bab i - kumpulan pikiran – dengan berpikir kita ... · web viewlada merupakan komoditas...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lada (Piper nigrum L.) disebut sabagai raja dalam kelompok rempah (“King of
Spices”), karena merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan. Lada
merupakan komoditas Indonesia yang sudah diekspor ke Eropa sejak abad ke 12. Pada masa
penjajahan Belanda di Indonesia, lada memberikan keuntungan sebesar 2/3 dari total
keuntungan yang diperoleh VOC. Sebelum Perang Dunia ke II, Indonesia mampu
memenuhi 80% kebutuhan lada dunia. Peran Indonesia mulai menurun sejak penjajahan
Jepang, karena banyaknya tanaman yang rusak akibat tidak terpelihara dan terjadinya
serangan hama dan penyakit terutama penyakit busuk pangkal batang (BPB).
Lada merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan yang mempunyai arti
penting dalam peneriman devisa negara. Pada tahun 1990 penerimaan devisa sebesar
US $ 79,31 juta dan nilai ekspor komoditas tersebut meningkat menjadi US $ 218,13
juta pada tahun 2000 dengan rata-rata perkembangan 13,71 persen per tahun. Produksi
lada Indonesia terbesar berasal dari Lampung dan Sumatera Selatan (89%) (Wahid dan
Yufdi, 1987 dalam Damanik, 2001), namun sampai saat ini tanaman lada telah
menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya adalah Sulawesi Tenggara.
Pengembangan tanaman lada di Sulawesi Tenggara masih menduduki peringkat
akhir dengan luasan areal yang sempit dan terbatas, namun apabila dilihat dari luasan
pertanaman dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Perkembangan
areal lada selama kurun waktu 11 tahun (1990 – 2000) meningkat rata-rata 5,14 persen
per tahun, perluasan areal meningkat tajam pada tahun 1998 – 1999 sebesar 24,91
persen (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, 2001). Hal ini
menggambarkan minat petani terhadap komoditas lada cukup besar karena terdorong
oleh harga jual yang relatif tinggi dan cukup bersaing dengan komoditas lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah bagaimana potensi agrobisnis tanaman lada di Sulawesi Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tanaman Lada
Lada merupakan salah satu komoditas sektor pertanian yang dapat diandalkan
untuk memperlancar pembangunan pertanian, karenamerupakan salah satu komoditas
penghasil Devisa, selama dekade terakhir ini (1983 – 1992) rata-rata nilai ekspor lada
Indonesia sebesar US $ 93.045.000 /tahun (Indonesia Negara Exportir No. 1 di dunia),
Namun selama lima tahun terakhir ini ekspor lada cenderung menurun. Penurunan nilai
ekspor ini disebabkan oleh luas areal yang cenderung terus menurun, sementara harga
saat ini meningkat.
Luas areal Tanaman lada di Indonesia 130.086 Ha. Dengan produksi sebesar
65.685 Ton. Saat ini Indonesia merupakan pengekspor lada No. 2 di dunia setelah
Brazil. Syarat tumbuh tanaman lada adalah : Tinggi tempat berkisar antara 0 – 700 m
di atas permukaan laut, Curah hujan 2.000 – 3.000 mm/ tahun. Pertumbnuhan akan
terhambat bila curah hujan kurang dari 90 mm/bulan dan bulan kering > 3 bulan
dengan Bulan Basah 100 mm/bulan, Bulan kering >3 bulan, Kelembaban udara relative
: 60 – 80 % dan suhu rata-rata 20-34°C.
Tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman lada adalah jenis tanah latosol dan
podsolik merah kuning. Tekstur tanah subur gembur, remah dengan pH tanah optimal
5,6 – 5,8.
B. Lada di Sulawesi Tenggara
Lada merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan yang mempunyai arti
penting dalam peneriman devisa negara. Pada tahun 1990 penerimaan devisa sebesar
US $ 79,31 juta dan nilai ekspor komoditas tersebut meningkat menjadi US $ 218,13
juta pada tahun 2000 dengan rata-rata perkembangan 13,71 persen per tahun. Produksi
lada Indonesia terbesar berasal dari Lampung dan Sumatera Selatan (89%) (Wahid dan
Yufdi, 1987 dalam Damanik, 2001), namun sampai saat ini tanaman lada telah
menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya adalah Sulawesi Tenggara.
Pengembangan tanaman lada di Sulawesi Tenggara masih menduduki peringkat
akhir dengan luasan areal yang sempit dan terbatas, namun apabila dilihat dari luasan
pertanaman dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Perkembangan
areal lada selama kurun waktu 11 tahun (1990 – 2000) meningkat rata-rata 5,14 persen
per tahun, perluasan areal meningkat tajam pada tahun 1998 – 1999 sebesar 24,91
persen (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, 2001). Hal ini
menggambarkan minat petani terhadap komoditas lada cukup besar karena terdorong
oleh harga jual yang relatif tinggi dan cukup bersaing dengan komoditas lainnya.
Perkembangan areal pertanaman lada tidak diikuti oleh perkembangan produksi,
selama kurun waktu tersebut produksi hanya meningkat rata-rata 2,09 persen per tahun.
Produksi lada Sulawesi Tenggara tergolong rendah, produktivitas pada tahun 2000
sebesar 247,56 kg/ha lebih rendah dari produktivitas lada di Lampung yang mencapai
577,92 kg/ha (Kiswanto, 2001).
Rendahnya produksi lada dikarenakan sistim budidaya yang sederhana dan
tradisional. Menurut Yuhono (1996) bahwa usahatani lada dengan menerapkan
teknologi anjuran maka produktivitas dapat mencapai 1.680 kg/ha. Produksi yang
rendah memberikan dampak sosial ekonomi khususnya terhadap pendapatan petani.
Pendapatan yang rendah akan berpengaruh terhadap kemampuan petani di dalam
mengelola perkebunan lada, sementara harga masukan (input produksi) yang terdiri atas
pupuk, fungisida dan upah tenaga kerja terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
merupakan tekanan yang cukup berat bagi petani untuk memperbaiki usahatani lada
karena produktivitas tanaman yang rendah dan kemampuan permodalan yang sangat
terbatas. Salah satu cara untuk mengoptimalkan produksi adalah dengan menjaga
kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Kondisi lahan Sulawesi
Tenggara yang didominasi oleh jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK) tergolong
lahan yang bermasalah karena miskin hara, bereaksi masam, kapasitas tukar kation
(KTK) rendah dan struktur tanah labil yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan
tanaman (Kartono, 2002). Hal ini mengakibatkan usahatani lada memerlukan input
produksi tinggi untuk mempertahankan kelestarian usahatani dan pencapaian produksi
optimal.
Salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan pendapatan petani lada
adalah dengan mengusahakan ternak ke dalam sistim usahatani. Diversifikasi antara
usaha ternak dengan usahatani tanaman merupakan usaha yang saling menguntungkan
dan memberikan manfaat yang cukup berarti. Keterpaduan pengembangan antar
komoditi dengan prinsip saling mendukung dapat diupayakan melalui integrasi
usahatani lada dengan ternak kambing. Diharapkan dengan sistem usahatani terpadu
dapat memberikan kontribusi terhadap usaha pengembangan ternak dengan
memanfaatkan potensi lahan yang tersedia, serta produksi pupuk kandang yang
dihasilkan dari usahatani kedua komoditi tersebut. Mencermati permasalahan di atas
maka dilakukan penelitian untuk mengevaluasi perilaku petani di dalam menggunakan
input produksi sehingga diperoleh gambaran tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi serta pengaruhnya terhadap produksi lada yang diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan petani.
C. Potensi Agrobisnis Tanaman Lada
Lada diproduksi oleh 11 negara yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu anggota IPC
yang terdiri dari Brazilia, India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Vietnam dan non anggota
IPC seperti China, Thailand, Madagaskar, Kambodia, dan Equador. Pada tahun 2000
sebelum Vietnam bergabung, kontribusi anggota IPC terhadap kebutuhan lada dunia
sebesar ± 77,45%. Bergabungnya Vietnam dalam kelompok IPC pada tahun 2005,
menyebabkan peningkatan kontribusi lada kelompok IPC menjadi ±96,82 %. Produk lada
utama dalam perdagangan internasional adalah lada hitam dan lada putih.
Pada periode 1997 sampai 2003 (2006), produksi lada hitam dunia terus mengalami
peningkatan, tetapi pada 2004 dan 2005 produksi mengalami penurunan. Peningkatan ini
terjadi sebagai akibat produksi Vietnam yang terus mengalami meningkat secara tajam.
Produksi lada hitam Indonesia pada 1997 sampai 2005 berada diantara 14 dan 45 ribu ton,
dan kontribusi Indonesia pada pas ar lada hitam dunia berfluktuasi pada kisaran 7,38
sampai 15,75%. Pada tahun 2006, peran Indonesia hanya sebesar 12,50% dengan produksi
sebanyak 35 ribu ton. Sebaliknya bagi Vietnam, peran terhadap produksi lada dunia
meningkat sejalan dengan peningkatan produksi total dunia. Bila pada tahun 1997 baru
berperan sebesar Prospek lada Indonesia di pasar Internasional masih tetap cerah karena
sudah dikenal sejak jaman dahulu sebagai Lampung Black pepper dan Muntok White
Pepper yang mempunyai cita rasa dan aroma yang khas. Namun dalam be berapa tahun
terakhir akibat fluktuasi harga yang cenderung menurun, menyebabkan banyak petani lada
yang membiarkan tanamannya rusak, beralih ke komoditas lain, atau beralih profesi pada
pekerjaan yang lebih menguntungkan. Disamping itu terjadi peningkatan persaingan antar
negara produsen seiring dengan munculnya Vietnam sebagai pesaing dalam pasar
internasional. Untuk mempertahankan keberadaan lada Indonesia di pasar dunia maka
perlu dilakukan efisiensi biaya produksi agar dapat bersaing di pasar global dan
pengembangan diversifikasi produk lada untuk menambah ragam produk di pasar dalam
dan luar negeri. Campur tangan pemerintah atau keterlibatan investor sangat diperlukan
untuk keberlangsungan agribisnis lada, sehingga memiliki posisi dan daya saing tingg i di
pasar internasional. Permintaan lada di negara -negara bukan penghasil lada menunjukkan
peningkatan. Pada tahun 2000 jumlah lada yang diimport mencapai 168 ribu ton, pada
tahun 2005 meningkat menjadi 212 ribu ton (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri makanan sebagai akibat
pergeseran preferensi masyarakat.
Mengamati situasi perdagangan internasional akhir -akhir ini, nampaknya
permintaan lada dunia cenderung meningkat meskipun kenaikkannya tidak banyak. Lada
Indonesia yang sudah mempunyai keunggulan d alam hal cita rasa yang khas dan telah
dikenal sebelum Perang Dunia II ( Lampung Black Pepper dan Muntok White Pepper)
masih berpeluang untuk bersaing dengan produk dari negara lainnya.
Sampai tahun 2006, pertanaman lada di Indonesia tersebar pada lebih d ari 13
propinsi, dengan total luas areal adalah 211.730 ha, dengan potensi sangat bervariasi.
Tanaman lada mempunyai persyaratan lingkungan tumbuh untuk dapat berproduksi
dengan meminimalkan kendala produksi. Oleh sebab itu pengembangan agribisnis lada di
masa mendatang lebih diutamakan pada daerah dengan kriteria amat sesuai dan sesuai
untuk tanaman lada.
D.