bab 4 sintesa dan karakterisasi bionanokomposit … · kesehatan dan dapat memberikan manfaat...
TRANSCRIPT
67
BAB 4 SINTESA DAN KARAKTERISASI BIONANOKOMPOSIT
FILLER NANOPARTIKEL SERAT KULIT ROTAN DENGAN METODA INJEKSI MOLDING
Pendahuluan
Latar Belakang
Berkembangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan
hidup telah memicu pergeseran paradigma untuk mendesain material komposit
yang ramah lingkungan dan hemat energi. Material komposit yang diperoleh dari
limbah pertanian atau hasil hutan dan memiliki karakteristik lebih baik dari
material sintetis tentu akan menjadi pilihan tiap orang, karena lebih aman bagi
kesehatan dan dapat memberikan manfaat positif pada pelestarian lingkungan
diantaranya pemanfaatan bahan baku yang tersedia berlimpah di alam
(sustainability resources), dapat didaur ulang dan memiliki kemudahan
mekanisme pembuangan material ke alam setelah habis masa pakainya (ultimate
disposability). Bionanokomposit berbasis selulosa alam dengan sifat termoplastik
sebagai sistem penguatan polimer, merupakan jawaban atas kebutuhan akan
komposit disegala bidang yang lebih ringan, kuat, tahan korosi dan aus, ramah
lingkungan serta ekonomis (Kristanto 2007).
Dalam bidang ilmu dan teknologi material khususnya komposit berbasis
polimer dan serat sintetis, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Kemudahan dan keistimewaan komposit sintetis telah dapat menggantikan
material logam, baja, dan kayu dalam membantu kehidupan manusia. Kebutuhan
akan material ini pada dunia industri mencapai ratusan juta ton per tahunnya
(Lampiran 14) dan akan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sifatnya
yang nonbiodegradebel dan nonrenewable, tentunya membawa dampak
merugikan baik bagi alam maupun manusia itu sendiri. Oleh sebab itu perlu
adanya revolusi teknologi material kearah bionanokomposit yang dapat digunakan
sebagai pilihan untuk mengurangi penggunaan komposit sintetis dengan sifat-sifat
yang lebih diantaranya eksplorasi sumber daya alam dalam negeri, ramah
lingkungan memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih menguntungkan. Hal
tersebut diatas akan berdampak pada efisiensi proses produksi karena
68
membutuhkan konsumsi energi yang rendah, meningkatkan pengaturan panas
mesin sehingga tidak terlalu banyak panas yang dibuang, menghasilkan produk
komponen otomotif yang lebih ringan sehingga berdampak mengurangi berat
kendaraan yang akhirnya terjadi penghematan bahan bakar (Sisworo 2009).
Salah satu contoh aplikasi industri komponen sepeda motor adalah luggage
box dengan unsur penyusun polipropillen dan fiber glass. Luggage box adalah
komponen komposit polimer berserat sintetis yang digunakan sebagai penyimpan
barang sekaligus sebagai tumpuan beban struktur pengendara sepeda motor yang
berada tepat diatasnya. Penambahan serat sintetis pada polimer ini dimaksudkan
untuk menurunkan kekuatan tarik mulur dan menaikkan kekuatan tarik, modulus
elastisitas dan ketangguhan (impak) pada polimer sehingga dihasilkan komposit
yang memiliki sifat ringan akan tetapi tahan terhadap benturan (high impact),
kuat, ulet, mudah dibentuk dan tahan karat.
Sementara itu jika ditinjau dari proses produksi komponen komposit,
produsen sepeda motor membutuhkan material komposit yang tepat diantara
sekian banyak pilihan terkait dengan pertimbangan efisiensi material dalam proses
produksi, produk yang ramah lingkungan, kebutuhan konsumen akan produk yang
ringan, murah dan bagus serta kebutuhan akan komposit yang stabil selama proses
produksi berlangsung. Fiber glass adalah salah satu serat sintetis yang dapat
memenuhi standar material komposit yang saat ini digunakan pada komponen
sepeda motor. Untuk dapat menggantikan atau mengurangi kebutuhan akan serat
sintetis yang ada dengan produk yang ramah lingkungan, dibutuhkan pemilihan
material alam yang tepat disertai dengan suatu pengembangan metoda baru yang
bisa menawarkan solusi teknik yang mengedepankan kemampuan sistem yaitu
nanoteknologi. Sebuah material bionanokomposit yang terdiri atas blok-blok
partikel homogen dengan ukuran nanometer (1 nm = 10-9
Pengembangan teknologi bioplastik biodegradable dewasa ini mengalami
kemajuan sangat pesat
m) yang diproses
melalui proses milling, shaker dan ultrasonikasi yang akan digunakan sebagai
penguat pada bionanokomposit.
. Berbagai riset telah dilakukan di Indonesia dan negara
maju dalam menggali berbagai potensi bahan baku bionanokomposit. Penelitian
sebelumnya tentang biokomposit berbasis selulosa dibidang transportasi di
69
antaranya pada industri perkapalan, Sisworo (2009) telah meneliti aplikasi
biokomposit berbasis serat kulit rotan dalam bentuk anyaman dengan penguat
polimer pada bodi kapal laut dengan hasil sifat mekanik komposit belum
memenuhi standarisasi BKI. Produsen global Toyota (2002) telah
mengembangkan dan memproduksi bioplastik berpenguat serat alam kenaf pada
aplikasi eksterior bodi mobil (bemper) dan hasilnya dapat diperoleh biokomposit
yang lebih ringan, konsumsi energi produksi lebih rendah dengan sifat fisis dan
mekanis yang sebanding dengan komposit sintetis yang selama ini digunakan
(http/www.otomotifnet.com). Dalam industri pesawat, komponen engine hood
yang dibuat dari logam digantikan dengan nanokomposit serat karbon karena
terbukti komposit dapat meredam getaran dan resistan terhadap fatigue
(kelelahan).
Sementara itu penelitian, pengembangan dan produksi bionanokomposit
khususnya di bidang industri komponen sepeda motor belum pernah dilakukan,
sehingga penelitian bionanokomposit berfiller nanopartikel serat kulit rotan
dengan metoda injeksi molding merupakan kajian yang sangat menarik untuk
diteliti lebih lanjut, dengan penekanan pada pengujian sifat mekanis yang
ditunjang dengan pengamatan struktur mikro. Keseluruhan dari penelitian ini
dapat bermanfaat sebagai eksplorasi kekayaan alam Indonesia yang bermanfaat
untuk menunjang pembangunan industri dan kemandirian bangsa, khususnya
dalam penguasaan ilmu dan teknologi material.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan bionanokomposit pada variasi
konsentrasi dan ukuran filler yang optimum dengan metoda injeksi molding dan
menentukan sifat mekanik yang didukung dengan struktur mikro sesuai dengan
standarisasi material komposit PP-FG yang digunakan pada produk komponen
sepeda motor yaitu standar Honda Engineering Standard (HES C 255). Sasaran
spesifik yang ingin dicapai adalah terwujudnya sebuah alternatif untuk
menggantikan atau mengurangi serat sintetis fiber glass pada aplikasi industri
komponen sepeda motor dengan partikel nano serat kulit rotan guna memberikan
nilai tambah yang signifikan terhadap perkembangan nanoteknologi dan komposit
di Indonesia yang kaya akan serat alam.
70
Hipotesis
Bionanokomposit dengan matrik polipropillen dan filler nanopartikel serat
kulit rotan dapat disintesa dengan menggunakan metoda injeksi molding dan
menghasilkan material baru yang memiliki sifat fisis dan mekanis yang sebanding
dengan komposit sintetis fiber glass yang saat ini digunakan pada industri
komponen sepeda motor.
Tinjauan Pustaka
Klasifikasi Material Komposit
Kata komposit (composite) memiliki arti susunan atau gabungan. Material
komposit di definisikan sebagai kombinasi antara dua material atau lebih yang
secara makroskopis berbeda bentuknya, komposisi kimianya, dan tidak saling
melarutkan dimana material yang satu berperan sebagai penguat (filler) dan yang
lainnya sebagai pengikat (matrik), sehingga akan terbentuk material baru yang
lebih baik dari material penyusunnya (Gambar 4.1) (Astley 2001).
Komposit disusun dari dua komponen yaitu matriks dan penguat (filler).
Filler dapat berupa struktur, partikel atau serat yang berfungsi sebagai penguat
dimana distribusi tegangan yang diterima oleh komposit akan diteruskan ke filler.
Serat dapat berasal dari alam (kenaf, kulit rotan, rami) maupun sintetis (fiber
glass, serat Carbon, serat nylon). Klasifikasi Komposit berdasarkan matrik
(Gambar 4.2), digolongkan kedalam tiga kelompok besar yaitu komposit matrik
logam, komposit matrik polimer, dan komposit matrik keramik (Liu 2010).
Gambar 4.1 Citra SEM dari matrik (epoxy resin) (a) dan SEM dari komposit
epoxy-CNT (b) (Cheng 2010).
epoxy CNT
71
(a)
(b)
Gambar 4.2 Klasifikasi material komposit berdasarkan matrik (a) dan keuntungan-
kelemahan dari berbagai matrik komposit (b).
Pembagian komposit berdasarkan penguatnya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu (Gambar 4.3):
• Material komposit serat, penguatnya berbentuk serat (Gambar 4.4a)
• Material komposit struktur, penggabungan material komposit (Gambar
4.4b)
• Material komposit partikel, penguatnya berbentuk partikel (Gambar 4.4c)
72
composites
fiberparticulates structural
Large particle Dispersion Strengthened
Discontinuous
Sandwich Panels
Continuous Laminates
Aligned Random
Gambar 4.3 Pembagian komposit berdasarkan penguatnya.
a b c
Gambar 4.4 Citra SEM carbon nano tube komposit berdasarkan susunan penguatnya, Fiber (Cheng 2010) (a), Laminate (Samir 2005) (b), Partikel (Stamatin 2006) (c).
Komposit serat merupakan jenis komposit yang hanya terdiri dari satu
lamina (lapisan) yang menggunakan penguat berupa serat atau fiber. Fiber yang
digunakan bisa berupa serat sintetis yang disebut dengan komposit atau serat alam
yang disebut dengan biokomposit. Fiber ini bisa disusun secara acak (random)
maupun dengan orientasi tertentu bahkan bisa juga dalam bentuk yang lebih
kompleks seperti anyaman. Arah penyusunan serat dalam komposit memiliki tiga
bentuk yaitu serat panjang, serat pendek dan random (Gambar 4.5). Keistimewaan
komposit serat panjang adalah lebih mudah diorientasikan serta akan memberikan
nilai penguatan yang lebih baik dan seragam, jika dibandingkan dengan serat
pendek karena beban yang terjadi disalurkan secara merata sepanjang serat.
Walaupun demikian serat pendek memiliki rancangan lebih banyak (Okahisa
2009).
73
a b c Gambar 4.5 Arah penyusunan serat, serat panjang (a), serat pendek (b), dan
random (c).
Sementara itu orientasi (arah) dan sudut penyusunan serat dapat
mempengaruhi jumlah serat yang dapat diisikan ke dalam matriks dan
menentukan kekuatan maksimum biokomposit. Makin cermat sudut penataannya,
makin banyak penguat yang dapat dimasukkan. Sisworo (2009) dalam
penelitiannya tentang pengaruh sudut penyusunan filler terhadap kekuatan
mekanik pada biokomposit berpenguat anyaman serat kulit rotan sebagai
biokomposit pengganti komposit fiber glass pada aplikasi bodi kapal laut,
menghasilkan kekuatan tarik dan modulus elastisitas optimum pada sudut sejajar
atau saling tegak lurus. Sementara itu tatanan acak hanya memberi peluang
pengisian 15 – 50% (Gambar 4.6).
Gambar 4.6 Pengaruh sudut penyusunan filler terhadap kekuatan tarik dan
modulus elastisitas biokomposit (Sisworo 2009).
transversal
longitudinal
74
Material komposit partikel merupakan komposit yang menggunakan partikel
atau serbuk sebagai penguatnya dan terdistribusi secara merata dalam matriksnya.
Ukuran partikel atau serbuk dapat berupa mikrometer atau nanometer sesuai dari
kebutuhan aplikasinya (Gambar 4.7). Komposit partikel bersifat isotropis,
merupakan produk yang dihasilkan dengan menempatkan partikel-partikel dan
sekaligus mengikatnya dengan ikatan interfase bersama-sama dengan matrik.
Komposit dengan penguatan serat partikel adalah jenis komposit yang paling
sering dipakai dalam aplikasi. Hal ini karena komposit jenis ini memiliki
keunggulan terhadap sifat mekanik dengan luas permukaan (surface area) yang
semakin meningkat seiring dengan mengecilnya ukuran serat (Gambar 4.7b)
(Abddullah 2008).
a b
Gambar 4.7 Meningkatnya surface area terhadap ukuran pada partikel mikro (a) dan partikel nano (b) (Abdullah 2008).
Material komposit akan bersinergi dalam sifat fisis dan mekanik bila
memiliki sebuah sistem yang mempersatukan material-material penunjang untuk
mencapai sebuah sifat material yang baru. Aspek penting yang menunjukkan
karakteristik dari komposit tersebut adalah optimasi dari ikatan antar muka filler
dan matrik, dimana antara keduanya tidak terjadi reaksi kimia dan tidak larut satu
sama lain. Beban yang dikenakan pada matriks dipindahkan ke serat melalui
ikatan antar muka ini (Gambar 4.8). Semakin besar ikatan antar muka maka
semakin kuat pula ikatannya. Terdapat empat macam ikatan antar-muka yang
dapat terjadi yaitu interdifusi, tarik-menarik elektrostatis, ikatan kimia dan adhesi
mekanis (Mubarak 2006).
75
Gambar 4.8 Ikatan antar muka (Mubarak 2006).
Gambar 4.9 menunjukkan ikatan antar muka melalui ikatan gugus fungsi
bionanokomposit hasil penelitian yang dilakukan oleh Qian Li (2009) dengan
menggunakan alat uji FTIR menunjukkan bahwa bionanokomposit merupakan
gabungan antara dua fasa atau lebih yang tidak saling melarutkan dan membentuk
sebuah material baru yang memiliki karakteristik atau sifat yang lebih baik
daripada material penyusunnya.
Gambar 4.9 FTIR dari bionanokomposit matrik kitosan dan variasi konsentrasi filler selulosa whisker, CW-10 (a), CW-20 (b), CW-30 (c), selulosa whiskers (d) (Qian 2009).
Interdifusi
Tarik Menarik Elektostatis
Molekul Bermuatan Terikat Dengan Bidang Elektrostatis
Ikatan Kimia
Adhesi Mekanis
Bilangan gelombang (cm-1)
76
Karakteristik umum yang harus dipenuhi filler agar kondisi atau komposisi
optimal sebuah komposit dapat tercapai adalah serat harus mampu menerima
perubahan gaya dari matrik dan mampu menerima gaya yang bekerja padanya
oleh sebab itu filler harus memiliki kekuatan lentur dan kekuatan tarik yang lebih
tinggi dari matrik, ukuran yang seragam dan homogen di antara serat serta
densitas yang lebih kecil dibandingkan matrik. Faktor orientasi serat akan
menentukan kekuatan mekanis dari biokomposit. Ada tiga jenis orientasi serat
yaitu penguatan satu dimensi, dua dimensi, dan tiga dimensi. Jenis penguatan
serat satu dimensi memiliki kekuatan dan modulus komposit yang maksimum
dalam arah orientasi sumbu serat. Jenis penguatan dua dimensi menunjukkan
kekuatan yang berbeda pada setiap arah orientasi serat. Sedangkan jenis
penguatan tiga dimensi adalah isotropis, artinya komposit akan memiliki kekuatan
yang sama pada satu titik (Thostenson 2005).
Sementara itu matrik dalam struktur komposit berasal dari bahan polimer,
logam, atau keramik. Matrik secara umum berperan membentuk dan mengikat
serat dalam satu kesatuan struktur komposit dan melindungi serat dari kerusakan
akibat kondisi lingkungan (mencegah timbulnya perambatan crack dari suatu fiber
ke fiber lain). Karakteristik matrik sebagai bahan penyusun utama dari komposit
harus dapat mengikat dan kompatibel dengan serat sehingga beban yang diterima
bahan dapat diteruskan ke serat secara maksimal sehingga diperoleh komposit
yang optimal dan stabil selama proses manufaktur. Pada umumnya matrik
memiliki modulus elastisitas lebih rendah daripada fiber dengan komposisi
optimal matrik terhadap filler adalah % berat matrik lebih kecil dari % berat filler
sehingga dapat membentuk sifat mekanik seperti kekakuan, ketangguhan dan
kekuatan.
Bionanokomposit matrik Polimer
Polimer (makromolekul) merupakan molekul besar yang terbentuk dari
unit–unit berulang sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani yaitu Poly
yang berarti banyak, dan mer yang berarti bagian. Polimer dibedakan menjadi 2
yaitu polimer buatan dan polimer alam. Polimer alam adalah material yang
langsung diambil dari alam seperti selulosa, kapas, karet, dan rotan. Sementara
itu polimer buatan digolongkan lagi menjadi polimer regenerasi dan polimer
77
sintetis. Polimer regenerasi adalah polimer alam yang dimodifikasi contohnya
rayon, yaitu serat sintetis yang dibuat dari kayu (selulosa). Polimer sintetis adalah
polimer yang dibuat dari molekul sederhana (monomer) dalam pabrik misalnya
polipropillen (PP).
PP merupakan polimer yang digunakan sebagai matrik dalam penelitian
disertasi ini dan salah satu jenis dari polimer kristalin termoplastik bersifat non-
polar yang dihasilkan dari proses polimerisasi gas propilena (Gambar 4.10).
Pengolahan lelehnya polipropilena bisa dicapai melalui mesin injeksi molding,
ekstrusi atau sejenisnya namun dapat mengalami degradasi rantai saat terkena
radiasi ultraungu dari sinar matahari dan akan mengalami oksidasi polimer pada
suhu yang tinggi. Jadi untuk penggunaan propilena di luar ruangan, bahan aditif
yang menyerap ultraungu harus digunakan. Kebanyakan polipropilena komersial
merupakan isotaktik dan merupakan produk-produk konsumsi yang dipakai secara
luas seperti botol, kantong dll (Maulida 2006).
Gambar 4.10 Polimer termoplastik (Maulida 2006).
Polipropillen memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah
mempunyai rapat massa rendah dibandingkan dengan jenis plastik lain,
mempunyai titik leleh yang cukup tinggi mencapai 300 0C, sedangkan titik
kristalisasinya antara 130–135 0
rumus molekul (C
C (Lampiran 11 dan 13), mempunyai sifat mudah
dibentuk, tahan terhadap bahan kimia, asam, basa dan tahan terhadap panas serta
tidak mudah retak (low impact strength) (Gambar 4.11).
3H6)
Gambar 4.11 Ikatan kimia polipropillen.
n
waktu Suhu
78
Sementara itu bentuk-bentuk polimer serat yang banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari diantaranya adalah fiber glass (Gambar 4.12). Fiber glass
adalah polimer serat yang digunakan sebagai filler komposit pada aplikasi
komponen sepeda motor dan dalam penelitian ini digunakan sebagai pembanding
serat alam. Fiber glass merupakan senyawa yang stabil dan merupakan padatan
amorf yang dikomposisikan menghasilkan lembaran kaca tipis dan di urai menjadi
benang-benang halus berukuran mikron (Lampiran 4), bersifat kaku, kuat tetapi
rapuh terhadap benturan. Berwujud padat tetapi susunan atom-atomnya seperti
pada zat cair dengan viskositas tinggi (1012
Pa.s), transparan dan tahan terhadap
serangan kimia. Fiber glass juga mempunyai bentuk yang ramping, sehingga
memudahkan dalam pengemasan dan distribusinya.
(a) (b) (c)
Gambar 4.12 Citra SEM komposit filler fiber glass dengan perbesaran yang berbeda (a-b) dan komposit PP-FG (c).
Saat ini pemanfaatan polimer sudah meliputi berbagai aspek kehidupan.
Industri-industri polimer berkembang pesat selama beberapa puluh tahun terakhir,
bahkan industri polimer dapat dipandang sebagai industri dasar dalam negara.
Faktor utama yang menyebabkan pesatnya industri polimer adalah bahan-bahan
polimer dapat memenuhi spektrum luas dari kehidupan, harganya relatif murah,
kualitasnya dapat ditingkatkan lewat pengubahan struktur kimia, penambahan
aditif seperti pengisi, penstabil dan pewarna serta memiliki sifat yang
menguntungkan mudah dibentuk (easy printability), fleksibel dan tahan karat.
Polimer juga memiliki kekurangan seperti kekakuan dan kekuatan rendah.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kekuatannya penggunaan polimer, harus
terlebih dahulu dicampurkan dengan zat-zat lain sebagai penstabil, pengeras atau
penguat. Vilaseca (2010) telah meneliti polipropillen yang digunakan sebagai
79
matrik pada biokomposit berfiller abaca strands dengan hasil sifat mekanik
modulus young dan kekuatan tarik yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya penguat (serat) (Gambar 4.13).
(a) (b)
Gambar 4.13 Kekuatan tarik (a) dan modulus young (b) biokomposit bermatrik polipropillen dengan metode injeksi molding (Vilaseca 2010).
Injeksi Molding dan Penerapannya di Industri Manufaktur
Dewasa ini, terjadi pertumbuhan yang sangat pesat pada penggunaan produk
plastik dan komposit di industri manufaktur karena sangat serbaguna dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
sangat diperlukan khususnya untuk pemanfaatan dan pengolahan polimer,
sehingga dapat dihasilkan produk plastik dengan kuantitas yang cukup tinggi dan
kualitas yang baik. Salah satu teknik yang cukup efektif dan banyak dipergunakan
untuk pengolahan bahan thermoplastik adalah injeksi molding.
Injeksi molding merupakan mesin yang digunakan untuk mengubah resin material
plastik dan komposit dari bentuk granular menjadi lelehan yang nantinya akan
dimasukkan ke dalam cetakan dengan tekanan tinggi (Gambar 4.14).
Injeksi molding banyak dipilih karena memiliki beberapa keuntungan
diantaranya kapasitas produksi yang tinggi, sisa penggunaan material (useless
material) sedikit dan tenaga kerja minimal. Sedangkan kekuranganya, biaya
investasi dan perawatan alat yang tinggi, serta perancangan produk harus
mempertimbangkan untuk pembuatan disain moldingnya (Vilaseca 2010).
PP-E fiberglass PP-E fiberglass
PP-Abaca strands PP-Abaca strands
80
Gambar 4.14 Injeksi molding.
Mold adalah bagian terpenting untuk mencetak plastik dan bentuk produk
sangat tergantung dari cetakannya. Mold memiliki dua bagian utama yaitu bagian
cavity dan core. Cavity adalah cetakan yang berhubungan dengan nozzle pada
mesin, sedangkan core adalah bagian yang berhubungan dengan ejector.
Menentukan jenis konstruksi dari cetakan injeksi plastik sangat bergantung
dari bentuk produk yang akan di buat, faktor lain yang mempengaruhi diantaranya
adalah ketersedian mesin injeksi, kapasitas mesin injeksi, biaya, jenis material
plastik yang digunakan dan sebagainya. Namun faktor produk adalah faktor
terbesar dalam menentukan konstruksi cetakan yang di gunakan, karena pada
setiap produk mempunyai karateristik tersendiri, seperti appearance, dimensi,
toleransi, letak undercut, bentuk geometri secara umum dan fungsi dari cetakan
yang akan digunakan. Misalnya cetakan yang digunakan untuk untuk mencetak
casing laptop dengan sebuah tutup bolpen tentunya berbeda (Vilaseca 2010).
Mekanisme kerja injeksi molding machine meliputi empat tahap yaitu :
1. Proses clamping
Proses penutupan mold antara bagian core dan cavity yang
dilanjutkan dengan penguncian posisi dengan memakai tekanan tinggi
sehingga diperoleh posisi mould yang tertutup rapat.
2. Proses injeksi
Proses pemasukan material ke dalam mold melalui nozzle (bagian
ujung barrel) dan sprue (lubang masuk di mould) dengan memakai
tekanan tinggi.
Hoper
Barel Screw hidrolik
Moving Diam
Screw Pemanas
Cavity
Hoper
Barel Screw hidrolik
Injeksi Cetakan
Moving Diam Cavity
Clamping
81
3. Proses cooling dan plastisizing
Proses pendinginan material plastik panas yang telah masuk ke
dalam mould dengan memakai fluida pendingin yang dialirkan melalui
saluran-saluran pendingin mould dengan tujuan agar terjadi pembekuan.
Sedangkan proses plastisizing adalah proses pemasukan material dari
hopper ke dalam barrel (solid bed) yang dengan bantuan screw material
mengalir menuju nozzle sambil dilakukan pemanasan (melting zone) dan
pengadukan (homogenization zone) sehingga diperoleh material plastik
leleh yang merata. Waktu yang dipakai untuk proses plastisizing tidak
boleh lebih lama dari proses cooling.
4. Proses ejection
Proses pengeluaran part yang terbentuk dari bagian core mold
dengan memakai gerakan ejector. Selanjutnya proses akan berulang lagi ke
proses clamping.
Sifat Mekanik Bionanokomposit
Sifat mekanik material, merupakan salah satu faktor penting yang mendasari
pemilihan bahan dalam suatu perancangan. Sifat mekanik dapat diartikan sebagai
respon atau perilaku material terhadap pembebanan yang diberikan, dapat berupa
gaya, torsi atau gabungan keduanya. Pembebanan pada material terbagi dua yaitu
beban statik dan beban dinamik. Perbedaan antara keduanya hanya pada fungsi
waktu dimana beban statik tidak dipengaruhi oleh fungsi waktu sedangkan beban
dinamik dipengaruhi oleh fungsi waktu.
Untuk mendapatkan sifat mekanik material, dilakukan pengujian yang
mengacu pada standarisasi tertentu misalnya di Amerika dengan ASTM E8,
Jepang dengan JIS 2241 dan di Indonesia dengan SNI. Dari pengujian mekanik
akan dihasilkan kurva dan data yang mencirikan karakterisasi mekanik dari
material tersebut. Setiap material yang diuji dibuat dalam bentuk cuplikan kecil
atau spesimen seperti yang ditunjukkan Gambar 4.15. Spesimen pengujian dapat
mewakili seluruh material apabila berasal dari jenis, komposisi dan perlakuan
yang sama. Pengujian yang tepat hanya didapatkan pada material uji yang
memenuhi aspek ketepatan pengukuran, kemampuan mesin, kualitas atau jumlah
cacat pada material dan ketelitian dalam membuat spesimen. Sifat mekanik
82
tersebut meliputi antara lain: kekuatan tarik, ketangguhan, kelenturan, keuletan,
kekerasan, kekuatan impak, kekuatan mulur dan sebagainya.
Pengujian tarik adalah uji mekanis untuk menentukan respon material dari
suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat dikenakan beban atau
deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa jauh perilaku inheren
(sifat ketergantungan atas fenomena atomik/mikroskopis dan bukan dipengaruhi
bentuk/ukuran benda uji) dari material terhadap pembebanan. Di antara semua
pengujian mekanis, pengujian tarik merupakan jenis pengujian yang paling
banyak dilakukan karena mampu memberikan informasi representatif dari
perilaku mekanis material (Gambar 4.15).
Cuplikan atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan
beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya serta kekuatan patah. Data
yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan gaya yang selanjutnya
ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan yang mempunyai hubungan
proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti
dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan yang linier σ
= Eε (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x
adalah regangan dan m merupakan slope kemiringan dari modulus kekakuan.
Gambar 4.15 Pengujian kekuatan tarik (Yuwono 2009).
Samir (2005) telah meneliti pengaruh MFC (Micro Fibril Cellulose) pada
starch terhadap tegangan dan regangan biokomposit, dimana semakin besar
penguat yang diberikan pada komposit (variasi konsentrasi filler MFC 10 – 100%)
83
maka akan menghasilkan tegangan yang semakin meningkat dan regangan yang
semakin menurun (Gambar 4.16). Mikro fibril cellulose (MFC) konsentrasi 100%
terlihat memiliki sifat getas, dimana kekuatan (strength) yaitu besarnya tegangan
untuk mendeformasi material atau kemampuan material untuk menahan suatu
deformasi adalah kecil. Jika deformasi dari luar terus diberikan, maka batas elastis
akan terlampaui sehingga material mengalami patah. Sementara itu semakin kecil
konsentrasi MFC mendekati 10% menunjukkan sifat ulet. Ini berarti penambahan
matrik memberikan dampak atau perubahan pada material dasar penyusunnya
yaitu dapat menurunkan kekuatan tarik dan menaikkan tensile breaking
elongation.
Gambar 4.16 Tegangan dan regangan biokomposit starch-MFC (Micro Fibril
Cellulose) variasi konsentrasi MFC (Samir 2005).
Pengujian ketangguhan merupakan suatu pengujian yang mengukur
ketahanan komposit terhadap beban kejut. Pengujian ini merupakan suatu upaya
untuk mensimulasikan kondisi operasi komposit yang sering ditemui dalam
aplikasi komponen transportasi atau konstruksi dimana beban tidak selamanya
terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba. Prinsip dasarnya
adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu
ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami
deformasi (Gambar 4.17).
Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk
terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan ketangguhan bahan tersebut.
Pada Gambar 4.17 di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah akibat
deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h’. Bila bahan
84
tersebut mampu menyerap energi lebih besar maka makin rendah posisi h’. Suatu
material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang
besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah.
Gambar 4.17 Ilustrasi skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy
(Yuwono 2009).
Energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan
Joule dan dibaca langsung pada skala penunjuk yang telah dikalibrasi yang
terdapat pada mesin penguji. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke
dalam dua golongan yaitu pengujian impak Charpy dan izod. Pengujian impak
Charpy adalah standarisasi Amerika Serikat (Gambar 4.18a). Benda uji Charpy
memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik
(notch) berbentuk V dengan sudut 45 derajat, dengan jari-jari dasar 0.25 mm dan
kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan
bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul. Sedangkan pengujian
impak Izod merupakan standarisasi Inggris dan Eropa (Gambar 4.18b). Benda uji
Izod mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di
dekat ujung yang dijepit. Pengujian ini umumnya dilakukan hanya pada suhu ruang
dan ditujukan untuk material-material yang didisain sebagai batang (cantilever).
Uji mekanis ketangguhan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa
persen patahan berserat dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang
diuji pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka
dapat dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan
85
mengamati permukaan patahan benda uji di bawah miskroskop (Gambar 4.18c).
Perpatahan dalam pengujian ini digolongkan menjadi 3 jenis yaitu:
• Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme
pergeseran bidang-bidang kristal di dalam bahan yang ulet (ductile).
Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang menyerap cahaya dan
berpenampilan buram.
• Perpatahan granular atau kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme
pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan yang rapuh (brittle).
Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan
daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).
• Perpatahan campuran (berserat dan granular), merupakan kombinasi dua
jenis perpatahan di atas.
Gambar 4.18 Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy (a) Izod (b) dan perpatahan impak(c).(Mudyantini 2008).
Pengujian kekerasan suatu material memiliki arti yang berbeda untuk
kelompok bidang ilmu yang berbeda. Bagi bidang ilmu metalurgi nilai kekerasan
adalah ketahanan material terhadap penetrasi, sementara untuk para desain
material kekerasan adalah ukuran dari tegangan alir, untuk bidang lubrikasi
kekerasan berarti ketahanan terhadap mekanisme keausan, untuk para ilmu
mineralogi kekerasan adalah ketahanan terhadap goresan, dan untuk para mekanik
work-shop lebih bermakna kepada ketahanan material terhadap pemotongan dari
alat potong. Begitu banyak konsep kekerasan material yang dipahami oleh
kelompok ilmu, walaupun demikian konsep-konsep tersebut dapat dihubungkan
pada satu mekanisme yaitu tegangan alir plastis dari material yang diuji.
Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material
tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan
a b c
Takik (Charpy)
Cuplikan 10x10x55 mm
Impak
Bandul
Cuplikan 10x10x75 mm
Takik (Izod)
Bandul Impak
86
tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan dan
indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Metode
indentasi dilakukan dengan melalui penekanan benda uji dengan indentor, gaya
tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan
oleh luas area dan kedalaman indentasi yang dihasilkan. Metode uji kekerasan
dapat diklasifikasikan menjadi metode brinell, metode vickers dan metode
Rockwell.
Metode Brinell merupakan pengujian kekerasan yang dilakukan dengan
memakai bola baja yang diperkeras dengan beban dan waktu indentasi tertentu
(Gambar 4.19a). Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang
dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. Prosedur
standar pengujian mensyaratkan untuk pengujian logam ferrous menggunakan
bola baja berdiameter 10 mm, beban 3000 kg dan waktu indentasi 10 s.
Sementara itu untuk logam nonferrous digunakan beban 500 kg dan waktu 30 s.
Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material
dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu
material yang dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya
menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban
3000 kg selama waktu 1-15 s. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti
angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30
menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian
dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 s.
Metode Vickers menggunakan indentor intan berbentuk piramida dengan
sudut 136o. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, tetapi jejak
yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur
dengan skala pada mikroskop pengujur jejak (Gambar 4.19b). Sementara itu
metode rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-
reading). Metode ini banyak dipakai dalam industri karena pertimbangan praktis.
Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki
banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B
(dengan indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell
C (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Oleh karenanya skala kekerasan
87
Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB,
yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100
kg.
Gambar 4.19 Skematis prinsip indentasi metode brinell (a) dan prinsip indentasi metode vickers (b) (Yuwono 2009).
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Terapan IPB, PT Astra
Honda Motor Jakarta dan PTBIN BATAN Puspiptek Tangerang. Waktu
penelitian pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Oktober 2011,
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat kulit rotan
dengan ukuran 1 mm, 150 μm, nanopartikel, coupling agent PPMA dan
polipropillen (PP) standarisasi industri manufaktur sepeda motor.
Alat yang digunakan meliputi timbangan analitik, injeksi molding.
Sementara itu peralatan yang digunakan untuk pengujian kualitas serat yang
dihasilkan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron
Microscope (SEM), Electron Dispersive Spectroscopy (EDS), Acceleration Aging
Test (AAT), Fourier Transfom InfraRed Spectroscopy (FTIR) dan alat uji
mekanik (ketangguhan, kekuatan, kekerasan,) standarisasi ASTM.
a b
88
Tahapan Penelitian
Dalam proses sintesa bionanokomposit, digunakan serat dengan ukuran 1
mm, 150 μm dan nanopartikel (20 nm). Komposisi perbandingan antara matrik
dan filler ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Sementara itu coupling agent (PPMA)
digunakan konstan 3%. Mesin injeksi molding yang digunakan adalah Toshiba
GS Series, dimana pemanasan dan pengadukan komponen penyusun komposit
adalah insitu (Gambar 4.14).
Proses sintesa bionanokomposit diawali dengan persiapan serat dengan
ukuran dan komposisi seperti dalam Tabel 4.1 kemudian masing-masing cuplikan
dimasukkan ke dalam hooper injection molding dengan massa awal total (matrik,
filler, dan PPMA) 3 kg. Sebelum mesin injeksi molding bekerja di dalam material
hooper dilakukan pemanasan vacum 60 0C. Suhu yang digunakan dalam pelelehan
komposit adalah 160 - 200 0C dan suhu pendinginan adalah 44 0
Tabel 4.1 Komposisi matrik dan filler bionanokomposit
C. Tekanan
injeksi yang digunakan selama proses sintesa ini dibagi dalam 5 tahap yaitu fase
awal injeksi dengan tekanan 90% kemudian fase 2 – 5 digunakan tekanan stabil
30% dari tekanan total pada mesin injeksi. Cetakan yang digunakan adalah
cetakan uji mekanik standarisasi ASTM dan komponen sepeda motor (penutup
rantai dan separator tool box). Sebagai pembanding atas kualitas
bionanokomposit yang diperoleh, digunakan komposit sintetik yaitu polipropillen
dan fiber glass dengan komposisi 90 : 10. Komposit ini digunakan sebagai
material komposit penyusun pada industri komponen sepeda motor.
Keterangan Komposisi serat terhadap matrik sampel Sampel 2% 5% 10% 15% 20%
AB
1mm C DEFG
150 µm HIJKL
nanopartikel MNO
kerangka Polipropilinacuan PP + FG
89
Gambar 4.21 Diagram alir penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Bionanokomposit digunakan untuk mengurangi penggunaan komposit
sintetis pada industri sepeda motor, untuk itu digunakan acuan atau pembanding
yaitu material komposit dengan komponen penyusun matrik polimer polipropillen
(90%) dan filler serat sintetis fiber glass (10%) dengan pewarna hitam (Gambar
4.22a). Material ini digunakan pada komponen sepeda motor honda dengan
standarisasi Honda Engineering Standard (HES). Hasil SEM ditunjukkan pada
Gambar 4.23 dalam perbesaran 100 X dan 500 X.
Dari citra analisa permukaan komposit dengan menggunakan SEM, terlihat
bahwa penyusunan filler pada komposit fiber glass dalam bentuk serat pendek
dengan orientasi secara acak. Bentuk dari fiber glass yang menyerupai silender
berrongga memanjang dengan panjang 50 – 150 μm. Fiber glass berdiameter ±
10 μm yang digunakan terlihat tersebar di seluruh permukaan relatif homogen dan
Injeksi molding (TBarel) = 160 0C – 2000C), TP = 44 0C
Serat kulit rotan (Filler) (20 nm, 150 μm, 1mm)
ditimbang
dipreparasi (Thooper = 60 0C , SRN = 45 rpm)
Analisa Data
Dikarakterisasi SEM-EDS, XRD, AAT, FTIR, sifat Mekanis
Polipropillen (matrik)
90
tidak terjadi penggumpalan. Sementara itu matrik polimer yang digunakan adalah
polipropillen bertipe PP 7032EMCC dan dari perbesaran 500 X terlihat bahwa
gabungan antara matrik dan filler terjadi ikatan antar fasa difusi mekanik yang
tidak saling melarutkan dimana material yang satu berperan sebagai penguat dan
yang lainnya sebagai pengikat.
(a) (b)
Gambar 4.22 Komposit sintetis PP-FG standarisasi HES dalam bentuk granular (a) dan Luggage box sepeda motor (b).
a
b
Gambar 4.23 Citra SEM komposit sintetis PP-FG perbesaran 100X (a) dan perbesaran 500X (b).
Fiber glass
Polipropile
91
Hasil dari penelusuran unsur-unsur penyusun komposit sintetis dengan
menggunakan EDS terlihat bahwa komposisi unsur komposit (PP-FG) tersusun
oleh atom C = 85%, O = 12% dan mineral Na, Mg, Al, Si dan Ca. Sementara itu
komposisi filler yang digunakan pada aplikasi industri ini terdiri dari serat dengan
kadar C = 42.41% , O = 33.39% dan sisanya adalah mineral pelengkap Na, Mg,
Al, Si dan Ca (Tabel 4.2). Standar material komposit PP-FG yang digunakan pada
aplikasi komponen sepeda motor Honda berjenis LR22E PP-FG 10% HES C 255
dimana material ini merupakan material anorganik yang diproduksi dengan
elemen penyusun (bahan kimia) bersumber dari minyak bumi tertentu yang diatur
sesuai dengan kebutuhan aplikasinya sehingga ukuran, sifat termal, dan mikro
serta kekuatan yang dapat diupayakan hingga optimum seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.2 Komposisi unsur komposit (PP - FG)
Unsur Massa (%) Atom (%)
FG PP-FG FG PP-FG
C 42.41 79.13 55.11 85.25
O 33.39 15.18 32.57 12.28
Na 0.27 0.05 0.19 0.03
Mg 0.84 0.65 0.54 0.35
Al 3.53 0.68 2.04 0.33
Si 11.72 2.75 6.51 1.27
Ca 7.84 1.56 3.05 0.50
Total 100.00 100.00
Tabel 4.3 Standar karakteristik komposit (PP + FG) LR22E PP-FG 10%
Sifat material PP-FG Karakteristik mekanik dan termal
Flexural Strength 75 MPa Tensile Strength at Yield 55 MPa Dupont Impact strength 23 0 -20
C 0
5 kg cm C 5 kg cm
Elongation at Break 2 % Flexural Modulus 37.000 kg cmGlossy
-2 78
Heat Distortion Temperature 0.46MPa 1.82MPa
166 159
Hardness Rockwell 94 HRR Modulus elastisitas 3000 MPa Charpy Impact strength 70 J/m
92
Karakterisasi XRD menunjukkan bahwa komposit sintetis (PP-FG)
berstruktur kristal dengan intensitas tertinggi 800 count dan FWHM (Full Width
at Half Maximum) ditunjukkan oleh Gambar 4.24 dan Tabel 4.4. Sudut 2θ
pencacahan XRD yang digunakan adalah 10 – 80 derajat dengan sumber sinar-X
Cu (λ = 1.542 Å). Perhitungan menggunakan metode Scherer (Persamaan 1 dan 2)
pada 3 puncak tertinggi (Tabel 4.4) dihasilkan Apparent Crystal Size (ACS) =
13846.2 dan η (inhomogeneous mechanical micro strain) = 0.01133.
Pengujian sifat mekanik menggunakan standarisasi ASTM diperlihatkan
oleh Gambar 4.26 - 4.29 dan hasilnya menunjukkan bahwa penambahan serat
kaca pada polipropillen ini dapat menurunkan kekuatan tarik mulur dan
menaikkan modulus elastisitas, kekuatan tarik dan ketangguhan pada material
dasar polipropillen sehingga dihasilkan komposit yang memiliki sifat ringan akan
tetapi tahan terhadap benturan (high impact), kuat, ulet, mudah dibentuk dan tahan
karat. Komposit (PP-FG) memenuhi standarisasi yang ditentukan oleh HES C 255
sehingga komposit ini digunakan sebagai material penyusun dalam injeksi
molding komponen pada semua jenis sepeda motor produk PT Astra Honda
Motor. Jika hal ini dihubungkan dengan berbagai karakterisasi yang sudah
dijelaskan diatas, bahwa material ini memiliki kualitas yang baik diantaranya
struktur kristal dengan dimensi serat yang relatif seragam (orientasi penyusunan
filler yang acak), homogen dengan diameter filler berorde mikrometer, komposisi
unsur dominan oleh C, O dan penambahan makro-mikro mineral yang dapat
memperkuat material dari deformasi luar serta memiliki ikatan interfasa yang
tidak saling melarutkan melalui gugus fungsi yang cukup tajam (Gambar 4.25).
Gambar 4.24 Profil X-ray diffraction (XRD) komposit PP + FG.
93
Tabel 4.4 Data refflection bragg, ACS dan regangan mikro komposit PP - FG Peak 2θ FWHM (B) B cos θ sin θ ACS Strain
(η) (2θ0 (radian) ) Peak 1 16.768 0.678 0.011797 0.00596 0.8627 13846.2
0.01133 Peak 2 28.295 0.604 0.01051 0.00010 0.9999
Peak 3 21.365 0.989 0.017209 0.00529 0.9513
Gambar 4.25 Profil FTIR komposit berfiller fiber glass.
Hasil sintesa bionanokomposit dengan menggunakan injeksi molding
diperlihatkan oleh Gambar 4.26 yang terdiri dari 17 cuplikan. Cuplikan
bionanokomposit sendiri terdiri dari 5 cuplikan variasi konsentrasi filler yaitu
cuplikan K, L M, N, dan O (konsentrasi filler = 2, 5,10, 15, dan 20%). Sementara
itu cuplikan 1 adalah murni polimer (serat = 0%) dan cuplikan 2 adalah kerangka
acuan (referensi komposit sintetis PP berserat kaca yang dipakai pada material
luggage box). Cuplikan A sampai J adalah cuplikan filer serat kulit rotan
berukuran milimeter dan mikrometer sebagai pembanding bionanokomposit.
Rentang variasi konsentrasi filler yang digunakan, berdasarkan pada kerangka
acuan industri, menggunakan konsentrasi serat sintetis 10% dan 20% pada rapat
jenis (ρ) 2.73 g cm-3 sedangkan ρ nanopartikel serat kulit rotan adalah 0.2492 g
cm-3 (Lampiran 7), sehingga untuk mendapatkan kekuatan yang sama atau lebih
baik dibutuhkan jumlah massa serat alam yang lebih sedikit jika dibandingkan
serat sintetis. Setiap pengujian yang dilakukan terhadap kualitas mekanik material
dilakukan pengulangan 3 kali pengukuran setiap cuplikannya dan data dapat
dilihat pada Lampiran 17 - 20.
1736
2850
3572
C-H
C=O
C=C 2002
(OH-)
95
Gambar 4.27 dan 4.29 menjelaskan akan kekuatan mekanik berdasarkan
variasi konsentrasi dan ukuran filler bionanokomposit dibandingkan dengan
standar material komposit PP dan FG. Pada pengujian ketangguhan, tensile
breaking elongation dan kekerasan bionanokomposit (cuplikan L) memiliki nilai
diatas standarisasi HES. Hal ini dapat dijelaskan semakin kecil ukuran
nanopartikel maka permukaan atom komposit yang terekspos di permukaan akan
memiliki fraksi volume yang semakin besar ditambah lagi dengan tekanan yang
diberikan pada injeksi molding akan dapat mengurangi jumlah void (kekosongan
atom) sehingga dapat terjadi ikatan adesi mekanik dan ikatan kimia dengan matrik
yang optimum. Bionanokomposit ini memiliki sifat kuat, ulet dan tahan terhadap
benturan kejut pada konsentrasi filler 5% nanopartikel. Untuk mencapai
standarisasi HES dibutuhkan konsentrasi serat fiber glass 10%, sementara itu
konsentrasi nanopartikel hanya 5% dari berat total komposit. Hal ini menunjukkan
bahwa komposit berserat alam lebih efisien karena dengan ρ yang lebih kecil dari
serat sintetis, maka kebutuhan akan filler juga semakin kecil, sehingga akan
berdampak pada dihasilkannya bionanokomposit dengan massa yang lebih ringan
(Lampiran 7).
Keteraturan antara atom atau molekul-molekul penyusun komposit dengan
kandungan Carbon yang tinggi dapat menyebabkan cuplikan kuat terhadap
deformasi dari luar. Keteraturan suatu bahan dapat dilakukan melalui pendekatan
dengan pengujian struktur kristal (uji XRD). Hasil dari pengujian ini
menunjukkan bahwa keseluruhan cuplikan memiliki derajat kristalinitas yang
sebanding jika dibandingkan dengan komposit fiber glass (Gambar 4.28).
Berdasarkan indexing yang dilakukan dengan menggunakan program
powder-X mendapatkan hasil bahwa bionanokomposit berfiller nanopartikel serat
kulit rotan berstruktur kristal pada 2θ < 40 derajat dengan puncak intensitas
difraksi 600 count, memiliki dua fasa yang tidak saling melarutkan yaitu
monoklinik pada bidang 102, 021, 002, 101, 202 dan ortorombik dengan indek
miller pada bidang 200, 010, 110, 111, 400 (Lampiran 8). Puncak difraksi
tertinggi ini dimiliki oleh unsur C sebagai unsur utama dalam penyusunan
komposit, dimana intensitas difraksi C pada komposit fiber glass menunjukkan
intensitas yang lebih tajam (800 count), sementara unsur-unsur penyusun yang
96
lain memiliki intensitas difraksi yang sebanding (Gambar 4.24 dan 4.28). Jika hal
ini dihubungkan dengan hasil pengujian mekanik (Gambar 4.27 dan 4.28) maka
bionanokomposit memiliki sifat mekanik yang sebanding dengan komposit PP-FG
pada kekuatan tarik mulur, kekerasan, impak, dan modulus elastisitas, namun
intensitas karbon yang lebih rendah membawa dampak pada kekuatan tarik dan
kelenturan yang lebih rendah pula.
Gambar 4.27 Sifat mekanik bionanokomposit terhadap konsentrasi filler.
97
Gambar 4.28 Profil XRD pada bionanokomposit konsentrasi filler 5 %.
Gambar 4.29 menunjukkan sifat mekanik komposit berdasarkan variasi
ukuran penguat serat kulit rotan dan bionanokomposit memiliki sifat mekanik
yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan filler berukuran 1 mm dan 150
μm. Surface area yang lebih besar, densitas yang lebih kecil dan keunikan yang
muncul karena ukuran yang lebih kecil pada nanopartikel membawa dampak
positif dibandingkan ukuran bulk. Penambahan coupling agent PPMA sebesar 3%
pada bionanokomposit konsentrasi filler 5% dan 10% menunjukkan adanya
peningkatan sifat mekanik jika dibandingkan tanpa coupling agent. Dengan
adanya asam maleat pada bionanokomposit dapat meningkatkan tingkat dispersi
pada matrik dan filler yaitu dapat menurunkan tegangan permukaan dan
menaikkan gaya adesi. Gugus anhidra pada asam maleat akan berikatan kimia
pada gugus hidroksil yang terdapat pada lignin dan selulosa sehingga ikatan
antara matrik dan filler semakin kuat.
Penguraian komposisi unsur bionanokomposit dengan EDS menunjukkan
bahwa bionanokomposit memiliki komponen pendukung utama C dan O dengan
unsur pendukung K, Ca, Si (Tabel 4.4). Jika dibandingkan dengan komposit fiber
glass (Tabel 4.2) perbedaan terdapat pada unsur makro dan mikro yaitu adanya K,
Na dan Mg. Komponen mineral makro dan mikro serat alam diperoleh dari unsur
hara tanah yang memiliki unsur-unsur yang sangat beragam dan komplek, namun
mudah terdegradasi oleh adanya proses mekanik dan pemanasan sehingga selama
proses sintesa bionanokomposit mineral makro dan mikro yang masih bertahan
adalah K, Ca dan Si. Sementara itu fiber glass adalah serat sintetis yang ukuran
dan komposisinya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan aplikasi serta memiliki
sifat sintetik atau tidak mudah hancur karena proses panas dan mekanik.
2θ
98
Gambar 4.29 Sifat mekanik bionanokomposit terhadap ukuran filler.
Kelebihan dari bionanokomposit ini adalah terdapatnya unsur K (kalium)
yang merupakan unsur makro dari penyusun serat atau selulosa. Fungsi utama
Kalium (K) pada dinding sel tanaman ialah membantu pembentukan protein dan
karbohidrat. K juga berperan penting dalam fungsi membran dan kekuatan
dinding sel, memperkuat epidermis dan endodermis tanaman agar menghasilkan
95,599,6
93,2
60
70
80
90
100
110
1 mm 20 nm 150 μm
HRR
Ukuran filler
Hardness
5%
10%
15%
20%
2774,2
3100,6
2064,2
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1 mm 20 nm 150 μm
Mpa
Ukuran filler
Modulus elastisitas
5%
10%
15%
20%
46,749,3
29
2025303540455055
1 mm 20 nm 150 μm
Mpa
Ukuran filler
Flexural strength
5%
10%
15%
20%
6,3
20
8,7
0
5
10
15
20
25
1 mm 20 nm 150 μm
%
Ukuran filler
Tensile breaking elongation
5%
10%
15%
20%
23,1 25 23,3
05
1015202530
1 mm 20 nm 150 μm
MPa
Ukuran filler
Tensile yield strength
5%
10%
15%
20%
87,999,6
54,2
20
40
60
80
100
120
1 mm 20 nm 150 μm
J/m
ukuran filler
Izod impact strength
5%
10%
15%
20%
99
selulosa yang kuat dan tidak mudah terdegradasi. Jika keberadaan komposisi
unsur pada pengujian dengan EDS ini dihubungkan dengan sifat mekanik, maka
keberadaan unsur K pada bionanokomposit akan memiliki kekerasan dan
ketangguhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komposit fiber glass
(Gambar 4.27 dan 4.28).
Tabel 4.5 Komposisi unsur bionanokomposit
Unsur Massa % Atom %
C 81.59 85.78
O 17.68 13.96
Si 0.2 0.09
K 0.34 0.11
Ca 0.18 0.06
Total 100.00 100.00
Sementara itu pada analisa hasil foto SEM permukaan cuplikan (Gambar
4.30) menunjukkan adanya penggumpalan (aglomerasi) di beberapa titik atau
bidang permukaan. Penyebaran nanopartikel yang tidak homogen disebabkan oleh
ukuran partikel yang kecil dan adanya pengadukan yang kurang kuat selama
proses injeksi molding. Pengadukan dilakukan secara insitu dengan screw rotation
number 45 rpm ternyata belum cukup. Aglomerasi ini menjadikan nanopartikel
pada bidang tertentu tidak diikat oleh matrik dengan baik. Semakin banyak
konsentrasi filler yang diberikan pada komposit, maka jumlah aglomerasi juga
semakin banyak sehingga mengakibatkan kekuatan tarik dan kelenturan
bionanokomposit menurun dan masih berada di bawah standarisasi.
Gambar 4.30 Citra SEM bionanokomposit konsentrasi 10% (a) dan biokomposit
filler 1 mm konsentrasi 10%.
a b
100
Pengujian kualitas bionanokomposit terhadap penyusutan atau perubahan
dimensi ketika keluar dari cetakan mesin injeksi molding disebut dengan molding
shrinkage (Gambar 4.31). Penyusutan merupakan suatu kondisi penyimpangan
pada pembentukan komposit karena adanya perlakuan panas disertai dengan
penekanan dan proses pendinginan pada mesin injeksi molding, sehingga akan
mengalami perubahan dimensi jika dibandingkan dengan ukuran pada cetakan.
Pada pengujian ini dilakukan pengukuran terhadap dua arah yaitu horisontal yang
disebut dengan molding direction (MD) dan arah vertikal yang disebut dengan
tranverse Direction (TD).
Perubahan yang terjadi pada MD terhadap biokomposit 10% filler 1 mm,
150 μm, dan 20 nm adalah 0.89, 1.95, dan 1.24. Sementara itu perubahan pada TD
adalah 2.79, 3.46, dan 2.63. Moulding shrinkage pada komposit PP-FG 10%
adalah 0.54 (MD) dan 3.02 (TD). Data selengkapnya terhadap Moulding
shrinkage ratio dapat dilihat pada Lampiran 19. Bionanokomposit memiliki TD
yang lebih baik daripada komposit PP-FG. Sementara itu komposit PP-FG
memiliki MD yang lebih baik daripada bionanokomposit.
Penyusutan aksial (MD) terjadi dalam arah aliran
plastik sedangkan penyusutan radial (TD) alirannya tegak lurus menuju aliran,
dapat lihat pada Gambar 4.31. Perbedaan dua arah ini dapat menyebabkan cacat
penyusutan. Faktor yang mempengaruhi adanya penyusutan ini adalah
karakterisasi material dan kondisi parameter mesin injeksi dan mold selama
proses berlangsung.
Gambar 4.31 Penyusutan terhadap cetakan injeksi molding.
Penyusutan dimensi dapat terjadi pada semua jenis material karena proses
pemanasan dan pendinginan selama proses pengerjaan. Proses sintesa
biokomposit dengan pelelehan matrik pada barel dengan suhu mencapai 200 0C
akan menimbulkan meregangnya ikatan antar molekul, pengaturan atom-atom
101
penyusun pada batas butir, terjadinya ikatan antar gugus fungsi matrik dan filler
sehingga sampel mengalami pemuaian volume secara keseluruhan. Besar butir
rata-rata dalam material bertambah besar seiring dengan pemanasan yang
diberikan selama proses injeksi molding. Gaya pendorong pada pertumbuhan
kristal bergerak melintasi batas butir dari arah butir dengan permukaan cembung
ke butir dengan permukaan cekung. Atom rata-rata terkoordinir dengan atom
tetangga pada jarak antar atom kesetimbangan, sehingga batas butir bergerak ke
pusat garis lengkung. Butir yang kecil cenderung untuk mempunyai permukaan
yang lebih cembung dibandingkan dengan butir besar.
Kenaikan suhu berakibat meningkatnya energi termal, mempercepat difusi
atom melalui batas butir. Proses selanjutnya dengan diberikannya pendinginan
cepat hingga 44 0
Pengujian acceleration aging test adalah pengujian kekuatan material
terhadap perubahan cuaca yang dilakukan untuk mengetahui umur atau kualitas
visual cuplikan setelah pemakaian dalam waktu tertentu (Gambar 4.31). Waktu
yang digunakan selama pengujian adalah 300 jam dalam kondisi cuaca hujan dan
panas secara kontinu. Setelah pengujian selesai cuplikan dikeluarkan dari alat dan
diamati secara visual terhadap warna dan perubahan dimensi pada arah horisontal
dan vertikal. Gambar 4.32 memperlihatkan bahwa cuplikan bionanokomposit
mengalami perubahan dimensi sampai 2.7% dari dimensi awal. Pengamatan
visual berdasarkan perubahan warna menunjukkan adanya warna yang pudar pada
bionanokomposit. Polipropillen murni menunjukkan warna yang tetap (tidak
mengalami perubahan) sedangkan komposit PP-FG terlihat pudar dengan ratio
1.8%. Hal ini menunjukkan bahwa bionanokomposit merupakan material ramah
lingkungan yang tersusun dari serat alam yang dapat terdegradasi oleh
mikroorganisme dan karena faktor lingkungan (perubahan cuaca).
C menimbulkan pergerakan batas butir terhambat dan tidak
dapat membalikkan reaksi. Perbedaan temperatur antara bagian dalam dan
permukaan sampel karena adanya rambatan suhu dingin menyebabkan perbedaan
pemuaian volume dan mengakibatkan adanya penyusutan. Oleh karena itu perlu
adanya pengaturan kecepatan selama pemanasan dan pendinginan agar tidak
menimbulkan gradien temperatur yang sangat curam antara bagian dalam dan
permukaan.
102
Gambar 4.32 Pengamatan visual pada pengujian acceleration aging test.
Cuplikan k Cuplikan l Cuplikan m Cuplikan k Cuplikan l Cuplikan m
Cuplikan n Cuplikan o Cuplikan n Cuplikan o
Cuplikan h Cuplikan i Cuplikan j Cuplikan h Cuplikan i Cuplikan j
Cuplikan e Cuplikan f Cuplikan g Cuplikan e Cuplikan f Cuplikan g
Cuplikan b Cuplikan c Cuplikan d Cuplikan b Cuplikan c Cuplikan d
Cuplikan 1 Cuplikan 2 Cuplikan a Cuplikan 1 Cuplikan 2 Cuplikan a
103
Analisa pembanding terhadap bionanokomposit terhadap hasil penelitian
bionanokomposit yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Sisworo
(2009), tentang sintesa biokomposit kulit rotan dengan metoda anyaman pada
aplikasi body kapal laut menggantikan komposit fiber glass. Pada penelitian ini
digunakan acuan standarisasi BKI (Biro Klasifikasi Indonesia) dan Rules And
Regulation For The Classification And Construction Of Ships of fiberglass
reinforced plastics. Hasil yang diperoleh sifat mekanik biokomposit dengan filler
anyaman kulit rotan masih < standar BKI dan regulasi konstruksi komposit kapal
(Gambar 4.33). Bionanokomposit dengan metoda injeksi molding (Gambar 4.27
dan 4.29) memiliki kekuatan tarik dan modulus elatisitas yang lebih baik
dibandingkan dengan biokomposit kulit rotan dengan metoda anyaman, namun
kekuatan bionanokomposit ini juga masih berada dibawah standarisasi BKI.
Pada Gambar 4.34. menunjukkan standarisasi SNI terhadap helm yang
digunakan pengendara sepeda motor. Matrik yang digunakan pada helm ini adalah
berbagai jenis polimer dari polikarbonat, ABS sampai nylon. Ketangguhan
(impact strength) bionanokomposit lebih baik jika dibandingkan dengan standar
SNI untuk polimer ABS, tetapi masih di bawah kualitas dari polikarbonat.
(a) (b)
Gambar 4.33. Kekuatan tarik (a) dan modulus young (b) komposit anyaman kulit rotan dengan komposit FG terhadap standarisasi BKI dan FRP (Sisworo 2009).
104
Gambar 4.34 SNI 19–1811 standar helm pengendara sepeda motor.
Cheng (2010) dengan penelitiannya komposit carbon nanotube dan epoxy
resin dengan metode transfer molding menghasilkan modulus elastisitas maksimal
20 GPa dan kekuatan tarik 230 MPa (Gambar 4.35). Bionanokomposit dengan
metoda injeksi molding memiliki nilai modulus elastisitas dan kekuatan tarik yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan komposit Carbon nanotube.
(a) (b)
Gambar 4.35 Modulus young (a) dan kekuatan tarik (b) komposit Carbon nano tube (Cheng 2010).
Analisa pembanding sifat mekanik dari material tersebut diatas dapat
dihubungkan dengan pengamatan struktur mikro permukaan cuplikan oleh SEM
(Gambar 4.36) dan struktur kristal oleh XRD (Gambar 4.37) yang diambil dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Qian-ming (2004) dan Nogi (2009).
Pada pengamatan struktur kristal nanofiber paper yang telah diteliti oleh Nogi
(2009) (Gambar 4.36) menghasilkan puncak kristal dan intensitas yang sama
dengan bionanokomposit SKR (Gambar 4.29) yaitu puncak difraksi kristal berada
pada kisaran 2θ ≈ 20 derajat, namun bionanokomposit SKR terlihat memiliki
Standar SNI Helm di Indonesia
105
unsur atau senyawa yang lebih komplek dengan munculnya puncak-puncak
difraksi yang lain. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor matrik sebagai
pengikat komposit yang digunakan berbeda.
Gambar 4.36 Citra SEM bionanokomposit nanofiber paper pada ukuran filler
serat panjang (a), ukuran filler nanopartikel (b), dan Profil XRD nanofiber pada aplikasi Optically Transparent (c) (Nogi 2009).
Sementara itu profil XRD dari komposit karbon nanotube memiliki puncak
difraksi yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai 10.000 counts (Gambar 4.37).
Komposit fiber glass yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini memiliki
intensitas difraksi 800 counts (Gambar 4.24) dan bionanokomposit memiliki
intensitas 600 counts (Gambar 4.29). Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh
metoda dalam sintesa bionanokomposit terkait dengan material dasar yang
digunakan sebagai filler. Karbon nanotube diperoleh dari sintesa pemanasan
dengan suhu tinggi (T > 1000 0C) sehingga pengaturan dan pembentukan atom
menuju keteraturan sangatlah optimal, sementara itu filler komposit berbasis
selulosa dilakukan preparasi pada suhu rendah (T < 300 0C). Pemberian suhu
C
106
tinggi pada selulosa akan mengakibatkan kerusakan pada struktur selulosa itu
sendiri, sehingga tidak akan menghasilkan komposit yang diharapkan. Keteraturan
atom atau rantai monomer penyusun komposit juga ditunjukkan dengan
pengamatan struktur mikro permukaan oleh SEM dari bionanokomposit SKR dan
pembandingnya (Gambar 4.36).
Gambar 4.37 Profil XRD komposit Carbon nanotube (Qian-ming 2004).
Berdasarkan spektra FTIR bionanokomposit (Gambar 4.38) dapat
megidentifikasi struktur senyawa dan ikatan interfase antara gugus-gugus fungsi
material penyusunnya berdasarkan kombinasi pita serapan (energi fibrasi), dimana
terlihat terdapat variasi yang besar dalam struktur dan komposisi selulosa dan
polimer. Polipropillen (C3H6) sebagai matrik dan nanopartikel selulosa kulit rotan
(C6H10O5) sebagai filler membentuk ikatan interfase pada gugus fungsi melalui
serapan pada bilangan gelombang 2002 cm-1 (C=C), C–H aromatik pada bilangan
gelombang 2850 cm-1, regangan gugus karbonil (C=O) pada bilangan gelombang
1736 cm-1.
Sementara itu spektra FTIR juga menunjukkan besarnya serapan gugus
fungsi lainnya seperti gugus hidroksil (OH-) pada 632 cm-1, 3572 cm-1 dan 3433
cm-1, gugus C–C aril pada bilangan gelombang 1514 cm-1, vibrasi cincin guaiasil
C–O (1112 cm-1). Munculnya gugus fungsi OH- pada bionanokomposit ini
menunjukkan bahwa di dalam cuplikan masih terkandung H2O. Hal ini sangatlah
wajar karena kadar air pada hasil sintesa nanopartikel berkisar 5 - 10%.
Identifikasi kualitatif ikatan antar gugus fungsi biokomposit ini digunakan
pendekatan spektrum FTIR senyawa pembanding pada literatur peneliti
sebelumnya salah satunya adalah Grande (2009) (Gambar 4.39).
2θ
Carbon fiber - Carbon
CNT - Carbon
CNT
107
Gambar 4.38 FTIR bionanokomposit serat kulit rotan (a), nanopartikel SKR (b),
dan Polipropillen (c).
Gambar 4.39 FTIR komposit BC-CMC (Grande CJ 2009).
3572 (OH-)
2002 (C=C)
1736 (C=O)
500 (C-O)
3500
1500
500
Bionanokomposit serat kulit rotan
Nanopartikel serat kulit rotan (Filler)
c. Polipropillen (Matrik)
2850 (C-H)
1514 (C-C)
a
b
108
Ikatan antar muka pada komposit dapat diakibatkan oleh adanya gaya adhesi
antara matrik dan penguat. Agar adhesi dapat terjadi secara optimum, maka matrik
harus mampu mengalir (flowing) dan perilakunya mendekati sifat cairan sehingga
cairan matrik dapat tersebar merata kepermukaan penguat dan menutupi semua
lubang, kontur serta menghilangkan semua udara pada permukaan penguat. Pada
fenomena Young pada permukaan benda padat, satu tetes cairan jatuh maka akan
terjadi kesetimbangan energi permukaan (γ) pada kontak antara keduannya. Oleh
sebab itu diperlukan pengurangan energi permukaan, dimana jika γ besar maka
cairan membentuk tetesan dengan luas permukaan kecil, sedangkan jika γ besar
maka tetesan akan tersebar merata pada permukaan (Gambar 4.40a). Sudut kontak
(0 – 180 derajat) dijadikan indikator tingkat gaya adhesi. Jika θ = 90 derajat maka
gaya adhesi tidak terjadi sempurna (Gambar 4.40b).
Untuk meningkatkan tingkat dispersi maka peran coupling agent sangatlah
penting yaitu suatu zat yang menghubunghan setiap konstituen agar terbentuk
suatu sistem yang saling terikat dengan kuat. Adhesi interfasial akan semakin
besar dan tegangan interfasial akan semakin menurun dengan penambahan
coupling agent ini. Polipropillen yang digunakan sebagai matrik merupakan
material non polar sedangkan serat kulit rotan merupakan material polar sehingga
gaya adhesi keduanya sangatlah lemah, oleh karena itu PPMA (polipropillen-asam
maleat) sebagai jembatan penyambung perbedaan sifat antara polimer dengan
material alam tersebut yaitu untuk menurunkan tegangan permukaan dan
menaikkan ikatan adhesi (Gambar 4.41).
a b Gambar 4.40 Fenomena tegangan permukaan (a) dan gaya adhesi komposit (b)
(Thostenson 2005).
109
a
b Gambar 4.41 Ikatan antara penguat dengan PPMA (a) dan ikatan antara matrik
dan PPMA (b) (Ray 2001).
Kesimpulan
1. Hasil dari sifat fisis dan mekanis optimum sesuai dengan standar HES
pada bionanokomposit yang disintesa dengan metoda injeksi molding pada
konsentrasi nanopartikel serat kulit rotan 5% terhadap matrik polipropillen
92% dan PPMA 3%.
2. Sifat mekanis standar HES tersebut adalah modulus elastisitas, kekerasan,
ketahanan impak serta perpanjangan sampai patah.
3. Kelenturan dan kekuatan tarik bionanokomposit belum sesuai dengan
standar material komposit PP-FG.
4. Bionanokomposit yang dihasilkan belum bisa digunakan sebagai
komponen sepeda motor, sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut
dengan peningkatan kualitas blending dan menentukan jenis coupling
agent yang tepat.
110
Daftar Pustaka
Astley OM, Chanliaud E, Donald AM. 2001. Structure of Acetobacter cellulose composites in the hydrated state a Polymers and Colloids. J of Biological Macromolecules 29:193-202.
Bahruddin, Sumarno, Wibawa G, Suwarno N. 2007. Morfologi dan properti campuran karet alam/PP yang divulkanisasi dinamik dalam internal mixer. Reaktor 11:71-77.
Basuki Widodo. 2008. Analisa sifat mekanik komposit epoksi dengan penguat serat pohon aren (ijuk) model lamina berorientasi sudut acak. J Teknologi Technoscientia ITN Malang 1:20-25
Cheng QF, Wang JP, Wen JJ. 2010. Carbon nanotube/epoxy composites fabricated by resin transfer molding. Carbon 48:260–266.
Grande CJ, Torres FG, Gomes CM. 2009. Nanocomposites of bacterial cellulose/hydroxyapatite for biomedical applications. Acta Biomaterialia 5:1605–1615.
Hariyanto A. 2007. Peningkatan ketahanan bending komposit hibrid sandwich serat kenaf dan serat gelas bermatrik polyester dengan core kayu sengon laut. Media Mesin UNMUH Surakarta 1:1-9.
Henriette MC, Azeredo, Mattoso LH. 2009. Nanocomposite edible films from mango puree reinforced with cellulose nanofibers. J of Food Sciences 74:31-36.
Kohler R, Nebel K. 2006. Cellulose-nanocomposites: Towards high performance composite materials. Macromol Symp 244:97–106.
Kristanto. 2007. Analisa teknis dan ekonomis penggunaan serat ijuk sebagai alternatif bahan komposit pembuatan kulit kapal ditinjau dari kekuatan tarik [Tesis]. Semarang: Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, UNDIP.
Lin SB, Ping Hsu C. 2009. Adding enzymatically modified gelatin to enhance the rehydration abilities and mechanical properties of bacterial cellulose. Food Hydrocolloids 23:2195–2203.
Liu H, Liu D, Yao F, Qinglin W. 2010. Fabrication and properties of transparent polymethylmethacrylate/cellulose nanocrystals composites. Bioresource Technology 101:5685–5692.
Mubarak A. 2006. Karakterisasi sifat mekanis biokomposit laminae serat heliconia-poliester [Thesis]. Bogor: MIPA Fisika IPB.
111
Mudyantini W. 2008. Pertumbuhan, kandungan selulosa, dan lignin pada rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan pemberian asam giberelat (GA3). Biodiversitas 9: 269-274.
Maulida. 2006. Perbandingan kekuatan tarik komposit PP dengan pengisi serat pandan dan serat batang pisang. J Teknologi Proses Teknik Kimia 5:142-147.
Mathew AP, Dufresne A. 2002. Morphological investigation of nanocomposites from sorbitol plasticized starch and tunicin whiskers. J Biomacromolecules 3:609-617.
Nogi M, Iwamoto S, Nakagaito AN, Yano H. 2009. Optically transparent nanofiber paper. J Adv. Mater. 21:1595–1598.
Okahisa Y, Yoshida A, Miyaguchi S, Yano H. 2009. Optically transparent wood–cellulose nanocomposite as a base substrate for flexible organic light-emitting diode displays. J Composites Science and Technology 69:1958–1961.
Petersson L, Kvien I, Oksman K. 2007. Structure and thermal properties of poly (lactic acid)/cellulose whiskers nanocomposites. J Composite Science and Technology 67:10724-10729.
Qian-ming G, Li Z, Bai ZD. 2004. Thermal properties of aligned carbon nanotube/carbon nanocomposites. J Materials Science and Engineering A 384: 209–214.
Qian Li, Zhou J, Zhang L. 2009. Structure and properties of the nanocomposite films of chitosan reinforced with cellulose whiskers. Published online in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI: 10.1002/polb.21
Ray D, Sarkar BK, Rana AK, Bose NR. 2001. Effect of alkali treated jute fibres on composites properties. Bulletin of Materials Science 24:129-135.
Samir SA, Henricson M. 2005. The potensial for cellulose nano composites-review. J Material Technology 70:10044-10050.
Sisworo SJ. 2005. Pembuatan konstruksi kapal fiberglass. Majalah Kapal:Teknik Perkapalan FT UNDIP.
Sisworo SJ. 2009. Pengaruh penggunaan serat kulit rotan sebagai penguat pada komposit polimer dengan matriks polyester yucalac 157 terhadap kekuatan tarik dan tekuk. J TEKNIK 30: 3-10.
Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. J Polymers 2: 728-765.
112
Stamatin L, Stamatin I. 2006. Bionanocomposites based on nano-Carbon materials for culture cells media. J Materials Science and Engineering A: 215–221.
Thostenson ET, Chunyu L, Chou TW. 2005. Review nanocomposites in context. Composites Science and Technology 65:491–516.
Trovatti E, Oliveira L, Freire CSR, Silvestre AJD, Neto CP. 2010. Novel bacterial cellulose–acrylic resin nanocomposites. J Composites Science and Technology 30:1016-1022.
Vilaseca F, Gonzalez AV, Franco PJH, Pelach MA. 2010. Biocomposites from abaca strands and polypropylene. J Bioresource Technology Spain 101:387–395.
Yuwono AH. 2009. Karakterisasi material I pengujian merusak (destructive testing). Diktat Kuliah Departemen Metalurgi Fakultas Teknik UI.