bab i-iii (15-10)
DESCRIPTION
pengertian IspaTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA
disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau
lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak)
(Kemenkes RI, 2013).
Data Wold Health Organization (WHO) tahun 2012, sebesar 78%
balita yang berkunjung ke pelayanan kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya
pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan
negara maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-
15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita
pada tahun 2004. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan
Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta
episode (Kemenkes RI, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia selalu
menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita.
Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah
sakit. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dibawah 5
tahun. WHO memperkirakan kejadian pneumonia di negara yang angka
kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun
2
pada golongan balita (Cherian 20011 dam Hasan 2012). Kematian akibat
pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada akhir tahun 2011
sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita. Hingga saat ini ISPA masih menjadi
masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju, hal ini
karena masih tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA (Kemenkes
RI, 2012).
Tujuan Mellinium Develoment Goals (MDGs) nomor 4 yaitu
menurunkan angka kematian balita hingga dua per tiga pada tahun 2015
(Riskesdas, 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan jangkau yang
universal dengan kunci yang efektif, intervensi terjangkau (perawatan untuk
ibu dan bayi, pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi dan anak, vaksin),
pengendalian malaria, pencegahan dan perawatan HIV/AIDS. Di negara-
negara dengan tingkat kematian tinggi intervensi ini dapat mengurangi jumlah
kematian lebih dari setengah (WHO 2010 dalam Hasan 2012).
Faktor risiko yang mempengaruhi ISPA pada anak ada tiga yakni agen
penyakit, pejamu (usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian air susu ibu (ASI),
berat badan lahir rendah (BBLR), imunisasi, pedidikan orang tua, satus sosial
ekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan) dan lingkungan (polusi udara,
penyakit lain, bencana alam) (Wantarnia dalam Rahajoe, 2008). Faktor
penyebab ISPA pada balita adalah BBLR, status gizi buruk, imunisasi tidak
lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik rumah (jenis atap, jenis
lantai, jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar yang digunakan
(Depkes RI 2009 dalam Agusalim 2012).
3
Data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi ISPA
nasional tahun 2013 yakni 25,0% prevalensi ISPA tertinggi adalah Provinsi
Nusa Tenggara Timur yakni 41,7% dengan karakteristik tertinggi pada usia 1-
4 tahun (25,8%) (Riskesdas, 2013).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012,
pada pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit
Provinsi Nusa Tenggara Timur, ISPA menempati urutan pertama yakni
sebanyak 661.441 kasus (52,87%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, 2012). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus ISPA meningkat
menjadi 1.052.656 (55,05%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur,
2013).
Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara
Timur yang jumlah kasus ISPA pada balita dengan jumlah perkiraan penderita
sebanyak 3.106, sedangkan penderita yang ditemukan dan ditangani masih
minim yakni 118 penderita (3,8%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, 2013). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, jumlah kasus ISPA
pada balita ( <1 tahun – 4 tahun) di Kabupaten Kupang per tiga tahun, yakni
pada tahun 2012 terdapat 31688 kasus, tahun 2013 menurun menjadi 26931
kasus dan tahun 2014 meningkat menjadi 28598 kasus (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kupang, 2014).
Puskesmas Batakte merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten
Kupang dengan kasus ISPA pada balita tertinggi selama tiga tahun berturut-
turut yakni pada tahun 2012 sebanyak 4496 kasus, tahun 2013 menurun
4
menjadi 2499 kasus dan tahun 2014 sebanyak 3583 kasus. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kejadian ISPA
mengalami peningkatan. Desa Bolok merupakan bagian kerja dari Puskesmas
Batakte dengan kasus tertinggi di tahun 2014 sebanyak 417 kasus (Puskesmas
Batakte, 2014).
Berdasarkan data diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “
Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Bolok
Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun 2015”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang terdahulu, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “ Apakah ada hubungan antara imunisasi, BBLR, ASI
eksklusif dan jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun 2015” ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun
2015.
3.1.1 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan dengan
kejadian ISPA pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat
Kabupaten Kupang tahun 2015;
5
2. mengetahui hubungan antara BBLR dengan dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun
2015;
3. mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang tahun 2015; dan
4. mengetahui hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun
2015.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan dan informasi
untuk meningkatkan kulitas maupun kuantitas dalam perencanaan program
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA terutama pada balita.
1.4.2 Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan bahan bacaan, masukkan
dan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi yang berguna kepada masyarakat untuk mencegah
terjadinya ISPA pada balita dengan memberikan hasil penelitian ini kepada
puskesmas sebagai salah satu pedoman untuk melakukan penyuluhan kepada
masyarakat khususnya tentang ISPA.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang
diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Yang
dimaksud dengan infeksi saluran pernapasan adalah infeksi mulai dari infeksi
saluran pernapasan atas dan adneksanya (sinus, rongga telinga, pleura) hingga
parenkim paru. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi
akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari
(Wantania dalam Rahajoe, 2008).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA
disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau
lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak)
(Kemenkes, 2013).
7
ISPA dibedakan menjadi 2, yaitu: ISPA bagian atas dan ISPA bagian
bawah. ISPA bagian atas adalah infeksi saluran pernapasan akut di atas laring,
yang meliputi: rinitis, faringitis, tonsilitis, sinusitis, dan otitis media.
Sedangkan, ISPA bagian bawah adalah infeksi saluran pernapasan akut dari
laring ke bawah, yang terdiri atas: epiglotitis, croup (laringorakeobronkitis),
bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia (Wantania dalam Rahajoe, 2008).
2.1.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti
bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. Virus merupakan penyebab
terbesar ISPA (>90%) (Brough, 2008). Seagian besar ISPA biasanya terbatas
pada ISPA atas saja tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan saluran
pernapasan berikutnya sehingga berpotensi menjadi serius (Wantania dalam
Rahajoe, 2008).
Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus (termasuk
di dalamnya virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus campak),
Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus, Stapilococcus,
Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan Corynobacterium.
2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA (2012) membagi ISPA
dalam 2 golongan yaitu:
1. ISPA Non-Pneumonia merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat
dengan istilah batuk dan pilek.
8
2. ISPA Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang
ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan
dinding dada bagian bawah.
Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA
(P2 ISPA) dalam pedoman pengendalian ISPA (2012), mengklasifikasikan
ISPA sebagai berikut:
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan
adanya nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.
b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan
yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas
cepat, frekuensi kurang dari 60 menit.
2. Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan
dinding dada dan bagian bawah ke dalam.
b) Pneumonia : tidak ada tarikan dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas
cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40
kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan-bulan - <5 tahun.
c) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit
9
pada anak umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5
bulan.
Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomik (Wantania dalam
Rahajoe, 2008) terdiri dari:
1. ISPA Atas, yang terdiri dari:
a) Rinitis (Common Cold/ Coryza/ selesma) adalah infeksi akut oleh virus
Rhinoviruses pada saluran napas bagian atas, karakteristik berupa pilek,
bersin, lacrimasi, iritasi pada nasopharynx, meriang dan mengigil
sampain 2-7 hari dan mempunyai tendensi terjadi sekunder infeksi oleh
bakteri seperti ostitis media, sinusitis, laringnitis, bronchitis terutama
pada anak-anak (Chandra, 2012).
b) Faringitis adalah peradang akut membran mukosa faring dan struktur
lain disekitarnya yang disebabkan oleh bakteri atau virus yang
berlangsung hingga 14 hari yang ditandai dengan keluhan nyeri
tenggorokan (Naning dalam Rahajoe, 2008).
c) Otitis Media adalah radang pada liang telingah tengah yang disebabkan
oleh virus (Rhinovirus, RSV dan Influensa), dan bakteri (Streptococus
Pneumonia, Heamophilusinfluenzae atipikal dan Moraxella catarrhalis)
yang ditandai dengan demam, iritabilitas, nyeri telinga (bayi menjerit dan
menarik telinga), kehilangan pendengaran (Brough, 2008).
2. ISPA Bawah, yang terdiri dari:
a) Epiglotitis adalah infeksi yang disebabkan oleh virus Hemophilus
influenza tipe b (Hib) yang ditandai dengan demam tinggi mendadak dan
10
berat, neyi tenggorokan, sesak napas diikuti dengan gejala obstruksi jalan
napas akut dan menyebakan kematian jika tidak diobati (Yantjik dalam
Rahajoe, 2008).
b) Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) adalah sindrom klinis yang
disebabkan oleh virus Human Parainfluenza virus tipe 1 (HPIV-1),
HPIV-2,3 dan HPIV-4, virus Influenza A dan Badenovirus, Respiratory
Synytial virus (RSV) dan virus campak dengan karakteristik suara serak,
stridor inspirasi dengan atau tanpa adanya ostruksi jalan napas (Yantjik
dalam Rahajoe, 2008).
c) Bronkiolitis adalah infeksi yang disebabkan oleh virus Adenovirus, virus
Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus dan Mikoplasma yang secara
klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang
didahului dengan gejala gejala ISPA atas (Zain dalam Rahajoe, 2008).
d) Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh virus
(Parainfluenza, Influenza, Adonevirus dan RSV) dan bakteri (Steptococos
pneumonia bakterial dan Staphycocus aureus) dengan karakteristik
demam, batuk, sputum (kuning, hijau atau warna karat), muntah terutama
pasca batuk, napsu makan buruk, dan diare (Brough, 2008).
2.1.4 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam
tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek,
sakit telinga, demam dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,50C (Keperwatan
2009 dalam Hasan 2012).
11
Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut (Kemenkes,
2012) :
1. Gejala dari ISPA ringan; seorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan
jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : batuk, serak
(anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara atau saat berbicara
serta menangis), pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung dan
panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
2. Gejala dari ISPA sedang; seorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang
jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala
sebagai berikut: pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu untuk
kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau
lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12
bulan - < 5 tahun, suhu tubuh lebih dari 39°C, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak, telinga
sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga dan pernapasan berbunyi
seperti mengorok (mendengkur).
3. Gejala dari ISPA Berat; seorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika
dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut: bibir atau kulit membiru, anak tidak
sadar atau kesadaran menurun, pernapasan berbunyi seperti mengorok dan
anak tampak gelisah, sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas, nadi
cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba dan tenggorokan
berwarna merah.
12
2.1.5 Patogenesis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Umumnya mikroorganisme penyebab penyakit terhisap ke paru
bagian perifer melalui saluran pernapasan. Mula- mula terjadi edema akibat
reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke
jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu
terjadi serukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat firin dan leukosit PMN di alveoli
dan terjadi proses fagositosis yang cepat stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, firin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium
ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmer jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal (Said dalam Rahajoe, 2008).
2.1.6 Penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalui udara. Jasad
renik yang ada di udara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan dan
menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang
kebetulan mengandung bibit penyakit, baik yang sedang jatuh sakit maupun karier.
Jika jasad renik berasal dari tubuh manusia, maka umumnya dikeluarkan melalui
sekresi saluran pernafasan dan berupa saliva dan sputum.
Oleh karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk
ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk
golongan air bone disease (penyakit yang penularannya melalui udara).
13
Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni
susupensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau
hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut
yakni:
1. Droplet nuclei, yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari
tubuh yang berbentuk droplet dan melayang di udara.
2. Dust, yaitu campuran antara bibit penyakit yang melayang.
2.1.7 Cara Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA diantaranya (Depkes 2008):
1. Menghindari diri dari penderita ISPA;
2. menghindari asap, debu dan bahan lainnya yang mengganggu pernapasan;
3. imunisasi lengkap pada balita di posyandu;
4. membersihkan rumah dan lingkungan tempat tinggal;
5. rumah harus mendapatkan udara bersih dan cahaya matahari yang cukup
serta memiliki lubang angin dan jendela;
6. menutup mulut dan hidung saat batuk; dan
7. tidak meludah sembarangan.
2.1.8 Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
A. Faktor Pejamu (Host)
1) Umur
Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena itu anak mudah
sakit. Umur bayi yang kurang dari 1 tahun lebih cenderung terkena ISPA
dibandingkan dengan balita yang umur lebih dari 1 tahun (Depkes, 2000). Umur
14
diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan
kelompok umur yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih
rentan terhadap penyakit infeksi (Matondang dalam Akib,2010).
Infeksi Saluran pernapasan Akut (ISPA) paling sering terjadi pada
anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia
dibawah 5 tahun dan 30% pada anak usia 5-12 tahun. Walaupun sebagian besar
terbatas pada saluran pernapasan atas tetapi sekitar 5% juga melibatkan saluran
pernapasan bawah, terutama pneumonia. WHO melaporkan bahwa di negara
berkembang, ISPA adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak
kematian anak, dengan kasus kasus terbanyak terjadi pada anak berusia
dibawah 1 tahun (Wantania dalam Rahajoe, 2008).
2) Status Gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan antara konsumsi
dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan
fisilogik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Status gizi adalah
ekpresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,
2012).
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan
panjang badan (PB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan
timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan
diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel
BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri,
yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB (Kemenkes, 2013).
15
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena daya tahan tubuh yang kurang.
penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang balita
lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Prabu,
2009).
3) Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak
ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya sakit ringan
(Kemenkes, 2013). Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit. Tujuan
imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseoranag
dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi)
atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi
cacar (Matondang dalam Akib, 2010).
Depkes RI (2009 dalam Citiyas 2012) menyebutkan bahwa imunisasi
melindungi anak dari penyakit, mencegah kecacatan dan mencegah kematian.
Imunisasi dasar yang harus dimiliki oleh bayi yaitu (Hidayat, 2009):
a) Imunisasi Hepatitis B; memberikan vaksin Hepatitis B ke tubuh yang
bertujuan memberi kekebalan tubuh dari penyakit hepatitis. Vaksin hepetitis
dapat diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, kemudian suntikan
16
kedua pada usia 1-2 bulan, dan ketiga serta ulangan dapat diberikan 5 tahun
kemudian.
b) Imunisasi BCG; memberikan vaksin BCG (Bacillius calmate guerin) yang
bertujuan memberi kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit
mycobakterium tubercolosis (penyakit TBC) dengan cara menghambat
penyebaran kuman.
c) Imunisasi Polio; memberikan vaksin polio (dalam bentuk oral/ oral polio
vaccine/OPV) yang bertujuan memberi kekebalan dari penyakit
poliomelitis. Imunisasi ini dapat diberikan empet kali dengan interval 4-6
minggu.
d) Imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus); memberikan vaksin DPT pada
anak dengan tujuan memberikan kekebalan dari kuman penyakit defteri,
pertusis dan tetanus. Pemberian vaksin pertama pada usia 2 bulan dan
berikutnya dengan interval 4-6 minggu (kurang lebih tiga kali), selanjutnya
ulangan pertama pada usia satu tahun dan ulangan berikutnya tiga tahun
sekali sampai usia 8 tahun.
e) Imunisasi Campak; memberikan vaksin campak pada anak yang bertujuan
memberikan kekebalan dari penyakit campak. Imunisasi ini apat diberikan
pada usia 9 bulan, kemudian ulangan dapat diberikan dalam waktu interval
6 bulan atau lebih setelah suntikan pertama.
Jadwal imunisasi dasar:
a) Usia 0 bulan: vaksin Hepatitis B
b) Usia 1 bulan: vaksin BCG dan Polio 1
17
c) Usia 2 bulan: vaksin DPT/HB 1 dan Polio 2
d) Usia 3 bulan: vaksin DPT/HB 2 dan Polio 3
e) Usia 4 bulan: vaksin DPT/HB 3 dan Polio 4
f) Usia 9 bulan: vaksin campak.
Penelitian Sukmawati (2010) di Tunikamaseang dan penelitian
Agussalim (2012) di Aceh Besar, menunjukkan bahwa ada hubungan antara
imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
4) Pemberian ASI Eksklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan
makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.
Keunggulan ASI diantaranya kandungan gizinya sesuai kebutuhan bayi,
mengandung zat kekebalan, melindungi alergi, terjamin kebersihannya, tidak
basi, memperbaiki refleks menghisap, menelan, dan pernapasan bayi
(Kemenkes, 2013).
Cara pemberian ASI pada hari pertama dan kedua lama pemberian
ASI selama 5-10 menit pada tiap payudara. Pada hari ketiga dan seterusnya
lama pemberian ASI selama 15-20 menit. Produksi ASI dirangsang oleh isapan
bayi dan keadaan ibu tenang. Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu
pada umumnya, status gizi dan perawatan payudara (Mangunkusumo,2003).
Manfaat pemberian ASI menurut Ambarwati (2010), yakni:
a) Manfaat bagi bayi:
18
1. ASI sebagai nutrisi yang mengandung protein, lemak, mineral, air dan
ensim yang diutuhkan oleh bayi, mengandung asam lemak yang penting
untuk otak, mata dan pembuluh darah;
2. Meningkatkan daya tahan tubuh;
3. Selalu ada pada suhu yang cocok bagi bayi;
4. ASI lebih steril dibandingkan susu formula dan tidak terkontaminasi oleh
bakteri dan kuman penyakit lainnya;
5. Mencegah terjadinya anemia;
6. Menurunkan terjadinya resiko alergi;
7. Menurunkan terjadinya penyakit pada saluran cerna;
8. Menurunkan risiko gangguan pernapasan seperti batuk dan flu;
9. Menurunkan risiko terjadinya infeksi telinga;
10. Mencegah terjadinya penyakit noninfeksi seperti obesitas, kurang gizi,
asma dan eksem;
11. ASI dapat meningkatkan IQ (Intelengenci quotient) dan EQ (Emotional
quotient) anak/ kecerdasan anak;
12. Kaya akan AA (Asam arachidonat)/ DHA (Docosahexaenoic acid) yang
mendukung kecerdasan anak;
13. Mengandung prebiotik alami untuk pertumbuhan usus;
14. Memiliki komposisi yang tepat dan seimbang; dan
15. Dapat meningkatkan ikatan psikologis dan jalinan kasih yang kuat antara
ibu dan bayi.
19
b) Manfaat bagi ibu:
1. Mempercepat perkecilan rahim sehingga mencapai ukuran normalnya
dalam waktu singkat diandingkan dengan ibu yang tidak menyusui;
2. Mengurangi pendarahan setelah persalinan;
3. Mengurangi terjadinya anemia defiensi zat besi;
4. Mengurangi risiko kehamilan sampai enam bulan setelah melahirkan/
menjarangkan kehamilan;
5. Mengurangi risiko kanker payudara dan kanker ovarium;
6. Menpercepat penurunan berat badan dan kembali ke berat badan semula
sebelum hamil;
7. Lebih ekonomis;
8. Tidak merepotkan dan hemat waktu; dan
9. Sang ibu merasa bangga dan diperlukan, rasa yang dibutuhkan oleh
semua manusia.
c) Bagi negara
1. Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi: adanya faktor protektif
dan nutrien yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi serta
kesakitan dan kematian anak menurun;
2. Menghemat devisa negara: ASI dianggap sebagai kekayaan nasoinal.jika
semua ibu menyusui diperkirakan dapat menghemat devisa sebesar
Rp.8,6 milyar yang seharusnya dipakai untuk membeli susu formula;
3. Mengurangi subsidi untuk rumah sakit: subsidi untuk rumah sakit
berkurang karena rawat gabung akan memperpendek lama rawat ibu dan
20
bayi, mengurangi komplikasi persalinan dan infeksi nasokomial serta
mengurangi biaya yang diperlukan untuk perawatan anak sakit. Anak
yang mendapat ASI lebih jarang dirawat di rumah sakit dibandingkan
anak yang mendapat susu formula; dan
4. Peningkatan kualitas generasi penerus: anak yang mendapat ASI dappat
tumbuh kembang secara optimal sehingga kualitas generasi penerus
bangsa akan terjamin.
Komposisi ASI dibedakan menjadi tiga macam, Ambarwati (2010):
a) Kolostrum; ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga
setelah bayi lahir. Kolostrum merupakan cairan yang agak kental berwarna
kekuning-kuningan, lebih kuning dibandingkan dengan ASI mature,
bentuknya agak kasar karena mengandung butiran lemak dan sel-sel epitel.
Fungsi kolostrum sebagai pembersihan selaput usus bayi baru lahir sehingga
saluran pencernaan siap untuk menerima makanan, mengandung kadar
protein yang tinggi terutama gama globulin sehingga dapat memberikan
perlindungan tubuh terhadap infeksi dan mengandung zat antibodi sehingga
mampu melindungi tubuh bayi dari penyakit infeksi untuk jangka waktu
sampai dengan enam bulan.
b) ASI masa transisi; ASI yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari
kesepuluh.
c) ASI mature; ASI yang dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai seterusnya.
21
Penelitian Windarini (2010) di Puskesmas Mengwi II dan penelitian
Musdalifa (2014) di RSUD Labuang Baji Makassar, menyatakankan bahwa
ada hubungan antara Asi eksklusif dengan kejadian ISPA.
5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi baru lahir yang
berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (Kemenkes, 2013). Rata-rata
bayi normal adalah 3200 gram dengan usia gestasi 37 sampai dengan 41
minggu (Umboh, 2013). Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan
pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit
saluran pernapasan lainnya (Matondang dalam Akib, 2010).
Bayi BBLR memiliki tanda-tanda sebagai berikut, (RS Dr. Cipto
Mangunkusumo,2003):
a) Mempunyai komposisi tubuh yang berbeda dengan bayi normal;
b) Maturasi organ dan perkembangan enzim belum sempurna;
c) Perkembangan refleks mengisap dan menelan belum sempurna;
d) Kemampuaan saluran pencernaan dalam menerima zat gizi belum
berkembang sempurna;
e) Mudah menjadi hipoglikemi dan hipotermi;
22
f) Perkembangan otak belum sempurna (masa tumbuh kembang otak terjadi
pada trimester terakhir kehamilan dan 6 bulan pertama sesudah lahir).
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan
dengan BBLR (22%). Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai
resiko kematian 6,4 pada bayi di bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11
bulan (Wantania dalam Rahajoe,2008).
WHO menyatakan bahwa penyebab BBLR adalah multifaktorial,
melalui penelitian metalisis didapat 43 faktor yang dapat menyebabkan berat
lahir rendah diantaranya faktor demografik dan psikososial (status sosial
ekonomi,status perkawinan), faktor obstetrik (paritas, interval kehamilan)
faktor nutrisi (pertambahan berat badan waktu hamil, masukan kalori, anemia),
morbiditas maternal (malaria, infeksi saluran kemih) dan paparan bahan toksik
(merokok, alkohol) (Umboh,2013).
Penelitian Musdalifa (2014) di RSUD Labuang Baji Makassar,
menyatakan bahwa ada hubungan antara berat bayi lahir rendah (BBLR)
dengan kejadian ISPA.
B. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Fisik Rumah
a) Jenis Lantai Rumah
Menurut Notoatmodjo dalam Zulkipli (2009), lantai rumah merupakan
hal yang menentukan kesehatan dari sebuah rumah. Maka itu lantai rumah
sebaiknya kedap air dan mudah dibersihkan. Syarat yang penting disini adalah
23
tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai
yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.
Jenis lantai yang terbuat dari ubin dan semen adalah salah satu jenis
lantai yang terbaik. Lantai bisa digunakan pada rumah-rumah di perdesaan.
Lantai harus selalu kering dan harus lebih tinggi dari muka tanah, jangan
biarkan lantai basah dan berdebu karena merupakan media yang baik untuk
berkembangnya kuman penyakit (Notoatmodjo, 2003 dalam Hasan 2012).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah sehat memiliki lantai
yang terbuat dari marmer, ubin, kramik dan sudah diplester semen
(Kemenkes,2013).
Penelitian Della Oktavia (2010) di Prabumulih, menunjukkan bahwa
ada hubungan antara lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
dengan kejadian ISPA yang beresiko sebesar 8,807 kali.
b) Jenis Dinding Rumah
Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai
bahan seperti bambu, tripleks, batubara, dan tembok. Rumah yang
menggunakan dinding dari bambu atau kayu akan menyebakan udara masuk
lebih mudah membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat
membahayakan penghuni rumah apabila terhirup terus-menerus terutama
balita. Dinding rumah yang baik dengan menggunakan tembok, rumah yang
berdinding tidak rapat seperti papan kayu dan bambu dapat menyebabkan
penyakit sistem pernapasan seperti ISPA (Citiyas, 2012).
24
Dinding tembok merupakan dinding yang baik. Namun disamping
mahal, dinding tembok juga kurang cocok untuk daerah tropis, terlebih bagi di
perdesaan, lebih baik menggunakan dinding atau papan. Walaupun jendela
tidak cukup namun lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat
merupakan ventilasi dan menamah pengcahayaan alamiah (Notoatmodjo, 2003
dalam Hasan 2012).
c) Ventilasi Rumah
Menurut Notoatmodjo dalam Zulkipli (2009), ventilasi mempunyai
banyak fungsi yakni menjaga agar aliran udara di dalam rumah agar tetap
segar, membebasakan ruangan dari udara bakteri-bakteri dan patogen serta
menjaga agar ruangan rumah berada dalam kelembaban yang optimum.
Terdapat dua macam ventilasi yaitu: (Notoatmodjo, 2003 dalam
Hasan 2012):
1. Ventilasi alami: aliran udara dalam ruangan terjadi secara alamiah melalui
jendela, pintu, lubang-lubang angin pada dinding dan sebagainya.
2. Ventilasi buatan: menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara,
misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/SK/V/2011 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas
ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.
d) Pencahayaan
Cahaya matahari sangat penting karena dapat membunuh bakteri
patogen dalam rumah misalnya bakteri pada penyakit ISPA dan TBC. Oleh
25
karena itu rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang cukup.
Jalan masuk cahaya (jendela) luasanya sekurang-kurang 15-20% dari luas
lantai dalam ruamgan rumah. Menurut WHO, kebutuhan standar minimum
cahaya yang memenuhi syarat untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu 60-
120 lux. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang persyaratan kesehatan perumahan
khususnya persyaratan-persyaratan rumah tinggal, bahwa pencahayaan alami
atau buatan dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan
minimal 60 lux.
Cahaya dibedakan menjadi dua yakni:
1. Cahaya alami: cahaya matahari. Cahaya matahari dapat membunuh bakteri-
bakteri dalam rumah, misalnya bakteri TBC.
2. Cahaya buatan: menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, misalnya
lampu listrik, lampuh minyak tanah, api dan sebagainya.
e) Kelembaban
Menurut Ahmadi dalam penelitian Chahaya, kelembaban udara dalam
rumah berkaitan dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi penghuninya
terutama gangguan pernapasan. Makin rendah kelembaban suatu ruangan,
makin rendah pula jumlah koloni mikroorganisme karena banyak
mikroorganisme yang tidak tahan dehidrasi. Sebaliknya bila kelemaban udra
makin tinggi, maka merupakan sarana yang baik bagi perkembangbiakan
bakteri sehingga mudah untuk menularkan penyakit ISPA.
26
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah yang sehat memiliki
kelembaban di dalam rumah berkisar 40-60%.
f) Suhu
Suhu sangat berhubungan dengan kenyamanan dalam rumah. Suhu
rumah yang tinggi menyebabkan tubuh kehilangan garam sehingga tubuh
menjadi kram atau kejang dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi
darah. Suhu dapat berpengauh terhadap konsentrasi pencemar udara tergantung
pada cuaca tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah yang sehat memiliki
suhu udara nyaman berkisar antara 180C sampai 300C.
Perubahan suhu udara dalam rumah dipengaruhi beberapa faktor yakni
penggunaan bahan biosmassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan
hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi topografis dan geografis (Citiyas,
2012).
g) Kepadatan Huniaan Rumah
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1077/MENKES/SK/V/2011 tentang persyaratan rumah, dikatakan padat
penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan dengan jumlah
penghuni rumah lebih kecil dari 10m2 per orang, sedangkan ukuran untuk
kamar tidur diperlukan luas lantai 3m2 per orang. Dengan kriteria tersebut
diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
27
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi
korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu, 2009).
2) Lingkungan Sosial Ekonomi
a) Pendidikan Orang Tua
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangan potensi dirinya untuk memiliki spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta keterampilan
yang diperlukannya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Nomor 20 Tahun
2003, dalam Nani Hasan 2012). Pendidikan tidak hanya diperoleh dari sektor
formal (pendidikan dasar, menengah dan tinggi) tetapi dapat diperoleh melalui
pendidikan non-formal seperti kursus, pelatihan dan diklat (Notoatmodjo,
2012).
Menurut Notoatmodjo (2005) dalam penelitian Siti Mudrikatin (2012),
mengungkapkan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan
refleksi dari pendidikan yang diterimanya. Salah satu aspek yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah informasi, semakin banyak
informasi yang diperoleh semakin baik pula pengetahuan dimilikinya.
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan orang tua ini
28
berhubungan erat dengan kesdaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan
pengetahuan orang tua. Kurangnya pendidikan menyebabkan sebagian kasus
ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati (Wantania dalam
Rahajoe,2008).
b) Penghasilan Orang Tua
Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan yang diterima dan
pemeriksaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang
berpenghasilan rendah cenderung jarang memikirkan kesehatan karena biaya
yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi yang seharusnya yang didapatkan oleh balita. Hal ini akan
berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imunitas yang
tidak terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya
adalah ISPA (Wantania dalam Rahajoe,2008).
3) Pencemaran Udara dalam Rumah
a) Kebiasaan Merokok
Rokok merupakan benda beracun yang memberi efek yang sangat
membahayakan pada perokok ataupun perokok pasif, terutama pada balita yang
tidak sengaja terkontak asap rokok. Nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap
rokok lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi yang dapat menyebabkan
Infeksi pada saluran pernapasan. Paparan asap rokok berpengaruh terhadap
kejadian ISPA pada balita, dimana balita yang terpapar asap rokok berisiko
lebih besar untuk terkena ISPA dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok
(Hidayat, 2005 dalam Trisnawati 2012).
29
Asap rokok dapat merusak jaringan paru-paru, alveoli dan darah.
Dalam asap rokok yang membara karena diisap, tembakau terbakar kurang
sempurna sehingga menghasilkan CO (karbon monoksida), yang disamping
asap rokok, tir dan nikotin terhirup masuk ke dalam sistem pernafasan. Tir dan
asap rokok yang tertimbun di saluran pernafasan dapat mengakibatkan batuk
dan sesak nafas (Ronald, 2005 dalam Wahyu 2011).
b) Bahan Bakar Memasak
Di zaman yang semakin berkembang ini, masyarkat telah
menggunakan berbagai macam bahan bakar untuk memasak seperti minyak
tanah, gas dan listrik tapi bagi masyarakat perdesaan lebih cenderung memilih
kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak, sehingga terjadinya
pencemaran udara dalam rumah dari hasil pembakaran. Keadaan tersebut lebih
diperburuk apabila tidak memiliki ventilasi yang memadai sehingga asap atau
debu yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap dalam rumah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2013, jenis
bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga dikelompokkan menjadi dua,
yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik
dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan
pencemaran (minyak tanah,arang dan kayu bakar).
30
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Dasar Pemikiran Variabel
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA
disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau
lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak)
( Kemenkes, 2013).
Ada 3 unsur yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu:
Agen yang terdiri dari virus/bakteri. Host yaitu manusia (balita) yang terdiri
dari umur, status gizi, imunisasi, BBLR dan ASI eksklusif. Envoritmen yang
terdiri dari lanati rumah, ventilasi kepadatan rumah, dinding rumah,
pencahayaan, kelembaban, suhu, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,
peilaku merokok dan pemilihan bahan bakar minyak.
2.2.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah struktur dari suatu konsep dan atau teori yang
diletakkan secara bersama-sama dengan menggunakan pada suatu penelitian.
Kerangka konsep merupakan merupakan bagian dari teori yang akan menjadi
panduan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka konsep akan menjelaskan
hubungan atau keterkaitan antara variabel-variabel dalam penelitian
(Notoatmojo,2005).
Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen
dan dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah imunisasi,
31
BBLR, ASI eksklusif dan lantai rumah. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kejadian ISPA pada balita.
Hubungan antara variabel independen dan dependen dalam penelitian
ini digambarkan kerangka hubungan antar variabel pada gambar 2.1.
32
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Sumber : Rahajoe (2008) dan Agussalim (2012)
Keterangan:
: Variabel Dependen
: Variabel Independen yang diteliti
: Variabel Independen yang tidak diteliti
2.3 Hipotesis Penelitian
Agen:Virus/Bakteri
KEJADIAN ISPA Host:
1. Umur2. Status Gizi
4. Imunisasi5. BBLR6. ASI Eksklusif
Envoritmen:a. Lingkungan Fisik Rumah:
1. Jenis Lantai Rumah
2. Ventilasi Rumah3. Kepadatan Hunian4. Jenis Dinding rumah5.Pengcahayaan6. Kelembaban7. Suhu
b. Lingkungan Sosial Ekonomi:1. Pendidikan Orang Tua2. Penghasilan Orang Tua
c. Pencemaran udara dalam rumah:1.Merokok dalam rumah2. Pemilihan Bahan Bakar
Memasak
33
2.3.1 Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang Tahun 2015.
2.3.2 Ada hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun
2015.
2.3.3 Ada hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita
di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun
2015.
2.3.4 Ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang
Tahun 2015.
BAB II
34
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan
menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari
korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek dengan observasi dan
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat atau point time (Notoatmodjo,
2010).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat
Kabupaten Kupang dari bulan Juli - Agustus 2015.
3.3. Populasi Dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berada di Desa Bolok
dari Januari – April 2015 sebanyak 288 balita (Pustu Bolok, 2015).
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel
dalam penelitian ini adalah balita dengan responden ibu balita. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan yaitu Simple Random Sampling yaitu
suatu cara pengambilan sampel dimana seluruh populasi memiliki kesempatan
yang sama untuk dijadikan sampel dengan cara teknik undian/ lottre
(Notoatmodjo, 2010).
35
1) Kriteria Inklusi:
a. Ibu yang memiliki anak balita dengan umur 9 bulan - < 5 tahun;
b. Berat badan waktu lahir anak balita tercatat dalam KMS;
c. Alamat yang tercatat dalam rekam medik jelas; dan
d. Ibu yang bersedia menjadi responden.
2) Kriteria Eksklusi:
a. Berat badan waktu lahir anak balita tercatat dalam KMS;
b. Alamat yang tercatat dalam rekam medik kurang jelas; dan
c. Ibu yang tidak bersedia menjadi responden.
Perhitungan besar sampel mengguna rumus Lemeshow (1991),
sebagai berikut:
n=Z¿ ¿¿
(Susanto, 2010)
Keterangan:
n= besar sampel minimal
N= populasi balita di Desa Bolok Januari – April 2015 = 288
x= jumlah balita yang ISPA di Desa Bolok Januari – April 2015 = 61
P= proporsi kejadian ISPA = x/N = 61/ 288 = 0,21
Z(1-α/2) = nilai sebaran normal baku, tingkat kepercayaan 95%= 1,96
d= besar penyimpangan 0,1
Besar sampel yang diperoleh:
n=Z¿ ¿¿
36
n=(1 , 96)2 0 , 21(1−0 ,21)
(0 ,1)2
n=(3,841 ) 0,21(0 ,79)
(0 , 01)
n=0,6370,01
n=63,7
n ≈ 64
Jadi besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 64 anak balita dengan
responden ibu balita.
3.4. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Kriteria Objektif Skala1. ISPA pada
BalitaISPA disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak) (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan diagnosa yang ada pada rekam medik.
1= Ya, jika balita mengalami ISPA.
2= Tidak, jika balita tidak mengalami ISPA.
Nominal
2. Imunisasi Imunisasi yang diterima bayi dari umur 0-9 bulan
Observasi (buku KMS)
1= Tidak lengkap, jika imunisasi yang diperoleh oleh balita tidak lengkap.
2= lengkap, jika imunisasi yang diperoleh oleh balita lengkap (HB0, BCG, DPT 1-4, Polio 1-4 dan
Nominal
37
Campak).3. Berat badan
lahir rendahBayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Kemenkes,2013).
Observasi (buku KMS)
1= Ya, jika berat badan lahir < 2500 gram
2= Tidak, jika berat badan lahir ≥ 2500 gram
Nominal
4. ASI Eksklusif
Pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Kemenkes,2013).
Wawancara 1= Tidak, jika tidak menerima ASI eksklusif
2= Ya, jika menerima ASI eksklusif.
Nominal
5. Lantai rumah Jenis lantai dalam rumah.
Observasi 1= Tidak memenuhi syarat (berlantai tanah)2 = Memenuhi syarat (berlantai marmer, ubin, kramik dan sudah diplester semen)(Kemenkes, 2013).
Nominal
3.5. Jenis Data dan Instrumen yang Digunakan
3.5.1 Jenis Data
Teknik penggumpulan data dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara langsung dengan responden menggunakan kuiesioner serta
peneliti melakukan pengamatan mengenani keberadaan lantai rumah dan
38
yang berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas
Batakte Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data instansi
terkait yakni data jumlah kasus ISPA pada balita di Puskesmas Batakte
Kecamatan Kupang Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang serta
data jumlah balita di Pustu Desa Bolok.
3.5.2 Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Teknik Pengolahan Data
Semua data yang telah terkumpul dalam proses pengumpulan data
akan diolah secara manual dan menggunakan komputer yang melalui beberapa
tahap yaitu:
a) Editing
Hasil kuesioner yang telah dibagikan ke responden akan di edit terlebih
dahulu, yaitu mengecek dan memperbaiki kembali isian kuesioner
tersebut.
b) Coding
Merupakan kegiatan merubah data kedalam bentuk angka/ bilangan,
terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum sesuai dengan kode
39
yang ada pada definisi operasional berdasarkan hasil ukur. Kegiatan
dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga
mempercepat pada saat memasukan data ke program komputer.
c) Entry
Setelah semua lembaran kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah
dilakukan pengkodean, selanjutnya data diproses dengan cara
memasukan hasil jawaban yang diperoleh dari wawancara yang
dilakukan dalam instrument kuesioner ke dalam program computer SPSS.
d) Tabulasi
yaitu mengelompokkan data sesuai variable yang akan diteliti agar
mudah dijumlah, disusun, dan didata untuk disajikan dan dianalisis.
3.6.2 Analisis Data
a) Analisis Univariat
Tujuan analisis univariat dalam penelitian ini adalah untuk
menggambarkan karakteristik dari variabel dependen dan independen dan
hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Analisis univariat
digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel independen
(imunisasi, BBLR, ASI eksklusif, dan jenis lanati rumah) sedangkan
variabel dependen yakni kejadian ISPA pada balita.
b) Analisis Bivariat
Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan variabel independen yang diteliti dengan variabel dependen.
40
Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan
5%. Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau ada
hubungan variabel dependen dengan variabel independen, sedangkan
apabila nilai p>α maka tidak ada hasil yang bermakna atau tidak ada
hubungan antara variabel dependen dengan independen.
Rumus Chi-Square:
X2=∑ ¿¿¿
(Hastono, 2006)
Keterangan:
X2 = Chi- Square
Oij = Jumlah observasi pada kasus-kasus yang dikategori dalam baris ke-
1 dan kolom ke-j.
Eij = Jumlah kasus yang diharapkan yang dikategorikan dalam baris ke-1
dan kolom ke-j.
Untuk mengetahui kekuatan atau derajat keeratan hubungan antar
faktor resiko dengan kejadian ISPA pada balita maka digunakan Contigency
Ceoffisien (CC). Rumus Contigency Ceoffisien:
C=√ X2
X2+N
(Budiarto, 2002)
Keterangan:
C= Contigency Ceoffisien
N= Jumlah responden
41
X2= harga Chi-Square yang yang diperoleh
Tingkat kuat lemahnya korelasi menurut Sugiono (1999) dapat dilihat
berdasarkan rentang nilai koefisien contigensi sebagai berikut:
1. Korelasi sangat lemah : 0,000 – 0,199
2. Korelasi lemah : 0,2 – 0,399
3. Korelasi sedang : 0,4 – 0,599
4. Korelasi kuat : 0,6 – 0,799
5. Korelasi sangat kuat : 0,8 – 0,999
Uji alternatif yang digunakan adalah uji Fisher jika uji Chi Square
tidak memenuhi syarat yaitu apabila jumlah sel frekuensi yang diharapkan
kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20% dan atau tidak satu sel pun boleh
memiliki frekuensi yang diharapkan kurang dari 1 (Hastono, 2011).