bab i - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-t 28053-penerapan dan... · fase...
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam
tahap pembangunan diberbagai sektor,1 termasuk didalamnya sektor
perekonomian. Pembangunan yang dilakukan tentu saja akan membutuhkan
modal atau investasi yang besar. Keterbatasan modal dalam negeri serta
kurangnya Sumber Daya Manusia terampil dan keterbatasan akses pasar,
menyebabkan Indonesia membutuhkan adanya pengaturan yang dapat
mengembangkan iklim investasi sehingga investor asing ingin menanamkan
modalnya di Indonesia.2
Alasan pertama suatu negara mengundang modal asing adalah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas
lapangan kerja. Masuknya modal asing, tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai
dapat terlaksana seperti mengembangkan industri substitusi import untuk
menghemat devisa, mendorong eksport non-migas untuk menghasilkan devisa,
alih tekhnologi, membangun prasarana dan daerah tertinggal.3 Hal ini
1 Indonesia merupakan Negara yang memerlukan modal asing masuk kedalamnya untukdapat mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksportnonmigas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi membangun sarana dan prasarana,mengembangkan daerah tertinggal dan memperluas lapangan pekerjaan, eksploitasi sumber dayaalam karena tidak memiliki alat untuk mengeksploitasi, dll, sebagaimana tertulis dalam ErmanRajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal, Cet. ke-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007),hlm. 13
2 Dalam perkembangan iklim di Indonesia pun setidaknya terdapat beberapa faktorpenting yang menjadi tujuan investor, diantaranya: (1) faktor buruh murah; (2) dekat dengansumber daya / bahan mentah; (3) mencari market baru; (4) lisensi dan alih teknologi; (5) fasilitas /insentif; dan (6) status Negara-negara dalam perdagangan internasional, sebagaimana tertulisdalam Sujud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, Cet ke-1, (Jakarta: CV. Novindo PustakaMandiri, 2008), hlm. 1
3 Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi, (Yogyakarta : Program PascasarjanaFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 19
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dikarenakan, dalam dekade terakhir ini batas nonfisik antar negara semakin sulit
untuk membedakannya dan bahkan cenderung tanpa batas (borderless state), atau
sering juga disebut sebagai era globalisasi.4
Dalam era liberalisasi dan globalisasi ekonomi, penanaman modal atau
investasi tidak hanya merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam
pengembangan pembangunan ekonomi, namun juga merupakan sarana
pengembangan suatu industri,5 karena foreign direct investment is the lifeblood of
4 Saat ini globalisasi (pada umumnya) telah diterima luas tanpa konversi. Globalisasiyang diartikan sebagai integrasi Negara dan manusia dari seluruh dunia yang menjadikan pasarglobal, tuntutan peningkatan daya saing, efesiensi, efektifitas, produktifitas dengan harapanmembawa kesejahteraan bagi semua masyarakat dunia. Sebenarnya globalisasi mengandungbanyak arti bagi orang yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda pula. Dalam pengertianyang lain, globalisasi diartikan sebagai gejala menyatunya dunia oleh dan berkat kemajuantransportasi dan elektronik yang canggih. Teori globalisasi mula-mula dilontarkan oleh para ahli-ahli ilmu sosial Marxis dan aliran radilkal lainnya. Menurut teori Marxis, kapitalisme merupakankekuatan yang menyatukan dunia untuk pertama kalinya, ia merupakan kekuatan progresif karenamampu meruntuhkan modal produksi dan sistem sosial yang tradisional. Dhaniswara K. Harjono,Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No.25 tahun 2007tentang Penanaman Modal, cet. I, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 17. Thomas LFriedman membagi globalisasi kedalam tiga fase. Fase globalisasi pertama berlangsung sejak1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara dunia lama dan dunia baru, hinggasekitar tahun 1800. masa itu disebut oleh Friedman sebagai globalisasi 1.0. proses ini menyusutkandunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi 1.0 terkait dengan negara dan otot.Maksudnya dalam fase globalisasi ini, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorongproses penyatuan global,adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda,seberapa besar tenaga angin dan seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara sertaseberapa besar kreatifitas untuk memanfaatkannya. Fase globalisasi 2.0 berlangsung sekitar tahun1800 hingga 2000 dengan diselingi masa Depresi Besar serta Perang Dunia I dan II. Masa inimenyusutkan dunia dari ukuran sedang keukuran kecil. Dalam globalisasi 2.0, pelaku perubahanatau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global, adalah perusahaan-perusahaanmultinasional. Kekuatan dibalik globalisasi ini adalah terobosan dibidang perangkat keras, berawaldari kapal uap dan kereta api, hingga kemudian telepon dan computer. Fase globalisasi 3.0menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus melapangkan permainan.Kalau motor penggerak globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya Negara, globalisasi 2.0 motorpenggeraknya adalah mengglobalnya perusahaan, uniknya globalisasi 3.0 adalah kekuatan baruyang ditemukan untuk berkerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global.Fenomena yang memungkinkan, memberdayakan dan melibatkan individu serta kelompok kecildengan mudah dan mulus menjadi global dengan sebutan tatanan dunia datar (flat world flatform).Tatanan dunia datar adalah konvergensi(penyatuan) antara computer pribadi yang memungkinkansetiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, seratoptic yang memungkinkan mereka mengakses lebih banyak materi diseluruh dunia dengan murahjuga secara digital, serta work flow softwere (perangkat lunak alur kerja) yang memungkinkanindividu-individu diseluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital darimanapun, tanpa menghiraukan jarak antara mereka. Thomas L. Friedman, The World Is Flat:Sejarah Singkat Abad ke-21, cet ke-I, (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 8.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
the global economy.6 Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi
internasional yang tidak terelakkan sebagaimana hubungan ekonomi internasional
lainnya, karena penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi
kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga masyarakat. Adanya perbedaan
georafis, kondisi wilayah, potensi sumber daya alam, kemampuan sumberdaya
manusia, penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi menyebabkan negara
berada dalam interdependensi. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing
pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau
kepentingannya, dimana hal tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat
internasional dalam liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi
peningkatan hubungan penanaman modal internasional.7
Kegiatan-kegiatan Penanaman modal ataupun international commercial
transaction pada dasarnya, memerlukan suatu transparansi dan kepastian hukum
dalam pelaksanaannya, karena kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan pihak-pihak
yang saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang kemudian akan
menimbulkan hubungan hukum diantara mereka. Kepastian dan perlindungan
hukum yang jelas, akan memberikan rasa aman dan mendorong para investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan, bagi calon
investor, adanya transparansi dalam proses dan tata cara penanaman modal,
sangatlah diperlukan karena akan menciptakan suatu kepastian hukum serta
menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictable),
sebaliknya tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan membingungkan
5 Erika, “Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing di Bidang PertambanganMinerba”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 2
6 Calvin A. Hamilton & Paula I. Rochwerger, “Trade and Investment: Foreign DirectInvestment Through Bilateral and Multirateral Treaties”, 18 N.Y. Int'l L. Rev. 1, New York StateBar Association, Winter, 2005, hlm. 3
7 Rosdiyah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, cet. II, (Malang:Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 1.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
calon investor yang seringkali mengakibatkan biaya yang cukup mahal.8 Tidak
hanya kepastian dalam proses dan tata cara penanaman modal yang dibutuhkan
untuk memberikan rasa aman kepada investor, namun kepastian hukum terhadap
penyelesaian sengketa juga diperlukan untuk dapat menarik modal investor masuk
ke dalam wilayah teritori suatu Negara karena penyelesaian sengketa merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari transaksi-transaksi internasional dalam
investasi dan perdagangan luar negeri.
Dunia globalisasi dan privatisasi telah menghasilkan jumlah pihak-pihak
transaksi internasional yang besar serta diikuti oleh fenomena-fenomena sengketa
dan litigasi terhadapnya.9 Dalam hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya
suatu perjanjian/transaksi antara para pihak, baik penanam modal asing dengan
partner lokal dan/atau dengan pemerintah melalui sebuah joint operation atau
joint venture dapat memungkinan terjadinya suatu perbedaan interpretasi,
perbedaan pendapat ataupun pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian,
benturan kepentingan, ataupun adanya kerugian dalam perjanjian yang dibuat
yang kemudian berujung pada adanya suatu sengketa dalam kerjasama mereka.
Untuk mengatasi sengketa dan permasalahan tersebut, maka Para pihak akan
mencari penyelesaian melalui peradilan umum yang dibentuk oleh Negara atau
melalui arbitrase. Sehubungan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
Hans Van Houtte mengatakan bahwa,10 “dispute in international trade are not
8 Anna Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm. 8
9 Robert Briner, Kepala International Court of Arbitration of the International Chamberof Commerce (ICC), mengatakan bahwa, “Globalization and privatization have produced an ever-growing number of parties to international transactions, with all the disputes and litigiousphenomena this entails,” sebagaimana tertulis dalam Robert Briner, “Philosophy and objectives ofthe Convention”, dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (NewYork: United Nations Publications, 1999), hlm.13
10 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London: Sweet & MaxwellLimited, 1995), hlm. 383
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
always resolved by court, contracting parties often agree that possible disputes
concerning the contract will be settled through arbitration.”
Terdapat suatu fakta bahwa para pihak dalam joint venture di Indonesia
sebagian besar memilih arbitrase internasional sebagai tempat penyelesaian
sengketa,11 hal ini dikarenakan, arbitrase merupakan sistem alternatif penyelesaian
sengketa yang memiliki sifat paling formal. Dalam proses arbitrase, para pihak
yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga
yang netral dan berwenang untuk memberikan putusan yang mengikat para pihak.12 Susan Choi dalam penulisannya mengungkapkan,13 “Arbitration has become a
popular method for the resolution of disputes arising from international
commercial transactions. In the international context, arbitration can provide an
alternative to litigation in courts that may be unfamiliar to one party. Parties
have the freedom to choose the procedural and substantive law that will govern
the dispute and can select arbitrators based on their expertise in a certain
area. Other potential advantages include efficiency, simplicity and, manageable
costs.”
Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa, karena keuntungan-keuntungan yang11 Ridwan Khairandy mengatakan bahwa keuntungan yang dapat diambil oleh para pihak
pengusaha dalam memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya adalah karena; (1) Netralitasdari dewan arbitrase yang dipilih, artinya tidak memiliki national character; (2) Pelaksanaanputusan arbitrase mungkin lebih bernilai dari pihak yang dimenangkan daripada putusanpengadilan, karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1958; (3)Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sifatnya rahasia dan tidak terbuka untuk umum, sepertilitigasi dalam pengadilan; (4) Para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untukmemilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut; (5) Para pihak bebas untuk memilih anggotaarbitrator; (6) Keluwesan dalam prosedur arbitrase, artinya, akan menghemat biaya; (7) Putusanarbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat, artinya tidak dapat ditinjau lagi, dan(8) Para pihak memiliki keleluasaan untuk sepakat mengenai tempat dimana proses arbitrasetersebut akan dilakukan, sebagaimana tertulis dalam Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 193
12 Sujud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 110
13 Susan Choi, “Judicial Enforcement of Arbitration Awards Under The ICSID and NewYork Conventions”, New York University Journal of International Law and Politics, Fall 1995-Winter 1996, 28 N.Y.U. J. Int'l L. & Pol. 175, hlm. 175
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dimilikinya, yaitu bersifat rahasia, efektif serta merupakan metode penyelesaian
sengketa bisnis internasional yang diterima secara umum.14 Robert L. Bonn
memberikan paparan tentang menguntungkannya menggunakan arbitrase sebagai
forum penyelesaian sengketa investasi, bisnis, dan dagang internasional. Dia
mengatakan bahwa,15 “the increasingly widespread use of arbitration to handle
contract related disputes could be explained by the advantages the system enjoys
in comparison to court litigation, inter alia:
1. The use of decision makers of arbitration disputes are experts in
the subject matter in dispute;
2. An arbitration hearing is more flexible than a court of law where
expert testimony can only be introduced through the somewhat
cumbersome system of expert witnesses. When this expertise is
combined with the relative absence of restraints on the arbitrator-
especially in the area of evidence admitted to the forum, the
manner in which he conducts the hearings;
3. The lack of binding precedents of the system of arbitration shows
flexibility in which, the public legal system does not enjoy. The
principles guiding the dispute resolution process can thus rest on
custom rather than on law, whether it be trade custom, as in
commercial arbitration, or custom of the shop, as in labor
arbitration;
4. Arbitration is economical because it can dispense with lawyers and
expert witness fees;
14 Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, “international commercial arbitration isa way of resolving disputes which the parties choose for themselves. It is private, it is effective andin most parts of the world, it is now the generally accepted method of resolving internationalbusiness disputes,” sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law andPractice of International Commercial Arbitration, Third Edition, (London: Sweet & Maxwell,1999), hlm. 1
15 Robert L. Bonn, “Arbitration: An Alternative System for Handling Contract RelatedDisputes”, diambil dari Disertasinya yang berjudul, “Commercial Arbitration: A Study in theRegulation of Interorganizational Conflict," (New York: New York University, 1971),Administrative Science Quarterly, Vol. 17, No. 2 (Jun., 1972), hlm. 257
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
5. Arbitration process is speedy and faster than national court, in
which, its speed means that less time need be spent on particular
cases and faster because crowded court dockets often result in
delay;
6. Arbitration provides secrecy since it is not a public forum and,
unless specifically requested by the parties themselves, neither
records nor transcripts of hearings are maintained;
7. Arbitration affords more certainty because of the absence of the
possibility of legal appeal; and
8. Arbitration is the maintenance of business relationships. Finally,
many argue that due to its speed, economy, and flexibility, parties
are able to maintain a business relationship, while they settle a
dispute that has arisen between them.
Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim memberikan
pandangan yang berbeda tetapi hampir serupa mengenai alasan-alasan para
pengusaha menyukai arbitrase, yaitu:16
1. Arbitrase menawarkan kebebasan, kepercayaan dan keamanan.
2. Arbitrase menawarkan arbiter yang memiliki keahlian (expertise)
dalam penyelesaian sengketa.
3. Proses arbitrase cepat dan hemat biaya.
4. Sistem arbitrase bersifat rahasia.
5. Sistem arbitrase bersifat nonpreseden.
6. Arbiter arbitrase lebih peka dalam pemeriksaan perkara, penerapan
hukum dalam perkara serta penjatuhan putusannya adil.
7. Putusan arbitrase bersifat final dan tidak dapat diajukan banding.
8. Arbitrase bersifat efektif serta modern.
Arbitrase, diluar dari keuntungan-keuntungan yang dimilikinya sebagai
forum penyelesaian sengketa bisnis internasional yang banyak dipergunakan oleh
para pelaku usaha internasional pada dasarnya memiliki esensi yang sangat
16 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap ArbitraseDagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Di Indonesia”, dalam Seri Dasar-Dasar HukumEkonomi 2: Arbitrase di Indonesia, hlm. 19-22
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
penting. Sebuah putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh suatu badan arbitrase
(badan arbitrase internasional maupun ad hoc) tidak dapat berdiri sendiri, putusan
tersebut memerlukan suatu penetapan pengadilan nasional dalam hal
pelaksanaannya, agar putusan tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan
dijalankan dalam teritori suatu Negara. Huala Adolf menyatakan bahwa,17
“despite those positive traits that arbitration has, the efficacy of arbitration
awards lies on its enforcement. Arbitration will be an effective or efficient way of
the resolution of the dispute if its awards, in the end of the day, are voluntarily
adhered to by the parties.”
Serupa dengan Huala Adolf, Alan Redfern dan Martin Hunter
menambahkan bahwa,18 ”the process of resolving disputes by international
commercial arbitration – a practice which increases in popularity each year –
only works because it is held in a place by a complex system of national laws and
international treaties.” Sebagaimana pernyataan yang dikatakan oleh Alan
Redfern dan Martin Hunter tersebut, putusan arbitrase akan efektif apabila
dilaksanakan dalam tempat dimana didalamnya terdapat sistem hukum nasional
dan perjanjian/traktat internasional yang rumit (kompleks). Putusan arbitrase
secara teoritis mengikat para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan
Pasal III Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award (“Konvensi New York”) mengatur bahwa, “each Contracting State shall
recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with rules
of procedure of the territory where the award is relied upon…”19 namun, pada17 Huala Adolf, “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards in
ASEAN Countries”, ASEAN, hlm. 2, didapat dari http://www.aseanlawassociation.org/10GAdocs/Indonesia6.pdf, diakses pada 14 Desember 2010, 16:00 WIB
18 Alan Redfern, loc.cit.
19 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards, 10 Juni 1958, Pasal 3, didapat dari, www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConvention, diakses pada 17 Desember 2010, 12:40WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kanyataannya pelaksanaan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh badan
arbitrase hanyalah bersifat sukarela. Efektifitas suatu putusan arbitrase
memerlukan kepastian dan perlindungan hukum dalam pelaksanaannya, putusan
arbitrase tersebut tetap harus dilaksanakan dengan prosedur yang sama
berdasarkan penetapan dalam bentuk putusan ataupun perintah dari sebuah forum
pengadilan yang memiliki pengaruh yang sama apabila ingin memperoleh
kepastian dalam pelaksanaannya.20
Pada dasarnya, berbicara mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing
memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan, permohonan penetapan
pelaksanaan terhadap suatu putusan arbitrase agar dapat dilaksanakan dalam
teritori suatu Negara tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of
interest) antara pihak-pihak yang bersengketa. Keren dan Andrew Tweeddale
menyatakan bahwa,21 “once an award has been given, the parties’ interests
become diametrically opposed. The successful party will wish to enforce the
award and the unsuccessful party will wish to prevent enforcement.” Bahkan
permasalahan yang seringkali dibahas dalam arbitrase adalah masalah eksekusi
putusan arbitrase internasional itu sendiri, karena pada dasarnya, tidak semua
putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di suatu negara. Disamping itu,
cara dan prosedur eksekusi untuk putusan arbitrase internasional juga bervariasi
dari suatu negara ke negara lainnya.22
20 Arbitration Act Inggris yang merupakan hukum arbitrase tertua di dunia, yaitu sejaktahun 1889 mengatur bahwa, “an award made by the tribunal pursuant to an arbitrationagreement may, by leave of the court, be enforced in the same manner as a judgment or order ofthe court to the same effect,” sebagaimana tertulis dalam Keren Tweeddale & Andrew Tweeddale,a practical approach to Arbitration Law, (London: Blackstone Press Limited, 1998), hlm. 177
21 Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 291
22 Indah Lisa Diana, “Ketertiban Umum Sebagai Dasar Penolakan DilaksanakannyaPutusan Arbitrase Internasional di Indonesia”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, FakultasHukum Universitas Indonesia, hlm. 1, didapat dari www.pemantauperadilan.com, diakses padaKamis, 9 Desember, 2010, 10.00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Perbedaan cara dan prosedur eksekusi tersebut kemudian dijawab dengan
Konvensi New York yang kemudian diundangkan pada 10 Juni 1958 dan hingga
saat ini telah diikuti oleh 145 Negara di dunia untuk mengakomodir suatu
pengaturan universal terhadap pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase
asing.23 Kehadiran dari Konvensi New York adalah untuk menghadirkan suatu
persamaan persepsi, universalitas pengakuan dan pengaturan pelaksanaan
terhadap putusan arbitrase internasional kepada para Negara anggotanya.24
Universalitas persepsi dan pengaturan tentang putusan arbitrase asing yang
ditentukan oleh Konvensi New York 1958 tersebut pada kenyataannya, masih
sangatlah sulit dilaksanakan dalam teritori suatu Negara, dikarenakan, terdapat
perbedaan cara dan prosedur eksekusi putusan arbitrase internasional dalam
berbagai Negara di dunia yang disebabkan oleh adanya kebebasan Negara-Negara
dalam menentukan hukum nasionalnya sehubungan dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase khususnya arbitrase asing. 25
23 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Status of 1958 - Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards, United Nations Commission on InternationalTrade Law (UNCITRAL), didapat darihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConv ention_status.html,diakses pada 17 Desember 2010, 12:40 WIB
24 Albert Jan Van Den Berg, Ketua Netherlands Arbitration Institute, Rotterdam yangmengatakan bahwa, “two basic actions contemplated by the New York Convention: (1) the firstaction is the recognition and enforcement of foreign arbitral awards, i.e., arbitral awards; and (2)the second action contemplated by the New York Convention is the referral by a court toarbitration,” sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of1958: An Overview”, Commercial Arbitration Yearbook, Vol. XXVIII, 2009, hlm. 1
25 Jan Paulsson, Vice President of London Court of International Arbitration mengatakanhal yang sebaliknya bahwa, “broadly speaking, the New York Convention was intended to make iteasier to enforce an arbitral award rendered in one country in the courts of other countries.Therefore, the Convention focuses squarely on imposing certain obligations on the judge at theplace of enforcement. It does not create obligations for the courts at the place of arbitration—thatwould have been beyond the scope of the Convention. So each country remains free to makewhatever rules it wishes with respect to the grounds on which they might invalidate an awardrendered in their territory,” sebagaimana tertulis dalam Jan Paulsson, “Awards set aside at theplace of arbitration” dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (NewYork: United Nations Publications, 1999), hlm 2
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Hefin Rees menambahkan tentang fakta sulitnya menerapkan pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam hukum nasional negara dalam
pernyataannya,26 “there is a tension that lies at the heart of the relationship of the
courts and arbitration. On the one hand, the concept of arbitration as a
consensual process, reinforced by the ideas of transnationalism, leans against the
involvement of the mechanisms of state through the medium of a municipal court.
On the other side, there is the plain fact, palatable or not, that it is only a court
that possesses coercive powers which can rescue the arbitration if it is in danger
of foundering.”
Fakta tambahan lainnya yang membuat putusan arbitrase sulit untuk
dilaksanakan adalah bahwa Negara-Negara bebas dalam menentukan peraturan
apapun tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
sehubungan dengan ordre public-nya (ketertiban umum). Erman Rajagukguk
mengatakan bahwa,27 “the national character of public policy indicates that the
decision is up to the national country concerned. Therefore, each country can rule
whether public policy and its related issues are part of the country’s public policy.
Courts around the world have recognized that article V of the Convention is
discretionary.”
Indonesia merupakan anggota Konvensi New York 1958 sejak tahun
1981,28 dan telah menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
26 Hefin Rees, “Relationship Between National Courts and InternationalCommercial Arbitration ”, disampaikan dalam Seminar on International CommercialArbitration, 13 Mei 2010, didapat dari http://hefinrees.wordpress.com/2010/06/14/relationship-between-national-courts-and-international-commercial-arbitration/#References, diakses pada14 Desember 2010
27 Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in SeveralAsian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of PublicPolicy” presented in the 3rd Asian Law Institute (ASLI) Annual Conference on “The Developmentof Law in Asia: Convergence versus Divergence?”, Shanghai May 25-26, 2006, hlm. 2
28 Pada tanggal 5 Agustus 1981, Indonesia meratifikasi Konvensi New York melaluiKeputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On TheRecognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang Telah Ditandatangani Di NewYork Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959 (“Keppres34/1981”)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi New York, seperti Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing (“Perma 1/1990”) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).
Diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut adalah untuk mengatur
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan Konvensi New
York serta kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang
bersengketa dalam perkara penanaman modal atau commercial trade/transaction
pada suatu forum arbitrase internasional.
Kehadiran UU 30/1999 diharapkan dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum dalam hal penyelesaian sengketa commercial, serta untuk
memperbaiki ambiguitas sistem hukum acara penyelesaian sengketa yang
semenjak diterbitkannya Keppres 34/1981 masih menggunakan hukum acara
perdata dan Perma 1/1990. UU No. 30/1999 telah menggunakan asas resiprositas
(reciprocity) dan terdiri dari 82 pasal yang secara luas telah mengatur hal - hal
terkait dengan arbitrase serta berusaha mengatur seluruh aspek baik hukum acara
maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase
nasional dan internasional.
Dengan adanya UU 30/1999, Perma 1/1990 dan dengan diratifikasinya
Konvensi New York tersebut melalui Keppres 34/1981, Investor dan pedagang
asing pada umumnya memperoleh jaminan hukum bahwa putusan arbitrase asing
yang telah diperoleh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dapat diakui
dan dilaksanakan di Indonesia. Tineke Louise Tuegeh Longdong mengatakan
dalam disertasinya bahwa,29 “setidaknya perlindungan hukum dalam arti dapat
tidaknya putusan arbitrase yang telah diputuskan di luar negeri mendapat
pengakuan dan pelaksanaan di Indonesia menjadi syarat mutlak apabila ingin
29 Tineke Louise Tuegeh Longdong, “Pelaksanaan Konvensi New York 1958: SuatuTinjauan Atas Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Luar Negeri MengenaiKetertiban Umum”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 6
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
diciptakan suatu suasana penanaman modal asing yang menarik bagi investor
asing.”
UU 30/1999 yang diharapkan dapat memberikan suatu kepastian dan
perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa dalam arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa lainnya, pada kenyataannya masih belum dapat
memberikan angin segar. Hal ini dapat dilihat dalam sengketa kontrak
pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi antara Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (“Pertamina”) dan Karaha Bodas
Company L.L.C. (“KBC”), serta Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) yang telah
diputus oleh Badan Arbitrase Internasional Swiss dikarenakan wanprestasi yang
dilakukan oleh Pertamina dan PLN terhadap KBC.30
Sengketa ini bermula pada tahun 1994 dimana terdapat Kontrak Operasi
Bersama (Joint Operation Contract atau “JOC”) dimana KBC, suatu perusahaan
yang didirikan di Cayman Islands, Inggris, diberikan kuasa untuk
mengembangkan proyek Geothermal (panas bumi) Karaha Bodas berkapasitas
400 MW yang berlokasi di wilayah Karaha dan Telaga Bodas di Jawa Barat.
Kontrak yang kedua adalah Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract atau
“ESC”) antara KBC dan Pertamina dengan PLN atas nama Pertamina. Dalam
perkembangan pelaksanaan kontraknya, karena krisis ekonomi dan atas
rekomendasi International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent, pada 20
September 1997 presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997
tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan
Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN telah menangguhkan
pelaksanaan proyek JOC dan ESC sampai keadaan ekonomi pulih. Pada 1
November 1997, proyek tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun
1997 dapat dijalankan kembali, namun, pada tanggal 10 Januari 1998 diterbitkan
30 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentangPutusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi(Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9September 2008, didapat dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/53470896b4ed5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kembali sebuah Keppres Nomor 5 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa proyek
ESC dan JOC tersebut kembali ditangguhkan.
KBC kemudian mengajukan masalah tersebut ke badan arbitrase Swiss
untuk diproses dengan gugatan wanprestasi terhadap Pertamina dan PLN. Pada
tanggal 18 Desember 2000, Kemudian Badan Arbitrase Internasional Swiss
berdasarkan ketentuan arbitrase United Nations Commission on International
Trade Law (“UNCITRAL”), menghukum Penggugat untuk membayar kepada
Tergugat ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 berikut 4% bunga setahun, antara
lain dengan memblokir aset-aset perusahaan yang menurut Tergugat menjadi
milik dari Penggugat yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat. Pertamina
kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat terhadap putusan arbitrase internasional tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor
86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tentang pembatalan putusan arbitrase asing yang
dikeluarkan Badan Arbitrase Internasional Swiss, kemudian KBC mengajukan
kasasi terhadap Putusan tersebut kepada Mahkamah Agung yang kemudian
mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor
01/BANDING/WASIT.INT/2002 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Pertamina kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
kepada Mahkamah Agung yang berakhir dengan Putusan Nomor 444
PK/Pdt/2007 yang dalam putusannya menyatakan menolak permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding
Mahkamah Agung.
Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bagaimana pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam teritori suatu Negara masih
menuai banyak permasalahan sehubungan dengan penggunaan hukum nasional di
masing-masing Negara khususnya di Indonesia. Melihat dari perkara Pertamina
melawan KBC diatas mengindikasikan bahwa walaupun Indonesia telah
meratifikasi Konvensi New York 1958 dan telah menerbitkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang arbitrase, pengakuan dan
pelaksanaan mengenai putusan arbitrase internasional dalam sistem hukum
Indonesia masihlah sulit diterapkan serta menuai kontroversi-kontroversi hukum
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
penyelesaian sengketa investasi serta bisnis dan perdagangan internasional.
Berdasarkan permasalahan dan perkara tersebut diatas, Penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
di Indonesia dibawah Konvensi New York 1958 dengan judul “PENERAPAN
DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958
SEHUBUNGAN DENGAN KETENTUAN HUKUM PENYELESAIAN
SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UU 30 TAHUN 1999
(STUDI KASUS: PERTAMINA MELAWAN KARAHA BODAS COMPANY
L.L.C.).”
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sesuai
dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan
dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company
L.L.C.?
2. Bagaimanakah penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam
lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia?
3. Bagaimanakah pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York
1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan
Karaha Bodas Company L.L.C.
2. Untuk mengetahui penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam
lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?
D. Manfaat/Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan-bahan hukum
yang ada, khususnya dalam mata kuliah hukum penyelesaian sengketa
dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya terkait
dengan sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958
sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas
Company L.L.C., penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam
lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, dan
pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
2. Manfaat Praktis:
a. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai sesuai atau
tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan
dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company
L.L.C..
b. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penerapan
Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum
penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.
c. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan
Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-Undang
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
d. Bagi masyarakat pada umumnya, dapat memberikan kontribusi
pengetahuan hukum dan menjadi referensi khususnya mengenai
penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan
dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif,
karena penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi dalam isu penerapan dan
pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu penelitian
dimana pengetahuan atau teori tentang obyek yang sudah ada dan ingin
memberikan gambaran tentang obyek penelitian, dalam hal ini
memberikan gambaran dan penjelasan yang sebenarnya terjadi dalam
praktek penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958
sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 beserta hambatan-
hambatan pelaksanaannya dengan ketentuan yang berlaku mengenai
arbitrase dalam lingkup Hukum Arbitrase Internasional yaitu Convention
on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958,
Elizabeth II Arbitration Act 1996 (Undang-Undang Arbitrase Inggris
1996), United States Federal Arbitration Act (Undang-Undang Arbitrase
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Federal Amerika Serikat), United States Uniform Arbitration Act
(Undang-Undang Arbitrase Amerika Serikat), United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law,
UNCITRAL Arbitration Rules; Agreement Between The Government of
The Republic Of Indonesia And The Government of The United Kingdom
of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion And Protection
of Investments 1976 (Bilateral Investment Treaty Indonesia dan Inggris)
serta Hukum Arbitrase Indonesia (Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On
The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang
Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah
Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959, Undang-Undang nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing); Hukum Acara Perdata (Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (RBG),
Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering (BRV), Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman); Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan; dan Hukum Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian
Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing
mengenai Penanaman Modal); serta Peraturan Perundang-Undang terkait
lainnya.
3. Jenis Data yang dikumpulkan
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang terdiri dari:
Data Sekunder.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber
yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam
penelitian ini data sekunder yang digunakan meliputi:
a. Bahan Hukum Primer.
Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam hal ini
penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tema penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
LN Tahun 1999 Nomor 138 TLN Nomor 3872; Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On The
Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang
Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan
Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959; Undang-Undang
nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman LN Tahun 1970 Nomor 74, TLN 2951;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing; Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman LN Tahun
2004 Nomor 8 TLN Nomor 4358; Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389 dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal LN Tahun 2007 Nomor 67 TLN 4724; dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang
Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan
Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, LN Tahun 1968
Nomor 32, TLN Nomor 2852)
b. Bahan Hukum Sekunder.
Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Dalam Penelitian ini, penulis juga
menggunakan buku-buku ilmiah, bahan-bahan kuliah, makalah-
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
makalah dan jurnal yang berkaitan dengan penerapan dan
pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
c. Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum tersier yang digunakan penulis adalah bahan hukum
yang didapat dari majalah-majalah, koran, internet dan kamus.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data secara kualitatif.
Data sekunder yang diperoleh akan dikemukakan dan dianalisis lebih
mendalam untuk memperoleh jawaban dari masalah yang akan diteliti.31
5. Pengambilan Kesimpulan
Metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah metode
yang bersifat deduktif yaitu suatu metode yang membahas hal-hal yang
bersifat umum (teori-teori, ilmu hukum dan peraturan perundang-
undangan) dan dibandingkan dengan data yang bersifat khusus (empiris
dan praktek).
F. Kerangka Teori
Perkembangan perekonomian suatu Negara, terlebih lagi bagi Negara
berkembang, sangat ditentukan dari pertumbuhan PMA ataupun commercial
trading. Arus penanaman modal bersifat fluktuatif, tergantung dari iklim investasi
Negara yang bersangkutan. Bagi penanam modal, sebelum melakukan investasi
terlebih dahulu akan melakukan penilaian terhadap aspek-aspek yang turut
mempengaruhi iklim penanaman modal, yaitu: keuntungan ekonomi, kepastian
hukum dan stabilitas politik. Oleh karenanya bagi Negara-negara berkembang,
untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat yaitu;
pertama ada economic opportunity (investasi mampu memberikan keuntungan
31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press), 1984, hlm. 255.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
secara ekonomis bagi investor); kedua, political stability (investasi akan sangat
dipengaruhi stabilitas politik); dan ketiga legal certainty atau kepastian hukum.32
Faktor-faktor untuk dapat menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya dalam teritori suatu Negara tersebut tetap tidak dapat dipisahkan dari
adanya suatu sistem hukum penyelesaian sengketa transaksi komersial
internasional, karena hukum penyelesaian sengketa memberikan suatu jaminan
hukum kepada para investor terhadap modal yang ditanamkannya tersebut.
Transparansi, kejelasan dalam pengaturan tata cara, penerapan suatu doktrin
hukum internasional, serta prosedur pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan
penyelesaian sengketa oleh badan internasional menjadi elemen penting yang
harus ada dalam hukum penyelesaian sengketa karena dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada investor asing.
Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim
investasi, diperlukan aturan yang jelas dimana kata kunci untuk mencapai kondisi
ini adalah adanya penegakkan supremasi hukum (rule of law).33 Berhubungan
dengan penelitian tentang kepastian dan perlindungan hukum terhadap penerapan
dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka diperlukanlah suatu kepastian
hukum yang menjamin adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak dan
kewajiban para pihak yang bersengketa dalam suatu transaksi komersial
internasional ataupun dalam penanaman modal.
Pada dasarnya, terdapat dua teori yang saling berkonflik namun berkaitan
dengan PMA di Indonesia, dimana teori-teori tersebut berpengaruh terhadap
pembentukan perilaku hukum suatu Negara.34 Teori-teori tersebut adalah Teori
32 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 27
33 Erman, ibid. hlm 34
34 Menurut Sornarajah, “Theoritical Conflicts have had an impact on shaping legalattitudes to foreign investment”, dalam M. Sornarajah, The International Law on ForeignInvestment, second edition, (United Kingdom: Cambrige University Press, 2004, hlm. 50
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Liberal (Liberal Theory atau Classical Theory) dan Teori Ketergantungan
(Dependency Theory).
Teori Dependensi telah lama dikenal dalam hubungan suatu Negara
dengan Negara lain dalam lingkup yang lebih global, dan teori ini sangat erat
hubungannya dengan PMA terutama dengan penanaman modal secara langsung
atau dikenal dengan “direct investment”. Teori Dependensi atau Teori
Ketergantungan dalam hal ini sangatlah mempercayai PMA sebagai suatu
ancaman atas pertumbuhan ekonomi penerima modal tersebut.35
Teori ini merupakan teori perkembangan suatu Negara karena dasar dari
teori ini adalah suatu keniscayaan bahwa dari sejak awal, kapitalisme berkembang
sebagai suatu sistem yang multinasional. Teori Dependensi sangat dipengaruhi
oleh beberapa ahli, yaitu; Karl Marx dalam Berkembang dan Tidak Berkembang
(Development and Underdevelopment), Paul Baran dalam Kemunduran Ekonomi
dan Kemajuan Ekonomi (Analysis on Economic Backwardness and Economic
Growth), Gunder Frank dalam Analisa atas Perkembangan atas Sesuatu yang
Tidak Berkembang (Analysis of The Development of Underdevelopment), dan juga
Samir Amin dalam Ketidakseimbangan Pembangunan (Unequal Development). 36
Teori ini percaya bahwa pada dasarnya Negara maju hanya memanfaatkan
kelemahan dari Negara berkembang, karena Negara berkembang sangat
membutuhkan kehadiran dari PMA baik secara langsung dan tidak langsung. Hal
ini dikarenakan adanya pandangan dari Negara maju dalam hal ini yang menilai
dari keadaan dimana dengan adanya PMA, Negara berkembang pada dasarnya
sudah meraih peningkatan pendapatan kotornya walaupun secara fakta banyak
35 Nisa Istiani, “Teori Ketergantungan (Dependency Theory) dan Teori Liberal (LiberalTheory)”, dalam Modul Hukum Investasi, dikumpulkan oleh Ridwan Khairandy, (Yogyakarta:Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), Hal 260
36 Ibid, hal. 261
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh para penanam modal tidak dilakukan
oleh mereka.
Hal ini dapat dilihat dari segi penggunaan tenaga kerja yang murah dan
sumber daya alam yang berlimpah yang mana pemerintah Negara penerima tidak
mampu untuk mengelola dan mengolahnya. Adanya kewajiban seperti transfer
teknologi, dan pelatihan dan pembinaan SDM yang terkadang tidak dilakukan
oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju membuat Negara
berkembang menjadi tidak dapat mengembangkan sendiri kemampuannya dan
juga menyebabkan distorsi, hambatan pada pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan keseimbangan pendapatan (dalam hal ini akan selalu dependen
dengan kehadiran investor asing Negara maju). Mengenai penggunaan Sumber
Daya Alam yang berlimpah secara semena-mena merupakan alasan lain yang
dikemukakan teori ketergantungan karena dengan ini menimbulkan
kecenderungan bahwa Negara berkembang tidak diberikan kompensasi yang
semestinya dilakukan oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju atas
penggunaan sumber daya alam yang semena-mena itu. Hal ini diperparah karena
seringkalinya modal asing yang masuk dari Negara Maju masuk kedalam bidang-
bidang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh Negara berkembang, dan
dengan demikian, investasi-investasi seperti itu hanya akan mendorong
meningkatnya tingkat kemiskinan di Negara berkembang dan tingginya
ketergantungan Negara berkembang kepada Negara maju.
Oleh karena itu, maka teori dependensi sangat bersifat preventif dengan
adanya hal-hal seperti itu, karena pada dasarnya PMA oleh Negara maju di dalam
suatu teritori Negara berkembang dimaksudkan untuk dapat memberi kemampuan
independensi kepada Negara berkembang, namun pandangan Negara maju adalah
sebaliknya. Karena Negara maju pada dasarnya hanya menekankan pada
pentingnya keterbukaan dan peniadaan semua upaya atau kebijakan penanaman
modal terkait yang merintangi dan menghambat lancarnya penanaman modal
tersebut (Teori Liberal).37
37 Ibid, hal. 260
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Berbeda dengan teori dependensi, dimana, teori liberal ini sangat erat
kaitannya dengan kepentingan ekonomi liberal. Teori ini berpendapat bahwa
Negara berkembang sangatlah kekurangan modal atau tidak mempunyai simpanan
yang memadai untuk memiliki teknologi asing dan keahlian yang memadai untuk
membantu pembangunan Negara di Negara berkembang. Dengan demikian PMA
memberikan suplai modal yang dibutuhkan oleh Negara berkembang dengan
membawa modal segar dari luar negara tersebut. Pandangan yang terbentuk dari
teori ini adalah seluruh kebijakan hendaknya ditujukan untuk kepentingan swasta
dan bukan untuk melayani kepentingan publik yang tidak produktif sehingga tidak
menghasilkan akumulasi kapital. Karena itu anggaran pemerintah untuk
pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik tidak
dianggap sebagai basis bagi industrialisasi dan modernisasi. Menurut paham ini,
sektor-sektor usaha/perekonomian dan yang selama ini difungsikan untuk
memproduksi barang-barang kebutuhan pokok rakyat harus diswastanisasi, karena
jalan keluar bagi paham ini adalah pemotongan subsidi dan adanya privatisasi.38
Dari kedua teori tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa, Indonesia
berada di dua teori, dimana disatu sisi Indonesia berpihak kepada teori dependensi
dimana kepastian dan perlindungan hukum kepada perusahaan PMA dibatasi /
tidak diatur secara jelas dan terkadang Indonesia berpihak kepada teori liberal,
dimana para pihak asing diberikan suatu kepastian iklim penanaman modal
dengan banyaknya bidang usaha yang dibuka beserta pemberian-pemberian
insentif ataupun fasilitas-fasilitas penanaman modal lainnya.
Ketidakpastian landasan pengaturan (dualisme landasan) yang dimiliki
oleh Hukum Penanaman Modal yang menyebabkan ketidakpastian pemihakan
pengaturan terhadap subjek dan objek hukum seperti diatas, berlaku pula dalam
landasan pengaturan hukum penyelesaian sengketa, dimana disatu sisi, Indonesia
menjamin kepastian dan perlindungan hukum dengan menerbitkan undang-
undang penyelesaian sengketa tetapi disatu sisi lainnya, undang-undang tersebut
tetap menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum akan terus
membawa akibat hukum tanpa perlindungan yang pasti.
38 Ibid, hlm. 266-267
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Berbicara mengenai kepastian hukum, hukum pada dasarnya harus mampu
menciptakan kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan
(fairness) untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi.39 Prediktabilitas
mengandung arti bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu
kepastian hukum. Dengan adanya kepastian, investor dapat mengukur tindakan-
tindakan yang akan dilakukannya. Dalam prediktabilitas, hukum diciptakan untuk
mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan
perkembangan ekonomi pasar.40
Kapasitas hukum dalam stabilitas adalah bahwa hukum harus
mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya.
Hukum harus menciptakan keterpaduan antara para pihak.
Fungsi hukum sebagai fairness (keadilan) mencerminkan bahwa hukum
haruslah menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan mencegah
terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak yang
terlibat didalamnya.
Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum yang
menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA sehingga tiga fungsi
hukum tersebut dapat tercapai, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang
efektif karena sistem hukum yang efektif akan memperluas kesempatan berusaha,
mengundang investasi dan membangun ekonomi. Menurut Lawrence M.
Friedman, sistem hukum mengandung tiga unsur, yaitu structure, substance dan
legal culture.41
39 Leonard J. Theberge, “ Law and Economic Development”, dalam Erman Rajagukguk,Hukum dan Pembangunan, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, 2007), hlm. 52.
40 Siti Anisah, “Implementasi TRIMs Dalam Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal HukumBisnis Volume 22, (Nomor 5 Tahun 2003): 37.
41 Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton and Company,1984), hlm. 5-6
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Pertama adalah structure.42
“This is the structure of the legal system, its skeleton or framework, the
durable part, which gives a kind of shape and definition to the whole. The
structure of a legal system consist of element of this kind: the number and
size of courts; their jurisdiction (this is, what kind of cases they hear, and
how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure
also means how the legislature is organized, how many member sit on the
Federal Trade Commision, what a president can (legally) do or not do, what
procedures the police departement follows, and so on. Structure, in a way, is
a kind of cross section of legal system – a kind of still photograph, which
freezes the action.”
Berdasarkan uraian Friedman menguraikan bahwa struktur sebagai unsur
dalam sistem hukum, struktur ini meliputi institusi-institusi yang diciptakan oleh
sistem hukum mencakup judikatif, eksekutif dan legislatif. Struktur dalam
implementasinya merupakan sebuah bentuk berkaitan satu dengan yang lain
dalam sistem hukum.
Kedua adalah Substance, dalam substance dikemukakan bahwa:43
“By this is meant the actual rules, norm and behaviour patterns of people
inside the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of term
– the fact that the speed limit is fifty-five miles in a hour, that “by law” a
pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar substance also
means the “product” that people within the legal system manufactured.”
Dikatakan bahwa substance meliputi peraturan perundang-undangan,
norma-norma, dan keputusan-keputusan. Substansi hukum sebagai suatu unsur
dalam sistem hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma-
norma dan perilaku masyarakat yang terdapat dalam sistem tersebut.
42 id.
43 id.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Ketiga adalah legal culture.44
“By this we mean people’s attitude toward law and legal system – their
belief, values, ideas and expectations. In other word, it is the part of the
general culture which concerns the legal system. The legal system, in other
word, is the climate of social thought and social force which determines
how law is used, avoided or abused. Without legal culture, the legal system
is inert – a dead fish lying in basket, not a living fish swimming in its sea”
Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap
yang menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat
terhadap budaya hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini
yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem
hukum tidak akan berdaya.
Teori-teori diatas akan digunakan dan telah dianggap relevan oleh penulis
untuk melakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan dalam
penulisan yang meneliti tentang penerapan dan pelaksanaan Konvensi New
York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui
arbitrase. Penulis juga akan melihat bahwa apakah sistem Hukum
Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam
hal tersebut diatas telah memberikan unsur predictability, stability dan
fairness.
G. Kerangka Konseptual
Penelitian ini akan menggunakan beberapa istilah dan untuk menghindari
ketidakjelasan definisi, maka istilah-istilah tersebut mencakup antara lain :
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,
dimana putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan
tetap, berdasarkan hukum atau dengan persetujuan para pihak yang
bersengketa.
44 ibid, hlm. 6-7
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
2. Arbitrase asing adalah badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat
yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa yang berada di luar wilayah Indonesia.
3. Putusan arbitrase internasional adalah putusan
yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di
luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional.
4. Arbiter adalah hakim yang terdiri dari satu
orang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang
ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
5. Public policy (ketertiban umum), dipergunakan
sebagai alasan untuk menolak berlakunya putusan arbitrase asing yang
didasari suatu kondisi ketertiban umum suatu Negara.
6. Exequatur adalah penetapan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung RI atau Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang menyatakan bahwa satu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan
di dalam wilayah RI.
7. Null and void adalah keadaan dimana suatu
perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri
di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan
yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 1 dan 2 yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.
8. Voidable adalah keadaan dimana suatu
perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri
di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 3 dan 4 yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.
9. Reciprocity adalah asas timbal balik, suatu
keadaan dimana Indonesia terikat dengan Negara lain dalam suatu
perjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
10. Commercial adalah Pemerintah RI hanya
melaksanakan putusan luar negeri yang bersifat dagang.
11. Due process of law adalah pihak yang
diwajibkan melaksanakan putusan arbitrase asing harus telah diberikan
cukup kesempatan untuk membela diri.
12. Ex aequo et bono adalah kewenangan yang
dapat disepakati oleh para pihak untuk diberikan kepada arbiter untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan
13. Arbitrability adalah putusan arbitrase yang
mengandung pokok perkara yang tidak dapat diselesaikan dengan
arbitrase.
14. Country of Origin adalah Negara yang
menjatuhkan putusan arbitrase.
15. Forum Shopping adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari putusan
yang paling menguntungkan baginya kepada jurisdiksi pengadilan atau
forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dimana putusan
tersebut sebenarnya telah mengikat para pihak yang bersengketa.
16. Anti-suit injunction adalah suatu putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan atau badan arbitrase yang melarang pihak
yang kalah dalam arbitrase untuk melakukan atau melanjutkan
penyelesaian sengketa kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang
memiliki kewenangan yang sama.
17. BIT (Bilateral Investment Treaty) adalah suatu
perjanjian investasi antara dua Negara yang mengatur tentang suatu
pengaturan, promosi, perlindungan hingga penyelesaian sengketa
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
terhadap investasi yang dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan
diri, individu maupun badan (perusahaan) yang berada dalam
jurisdiksinya ke dalam teritori pihak lainnya.
18. MIT (Multilateral Investment Treaty) adalah
suatu perjanjian investasi antara beberapa Negara (lebih dari dua) di
dunia internasional yang mengatur tentang suatu pengaturan, promosi,
perlindungan hingga penyelesaian sengketa terhadap investasi yang
dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan diri, individu maupun
badan (perusahaan) yang berada dalam jurisdiksinya ke dalam teritori
pihak lainnya.
19. Konvensi New York 1958 adalah suatu
perjanjian internasional (konvensi) yang mengatur negara anggotanya
persamaan persepsi, prosedur serta tata cara pengakuan terhadap putusan
arbitrase asing sebagai keputusan yang bersifat mengikat dan
pelaksanaannya dalam jurisdiksi mereka.
20. UNCITRAL (United Nations Commission on
International Trade Law) adalah badan PBB yang didirikan berdasarkan
Resolusi Sidang Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) pada tanggal 17
Desember 1966 untuk mengangkat secara progresif harmonisasi dan
unifikasi hukum dagang internasional.
21. Model Law adalah hukum yang dapat diadopsi
oleh negara - negara anggota PBB yang bertujuan agar aspek - aspek
hukum yang terkandung dalam perdagangan internasional tersebut dapat
diakomodasi secara mudah dan terdapat suatu persamaan pengaturan
tentang arbitrase.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan thesis ini akan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis,
kerangka konseptual dan sistematika penulisan.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Bab II : Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Dalam
Lingkup Internasional
Bab ini akan membahas mengenai Sejarah Konvensi New York 1958: (1)
Latar Belakang lahirnya Konvensi New York 1958, (2) Konvensi New York
1958 sebagai dasar pelaksanaan arbitrase Internasional; Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Berbagai Negara: (1) Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Amerika Serikat, dan (2) Pengakuan
dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Inggris; Model Law –
UNCITRAL: (1) UNCITRAL Model Law sebagai Instrumen Arbitrase
Internasional, (2) Pengaturan Arbitrase dalam Model Law.
Bab III : Tinjauan Umum Terhadap Pengakuan Dan Pelaksanaan
Arbitrase Asing Di Indonesia
Bab ini akan menguraikan mengenai Sejarah dan Landasan Hukum
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia sebelum
diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa: (1) HIR dan BRV sebagai Landasan Utama Hukum
Arbitrase Indonesia, (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta
Pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia, (3) UNCITRAL Arbitration
Rules sebagai Landasan Hukum Arbitrase Internasional dalam Lingkup
Hukum Nasional, (4) Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sebagai
Bentuk Ratifikasi Konvensi New York 1958, (5) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990; Sikap Pengadilan Indonesia terhadap Putusan Arbitrase
Asing sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa: (1) Trading Corporation of Pakistan
Limited v. PT Bakrie Brothers, (2) Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar,
(3) E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, (4) PT Batu Mulia
Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere
Colas (“SSC”); Diterbitkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa serta ruang lingkupnya terhadap Putusan
Arbitrase Asing.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Bab IV : Penerapan dan Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan
Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian
Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999
Bab ini akan membahas mengenai Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999
Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan
dengan pembatalan putusan arbitrase asing dalam perkara Pertamina melawan
KBC; UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi
New York 1958; dan Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam
UU 30 Tahun 1999 mengalami Banyak Hambatan: (1) Substansi Hukum
Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York: ((a)
UU 30/1999 tidak Menerapkan Ketentuan Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958, (b) UU 30/1999 tidak
friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, (c)
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU 30/1999
Tidak Konsekuen, (d) Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Indonesia sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas), (2)
Aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia, (3) Budaya Hukum Masyarakat terhadap
Arbitrase Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial.
Bab V : Penutup
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.