bab i bencana

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Indonesia berada di atas kerak bumi yang aktif dimana ada lima patahan lempeng bumi yang bertemu, bertumbukan dan mengakibatkan pergerakan bumi Indonesia dinamis (Sunarti, 2009). Indonesia sering disebut sebagai negara dengan laboratorium bencana, sebab frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus, belum lagi bencana yang secara lebih langsung disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti lumpur lapindo. Menurut International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) bencana adalah Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (PNPM, 2008). 1

Upload: madeputra

Post on 15-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

bencana

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSecara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Indonesia berada di atas kerak bumi yang aktif dimana ada lima patahan lempeng bumi yang bertemu, bertumbukan dan mengakibatkan pergerakan bumi Indonesia dinamis (Sunarti, 2009). Indonesia sering disebut sebagai negara dengan laboratorium bencana, sebab frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus, belum lagi bencana yang secara lebih langsung disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti lumpur lapindo. Menurut International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) bencana adalah Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (PNPM, 2008).Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam (BNPB, 2008). Frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus. Yasuhiro Otomo (2013) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk bencana yaitu: bencana yang diakibatkan oleh alam, bencana oleh manusia dan complex humanitarian emergency (CHE). Bencana meninggalkan dampak bagi korbannya baik dari segi fisik, psikologis, sosial , spiritual dan material serta ekonomi (Ilyas,2008).Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Selain itu pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana (BNPB, 2010).Manajemen bencana menurut Hendro Wartatmo (2011) merupakan keseluruhan dari semua tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kerusakan yang akan terjadi terkait dengan bahaya dan untuk meminimalkan kerusakan setelah suatu peristiwa bencana terjadi atau telah terjadi dan untuk pemulihan langsung dari kerusakan. Manajemen bencana terdiri dari beberapa langkah diantaranya mitigation, preparadness, response dan recovery (Joshi, 2007). Pada tahap recovery, terjadi proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Tahap recovery terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari fisik, psikologis dan komunitas (PNPM, 2008). Perawat sebagai bagian dari tim tanggap darurat mempunyai peran yang penting dalam penanganan bencana mulai dari setelah terjadi bencana sampai dengan fase rehabilitasi/recovery post bencana, perawat juga dituntut untuk mampu berkolaborasi dengan anggota tim tanggap darurat bencana yang lain dan masyarakat agar mampu dihasilkan penanganan bencana yang tepat. (Magnaye et al, 2011). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai rehabilitasi post disaster baik secara fisik, psikologi dan komunitas bencana di Indonesia.B. Tujuan1. Tujuan UmumTujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui apa dampak psikologis pasca bencana dan bagaimana rehabilitasi post disaster baik secara fisik, psikologis, dan komunitas pada bencana di Indonesia.2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui apa itu bencanab. Untuk mengetahui tahapan manajemen bencanac. Untuk mengetahui dampak psikologis pasca bencanad. Untuk mengetahui rehabilitasi post disastere. Untuk mengetahui peran perawat dalam rehabilitasi post disasterC. Metode PenulisanMetode penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur dan jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan rehabilitasi post disaster.

BAB IIPEMBAHASAN

A. BencanaBencana adalah suatu peristiwa dimana kondisi normal dari suatu komunitas mengalami gangguan baik dari faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengalami kegawatan yang mengakibatkan terjadinya dampak yang melebihi kemampuan komunitas untuk melakukan penanganan secara mandiri dengan efektif baik dari segi fisik, kerugian harta benda dan psikologis (National Academy of Science, 2007; WHO, 2011). Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

B. Tahapan Manajemen BencanaTahap-tahap dalam manajemen bencana menurut Joshi (2007) adalah :1. Mitigation (Pencegahan)Untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, maka diperlukan Mitigasi, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, misalnya:Pendidikan kebencanaan; gladi lapangan: penyiapan lokasi evakuasi, simulasi evakuasi, pertolongan korban; pemasangan rambu evakuasi; sosialisasi melalui berbagai media; menggali kearifan lokal.

2. Preparedness (Kesiapsiagaan)Kesiapsiagaan dalam menghadapi terjadinya bencana meliputi:a. Perencanaan: pemetaan kapasitas (jumlah jiwa, aktivitas perseorangan, tingkat kerentanan), perhitungan potensi dan tingkat bahaya, orientasi medan (jalur evakuasi dan pertolongan, titik koordinasi, pencatatan kotak darurat, dan koordinasi lingkungan.b. Persiapan: fisik (kesehatan, kebutuhan dasar, dan peralatan darurat), diskusi & simulasi (pra-saat-pasca).3. ResponseAdalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. Anak-anak, manula dan orang sakit/cacat merupakan prioritas penyelamatan.4. RecoveryAdalah proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula.Upaya yang dilakukan adalah memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll)

C. Dampak Psikologis Pasca BencanaDampak psikologis yang dapat terjadi pasca bencana yaitu gangguan stres pasca trauma. 1. Pengertian Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan kapasitas menghadapi catastrophic stress.

2. Gejala Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri sendiri dan orang lain.2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat (pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau memprovokasi). b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi, halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi : 1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang terkait dengan peristiwa traumatis.3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.d. Gejala gangguan kehidupanAdalah gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau bidang penting lainnya. Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :1) Kriteria A : TraumaMeliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan rasa tidak berdaya.2) Kriteria B: re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulangMeliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi. Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika teringat trauma tsb.3) Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosiMeliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi, kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.4) Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsangMeliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

3. DampakWilson (Schiraldi, 2000) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri. Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik . Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.Pernyataan di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Sara (2005) bahwa GSPT ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan social. Gejala gangguan fisik memiliki ciri pusing, gangguan pencernaan, sesak napas, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, impotensi, dan sejenisnya. Gangguan kognitif ditandai oleh gangguan pikiran seperti disorientasi, mengingkari kenyataan, linglung, melamun berkepanjangan, lupa, terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan, tidak focus dan tidak konsentrasi, tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana, tidak mampu mengambil keputusan. Pada kasus yang lebih berat mulai disertai halusinasi.Gangguana emosi ditandai dengan gejala tertekan, depresi, mimpi buruk, marah, merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut, kecemasan dan ketakutan, menarik diri, tidak menaruh minat pada lingkungan, dan tidak mau diajak bicara. Singkatnya, hidup dihayati sebagai kehampaan dan tidak bermakna. Gangguan perilaku, ditandai menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Misal, duduk berjam-jam dan perilaku repetif (berulang-ulang). Sementara gangguan sosial, yakni memisahkan diri dari lingkungan, menyepi, agresif, prasangka, konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

D. Rehabilitasi Post DisasterRehabilitasi merupakan bagian dari tahapan recovery dalam manajemen bencana. Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (BNPB, 2010).Pasal 1 dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 meyebutkan rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (BNPB, 2010).Peraturan tersebut juga menyebutkan instansi yang terkait yang berperan yang saling berkordinasi dalam penanggulangan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekontruksi bencana yaitu lembaga BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. Tujuan dari proses rehabilitasi dan rekontruksi untuk membangun kesepahaman dan komitmen semua pihak dan menyelaraskan seluruh kegiatan perencanaan pascabencana yang disusun oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang terkena bencana. Rencana rehabilitasi dan rekontruksi, terdapat dalam substansi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RENAKSI) yang disusun dalam kelompok meliputi aspek aspek seperti yang terdapat pada pasal 3 ayat (3) dalam peraturan tersebut yang meliputi pembangunan manusia, perumahan dan permukiman, infrastruktur, perekonomian, sosial dan lintas sektor. Pendanaan untuk proses rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana berasal dari APBD Kabupaten/Kota untuk bencana skala Kabupaten/Kota, APBD Provinsi untuk bencana skala Provinsi dan APBN untuk bencana skala Nasional (BNPB, 2010).1. Rehabilitasi Post Disaster di IndonesiaPerencanaan rehabilitasi dapat dilakukan kepada perumahan, pemukiman penduduk. Status kesehatan fisik dan psikis korban juga harus diperhatikan selama fase recovery pasca bencana (Sunarti, 2009). Pembangunan yang baik haruslah bertahap serta terintegrasi. Kesuksesan tidak hanya disebabkan formulasi kebijakan yang tepat, tetapi juga disebabkan karena perencanaan yang baik dan matang. Perencanaan yang baik akan menghasilkan pembangunan yang optimal (Soesilowaty, 2010).Dalam perencanaan pembangunan dan pemulihan dukungan dari LSM, Pemerintah, dan Palang Merah Indonesia (PMI) sangat dibutuhkan untuk tahap pemulihan post bencana (PNPM, 2008). Peraturan tentang Rehabilitasi dan Rekontruksi post disaster di Indonesia telah tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Dalam peraturan tersebut telah disebutkan sasaran substansi rehabilitasi dan rekontruksi meliputi aspek kemanusiaan (sosial psikologis, pelayanan kesehatan) aspek perumahan dan pemukiman, infrastruktur bangunan, ekonomi, sosial dan lintas sektoral (BNPB, 2010).Menurut Rajib (2003), waktu yang diperlukan untuk rescue selama tujuh hari, releif selama tiga bulan, dan rehabilitasi selama lima tahun. Menurut Ishii (2013), waktu yang diperlukan untuk tahap rehabilitasi (sub akut) selama dua tahun. Di Indonesia pelaksanaan rehabilitasi sudah dilakukan, tapi masih banyak di fokuskan kepada rehabilitasi infrastruktur, ini terlihat saat terjadinya bencana Tsunami tahun 2004 didaerah Aceh dan Nias telah diupayakan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana oleh masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah (pusat), pemerintah dari berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional untuk membangun kembali Aceh dan Nias yang telah hancur yang lebih mengarah kepada memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur serta prasarana dan sarana perekonomian (Bappenas, 2008). Tidak hanya di Aceh dan Nias, Pemerintah telah melakukan fase pemulihan atau rehabilitasi saat terjadi gempa bumi tahun 2009 di Padang, Padang Pariaman dan Mentawai. BNPB bersama Bappenas telah menyusun Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi pascabencana serta Percepatan Pembangunan di Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, dan itu semua lebih ke infrastruktur (BNPB, 2010).Rehabiltasi fisik post disaster tidak hanya pada infrastruktur, tapi juga kesehatan fisik korban. Ishii (2013) menyebutkan pada tahap sub akut disaster, rehabilitasi kesehatan fisik pada korban bencana lebih di fokuskan kepada peningkatan penyembuhan pada korban bencana seperti perawatan luka setelah terjadi bencana, oksigenasi korban bencana, dan pencegahan untuk tidak terjadi komplikasi seperti komplikasi pada penyakit paru, oral care, postural drainage bedsore, pencegahan tidak terjadi kontraktur pada korban bencana seperti ROM training dan rehabilitasi dini. Selain itu Kumiko II (2013) juga menyebutkan, seorang perawat rehabilitasi adalah perawat yang mempunyai keahlian atau kemampuan standar disaster melalui pelatihan-pelatihan dalam manangani korban baik secara fisik dan mental. Di Indonesia, standar keahlian dalam manangani disaster belum dimiliki oleh perawat di Indonesia. Dalam penangananan pemulihan kesehatan fisik perawat bisa melakukan home care untuk pemulihan kesehatan post disaster seperti perawatan luka, mendirikan pos kesehatan untuk korban bencana seperti yang dilakukan oleh perawat di puskesmas bersama PMI ketika terjadi bencana di Jawa Tengah. Mereka, mendirikan pos pertolongan pertama untuk korban bencana serta merujuk korban dengan trauma fisik kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan (LITBANG Jawa Tengah, (2008).Selain dari segi fisik, bencana juga meninggalkan trauma psikologis terhadap korban bencana. Rehabilitasi psikologis lebih di fokuskan kepada penanganan rasa trauma psikologis yang dialami oleh korban bencana. Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan jika tidak diobati bisa memperburuk gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Budiarto, 2010). Menurut Cut Husna (2010), perawat harus menyiapkan keahlian dalam penanganan kejadian disaster salah satunya dalam penanganan mental health atau PTSD. Nozumo (2013) menjelasakan Evidence Based Treatment untuk PTSD yaitu Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT), Exposure-based therapy, Cognitive therapy, dan Pengobatan.Budiarto menyebutkan dalam penelitiannya (2010), didapatkan sebanyak 83% respondenya mengalami trauma pasca bencana tsunami di Aceh. Dalam penelitian juga disebutkan perawat melakukan intervensi psikososial untuk mengatasi trauma pasca bencana pada anak-anak dan remaja. Intervensi psikososial dapat berupa pemberian terapi seni atau drama, sehingga gejala PTSD dapat segera teratasi untuk pemulihan rehabilitasi di Aceh. Perawat juga bisa melakukan pemulihan kesehatan mental melalui sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehingga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala. Budiarto (2010) juga menyebutkan pemulihan PTSD pada korban bencana memerlukan waktu delapan tahun lebih bagi mereka yang mengalami stress pasca bencana tsunami. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bryant (2006), manajemen kesehatan mental yang efektif meliputi identifikasi awal dari orang yang beresiko tinggi mengembangkan gangguan kejiwaan ketika mereka mengalami reaksi stres sementara pasca bencana dan intervensi pengobatan yang tepat mungkin menjadi kunci positif keberhasilan jangka panjangSelain itu, rehabilitasi dari segi komunitas perawat bisa melakukan kerja sama dengan lintas sektoral dalam berbagai bidang ilmu untuk memulihkan kembali keadaan korban bencana. Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung-katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki, sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat (PNPM, 2008). Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang miliki seperti yang telah dilakukan di Aceh dan Nias pasca bencana Tsunami (Sosesilowati, 2010).Partisipasi warga masyarakat dalam rehabilitasi dan rekontruksi akan mempengaruhi keberhasilan dalam program rehabilitasi dan rekontruksi seperti rehabilitasi daerah Nias yang melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait dalam rehabilitasi dan rekontruksi daerah (Muktiali, 2008). Penanggulangan bencana berbasis komunitas merupakan suatu upaya untuk mengkolaborasikan penanggulangan bencana sebagai upaya bersama antara masyarakat, LSM, swasta dan Pemerintahpada saat pra bencana, bencana dan pasca bencana (PNPM, 2008).2. Instansi yang Bertanggung Jawab dan TerlibatDalam tahap rehabilitasi dan rekontruksi banyak instansi yang terlibat dan bertanggung jawab dalam tahap pemulihan ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Lembaga penanggungjawab pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi adalah BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. BNPB dan BPBD adalah lembaga fungsional/struktural yang ada di dalam struktur BNPB dan atau BPBD Provinsi/Kab/Kota yang sesuai dengan tugas pokok fungsi dan kewenangannya. Apabila dipandang perlu dapat dibentuk lembaga koordinatif yang bersifat adhoc atau bersifat sementara yang fungsinya membantu BNPB/BPBD dan ditetapkan dengan keputusan Kepala BNPB dan atau Kepala BPBD atas nama Presiden dan atau Gubernur/ Bupati/Walikota untuk jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun (BNPB, 2010).3. Solusi Rehabilitasi Post Disaster di Indonesiaa. Merencanakan penanggulangan berbasis komunitas yang melaibatkan masyarakat dalam tahap pra bencan, bencana dan pasca bencana.b. Lebih tanggap lagi pada tahap rehabilitasi dan perawat lebih meningkatkan lagi ilmu dan skil yang dimilkinya dalam manangani korban pada tahap rehabilitasi baik dari segi kesehatan fisik dan psikologis dan mengikuti pelatihan untuk menangani masalah disaster.c. Pemerintah lebih memperhatikan lagi rehabilitasi fisik yang dialami korban bencana tidak hanya pada infrastruktur tapi juga pada kesehatan fisik korban bencana.d. Memasukan mata kuliah disaster kedalam kurikulum pembelajaran mengingat daerah di Indonesia rawan terhadap terjadi bencana dan khususnya pada daerah yang beresiko terjadinya bencana.

E. Peran PerawatPeran perawat daalam bencana menurut Ishii (2013) yang disampaikan dalam materi distance learning adalah :1. Menetapkan kebutuhan pelayanan kesehatan2. Menentukan besarnya bencana3. Menentukan tujuan dan prioritas tindakan4. Mengidentifikasi masalah aktual dan potensial dalam masalah kesehatan masyarakat5. Menentukan sumber daya yang dibutuhkan sebagai respon identifikasi kebutuhan6. Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain, pemerintah dan non instansi lain yang terkait7. Mempertahankan alur komando penanganan8. KomunikasiBencana banyak meninggalkan dampak bagi korban bencana, baik dari segi fisik, psikologis, ekonomi dan material. Bencana alam yang terjadi akan memakan korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka-luka, kerusakan fasilitas pribadi dan umum, serta pengungsi yang umumnya rentan akan penyakit. Korban membutuhkan pertolongan dari segi kesehatan. Banyak penyakit yang seringkali diserita pengungsi antara lain diare, ISPA, campak, dan malaria.WHO mengindentifikasi empat penyakit itu sebagai The Big Four. Kejadian penyakit ini sering kali muncul sesuai dengan karakteristik bencana (Feri dan Makhfudli, 2009).Peran perawat pada pasca bencana menurut Feri dan Makhfudli (2009) adalah perawat berkerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan bantuan kesehatan kepada korban seperti pemeriksaan fisik, wound care secara menyeluruh dan merata pada daerah terjadi bencana. Saat terjadi stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga kriteria utama yaitu trauma pasti dapat dikenali, individu mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya dan individu akan menunjukkan gangguan fisik, perawat dapat berperan sebagai konseling. Tidak hanya itu perawat bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah kesehatan masyarakat pasca-gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan menuju keadaan sehat dan aman. Selain itu Perawat dapat melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang dimilikinya.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan1. Kebijakan tentang peraturan pemerintah tentang penanggulangan bencana tahap rehabilitasi terdapat dalam Peraturan tentang Rehabilitasi dan Rekontruksi post disaster di Indonesia telah tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana2. Dampak psikologis yang dapat terjadi pasca bencana yaitu gangguan stres pasca trauma. 3. Rehabilitasi post disaster di Indonesia sudah berjalan tapi belum maksimal, masih butuh untuk ditingkatkan terutama dalam peran perawat dalam hal skill dan pengetahuan dalam penanganan bencana tahap rehabilitasi.4. Intansi yang bertanggaung jawab dalam rehabilitasi post disaster adalah BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah5. Solusi dalam proses rehabilitasi post disaster di Indonesia salah satunya merencanakan penanggulangan rehabilitasi berbasis komunitas.

B. Saran1. Bagi PemerintahDiharapkan pemerintah lebih meningkatkan tahap rehabilitasi terhadap korban bencana tidak hanya dari segi infra struktur tapi juga dari kesehatan fisik dan psikologis korban bencana

2. Bagi PerawatDiharapkan perawat lebih dapat meningkatkan perannya dan skill serta pengetahuan dalam tahap rehabilitasi bencana bagi korban bencana dari segi kesehatan fisik dan psikologis3. Bagi MasyarakatDiharapkan masyarakat lebih berperan akitif dan tanggap terhadap bencana baik saat pra bencana, bencana dan pasca bencana

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa BUMI dan Tsunami di Kepulauan Mentawai Bidang pemulihan perumahan dan permukimanBadan Nasional Penanggulangan Bencana. (BNPB). (2008). Tsunami.BAPPENAS. (2008). Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatra Utara, serta daerah pasca bencana lainnya. Diakses dari http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6223/ tanggal 27 Maret 2013Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah (2008). Penelitian post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma bencana) di Jawa TengahBryant, Richard. A. (2006). Recovery after the tsunami: timeline for rehabilitation. J Clin Psychiatry 2006:67(suppl 2):50-55.Budiarto, Eko Kusumo. (2010). Kesehatan Mental di Aceh Pasca Tsunami. Jurnal Sosiologi Dilema. ISSN; 0215-9635, Vol 21 No. 2 Tahun 2009Cut Husna. (2010). Clinical Skills for Tsunami Care and Its Relating Factors Perceived by Nurses in Indonesia. The 2nd International Conference on Humanities and Social Sciences April 10th, 2010 Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkla University Health Development_008Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehtan Komunitas: Teori dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba MedikaHasanuddin (2004). Gangguan Jiwa Setelah Bencana Tsunami.Harian Media Indonesia.Senin.10 Januari 2005.Hendro. Wartatmo.(2011). Seminar Strategi Untuk Menyusun Hospital Disaster Plan (HDP). Di akses dari http://www.bencana-kesehatan.net tanggal 1 April 2013Ilyas Tommy. (2008). Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah Perkotaan. Seminar Bidang Kerekayasaan Fakultas Teknik-Unsrat.Joshi, Madhavi., Ravindranath, Shailaja., Jain, Gopal Kumar & Nazareth, Keren. (2007). Understanding disasters. Internship Series, Volume-III. ISBN: 978-81-89587-24-6.Kumiko. Activities of Japanese Nursing Association in The Great east Japan Earthquake. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.Ishii. Mieko. (2013). Disaster Nursing 2. Institute for Graduate Nurses, Japanese Nursing Association Senior Lecturer in Emergency Nursing at the Department of Courses for Certified Nurses. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.Magnaye, Bella., Ma. Muoz., Steffi Lindsay M., Muoz, Mary Ann F., Muoz, Rhogen Gilbert V & Muro, Jan Heather M. (2011). The role, preparedness and management of nurses during disasters. E-International Scientific Research Journal, Volume III, Issue- 4, ISSN 2094-1749.Muktiali, Muhammad. (2008). Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana: Studi Kasus Nias Selatan Sumatera Utara. Disampaikan pada seminar nasional tentang kebelanjutan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. YogyakartaNational Academy of Science. (2007). Successful response starts with a map: improving geospatial support for disaster management. Washington: NAP.Nozomu Asukai, M.D., Ph.D . (2013). Disaster Mental Health and Psychological Support for Survivors. Tokyo Metropolitan Institute of Medical Science. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.Otomo. Yosuhiro. (2013). Department of Acute Critical Care an Disaster Medicine. Unpublish; Materi distance learning tanggal 18 Maret 2013.PNPM Mandiri (2008). Modul Khusus Fasilitator : Penanganan Pengelolaan Bencana. Direktorat Jenderal Cipta Karya. Departemen Pekerjaan UmumRajib. Shaw. (2003). Rehabilitation/Reconstruction. Post-Disaster Reconstruction and Recovery: Issues and Best Practices. Diakses dari http://www.adrc.asia tanggal 27 Maret 2013Sara.(2005).Mengenaldari DekatTrauma Center. http://www.Kompascybermedia.com, Rabu, 21 Pebruari 2005. Tersedia.Schiraldi, Glenn R (2000), The Post Traumatic Stress Disorder, Sourcebook, Guide to Healing, Recovery and Growth. Boston : Lowell House.Tan, Suelyn, (2005), Rencana Jangka Panjang Untuk KomunitasSunarti Euis (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned 2006-2007). Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.Soesilowati, Ety. ( 2010). Implementasi Integrasi Sektoral Program Kebijakan Rehabilitasi Aceh Singkil Pasca Bencana. Diakses dari http://ep.unnes.ac.id tanggal 31 Maret 2013WHO. 2011. Disaster. Diakses dari http://www.who.int/topics/disasters/en/. Diakses tanggal 30 Maret 2013.Widyansyah. 2011. Tentang Lingkungan Dan Bermacam Bencana Di Sekitar Kita. Diakses dari http://bencanakita.wordpress.com/2011/06/01/siklus-tanggap-bencana/

18