari 2015

2