bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/113551/potongan/s1-2017... · 1 bab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu sindrom kompleks
dengan ciri-ciri terdapat hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang disebabkan karena defek sekresi insulin (Nugroho, 2013).
Berdasarkan data IDF terdapat 382 juta orang dengan diabetes di seluruh dunia pada
tahun 2013 sehingga tren penyakit ini diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2035 jumlah tersebut akan terus bertambah menjadi
sebanyak 592 juta orang (IDF dalam Kemenkes RI, 2014). Sedangkan di Indonesia
sendiri, jumlah pasien DM juga mengalami kenaikan, dari 8,4 juta jiwa pada tahun
2000 akan diperkirakan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2020 (Damayanti,
2013). Dari data di atas menjadi bukti bahwa prevalensi DM akan terus bertambah
seiring waktu.
Sementara itu penyakit DM juga termasuk dalam penyakit kronis yang akan
terus menyertai sepanjang hidup penderita dan juga dapat menimbulkan penyakit
komplikasi lain sehingga harus dilakukan terapi secara terus-menerus sepanjang
hidup penderita (Ningtyas, 2013). Oleh karena DM akan terus menyertai hidup
penderita maka tentunya penyakit ini berdampak pada kualitas hidup para pasien
(Rizkifani, et al., 2014).
Sedangkan kualitas hidup yang secara langsung berkaitan dengan kesehatan
individu disebut dengan Health-related Quality of Life (HRQOL). HRQOL
2
merupakan sebuah luaran menurut penilaian pasien atau luaran dari sudut pandang
pasien yang berkaitan dengan persepsi kesehatan, perasaan nyaman, dan
kemampuan fungsional (Andayani, 2013). HRQOL dapat menganalisa kualitas
hidup pasien dengan cara mengukur berdasarkan laporan pasien dan mencakup
domain yang relevan pada kemampuan fungsional sehari-hari. Pengukuran tersebut
dilakukan dengan dua pendekatan kuesioner, yaitu kuesioner general dan kuesioner
spesifik. Kuesioner general merupakan kuesioner yang dapat digunakan untuk
menilai dan membandingkan status kesehatan pasien pada wilayah yang luas
dengan perbedaan status kesehatan, kondisi, dan penyakit sementara kuesioner
spesifik merupakan kuesioner yang di dalamnya terdapat beberapa hal yang
langsung terkait dengan penyakit yang bersangkutan (Cramer, 2002).
Salah satu instrumen generik yang baku dan sudah luas dipakai dalam berbagai
penelitian kualitas hidup adalah Euro Quality of Life 5 Dimension (EQ-5D).
Kuesioner EQ-5D sendiri memiliki dua macam bentuk yang didasarkan pada
tingkat respons pasien, yaitu EQ-5D dengan 3 tingkat level respons dan EQ-5D
dengan 5 level respons. Bentuk terbaru kuesioner EQ-5D adalah 5 level respons
yang dibuat untuk untuk meningkatkan sensitivitas instrumen (Reenen dan Oppe,
2015; Reenen dan Janssen, 2013). Kuesioner EQ-5D merupakan kuesioner yang
dikembangkan untuk mengukur kualitas hidup secara multidimensional oleh
kelompok peneliti multidisiplin yang fokus terhadap pengukuran profil kesehatan.
Di Indonesia, kuesioner EQ-5D telah diterjemahkan secara baku ke dalam bahasa
Indonesia sehingga tidak diperlukan uji pendahuluan.
3
Pada penelitian ini akan dibandingkan mengenai kuesioner EQ-5D 3L dan 5L
pada populasi pasien dengan diabetes mellitus di Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman. Pada penelitian yang dilakukan pada pasien dengan DM di Thailand
menunjukan bahwa 5L memiliki kesesuaian dibandingkan dengan 3L untuk
mengukur status kesehatan pasien (Pattanaphesaj, et al., 2015). Penelitian ini
diperlukan untuk mengetahui kesesuaian kedua bentuk kuesioner. Dengan
mengetahui kesesuaian kuesioner diharapkan akan dapat memberikan saran
mengenai versi kuesioner EQ-5D untuk pengukuran kualitas hidup yang sesuai
untuk populasi pasien dengan DM di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah nilai psychometric properties kuesioner EQ-5D-3L dan EQ-
5D-5L pada populasi diabetes mellitus di Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman?
2. Kuesioner versi manakah di antara EQ-5D-3L dan EQ-5D-5L yang lebih
sesuai untuk digunakan pada populasi diabetes di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Sleman?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian untuk menganalisis validitas dan reliabilitas kuesioner EQ-5D-
3L dan EQ-5D-5L telah banyak dilakukan di berbagai negara pada kelompok pasien
diabetes mellitus dan juga pada berbagai kelompok populasi dengan penyakit
tertentu. Beberapa penelitian tersebut antara lain:
1. Penelitian oleh Phattanaphesaj (2015) membandingkan kuesioner EQ-5D-
3L dan 5L untuk mengukur psychometric properties pada pasien diabetes
4
mellitus tipe 2 di Thailand. Hasil dari penelitian tersebut adalah kuesioner
EQ-5D-5L lebih direkomendasikan untuk mengukur kualitas hidup pasien
diabetes di Thailand karena menunjukan ceiling effect yang lebih rendah,
discriminatory Power yang lebih besar, dan merupakan preferensi dari
responden yang terlibat.
2. Penelitian oleh Koh (2016) mengembangkan kuesioner EQ-5D-5L versi
Brunei Darussalam dan menganlisis psychometric properties dari kuesioner
EQ-5D-5L pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Hasil dari penelitian
tersebut adalah index dari kuesioner EQ-5D-5L menunjukan pengukuran
yang valid dan reliabel pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Brunei.
3. Penelitian oleh Wang (2016) membandingkan kuesioner EQ-5D-3L dan 5L
untuk mengukur discriminative power pada pasien diabetes mellitus di
Singapura . Hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa kuesioner
EQ-5D-5L mempunyai discriminative power yang lebih tinggi dibanding
dengan versi 3L. Hal tersebut menunjukan bahwa kuesioner EQ-5D-5L
lebih tepat dipakai pada pasien diabetes mellitus di Singapura.
4. Penelitian oleh Yfantopoulos dan Chantzaras (2016) memvalidasi dan
membandingkan psychometric properties dari instrumen EQ-5D-3L dan 5L
pada populasi di Yunani. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa
kedua instrumen EQ-5D mempunyai validitas konstruk yang baik dan
mempunyai redistribusi yang konsisten. Akan tetapi EQ-5D-5L lebih
menjadi preferensi karena mempunyai ceiling effect yang lebih kecil,
5
validitas konvergen yang lebih baik, validitas known-group yang lebih
efisien dan pemahaman relatif dan absolut yang lebih tinggi.
5. Penelitian oleh Ferreira (2016) membandingkan performa dari kuesioner
EQ-5D-3L dan 5L pada populasi dewasa awal di Portugal. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa EQ-5D-5L mempunyai performa yang
lebih baik dari 3L.
Penelitian mengenai perbandingan psychometric properties dari kuesioner
EQ-5D-3L dan 5L, sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan di
Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini akan diadakan untuk mengetahui
validitas dan reliabilitas dari kedua versi kuesioner EQ-5D berdasarkan nilai
psychometric properties kuesioner tersebut yang digunakan untuk mengukur
status kesehatan dari pasien dengan diabetes mellitus.
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui nilai psychometric properties kuesioner EQ-5D-3L dan EQ-
5D-5L pada pasien dengan diabetes mellitus di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Sleman.
2. Menganalisis kuesioner yang lebih sesuai pada populasi diabetes Mellitus
di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman antara kuesioner EQ-5D 3L dan
5L.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
6
1. Bagi Institusi dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian lanjutan
di bidang farmakoekonomi.
2. Bagi negara dapat digunakan untuk memberi masukan mengenai
pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner EQ-5D untuk
membuat kebijakan terkait.
3. Bagi klinisi dapat mengetahui kualitas hidup pasien dengan diabetes
mellitus dan mengetahui nilai utilitas dari responden.
4. Bagi pasien dan masyarakat dapat mengetahui tingkat status kesehatan dan
kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang sesuai.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Penyakit Diabetes Mellitus
a. Definisi
1) Diabetes Mellitus
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronik dan
progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hal ini mengakibatkan awal
terjadinya hiperglikemik (Black & Hawk dalam Damayanti, 2015). Kondisi
hiperglikemik terjadi pada saat glukosa tidak dapat dikelola atau masuk ke
dalam sel untuk dimanfaatkan sehingga membuat kadar glukosa dalam
darah meningkat (Nugroho, 2013). Ketidakmampuan tubuh untuk
mengelola dan memanfaatkan glukosa terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kelainan kerja insulin, atau kombinasi keduanya (ADA, 2010).
7
Kelainan Insulin tersebut dapat berupa defisiensi insulin absolut, gangguan
pengeluaran insulin oleh sel beta pankreas, kerusakan pada reseptor insulin,
produksi insulin yang tidak aktif, dan juga kerusakan insulin sebelum
bekerja (Sudoyo et al dalam Damayanti, 2015).
2) Hormon Insulin
Insulin merupakan hormon utama yang berperan dalam metabolisme
energi dan memiliki efek untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah.
Hormon ini diproduksi oleh sel β Langerhans pankreas dan akan dilepaskan
oleh pankreas ketika terdapat glukosa yang masuk ke dalam sel β pankreas
tersebut (Nugroho, 2013). Insulin dapat menurunkan konsentrasi glukosa
darah karena memiliki mekanisme mengubah glukosa menjadi bentuk
cadangan, yang disebut glikogen, pada organ hati dan otot.
b. Epidemiologi diabetes
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 memperlihatkan bahwa
terjadi kenaikan hampir dua kali lipat proporsi penderita diabetes mellitus pada usia
15 tahun ke atas dibandingkan pada tahun 2007. Penderita diabetes mellitus pada
usia 15 tahun ke atas pada tahun 2013 di Indonesia mencapai 12.191.564 orang.
Dari jumlah penderita tersebut dapat digolongkan menjadi penderita yang telah
terdiagnosis sebanyak 3.706.236 orang sementara penderita yang belum
terdiagnosis berjumlah 8.485.329 orang. Persentase jumlah penderita yang belum
terdiagnosis mencapai 69,6% yang menunjukan bahwa angka penderita belum
terdiagnosis masih tinggi. Pada penderita toleransi gula terganggu (TGT) di
Indonesia sendiri pada tahun 2013 mencapai 52.830.111 orang dan juga pada
8
penderita gula darah puasa terganggu mencapai 64.668.297 di mana kedua kondisi
ini memiliki resiko untuk berkembang menjadi diabetes tipe II.
Sedangkan pada Provinsi D.I. Yogyakarta, jumlah penderita diabetes yang
sudah pernah terdiagnosis sebesar 72.207 orang. Selain itu terdapat 11.109 orang
yang belum terdiagnosis diabetes akan tetapi mengalami gejala klinis diabetes yaitu
sering haus, lapar buang air kecil dan penurunan berat badan. Jumlah total tersebut
memiliki prosentase sebesar 2,9% dari total penduduk Yogyakarta yang berumur
lebih dari 15 tahun.
c. Klasifikasi dan etiologi diabetes
Berdasarkan American Diabetes Association pada tahun 2010
mengklasifikasikan diabetes menjadi empat jenis, yaitu: DM tipe I, DM tipe II, DM
tipe spesifik lain, dan DM gestational.
1) DM tipe I
Diabetes tipe I ini terbagi lagi menjadi dua sup tipe yaitu tipe diabetes
yang diakibatkan proses imunologi (immune-mediated diabetes) dan
diabetes idiopatik. Immune-mediated diabetes ini disebabkan karena terjadi
destruksi sel β pankreas akibat proses autoimun. Pasien dengan diabetes tipe
ini juga mengalami kecenderungan untuk mengalami penyakit autoimun
lain, seperti sindrom graves, sindrom addison dan juga myasthenia grafis.
Pasien pada diabetes tipe ini jarang yang menderita obesitas sehingga
obesitas tidak dapat digunakan untuk diagnosis diabetes tipe ini. Sedangkan
etiologi pada diabetes idiopatik tidak dapat diketahui secara pasti. Dari
beberapa pasien menunjukan mengalami kekurangan insulin secara
9
permanen dan cenderung mengalami ketoasidosis. Diabetes idiopatik juga
cenderung untuk diwariskan kepada keturunan dari penderita.
2) DM tipe II
Diabetes Mellitus tipe II ini dikenal sebagai diabetes Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes tipe II ini adalah diabetes
dengan jumlah pasien terbanyak sekitar 90-95% dari total penderita
diabetes. Penyebab dari NIDDM ini dapat terjadi karena berbagai alasan.
Sementara faktor yang membuat diabetes tipe II ini terjadi adalah penurunan
respons jaringan terhadap insulin dan juga penurunan produksi insulin
akibat regulasi sekresi terganggu atau terjadi kerusakan fungsional pada sel
β Langerhans. Pasien dengan NIDDM ini memiliki resistensi insulin karena
efek insulin berkurang walaupun kadarnya tetap sebagai akibat dari faktor
pertama. Sebagai akibat dari faktor kedua pasien akan mengalami defisiensi
terhadap insulin karena terjadi penurunan sekresi insulin. Kedua faktor
tersebut membuat kadar glukosa dalam darah meningkat (Nugroho, 2013).
Individu yang berisiko terkena diabetes tipe 2 ini adalah
a) Individu yang mempunyai sindroma resisten insulin
b) Individu yang memiliki kelebihan berat badan
c) Individu yang memiliki umur lebih dari 40 tahun
d) Faktor keturunan
e) Wanita dengan diabetes gestasional atau memiliki bayi berukuran
besar
(Dunning dalam Damayanti, 2015)
10
3) DM tipe spesifik lain
Diabetes tipe ini disebabkan oleh kondisi atau sindrom yang spesifik
pada suatu individu. Oleh karena adanya kondisi spesifik tersebut maka
diabetes tipe ini dapat digolongkan lagi menjadi:
a) Gangguan genetik dari sel β
Tipe diabetes ini dapat disebabkan karena terjadinya kesalahan
fungsi daripada sel β pankreas. Kesalahan fungsi sel β tersebut
disebabkan adanya mutasi pada kromosom 12 di dalam faktor
transkripsi hepar yang dikenal dengan HNF-1α (hepatocyte Nuclear
factor-1α).
b) Gangguan genetik pada fungsi insulin
Fungsi insulin dapat terganggu disebabkan oleh faktor-faktor yang
belum dapat dijelaskan. Ketidaknormalan dari metabolisme insulin
dapat dihubungkan dengan adanya mutasi dari reseptor insulin. Faktor
mutasi reseptor insulin adalah pemicu diabetes tipe ini
c) Penyakit eksokrin pankreas
Berbagai faktor atau proses yang dapat membuat terjadinya
kerusakan pada pankreas dapat menginisiasi terjadinya diabetes.
Kerusakan tersebut membuat massa sel β akan berkurang.
Berkurangnya massa sel β ini membuat produksi insulin berkurang juga
sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan insulin sehingga kadar
glukosa dalam darah akan naik.
d) Endocrinopathy
11
Beberapa hormon, seperti Growth hormone, cortisol, ephinefrin, dan
glukagon, memiliki sifat antagonis terhadap aksi insulin. Diabetes dapat
muncul apabila terjadi kondisi sekresi hormon berlebih tersebut.
Kebanyakan pasien yang mengalami diabetes ini sudah terlebih dahulu
mengalami kerusakan sekresi insulin.
e) Diabetes yang diinduksi oleh obat atau senyawa kimia
Senyawa kimia yang masuk ke di dalam tubuh seorang individu
dapat memiliki efek merusak sekresi insulin. Senyawa kimia tersebut
sebenarnya tidak merangsang terjadinya diabetes akan tetapi senyawa
tersebut mempercepat terjadinya diabetes pada individu dengan
resistensi insulin.
f) Infeksi
Beberapa virus yang masuk ke dalam tubuh individu diduga dapat
merusak sel β Langerhans. Diabetes dapat terjadi pada individu dengan
congenital rubella. Sedangkan adenovirus dan cytomegalovirus
memiliki implikasi dalam menginduksi terjadinya diabetes.
g) Diabetes yang diperantarai imun
Diabetes tipe ini memiliki dua kondisi yang menjadi penyebab
terjadinya penyakit di tubuh individu. Kondisi pertama adalah
terjadinya sindrom stiff-man yang merupakan penyakit autoimmun yang
terjadi pada bagian saraf pusat. Sementara kondisi kedua terjadi karena
adanya antibodi anti-insulin reseptor. Antibodi ini mengikat reseptor
12
insulin sehingga mengeblok ikatan antara insulin dengan reseptor di
target jaringannya. Diabetes karena sindrom genetik
4) Diabetes Gestational
Diabetes gestational dapat didefinisikan dengan adanya kondisi
intoleran terhadap glukosa yang terjadi pada selama masa kehamilan.
Wanita dengan obesitas dan pada keluarganya memiliki riwayat diabetes
akan memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita diabetes gestational.
Diabetes gestational membutuhkan terapi yang tepat untuk mengendalikan
secara optimal kadar glukosa darah dari wanita yang mengandung untuk
mengurangi resiko terjadinya diabetes pada bayi yang sedang dikandung
(CDC, 2011). Keadaan mengandung mempunyai efek besar terhadap
diabetes dan juga sebaliknya, kondisi diabetes mempunyai pengaruh
terhadap keadaan wanita yang sedang hamil.
d. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis utama terhadap diabetes mellitus dilakukan dengan mengukur tingkat
kadar glukosa darah dan juga dibantu dengan tes lain yang dapat mendukung
penegakan diagnosis diabetes, misalnya tes urin, uji kadar glukosa puasa, uji
glukosa secara acak, uji toleransi glukosa per oral, dan uji kadar HbA1C. Kriteria
diagnosis diabetes berdasarkan WHO (2006):
13
Tabel I. Kriteria diagnostik diabetes berdasarkan WHO
Tahap Gula Plasma Darah Puasa
Gula Plasma Darah 2 Jam Post-
Prandial
Normal < 6,1 mmol/L (110 mg/dL) < 7,8 mmol/L (140 mg/dL)
Toleransi Gula Terganggu < 7 mmol/L (126 mg/dL) ≥ 7,8 mmol/L dan < 11,1 mmol/L
Glukosa Darah Puasa
Terganggu
6,1 mmol/L sampai 6,9 mmol/L
(110 mg/dL sampai 125 mg/dL)
Jika terukur pada level < 7,8 mmol/L
(140 mg/dL)
Diabetes ≥ 7 mmol/L (126 mg/dL) ≥11,1 mmol/L (200 mg/dL
Keterangan:
a) Gula darah puasa diukur setelah pasien berpuasa selama 8 jam
b) Gula darah 2 jam Post-prandial adalah gula darah yang diambil setelah
2 jam pasien diberikan diberikan cairan 75 gr glukosa untuk diminum di
mana pasien telah berpuasa selama semalam.
c) Toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu adalah
kondisi transisi antara normal dan diabetes
d) Diagnosis diabetes juga dapat dilihat dari adanya 4 gejala khusus
diabetes berupa poliuria, poliphagi, polidipsi, dan berat badan turun.
Menurut Bilous dan Donelly (2010) selain dapat didiagnosa dengan kadar
glukosa darah, diabetes mellitus juga dapat dideteksi dengan beberapa metode lain,
yaitu:
1) Kadar HbA1C yang merupakan persentase hemoglobin yang
mengandung glukosa di mana menjadi ukuran kontrol glukosa darah
terpadu selama beberapa minggu sebelumnya. Pada penderita
diabetes kadar HbA1C ≥ 6,5% (48 mmol/mol)
14
2) Kadar glukosa plasma acak (sewaktu-waktu) ≥ 11,1 mmol/L (200
mg/dL) pada individu yang memiliki gejala khas diabetes
e. Manifestasi klinis
Penyakit diabetes ini tentunya memiliki manifestasi yang akan terjadi pada
penderita. Manifestasi klinis yang terjadi juga ditentukan berdasarkan kondisi
hiperglikemia pada pasien. Akan tetapi penyakit diabetes ini memiliki tiga
manifestasi khusus yaitu poliuria, polidipsi, dan poliphagi (Smeltzer et al, 2010).
Poliuria adalah peningkatan urin yang terjadi karena kadar glukosa dalam
nefron meningkat sehingga menurunkan reabsorbsi air dan elektrolit. Kondisi
peningkatan urin pada penderita ini mengakibatkan tubuh kehilangan banyak cairan
di mana akan terjadi dehidrasi. Dehidrasi tersebut membuat penderita akan merasa
haus akibatnya penderita akan banyak minum (polidipsia) sebagai bentuk
penyesuaian. Penderita diabetes juga akan mengalami stimulasi nafsu makan yang
mengakibatkan akan sering makan (polifagia). Hal ini terjadi karena kadar glukosa
yang tinggi dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk mencukupi
kebutuhan energi. Dikarenakan tidak tercukupinya energi yang dibentuk maka
tubuh akan merespon untuk mencukupi energi dengan meningkatkan nafsu makan
(Nugroho, 2013)
f. Komplikasi yang diakibatkan DM
Pada jangka waktu yang relatif pendek, kondisi diabetes dapat menyebabkan
komplikasi metabolik akut berupa hipoglikemia, diabetes ketoasidosis, dan
hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS). Sedangkan pada
15
jangka panjang, diabetes akan menyebabkan komplikasi mikrovaskular kronis pada
organ mata dan ginjal, dan neuropatik.
Diabetes juga memiliki kaitan dengan meningkatnya kejadian komplikasi
makrovaskular yang meliputi infark myocard, stroke, dan pembuluh perifer
(Smeltzer, et al., 2010). Adanya berbagai kondisi komplikasi yang disebabkan
diabetes, baik dalam jangka pendek dan panjang, menunjukan bahwa penyakit ini
akan menimbulkan berbagai penyakit baru jika tidak ditangani dengan baik dan
memiliki resiko mengancam jiwa penderita.
g. Terapi pada diabetes mellitus
Penderita diabetes mellitus memerlukan terapi yang bertujuan untuk
memperbaiki gejala dari hiperglikemia, mengurangi onset dan perkembangan dari
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengurangi angka kematian, dan
juga meningkatkan kualitas hidup daripada pasien. Menurut Dipiro (2008) terapi
pada penderita diabetes mellitus dapat dibagi menjadi terapi non farmakologi dan
terapi farmakologi.
1. Terapi non farmakologi
Pengaturan nutrisi adalah terapi yang diperlukan oleh semua penderita
diabetes. Pada penderita diabetes tipe I, berat badan yang seimbang dapat
dicapai dengan cara diet seimbang sehingga kadar insulin dapat diatur
dengan baik. Pola makan dengan kadar karbohidrat yang sedang dan kadar
lemak yang rendah diperlukan pada penderita diabetes tipe I. Sedangkan
pada diabetes tipe II diperlukan pencegahan terhadap kebutuhan kalori yang
bertujuan untuk mengurangi berat badan. Latihan olahraga dapat
16
meningkatkan kontrol terhadap kadar glukosa dan resistensi insulin. latihan
ini juga dapat mengurangi berat badan dan juga meningkatkan kondisi
kesehatan.
2. Terapi farmakologi
Intervensi obat diberikan kepada pasien yang merasa kesulitan untuk
melakukan terapi non farmakologi, misalnya menurunkan berat badan dan
olahraga teratur. Beberapa obat yang menjadi pilihan dalam terapi
farmakologi diabetes adalah insulin dan anti diabetik oral. Penggunaan
hormon insulin pada penderita diabetes digunakan untuk memenuhi
kebutuhan insulin individu tersebut. Insulin biasanya digunakan secara sub
cutan pada jaringan adiposa. Obat insulin ini sendiri terbagi menjadi empat
golongan yaitu: rapid acting, short acting, intermediate acting, dan long
acting.
Sementara obat golongan anti diabetes per oral terbagi menjadi 4
golongan. Golongan pertama adalah pemicu sekresi insulin, misalnya
golongan sulfonilurea. Biguanid adalah golongan kedua dari obat anti
diabetik. Golongan ketiga, yang mempunyai aksi untuk meningkatkan
sensitivitas reseptor insulin, adalah thiazolidinedione. Golongan terakhir
adalah golongan inhibitor glukosidase yang dapat menghambat pemecahan
polisakarida sedangkan obat yang masuk ke dalam golongan ini adalah
acarbose.
17
2. Pengukuran kualitas hidup pada pasien diabetes mellitus
a. Health Related Quality of Life (HRQoL)
Kualitas hidup dewasa ini menjadi aspek pengukuran yang paling relevan
dalam pemeriksaan klinik. Kualitas hidup menjadi indikator yang tepat untuk
melihat kebermanfaatan suatu terapi medis. Pada konsepnya, kualitas hidup
disusun oleh kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan (HRQoL) dan
juga kualitas hidup yang tidak berkaitan dengan kesehatan (Non-HRQoL). Di
dalam studi farmakoekonomi, kualitas hidup merupakan salah satu konsekuensi
humanistis di mana konsekuensi humanistis ini membutuhkan penilaian data
utility pasien.
Kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan adalah bagian dari kualitas
hidup yang langsung berkaitan langsung dengan kesehatan individu (Cramer,
1998). Aspek kesehatan memiliki dimensi yang mendasari kondisi tersebut.
Dimensi dalam kesehatan mencakup persepsi kesehatan secara umum,
ketidakmampuan dan kekurangan, keadaan psikologis, kesehatan sosial,
kenyamanan hidup, dan pengukuran rasa sakit.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, HRQoL yang merupakan komponen
dari kualitas hidup adalah salah satu konsekuensi yang dilihat dari sudut
pandang pasien yang berkaitan dengan persepsi kesehatan, perasaan nyaman,
dan kemampuan fungsional (Andayani, 2013). Pengukuran HRQoL sebagai
sebuah konsekuensi didasarkan pada penghitungan Quality Adjusted Life Years
(QALY). Pengukuran konsekuensi yang menggunakan unit QALY sebagai unit
18
pengukurannya memiliki kelebihan. QALY secara bersamaan dapat
memperlihatkan keuntungan dari berkurangnya morbiditas dan mortalitas serta
mengkombinasi dua hal tersebut ke dalam satu unit pengukuran dari berbagai
macam terapi yang berbeda. Di dalam HRQoL, QALY digunakan untuk
menyesuaikan tahun kehidupan yang berdampak pada pasien akan tetapi QALY
dapat berbeda tergantung dengan metode yang dipakai untuk menganalisis
utilitas atau preferensi (Cramer & Spilker, 1998).
b. Pendekatan pengukuran HRQOL dengan instrumen generik
Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan menggunakan
instrumen generik. Instrumen generik dirancang untuk mampu mencakup
secara luas aspek-aspek dari status kesehatan, konsekuensi dari adanya penyakit
dan perbandingan antar intervensi yang diberikan kepada pasien serta efek yang
tidak diharapkan sehingga mempunyai relevansi terhadap berbagai grup pasien.
Dengan cakupan aspek yang luas maka instrumen generik dapat digunakan juga
untuk mengetahui profil kesehatan dan pengukuran utilitas (Andayani, 2013).
Akan tetapi kelemahan daripada instrumen generik adalah pengukuran yang
tidak sensitif dan responsif terhadap perbedaan klinik yang terkait untuk setiap
penyakit dan juga setiap kondisi kesehatan (Spilker, 1996).
Berbagai kuesioner generik yang telah dikembangkan dan digunakan
secara luas diantaranya adalah kuesioner Sickness Impact Profile (SIP) dan The
Nottingham Health Profile (NHP) merupakan kuesioner yang dapat mengukur
profil kesehatan. Secara lebih khusus, SIP dapat mengukur status kesehatan
berdasarkan perilaku yang berhubungan dengan penyakit penderita dan
19
dampaknya sedangkan kuesioner NHP lebih menekankan pada pengukuran
terhadap perasaan, emosi, hambatan fisik dan sosial (Cramer & Spilker, 1998).
Sementara kuesioner The Medical Outcome Study Short Form (SF-36)
merupakan kuesioner yang tidak hanya mengukur profil kesehatan secara detail
akan tetapi juga melingkupi secara menyeluruh aspek-aspek dari kualitas hidup.
Hal ini karena kuesioner SF-36 didesain agar dapat menyediakan pengukuran
terhadap konsep kesehatan termasuk yang tidak spesifik pada berbagai umur
dan kelompok penyakit atau perawatan. Kuesioner SEIQoL juga dikembangkan
agar pasien bebas memilih dari aspek kualitas hidup yang dianggap terpenting
untuk mereka. Kuesioner EQ-5D merupakan kuesioner yang dapat digunakan
untuk Cost utility analysis (Fayers & Machin, 2000)
c. Pendekatan pengukuran dengan instrumen spesifik
Pendekatan kedua pada pengukuran kualitas hidup memiliki fokus pada
aspek dari profil kesehatan yang spesifik. Penggunaan pendekatan ini terletak
pada peningkatan respons yang mungkin timbul dari memasukan aspek penting
kualitas hidup yang relevan dengan pasien dan hasil pengukuran yang lebih
terperinci. Instrumen yang dipakai memiliki tingkat spesifik yang tinggi
terhadap penyakit, populasi pasien, fungsi tertentu, atau masalah yang dirasakan
pasien. Selain respons yang diharapkan meningkat, penggunaan instrumen
spesifik juga dilakukan agar aspek-aspek klinis dapat secara rutin dieksplorasi
oleh klinisi (Spilker, 1996).
Berbagai instrumen spesifik telah banyak dikembangkan pada beberapa
penyakit di antaranya adalah instrumen spesifik pada penyakit kanker yaitu The
20
Functional Living Index – Cancer adalah kuesioner yang dikembangkan untuk
menjangkau seluruh aspek yang terpengaruh oleh gejala atau terapi dari kanker.
Selain itu kuesioner ini memiliki definisi yang baik pada pengukuran kualitas
hidup sehingga dapat meminimalkan perbedaan efek yang timbul akibat waktu
dan jenis terapi. Functional Assesment of Cancer Therapy – General (FACT-
G) adalah kuesioner yang mempunyai lima domain pengukuran dan juga
didesain untuk dapat diisi secara mandiri pada pasien dengan penyakit kronik
yang salah satunya sudah banyak digunakan pada pasien kanker (Cramer &
Spilker, 1998).
Di sisi lain, instrumen spesifik pada penyakit asma yaitu Asthma Quality of
Life Questionnaire yang mempunyai tiga puluh dua item pertanyaan untuk
pasien dewasa dengan asma. Living with Asthma Questionnaire yang
mempunyai 68 item pertanyaan dengan sebelas domain yang menyusun
kuesioner tersebut. Respiratory Illness Quality of Life Questionnaire adalah
kuesioner yang mempunyai 55 item pada 7 domain yang dapat digunakan pada
pasien asma atau penyakit bronkus kronis Dari berbagai instrumen tersebut
dikembangkan untuk mengetahui dampak penyakit pada kehidupan sehari-hari
dan kondisi kesehatan responden (Fayers & Machin, 2000).
d. Pengukuran nilai utilitas
Pengertian utilitas memiliki kedekatan arti dengan preferensi yang mana
diartikan sebagai pilihan yang lebih disukai. Pengertian antara utilitas dan
preferensi memiliki hubungan di mana preferensi merupakan konsep besar
sedangkan utilitas adalah bagian dari konsep preferensi. Di dalam hal ini pilihan
21
yang lebih disukai merujuk kepada pilihan konsekuensi dalam terapi
(Drummond, Schulper, Torrance, O'Brien, & Stoddart, 2005). Oleh karena
merupakan bagian dari preferensi dalam konsekuen terapi maka utilitas dapat
diartikan sebagai nilai pada tingkat kesehatan atau perbaikan status kesehatan
yang diukur dengan apa yang lebih disukai individu atau masyarakat (Andayani,
2013).
Utilitas dalam farmakoekonomi merupakan sebuah unit pengukuran yang
digunakan dalam metode Cost utility analisis (CUA). CUA merupakan sebuah
evaluasi ekonomi yang memiliki fokus pada kualitas dari konsekuensi
kesehatan yang dihasilkan oleh terapi. Di dalam CUA penambahan biaya dari
program terapi dibandingkan dengan penambahan tingkat kesehatan yang
diukur dalam QALY. analisis utilitas dipandang sebagai teknik yang berguna
khususnya karena memungkinkan untuk penyesuaian HRQoL pada serangkaian
konsekuensi terapi. Sementara secara bersamaan menyediakan pengukuran
konsekuensi generik untuk perbandingan biaya dan hasil di intervensi yang
berbeda (Drummond, Schulper, Torrance, O'Brien, & Stoddart, 2005).
Elemen kunci dari pengukuran utilitas adalah penggabungan antara
pengukuran preferensi dan hubungan status kesehatan dengan kematian
sehingga dapat digunakan pada analisis biaya dengan mengalikan lama waktu
untuk masing-masing keadaan kesehatan. Di dalam pengukuran utilitas,
HRQoL diubah menjadi serangkaian angka yang digambarkan dari tingkatan
mati (0,0) sampai tingkatan sehat (1,0) (Cramer & Spilker, 1998). Responden
diminta untuk memperkirakan keadaan kesehatan yang dirasakan dan mencatat
22
skor untuk menggambarkan preferensi pada beberapa skenario yang tercantum
di kuesioner terkait. Estimasi ini kemudian digunakan sebagai ukuran
efektivitas dalam denominator jika akan menghitung rasio Coast utility dan
marginal Coast utility (Andayani, 2013). Pengukuran nilai utilitas berguna
untuk menentukan pasien yang mengalami perbaikan keadaan sebagai hasil dari
terapi tetapi tidak dapat mengungkapkan dimensi dari HRQoL pasien yang
mengalami peningkatan dengan dimensi yang mengalami penurun. Pengukuran
profil kesehatan atau dengan instrumen spesifik dapat membantu melengkapi
pengukuran utilitas dengan menyediakan informasi berharga yang lain (Cramer
& Spilker, 1998).
Metode pengukuran utilitas pada dasarnya menggunakan instrumen
berbentuk kuesioner yang dapat diisi oleh responden. Kuesioner yang dapat
mengukur nilai utilitas dapat dikelompokan menjadi dua. Kelompok pertama
merupakan kuesioner pengukur nilai utilitas secara tidak langsung karena
responden hanya akan mengisi tingkat kesehatan (skenario) yang tercantum
dalam kuesioner kemudian respons tersebut akan dikonversi ke dalam satu skor,
contohnya adalah kuesioner EQ-5D yang saat ini memiliki dua versi dengan
tiga tingkatan level respons dan lima tingkatan level respons. Tingkatan tersebut
akan dikonversikan ke dalam skor tunggal untuk mencari nilai utilitas.
Kelompok kuesioner kedua dapat menghitung nilai utilitas secara langsung
karena responden dapat langsung mencantumkan nilai keadaan kesehatan saat
itu, contohnya adalah bagian visual analog scale yang dapat menggambarkan
secara langsung keadaan kesehatan dari responden dengan memberikan
23
penilaian skor tunggal pada kuesioner tersebut. Instrumen yang digunakan
untuk mengukur nilai utilitas berupa instrumen generik yang memiliki kekuatan
dalam nilai tunggal pada kuantitas dan kualitas hidup serta memungkinkan
adanya pengukuran Cost Utility Analysis.
Selain itu, metode pengukuran nilai utilitas secara langsung dapat
dilakukan dengan standard Gamble dan Time Trade off. Pada bagian standard
gamble menawarkan dua alternatif. Pada alternatif pertama berisi mengenai
terapi dengan keluaran kembali ke kondisi kesehatan yang normal atau
kematian segera. Alternatif kedua berisi tentang keluaran yang pasti dari kondisi
kesehatan pasien berdasarkan harapan hidup. Sementara pada pengukuran
dengan teknik Time Trade off, pasien ditawarkan pilihan hidup dengan kondisi
kesehatan yang sempurna, pada variabel waktu x, atau pada waktu t dengan
kondisi kesehatan yang kurang diinginkan. Nilai utilitas untuk kondisi
kesehatan dapat diketahui dengan membagi nilai pada titik x dengan nilai pada
titik t (Coons, 2008). Dengan begitu kurva Time Trade for berbentuk seperti
berikut:
x t
Sehat 1,0
Mati 0
Kondisi
kesehatan i
waktu
24
e. Pengukuran profil kesehatan
Pengukuran profil kesehatan digunakan untuk menggambarkan penilaian
pasien terhadap kondisi kesehatannya saat itu. Kelebihan dari pengukuran profil
kesehatan ini adalah keleluasaan pengukuran pada domain kesehatan pasien dan
juga dapat digunakan pada berbagai macam populasi terlepas dari berbagai
kondisi yang terdapat pada populasi tersebut (Cramer & Spilker, 1998).
Pengukuran profil kesehatan tidak memberikan hasil berupa satu nilai seperti
pada pengukuran utilitas tetapi menghasilkan beberapa skor untuk masing-
masing pasien berdasarkan domain kesehatan responden yang berbeda.
Penilaian HRQoL pada pasien untuk pengukuran status kesehatan dapat
digunakan instrumen ukur generik yang menitikberatkan pada status kesehatan
umum atau instrumen yang menitikberatkan pada aspek khusus dari suatu
penyakit dengan menggunakan Alat ukur yang spesifik. Dan untuk
menghasilkan gambaran yang menyeluruh dapat menggunakan kombinasi dari
kedua kuesioner. The Sickness Impact Profile merupakan contoh kuesioner
yang dapat menghitung nilai status kesehatan dan juga termasuk dimensi fisik,
dengan kategori perpindahan, mobilitas, perawatan tubuh dan pergerakan,
dimensi psiko-sosial, dengan kategori interaksi sosial, kewaspadaan,
komunikasi, dan perilaku emosi, dan juga lima kategori independen, yaitu:
makan, bekerja, manajemen rumah, tidur dan istirahat, dan rekreasi (Cramer &
Spilker, 1998).
25
f. Euro Quality of Life 5 Dimensions (EQ-5D)
Euro Quality of Life (EQ-5D) merupakan instrumen generik yang secara
luas sudah digunakan dalam pengukuran status kesehatan. Instrumen ini
dikembangkan untuk mengukur HRQoL secara multidimensional di mana akan
mampu diperlihatkan dalam sebuah nilai index (Cramer & Spilker, 1998).
Instrumen EQ-5D mengukur status kesehatan yang sudah distandarisasi dan
dikembangkan oleh EuroQol Group bertujuan untuk menyediakan kemudahan
pengukuran generik pada kesehatan yang digunakan untuk penilaian klinik dan
ekonomi (Reenen & Oppe, 2015) ( Reenen & Janssen, 2015). Instrumen ini
dapat digunakan untuk mengukur dan mendeskripsikan nilai status kesehatan
pasien. Nilai hasil pengukuran dapat merefleksikan preferensi publik di mana
hal ini dapat digunakan untuk memperkirakan quality-adjusted life year
(QALY) (Devlin & Krabbe, 2013).
Kuesioner EQ-5D ini memiliki dua bentuk berdasarkan tingkat respons
yang tersedia pada kuesioner. Bentuk pertama adalah EQ-5D dengan 3 tingkat
level respons yaitu tidak ada masalah, terdapat masalah dengan tingkat sedang,
dan yang terakhir adalah masalah serius (ekstrem). Sementara bentuk kedua
adalah EQ-5D dengan 5 level respon, yaitu tidak ada masalah, masalah ringan,
masalah sedang, masalah berat, dan masalah ekstrem. EQ-5D 5L merupakan
perkembangan dari versi 3L berdasarkan hasil penelitian dari badan yang
dibentuk EuroQoL Group. Badan tersebut bertugas mencari metode untuk
meningkatkan sensitivitas dan mengurangi ceiling effect. Dari hasil diskusi
ditetapkan bahwa kuesioner EQ-5D tidak akan mengubah jumlah dimensi akan
26
tetapi akan ditambah lima level respons karena berdasarkan penelitian yang
dilakukan dapat menambah secara signifikan reliabilitas dan sensitivitas di
samping tetap menjaga kelayakan dan mengurangi ceiling effect. (Reenen &
Oppe, 2015).
Kuesioner EQ-5D ini memiliki dua bagian penyusun, yaitu descriptive
system yang dapat dikonversikan ke dalam single summary index dan bagian
kedua berupa visual analog sale. Pada bagian descriptive system terdapat 5
dimensi yang menjadi dasar pengukuran yaitu mobility, self-care, usual
activities, pain/discomfort, and anxiety/depression (Kind, 1996). Pada bagian
ini didapatkan data respons pasien tiap dimensi yang menggambarkan keadaan
kesehatan pasien. Data tersebut kemudian dapat diubah ke dalam health profile
(profil kesehatan) yang menunjukkan proporsi dari status kesehatan pada setiap
dimensi sesuai dengan tingkatan respon. Profil kesehatan diperoleh dengan cara
mengubah setiap keadaan kesehatan, yang terdapat dalam bagian descriptive
system, menjadi sebuah nilai index atau utility. Nilai index tersebut dapat
digunakan untuk penghitungan Quality Adjusted Life Years (QALYs) yang
dapat dimanfaatkan untuk melaporkan evaluasi ekonomi terhadap intervensi
terapi kesehatan (Reenen dan oppe, 2015 ; Reenen dan Jansen, 2015).
Pada bagian visual analog scale terdapat skala sepanjang 20 cm yang
memiliki rentang nilai dari 0 sampai dengan 100. Skala tersebut digunakan
untuk mengetahui penilaian daripada status kesehatan pasien. Titik paling
bawah skala tersebut menunjukan “kondisi kesehatan terburuk yang dapat
27
dibayangkan” sementara titik paling atas menunjukan “kondisi kesehatan
terbaik yang dapat dibayangkan (Cramer, 1998).
g. Psychometric Properties
Instrumen yang memiliki nilai utilitas sebagai indikator diagnosis dan
prediksi perilaku pada suatu terapi medis tergantung pada konstruksi penyusun
yang tepat dari instrumen dalam pengukuran status kesehatan serta pada
pengukuran, pengumpulan, dan interpretasi data oleh pembuat keputusan sesuai
dengan status kesehatan objek penelitian. Oleh karena itu diperlukan evaluasi
untuk mengetahui batas standar atau atribut yang terdapat dalam kuesioner
(Cramer, 1998).
Psychometric merupakan ilmu yang digunakan untuk standarisasi uji atau
skala untuk mengevaluasi atribut individu. Metode psychometric dapat
digunakan untuk mengukur skala yang didasarkan pada unsur-unsur yang
mencerminkan tingkat kualitas hidup dari pasien (Walters, 2009). Dengan
adanya skala pengukuran maka psychometric dapat menerjemahkan kebiasaan,
perasaan orang, dan evaluasi terhadap individu menjadi sebuah data kuantitatif
(Andayani, 2013). Menurut Fitzpatrick et al (1998) kriteria uji standarisasi yang
dapat digunakan pada kuesioner meliputi:
1. Uji ketepatan (appropriateness)
Analisis ketepatan digunakan untuk mengetahui kesesuaian konten, berupa
pertanyaan, yang terdapat dalam kuesioner kualitas hidup dengan tujuan dari
penelitian yang dilakukan.
28
2. Uji penerimaan (acceptability)
Uji penerimaan digunakan untuk mengetahui penerimaan masyarakat
terhadap kuesioner. Penerimaan responden terhadap kuesioner sangat penting
karena digunakan untuk menghindari kondisi tertekan pasien yang sudah
menghadapi masalah kesehatan dan juga untuk memperoleh tingkat respons
yang tinggi untuk kuesioner yang dipakai.
3. Uji kelayakan (feasibility)
Kuesioner yang digunakan dalam suatu penelitian harus mudah untuk dapat
diisi atau dijalankan oleh responden. Oleh karena itu uji kelayakan ini
digunakan untuk mengetahui tingkat kelaikan dari kuesioner untuk digunakan
oleh responden.
4. Uji validitas
Validasi digunakan untuk mengetahui pengukuran yang dilakukan oleh
instrumen sesuai dengan pengukuran nilai sebenarnya. Tipe validasi untuk
pengukuran HRQoL meliputi validasi isi, konstruksi, dan kriteria.
a) Validasi isi (face validity)
Tipe validasi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana konsep
kesehatan dimasukan dalam unsur alat ukur. Tipe validasi ini
mengasumsikan peneliti sudah mempunyai definisi standar dan skala
item harus ada untuk mengukur konsep yang dievaluasi.
b) Validasi konstruksi
Validitas konstruksi dapat diketahui dengan mengevaluasi nilai
skala pada kelompok pasien yang memiliki variasi pada beberapa unsur,
29
contohnya usia, jenis, dan kelamin. Pada validasi konstruksi ini terbagi
menjadi tiga tipe convergent validity, discriminant validity, dan known-
group validity (Walters, 2009). known-group validity didasarkan pada
asumsi bahwa terdapat beberapa grup yang spesifik dari sampel di mana
diduga akan memiliki perbedaan penilaian terhadap grup yang lain dan
instrumen harus dapat memiliki sensitivitas terhadap hal tersebut.
Convergent validity memiliki prinsip bahwa pengukuran dari suatu
konsep, dalam hal ini adalah domain penyusun kuesioner, memiliki nilai
korelasi yang tinggi. Korelasi yang tinggi ditunjukan dengan skor-skor
dari dua instrumen berbeda mengukur suatu konsep atau teori dasar
yang sama. Sedangkan discriminant validity memiliki korelasi yang
rendah dan tidak berhubungan antar dimensi dari kualitas hidup dan
pada teorinya validitas ini harus memiliki tingkat yang rendah.
5. Uji reliabilitas
Aspek reliabilitas digunakan untuk mengetahui reprodusibel dan
konsistensi hasil pengukuran dari kuesioner. Reliabilitas menunjukan
akurasi dan ketepatan dari suatu instrumen pengukur. Suatu instrumen
pengukur dapat dikatakan reliabel jika dapat mengukur secara stabil dan
konsisten. Tingkatan reliabilitas dapat ditunjukan oleh nilai koefisien
reliabilitas (Mustakini, 2008). Estimasi reliabilitas nilai hasil tes dapat
dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yaitu metode tes-ulang, metode
bentuk paralel, dan metode penyajian tunggal (azwar, 2014).
a. Metode tes-ulang
30
Metode tes-ulang dilakukan dengan melakukan dua kali tes
berurutan pada satu kelompok subjek yang sama dengan menggunakan
alat ukur yang sama dan dengan tenggang waktu yang cukup diantara
kedua tes tersebut. Asumsi dasar dalam metode ini adalah bahwa tes
yang reliabel akan menghasilkan nilai yang relatif sama apabila
dikenakan dua kali pada waktu yang berbeda.
b. Metode bentuk paralel
Pada metode ini, tes yang akan dianalisis reliabilitasnya harus
memiliki tes lain yang memiliki tujuan pengukuran sama dan setara isi
item penyusun baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Atau dengan
kata lain dilakukan dua tes bersamaan pada kelompok subyek yang
berbeda dengan alat ukur yang sama. Kemudian dilakukan analisis
korelasi terhadap hasil pengukuran dua kelompok nilai. Koefisien
korelasi yang tinggi menunjukan ekuivalensi, kesamaan, stabilitas, dan
konsistensi alat ukur antar dua kelompok subjek yang berbeda
(Mustakini, 2008).
c. Metode penyajian tunggal
Metode ini dilakukan dengan menggunakan satu bentuk tes yang
dikenakan sekali pada satu kelompok subjek. Metode penyajian tunggal
bertujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam
tes sehingga analisis yang dilakukan bukan terhadap skor tes melainkan
terhadap skor item dalam tes. Dari metode ini akan diketahui reliabilitas
31
konsistensi internal untuk mengukur seberapa konsisten item-item yang
berbeda dapat merefleksikan hasil yang sama.
6. Uji responsivitas
Kuesioner status kesehatan sangat penting untuk dapat mendeteksi
perubahan yang terjadi pada sisa waktu terhadap pasien karena hal tersebut
dapat mencerminkan efek terapeutik suatu terapi. Oleh karena itu diperlukan uji
responsivitas sebagai kemampuan dari kuesioner yang dapat mendeteksi
perubahan klinik yang signifikan
7. Uji ceiling effect
ceiling effect memiliki keterikatan dengan tingkat presisi kuesioner. Pada
uji ceiling effect, evaluasi dilakukan terhadap kuesioner dalam hal kemampuan
kuesioner untuk menangkap status kesehatan pasien yang berada pada tingkat
paling atas. Pada kuesioner dilihat berbagai kategori respons dan berbagai item
penyusun kuesioner tersebut.
8. Discriminatory Power
Discriminatory Power dapat diartikan sebagai kemampuan instrumen untuk
membedakan responden dengan menunjukan perbedaan respons jawaban
responden yang terdapat pada kuesioner (Jannsen, 2006). Parameter ini dapat
menggambarkan koefisien reliabilitas kuesioner. Shannon Index (H’) dan
Shannon Eveness Index (J’) merupakan metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis discriminatory power. Kedua metode tersebut menggambarkan
kemampuan kuesioner untuk menangkap informasi respon hanya yang
membedakan adalah H’ menangkap informasi mutlak sedangkan J’ menangkap
32
informasi relatif (Agborsangaya, 2014). Kedua metode tersebut dapat
digunakan dengan persamaan sebagai berikut:
𝐻′ = − ∑ 𝑝𝑖 𝐿𝑜𝑔2𝑝𝑖
𝐶
𝑖=1
𝐻𝑚𝑎𝑥 = 𝑙𝑜𝑔2 𝐶 𝐽′ = 𝐻′𝐻𝑚𝑎𝑥⁄
Keterangan
H’ = Shannon Index
J’ = Shannon Evennes Index
Rumus tersebut menggambarkan hubungan antara H’ dengan informasi
respons instrumen yang digunakan. Apabila H’ besar maka semakin informatif
instrumen yang digunakan. H’ akan bertambah nilai apabila penambahan
respons level benar-benar digunakan.
Serangkaian uji yang dilakukan terhadap kuesioner tersebut digunakan
untuk menilai kriteria kuesioner agar dapat dinyatakan sebagai alat ukur yang
baik. Alat ukur yang baik ditandai dengan menghasilkan data dan memberikan
informasi yang akurat. Kriteria yang dimaksud pada kuesioner adalah valid,
reliabel, objektif, standar, ekonomis, dan praktis (azwar, 2014).
3. Landasan Teori
EQ-5D merupakan instrumen generik baku yang sudah banyak digunakan pada
pengukuran status kesehatan dan direkomedasikan dalam penilaian teknologi
kesehatan. Hasil pengukuran status kesehatan dengan menggunakan EQ-5D berupa
profil kesehatan dan utilitas. Nilai utilitas dapat digunakan untuk menghitung
Quality Adjusted Life Years (QALY) yang merupakan unit pengukuran dalam
metode cost utility analysis (CUA).
33
Kuesioner generik EQ-5D memiliki dua bentuk berbeda yang didasarkan pada
tingkat respons pasien atas domain yang terdapat dalam kuesioner tersebut. Kedua
bentuk kuesioner tersebut adalah EQ-5D 3L dan EQ-5D 5L. Dengan dilakukannya
penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui versi kuesioner yang paling sesuai
untuk populasi di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, baik pada populasi
kelompok penyakit tertentu atau pada populasi orang sehat. Penelitian yang
membandingkan kuesioner EQ-5D-3L dan EQ-5D-5L telah banyak dilakukan di
beberapa negara pada berbagai kelompok populasi penderita penyakit tertentu
ataupun pada kelompok populasi orang sehat. Akan tetapi di Indonesia sendiri
penelitian serupa belum pernah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
yang dilakukan pada beberapa negara, sebagian besar menyimpulkan bahwa
kuesioner EQ-5D versi 5L lebih sesuai untuk mengukur status kesehatan
dibandingkan versi 3L. Kerangka penelitian ini diilustrasikan pada bagian kerangka
konsep penelitian.
4. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan hasil perbandingan psychometric
properties dari dua versi kuesioner EQ-5D sehingga didapatkan masukan mengenai
versi kuesioner EQ-5D yang paling sesuai untuk populasi diabetes mellitus di
Indonesia. Hasil penelitian ini juga akan memberikan rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya dalam topik pengembangan EQ-5D value set untuk versi EQ-5D yang
sesuai untuk populasi Indonesia. EQ-5D value set diperlukan untuk konversi data
EQ-5D menjadi nilai utilitas yang diperlukan untuk menghitung QALY,
konsekuensi dalam studi farmakoekonomi dengan metode CUA.
34
5. Kerangka Konsep Penelitian
Data Kualitas
Hidup
Analisis
Psikometri
Properti
Keluaran ekonomi
Metode Farmakoekonomi
CUA
Keluaran Humanis
Pengukuran kualitas hidup
pengukuran profil kesehatan
Generik
SF-36
WHO-QoL
spesifik
pediatrik
Geriatrik
penyakit spesifik
pengukuran nilai utilitas
generik
langsung
Time Trade Off
Visual Analog Scale
Standard gamble
tidak langsung
EQ-5D
3 level respon
5 level respon
SF-6D
Keluaran Klinik
Pasien
Diabetes
Mellitus