bab i - e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.ide-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4000/3/a... ·...
TRANSCRIPT
1
2
3
4
5
6
7
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbincangan tentang ketaatan istri terhadap suami akan selalu
menjadi issu yang menarik terutama bagi para kyai pada saat memberikan
ceramah pada acara walimatul ‟ursy khususnya bagi masyarakat yang masih
mempertahankan budaya Islam di Jawa ini. Mengingat pada masa modern ini
sudah banyak masyarakat yang mengambil bentuk walimah dengan mengacu
budaya Barat (standing party). Pada acara ini para kyai selalu menerangkan
berbagai bentuk ketaatan istri terhadap suami dengan mengambil berbagai
dalil baik dari al Qur‟an maupun dari al Hadits Nabi Muhammad SAW. Selain
berdalil naqli para kyai juga sarat akan pengetahuan budaya Jawa terutama
tentang posisi perempuan ketika sudah menikah.
Masyarakat Jawa menganggap bahwa istri itu memiliki tugas tiga M
(macak, manak dan masak). Dengan mengacu pada pemahaman budaya Jawa
tentang posisi perempuan setelah menikah yang diletakkan pada posisi sub
ordinat tersebut, maka perempuan (istri) akan selalu terbelenggu dan
terkekang. Sehingga perempuan akan sulit menemukan jati dirinya dan tidak
berani mengembangkan bakat yang ada dalam dirinya.
Tidak hanya tiga M, dalam budaya jawa, banyak istilah yang
mendudukan posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Dan istilah-
istilah itu sudah tertanam dalam masyarakat sehingga, diterima dan dimaklumi
begitu saja. Seperti contoh dalam istilah budaya jawa ada yang menyebutkan
bahwa istri sebagai kanca wingking (teman belakang) sebagai temen dalam
mengelolah urusan rumah tangga, kususnya urusan anak, memasak, mencuci
dan lain-lain. Istilah lain pun yang ditujukan kepada perempua suargo nunut
neroko katut , istilah ini juga diperuntutkan bagi para istri, bahwa suami
adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka.
9
Citra, peran dan status bagi wanita telah diciptakan oleh budaya.
Citra bagi seorang wanita yang diidealkan oleh budaya jawa yaitu lemah
lembut, penurut, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan
harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami
orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, tidak membantah dan
tidak boleh melebihi laki-laki sebagai tanda penghormatan, daya tahan untuk
menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas
tinggi. Istri di Jawa selama ini juga selalu mengerjakan tugas memasak,
mendidik anak-anak, membersihkan rumah, dan melayani suami sebagai
kerjaan istri. Istri yang tidak mau melakukan salah satu kerjaan tersebut
dianggap istri yang tidak berkompeten dan tidak layak dianggap sebagai istri
yang ideal. Suamipun terkadang tidak mau menerima kekurangan istri tersebut
sehingga sering memarahi, menyindir bahkan sampai memukul karena tidak
puas dengan pekerjaan istri di rumah. Tidak heranlah kalau kaum wanita
sekarang ini menganggap pekerjaan sebagai ibu rumah tungga adalah
pekerjaan rendahan karena memang banyak suami yang memperlakukan
istrinya seperti pembantu rumah tangga.
Sementara suami merasa sebaliknya berbuat layaknya raja yang
harus disiapkan segala kebutuhan sehari-harinya mulai bangun tidur hingga
tidur lagi. Suami merasa rendah ataupun hina jika melakukan pekerjaan
sebagaimana yang dilakukan oleh istrinya.
Budaya Jawa tersebut kini masih terus dilestarikan dengan mencoba
merelevansikan dengan dalil-dalil al Qur‟an dan juga hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW, sehingga sampai saat ini ketaatan seorang istri kepada
suami di Jawa tidak bisa berubah bahkan cenderung meningkat. Dalil yang
selalu dijadikan dasar masyarakat akan kesubordinasian perempuan ini adalah
QS: Al Nisa: 34 yang aritinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi
perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dan hartanya.”
10
Dengan berdasarkan ayat tersebut masyarakat Jawa sekarang lebih
mementingkan kehidupan yang religius dengan mengacu kepada dalil-dalil di
mana dalil-dalil tersebut mendukung budaya Jawa yang sudah terlanjur
mendarah daging di masyarakat Jawa. Fenomena ini membuat banyak laki-
laki yang berasal dari luar Jawa bahkan laki-laki manca negara berniat
meminang perempuan dari Jawa.
Berbagai dalil al Qur‟an maupun hadis nampaknya menjustifikasi
budaya Jawa tersebut, namun sejatinya ajaran-ajaran agama Islam khususnya
telah merubah situasi dan status perempuan. Sebagaimana diterangkan dalam
Al Qur‟an Surat Al Hujurat:13 yang menegaskan bahwa kedudukan laki-laki
dan perempuan sederajat dihadapan Allah dan yang membedakannya adalah
kataqwaan mereka. Huzaimah T. Yanggo menerangkan bahwa Islam tidak
hanya menganggapa sederajat, akan tetapi juga menerima pendapat dan usulan
dari perempuan. (Huzaimah:2001: 127) Kehidupan perempuan di masa Nabi
perlahan-lahan sudah mengarah kepada kehidupan yang berkeadilan jender.
Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi
ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia
Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris
(untuk tidak menyebut kultur misogyny). Begitu juga kondisi perempuan di
Indonesia dan khususnya dalam budaya Jawa.
Menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam bentuk penelitian
terhadap masyarakat khususnya tentang ketaatan istri terhadap suami di Jawa.
apakah ketaatan istri terhadap suami ini dilakukan atas dasar budaya Jawa
yang sudah ada ataukah karena ajaran-ajaran Islam yang telah disampaikan
oleh para guru, ustad ataupun kyai di mana mereka mendapatkan ilmu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cllifford Geertz
masyarakat di Jawa terdiri dari masyrakat santri, abangan dan priyayi.1 Oleh
1 Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang
mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan
golongan santri yang lebih ortodoks. (Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan
Abangan di Jawa. Jakarta: Inis) Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa
yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat
11
karena itu penelitian akan difokuskan pada dua wilayah yang memiliki
masyarakat dengan karakter santri dan abangan juga priyayi. Untuk
masyarakat santri penilitian ini akan kami lakukan di kelurahan Tingkir
sedangkan untuk abangan dan priyayi akan dilakukan di kelurahan
Kutowinangun.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk-bentuk ketaatan istri terhadap suami di kelurahan
Tingkir Lor dan kelurahan Kutowinangun.
2. Apakah ada perbedaan bentuk dan persepsi istri tentang kataatan istri
terhadap suami antara masyarakat Tingkir Lor dan Kutowinangun.
3. Apakah yang mempengaruhi persepsi sekaligus bentuk ketaatan istri
terhadap suami di Kelurahan Tingkir Lor dan Kelurahan Kutowinagun?
C. Pentingnya Penelitian
Signifikansi penelitian ini bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu
pertama, kepentingan pengembangan ilmu khusunya terkait dengan hukum
keluarga Islam di Indonesia dan yang kedua, kepentingan lembaga dalam hal
ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan
lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem
kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.
Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap
bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu
sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya
kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat
Islam di Mesir. (Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarkat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya) Berdasarkan cerita
masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an.[3]
Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih
adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu
memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak
menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau
abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang
berarti warna merah.
12
ini Institut Agama Islam Negeri Salatiga dalam rangkan merealisasikan visi
khususnya terkait dengan pusat pengembangan Islam Indonesia. Dengan
terjawabnya fokus penelitian di atas maka akan diketahui:
1. Pola ketaatan istri terhadap suami juga perbedaan ketaatan istri terhadap
suami dari masyarakat yang abangan, priyayi dan santri.
2. Ada dan tidak relevansi budaya dengan hukum Islam khususnya terkait
dengan kedudukan istri terhadap suami dalam hukum Islam yang kini
sudah menjadi hukum positif sebagaimana tercantun dalam UU No I
Tahun1974.
3. Mendapatkan pola atau bentuk Islam Indonesia khusunya terkait dengan
keilmuan hukum keluarga Islam di Indonesia.
D. Kerangka Teori
1. Istri dalam Budaya Jawa
Dalam konsep budaya Jawa terdapat beberapa istilah tentang
wanita, yaitu: wadon, pawèstri, putri, wanodya, retna, kusuma, memanis,
juwita, wanita, dan dayita. Masing-masing istilah ini mempunyai arti
tersendiri yang menunjukkan bahwa wanita dalam pandangan
masyarakat Jawa memiliki peran istimewa (Basuki, 2005:5 yang dikutip
oleh Sriyadi)
Menurut Christina, wanita selalu mempertahankan
keseimbangan batin dan berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan
sosial; dalam hal ini terkandung pula kepasrahan aktif yang total kepada
Tuhan. Di dalam kepasrahan inilah sesungguhnya rahasia ketahanan
perempuan Jawa untuk “menderita” yang begitu tinggi berada. Berkaitan
dengan ini maka “wanita” berasal dari kata “wani tapa” (berani bertapa),
yang berarti bahwa wanita berani menderita, seperti ia mengandung
sembilan bulan lamanya (Christina 2004: 210). Pengertian tersebut
berkaitan erat dengan peran wanita sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Dalam masyarakat Jawa terdapat slogan yang disebut ma telu, yaitu (1)
13
masak (memasak), (2) macak (berhias), dan (3) manak (memberi
keturunan).
Moch. Syarif Hidayatullah dalam makalah seminar
internasional menyampaikan tentang ketaatan istri terhadap suami dalam
Surat Centhini menunjukkan bagaimana bentuk ketaatan dan kepatuhan
seorang istri terhadap suami, agar terjaga kelestarian kehidupan rumah
tangganya. Hal ini dapat dilihat pada pupuh ke-81, bait ke-20 dan ke-21
berikut:
Mula binekten sireku, jejempol maring ing Hayang, den
kejempol ing tyas kinarseng kakung. Tegese pol den agampang,
sabarang karsaning laki. yang masksudnya: maka engkau dibekali
jempol, karena pol berarti gampang menuruti kehendak suami).
Mula ginawanan sira, ing panuduh aja kumawani, anikel
tuduhing kakung, sapakon lakonana, yang maksudnya: sarana panuduh
memberikan petunjuk agar engkau menuruti petunjuk atau perintah
suami. Kerjakan segala perintahnya.
(Sudewa dalam Budi Susanto, dkk; 2000: 40–41)Konsep
perempuan Jawa yang lain tertuang dalam Serat Candrarini, yang dapat
dirinci menjadi 9 butir: 1) Setia pada lelaki, 2) Rela dimadu, 3)
Mencintai sesama, 4) Trampil pada pekerjaan perempuan, 5) Pandai
berdandan dan merawat diri, 6) Sederhana, 7) Pandai melayani kehendak
laki-laki, 8) Menaruh perhatian pada mertua, 9) Gemar membaca buku-
buku yang berisi nasihat. (A.P Murniati dalam Budi Susanto, dkk; 2000:
24
Ada banyak kriteria ketataatan istri terhadap suami yang ada
dalam surat centhini juga Serat Candrarini yang nota bene menjadi
pedoman berkeluarga khususnya terkait dengan kehidupan berkeluarga
di Jawa. Kandungan ajaran yang ada di Serat Centhini ini jika
14
dibandingkan dengan persepsi sekaligus praktik-praktik yang ada dalam
kehidupan keluarga di Jawa sangatlah nampak pengaruhnya. Istri di
Jawa tidak berani melawan atau menolak keinginan suami. Realitas
seperti ini bisa dilihat banyaknya perempuan yang rela untuk tidak
mengaktualisasikan diri dan ilmunya ketika dilarang oleh suami-suami
mereka. Seperti misalnya pandangan Kanjeng Ratu Hemas yang
diungkap dalam Kedaulatan Rakyat menyiratkan bahwa kedudukkan
istri yang lebih tinggi harus berani berkorban demi suami (Murniati
dalam Susanto, dkk; 2000: 28 yang dikutip oleh Catur Bidiarti). Dari
pandangan itu tersirat bahwa kedudukkan perempuan tergantung pada
suami, harus tetap patuh dan taat pada perintah suami dan ini akan
diikuti oleh anak-anaknya, termasuk kedudukkan anak perempuan yang
tergantung pada ayah atau saudara laki-lakinya. Kaum perempuan di
Indonesia masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya yang masih melekat
dalam kehidupan, sehingga sulit untuk menemukan jati dirinya dan tidak
berani untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
2. Istri dalam Ajaran Islam
Allah SWT menciptakan makhluknya laki-laki dan perempuan
dengan posisi yang sama dan yang membedakan adalah ketqwaannya.
(QS: Al Hujurat: 13), namun pemahaman tentang kewanitaan selalu
menarik perhatian, bukan karena keanggunan dan kelemah lembutannya
yang menawan, tetapi karena perlakuan terhadap dirinya tidak
menempatkannya sebagai sesama ciptaan. Hampir disetiap panjang
sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan bangsa apapun, pada
tingkat kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai
insan kelas dua. Hal ini terjadi karena penafsiran dan pemahaman ajaran
agama tidak pernah lahir dari ”ruang yang kosong” kebudayaan.
Dimensi ”historis” meminjam istilah Amin Abdullah agama tidak bisa
lepas dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang
dan waktu. (Hamim Ilyas:2005: 4-5)
15
Sikap semacam ini agaknya didukung oleh beberapa
pernyataan hadis Rasulullah yang nampak meligitimasinya. Hadis-hadis
tersebut antara lain tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-
laki, kodrat perempuan yang kurang akal dan kurang agama,
penghambaan istri terhadap suami, intervensi malaikat dalam hubungan
seksual, istri dilarang meminta cerai pada suami. Selain hadis tersebut
masih banyak lagi hadis-hadis misoginis yang nampak memarginalkan
perempuan (istri).
Dalil-dalil tersebut selalu saja dibaca sekaligus diterangkan
oleh para kyi, ustadz dalam acara walamatul ‟ursy, sebagai bekal
khususnya istri dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Berdasarkan berbagai dalil ayat maupun hadis Nabi, ada
beberapa kewajiban istri terhadap suami sebagaimana diterangkan dalam
kitab Uqud al Lujjain yang dikutip oleh Amiur Nuruddin antara lain:
istri harus taat kepada suami, istri harus melaksakan kewajiban ketika
suami tidak ada di rumah, menjaga kehormatan, serta memelihara
rahasia dan harta suami sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Selain itu istri sebaiknya mengetahui kalau dirinya seperti
budak yang dinikahi tuannya dan dan tawaran yang lemah tak berdaya
dalam kekuasaan seseorang. Maka istri tidak boleh membelanjakan harta
suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama
istri tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri tanpa seizin suaminya.
Istri wajib merasa malu terhadap suami, harus menundukkan
muka dan pandangannya dihadapan suami, taat kepada suami ketika
diperintah apa saja selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri
ketika suami datang dan pergi, menampakkan cintanya terhadap
suaminya apabila suaminya mendekatinya, menampakkan kegembiraan
ketika suami melihatnya, menyenangkan suaminya ketika tidur,
mengenakan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan
berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal
suami. (Amiur:2004: 181-184)
16
Selanjuntnnya dalam hukum positif yakni UU No I Tahun 1974
pasal 30 sampai dengan pasal 34 yang menurut Sayuti Thalib dapat
diringkas menjadi lima prinsip: pertama, pergaulan hidup suami istri
yang baik dan tenteram dengan rasa cinta-mencintai santun menyantuni.
Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala
rumah tangga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai
ibu rumah tangga. Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami
istri wajib tinggal dalam satu kediaman tersebut. Keempat, belanja
kehidupan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan istri wajib
membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut. Kelima, istri
bertanggungjawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya
rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar,
wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. (Sayuthi Tahlib: 1982: 73-780)
Sedangkan konsep Islam tentang kebolehan seorang perempuan
atau istri aktif dalam ranah publik adalah apabila sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariat Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah:
a Bahwa wanita itu, atau masyarakat, memang membutuhkan
pekerjaan itu, di mana tidak ada laki-laki yang dapat menangani
pekerjaan tersebut.
b Hendaknya wanita melakukan pekerjaan itu setelah menunaikan
pekerjaannya di rumah, yang merupakan tugas utamanya.
c Hendaknya pekerjaan itu dilingkungan wanita: seperti mengajar
wanita, mengobati dan merawat wanita. dan hendaknya pekerjaan itu
terpisah dari kaum laki-laki.
d Dalam menuntut ilmu perempuan diperbolehkan dengan syarat
bahwa dalam majlis tersebut hanya terdiri dari para wanita dan
terpisah dari laki-laki. Wanita juga boleh ikut majlis-majlis ta‟lim.
(Shalih:2005:27-28)
E. Kajian Pustaka
Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis
meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antar budaya. Salah satu
17
masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa.
Corak patriarkhis ini sangat menonjol dalam kehidupan berkeluarga di Jawa.
Di mana seorang istri selalu saja diletakkan sebagai makhluk nomor dua, baik
dalam kehidupan domestik maupun kehidupan publik.
Fenomena ini selalu saja menarik untuk diperbincangkan dengan fokus
yang berbeda-beda. Karena tetap memiliki nilai-nilai ketertarikan tersendiri
bagi pemerhati gender, hukum perkawinan, sosiologi, baik untuk
mengapresiasi atau untuk mengkritiknya. Kajian terhadap tipologi ketaatan
istri terhadap suami tentu saja tidak dilepaskan dari nilai-nilai budaya
sekaligus norma yang berlaku di masyarakat Indonesia khususnya dalam
bingkai budaya Jawa. Keunikan kasus ini tidak saja terjadi di pedesaan yang
jauh dari hiruk pikuk kehidupan dan relatif tidak terpelajar namun juga di
perkotaan yang penuh dengan perkembangan peradaban dengan kepekaan
intelaktual yang tinggi.
Di antara kajian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan tema
ini antara lain dilakukan oleh Syaiful Wildan dengan judul Kedudukan dan
Peram Perempuan sebagai Istri dalam Masyarakat Kraton Yogyakarta
Hadinigrat (Studi Pertautan antara Hukum Adat dan Hukum Islam). Fokus
pembahasan dalam penelitian ini adalah tentang peran perempuan sebagai istri
di kraton dan sejauhmana relevansi antara hukum adat dan hukum Islam. Hasil
penelitian tersebut menggambarkan bahwa ada perubahan peran perempuan
sebagai istri yang awalnya diposisikan di bawah suami sekarang memiliki
posisi yang seimbang dengan suami dan memiliki peran tidak hanya dalam
ranah domestik akan tetapi juga ranah publik. Adapun yang mempengaruhi
perubahan tersebut adalah perkembangan keadaan dan kondisi masyarakat,
serta kesesuain perubahan tersebut dengan hukum Islam.
Atik Catur Budiarti dalam majalah Pamator Volume 3 Nomor 1 April
2010 juga membahas panjang lebar dengan judul Aktualisasi Diri Perempuan
dalam Sistem Budaya Jawa (Persepsi Perempuan terhadap Nilai-Nilai
Budaya Jawa dalam Mengaktualisasikan Diri). Penelitian yang dilakukan di
Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Kotamadya Surakarta ini
18
berhasil menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa
merupakan nilai-nilai budaya yang kurang mendukung posisi kesetaraan
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Nilai-nilai tersebut cenderung
memanjakan dan menikmatkan laki-laki dan menempatkan perempuan pada
posisi nomor dua di bawah kekuasaan laki-laki. Dengan adanya nilai-nilai
tersebut membuat perempuan merasa sulit berkembang sebagai pribadi dan
juga menemukan jati dirinya. Hal ini akhirnya membuat perempuan merasa
tidak berani dan tidak mampu untuk mengembangkan potensi yang selama ini
dimiliki. Tetapi dengan seiring perubahan jaman, menimbulkan keragaman
persepsi di antara kaum perempuan itu sendiri. Persepsi yang tradisional
masih menganggap bahwa sudah menjadi kodratnya perempuan itu tunduk
dan patuh pada laki-laki. Peran perempuan hanya sebatas pada wilayah
domestik yaitu melayani dan mengurus rumah tangga. Jika perempuan yang
harus terlibat dalam sektor ekonomi, hal itu hanya untuk membantu suami
karena gaji yang tidak mencukupi sehingga hanya alasan secara ekonomi.
Kajian yang bersifat artikel juga makalah-makalah sudah banyak juga
dilakukan oleh para pemerhati gender terutama kajian terhadap kesenjangan
perempuan dan laki-laki di Jawa, misalnya dilakukan oleh Sriyadi dengan
judul Nilai-nilai Kewanitaan dalam Budaya Jawa. Kajian ini menyimpulkan
bahwa Wanita sebagai ibu rumah tangga secara kejiwaan diidealkan memiliki
sifat mulia, yang berakar pada nilai gemi, nastiti, dan ngati-ati. Dalam budaya
Jawa istilah ini berkaitan erat dengan tata nilai kehidupan sehari-hari wanita
Jawa. Secara harfiah, gemi mengandung pengertian afektif rasa memiliki;
nastiti memiliki arti cermat dan teliti; dan ngati-ati berarti mempunyai sikap
hati-hati. Nastiti memiliki makna berhati-hati sekali. Sikap nastiti ini
berhubungan erat dengan penggunaan harta benda. Untuk mampu bersikap
nastiti, dituntut bersifat jujur, dapat dipercaya. Seorang wanita dalam hal
menggunakan harta benda keluarganya, dituntut bersikap hati-hati.
Pengeluaran uang hendaklah sesuai dengan „keputusan‟ keluarganya, sehingga
ia dapat memper-tanggungjawabkan ketika suami memintanya. Sebab, wanita
yang mempergunakan harta bendanya tanpa kontrol, akan melunturkan
19
ke¬percayaan suami dan kondisi ini akan berakibat menggoyahkan kondisi
rumah tangga.
Kedua penelitian di atas menggambarkan tentang karakter perempuan
dalam hal ini istri sebagai ibu rumah tangga yang harus dan tunduk
sepenuhnya terhadap suami tanpa direlevansikan dengan ajaran agama yang
mereka anut.
Namun ada juga tuisan-tulisan yang ansih membahas tentang
kewajiban istri terhadap suami berdasarakan dalil-dalil al Quran dan juga
hadis tanpa mengkritik atau membahasnya dengan mencoba merelevansikan
dengan kehidupan perempuan modern. Pembahasan seperti ini banyak
dilakukan oleh ulama-ulama klasik yang kemudian menuai kritik dari ulama
kontemporer. Juga oleh para aktifis gender di lingkungan perguruan tinggi
Islam.
Kajian kritis terhadap hadis-hadis yang nampak misoginis ini misalnya
dilakukan oleh para aktifis gender yang tergabung dalam buku berjudul
Perempuan Tertindas Kajian Hadis-Hadis ”Misoginis”. Dalam buku para
penulis mencoba meneliti hadis tidak hanya dari segi sanad tapi juga kesuaian
matan dengan situasi di mana hadis waktu itu disabdakan oleh Nabi dengan
situasi sekarang.
Dari berbagai hasil penelitian dan juga kajian-kajian tersebut di atas
belum ada yang membahas tentang ketaatan istri terhadap suami antara
budaya dan ajaran agama (Islam) dengan fokus kajian tentang pola perilaku
istri terhadap suami dalam kehidupan sehari-hari, baik istri yang hanya
sebagai ibu rumah tangga maupun istri yang memiliki peran publik, perbedaan
pola perilaku istri yang bukan santri dengan perilaku istri yang abangan dan
priyayi, serta dasar ketaatan para istri terhadap suami, hal ini untuk menjawab
apakah ketaatan istri terhadap suami ini lebih didorong oleh budaya Jawa yang
patriakhis atau ajaran agama Islam.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Fokus Penelitian
20
Jenis penelitian yang akan dilakukan ini termasuk penelitian
kualitatif, dengan menggunakan pendekatan sosiologis-empiris. Adapun
lokasi penelitiannya adalah dua kelurahan yang ada di kecamatan Tingkir,
yaitu Keluarahan Tingkir Lor dan Kelurahan Kutowinangun. Dua wilayah
ini memiliki tradisi masyarakat serta karakter yang berbeda. Kelurahan
Tingkir sangat kentak dengan trasidi keagamaan karena masyarakat
mayoritas santri, sedangkan kelurahan Kutowinagun memiliki tradisi yang
hiterogen. Selain letaknya yang dekat dengan pusat kota Salatiga, karakter
masyarakatnyapun bermacam-macam.
Dalam penelitian kualitatif, pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan research question atau fokus penelitian. Karena dalam
penelitian kualitatif gejala itu bersifat holistik atau menyeluruh dan tidak
dapat dipisahkan. makna yang terkandung didalamnya adalah kita tidak
akan menetapkan penelitian kita hanya berdasarkan pada variabel
penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang akan kita teliti yang
meliputi aspek tempat, pelaku, dan aktifitas yang berinteraksi secara
sinergis.
Pohan (2007:14) mengatakan bahwa membatasi penelitian
merupakan upaya pembatasan dimensi masalah atau gejala agar jelas
ruang lingkupnya dan batasan yang akan di teliti. dalam hasil hal ini kita
mengusahakan melakukan penyempitan dan penyederhanaan terhadap
sarana riset yang terlalu luas dan rumit. dan tidak berharap berada di hutan
belantara karena kan memboroskan tenaga dan biaya. Sebagai ilustrasi jika
fokus penelitian yaitu ketika kita ditengah hutan belantara kita sebagai
peneliti dan tidak mungkin kita meneliti semua isi hutan, mulai dari
hewan, tumbuhan dan apa yang ada dihutan. berapa waktu yang kita
butuhkan?berapa biaya yang akan kita gunakan?tentu tak terhitung..benar
gak?akan lebih baik kita buat fokus penelitian yaitu membuat batasan,
misalnya hanya meneliti tentang kayu jatinya. dalam penelitian kualitatif
lebih ditekankan pada fokus yang sempit tapi mendalam. artinya satu
21
persoalan yang dikaji lebih baik daripada semua masalah di hutan dikaji
tapi tidak mengarah.
Fokus juga bisa di artikan sebagai domian tunggal atau beberapa
domain yang terkait dengan situasi sosial. menurt Sugiyono (2007:34)
pembatasan masalah dan topik dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan
pada tingkat kepentingan, urgensi dan feasibility masalah yang akan
dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu. suatu
masalah di katakan penting apabila masalah tersebut tidak dipecahkan
melalui penelitian akan semakin menimbulkan masalah baru.
Adapun yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah perilaku
istri terhadap suami dalam kehidupan sehari-hari, baik istri yang hanya
sebagai ibu rumah tangga maupun istri yang memiliki peran publik.
Apakah ada perbedaan perilaku istri yang bukan santri dengan perilaku
istri yang santri. Apakah dasar ketaatan para istri terhadap suami, hal ini
untuk menjawab apakah ketaatan istri terhadap suami ini lebih didorong
oleh budaya Jawa yang patriakhis atau ajaran agama Islam.
Penentuan fokus penelitian ini bertujuan untuk memberikan arah
selama penelitian berlangsung. Utamanya pada saat pengumpulan data,
agar peneliti mampu membedakan antara data yang relevan dengan tujuan
penelitian. Namun fokus penelitian ini sangat memungkinkan berubah
pada saat berada di lapangan. (Bagong Suyanto: 2005: 170-171)
2. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data bisa dilakukan dengan observasi
(pengamatan), interview (wawancara), dan juga dokumentasi. Dalam
penelitian ini kami akan menggunakan wawancara sekaligus pengamatan
ataupun observasi dan juga dokumentasi. Wawancara akan dilakukan
kepada para istri baik yang hanya sebagai ibu rumah tangga atau istri yang
memiliki peran publik. Wawancara ini dilakukan dalam rangka menggali
data yang berupa lesan. Wawancara dalam penelitian akan dilakukan
dengan dua cara yakni tersetruktur dan tidak terstruktur.(Sugoyono: 2010:
138-139)
22
Sedangkan observasi atau pengamatan dilakukan dalam rangka
menggali data tentang gambaran umum tempat penelitian, serta pola
ketaatan istri terhadap suami dengan mengamati langsung pola perilaku
istri terhadap suami. Sedangkan dokumentasi dilakukan dalam rangka
memperoleh data tentang data-data yang berupa angka, mulai dari jumlah
penduduk, jumlah dan jenis pekerjaan, tingkat kesejahteraan, tingkat
pendidikan dan lain-lain. Agar penggunaan masing-masing metode ini
bisa sesuai dengan pedoman dalam penelitian kualitatif maka pendalama
teori tentang ketiga metode penggalian data tersebut menjadi sangat
penting.
3. Tehnik Analisi Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah selesai di lapangan.
Dalam hal ini Nasutin yang dikutip Sogiyono menyatakan ”analisis telah
mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke
lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.
Adapun model analisis data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah model analisis interaktif yang terdiri dari data reduction, yakni
dengan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-
hal yang penting dicari tema dan polanya.
Setelah data direduksi langkah selanjutnya adalah mendispaly data
dalam bentuk uraian singkat berupa uraian naratif. Langkah sekanjutnya
adalah conclusion drawing atau verification yaitu penarikan kesimpulan
dan verifikasi dalam rangke menjawab rumusan masalah. Jawaban dari
rumusan masalah ini merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada. (Sugiyono: 2010: 246-252)
23
BAB II
ISTRI DALAM ISLAM DAN BUDAYA JAWA
A. Konsep Istri Dalam Islam
1. Keluarga Dalam Islam
Islam mendorong untuk membentuk keluarga. Islam mengajak
manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti
gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan
keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.
Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuia dengan keinginan
Allah SWT bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah, Allah
SWT berfirman dalam Q.S. Ar Ra‟du: 38 yang artinya: Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.
Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran
kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena
sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga
sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya
tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang
kecil. Bahkan telah membutuhkan unsur-unsur kekuatan
memperhatikannya kepada tempat-tempat berkumpul, tolong menolong
dalam menanggung beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan
aturan keluarga. (Ali Yusuf:2010: 23-24)
24
Hal ini merupakan fitrah kehidupan dan penghidupan, manusia
dalam mengharap kemulian-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Ar-
Rum:30 yang artinya: (Tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah.
Laki-laki dan perempuan harus bisa bekerjasama dalam dalam
hidup agar rumah tangga yang dibangun bisa harmonis. Pengertian rumah
tangga di sini adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Kata
"keluarga" sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kula yang berarti
famili dan warga berarti anggota. Dengan demikian, keluarga adalah
anggota famili yang dalam hal ini terdiri dari bapak (suami), ibu (isteri)
dan anak.
Kehidupan berkeluarga dimulai sejak seorang laki-laki dan
seorang perempuan melaksanakan perkawinan. Perkawinan sah menurut
agama adalah apabila perkawinan itu dilaksanakan menurut syarat-syarat
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan agama. Keyakinan yang
demikian sangat bermakna unruk membangun sebuah keluarga yang
dilandasi oleh nilai-nilai moral agama, yaitu pasangan suami isteri tidak
memiliki beban kesalahan atau dosa untuk hidup bersama, bahkan
memperoleh berkah dan pahala.
Di samping dilaksanakan menurut tuntunan agama, perkawinan
juga diharapkan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku;, karena akan memperoleh kepastian dan perlindungan hukum
25
sebagai warga jika timbul masalah di kemudian hari. Perkawinan yang
dilaksanakan menurut kedua sudut pandang tersebut menyebabkan anak-
anak yang dilahirkan memperoleh kejelasan status siapa ayah dan ibu
mereka di hadapan hukum.
Dalam perspektif ajaran agama Islam, keluarga terbentuk melalui
pertemuan suami isteri yang permanen dan dalam waktu yang lama,
sehingga berlangsung proses reproduksi demi kelangsungan generasi.
Oleh karena itu, keluarga dalam Islam mengemban fungsi yang kompleks,
mengingat kehidupan keluarga tumbuh dan berkembang sangat dinamis.
Sementara dari dimensi sosial, perkawinan juga diterima bagian
dari kultur yang berkembang di tempat masyarakat hidup, sehingga
lembaga keluarga memperoleh pengakuan dan diterima sebagai bagian
dari masyarakat. Pengakuan itu dibuktikan dengan adanya perlindungan
untuk hidup berdampingan berdasarkan tata aturan dan norma yang
berlaku di masyarakat.
Pada kenyataannya, lembaga keluarga tidak hanya sekedar
tempat melangsungkan reproduksi, tetapi lebih dari itu ia memiliki fungsi
religius, rekreatif, edukatif, social, dan protektif.
Dari uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa perkawinan
adalah fondasi dasar pertama bagi sebuah bangunan rumah tangga. Di
dalam rumah tangga ada suatu keindahan, kebanggaan, dan pertumbuhan
yang menyenangkan serta kebersamaan. Oleh karena itu, dalam
membangun keluarga harus memperhatikan prinsip kesetaraan antara
26
suami isteri. Antara yang satu dengan yang lain saling mengisi dan
menghargai sehingga akan terwujud keluarga yang kondusif. Keluarga
yang kondusif adalah keluarga yang dibangun atas dasar prinsip perjanjian
yang teguh, karena ia merupakan amanat yang masing-masing pihak
terikat untuk menjalankannya sesuai dengan ajaran Allah Swt. Peran
antara suami isteri diatur menurut prinsip kesetaraan dan keseimbangan
untuk saling mengisi dan menghargai satu dengan yang lain. Dari keluarga
yang kondusif seperti ini memungkinkan untuk dapat melahirkan
keturunan yang cerdas dan taqwa sehingga anak-anak yang dilahirkan
mempunyai kesempatan untuk berkembang secara baik. Keluarga yang
demikian dalam konsep keluarga Islam disebut keluarga sakinah
(TM.Fuaduddin,1999 :5).
Islam menganjurkan umat manusia untuk mendirikan rumah
tangga atas dasar iman, Islam, dan Ihsan, yaitu sebuah keluarga yang
didasari atas rasa cinta, kasih dan sayang (TM.Fuaduddin :23). Keluarga
yang dilandasi oleh ketiga unsur tersebut diyakini akan mudah
menumbuhkan kerjasama yang baik antara suami isteri beserta
anggotanya.
Fuaduddin mengemukakan bahwa ciri utama keluarga sakinah
adalah: pertama, adanya cinta kasih yang permanen antara suami dan
isteri (QS.4. An-Nisa' : 21); kedua, adanya kesetiaan dalam kasih sayang
antara ayah, ibu dan anak; dan ketiga, terciptanya sistem pembagian kerja
27
yang adil antara suami dan isteri dengan melihat kebutuhan dan kenyataan
yang dihadapi (Abdul Hani Kisyik, 1996 : 120)
2. Hak dan Kewajiban Istri
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kehidupan
rumah tangga. Ada banyak ayat-ayat al Qur‟an ataupun hadis Nabi yang
membicarkan hal tersebut, yang kemudian ditafsirkan oleh para mufasir.
Adapun hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya
menurut syariat Islam hanya ada dua, yaitu: (1) kewajiban melayani suami
secara biologis dan (2) kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal
selain maksiat. Dalam suatu hadits, diriwayatkan Abdurrahman bin Auf
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: yang artinya : “Apabila
seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu sang istri tidak
mendatanginya, hingga dia (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan
marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hak dan Kewajiban Istri terhadap suami menurut Islam
Kewajiban istri untuk taat pada suami bermacam-macam bentuknya.
Misalnya menjaga harta suaminya saat ditinggal pergi, tidak memasukan
laki-laki lain kedalam rumah tanpa izin suaminya, tidak meninggalkan
rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga kehormatannya, dan lain-
lain.
Sedangkan ulama di Indonesia merumuskan hak dan kewajiban
istri dalm bentuk UU dan Kompialsi Hukum Islam yang mengatur tentang
28
perkawinan. Sebagaimana yang tercantum dalam UU ataupun KHI secara
jelas menerangkan bahwa tujuan perkawinan yaitu untuk membina
keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan tuntunan syari‟at dari
Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud,
sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik
itu dari suami maupun istri. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari‟at Allah agar
mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat, yang kemudian hanya
dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan seks saja. Implikasinya nanti
perempuan hanya sebagai objek kenikmatan laki-laki saja, sehingga
perempuan menjadi pihak yang dikuasai laki-laki.
Hakikat perkawinan dalam Islam sebenarnya adalah merupakan
ikatan kuat yang melahirkan hubungan yang seimbang. Sehingga tidak
saling menguasai. Posisi suami dan istri sama sejajar tanpa ada yang
merasa lebih tinggi, lebih berkuasa dan juga lebih berhak. Mereka harus
menyadari bahwa yang mempersatukan seorang laki-laki yang akhirnya
menjadi suami dan wanit menjadi istri adalah kata akad. (Amiur:2004:46-
48)
Sedangkan hak dan kewajiban istri terhadap suami dalm UU No I
Tahun 1975 sebagaimana diterangkan dalam pasal 30, 31, 32, 33, dan 34.
Dalam pasal 30 diterangakan: Suami istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
mesyarakat.
29
Dalam pasal 34 ayat 2 diterangkan bahwa: Istri wajib mengatur
urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan KHI pasal
83:
(1) Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya dalam pasal 84 diterangkan bahwa:
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-
hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan pada bukti yang sah.
Sedangkan dalam kitab Uqudulijain karya Imam An Nawawi al
Bantani2 dijelaskan bahwa, seorang istri yang solihah adalah mereka yang
taat kepada suami. Mereka yang melaksanakan kewajiban ketika suami
tidak di rumah, menjaga kehormatan, serta memelihara rahasia dan harta
2 Kitab karya Imam Nawawi ini memiliki tingkat popularitas dan apresiasi yang tinggi dalam
masyarakat pesantren hampir di seluruh Indonesia dan diajarkan selama kurang lebih dua abad.
30
suami sesuai dengan ketentuan Allah SWT, karena Allah telah emnjaga
dan meberuikan pertolongan kepada mereka.
Pada teks yang lain dinyatakan bahwa para wanita sebaiknya
mengetahui kalau dirinya seperti budak yang dinikahi tuannya dan
tawanan yang lemah dan tak berdaya dalam kekuasaan seseorang. Maka
wanita tidak boleh membelanjakan harta suami untuk apa saja kecuali
dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa istri tidak
boleh membelanjakan hartanya sendiri kecuali dengan izin suaminya. Istri
dilarang membelanjakan hartanya karena dianggap seperti orang yang
banyak hutang. (Mustafa Bisri: 2001:46)
Istri wajib merasa malu terhadap suami, harus menundukkan
muka dan pandangannya dihadapan suami, taat kepada suami ketika
diperintah apa saja selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri
ketika suami datang dan pergi, menampakkan cintanya kepada suaminya
ketika suami mendekatinya, menampakkan kegembiraan ketika suami
melihatnya, menyenangkan suami ketika tidur, mengenakan harum-
haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak sedap dengan
memakai harum-haruman, membersihakn pakaian, membiasakan berhias
diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal mati suami.
(Mustafa Bisri:61)
3. Hak dan Kewajiban Suami
Peran suami dalam rumah tangga merupakan peran yang sangat
vital. Sering kali kita mendengar bahwa suami ibarat nahkoda perahu di
31
lautan lepas. Ia sebagai pemimpin ke mana perahu akan diarahkan.
Sebagai pemimpin, ia juga dituntut bertanggung jawab atas keselamatan,
kenyamanan dan ketenteraman penumpangnya. Begitulah orang sering
menggambarkan suami dalam rumah tangga. Ia tidak hanya dituntut
memenuhi kebutuhan fisik keluarga, tetapi juga dituntut memberi
kenyaman, pengayoman, dan rasa aman seisi keluarga.
Dengan ilustrasi di atas, sebelum kita membahas mengenai
pengertian peran suami dalam rumah tangga ada baiknya perlu diketahui
lebih dahulu mengenai pengertian "peran". Kosa kata "peran" dalam
kamus bahasa Indonesia memiliki banyak pengertian, antara lain : pemain;
tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan
dalam masyarakat; bertindak sebagai; atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang di dalam suatu peristiwa (Em Zulfajri, tt : 64).
Dari pengertian di atas apabila dikaitkan dengan kata "suami"
berarti kedudukan yang dimiliki seorang laki-laki dalam keluarga yang
diharapkan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam rumah
tangga. Sementara itu, keluarga adalah suami-isteri yang terbentuk melalui
perkawinan, maka hidup bersama dengan seorang wanita tidak dapat
dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat dengan perkawinan
(DEPAG, 2005 :4). Dengan demikian peran suami berarti kedudukan
seorang laki-laki yang diharapkan dapat melaksanakan tugas dan tanggung
jawab rumah tangga yang dibentuk melalui perkawinan.
32
Dalam sebuah rumah tangga, suami biasanya berperan sebagai
kepala rumah tangga. Artinya, suami merupakan pemimpin yang memiliki
kekuasaan dalam pengambilan keputusan dalam urusan keluarga. Hal ini
karena suami mendapatkan tugas mencari nafkah dan bertanggung jawab
untuk melindungi dan mengayomi rumah tangga Dalam posisi ini, suami
mempunyai tugas yang berat bila dibandingkan dengan isteri.
Al-Qur'an telah menentukan laki-laki untuk menduduki jabatan
itu, bukan perempuan, karena ia memiliki kelebihan dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban untuk kebaikan rumah tangga, namun lebih kepada
menjaga kelancaran jalannya rumah tangga. Untuk kelancaran tugas
memimpin rumah tangga ini, diperlukan kepatuhan dan ketaatan dari isteri
dan anggota lainnya.
Namun demikian, peran dan fungsi suami sebagai kepala rumah
tangga sebagaimana dikemukakan, akhir-akhir ini mulai menghadapi
gugatan (kritik) yang tajam terutama oleh para aktivis perempuan untuk
penguatan jender karena, menurut mereka, pembagian peran tersebut tidak
sejalan dengan ajaran Agama (Ratna Bantara Munti : 4).
Dalam Ajaran Islam, kedudukan suami dalam rumah tangga
merupakan berkedudukan yang telah ditetapkan secara jelas, yaitu sebagai
pemimpin keluarga. Al-Qur'an menegaskan :
" Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, sesuai dengan
kelebihan yang diberikan Allah kepada sebahagian kamu terhadap
sebahagian yang lain, dan juga karena laki-laki menafkahkan harta
mereka…" (QS. An-Nisa', 4 : 34). Dan bahwa "… suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada wanita. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana" (QS. Al-Baqarah, 2 : 228).
33
Berdasarkan ayat di atas, ada dua alasan yang dapat ditangkap
kenapa suami diberi hak menjadi pemimpin keluarga : pertama, karena
laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan; kedua, karena laki-laki
telah menafkahkan sebahagian harta untuk biaya hidup.
Mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan, Al-Qur'an tidak
menjelaskan apa kelebihan laki-laki atas perempuan. Kelebihan yang
diberikan Allah kepada laki-laki itu yang jelas, bukan berarti mencakup
keistimewaan-keistimewaan dalam memperoleh hak-hak dan kewajiban
dalam rumah tangga. Hal ini karena Al Qur'an telah menegaskan bahwa
kedua suami isteri memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dan
seimbang.
" …. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan dari pada wanita. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana" (QS. Al-Baqarah, 2 : 228). Juga firman Allah : "…dan
untuk para suami ada satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya…" (QS.
Al-Baqarah, 2 : 228).
Menurut Mahmud al-Sabbagh, bahwa Al-Qur'an menentukan
laki-laki untuk menduduki jabatan sebagai kepala rumah tangga, karena
laki-laki memiliki kelebihan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban
untuk kebaikan rumah tangga. Kelebihan yang dimiliki oleh suami hanya
merupakan cara membagi tugas dan meletakkan tanggung jawab yang
harus dilakukan di dalam rumah tangga. Dengan kata lain, kelebihan laki-
34
laki hanya berlaku pada tingkatan hirarkhi di rumah tangga demi
kemaslahatan, yaitu agar perjalanan rumah tangga teratur menuju kebaikan
dan keselamatan (1994 : 129-131).
Dengan demikian, peran suami dalam rumah tangga lebih
menunjukkan ditegakkannya kesimbangan peran melalui pembagian
peran, tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Selanjutnya, untuk
mengetahui bagaimana suami memainkan perannya dalam rumah tanggga,
berikut ini akan dijelaskan mengenai dimensi-dimensi peran suami dalam
rumah tangga.
Untuk dapat melaksanakan peran sebagai pemimpin keluarga,
maka suami harus mampu melaksankan kewajiban terhadap keluarga.
Dalam hal ini Azhar Basyir mengemukakan bahwa kewajiban suami dapat
dibagi menjadi dua; pertama, kewajiban kebendaan, yatu mahar dan
nafkah; kedua, kewajiban bukan kebendaan, yaitu tidak berbuat yang
merugikan isteri, berbuat adil di antara para isteri dalam perkawinan
poligami (Fuaduddin, 1999 : 23).
Kewajiban kebendaan, kewajiban suami atas hak isteri dalam hal
kebendaan meliputi ; yang pertama adalah mahar atau maskawin, hal ini
terdapat dalam QS. An Nisa : 4 " Dan berikanlah maskawin kepada
perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib;
apabila mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu
kepadamu, maka ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya"
35
Dari ayat tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa
maskawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan
merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami,
suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri
dengan sukarela.
Dengan demikian, mahar yang menjadi hak isteri dan kewajiban
atas suami itu hanya merupakan simbol kesanggupan suami untuk
memikul kewajiban-kewajibannya sebagai suami dalam hidup perkawinan
yang akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati isteri. Jadi
bukan uang pembelian dan bukan pula sebagai upah bagi isteri yang telah
menyerahkan dirinya kepada suami.
Kedua adalah nafkah; yang dimaksud nafkah adalah
mencukupkan segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian, tempat
tinggal, pembantu rumah tangga dan pengobatan, meskipun isteri
tergolong kaya. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al Baqarah : 233 "Dan
ayah berkewajiban mencukupkan kebutuhan makanan dan pakaian untuk
para ibu anak-anak dengan cara yang ma'ruf " dan dalam QS. At Thalaq :
6-7 mengajarkan " Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri
untuk menyempitkan hati mereka; apabila isteri-isteri yang kamu talak itu
dalam keadaan hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga
bersalin…."ayat berikutnya memerintahkan " Orang yang mampu
hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang
36
kurang mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah
kepadanya; Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang
melebihi pemberian Allah kepadanya ….".
Pada dasarnya berapa besar nafkah yang wajib deberikan oleh
suami kepada isteri adalah dapat mencukupi keperluan secara wajar,
meliputi keperluan makan,pakaian, perumahan dan sebagainya. Prinsip
"mencukupi keperluan" dapat diperoleh dari hadits Nabi tentang
dibenarkannya seorang Isteri mengambil uang suaminya tanpa izin apabila
nafkah yang diberikan tidak mencukupi.
Kata "ma'ruf" yang dipergunakan Al Qur'an dan hadits untuk
memberi ketentuan nafkah itu diberikan secara wajar (sedang, tengah-
tengah,tidak kurang dari kebutuhan tetapi tidak pula berlebihan). Jadi
sesuai dengan tingkat hidup dan keadaan isteri dan kemampuan suami.
Kata ma'ruf dapat berarti pula bahwa hal-hal yang memang dirasakan
menjadi kebutuhan hidup; seperti alat-alat rumah tangga, alat-alat kerapian
tata-busana yang tidak melampaui batas, bahkan juga perhiasan
sekedarnya apabila memang suami mampu, dapat termasuk hal-hal yang
wajib diperhatikan suami.
Selanjutnya kewajiban bukan kebendaan. Hak-hak bukan
kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan
dalam perintah QS. An Nisa : 19 agar para suami menggauli isteri-
isterinya dengan ma'ruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak
disenangi, yang terdapat pada isteri. Menggauli isteri dengan cara yang
37
ma'ruf dapat mencakup ;(a) sikap menghargai, menghormati dan
perlakuan-perlakuan yang baik serta meningkatkan taraf hidupnya dalam
bidang agama, akhlak dan ilmu pengetahuan yang diperlukan; (b)
melindungi dan menjaga nama baik; dan (c) memenuhi kodrat biologisnya
(Azhar Basyir, 1990 :48-49).
Menurut Soemiyati, yang dimaksud dengan nafkah ialah segala
kebutuhan isteri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain
yang termasuk kebutuhan rumah tangga pada umumnya.materi (1986 :
90). Sementara itu, Azhar Basyir, mendefinisikan nafkah adalah
mencukupkan segala keperluan isteri meliputi makanan, pakaian, tempat
tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri
tergolong kaya (Azhar Baasyir:1990 : 52).
Mengenai berapa kadar belanja yang harus disediakan oleh suami
itu harus mengingat kedudukan sosial dan tingkat kehidupan suami isteri.
Dengan kata lain, besarnya nafkah yang wajib diberikan oleh suami
kepada isteri adalah dapat mencukupi kebutuhan secara wajar, tidak
kurang tidak pula berlebihan. Hal ini disesuaikan dengan tingkat hidup dan
keadaan isteri serta tentu saja kemampuan suami. Yang ma'ruf bagi suami
berpangkat tinggi lain dengan yang ma'ruf bagi suami berpangkat rendah
(Azhar Basyir:1990 : 53).
Dengan demikian kata ma'ruf atau baik berarti bahwa hal-hal
yang memang dirasakan menjadi kebutuhan hidup, seperti alat-alat rumah
tangga, alat-alat kerapian tata busana yang tidak melampaui batas, bahkan
38
juga perhiasan sekadarnya apabila memang suami mampu (Azhar
Basyir,1990 :53).
Selain keperluan belanja di atas, maka keperluan rumah tangga
yang wajib dipenuhi suami meliputi :
1. Memberi tempat tinggal yang layak
2. Belanja dan keperluan rumah tangga sehari-hari
3. Belanja pemeliharaan kehidupan anak-anak
4. Belanja sekolah dan pendidikan anak-anak
Secara umum, dimensi-dimensi peran suami dalam keluarga dapat
di bagi menjadi dua :
1. Dimensi domestik (kerumahtanggaan : membantu kerepotan isteri,
membantu mengasuh dan merawat anak-anak, pendidikan)
Suami sebagai ayah dari anak-anak pada umumnya adalah figure yang
diidolakan dalam setiap keluarga.
2. Dimensi Publik (pencari nafkah)
Suami sebagai kepala rumah tangga dan sebagai pelindung keluarga
harus mampu dan berani mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat
umum untuk mempertahankan dan membela kepentingan keluarga di
mata masyarakat.
Dalam UUP Tahun 1974 menerangakn bahwa suami memiliki
hak dan kewajiban yang tidak berbeda jauh dengan konstruk ulama fiqh.
Hal yang demikian, bisa dipahami karena proses proses pembuatannya
mengakomodir praktek-praktek dalam masyarakat, dan melibatkan ulama
39
serta berbagai kitab rujukan fiqh khususnya dalam proses
pembuatan.(Imam Musabikin:2001:80)
Namun demikian jika dibandingnkan secara detail sebetulnya
UUP ada yang lebih demokratis. Misalnya dalam pasal 32 ayat 2
dinyatakan: Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditentukan oleh suami istri bersama. Ini menunjukkan bahwa istri
mempunyai hak untuk berpendapat dalam menentukan di mana harus
bertempat tinggal.
Pernyataan ini juga berbeda dengan adapt yang terjadi di Jawa.
Dalam budaya Jawa istri harus taat, patuh bahkan takut kepada suami.
Penentuna tempat tinggal sepenuhnya ada dalam keputusan suami.
B. Konsep Istri Dalam Budaya Jawa
1. Masyarakat dalam Budaya Jawa
Masyarakat dalam budaya Jawa yang dimaksud adalah mereka
yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan yang masih
menjalankan nilai-nilai budaya Jawa baik kebiasaan perilaku maupun
seremonialnya. Saat ini etnis Jawa telah menyebar hampir disegala penjuru
Indonesia. Ditinjau dari geografis masa lampau, kehidupan masyarakat
Jawa ada di wilayah administrasi propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur saat ini. Masyarakat terbagi dalam Jawa
pesisir utara dan pedalaman. Berdasar administrasi saat ini masyarakat
Jawa pesisir meliputi eks karesidenan Pekalongan, Semarang, Tuban, dan
Surabaya, sedangkan masyarakat Jawa pedalaman meliputi eks
40
karesidenan Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, serta Madiun,
Kediri, dan Malang, ketiga terakhir dikenal sebagai wilayah Mataraman.
Wilayah Tapalkuda merupakan wilayah yang pengaruh Jawanya
berkombinasi dengan pengaruh Madura. (http://geo.fis.unesa.ac.id)
Dalam masyarakat Jawa dikenal dua kaidah dasar kehidupan
yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 2001). Kedua prinsip
merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk kongkrit semua
interaksi. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram,
tanpa perselisihan dan pertentangan. Rukun merupakan keadaan yang
harus dipertahankan dalam semua hubungan sosial seperti rumah tangga,
dusun, desa, dan lainnya. Tujuan rukun adalah keselarasan sosial.
Sementara prinsip hormat merupakan cara seseorang dalam membawa diri
selalu harus menunjukkan sikap menghargai terhadap orang lain sesuai
derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat didasarkan pada pandangan
bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis yang
merupakan kesatuan selaras sesuai tatakrama sosial.
Kesadaran akan kedudukan sosial merupakan hal yang penting
dalam prinsip rukun dan hormat masyarakat Jawa. Interaksi sosial yang
berlangsung harus menyadari dengan siapa interaksi tersebut sedang
berlangsung. Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya stratifikasi
masyarakat sebagai suatu warisan sistem kerajaan dan sistem feodal
penjajah masa lampau. Dua golongan stratifikasi masyarakat yang saling
berhadapan tersebut meliputi priyayi-wong lumprah, wong gedhe-wong
41
cilik, pinisepuh-kawulo mudho, santri-abangan, dan sedulur-wong liyo
(Endraswara, 2003). Stratifikasi ini menuntut suatu komunikasi yang
berbeda dalam berinteraksi mengimplementasikan prinsip rukun dan
hormat.
Sebagai suatu sistem kebudayaan, dalam kehidupan masyarakat
Jawa juga memiliki suatu pengalaman religius yang khas. Secara umum
pengalaman religius khas masyarakat Jawa adalah (Suseno, 2001) : (1)
kesatuan masyarakat, alam dunia, dan alam adikodrati sebagai sesuatu
yang tidak terpecah belah, (2) sangkan paraning dumadi, dan (3) takdir.
Sementara paham sinkritisme, yaitu sikap mendua yang dapat diperankan
oleh orang Jawa, memiliki sisi positif seperti tingginya kemampuan
adaptasi masayarakat Jawa dimanapun berada, meskipun sisi negatif
seperti ketidakterusterangan sangat mewarnai dalam kehidupan.
Kesatuan masyarakat, alam dunia, dan alam adikodrati terungkap
dalam kepercayaan bahwa semua alam empiris berkaitan persis dengan
peristiwa di alam metaempiris. Manusia dalam berperilaku tidak boleh
gegabah sehingga bertabrakan dengan yang ada di alam metaempiris.
Satu-satunya cara menghindari tabrakan adalah dengan belajar dari
pengalaman dan dari tradisi yang ada. Tetapi bagaimana cara mengenali
alam adikodrati yang tidak terlihat ? Paham mengenal ‟‟tempat yang
tepat‟‟ berdasarkan dua tanda yang tidak bisa salah merupakan cara yang
harus ditempuh. Tanda pertama bersifat sosial yaitu keselarasan sosial, dan
tanda kedua bersifat psikologis yaitu ketenangan batin, ketiadaan rasa
42
kaget, dan kebebasan dari ketegangan emosional. Tanda-tanda tersebut
dapat dipahami apabila prinsip rukun dan hormat ditegakkan.
Sangkan paraning dumadi merupakan paham asal usul dan apa
tujuan manusia di dunia. Paham ini mendorong manusia berhadapan
dengan hakekat yang bermakna dalam kehidupannya yaitu penyatuan diri
dengan Tuhannya. Manusia harus menyadari bahwa mereka berasal dari
Tuhan, mengemban misi di dunia dari Tuhan, dan kelak akan
mempertanggungjawabkan misi di dunia kepada Tuhan. Oleh sebab itu
pancaran Ilahiah dari Tuhan harus menjadi pedoman utama dalam
menjalankan misi di muka bumi. Akan tetapi pada akhirnya takdir
Tuhanlah yang lebih menentukan tanpa suatu keberdayaan manusia.
Manusia hanya bisa melakukan apa yang sesuai dengan ”tempatnya”,
sehingga dalam kehidupan harus selalu berusaha untuk bisa memahami
”tempatnya”.
2. Konsep Wanita (istri) dalam Budaya Jawa
Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti
wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan
kepasifan pada perempuan Jawa. Selain itu istilah putra mahkota (bukan
putri mahkota), kawin paksa, dan babakan pingitan yang diberlakukan
kepada perempuan yang akan menikah, ditangkap Widyastuti (2005)
sebagai persoalan gender yang dihadapi perempuan Jawa.
43
Istilah “wanita” dari sudut pandang genetik dilawankan dengan
istilah “pria,” “putri” dilawankan dengan “putra,” dan “perempuan”
merupakan lawan jenis “laki-laki.” Secara fisik perempuan pada dasarnya
bukan sekedar tubuh yang berbeda dengan laki-laki. Secara biologis
perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang dapat ditengarai melalui
bentuk kelamin. Berdasarkan perbedaan tersebut, pernyataan bahwa
kekuatan perempuan lain dengan laki-laki biasa diucapkan. Laki-laki dan
perempuan sesungguhnya memiliki substansi sama dalam kepemilikan
“jiwa abadi” (manusia sebagai ciptaan Tuhan) yaitu jiwa yang tidak
mengenal perbedaan jenis seks.
Wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur
kata halus, tenang, diam (kalem), tidak suka konflik, mementingkan
harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan
memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi atau terkontrol, dan
daya tahan untuk menderita tinggi. Bila ada perselisihan ia lebih baik
mengalah, tidak gegabah, tidak grusa-grusu, dan dalam mengambil
langkah mencari penyelesaian dengan cara halus.
Dalam konsep budaya Jawa terdapat beberapa istilah tentang
wanita, yaitu: wadon, pawèstri, putri, wanodya, retna, kusuma, memanis,
juwita, wanita, dan dayita. Masing-masing istilah ini mempunyai arti
tersendiri yang menunjukkan bahwa wanita dalam pandangan masyarakat
Jawa memiliki peran istimewa (Basuki, 2005:5).Terkait wanita dengan
44
budaya Jawa tidak bisa lepas dari berbicara tentang budaya paternalistik
yang sudah dipraktekkan secara turun menurun. Menurut Indrawati
(2002), masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki
pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang
memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan
dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto
(2004) yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung
paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa. Indrawati
menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang
pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada
masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal
ini senada dengan pendapat Widyastuti (2005) yang mengutip Kusujiarti,
perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang
hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah
perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah
sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat
Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela
menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan
yang terpahit sekalipun.
Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan
Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan
45
tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia,
perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat
mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak
boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan
menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi
segala kebutuhan suami.
Namun demikian, ada sebagian pendapat yang menyatakan
bahwa sistem bilateral, dan bukan paternalistik, yang justru tampak dalam
praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Jawa. Sebagian orang
menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat
sumbangannya yang umumnya cukup besar dalam ekonomi keluarga yang
dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif
(Widyastuti, 2005). Handayani & Novianto (2004) juga menyebutkan
fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol
perempuan Jawa menjadi lebih kuat.
Sebagaimana telah disinggung dalam masyarakat jawa, bahwa
selain laki-laki itu juga ada perempuan yang dalam masyarakat jawa
disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. Dan perlu kita dalami bahwa keempat
istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung
konsekuensi idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis.
Wadon, kata wadon berasal dari bahasa Kawi wadu, yang secara
harfiah berarti kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa
46
perempuan “dititahkan” di dunia ini, “ditakdirkan” sebagai abdi (pelayan)
sang guru laki (suami). Pengabdian seorang wanita harus mengikuti setiap
tataran “kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi
logis, bahwa jika seorang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan
pengabdiannya di Alam kubur dan begitu pula seterusnya.
Wanita, wanita berasal dari kata gabungan dua kata bahasa jawa
(kerata basa) wani (berani) dan tata (teratur).secara “gathukologis” kata
bentukan ini mengandung dua konotasi wani ditata dan wani nata,dalam
konotasi wani ditata bahwa perempuan tetap tunduk pada sang guru laki
sedangkan wanita harus bertanggung jawab atas pendidikan anak dan
seluruh pengaturan keluarga.
Estri, kata estri lahir dari kata estern dalam bahasa kawi berarti
penjurung (pendorong), dengan demikian sebutan estri pada manusia itu
harus mampu mendorong suami, membantu pertimbangan-timbangan
terutama saat jiwa dan semangat sedang melemah.
Putri, kata putri berarti anak perempuan. Dalam peradaban
tradisional jawa kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata
putus tri perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan.
Dari semua istilah yang telah disebutkan bahwa kedudukan
seorang wanita tidak sejajar dengan kaum pria, semua menggambarkan
bahwa posisi perempuan selalu ada di bawah laki-laki.
47
3. Hak dan Kewajiban Istri
Berbicara tentang hak dan kewajiban seorang istri dalam budaya
jawa tidak bisa lepasa dari pemaknaan dari wanita itu sendiri, sebagaimna
telah dijelaskan di atas. Dalam kehidupan keluarga, perempuan
berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu
rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Secara
lebih luas sesuai perannya dalam keluarga, perempuan dalam Serat
Candrarini dilukiskan bisa macak, manak, dan masak.
Macak, yang berarti seorang perempuan harus bisa merias diri,
berdandan, ataupun berbusana yang sebaik-baiknya agar senantiasa
tampak cantik, menarik dan mempesona. Hal ini merupakan kewajiban
pokok yang harus dijaga sebagai bentuk perwujudan bekti dalam melayani
suami. Dengan demikian, jika perempuan selalu tampak menarik, ia akan
membuat suami betah tinggal dirumah.
Manak, pengertian tersebut tidak hanya sekedar mengandung,
melahirkan, dan menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan
mendidik anak. Kemampuan berhias diri tampaknya bermuara kepada
perempuan yang kedua ini karena dengan menjaga kecantikannya seorang
perempuan akan memiliki daya tarik bagi suami.
Masak, mengurusi dapur, karena mengurusi dapur perempuan
sering disebut dengan istilah kanca wingking. Namun, kepandaian
memasak tidak hanya mengolah dan menyediakan makan dan minum,
tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan sebaik-baiknya. Sebagai
48
wujud dari sikap bekti terhadap suami, dalam urusan masak-memasak dan
segala sesuatu yang berhubungan makan dan minum, istri juga harus
memperhatikan selera dan kesenangan suami.
Ketiga istilah tersebut sering diidentikkan dengan jenis tempat
pekerjannya, yaitu dapur,pupur, sumur dan kasur. Selain itu seorang istri
juga masih dituntut untuk mengabdi dan berbakti, baik keluarga,
masyarakat maupun bangsa. Ia sadar bahwa tanpa berkarya yang berarti
seseorang tidak akan pernah bisa hidup dalam arti yang sebenarnya. Ia
berpendapat bahwa karya sangat bermanfaat bagi kualitas hidup itu
sendiri, idealisme, perkembangan ilmu pengetahuan, cinta, dan kasih
sayang. Dengan berkarya dan bekerja akan tercapai masyarakat yang adil
dan makmur, gemah ripah loh jinawi.
Dari gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam
sastra jawa yang dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan
XIX diketahui bahwa peran dan kedudukan perempuan terbatas disektor
domestik. Adapun kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa
karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai berikut.
a Sebagai hamba Tuhan
Perempuan jawa pada umumnya menganut agam Islam,
Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Adupun agama yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat termasuk perempuan dilingkungan keraton
adalah agama Islam yang tercampur dengan unsur-unsur ajaran Hindu
Budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan kebudayaan Jawa
49
yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama Islam dilakukan
oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka
menganjurkan agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas
karunia Tuhan.
b Sebagai anak atau menantu
Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti
(mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai
anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya
dijelaskan pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan
penghormatan dari anak. Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai
perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai
andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui
perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan
kebahagiaan
c Sebagai istri
Dalam sastra jawa banyak ditemukan ajaran tentang tugas-
tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri
ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami. Dalam
kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang lebih
rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus
memperlakukan suami seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan
dihormati.
d Sebagai ibu
50
Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak
banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan
dalam karya sastra jawa adalah hak ibu, termasuk bapak, untuk
mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang tua untuk
dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja
karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya
sama dengan raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.
Secara garis besar budaya Jawa masih menempatkan istri dalam
posisi yang inferior. Menganggap sebagai barang yang tidak bisa memiliki
hak menentukan nasib sendiri. Perilakunya harus disesuaikan dengan
tradisi dan pandangan seperti halnya hidup yang dijalani harus diabdikan
sepenuhnya kepada laki-laki/suaminya. Kewajiban istri kepada suami
dapat dikategorikan dalam beberapa aspek:
a. Mengutamakan sifat keluhuran dan keutamaan. Istri harus dapat
memilah perlakuan yang baik dan yang jelek.
b. Takut dan berbakti pada suami. Perempuan sebagai seorang istri sudah
seharusnya takut dan berbakti kepada suami. Diwujudkan dengan
seorang istri harus bersedia menerima semua kemauan serta kehendak
suami, serta harus melaksanakan semua kehendak suami.
c. Cinta kasih dan setia kepada suami. Cinta seorang istri harus ikhlas
tanpa dan setulus hati tanpa mempertimbangkan untung dan rugi.
Perilaku yang mencerminkan ketidaktaatan istri kepada suami seperti
cemberut, tidak menyenagkan hati, bengis, pemarah, dan suka
51
bertengkar harus dihindari.
d. Tidak menggunakan guna-guna atau jimat. Seorang istri tidak
diperkenankan menggunakan guna-guna atau jimat dalam menarik
simpati suami.
e. Selalu berhias setiap malam. Berhias merupakan bentuk perilaku yang
dipandang menyenangkan hati. Sebaiknya jika telah berbusana dengan
baik istri tetap tinggal di rumah. Istri yang demikian akan
mendapatkan Rahmat dari Tuhan.
Selain lima kewajiban tersebut dalam budaya Jawa terdapat tiga
kewajiban istri, yaitu, wedi, gemi, dan gumeati. Wedi, (takut) yaitu jangan
menyangkal pembicaraan atau menolak suruhan suami, dan melakukan
secara ikhlas lahir batin. Gemi, (hemat), artinya jangan boros, memelihara
setiap pemberiannya, menyimpan segala rahasia dan tidak banyak bicara.
Gumati, (setia) artinya cinta kepada semua yang disukai lelaki dan
menyediakannya. Tiga hal tersebut, semakin melegalkan aturan bahwa
wanita harus tunduk, patuh, dan takut kepada suami sehingga semakin
sempurnalah ideologi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.
(Informatika: 2011:105-106)
Dari kelima aspek tentang kewajiban istri terhadap suami tersebut
menggambarkan bahwa istri dalam budaya Jawa tidak memiliki
kewenangan apapun. Semua kehidupannya hanya untuk melayani suami
tanpa diperbolehkan untuk membantah apalagi berani kepada suami. Hal
ini membuktikan bahwa pola kehidupan keluarga di Jawa menganut
52
paham ptatriakhis.
4. Hak dan Kewajiban Suami
Masyarakat Jawa abad XVII sampai XIX pada umunya
menonjolkan peran dominan kaum laki-laki. Sedang kaum perempuan
memperoleh kedudukan serta peranan yang kurang terkemukan. Pada
hakikatnya masyarakat yang didominasi oleh pria kekuasanya meliputi
berbagai aspek kehidupan. antara lain: bidang sosial politik, sosio cultural
religius. Dalam lingkungan keluarga, pria menjadi kepala keluarga
mempunyai kekuasaan sebagai pemberi keputusan sebagai pencari
nafkah, jabatannya menentukan status keluarga, penentu garis keturunan,
pemimpin kerabat. Dengan demikian pihak pria lebih banyak
berkomunikasi keluar, bertindak, bertanggungjawab, produktif dalam
pembagian pekerjaan, pihak pria dituntut untuk melakukan fungsi yang
tidak terikat kepada fungsi reproduksi. Hak dan kewajiban suami dalam
adat Jawa antara lain bisa digolongkan dalam huruf 5 A:
a Angayani, memberi nafkah lahir dan batin kepada istri dan anak-
anaknya.baik berupa makan maupun pakaian. Penanggungjawab
memberikan nafkah ini menjadi tanggungjawab suami. Karena suami
dalam lingkup Jawa dikatakan sebagai seorang yang aktif manah
memburu dan mencari. nafkah lahir ini banyak bentuknya, diantaranya
sang istri berhak meminta sang suami memberikan rumah jadi dan
bersih setiap hari, makanan siap saji setiap hari, pakaian bersih setiap
53
hari,dll. nafkah batin ini juga banyak jenisnya diantaranya kepuasan
seksual, ketenangan bathin dalam urusan akhirat dan lain-lain.
b Angomahi, maksudnya suami berkewajiban membuat rumah sebagai
tempat berteduh istri dan anak-anaknya. Membuat rumah ini
merupakan kebutuhan pokok untuk menjamin kehidupan berkeluarga.
Adapun dalam menentukan tempat kediaman, suamilah yang
mempunyai hak dan kewajiban untuk menyediakannya. Karena dalam
budaya Jwa suami adalag desicion maker dalam keluarga, maka tidak
heran ini menjadi tanggungjawab suami tanpa campur tangan istri.
c Angayomi, suami menjadi pengayom dan pembimbing keluarga.
Suami mempunyai tugas membimbing rumah tangganya yang
menyangkut segala aspek kehidupan dalam keluarga. Seperti layaknya
pemimpin, laki-laki wajib mengawasi, melindungi, serta mengajari
hal-hal yang tidak diketahui istrinya. Suami wajib membimbing
keluarga. Dan tugas ini tidak mungkin dibebankan kepada istri karena
dianggap tidak memiliki kecakapan sebagaimana yang dimiliki oleh
suami. Pengayom dan pembimbing bisa dimaknai bahwa suami harus
bisa memberikan kedamaian, bisa membimbing keluarga dalam meraih
ridlo Ilahi. bimbingan ini bisa yang berkenaan dengan
hablumminallah, hablumminannas dan hablumminal alam.
d Angayemi, menentramkan keluarga. Yaitu suami berkewajiban
menjaga ketentraman dalam keluarga. Memberikan rasa tenang serta
aman bagi anak-anak dan istrinya. diantaranya, menjaga kebersihan
54
rumah agar terbebas dari penyakit, menjaga dari gangguan manusia,
binatang maupun makhluk halus, menjaga kesetabilan perekonomian
keluarga, dan lain-lain.
e Angamajtani, mampu menurunkan bibit unggul. Tugas yang satu ini
diwujudkan ketika akan memilih istri dengan mempertimbangkan
bibit (keturunan), bobot (kekayaan), bebet (kedudukan). Ketiga hal
tersebut merupakan hak suami yang harus dipenuhi. Karena keturunan
menjadi hal yang sangat penting bagi laki-laki dalam hal meneruskan
sejarah keturunannya.
Kelima tugas atau kewajiban suami tersebut di atas mencerminkan
bahwa laki-laki memiliki otoritas dalam rumah tangga. Laki-laki Jawa
dianggap lebih terhormat, terpuji, selalu berada di depan, menjadi penguasa
rumah tangga, memiliki tanggung jawab yang lebih dibanding perempuan, dan
sebagai pribadi yang aktif. Sebaliknya perempuan selalu berada pada posisi di
bawah, hanya mengurusi masalah domestik. Hanya menjadi pendamping laki-
laki, serta pribadi yang pasif.
C. Pengaruh Budaya terhadap Perilaku Manusia
Budaya atau kebudayaan menurut Koentjara Ningrat (1987:180)
berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayyah yang merupakan bentuk jamak
dari kata budhi (akal) yang bermakna budi dan akal manusia. yang meliouti
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar. Dalam bahasa
55
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colore yaitu
mengolah atau mengerjakan. Ahli sosiologi mengartikan kata kebudayaan.
Perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berbicara, berjalan,
tertawa, bekerja dan lain-lain. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud periaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang diamati langsung, maupun yang tidak diamati langsung oleh pihak luar.
Dalam buku Pattern of Culture (1934), Ruth Benedict yang dikutip
Daniel L. Pals menjelaskan bahwa kebudayaan adalah kunci untuk memahami
umat manusia, bahkan untuk memahami seorang individu sekalipun. Orang
akan cenderung menyatakan bahwa kebiasaan seseorang adalah cerminan
kebudayaan, sebab kebudayaan itu sendiri sebenarnya adalah sumber tempat
individu mengambil pelajaran bagaimana harus bertindak dalam hidupnya.
(Danial: 2001:375-377)
Pernyataan ini sejalan dengan pengertian kebudayaan yang
dikemukakan oleh Melvile J. Herkovits bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
itu sendiri.
Dari sini bisa diambil sebuah hipotesis bahwa ketaatan istri terhadap
suami sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang patriarkhis
secara turun menurun. Hal ini bisa dilihat dari ketaatan ibu kepada ayah yang
kemudian menurun perilaku putrinya. Atau ada pengaruh ajaran agama
(Islam) terhadap perilaku ketaatan istri terhadap suami.
56
Agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Dengan demikian makna agama adalah sesuatu
yang tidak kacau. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia agama berarti
prinsip kepercayaan kepada Tuhan. (Suharso:2005:19) Jadi fungsi agama
adalah untuk memelihara intergeritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan Tuhan, makhluk dan lingkungannya tidak kacau.
Dari definisi agama dan budaya tersebut nampak bahwa antara
agama dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat dalam mempengaruhi
perilaku manusia. Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan Amin Abdullah
bahwa pemahaman ajaran agama tidak pernah lahir dari ”ruang yang kosong”
kebudayaan. Dimansi ”historis” agama tidak bisa lepas dari kesejarahan dan
kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. (Hamim Ilyas:2005:
4-5)
57
58
BAB III
KETAATAN ISTRI TERHADAP SUAMI
DI KELURAHAN TINGKIR LOR DAN KUTOWINANGUN
A. Gambaran Umum Kelurahan Tingkir Lor
1. Letak Geografis Kelurahan Tingkir Lor
Kelurahan Tingkir Lor merupakan salah satu kelurahan di
wilayah Kecamatan Tingkir Kota salatiga. Secara geografis, Kelurahan
Tingkir Lor berbatasan dengan beberapa Kelurahan yang berada di
wilayah Kota salatiga serta dengan desa yang berada di wilayah
Kabupaten Semarang. Adapun Batas – batas Kelurahan Tingkir Lor adalah
sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Kalibening dan Desa Nyamat
Sebelah Selatan : Kelurahan Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir
Sebelah Timur : Kelurahan Tingkir Tengah Kecamatan Tingkir
Sebelah Barat : Kelurahan Tingkir tengah Kecamatan tingkir
Keadaan Wilayah Kelurahan Tingkir Lor dengan topografi atau
bentangan lahan yang terdiri dari daratan +- 105,08 ha, dan kondisi
geografis tinggi dari permukaan air laut 660 m serta keadaan suhu rata-rata
23 C, curah hujan rata-rata per tahun 2,250 mm, secara umum beriklim
tropis dan berhawa sejuk.
Adapun tingkat perkembangan Kelurahan Tingkir Lor didukung
berbagai faktor antara lain jarak orbitrasi / jarak dari pusat pemerintahan
sebagai berikut :
Jarak dari Kecamatan tingkir : 4 Km
59
Jarak dari Pemerintahan Kota salatiga : 5 Km
Jarak dari Penerintahan Provinsi : 55 Km
Kelurahan Tingkir Lor sebelumnya merupakan desa di wilayah
Kabupaten Semarang, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Salatiga dan Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, resmi
diperoleh berdasarkan Perda Kota Salatiga Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Desa menjadi Kelurahan.
Sebagian besar area di wilayah Kelurahan Tingkir Lor berupa
lahan pertanian berupa tanah persawahan, lahan pertanian kering jenis
tegalan dan sebagian tanah lainnya adalah kawasan perumahan penduduk.
Luas Kelurahan Tingkir Lor adalah 177,3 Ha yang terdiri dari :
Tanah Sawah seluas 75,992 Ha, dengan rincian :
Sawah Irigasi : 72,712 Ha
Sawah Tadah hujan : 3, 28 Ha
Tanah Kering seluas 101,308 Ha dengan rincian:
Tanah Tegalan : 45,365 Ha
Lain-lain : 55,943 Ha
2. Potensi Wilayah
Untuk mengetahui potensi wilayah beserta sumber daya manusia
yang tinggal di Kelurahan Tingkir Lor bisa dilihat dari jumlah penduduk
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Jumlah penduduk di Kelurahan
Tingkir Lor sebanyak 4.874 orang terdiri dari 1.634 KK dengan perincian
menurut jenis kelamin laki-laki : 2.397 orang dan perempuan : 2.477
orang. Selanjutnya bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:
60
TABEL 1. DATA JUMLAH PENDUDUK
NO UMUR LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1. 0 – 4 tahun 186 197 383
2. 5 – 9 tahun 186 191 377
3. 10 – 14 tahun 188 179 367
4. 15 – 19 tahun 177 225 402
5. 20 – 24 tahun 168 193 361
6. 25 – 29 tahun 208 195 403
7. 30 – 34 tahun 230 232 462
8. 35 – 39 tahun 197 183 380
9. 40 – 44 tahun 203 185 388
10. 45 – 49 tahun 170 202 372
11. 50 – 54 tahun 160 160 320
12. 55 – 59 tahun 113 101 214
13. 60 – 64 tahun 82 83 165
14. 65 – 69 tahun 43 49 92
15. 70 – 74 tahun 33 41 74
16. > 75 tahun 53 61 114
J U M L A H 2.397 2.477 4.874
61
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2014
Sedangkan jika ditinjau dari keyakinannya, mayoritas penduduk
Kelurahan Tingkir Lor beragama Islam di samping agama-agama yang
lainnnya. Kerukunan umat dan antar agama sangat baik. Adapun rincian
jumlah penduduk menurut agama bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
TABEL 2. DATA PENDUDUK MENURUT AGAMA
NO AGAMA JUMLAH
1. ISLAM 4.643
2. KRISTEN
PROTESTAN
158
3. KHATOLIK 71
4. HINDU -
5. BUDHA -
6. LAIN –LAIN 2
J U M L A H 4.874
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2014
Jika dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat kelurahan Tingkir
Lor bisa sebetulnya bisa dibedakan menjadi dua. Yaitu pendidikan formal
dan pendidikan non formal. Yang dimaksud pendidikan non formal adalah
masyarakat yang menempuh pendidikan pesantren di mana pesantren
62
tersebut tidak mengeluarkan ijazah. Data ini lumayan sulit untuk didata.
Akan tetapi banyak masyarakat yang berpendidikan pondok pesantren. Hal
ini terbukti banyaknya tokoh agama, kyai yang memiliki kemampuan
keagaamaan (Islam) yang tinggi. Para kyai memiliki majlis-majlis kajian
keagamaan. Adapun data pendidikan formal warga Kelurahan Tingkir Lor
dilihat dalam tabel di bawah ini.
TABEL 3. DATA TINGKAT PENDIDIKAN TERAKHIR
NO TINGKAT
PENDIDIKAN
JUMLAH
1. Tidak/Belum
Sekolah
700
2. Belum tamat SD 646
3. SD / Sederajat 1.045
4. SLTP 735
5. SLTA 1.231
6. D1 – D3 175
7. S1 318
8. S2 20
9. S3 4
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Tingkir Lor bulan
Desember 2014
Dalam melihat potensi wilayah penting juga diperhatikan data
tentang sarana prasarana pembangunan. Karena hal ini merupakan salah satu
63
kebutuhan masyarakat yang cukup penting dalam mendukung jalannya roda
pemerintahan di suatu wilayah. Adapun sarana prasaranan pembangunan
yang ada di wilayah Kelurahan Tingkir Lor di bagi dalam beberapa bidang
sebagai berikut :
Kedua adalah sarana pendidikan, di Kelurahan Tingkir Lor mempunyai
sarana pendidikan sebagai berikut :
SD /Sederajat : 3 Buah
SLTP / Sederajat : 1 Buah
SLTA / Sederajat : -
Pendidikan Tinggi / Akademi : 1 Buah
Ketiga adalah sarana kesehatan. Prasarana kesehatan yang ada di Kelurahan
Tingkir Lor hanya ada satu orang bidan praktik.
Keempat adalah sarana prasarana olah raga. Prasarana olah raga yang ada di
Kelurahan tingkir Lor yaitu lapangan sepak bola yang berada di wilayah RT
05 RW VIII. Lapangan ini setipa hari dipakai oleh masyaarakat untuk
bermain sepak bola dan juga jenis olah raga yang lainnya.
Dalam rangka mendukung kelancaran tugas kepemerintahan, di
Kelurahan Tingkir Lor telah terbentuk berbagai lembaga tingkat kelurahan
yang berfungsi untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas kelurahan.
Berikut ini lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Tingkir Lor:
64
Pertama, Lembaga pemberdayaan masyarakat Kelurahan
(LPMK). Sesuai dengan Keputusan Walikota Salatiga Nomor 12 tahun
2004, LPMK mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Menyusun rencana pembangunan yang partisipatif
b. Menggerakan swadaya gotong royong masyarakat
c. Melaksanakan serta mengendalikan pembangunan.
Sedangkan fungsi dari LPMK sebagaimana pasal 5 Keputusan
Walikota Salatiga Nomor 12 tahun 2004 adalah :
a. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat
kelurahan
b. Pengkoordinasian perencanaan pembangunan
c. Pengkoordinasian perencanaan lembaga kemasyarakatan
d. Perencanaan kegiatan pembangunan secara partisipasif dan terpadu
e. Pengendalian dan pemenfaatan sumberdaya kelembagaan untuk
pembangunan di Kelurahan.
Adapaun susunan pengurus LPMK periode tahun 2015-2018 bisa
dilihat dalam tabel di bawah ini:
TABEL 8.
NO JABATAN NAMA
65
1. Ketua Drs. Akhsin
2. Wakil Ketua Edy Sugijono
3. Sekretaris Lagiyem
4. Bendahara Muamir Marzuqi
Bidang – Bidang
1. Pembangunan Afifudin
Zumroni
2. Pemuda dan Pariwisata Tri Mashudi
3. Kesehatan dan
Kependudukan
Ari Herayati
4. Perekonomian dan Koperasi Haryono
5. Keagamaan Tuba Rubai
6. Keamanan dan Ketertiban Muh Rifai
Ahmad Sholikun
Kedua, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Di
Kelurahan Tingkir Lor terdiri dari 8 RW dan 24 RT, dengan data
kepengurusan sebagai berikut :
TABEL 9.
NO RW RT NAMA KETUA RW / RT
1. I Nuryanto
66
01 Armedi
02 Khoerun
03 Jarmanto
2. II Nurchan
01 Sofyan Fuadi
02 M. Fauzan Thoironi
3. III M. Fanani
01 Sofyan Sauri
02 Aris Heri Wibowo
03 Faisol Faruq
4. IV Hardiyo
01 Ja‟farin
02 Sunaryo
03 Suali
5. V Muslim
01 Ma‟ani Azis
02 Munir
6. VI Lantip
01 Arif Budianto
02 Mujiyono
7. VII Sudarmono
01 Sapari
67
02 Sudarto
03 Haryanto
04 Sunar Suryadi
05 Supriyanto
8. VIII Edi Sugijono
01 Sahadad
02 Eko Sudianto
03 Purwanto
04 Muh Toha
Ketiga, Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah
organisasi yang berbasis masyarakat, dipelopori dan didukung penuh oleh
Pemerintah dan merupakan salah satu wahana untuk menampung aspirasi
dan menggerakkan peran sera masyarakat khususnya perempuan dalam
pembangunan.
PKK merupakan mitra Pemerintah Kelurahan dalam melaksanakan
tugas pemerintahan umum dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui program-program kerjanya.Berikut ini Kami sampaikan Susunan
Pengurus Tim Penggerak PKK Kelurahan Tingkir Lor Masa Bakti Tahun
2013 – 2016.
TABEL 10.
68
NO NAMA JABATAN KET
1 2 3 4
1. Ny. Udiyani Sumadi Ketua SK Lurah
Tingkir
2. Ny. Purwanto Wakil Ketua Lor No : 421.1/
3. Ny. Suyati Sekretaris I 01/302.02/2013
4. Ny. Ruminah Sekretaris II
5. Ny. Sri Karyanti Bendahara I
6. Ny. Suali Bendahara II
7. Ny. Sukaesi Akhla Pokja I
8. Ny. Suherman Pokja I
9. Ny. Nasiroh Pokja I
10. Ny. Siti Munawaroh Pokja II
11. Ny. Nur Hidayati Pokja II
12. Ny. Sri Mulyani Pokja II
13. Ny. Himatul Aliyah Pokja II
14. Ny. Rohmiyati Pokja III
15. Ny. Anis Hudaya Pokja III
16. Ny. Yuli Parnawati Pokja III
17. Ny. Ari Herayati Pokja IV
18. Ny. Kholila Hidayati Pokja IV
19. Ny. Nur Hasanah Pokja IV
69
PKK merupakan sebuah organisasi perempuan secara nasional
yang bergerak dalam bidang urusan rumah tangga.
Keempat, Lembaga Komunikasi Masyarakat (LKM).
LKM adalah Lembaga Komunikasi Masyarakat yang dibentuk
guna meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan khususnya di kota salatiga dengan
menciptakan ruang publik yang dapat digunakan sebagai media
penyebarluasan informasi dan penyaluran aspirasi masyarakat. Maksud
dibentuknya LKM adalah :
a. Mewujudkan masyarakat yang mengerti, mengetahui, peduli dan paham
informasi.
b. Memberdayakan masyarakat agar mampu memilih dan memilah
informasi.
c. Mewujudkan jaringan komunikasi dua arah antara masyarakat dengan
Pemerintah.
d. Menghubungkan berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga
terwujud persatuan dan kesatuan.
Tujuan dibentuknya LKM adalah :
a. Media penyatuan persepsi antara pemerintah daerah dengan masyarakat
dan antara anggota masyarakat sendiri.
70
b. Media penyebarluasan informasi dan penyaluran aspirasi.
c. Media peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kegiatan yang dilakukan LKM antara lain menyebarluaskan
informasi kebijakan pemerintah dan hasil pembangunan dengan masyarakat
sehingga masyarakat memperoleh pemahaman dan pencerahan,
menyelenggarakan dialog interaktif, menjadi fasilitator, melakukan kegiatan
sebagai public relations / hubungan masyarakat, membentuk jaringan
komunikasi dan membentuk pusat informasi dengan memanfaatkan
teknologi informasi.
3. Struktir Sosial Ekonomi Kemasyarakatan
Untuk mengetahui tingkat ekonomi masyarakat kelurahan Tingkir
Lor bisa dilihat dari jenis pekerjaan atauapun mata pepncaharian. Mata
pencaharian penduduk Tingkir Lor beraneka ragam. Mulai dari petani,
pedagang, PNS, dan lain-lain. Untuk data lengkapnya bisa dilihat dalam
tabel di bawah ini.
TABEL 4. DATA MATA PENCAHARIAN
NO PEKERJAAN JUMLAH
1. Pelajar / Mahasiswa 1.083
2. Mengurus Rumah
Tangga
597
71
3. Pensiunan 58
4. Pegawai Negeri Sipil 137
5. TNI – POLRI 21
6. Pedagang/Perdagangan 198
7. Petani/Pekebun 81
8. Karyawan Swasta 565
9. Buruh Harian Lepas 308
10. Buruh Tani 76
11. Guru 78
12. Tukang Jahit 89
13. Wiraswasta 624
14. Lain-lain 188
15. Belum / Tidak Bekerja 771
J U M L A H 4.874
4. Setting Kehidupan Keagamaan
Kelurahan Tingkir Lor merupakan suatu wilayah yang memiliki
potensi keagamaan yang sangat tinggi. Banyak kyai dan juga tokoh agama
Islam yang sejak kecil tinggal di wilayah ini. Hal ini terbukti banyaknya
pondok pesantren dan juga lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam
satu kelurahan ada empat pondok pesantren yaitu pondok pesantren al-
72
Islah, pondok pesantren al-Muhajirin, pondok pesantren Asta‟in dan
pondok pesantren Masyitoh.
Selain itu juga banyak majlis-majlis pengajian yang dilaksanakan
di rumah para kyai dengan mengkaji berbagai kitab klasik baik fiqh, tafsir,
hadis ataupun tasawuf. adalah sarana prasarana bidang keagamaan, di
Kelurahan Tingkir Lor mempunyai tempat ibadah baik masjid maupun
mushalla sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
TABEL 7. DAFTAR NAMA MASJID DAN MUSHOLA
NO NAMA ALAMAT
1. Masjid Jami‟ Sabilal Muttaqien Sanggrahan RT 02 / RW 01
2. Masjid Al Maslahah Dukuh RT 01 / RW 02
3. Masjid Luhur Al Qhofuru Dukuh RT 02 / RW 02
4. Masjid Al Fudlola Krajan RT 02 / RW 05
5. Masjid Misykatul Atsar Kradenan RT 02 / RW 06
6. Masjid Darul Amanah Cinderejo RT 01 / RW 07
7. Masjid An Nur Cinderejo RT 02 / RW 07
8. Masjid Al Hidayah Tingkir Indah RT 02 / RW 08
9. Mushola Baitus Surur Sanggrahan RT 01 / RW 01
10. Mushola Baitus Su‟ada Wonosaren RT 03 / RW 01
11. Mushola Darusssalam Dukuh RT 01 / RW 02
12. Mushola Nurul Burhan Dukuh RT 02 / RW 02
13. Mushola As Salam Dukuh RT 02 / RW 02
14. Mushola Al Amin Ngentak RT 01 / RW 03
73
15. Mushola Al Hikmah Ngentak RT 02 / RW 03
16. Mushola Ma‟wan Na‟asik (H.
Cholid Trenggono)
Ngentak RT 03 / RW 03
17. Mushola Al Fallah (H.
Hardiyo)
Kriyan RT 01 / RW 04
18. Mushola Al Huda Kriyan RT 01 / RW 04
19. Mushola Awabin (Komp
Ponpes Darul Muhajirin)
Kriyan RT 02 / RW 04
20. Mushola Yatama (Komp PA
Yatama)
Kriyan RT 03 / RW 04
21. Mushola Al Hikmah Kriyan RT 03 / RW 04
22. Mushola Darul Fallah Krajan RT 01 / RW 05
23. Mushola Darussalam Krajan RT 01 / RW 05
24. Mushola Nurul Huda Timur Kradenan RT 01 / RW 06
25. Mushola Nurul Huda Barat Kradenan RT 01 / RW 06
26. Mushola Al Muttaqien Timur Kradenan RT 02 / RW 06
27. Mushola Al Muttaqien Barat Kradenan RT 02 / RW 0628.
28. Mushola Assalam (Titik Istiati) Cinderejo RT 02 / RW 07
29. Mushola Darul Fallah Cinderejo RT 02 / RW 07
30. Mushola Baitul Maghfiroh Cinderejo RT 05 / RW 07
31. Mushola Rahmad Salam Al
Salam
Perum Tingkir Indah RT 03 / RW 08
74
Selain tersedia masjid dan mushalla ada juga lembaga pendidikan
yang khusus mempelajari materi agama, yaitu madrasah diniyah, mulai
dari tingkat ula, wustha, dan ulya. Masyarakat juga memiliki antusias
yang sangat tinggi dalam mendorong anak-anaknhya untuk mempelajari
materi agama. Hal ini bisa dibuktikan banyak santri yang belajar di
madrasah diniyah tersebut.
Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa warga masyarakat
kelurahan Tingkir Lor memiliki tradisi keagamaan yang tinggi. Hal ini
mempengaruhi pola ketaatan istri kepada suami. Bahkan kitab Uqudulijain
karya Imam Nawawi al Bantani merupakan kajian wajib bagi perempuan
baik mereka yang mengenyam pembelajaran di pondok pesantren atau[un
hanya belajar ngaji ke rumah kyai yang ada lingkungan tempat tinggalnya.
5. Gambaran Umum Kegiatan Ibu-Ibu (istri)
Kegiatan ibu-ibu zaman dulu sangat berbeda dengan kegiatan ibu-
ibu zaman sekarang. Jika dulu seorang ibu (istri) banyak tinggal di rumah
menunggu dan melayani suami sambil menyelesaikan tugas rumah tangga
seperti masak, mencuci, bersih-bersih, sekarang banyak seklai ibu-ibu
(istri) yang memiliki kegiatan di luar urusan rumah tangga. Kegiatan
tersebut ada yang produktif ada yang tidak produktif. Kegiatan ibu-ibu
yang produktif (menghasilkan upah) misalnya menjadi guru baik di
madrasah maupun di sekolah-sekolah umum, menjadi buruh, kerja di
perusahaan, dan juga menjahit dan membuat makanan kemudian dijual.
Banyak juga ibu (istri) yang memiliki usaha konveksi, membuat roti,
75
membuat tempe, membuat makanan ringan, mengolah kain perca menjadi
alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Hasil dari kegiatan tersebut bisa untuk
kebutuhan sehari-hari tanpa harus tergantung dengan pemberian dari
suami. Bahkan bisa dikatakan bahwa pengahsilan ibu-ibu di kelurahan
Tingkir Lor ini bisa untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga.Selain itu
juga bisa menambah lapangan pekerjaan khususnya untuk wilayah sekitar
keluarahan Tingkir Lor. Misalnya konveksi ”abel”.memiliki lebih dari
lima tenaga kerja.
Sedangkan terkait dengan kegiatan ibu tiap RT memiliki
kelompok. setiap kelompok mengadakan pertemuan dengan kajian
keagamaan dan informasi-informasi yang terkait dengan kepemerintahan.
Dengan berbagai kegiatan yang difokuskan hanya kepada para istri ini
maka wawasan keilmuan ibu-ibu (istri) secara otomatis meningkat.
Dengan meningkatnya wawasan kelimuan bagi ibu-ibu ini
meningkat pula wawasan kehidupan dalam berumahtangga. Misalnya saja
bagi para istri yang selama ini keilmuannya sebatas tentang pekerjaan
rumah tangga, saat ini para istri juga mengenal wawasan kebangsaan. Hal
ini juga mendorong semakin tertatanya kehidupan dalam rumah tangga.
Sehingga para istri saat ini merasa memiliki tanggungjawab juga dalam
mendidik dan bahkan mengatur juga ikut mencari nafkah dalam kehidupan
keluarga.
Tidak sedikit ibu-ibu yang rela mengorbankan waktunya disiang
hari untuk mencarai nafkah walaupun baru sebatas nafkah tambahan,
76
sementara di rumah mereka rela mengerjakan berbagai pekerjaan rumah
tangga mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan lain-lain.
Sampai sejauh ini istri masih sadar sepenuhnya bahwa posisi mereka
adalah sebagai istri dari seorang suami yang memiliki berbagai kewajiban
terhadap suami. Terutama kataatannya dalam menjalankan perintah suami
sebatas tidak dalam maksiat.
B. Gambaran Umum Kelurahan Kutowinangun
1. Letak Geografis Keluarahan Kutowinangun
Kelurahan Kutowinangun merupakan salah satu kelurahan yang
terletak di wilayah kecamatan Tingkir Kota Salatiga dan berada pada
ketinggian 620 M daru permukaan air laut dengan curah hujan rata-rata
2.583 mm/th. Kelurahan Kutowinangun mempunyai luas wilayah 281.105
Ha yang terbagi dalam 14 RW yakni Kalioso meliputi RW. 1, 2, 3,
Pancuran RW. 4, Ngentak RW. 5, Karang Pete RW. 6, Canden RW. 7.
Butuh RW.8, Nanggulan RW.9, Blondo Celong RW. 10, Karang Duwet
RW.11, Perum Wahid RW.12, Nanggulan RW. 13 dan 14. Dari 14 RW
terbagi lagi menjadi 151 RT.
Kelurahan Kutowinangun berada dalam wilayah yang sangat
strategis karena berada di wilayah perkotaan dan tidak terlalu jauh dari
Pusat Pemerintahan. Hal ini juga didukung dengan adanya sarana prasaran
transportasi yang mudah untuk menunjang kelancaran kegiatan
perekonomian di seputar Kota Salatiga. Sedangkan akses menuju ke
77
kantor KUA yang terletak di komplek kantor kecamatan tidak ada satu km.
Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan informasi dari KUA.
2. Potensi Wilayah
Untuk menegtahui peotensi wilayah beserta sumber daya manusia
yang tinggal di Kelurahan Kutowinangun bisa dilihat dari jumlah
penduduk berdasarkan usia dan tingkat pendidikan sebagaimana bisa
dilihat dalam tabel 1dan 2 di bawah ini:
Tabel I
Penduduk dalam kelompok umur dan jenis kelamin
No Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
01 0-4 608 606 1.214
02 5-9 861 785 1.646
03 10-14 823 772 1.595
04 15-19 818 783 1.601
05 20-24 884 827 1.711
06 25-29 978 936 1.914
07 30-39 1.962 2.022 3.984
08 40-49 1.610 1.732 3.342
09 50-59 1.230 1.398 2.628
10 60+ 1.094 1.445 2.539
Jumlah 10.792 11.224 22.174
78
Sumber data dari sistem informasi kependudukan Kota Salatiga
untuk kelurahan Kutowinangun yang dicetak pada tanggal 04 September
2012 jam 11:20:51.
Dari tabel satu di atas bisa dilihat bahwa penduduk yang memiliki potensi
belajar cukup tinggi karena lebih dari 3000 penduduk, jika ditinjau dari
wajib belajar 9 tahun.
Tabel II
Penduduk Menurut tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
01 Strata III 13 2 15
02 Strata II 49 42 91
03 Diploma IV/Strata I 722 704 1426
04 Diploma
III/Akademi/Sarjana
Muda
319 347 666
05 Diploma I/II 105 177 282
06 SLTA/SEDERAJAT 3543 3076 6619
07 SLTP/SEDERAJAT 1765 1834 3599
08 Tamat SD/Sederajat 1766 2276 4042
09 Belum Tamat SD 1276 1374 2650
10 Unkown 0 1 1
79
Sumber data dari sistem informasi kependudukan Kota Salatiga untuk
kelurahan Kutowinangun yang dicetak pada tanggal 04 September 2012
jam 11:22:03.
Dari tabel 2 di atas bisa dilihat bahwa sumber daya manusia yang
ada di Kelurahan Kutowinangun sangat berkualitas. Hampir semua
penduduk merasakan sekolah formal bahkan sampai tingkat Doktor. Hal
ini menunjukkan bahwa kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan
sangat tinggi. Hal ini juga didukung bahwa secara geografis kelurahan
Kurowingun ini sangat dekat dengan pusat lembaga pendidikan mulai dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sehingga jika ada penduduk yang
ingin menyekolahkan anak-anaknya tidak harus memerlukan perjalanan
yang jauh dan memakan waktu yang lama.
Selain berada dekat dengan pusal pendidikan kelurahan
Kutpowinangun juga berada dekat pusat perbelanjaan. Hal ini juga
mendorong para orang tua untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka
sampai tingkat perguruan tinggi.
3. Struktur sosial ekonomi kemasyarakatan
Tabel III
Mata Pencaharian Penduduk
No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk
01 Petani Sendiri 46 Orang
02 Buruh Tani 46 Orang
03 Nelayan 0 Orang
80
04 Pengusaha 218 Orang
05 Buruh Industri 2.587 Orang
06 Pedagang 1.183 Orang
07 Buruh Bangunan 89 Orang
09 Pengangkutan 254 Orang
10 PNS/ABRI 393 Orang
11 Pensiunan 445 Orang
12 Lain-lain 14.760 Orang
Jumlah 21.985 Orang
Sumber data dari monografi Kelurahan Kutowinangun Agustus 2012
Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa mata pencaharian
penduduk wilayah Kutowinangun sudah tidak hanya bertani atau buruh
saja. Akan tetapi banyak yang menjadi pedagang dan juga pensiunan
bahkan juga PNS. Hal ini menunjukkan bahwa kelurahan Kutowinangun
representatif jika oleh peneliti dikelompokkan wilayah yang menurut
Clilfort Geart dimasukkan ke dalam kelompok priyayi. Selain menjadi
pegawai negeri mereka juga banyak yang memiliki usaha pertokoan
ataupun warung-warung. Hal ini didukung oleh letak geografis kelurahan
Kutowinagun yang dekat denga pasar tardisional maupun pasar modern
(mall).
4. Setting kehidupan social keagamaan dulu dan sekarang.
a. Setting kehidupan social keagamaan dulu
81
Berdasarkan wawancara dari tokoh masyarakat serta tokoh
agama yang ada dikelurahan Kutowinangun bisa dipaparkan bahwa
kehidupan sosial keagamaan pada tahun 1950an sampai tahun 1970an
bisa dikatakan tidak ada kegiatan ataupun bahkan kehidupan yang
bercorak agama. Masyarakat kebanyakan tidak memiliki agama
(wawancara dengan Bapak Margono, Karangpete). Hal ini terjadi
karena memang ajaran-ajaran agama tidak pernah sampai atau kalau
sampai, tidak pernah mereka hiaraukan. Bagi mereka yang beragama
(Islam misalnya) menjalankan ibadah agamanya di rumah masing-
masing. Merekapun tidak pernah mengajak atau mempengaruhi
masyarakat bahkan anak-anaknya untuk menjalankan ibadah. jika
melakukan ibadah jum‟at bagi orang laki-laki mereka tetap ke masjid
akan tetapi sarung dan pecis sebagai alat ibadah mereka
disembunyikan dibalik celana atau dimasukkan di kantong celana.
Bangunan masjid baru ada dua yang bertempat di Canden dan
Butuh apalagi mushalla. Semua orang Islam yang akan menjalankan
ibadah jum‟at akan pergi ke Masjid yang ada di Butuh dan juga
Canden tersebut. (wawancara dengan bapak Maksum, Karangduwet).
Baru kemudian datanglah seorang Kyai yang bernama Bapak Zayin
dari Kalibening yang berusaha mengajarkan Islam di lingkungan
Karangpete, Karang Duwet dan juga Butuh. Bapak Zayin dengan
berani mengadakan pengajian di masjid Butuh walupun harus
menemui bayak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain
82
adanya duri yang sengaja dipasang oleh masyarakat yang tidak suka,
adanya cemoohan, dikucilkan oleh masyarakat dan lain-lain.
(wawancara dengan bapak Khusen, Canden)
Walaupun begitu masyarakat yang tidak memiliki agama atau
kalau memiliki agama tapi tidak pernah menjalankan agamanya
tersebut, sebagian kecil memiliki semangat keagamaan yang tinggi.
Hal ini bisa dilihat dari semangat mereka ketika diajak gotong royong
mendirikan mushalla Jabal Nur di Karangpete yang disponsori oleh
Bapak Dimyati almarhum dan juga Bapak Margono. (wawancara
dengan Bapak Toro dan mertuanya di Karangpete)
b. Setting kehidupan social agama dan budaya sekarang
Keadaan sosial budaya masyarakat kelurahan Kutowinangun
dapat ditinjau dari berbagai kegaiatan yang berlangsung saat ini.
Sangat berbeda dengan tahun sebelum 80an, saat ini kegiatan sosial
budaya dapat dilihat dari banyaknya kegiatan masyarakat baik yang
terkait dengan keagamaan, pendidikan maupun adat istiadatnya. Dari
segi agama saat ini sudah banyak kegiatan dalam rangka meningkatkan
kemampuan pengetahuan dalam bidang agama. Mulai dari anak-anak
sampai dengan orang tua. Kegiatan yang melibatkan anak-anak ada
TPA (Taman Pendidikan al Qur‟an) yang bertujuan untuk
meningkatkan baca tulis al Qur‟an dan pengetahuan agama yang lain.
Kegiatan serupa juga diadakan oleh agama-agama lain (terutama
Kristen). (observasi dan wawancara).
83
Khusus terkait dengan kegiatan pengetahuan agama Islam
kelurahan Kutowinangun memiliki lembaga rsemi Madrasah
Ibitaidaiyyah dan Taman Pendidikan Al Qur‟an yang tersedia di setiap
dusun. Bahkan ada dusun yang memiliki 2 sampai tiga TPA, seperti
dusun Karang Duwet. Selain TPA kelurahan Kutowinangun memiliki
banyak musholla dan masjid sebagai pusat pembinaan umat Islam
dengan berbagai kegiatan yang meliputi: shalat jama‟ah, pengajian ibu-
ibu dan bapak-bapak juga remaja.
Kegiatan keagamaan tidak hanya berpusat di masjid, akan
tetapi juga di rumah-rumah anggota pengajian yang bersifat
anjangsana. Pengajian anjangsana ini banyak sekali, hampir setiap
dusun ada kegiatan ini. Misalnya di Karang Pete ada pengajian setiap
malam Selasa, malam Minggu, malam Jum‟at dan juga malam Sabtu.
Di dusun Canden ada kegiatan setiap malam Senin, Jum‟at siang dan
juga malam minggu. Rata-rata kegiatan pengajian terdiri dari tahlilan,
baca al Barjanji, yasinan, baca shalawat nariyah, dan juga membaca Al
Qur‟an dan mauidlah hasanah.
Untuk kegiatan hari-hari besar Islam biasanya juga diadakan
peringatan seperti maulidun nabi, peringatan isra‟ mi‟raj, santunan
yatim piatu dan lain-lain. Untuk menambah semaraknya pengajian
dalam rangka paringatan hari besar Islam tidak jarang di lengkapi
dengan penampilan musik rebana dari kelurahan Kutowinangun yang
terdiri dari ibu-ibu dan juga bapak-bapak.
84
Jika dibandingkan dengan zaman Tahun 1970an kondisi umat
Islam sudah sangat berbeda. Selain jumlahnya sudah sangat banyak,
bangunan masjid dan mushalla juga sudah ada disetiap dusun di
kelurahan Kutowinangun. Untuk melihat jumlah penduduj berdasarkan
agama bisa dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel IV
Banyaknya Pemeluk Agama
No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah
01 Islam 7827 7979 15.806
02 Kristen
Protestan
2302 2477 4.779
03 Kristen Katholik 645 731 1376
04 Budha 79 100 179
05 Hindu 3 1 4
06 Kong Hu Chu 0 0 0
07 Lainnya 0 0 0
Sumber data dari sistem informasi kependudukan Kota Salatiga
untuk kelurahan Kutowinangun yang dicetak pada tanggal 04 September
2012 jam 11:21:40.
Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa pemeluk agama Islam di
Kelurahan Kutowinangun menduduki peringkat tertinggi serta tidak
sebanding dengan agama-agama lain. Hanya saja jika dibandingkan
dengan warga keluarahan Tingkir Lor dalam pengetahuna keagamaan
85
sangat berbeda. Tokoh agama dan kyai yang tinggla di Keluarah
Kutowinangun tidak sebanyak yang ada di Tingkir Lor. Hal ini otomatis
mempengaruhi nuansa religius dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan
berdasarkan penelitian tentang kemampuan baca tulis al- Qur‟an, warga
kelurahan Kutowinagun masih sangat banyak yang tidak bisa membaca
dan menulis huruf Arab (al Qur‟an).
C. Bentuk Ketaatan Istri kepada Suami di Kelurahan Tingkir Lor
Kata keluarga santri dalam penelitian ini memiliki makna
masyarakat Muslim yang taat menjalankan perintah agama (Islam).
Batasannya adalah pengakuan terhadap eksistensi Allah, mengakui Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah, menjalankan semua syari‟at Allah serta
menjauhi segala larangan Allah.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan bentuk kegiatan
ataupun aktifitas istri dalam keluarga santri yang ada di kelurahan Tingkir Lor
adalah sebagai berikut:
1. Guru ngaji (ustadzah)
Aktifitas sebagai guru mengaji al Qur‟an khususnya bagi anak-
anak kecil seusia sekolah dasar di kelurahan Tingkir Lor banyak dilakukan
oleh kelompok ibu-ibu (istri). Kegiatan ini dilakukan di rumah masing-
masing ataupun di madrasah dan juga di lembaga Taman Pendidikan Al
Qur‟an. Ketiga tempat kegiatan tersebut hampir dilakukan oleh ibu-ibu.
Perbedaannya terletak pada materi dan juga santri yang mengaji atau
belajar membaca al Qur‟an. Jika dilakukan di rumah mayoritas santri
86
berasal dari anak-anak sekitar rumah mereka tinggal. Sedangkan jika
dilakukan dan Lembaga TPA ataupun madrasah, santri terdiri dari anak-
anak sekitar kelurahan Tingkir Lor juga berasal dari daerah lain. Misalnya
dari Kelurahan tingkir Tengah, Desa Barukan, Salatiga Kota dan lain
sebagainya. Sedangkan materi pembelajran juga berbeda-beda. Jika yang
di rumah kebanyakan hanya belajar membaca al Qur‟an sampai bisa dan
benar, sedangkan jika di TPA ataupun madrasah ada materi lain seperti
fiqh, tarikh, bahasa arab akhlaq dan lain-lain.
Aktifitas sebagai guru mengaji ini banyak dilakukan oleh ibu-ibu
yang note bene juga sebagai istri. Misalnya dilakukan oleh Ibu Arfiatun,
Ibu Tasmiah, Ibu Jumi‟ah, Ibu Siti Munawiroh, Ibu Anifah. Selain itu
masih banyak ibu-ibu yang melakukan aktifitas tersebut hanya saja peneliti
tidak sempat mengadakan wawancara. Menurut pengakuan mereka tugas
utama sebagai seorang perempuan adalah taat kepada suaminya. Karena
tugas seorang istri yang utama adalah melayani suami. Apalagi jika
berpegang teguh dengan ajaran Islam, bahwa istri hanya memiliki tugas
sebagai pelayan suami khususnya ditempat tidur. Sedangkan kewajiban-
kewajiban yang lain menjadi tanggung jawab suami. Istri sedkitpun tidak
dituntut untuk mencari nafkah. Istri juga tidak berkewajiban untuk
mengerjakan kegiatan rumah tangga yang lainnya seperti mencuci,
memasak, membersihkan rumah dan lain-lain. Namun tidak demikian
realitas yang terjadi pada praktik kehidupan sehari-hari. Misalnya Ibu
Arfiatun mengaku bahwa semua kegiatan baik yang berurusan dengan
87
kegiatan domestik bahkan juga publik dikerjakan bersama-sama dengan
suaminya. Ibu Arfiatun dengan suaminya selalu mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dengan tidak membedakan jenis kelamin ataupun status istri
dan suami. Akan tetapi mereka mengerjakan pekerjaan sesuai dengan
kelonggaran waktu yang mereka miliki. Jika Istri sedang memasak maka
suaminya yang bersih-bersih. Begitu juga kegiatan yang lainnya. Apalagi
saat ini Ibu Arfiatun memiliki santri kecil yang tinggal di rumahnya.
Mereka dititipkan oleh orangtuanya karena ditinggal bekerja agar bisa
mengaji dan mempelajari agama dengan baik. Santri-santri tersebut juga
menjadi tanggung jawab mereka berdua. Jika suaminya sudah mengajari
membaca al Qur‟an maka Ibu Arfiatun mengajarkan materi fiqh mulai dari
thaharah dan juga shalat. Selain mengajarkan agama di rumah Ibu Arfiatun
bersama suaminya juga menjadi ustadz dan ustadzah di TPA Al Banin
yang berada persis di samping rumahnya.
Tanggung jawab rumah tangga yang lainnya seperti kebutuhan
nafkah juga menjadi tanggung jawab antara suami dan juga istri. Sehingga
selain mengajar ngaji Ibu Arfitaun juga menjahit bersama suaminya di
rumah. Hasil ataupun upah dari menjahit tersebut bisa untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari selain dari sumber yang lainnya.
Selain Ibu Arfiatun ini juga terjadi pada Ibu Jumi‟ah. Ibu Jumi‟ah
selain sebagai istri yang harus taat dengan suaminya juga sebagai guru
ngaji di TPA satu lembaga dengan Ibu Arfiatun. Hanya bedanya Ibu
Jumi‟ah tidak memiliki santri di rumahnya. Walaupun begitu Ibu Jumi‟ah
88
juga mengajarkan ngaji setiap ba‟da magrib bergabung dengan kakak laki-
lakinya di Mushalla yang berada di belakang rumahnya.
Sebagaimana ibu-ibu yang lainnya di samping sebagai ustadzah
Ibu Jumi‟ah juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari
memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, mengawasi dan juga mendidik
anak-anak, bahkan pergi ke sawah menunggui padi yang sedang
menguning. Selain itu Ibu Jumi‟ah masih harus menerima jahitan baju-
baju seragam sekolah dan juga baju-baju yang lain untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Semua itu dilakukan dengan ikhlas mengingat
suaminya hanya bekerja sebagai buruh srabutan, yang berangkat pagi
pulang sore. Sehingga tidak bisa mengerjakan sepenuhnya kegiatan rumah
tangga yang seharusnya juga menjadi kewajiban suami.
2. Wirausaha
Kelurahan Tingkir Lor dikenal dengan kampung mujahid dan
kampung mufassir. Laqab atau julukan ini menggambarkan bahwa
Kelurahan Tingkir Lor banyak ulama yang ahli dalam berjihad juga ahli
dalm bidang tafsir al Qur‟an. Realitasnya memang banyak kyai dan ulama
yang tinggal di sini, hal ini bisa dibuktikan dari jumlah pondok pesantren
juga lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain. Bahkan banyak juga
majlis-majlis ta‟lim yang mengkaji kitab-kitab turats, mulai dari pendalam
kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan lain-lain.
Namun ternyata laqab tersebut tidak ditujukan pada banyak
ulama tersebut, akan tetapi karena banyak masyarakat yang berprofesi
89
sebagai penjahit dan ke pasar. Realitas yang terjadi di lapangan jika kita
masuk jantung Kelurahan Tingkir Lor hampir tak ada satu rumah-pun
yang sepi dari aktifitas. Mulai dari menjahit dengan berbagai bentuk
jahitan, membuat makanan ringan, membuat tempe, sambel kacang dan
lain-lain yang tidka bisa kami sebut satu pesatu.
Usaha-usaha tersebut mayoritas dijalankan oleh para istri atau
ibu-ibu. Misalnya Ibu Ainaul Mardliyyah. Sejak usia muda (belum
menikah) sudah dididik oleh ibunya untuk bekerja di rumah, dengan
ibunya dalam menjahit dan merawat adik-adiknya. Pendidikan dari ibunya
tersebut ternyata mampu membawa kesuksesan ibu Ainaul dalam
menjalankan usahanya dalam bidang konveksi. Mulai dari usah rukuh
kecil-kecilan sampai pada usaha pembuatan sekaligus penjualan bed cover.
Usaha ini ia tekuni dalam rangka meringankan kebutuhan keluarga. Suami
bekerja sebagai pegawai di sebuah pabrik di Salatiga. Dengan
mendapatkan tambahan penghasilan dari usahanya ini kehidupan
keluarganya menjadi lebih dari cukup.
Karena kesibukannya ibu Ainaul dalam menjalankan usahanya
ini, ia tidak pernah sempat melakukan kegiatan terkait dengan urusan
rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mencuci,
bersih-bersih diserahkan kepada orang lain (pembantu rumah tangga).
Terkecuali jika anak-anaknya di rumah. Baru ia mau memasak, karena
anak-anaknya tidak mau dimasakkan oleh orang lain. Namun begitu Ibu
Ainaul merasa bahwa sesungguhnya pekerjaan rumah tangga merupakan
90
tanggungjawab seorang istri. Maka jika ada waktu dan bisa mengerjakan
sebaiknya istri tetap juga harus mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga.
3. Penjahit
Profesi sebagai penjahit atau tukang jahit sudah merupakan
profesi yang melekat pada masyarakat di kelurahan Tingkir Lor. Tidak
hanya dilakukan oleh ibu-ibu tapi juga bapak-bapak. Hampir setiap rumah
memiliki mesin jahit. kebanyakan dari mereka adalah menjahit kain-kain
kualitas dua dari berbagai pabrik yang ada di Salatiga maupun Kabupaten
Semarang. Salah satu penjahit baju yang dilakukan oleh istri adalah ibu
Milla. Bahkan tidak hanya menjahit, dia juga berjualan kecil-kecilan
dengan membuka warung sekaligus menjadi ruang menjahit. Suaminya
yang hanya bekerja srabutan ini harus menyekolahkan anaknya sampai
tingkat perguruan tinggi. Hal itu dilakukan dalam rangka membantu dan
meringankan beban suami.
Selain harus menjahit dia juga masih harus melakukan pekerjaan
sehari-hari mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih rumah. Sehingga
kadang-kadang pekerjaan menjahitnya menjadi dinomorduakan.
4. Penjual Hasil Jahitan
5. Pengrajin Makanan Kecil
D. Bentuk ketaatan Istri Kepada Suami di Kelurahan Kutowinangun.
1. Berjualan di Rumah
91
Istri dalam tradisi Jawa memiliki tugas yag dikenal dengan tiga
M, manak, masak dan macak. Namun realitas yang terjadi ternyata tidak
demikian. Walaupun hanya tinggal di rumah dengan mengerjakan
pekerjaan rutin sehari-hari, akan tetapi seorang istri juga bisa membantu
mengerjakan pekerjaan yang lainnya yaitu dengan berjualan di rumah.
Realitas istri yang seperti ini terjadi pada Maesaroh (bukan nama
sebenarnya). Dengan modal yang diperoleh dari suami ibu ini membuka
warung dengan berjualan kebutuhan sehari-hari. Hasil dari berjualan bisa
untuk menambah kebutuhan dalam rumah tangganya.
Selain itu Ibu Maesaroh juga ikut kegiatan-kegiatan terutama
yang terkait dengan ibu-ibu. Selain untuk menambah wawasan tentang
agama juga menambah ilmu. Juga dalam rangka mengurangi kepenatan
atau kecapekan setelah mengerjakan pekerjaan rutin di rumah.
Semua kegiatan rumah tangga dikerjakan dengan sabar dan
ikhlas, hal ini dilakukan selain karena memang sudah tugasnya sebagai
istri dan ibu rumah tangga, juga dikarenakan ajaran agama. Menurutnya
seorang istri memiliki kewajiban mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga sebagai bentuk ketaatannya kepada suami. Sehingga jika pekerjaan-
pekerjaan tersebut tidak dilakukan dengan baik akan mendapatkan dosa.
2. Buruh Pabrik (Sugiyanti)
Jika ada yang mengatakan bahwa wanita itu lemah maka
sebetulnya pernyataan tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan. Jika
kita mengamati daya tahan tubuh dan juga kesabaran wanita bisa lebih
92
tinggi dan lebih baik jika dibandingkan laki-laki. Banyak kasus suami
(laki-laki) meninggal dunia lebih dulu dibandingkan istri. Sementara istri
kuat dan mampu hidup tanpa suami bertahun-tahun dalam rangka
memperjuangkan kehidupan rumah tangga bersama anak-anaknya. Bahkan
istri tidak mau tinggal diam di rumah jika melihat penghasilan suami tidak
bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Istri rela membanting tulang
tiap pagi sampai petang dalam rangka mencari nafkah untuk membantu
suami dalam membesarkan anak-anaknya.
Contoh istri yang memiliki jiwa yang kuat seperti ini adalah Ibu
Sugiyanti. Ia hidup berkeluarga dengan enam anak, sedangkan suaminya
hanya sebagai pegawai PJKA yang gajinya hanya cukup untuk kebutuhan
sehari-hari. Itupun tidak sepenuhnya diberikan kepada istri. Dalam kondisi
yang demikian Ibu Sugiyarti rela bekerja disebuah pabrik sambil
berjaualan makanan kecil. Selain itu juga masih harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih
rumah dan juga merawat ke enam anaknya yang masih kecil-kecil. Hal itu
semua dilakukan karena merasa bahwa itu sudah menjadi kewajiban
sebagai istri. Keyakinannya ini didasarkan pada ajaran agama Islam dari
para ustad yang ia dapatkan ketika mengikuti pengajian-pengajian di
majlis ta‟lim ataupun di mushalla.
Upah ataupun penghasilan dari bekerja dan juga berjualan ini
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Ibu Sugiyanti ini
mampu menyisihkan sebagian uangnya untuk memperbaiki rumah tempat
93
tinggalnya. Menurut pengakuannya rumahnya dulu hanya terbuat dari
kayu dan bambu, tapi sekarang sudah lumayan kuat lantainya juga sudah
di semen.
Ibu Sugiyanti sekarang sudah tua, keenam anaknya sudah
menikah dan hidup bersama keluarganya. Sehingga ia hanya hidup dengan
suami dan seorang cucu. Ia mengaku sudah tidak bisa melayani suaminya
lagi baik di tempat tidur maupun bentuk pelayanan yang lainnya. Ia hanya
mau memasakkan suami jika suami minta dan juga memberikan uang
untuk belanja.
3. Aktifis Organisasi Perempuan (Eny)
Tiada hari tanpa beraktifitas dalam beroganisasi, ucapan tersebut
mungkin tepat diucapkan untuk Ibu Eny Muryanto. Walau berbekal
pendidikan yang tidak sampai sarjana karena kondisi ekonomi
keluarganya, namun ia mampu menggerakkan organisasi perempuan
khususnya di Kelurahan Kutowinangun. Bahkan mendirikan sekolah TK
dan juga TPA di samping rumahnya, dengan dibantu oleh ibu-ibu yang
lain. Selain itu ia juga sebagai istri yang harus tetap melayani suaminya.
Bahkan ia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari memasak,
mencuci dan juga bersih-bersih dan merawat anak-anaknya. Namun
suaminya tetap mau membantu dan bekerjasama dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Waktu anak-anaknya masih kecil, jika ia
mengerjakan pekerjaan rumah maka suami yang merawat (momong) anak-
94
anaknya. Bahkan ia juga membantu memenuhi kebutuhan nafkah dengan
menjual makanan kecil yang ia buat sendiri.
Suaminya kini sudah pensiun, sedangkan anak-anaknya sudah
menikah semua. Namun semangatnya tidak kenal lelah dalam mengikuti
berbagai aktifitas organisasi terutama yang terkait dengan perempuan.
Dengan menikmati uang pensiun kini ibu Eny mengisi waktu sepenuhnya
untuk kegiatan organisasi. Tidak hanya satu organisasi yang ia ikuti.
Untuk menambah keilmuannya ia mengikuti program sekolah setingkat
SMA, dan kini ia juga mengikuti kuliah yang diprogramkan oleh
pemerintah dalam hal pengelolaan PAUD.
Tidak bisa menyetir atau naik sepeda motor sendiri ternyata
bukan kendala bagi ibu Eny. Suaminya dengan setia mengantarkan istrinya
ke mana-pun ibu Eny ini pertemuan ataupun mengikuti kegiatan. Semua
itu dilakukan dengan senang serta ikhlas. Akan tetapi kadang-kadang
kecapekan juga. Namun walau begitu ia tetap harus melayani suami
walaupun capek. Karena khawatir nanti suami bisa marah jika ia
menolaknya untuk melayani.
4. Ibu Rumah Tangga (Sugiyem)
Posisi perempuan yang tidak bisa ditawar adalah menjadi ibu
dalam rumah tangga. Kebanyakan perempuan pada zaman sekarang tetap
masih sama bahwa dirinya mesti harus jadi ibu rumah tangga walaupun
bekerja mencari nafkah dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan
keluarga. Biasanya pekerjaan yang dilakukan oleh para istri adalah yang
95
sesuai dengan bakat dan juga minat yang dimilikinya. Misalnya yang
dikukan oleh Ibu Sugiyem. Dulu waktu anak-anaknya masih butuh biaya
untuk sekolah dia membantu suaminya mencari nafkah dengan berjualan
makanan di pabrik. Kadang-kadang juga hanya membantu orang lain di
kantin sebuah pabrik. Hal itu dilakukan setelah semua pekerjaan rumah
telah selesai. Mulai dari mencuci, bersih-bersih rumah, memasak,
menyiapkan suami jika mau berangkat kerja dan lain-lain. Semua itu dia
kerjakan sendiri. Setelah pekerjaan tersebut selesai baru dia pergi bekerja.
Setelah memiliki cucu ibu Sugiyem ini tidak bekerja lagi. Karena
cucunya tidak ada yang merawat. Ibu dan ayahnya pergi bekerja berangkat
pagi pulang sore. Akhirnya pekerjaan ibu Sugiyanti bertambah selain
sebagai istri yang harus mengerjakan semua tugas rumah tangga, masih
harus menjadi nenek yang merawat cucunya.
5. Wiraswasta
Kerja keras tiap hari tanpa kenal lelah dalam rangka menghidupi
kelima anaknya. Itulah yang dilakukan oleh ibu Yeni seorang janda muda
yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam usia yang sangat muda (27
Tahun) ibu ini harus merawat, mendidik, melindungi, dan menafkahi anak-
anaknya. Dia bekerja keras memilih barang-barang sortiran dari pabrik
yang berupa kain, benang, plastik dan lain-lain. Setelah dipilih dan juga
dibersihkan kemudian diambil oleh pengepul dari pekalongan juga dari
solo.
96
Dengan usahanya itu juga kemudian bertemu dengan seorang
laki-laki yang masih perjaka dan kemudian menikahinya. Pernikahannya
dengan bapak Untung yang juga kebetulan memiliki usaha yang sama,
dikaruniai dua anak perempuan. Setelah menikah pekerjaan ibu Yeni ini
menjadi bertambah. Selain harus melayani suami yang sudah menjadi
kewajiban setiap istri dia juga harus menjadi ibu dan bapak dari kelima
anaknya. Sehingga kegiatan usahanya tetap saja dilanjutkan. Dia merasa
bertanggungjawab penuh atas kelima anaknya sampai anak-anak itu
menikah. Dia juga harus mengajari bahkan juga memberikan modal untuk
kelima anak-anaknya dalam berusaha dan mengikuti jejeka orangtuanya.
Sedangkan dia juga harus merawat dan mengasuh kedua putrinya hasil
pernikahan kedua. Kini anak-anaknya sudah besar dan sudah memiliki
cucu. Namun ibu Yeni tetap harus bekerja keras demi anak-anak dan cucu-
cucunya.
Walaupun merasa sudah tua namun pelayanan terhadap suami
masih terus dia lakukan. Untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan
suaminya dia rela melakukan apa saja. Dia juga cenderung diam dan
mengalah jika suaminya tidak memberikan sebagian uang hasil usahanya.
Bahkan dia berusaha untuk selalu menyenangkan hati suaminya. Hal ini
dia lakukan selain memang sudah kewajiban sebagai seorang istri juga
dalam rangka menjaga agar suaminya tidak mencari perempuan lain.
97
BAB IV
ANALISIS
A. Bentuk ketaatan istri terhadap suami di Kelurahan Tingkir Lor dan
Kutowinangun.
Setelah dilakukan penelitian tentang ketaatan istri terhadap suami di
Kelurahan Tingkir Lor dan juga Kelurahan Kutowinangun, bisa dianalisis
bahwa semua istri berusaha semaksimal mungkin untuk bisa berbuat baik dan
taat kepada suaminya. Para istri rela melakukan pekerjaan apa saja baik di
lingkungan rumah tangga (ranah domestic) maupun ranah public (pengabdian
kepada masyarakat). Adapun berbagai bentuk ketaatan istri terhadap suami
adalah sebagai berikut:
1. Tidak berani menolak ajakan suami
Semua istri meyakini bahwa dalam keadaan apapun melayani
suami terkait hubungannya dengan kebutuhan biologis merupakan
kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga walau dalam keadaan
kecapekan istri selalu berusaha untuk melayani suami di tempat tidur.
Bahkan menurut pengakuan salah satu istri di Kutowinangun, karena
sudah lumayan berumur, sementara suami juga masih menginginkan
padahal istri tersebut sudah berkurang semangatnya, maka ia rela membeli
obat-obat hanya agar bisa melayani dengan baik di tempat tidur. Istri
berusaha untuk tidak kecapekan agar bisa melayani suami, karena ada
suami yang tidak mau tahu keadaan istri jika dia menginginkan. Bahkan
98
ada juga suami yang marah jika istrinya tidak mau melayani hanya karena
kecapekan.
Ketaatan istri terhadap suami dalam bentuk ini mereka yakini
memang sudah kewajiban berdasarkan syari‟ah Islam. Mereka mengaku
bahwa pengetahuan tentang kewajiban istri terhadap suami ini diperoleh
dari para kyai yang sering mengisi pengajian.
Bentuk ketaatan istri terhadap suami dalam bentuk ini, jika
direlvansikan dengan budaya Jawa yang biasa dikenal dengan istilah tiga
M, masuk pada kategori manak. Isltilah manak dalam bahasa Jawa
memiliki pengertian tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan
menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak.
Kemampuan berhias diri tampaknya bermuara kepada perempuan yang
kedua ini karena dengan menjaga kecantikannya seorang perempuan akan
memiliki daya tarik bagi suami. Istri wajib selalu kelihatan menarik,
sehingga suami timbul nafsu biologisnya. Keyakinan seperti juga
diperkuat dengan konsep ketaatan istriu dalam Islam.
2. Mengerjakan semua pekerjaan rumah
Menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, yang meliputi
menyediakan kebutuhan makan, minum untuk dirinya, anak-anaknya,
suaminya baik pagi, siang, sore maupun malam hari. Selain itu istri masih
membersihkan rumah, halaman, mencuci piring, mencuci baju dan lain-
lain. Mereka juga meyakini bahwa itu juga sudah menjadi kewajibannya
sebagai seorang istri. Sehingga jika pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak
99
dilakukan para istri merasa berdosa. Walaupun sebagian istri (terutama
mereka yang tinggal di Tingkir Lor) mengetahui bahwa sebetulnya tugas
memasak, mencuci dan juga bersih-bersih rumah dan lain-lain sebenarnya
merupakan kewajiban suami. Sementara kewajiban istri hanya melayani
suami di tempat tidur, sebagaimana pendapat para fuqaha, sebagaiman
diungkapkan oleh Ibu Arfiatun dan Ibu Jumi‟ah, akan tetapi mereka tidak
bisa mempraktikkannnya dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini selain
didorong oleh adat-istiadat yang sudah turun temurun juga pemahaman
agama yang kuat. Menurut pemahaman para istri khususnya di kelurahan
Tingkir Lor pekerjaan rumah tangga yang selama ini dilakukan termasuk
ibadah.
Para istri beranggapan jika ada seorang istri yang tidak
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga selain berdosa juga tidak
pantas, dan biasa menjadi buah bibir bagi ibu-ibu di lingkungannya.
Karena suami sudah capai mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
rumah tannga. maka istri mestinya siap mengerjakan pekerjaan rumah.
Tapi sebaliknya jika istri yang mencari nafkah sementara suami tidak mau
mengerjakan pekerjaan rumah tidak pernah ada yang menganggap suami
tidak bertanggungjawab atau ataupun tidak pantas jadi suami, juga tidak
menjadi pembicaraan masyarakat di lingkungannya.
Image masyarakat sebagaimana tersebut di atas mendorong para
istri untuk terus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai salah satu
bentuk ketaatannya sebagai suami. Jika ada istri yang tidak bisa atau tidak
100
sempat mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena kesibukan bekerja,
maka istri tersebut menyerahkannya kepada pembantu rumah tangga.
Kasus ini misalnya terjadi pada Ibu Ainaul di Tingkir Lor dan Ibu Yeni di
Kutowinangun. Kedua sosok perempuan ini sukses dalam usaha rumahan.
Bahkan mereka mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi ibu-ibu yang
lain di lingkungannya.
3. Membantu mencari nafkah
Dalam syari‟at Islam diyakini bahwa suami memiliki kewajiban
penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pemenuhan nafkah bagi
suami ini meliputi makanan, pakaian, juga rumah. Istilah di Jawa suami
wajib nyandangi, mangani lan ngomahi. Istilah dalam tradisi Jawa ini
tergabung dalam istilah angayani.
Kelima tugas atau kewajiban suami tersebut di atas mencerminkan
bahwa laki-laki memiliki otoritas dalam rumah tangga. Laki-laki Jawa
dianggap lebih terhormat, terpuji, selalu berada di depan, menjadi
penguasa rumah tangga, memiliki tanggung jawab yang lebih dibanding
perempuan, dan sebagai pribadi yang aktif. Sebaliknya perempuan selalu
berada pada posisi di bawah, hanya mengurusi masalah domestik. Hanya
menjadi pendamping laki-laki, serta pribadi yang pasif.
Realitas yang terjadi di masyarakat baik di Kelurahan Tingkir Lor
maupun Kelurahan Kutowinangun tidak demikian. Para istri terpanggil
nuraninya untuk ikut mencari nafkah dalam rangka membantu kebutuhan
rumah tangga. hal ini dilakukan oleh setiap perempuan (istri) dalam semua
101
lapisan masyarakat. Baik istri itu berpendidikan tinggi maupun hanya
beroendidilan tingkat dasar.
Dari semua istri yang peneliti wawancarai, mereka memiliki
penghasilan tetap sebagian tidak tetap. Semua hasil jerih payah kerjanya
mulai dari berjualan, usaha pakaian (konveksi), mengelola sampah pabrik
sampai pada guru-guru ngaji, mereka mengaku jika ada hasilnya
seluruhnya untuk kepentingan keluarga. Hal ini mereka lakukan karena
kondisi ekonomi keluarga memang memang menuntut mereka untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Para suami juga memberi izin,
bahkan mendukungnya.
Sehingga teori atau konsep kuasa laki atas perempuan dalam tradisi
Jawa sebagaimana diterangkan dalam bab II saat ini sudah bergeser
maknanya. Karena saat ini banyak perempuan (istri) yang bisa mencari
nafkah, duduk sederajat dengan para laki-laki. Para istri di Jawa untuk saat
ini juga merasa terpanggil hatinya untuk bersama-sama suami mencari
nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan demikian,
peran suami dalam rumah tangga lebih menunjukkan ditegakkannya
keseimbangan peran melalui pembagian peran, tugas dan tanggung jawab
dalam rumah tangga. Peran pembagian tugas ini diakui secara langsung
oleh ibu Arfiatun dan Bapak Muhyidin. Pasangan yang mengaku
berpendidikan pesantren ini memahami betul bahwa sebetulnya tugas-
tugas rumah tangga mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih rumah,
serta merawat anak-anak dan lain-lain merupakan tugasnya suami. Namun
102
hal tersebut tidak bisa mereka lakukan, selain memang sudah menjadi
tradisi di masyarakat juga keadaan saat ini suami dan istri dituntut untuk
bekerjasama.
4. Mendidik anak-anak
Pendidikan terhadap anak merupakan tanggungjawab kedua
orangtua baik ayah maupun ibu. Tradisi yang sudah membudaya di Jawa
bahwa seorang istri (ibu) lebih dominan dalam hal ini. Apalagi jika anak-
anak tersebut masih kecil. Seorang ibu rela berbuat apa saja demi anak-
anaknya. Oleh karena itu para istri yang peneliti wawancarai mengaku
bahwa sebelum mereka malakukan aktifitas bekerja apapun yang
menghasilkan upah, mereka tetap lebih mendahulukan pekerjaan rumah.
Mereka rela bangun lebih awal dari suami untuk menyiapakan segala
sesuatu terkait dengan kebutuhan anak-anak yang akan berangkat sekolah.
Apalagi jika suaminya bekerja jauh sehingga tidak bisa pulang setiap hari.
Sebagaimana pengankuan Ibu Sugiyanti, dia sejak menikah sudah terbiasa
hidup prihatin membanting tulang merawat, mendidik bahkan membiayai
sekolah keenam anaknya yang masih kecil. Suaminya bekerja menjadi
pegawai PJKA yang selalu berpindah-pindah dan jarang pulang. Kiriman
uangpun tidak lancar. Sementara keenam anak-anaknya masih kecil. Tidak
hanya mendidik anak-anak yang menjadi tenggungjawabnya tetapi juga
merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Ibu Jumi‟ah dengan sabar mendidik anaknya sambil bekerja
menjadi tukang jahit kecil-kecilan di rumah. Sementara suaminya menjadi
buruh yang berangkat pagi pulang sore. Sehingga perhatian pendidikan
103
teradap anak-anaknya sepenuhnya menjadi tugas Ibu Jumi‟ah. Ia mengaku
dengan ekonomi yang hanya cukup, tapi putrinya yang sekarang akan
masuk sekolah tingkat atas berkeinginan menerukan ke sekolah yang
lumayan terkenal. Dengan bekal kemampuan ilmu di bidang agama Ibu ini
selalu mengajari anak-anaknya membaca al Qur‟an yang baik dan benar,
Bahkan dia juga sempatkan mengajarkan baca tulis al Qur‟an kepada
anak-anak yang lainnya.
5. Menjadi bagian dari masyarakat
Bentuk lain ketaatan istri terhadap suami adalah aktif dalam
kegiatan masyarakat. Selain menjadi istri yang memiliki tugas melayani
suami, merawat juga mendidik anak-anaknya, para istri di kelurahan
Tingkir Lor maupun di kelurahan Kutowinangun masih aktif mengikuti
berbagai kegiatan terkait dengan urusan publik, sesuai dengan bidang
ilmunya. Sudah menjadi tuntutan bagi setiap istri untuk ikut aktif dalam
kegiatan di masyarakat. Tentu saja kegiatan yang dilakukan oleh istri-istri
ini tetap mengacu pada syari‟ah Islam dan mendapat ridlo dari suami.
Berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh istri dalam rangka
taat kepada suami antara lain: mewakili suami dalam pertemuan-
pertemuan terkait dengan penyampaian informasi kesejahteraan keluarga.
Pertemuan wali murid, pengajian ibu-ibu. Kegiatan-kegiatan para ibu yang
lainnya seperti pertemuan PKK, Dasa wisma, juga kegiatan masyarakat
lain. Semua itu dilakukan selain atas izin suami juga dilakukan setelah
pekerjaan rumah terselesainkan. Bahkan dengan ikut aktif dalam kegiatan
masyarakat seorang istri bertambah pengetahuan tentang keluarga. Hal ini
104
akan menambah keharmonisan dalam hubungannya dengan suami juga
anak-anak.
B. Perbedaan persepsi tentang ketaatan istri terhadap suami di Kelurahan
Tingkir Lor dan Kelurahan Kutowinangun.
Kelurahan Tingkir Lor dan Kelurahan Kutowinangun merupakan dua
kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Walau
ada dalam satu kecamatan namun secara geografis sangat berbeda. Kelurahan
Kutowinangun sangat dekat dengan pemerintahan kota sehingga akses
informasi lebih cepat sedangkan kelurahan Tingkir Lor berada di pinggir kota
berbatasan dengan wilayah kabupatan Semarang. Sedangkan karakter
masyarakatnya juga berbeda. Perbedaan yang mencolok terdapat pada suasana
religiusitasnya. Hal ini bisa dilihat dari aktifitas masyarakatnya ataupun juga
jumlah pondok pesantren serta tokoh-tokoh agama yang tinggal dikedua
kelurahan tersebut. Kelurahan Tingkir Lor bisa peneliti katakan sebagai
rujukan belajar agam Islam karena banyak kyai dan pondok pesantren.
Sedangkan kelurahan Kutowinagun bisa peneliti katakan bahwa pengetahuan
agama tentang syari‟ah Islam masih belum mendalam. Untuk mencari guru
ngaji yang mengajarkan baca tulis al Qur‟an kepada anak-anak terasa sulit
karena masih banyaknya masyarakat yang masih belum bisa membaca al
Qur‟an. Keadaan seperti inilah yang membedakan pengetahuan para istri
terhadap kewajiban juga ketaatan istri terhadap suami. Namun uniknya
dangkalnya pengetahuan agama khususnya terkait dengan ketaatan sitri
kepada suami ini tidak mempengaruhi realitas istri dalam taat kepada
105
suaminya. Adapun perbedaan-perbedaan persepsi istri terhadap ketaatan
kepada suami antara lain:
1. Melayani suami di tempat tidur. Persepsi para istri di Kutowinngun dan
Tingkir Lor sama, bahwa semua istri memiliki kewajiban melayani suami
dalam keadaan apapun. Istri pada umumnya tidak berani menolak ajakan
suami dalam hubungannya dengan maslah seksual. Hal ini bukan hanya
karena merupakan kewajiban akan tetapi karena khawatir jika suami
marah. Karena menurut pengakuan sitri (Ibu Eny) suaminya akan marah
jika ia menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan sek. Selain
itu istri juga khawatir jika menolak nanti suami malah selingkuh. Namun
demikian ada seoarang istri yang tinggal di Kutowinangun yang tidak mau
sama sekali diajak suaminya berhubungan sek. Selain memang sudah tua
(mereka sudah nenak dan kakek) istrinya takut kalau suaminya memiliki
penyakit kelamin karena sering berganti ganti pasangan, bahkan sudah tua
dan menjadi kakek-kakek suaminyan ternyata masih saja selingkuh.
Mereka tetap hidup serumah tapi tidak pernah berbuat layaknya suami
istri. Suaminya juga tidak pernah memberi nafkah, istri juga tidak pernah
melayani suami dalam bentuk apapun. Ada juga pasangan suami istri yang
selalu nampak hidup rukun harmonis saling bekerjasama, akan tetapi
mereka tidak pernah melakukan hubungan seks sebagaimana layaknya
suami istri. Menurut pengakuanya karena mereka sudah tua, takut kalau
malah menimbulkan penyakit, juga tidak ada rasa yang mendorong untuk
melakukan hal tersebut karena sejak kecil mereka hidup layaknya saudara
106
atau kakak beradik. Kedua kasus tentang kengganan istri melayani suami
ditempat tidur ini tidak terjadi di kelurahan Tingkir Lor.
2. Tugas melaksanakan pekerjaan rumah seperti mencuci, bersih-bersih,
memasak dan lain-lain. Terhadap masalah ini persepsi para istri sangat
berbeda. Para istri yang tinggal di kelurahan Kutowinagun berpendapat
bahwa istri memiliki kewajiban mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga mulai dari memasak, menyajikan makanan, bersih-bersih rumah,
mencuci dan lain-lain. Jika seorang istri tidak bisa melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan tersebut maka istri tersebut berdosa, karena sudah
melanggar serta tidak taat pada suami. Pengetahuan seperti ini menurut
pengakuan para istri didapatkan dari majlis-majlis pengajian yang sering
mereka ikuti. Sedangakn istri-istri yang tinggal di kelurahan Tingkir Lor
memiliki pengetahuan agama yang lebih mendalam. Para istri di sini
mengetahui bahwa dalam Islam, semua pekerjaan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas merupakan tugas dan kewajiban suami
sepenuhnya. Karena tugas istri hanyalah melayani suami di tempat tidur
dan selalu menyenangkan hati suami. Namun demikian para istri yang
berada atau tinggal di kelurahan Tingkir Lor tetap melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga tersebut. Selain memang sudah menjadi
adat dan kepatutan bagi setiap istri di Jawa khususnya, mereka
berkeyakinan bahwa dalam mengerjakan kegiatan tersebut selain
membantu meringankan beban suami juga diniati ibadah.
107
3. Tugas mencari nafkah. Persepsi istri baik di Kutowinangun maupun di
Tingkir Lor sama. Bahwa yang berkewajiban mencari nafkah keluarga
adalah suami. Namun realitas yang terjadi baik di Kutowinangun maupun
di Tingkir Lor masing-masing istri rela membantu suaminya dalam
mencari nafkah dalam rangka meringankan tugas suami. Hal ini dilakukan
selain diniati ibadah juga karena kondisi saat ini menuntut istri ikut serta
mencari nafkah.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi serta bentuk-bentuk
ketaatan para istri terhadap suami di Kelurahan Tingkir Lor dan
Kelurahan Kutowinangun.
Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti lakukan dan juga setelah
dianalisis tentang bentuk juga persepsi istri dalam hubungannya dengan
ketaatannya kepada suami di Kelurahan Kutowinangun dan kelurahan Tingkir
Lor, baik persamaan maupun perbedaannya, maka bisa kita analisis faktor-
faktor yang melatarbelakangi bentuk dan persepsi ketaatan istri pada suami.
Adapun beberapa faktor tersebut antara lain:
1. Pendidikan. Faktor pendidikan ini dibagi menjadi dua yaitu pendidikan
formal dan pendidikan non formal. Baik di Kutowinagun maupun di
Tingkir Lor istri-istri yang sempat peneliti wawancarai tidak ada yang
berpendidikan sarjana. Rata-rata mereka berpendidikan SMP, hanya atau
istri yang berpendidikan SMA (waktu itu PGA). Pendidikan formal ini
tidak begitu signifikan dalam mempengaruhi ketaatan sitri terhadap suami,
jika dibandingkan dengan pendidikan non formal. Pendidikan non formal
108
yang peneliti maksudkan adalah pondok pesantren. Istri yang tinggal di
kelurahan Kutowinagun tidak satupun yang memiliki latarbelakang
pendidikan pesantrean sehingga mereka tidak bisa membedakan hak dan
kewajiban istri yang berdasarkan tradisi atau adat dan ketaatan yang
didasarkan pada ajaran agama. Sedangkan istri yang tinggal di Tingkir Lor
lebih banyak yang berpendidikan pesantren sehingga mereka tahu bahwa
kataatan istri terhadap suami yang didasarkan apada ajaran agama
hanyalah melayani suami dalam hubungannya dengan kebutuhan seks saja.
Selainnya dilakukan atas dasar tradisi yang diniati dengan ibadah.
2. Lingkungan masyarakat. Bahwa yang menjadi latar belakang peneliti
memilih dua tempat di Kutowinangun dan Tingkir Lor ini ternyata cukup
beralasan. Ternyata lingkungan dan tradisi masyarakat akan
mempengaruhi bentuk dan pola pikir masyarakatnya. Sebagaimana di
latarbelakang masalah sudah peneliti terangkan bahwa kelurahan
Kutowningun masyarakat cenderung abangan. Mereka muslim akan tetapi
kedalaman ilmu kesyariahannya masih kurang sehingga mereka tidak
paham bahwa sebetulnya Islam sangat menjunjung tinggi derajat istri
dengan mencukupkan kewajibannya hanya cukup melayani suami di
tempat tidur. Mereka masih lebih menjujung tinggi adat istiadat.
Walaupun tetap ada masyarakat yang memegangi syari‟at tapi hanya
sedikit. Sedangkan lingkungan masyarakat di kelurahan Tingkir Lor
tergolong pada kategori santri. Hampir semua penduduk asli yang tinggal
di sini bisa membaca dan mengerti syariat Islam. Sehingga para istri
109
ataupun para perempuan memiliki akses yang mudah untuk bisa
mengetahui tentang hak dan kewajiban istri terhadap suami. Selain itu juga
kehidupan masyarkat di Tinkir Lor lebih mencerminkan kehidupan santri.
Implikasi dari sejumlah pola ketaatan istri terhadap suami baik di
Kelurahan Tingkir Lor maupun Kutowinangun, dalam perkembangan
selanjutnya menyebabkan terjadinya pergeseran peran perempuan di
lingkungan keluarga. Ruang lingkung aktifitas perempuan tidak lagi terbatas
pada tempat dinding rumah tangga. Tiga dasawarsa terakhir, baik seiring
proses perubahan sosial dalam bentuk modernisasi, keterbukaan informasi,
pendidikan dan kebijakan politik Indonesia, menunjukkan, eskalasi partisipasi
perempuan dalam ekonomi keluarga yang cukup signifikan. Perempuan
bekerja (wanita karir) telah mendapatkan tempat dan imbalan sebagaimana
profesinya. Perempuan semakin sadar bahwa dalam lingkup rumah tangga,
peran ekonomi sangat besar untuk tercapainya tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga. Tingkat pendidikan perempuan yang semakin setara dengan laki-laki
menyebabkan angkatan kerja nasional saat ini cukup besar ditopang oleh
angkatan kerja perempuan. Perempuan semakin sadar bahwa posisi mereka
tidak sekedar sebagai figur pelengkap yang menguatkan sistem patriarkhi
dimana berpusat pada figur suami sebagai penopang ekonomi keluarga.
Melihat realita yang ada, kini sudah banyak perempuan yang mandiri secara
ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga, meskipun masih ada
pandangan sebagian masyarakat dan bahkan pengakuan yuridis kerja atau
penghasilan wanita dianggap sebagai penghasilan tambahan belaka.
110
Jika kita melihat bentuk ataupun persepsi para istri dalam kaitannya
dengan ketaatannya kepada suami menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka
sudah tahu bahwa ketika seorang muslim telah mengucapkan akad dalam
prosesi pernikahan, berarti nahkoda pernikahan sudah mulai dijalankan. Suami
dan istri harus merapat untuk bekerjasama, melakukan kewajibannya masing-
masing dan memperoleh hak-hak mereka seperti yang sudah dijanjikan dan
dijelaskan dalam agama Islam. Baik UU ataupun KHI sudah merumuskan
secara jelas tentang tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang
bahagia, kekal dan abadi berdasarkan tuntunan syari‟at dari Tuhan Yang Maha
Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu
tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun
istri. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk
merealisasikan syari‟at Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan di
akhirat. Dari sisi hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya menurut
syariat Islam, ternyata masih ada muslimah yang telah menjadi seorang istri
dari suaminya belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban pokok bagi
seorang istri. Dalam agama Islam, kewajiban seorang istri terhadap suaminya
hanya ada dua, yaitu: (1) kewajiban melayani suami secara biologis dan (2)
kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal selain maksiat. Dalam suatu
hadits, diriwayatkan Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: artinya : “Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke
ranjangnya, lalu sang istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya –ed)
bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya
111
hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hak dan Kewajiban Istri
terhadap Suami menurut Islam Kewajiban istri untuk taat pada suami
bermacam-macam bentuknya. Misalnya menjaga harta suaminya saat
ditinggal pergi, tidak memasukan laki-laki lain kedalam rumah tanpa izin
suaminya, tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga
kehormatannya, dan lain-lain. Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan adat
bahwa para istri wajib untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah
dan yang lainnya? Apakah hal itu sesuai dengan syariat Islam? Allah Ta‟ala
berfirman: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. (QS. AnNisa‟ : 34) Makanan, pakaian dan tempat tinggal merupakan
sesuatu yang secara umum dipandang terlebih dahulu dalam persoalan nafkah
suami. Masih banyak orang yang berfikir bahwa nafkah makanan tersebut
berupa bahan mentah, akan tetapi sebenarnya nafkah yang berupa makanan
tersebut adalah makanan yang sudah siap dikonsumsi. Adapun proses dalam
menjadikannya siap untuk dikonsumsi adalah tugas suami. Maka pekerjaan-
pekerjaan seperti memasak, menyapu, dan membersihkan rumah adalah
kewajiban seorang suami ! Jika melihat sirah para shahabiyah, pernah
diceritakan bahwa Fatimah radhiyallohu anha, putri Rasulullah Saw. mengadu
pada baginda Nabi, karena tangannya yang sakit dan lecet saat menggiling
gandum. Ia meminta pembantu pada Rasulullah Saw., namun Rasul tidak
memberinya. Hal ini menunjukan bahwa Fatimah r.a. bersusah-payah
112
membantu suaminya dalam hal nafkah makanan. Dalam riwayat lain, Said bin
Amir, seorang gubernur hims, sahabat yang mulia selalu melaksanakan
tugasnya dalam mengurus rumah, sehingga banyak penduduk yang komplain
akibat keterlambatannya dalam berkhidmat pada masyarakat. Empat imam
madzhab utama dan ulama lainnya, secara umum juga berpendapat bahwa
tugas memasak, mencuci dan membereskan rumah bukanlah tugas istri, akan
tetapi tugas suami. Di dalam kitab Al-Majmu‟ Syarah Al-Muhadzdzab karya
Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, disebutkan: Tidak wajib atas istri
berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat
lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk
memberi pelayanan seksual (istimta‟), sedangkan pelayanan lainnya tidak
termasuk kewajiban. Jika melihat pada fikih kontemporer, Syekh Dr. Yusuf
Qardhawi berpendapat bahwa tugas suami membereskan rumah tersebut
diserahkan pada istri, sebagai timbal balik atas nafkah yang diberikan suami.
Tapi suami hendaknya memberi gaji atau upah pada istrinya atas kelelahan
istrinya diluar nafkah kebutuhan keluarga. Lalu bagaimana seharusnya sikap
perempuan Indonesia yang berbudaya timur yang mempunyai adat mengurus
rumah dalam masyarakat? Adat merupakan kebudayaan yang mencerminkan
kepribadian masyarakatnya. Jika adat tersebut memberi manfaat dan tidak
bertentangan dengan syariat islam, serta lazim dilakukan oleh seorang istri
dalam masyarakat. maka tidak ada masalah bagi sang istri melakukannya
apabila mampu dan tentunya tanpa dipaksa. Hal itu merupakan nilai tambahan
sebagai wujud dari kecintaannya kepada sang suami yang kelelahan mencari
113
nafkah di siang hari dan insyaa Allah pahala yang melimpah akan mengalir
kepadanya jika keridhaan Allah ta‟ala dan suami menjadi puncak niatnya. Hak
dan Kewajiban Bersama bagi Suami Istri Telah dihalalkan pasangan suami
istri untuk bergaul dan bersenang-senang di antara mereka. Kecuali saat istri
sedang haid, nifas, ihram, dan dzihar. Seorang suami yang mendzihar istrinya
(menyamakan punggung istrinya seperti punggung ibunya hingga tidak ada
keinginan untuk menggaulinya) harus membayar kafarat (denda) dengan cara
membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut, setelah itu
baru ia dapat kembali pada istrinya. Adapun hak bersama suami istri adalah :
(1) hak untuk saling mendapatkan warisan, (2) hak untuk mendapatkan
perwalian nasab anak. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama-
sama bagi suami istri dalam rumah tangga adalah memelihara dan mendidik
anak keturunan yang lahir dari pernikahan mereka dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, warohmah
114
BAB V
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang ketaatan istri terhadap suami
antara budaya dan ajaran agama: studi kasus di Kalurahan Kutowinangun dan
Keluarahan Tingkir Lor dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1. Bentuk-bentuk ketataatan istri terhadap suami antara lain: pertama, tidak
berani menolak ajakan suami dalam hubungannya dengan kebutuhan
biologis. para istri dalam keadaan apapun selalu berusaha untuk bisa
melayani suami. Kedua, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga
muali dari masak, mencuci, bersih-bersih rumah, merawat anak dan lain-
lain. Ketiga, membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga
karena keterbatasan nafkah yang diperoleh suami. Keempat, merawat dan
mendidik, serta membimbing anak sejak lahir hingga mereka dewasa.
Kelima, aktif dalam kegiatan di masyarakat dalam rangka menambah
wawasan tentang kehidupan rumah tangga.
2. Perbedaan persepsi tentang ketaatan istri terhadap suami di Kelurahan
Tingkir Lor dan Kelurahan Kutowinangun. Sesuai dengan tingkat
pemahaman agama serta pendidikan mereka masing-masing, bahwa para
istri di kelurahan Kutowinangun belum bisa membedakan tentang dasar
ketaatan istri terhadap suami. Menurut mereka semua bentuk kegiatan atau
pekerjaan rumah tangga yang dilakukan dalam rangka mewujudkan
ketaatannya pada suami semuanya berdasarkan ajaran agama Islam.
115
Sehingga para istri yang tidak mau memasak, mencuci, membersihakan
rumah dan lain-lain berdosa karena melanggar aturan syari‟at Islam.
Sedangkan para istri yang tinggal di kelurahan Tingkir Lor paham bahwa
pekerjaan rumah tangga tersebut bukan kewajiban istri sebagai bentuk taat
kepada suami akan tetapi lebih mengacu pada tradisi yang sudah turun
temurun, Sehingga jika ada istri yang tidak mau mengerjakan pekerjaan
rumah tangga tidaklah berdosa. Karena kewajiban istri taat kepada suami
dalam Islam hanyalah melayani dan menyenangkan suami. Jika istri mau
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu dilakukan dalam
rangka membantu tugas suami.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan bentuk-bentuk taat serta
persepsi istri terhadap ketaatannnya kepada suami adalah pertama
pendidikan. Pendidikan yang bisa membedakan di sini terutama
pendidikan non formal (pesantren). Istri-istri yang sempat peneliti jadikan
subjek penelitian di kelurahan Kutowinangun kebetulan tidak satupun
yang memiliki latarbelakang pesantren. Mereka awam terhadap ajaran
syari‟at Islam. Namun mereka termasuk muslimah yang taat. Sedangkan
istri-istri yang tinggal di kelurahan Tingkir Lor banyak yang
berlatarbelakang pesantren. Sehingga mereka paham betul bahwa tugas
perempuan sebagai istri bukan mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga, akan tetapi hanya melayani suami dan taat kepada suami selama
tidak dalam maksiat. Faktor yang kedua, lingkungan masyarakat.
Kelurahan Kutowinangun masyarakat cenderung abangan. Mereka muslim
116
akan tetapi kedalaman ilmu kesyariahannya masih kurang sehingga
mereka tidak paham bahwa sebetulnya Islam sangat menjunjung tinggi
derajat istri dengan mencukupkan kewajibannya hanya melayani suami di
tempat tidur. Mereka masih lebih menjujung tinggi adat istiadat.
Walaupun tetap ada masyarakat yang memegangi syari‟at tapi hanya
sedikit. Sedangkan lingkungan masyarakat di kelurahan Tingkir Lor
tergolong pada kategori santri. Hampir semua penduduk asli yang tinggal
di sini bisa membaca dan mengerti syariat Islam. Sehingga para istri
ataupun para perempuan memiliki akses yang mudah untuk bisa
mengetahui tentang hak dan kewajiban istri terhadap suami. Selain itu juga
kehidupan masyarkat di Tinkir Lor lebih mencerminkan kehidupan santri.
B. Penutup
Demikian penelitian tentang ketaatan istri terhadap suami antara
budaya Jawa dan ajaran agama. Ternyata masih banyak pemahaman
masyarakat yang belum bisa membedakan antara tradisi dan ajaran agama.
Sehingga kadang terjadi kekeliruan terhadap realitas yang terjadi. Sesuatu
yang mestinya tidak berdosa menjadi dianggap berdosa. Namun hal tersebut
justru menambah lahan ibadah atau amal bagi seorang istri jika dilakukan
dengan iklas. Dan ternyata persepsi yang keterbatasan pemahaman agama
tersebut karena lebih dipengaruhi oleh budaya Jawa, tidak membawa dampak
buruk pada kehidupan keluarga tetapi justru sebaliknya. Oleh karena itu
peneliti hanya mengharap semoga ajaran-ajaran Islam terutama tentang
ketaatan istri terhadap suami akan tersampakan dengan baik dan benar dalam
117
rangka menambah wawasan para istri juga suami terutama dalam kehidupan
rumah tangga. Wawasan tersebut akhirnya mampu mengantarkan keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah, saling bekerjasama dan saling
menghargai antara suami dan istri.
118
Daftar Pustaka
Basuki, Agus Rinto. 2005. Perempuan (di mata Budaya Jawa). Bende Media
Informasi Seni dan Budaya. Surabaya: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Jawa Timur.
Clifford Geertz,. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Dian, Seri, Yogyakarta; Kisah dari Kampung Halaman, Pustaka Pelajar,
1996
Handayani, Christina S. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan, 2004, Yogyakarta,
Lintang Pustaka
Ilyas, Hamim, dkk, 2010, Perempuan Tertindas Kajian Hadis-hadis Misoginis,
Yogyakarta: ElSaq Press
Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: Inis.
Musbikin, Imam. 2001. Qawa‟id Al-Fiqhiyah, Jakarata: RajaGrafindo Perseda,
2001.
Nuruddin, Amiur, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada
Media
Pals, Daniel L, 2001, Seven Theoriies of Reigion, terjInyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta, IRCISoD.
Shalih bin Fauzan, 2005, Tanbihat „Ala Ahkamin Takhtash Shu BilMukminat,
Terj. Rahmat Arifin Muhammad bin Ma‟ruf, Yogyakarta, Wihdah Press
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung.
Alfabeta.
119
Suharso, 2005,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang, Widya Karya.
Thalib Sayuthi, 1982, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta:: UI Press
Sukri, Sri Suhandjati dan Ridin Sofwan, Yogyakarta; Perempuan dan
Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Gama Media, 2001
Jurnal/makalah dan lain-lain
Pamator, Volume 3, Nomor 1, April 2010
http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/12/hak-dan-kewajiban-istri-terhadap-
suami.html
http://sriyadi.dosen.isi-ska.ac.id/2010/03/31/karya-ilmiah
http://baguspsi.blog.unair.ac.id/2008/06/05/pengaruh-budaya-dalam-marital-
sexual/