bab i a. latar belakang -...

21
BAB I A. LATAR BELAKANG Dalam masyarakat tontonan, kemasan, citra dan perilaku dari aktor lebih dikedepankan daripada kualitas isi pesan. Masyarakat tontonan telah terbentuk sejak dahulu kala ketika tontonan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Budaya media adalah industri yang diorganisasikan pada model produksi massal dan ditujukan bagi audiens massal sesuai jenis, mengikuti formula konvensional, kode dan aturan. Budaya media menggabungkan antara budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap baik dan buruk, positif atau negatif dan bermoral atau tidak bermoral (kellner, 1995:1). Media massa sebagai bagian dari industri budaya adalah korporasi dari sistem ideologi ekonomi kapitalisme. Media melakukan representasi dan komodifikasi berita, informasi, dan hiburan sebagai langkah strategis untuk memproduksi komoditas demi meraup keuntungan yang berdampak kepada pamor atau rating industri media tersebut. Media massa sekaligus menjadi tontonan (spectacle) itu sendiri. Media tidak hanya berperan sebagai ‘pasar’, mengiklankan banyak produk, melainkan juga memproduksi citra individu secara positif. Misalnya selebritis yang diidolakan. Dalam konteks ini, media menjadikan penonton sebagai konsumen aktif atas komoditi yang di idolakan. Pada sisi lain, sang idola, tanpa disadari juga ikut serta ‘dijual’ oleh media sebagai rezim konstruksi realitas. Industri budaya memanipulasi penonton tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan

Upload: dangduong

Post on 30-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

BAB I

A. LATAR BELAKANG

Dalam masyarakat tontonan, kemasan, citra dan perilaku dari aktor lebih

dikedepankan daripada kualitas isi pesan. Masyarakat tontonan telah terbentuk

sejak dahulu kala ketika tontonan menjadi bagian tidak terpisahkan dari

kehidupan manusia. Budaya media adalah industri yang diorganisasikan pada

model produksi massal dan ditujukan bagi audiens massal sesuai jenis, mengikuti

formula konvensional, kode dan aturan. Budaya media menggabungkan antara

budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap baik dan

buruk, positif atau negatif dan bermoral atau tidak bermoral (kellner, 1995:1).

Media massa sebagai bagian dari industri budaya adalah korporasi dari

sistem ideologi ekonomi kapitalisme. Media melakukan representasi dan

komodifikasi berita, informasi, dan hiburan sebagai langkah strategis untuk

memproduksi komoditas demi meraup keuntungan yang berdampak kepada

pamor atau rating industri media tersebut.

Media massa sekaligus menjadi tontonan (spectacle) itu sendiri. Media

tidak hanya berperan sebagai ‘pasar’, mengiklankan banyak produk, melainkan

juga memproduksi citra individu secara positif. Misalnya selebritis yang

diidolakan. Dalam konteks ini, media menjadikan penonton sebagai konsumen

aktif atas komoditi yang diidolakan. Pada sisi lain, sang idola, tanpa disadari juga

ikut serta ‘dijual’ oleh media sebagai rezim konstruksi realitas. Industri budaya

memanipulasi penonton tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan

Page 2: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

semua (lebih banyak) artefak budaya sebagai produk industri dan komoditas

belaka.

Kondisi masyarakat seperti ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh

Guy Debord sebagai masyarakat tontonan (society of spectacle). Menurut Debord

(1967) masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek

kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan dan menjadikannya sebagai

rujukan nilai dan tujuan hidup. Selain itu, tontonan memanipulasi dan

mengeksploitasi nilai-guna (use-value) dan kebutuhan manusia sebagai sarana

memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Dalam masyarakat

tontonan (spectacle society), segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra yang

bahkan tampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal dimana

tempat lahirnya masyarakat hipperrealitas (hyperreality society).

Musik adalah contoh tontonan yang telah menjadi tontonan global dan

menjadi komoditi utama yang diburu media massa. Media banyak menampilkan

pertunjukan musik (off dan on air), maupun gosip-gosip tentang pelaku selebritas

musik. Semua pertunjukan tersebut tidak hanya berbicara kemampuan menari,

menyanyi, dan memainkan alat musik, namun menjadi tontonan yang ditunggu

karena kemampuannya untuk memikat penonton. Semua tontonan tersebut tidak

akan lepas dari unsur kompetisi, kemenangan, sukses dan akhirnya uang.

Di Indonesia, sekumpulan gadis cantik atau pemuda tampan yang

membentuk grup musik dan bernyanyi bersama disebut boyband atau girlband.

Istilah ini datang dari barat atau western sejak tahun 90-an, karena saat itu sedang

Page 3: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

demam boyband asal dunia barat, sebut saja Westlife, Backstreet Boys, N'Sync,

dan lain-lain. Sekarang, setelah bertahun-tahun dunia boyband/girlband sempat

meredup, Korea pun muncul dan menjadi wabah latah bagi pelaku musik di

Indonesia.

Di tengah-tengah hembusan gelombang pop korea, Indonesia memiliki

sebuah grup yang lain, unik, dan keluar dari mainstream dunia permusikan

boyband/girlband. Mereka adalah JKT48 (baca: jekeiti forty eight). JKT48 sudah

mewarnai belantika musik Indonesia hingga kurang lebih dua tahun hingga di

penghujung tahun 2013 ini. Bisa dibilang JKT48 adalah fenomena di belantika

musik Indonesia, karena kurang lebih dari dua tahun setelah berdiri, JKT48 telah

membius penikmat musik Indonesia dengan menawarkan penampilan musik yang

berbeda, segar, dan tidak menjemukan mata. JKT48 berbeda dengan girlband

karena secara konsep memang berbeda.

JKT48 adalah sebuah grup idola (idol group) yang dibentuk oleh Produser

sekaligus pencipta lagu yang sudah sangat terkenal di Jepang, Akimoto Yasushi.1

Akimoto adalah produser dari 48 family yang beranggotakan grup idola AKB48

(Akihabara, Tokyo), NMB48 (Namba, Osaka), SKE48 (Sakae, Nagoya), HKT48

(Hakata, Fukuoka), sister group pertama di luar Jepang yaitu JKT48 (Jakarta,

Indonesia) dan yang kedua adalah SNH48 (Shanghai, Cina). Seluruh anggota 48

family berbasis idol group.

1 Selain produser musik, Akimoto adalah Rektor Kyoto University Art and Design.

Page 4: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Idol group adalah konsep seperti sebuah Akademi Keartisan. Setiap

anggota yang berhasil lolos audisi yang ketat akan dididik untuk menjadi seorang

idola yang multi talenta. Tak hanya menyanyi dan menari, namun juga akting,

public speaking, membawakan acara, dan sebagainya. Seperti layaknya sebuah

Akademi, 48 family juga mengenal istilah graduate (lulus). Lulusnya seorang

anggota idol group dari 48 family ditentukan oleh Akimoto sendiri, apakah sudah

layak diluluskan atau tidak, atau bisa saja dari keputusan si anggota tersebut,

misalnya ingin fokus ke pendidikan atau ingin melanjutkan sebagai penyanyi solo.

Graduate juga bisa diterapkan kepada seorang anggota yang melanggar aturan-

turan khusus yang dimiliki dari 48 family (tentunya diluluskan secara tidak

hormat).

Graduate/lulusnya seorang anggota idol group 48 family juga disambut

dengan Upacara Kelulusan yang diikuti seluruh anggota idol group tersebut, dan

anggota yang lulus juga mendapat sertifikat kelulusan dari Akademi 48 family,

yang menandakan ia telah siap untuk menapaki karir sendiri tanpa embel-embel

48 family.

Konsep ini jelas berbeda dengan Boyband/Girlband pada umumnya, yang

dilatih hanya untuk menyanyi dan menari, merilis album, dan menghibur lewat

tarian dan nyanyian. Menjadi bintang iklan dan akting di sebuah film/sinetron

bagi mereka hanyalah “aji mumpung” setelah mereka terkenal, berbeda dengan

anggota idol group yang memang dibentuk untuk menjadi seorang multi talenta.

Page 5: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Kejelian JKT48 dalam membidik pasar dengan mengolah konsep yang

menarik, terbukti dengan banyaknya fans yang fanatik. Para penggemar fanatik

JKT48 (dan pop idol group lainnya) seringkali disebut dengan istilah Jepang yaitu

wota, atau kependekan dari otaku, yang berarti orang dengan minat sangat serius

atau obsesif pada bidang tertentu, seperti dunia anime dan manga. Dalam bahasa

Inggris, istilah ini mungkin bisa dipadankan dengan geek dan nerd.

Fans JKT48 umumnya adalah remaja laki-laki tapi tidak sedikit juga anak-

anak dan kaum perempuan bahkan orang dewasa yang sudah berusia cukup

matang. Banyaknya jumlah fans yang beragam dan tersebar di berbagai wilayah

akhirnya membuat beberapa di antara mereka bernisiatif untuk mendirikan

fanbase atau kelompok penggemar. Salah satu yang terbesar ada di Yogyakarta

dengan JKT48 JOGJA FC. Masyarakat tontonan yang diciptakan mampu

membius salah satu fans dari kota pelajar ini. Berikut tulisan yang berbicara

tentang kegelisahan seorang fans dari yogya yang menantikan idolanya, salah satu

personil JKT48, Beby Chaesera Anadila :

“Dear whoever reading this. SMILE because life is too short to be

unhappy .” ~ beby

Hey perempuan bermata sipit, bagaimana kabarmu? Semoga kamu tidak

kelelahan menjalani segala rentetan peristiwa dalam kegiatan menghibur

penggemarmu. Dalam jarak sejauh ini apa yang bisa aku harapkan selain

keadaanmu yang semoga senantiasa selalu baik saja. Walau aku tak bisa

Page 6: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

menatapmu dari dekat tapi percayalah diam-diam aku selalu merapal

namamu dalam doa.

Hey perempuan berjulukan “dancing queen”. Kamu tau kenapa aku

begitu mengidolakannmu?. Semua berjalan begitu cepat. Aku melihatmu,

mengenalmu, lalu menggilaimu sesederhana itu seolah kamu diciptakan

tidak untuk dilupakan. Kamu selalu berotasi dalam pikiranku seperti asap

menguap kemudian menggantung di udara.

Hey perempuan penggemar Chelsea. Kamu selalu menjadi penambang

rindu dihatiku. Aku rela menghabiskan waktu melotot di depan monitor

hanya untuk sekedar ingin tau bagaimana keadaamu. Sepi “linimasa”

twittermu selalu berhasil membuatku merasa jauh. Tolong berikan kabar

walau hanya sebatas salam sapa. Meskipun maya semua akan berubah

begitu nyata dan aku suka.

Hey perempuan bernama Beby Chaesara Anadila. Baru kali ini aku rajin

menghitung hari. hingga waktunya datang dan aku bertemu denganmu

lagi. Menunggu adalah bagian dari pertemuan itu sendiri beb. Sejak

terakhir kita bertemu di konser kafe Liquid jogja sampai sekarang aku

selalu menunggumu hingga esok kamu kembali kesini. Aku serta lainnya

menanti tanggal 19 - 20 april dan jogja mengharapkanmu untuk kembali.

Suaramu adalah senandung resonansi hati, lagu yang mengantarkanku

terlalap sampai kamu membangunkanku dengan kata siraman cinta. Aku

Page 7: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

tunggu kamu di jogja!!!. (https://www.facebook.com/notes/cumski-

yumski/curhat-buat-beby/523103064470486)

Tulisan di atas menjadi contoh bahwa realitas asli telah tercerbut,

sedangkan realitas tontonan, yang sejatinya adalah semu, tampil dalam wajah

yang asli dan menjadi realitas dirinya. Fans JKT48 menjadi aktor dari masyarakat

tontonan yang berhasil disuguhi wacana idola sebagai realitas pertama. JKT48

telah mengubah wajah dunia menjadi tak lebih dari sebuah panggung tontonan

raksasa yang dihuni masyarakat yang haus tontonan.

Dalam wacana semacam itu, sudah menjadi dogma bahwa memproduksi

suatu komoditas harus disertai dengan memproduksi tontonan. Semua tontonan

menjadi komoditas, sebaliknya semua komoditas menjadi tontonan. Apabila pihak

media, tidak mampu menyajikan formula isi tayangan yang bernilai urgensif,

maka semakin nyata kalau kita sedang berkubang dalam masyarakat tontonan.

Artinya, adalah tontonan secara serentak tampak sebagai masyarakat itu sendiri,

sebagai bagian dari masyarakat, dan sebagai perangkat untuk mempersatukan.

(Suara Merdeka:27 Juni 2008)

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan,

adalah sebagai berikut

Page 8: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

1. Bagaimana pemahaman konsep idol group JKT48 menurut fans?

2. Bagaimana perkembangan dari fenomena idol group JKT48?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan pemahaman tentang konsep Idol Group JKT48

2. Menjelaskan perkembangan dari fenomena Idol Group JKT48

3. Menganalisis fenomena Idol Group JKT48 dengan menggunakan

kajian Masyarakat Tontonan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.

1. Bagi Peneliti

Mengimplementasikan pendekatan sosiologis mengenai kajian

masyarakat tontonan.

2. Bagi Masyarakat Umum

Memperkenalkan dan menjelaskan fenomena idol group di Indonesia.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Page 9: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

JKT48 adalah kelompok idola pop remaja terbentuk pada tahun 2011

sebagai sister group dari AKB48 yang berawal di Jepang. Group ini berisi

kumpulan gadis remaja sebanyak 44 anggota yang terbagi kedalam beberapa tim,

TIM J, TIM K, dan Trainee. Dalam waktu yang relatif singkat JKT48 mampu

memperoleh ribuan penggemar yang sangat militan hampir diseluruh indonesia.

Beberapa fanbase mulai terbentuk sebagai sarana berkumpul dan bertukar

informasi mengenai idola mereka. Kepopuleran JKT48 juga terlihat dari

antusiasme para penggemar ketika perhelatan konser dibeberapa kota. Yogyakarta

sebagai kota pelajar telah beberapa kali disinggahi, ribuan penggemarnya atau

biasa disebut wota kerap dibuat histeris, terpukau dengan penampilan yang

dibawakan idola mereka.

Jika diamati fenomena JKT48 dalam terminologi popular culture, saat ini

imbasnya cukup “serius” di Indonesia. Dengan kata lain efeknya bagi audience,

tidak hanya berkutat pada aspek produksi budaya semata, namun berimbas juga

pada paraktik konsumsi. Dengan demikian kiranya penelitian ini menjadi penting

untuk diulas. Sehingga untuk ulasan ini, fokus pembahasan penelitian terletak

pada audience/khalayak JKT48 yang tergabung dalam fanbase JKT48 JOGJA FC.

Pada konteks ini, penelitian akan menyoroti bagaimana media

mengkonstruksi nilai-nilai sosial menyediakan “way of life” bagi individu ikut

“terjebak” mendramatisir perilaku sosialnya (everday life), dalam logika

komodifikasi kehidupan sosial, melalui media dan entertaimant sebagai tontonan.

Alasan ini berangkat dari asumsi penulis, bahwa audience/khalayak tidak saja

hadir dalam kapasitasnya sebagai subjek namun pada saat yang bersamaan juga

Page 10: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

tunduk sebagai objek atas pengaruh budaya popular, salah satunya melalui media.

Inilah alasan ketertarikan penulis mengulas secara kritis fenomena JKT48 dalam

hiruk-pikuk budaya pop.

Menurut Bren D. Ruben yang dikutip Cangara (2003:151) khalayak

adalah penerima suatu pesan yang bukan saja ditentukan oleh isi pesan, tetapi

juga oleh semua komponen yang mendukung terjadinya proses komunikasi.

Namun dewasa ini, hubungan antara media dengan audiensnya tidak lagi bisa

dipandang hanya satu arah, dimana sebelumnya media berada pada posisi

dominan.

Mick Counihan (dalam Morley dan Brunsdon (eds), 1999:120)

menyebutkan bahwa hubungan media dan audiens tidak sesederhana sebelumnya.

Orientasi “apa yang dilakukan media pada khalayak” menurutnya telah bergeser

menjadi “apa yang dilakukan khalayak pada media” Hal ini disebabkan khalayak

kini cenderung lebih aktif memilih produk media sesuai cara pandang dan

kebutuhan mereka. Stanley J Baran (2011:10-11) mencoba melihat pengaruh dari

perkembangan teknologi sebagai bagian yang urgent bagi kebutuahn informasi

khalayak. Kehadiran teknologi yang begitu pesat dalam industri komunikasi

menyebabkan konsumen media kontemporer lebih memilki kontrol dan seleksi

atas media. Dengan demikian, untuk kepentingan penelitian ini, yang dimaksud

sebagai audiens disini adalah penggemar JKT48 dimana mereka memilki cara

tersendiri dalam menggunakan dan juga memaknai pesan lewat media yang

tentunya akan dikaji lebih dalam pada bagian analisis dalam penelitain ini.

Page 11: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Berikut beberapa penelitian serupa tentang kajian media khususnya fans

group.

1. Konstuksi media cetak remaja atas representasi “idola”. (studi

semiotika artikel tokoh dalam cover majalah Aneka yess!) oleh Triyugi

Rizki Windarsi.

Dari penelitian ini terungkap bahwa media cenderung

menampilkan tokoh idola yang uggul secara fisik dan bergulat pada

profesi industri budaya. Munculnya sosok model, penyanyi komersil,

pemain sinetron, dan pemain sinetron dilakukan secara bergantian

dalam setiap edisinya. Kemudian media cenderung memunculkan

perilaku budaya popular pada tokoh dengan mengangkat isu-isu

pacaran, ulang tahun, kesenangan, perilaku konsumtif, dan

pengutamaan pada penampilan fisik. Media juga telah mengeksploitasi

tokoh tersebut untuk mempromosikan produk yang beriklan pada

media. Pada foto yang ditampilkan, media menampilkan foto tokoh

yang menggunakan pakaian, tata rias, dan arahan gaya dari pihak yang

beriklan pada media tersebut. Ini berarti bahwa media menggunakan

tokoh untuk media promosi produk layaknya etalase di toko.

2. Adopsi identitas dan gaya hidup “jepang-jepangan” Pada remaja

anggota komunitas penggemar budaya popouler jepang di Yogyakarta,

oleh Denison Wicaksono.

Page 12: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Dalam penelitian ini terdapat temuan menarik mengenai

identitias jepang-jepangan. Munculnya identitas jepang-jepangan

dikarenakan konsumsi prodak budaya populer jepang dan merupakan

implikasi dari diplomasi budaya yang dilakukan oleh bangsa jepang.

Kemudian diperoleh hasil bahwa terdapat dua macam pengapdosian

gaya hidup yang dilakukan oleh remaja penggemar budaya populer

jepang. Yang pertama adalah gaya hidup masyarakat jepang yang

diadopsi secara dengan sadar diniatkan oleh pelaku yakni yang disebut

sebagai gaya hidup “imitasi”, dan kedua adalah gaya hidup

“konsumsi” yang secara tidak sadar diadopsinya akibat dari konsumsi

prodak-prodak budaya populer jepang. Pengadopsian gaya hidup

merupakan usaha diferensiasi (pembedaaan) dari remaja yang

mengalami “krisis identias” sehingga mereka dapat eksis di lingkungan

sosialnya dengan menjadi “berbeda”. Dari semua informan dalam

penelitian ini menyatakan bahwa mereka menyukai budaya popular

jepang karena keunikan yang membuat mereka menjadi berbeda

dengan yang lain. Hal ini memberikan gambaran bahwa budaya

popular jepang telah menjadi suatu referensi bagi remaja untuk dapat

diadopsi sebagai identitas dan gaya hidup.

F. KERANGKA TEORI

Society of spectacle

Page 13: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Society of spectacle adalah teori sosial yang pertama kali diperkenalkan

oleh guy debord salah seorang ilmuwan marxis yang berasal dari Perancis.

Menurut Debord, masyarakat tontonan merupakan sutau bentuk tampilan yang

berupaya melakukan identifikasi melalui relasi sosial dari seluruh aspek

kehidupan manusia. Artinya Tontonan (spectacle) di sini bukan koleksi citra

(image), melainkan relasi sosial yang dimediasi melalui citra. Relasi sosial telah

bergeser lebih jauh menjadi relasi komoditas. “The spectacle is not a collection of

images, but a social relation among people, mediated by images” ( Debord,

2002:4).

Komoditas tersebut bergerak secara otonom untuk memperdaya dan

mengambil alih segala aspek kehidupan. Tidak hanya itu, kehidupan yang ditandai

dengan relasi komoditas juga telah menyihir penontonnya untuk menjiplak dan

memproduksi ulang citra-citra yang tadi dipertontonkan. Kekuatan citra dalam

masyarakat tontonan mampu megerakan dan memotvasi individu seolah bertindak

seperti dihipnotis. Dengan begitu segala sesuatu yang dicitrakan (abstrak)

dipandang paling rasional. Sehingga rutinitas kehidupan sehari-hari (everday life)

telah dikonstruksi dalam lingkup masyarakat konsumen melipatgandakan citra

ilusi diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh masyarakat. (Debord, 2002: 18)

Menurut Douglas Kellner, media sebagai indurti hiburan, tak ubahnya

adalah spectacle itu sendiri, melipatgandakan keuntungan melalui promosi atau

iklan. Maka media pun layak disebut “pasar”. Tidak hanya sebagai tempat jualan

produk yang sifatnya material, namun bergeser menjadi wadah memproduksi citra

individu secara positif. Seperti selebritis, media memiliki andil besar untuk itu,

Page 14: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

karena dengan menjadi selebritis, artis atau publik figur, tentunya membutuhkan

pengakuan dari media berkat tontonan atas citra positif selebritis tersebut.

(Kellner, 2003: 4)

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%argumentasi yang

dibangun oleh Kellner di atas, merupakan turunan langsung dari teori Guy

Debord @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% pada kajian spectacle

society.

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%

@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%kontem

porer.@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#

@%@^&$@%!^&&#@%kehadiran masyarakat konsumsi. Sekaligus penanda

dimulainya era kapitalisme lanjut.

…The spectacle is the stage at which the commodity has succeeded in totally

colonizing social life. Commodification is not only visible, we no longer see

anything else; the world we see is the world of the commodity.(Debord, 2002:42)

Dengan meminjam teori Marx dan Lukacs tentang komoditas fetisisme

dan reifikasi nilai sosial, ia sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat modern

tersusun atas subjek pasif yang mengkonsumsi tontonan (spectacle), serta

melakukan reifikasi aspek sosial dalam komoditas tontonan itu sendiri.

Sebagaimana Karl Marx, mendefinisikan komoditi dalam Das Kapital volume I:

Komoditi merupakan benda di luar kita, sesuatu yang sifatnya selalu ada cara

memenuhi kebutuhan manusia. Apakah kebuthan itu muncul dari perut atau

Page 15: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

khayalan tidak jadi soal disini?. Kemakmuran dalam masyarakat ditentukan oleh

corak produksi kapitalis nampak pada sebuah timbunan besar komoditi. Komoditi

nampak sebagai bentuk dasarnya dan karena itu peneyelidikan mesti dimulai dari

telah terhadap komoditas (Marx, 2004:3)

Dalam@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% History Class

Consciouness, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Lukacs

menguraikan bahwa kapitalisme mengusai seluruh dimensi

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%kehidupan@#$&+$@#%_+%

@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@

%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%masyarakat,

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%

@^&$@%!^&&#@%sehingga

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%interaksi@#$&+$@#%_+%@

$#@%@^&$@%!^&&#@%

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%

@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+

$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%masyarakat

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%selalu ditandai oleh

pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualisasikan

dimensi kemanusiaan yang memaknai kebebesan dirinya telah tergantikan oleh

adanya@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% aktivitas pertukaran

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%nilai uang yang secara objektif

Page 16: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

menimbulkan keterasingan hidup (alienasi). Proses ini kemudian disebut

komodifikasi. Dalam bukunya Communist Manifesto, Karl Marx mendefinisikan

komodifikasi@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% sebagai “Callous

Cash Payment”, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%yakni

“pembayaran tunai yang tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum

kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-

nilai@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% personal menjadi nilai

tukar. @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% Sehingga segala sesuatu

tidak@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% akan bernilai jika tidak

mempunyai nilai tukar. Hal @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%ini

lalu dipandang oleh @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Lukas

terkait erat dengan proses reifikasi, yaitu proses merosotnya dimensi

manusia@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% yang utuh menjadi

semacam benda: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku bagi

dirinya sendiri, karena lenyapnya kreativitas. Proses ini akhirnya berujung pada

fetisisme komoditas, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% yaitu

“pemberhalaan” hidup manusia pada barang-barang, juga termasuk figur-figur

(selebritis) hasil industrial. Dengan fenomena ini, jati

diri@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% masyarakat menjadi

terfragmentasi ke dalam sistem sosial yang dibingkai oleh kepentingan ekonomis.

(Mudji Sutrisno. 2005:28)

Dengan @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%demikian,

perkembangan masyarakat modern seolah meniscayahkan adanya keterlibatan

Page 17: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

dalam jebakan dunia tontonan,

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% pernyataan ini sekaligus

mempertegas apa yang dikemukan Guy Debord bahwa spectacle hadir bersamaan

dengan@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%perkembangan masyarakat,

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%karena spectacle merupakan

bagian dari masyarakat, yang kelihatanya saling menyatu namun sebenarnya

terpisah dari@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% realitas autentik.

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Sehingga yang nampak adalah

imajinasi yang tersusun rapi dalam kesadaran semu masyarakat (Debord,2002: 3)

Lebih lanjut, bagi Guy Debord, masyarakat modern merupakan akumulasi

tontonan yang tak terhingga. “Apa yang pada awalnya dihidupi telah menjadi

representasi semata.” @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%

(Debord, 2002:1). Otentisitas kehidupan sosial telah mengalami degradasi dari

Being @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%menjadi Having,

selanjutnya@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% menjadi

Appearing. Totalitas dari ketiga aspek ini

@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%diperhitungkan dengan alat

tukar, yaitu uang.

G. METODE PENELITIAN

Page 18: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif sebagai penelitian

yang menghasilkan data dengan tujuan untuk memecahkan masalah dengan

menggambarkan subjek ataupun objek penelitian.

Metodologi kulitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang

dapat diamati. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, pendekatan ini

diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal

ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau

hipotesis, tetapi perlu memandannya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

(Moleong, 2005:4)

Deskriptif kulitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa kata- kata

(bukan angka-angka, yang berasal dari wawancara, catatan laporan, dokumen dan

lain-lain) atau penelitian yang di dalamnya mengutamakan untuk pendeskripsian

secara analisis suatu peristiwa atau proses sebagaimana adanya dalam lingkungan

alami untuk memperoleh makna yang mendalam dari hakekat proses tersebut.

(Moleong, 2005:11)

1. Lokasi Penelitian

Untuk lebih mudah maka penelitian dilakukan di tempat JKT48

JOGJA FC berkumpul, mereka biasa berkumpul pada hari sabtu sore

disekitaran GSP UGM. Tidak menutup kemungkinan penelitian juga

dilakukan pada event atau kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh JKT48

JOGJA FC.

Page 19: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

2. Informan Penelitian

Kumpulan objek penelitian yang akan memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian, yaitu beberapa

pengurus dan anggota dari fanbase JKT48 JOGJA FC.

3. Cara Pengumpulan Data

a. Wawancara Informan

Wawancara adalah hal yang sangat penting dalam

mengumpulkan data. Wawancara bertujuan untuk menemukan sesuatu

yang tidak dapat dipantau seperti perasaan, pikiran, keinginan, alasan,

dan sebagainya. Cara pengumpulan data ini menggunakan teknik

wawancara mendalam (indepth interview) dan terbuka. Data yang

diperoleh terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang

pengalaman,pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Pada penelitian

ini, jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara

informal. Dimana dilakukan secara santai selayaknya obrolan antara

penanya dan penjawab kepada sesama teman.

b. Observasi Langsung

Data yang didapat melalui observasi langsung terdiri dari

pemberian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta

juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses

penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat

Page 20: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

diamati. Pada tahap ini, observasi peneliti termasuk dalam tipe

observe-as-participant. Dimana peneliti dengan terang-terangan

menyatakan sebagai observer yang diketahui hampir oleh semua

anggota kelompok. Peneliti melakukan pembicaraan, bergaul seperti

layaknya anggota kelompok, tetapi ia dalam hal ini diketahui sebagai

peneliti oleh anggota kelompok.

c. Telaah terhadap dokumen tertulis

Data yang diperoleh dari metode ini berupa cuplikan, kutipan,

atau pengglan-penggalan dari catatan-catatan organisasi, kelompok,

komunitas ; terbitan dan laporan resmi ; majalah, koran, dan video

documenter.

4. Teknik Analisa Data Deskriptif analitis

a. Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan dinterpretasikan. Analisis terdiri dari

tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu :

b. Reduksi data: Proses pemilihan, pemusatan perhatian,

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”

yang muncul dari catata-catatan tertulis lapangan.

c. Penyajian data : sekumpulan informasi tersusun yang member

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

Page 21: BAB I A. LATAR BELAKANG - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76292/potongan/S1-2014...budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap

tindakan. Pada data kualitatif, data disajikan dalam bentuk teks

naratif.

d. Penarikan kesimpulan/naratif : Proses mencari arti benda-benda,

mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-

konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi.