bab i - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-t 28053-penerapan dan... · fase...

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam tahap pembangunan diberbagai sektor, 1 termasuk didalamnya sektor perekonomian. Pembangunan yang dilakukan tentu saja akan membutuhkan modal atau investasi yang besar. Keterbatasan modal dalam negeri serta kurangnya Sumber Daya Manusia terampil dan keterbatasan akses pasar, menyebabkan Indonesia membutuhkan adanya pengaturan yang dapat mengembangkan iklim investasi sehingga investor asing ingin menanamkan modalnya di Indonesia. 2 Alasan pertama suatu negara mengundang modal asing adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas lapangan kerja. Masuknya modal asing, tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai dapat terlaksana seperti mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksport non-migas untuk menghasilkan devisa, alih tekhnologi, membangun prasarana dan daerah tertinggal. 3 Hal ini 1 Indonesia merupakan Negara yang memerlukan modal asing masuk kedalamnya untuk dapat mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksport nonmigas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi membangun sarana dan prasarana, mengembangkan daerah tertinggal dan memperluas lapangan pekerjaan, eksploitasi sumber daya alam karena tidak memiliki alat untuk mengeksploitasi, dll, sebagaimana tertulis dalam Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Cet. ke-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007), hlm. 13 2 Dalam perkembangan iklim di Indonesia pun setidaknya terdapat beberapa faktor penting yang menjadi tujuan investor, diantaranya: (1) faktor buruh murah; (2) dekat dengan sumber daya / bahan mentah; (3) mencari market baru; (4) lisensi dan alih teknologi; (5) fasilitas / insentif; dan (6) status Negara-negara dalam perdagangan internasional, sebagaimana tertulis dalam Sujud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, Cet ke-1, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 1 3 Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi, (Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 19 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Upload: vuthu

Post on 09-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang dalam

tahap pembangunan diberbagai sektor,1 termasuk didalamnya sektor

perekonomian. Pembangunan yang dilakukan tentu saja akan membutuhkan

modal atau investasi yang besar. Keterbatasan modal dalam negeri serta

kurangnya Sumber Daya Manusia terampil dan keterbatasan akses pasar,

menyebabkan Indonesia membutuhkan adanya pengaturan yang dapat

mengembangkan iklim investasi sehingga investor asing ingin menanamkan

modalnya di Indonesia.2

Alasan pertama suatu negara mengundang modal asing adalah untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas

lapangan kerja. Masuknya modal asing, tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai

dapat terlaksana seperti mengembangkan industri substitusi import untuk

menghemat devisa, mendorong eksport non-migas untuk menghasilkan devisa,

alih tekhnologi, membangun prasarana dan daerah tertinggal.3 Hal ini

1 Indonesia merupakan Negara yang memerlukan modal asing masuk kedalamnya untukdapat mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong eksportnonmigas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi membangun sarana dan prasarana,mengembangkan daerah tertinggal dan memperluas lapangan pekerjaan, eksploitasi sumber dayaalam karena tidak memiliki alat untuk mengeksploitasi, dll, sebagaimana tertulis dalam ErmanRajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal, Cet. ke-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007),hlm. 13

2 Dalam perkembangan iklim di Indonesia pun setidaknya terdapat beberapa faktorpenting yang menjadi tujuan investor, diantaranya: (1) faktor buruh murah; (2) dekat dengansumber daya / bahan mentah; (3) mencari market baru; (4) lisensi dan alih teknologi; (5) fasilitas /insentif; dan (6) status Negara-negara dalam perdagangan internasional, sebagaimana tertulisdalam Sujud Margono, Hukum Investasi Asing Indonesia, Cet ke-1, (Jakarta: CV. Novindo PustakaMandiri, 2008), hlm. 1

3 Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi, (Yogyakarta : Program PascasarjanaFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 19

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 2: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

dikarenakan, dalam dekade terakhir ini batas nonfisik antar negara semakin sulit

untuk membedakannya dan bahkan cenderung tanpa batas (borderless state), atau

sering juga disebut sebagai era globalisasi.4

Dalam era liberalisasi dan globalisasi ekonomi, penanaman modal atau

investasi tidak hanya merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam

pengembangan pembangunan ekonomi, namun juga merupakan sarana

pengembangan suatu industri,5 karena foreign direct investment is the lifeblood of

4 Saat ini globalisasi (pada umumnya) telah diterima luas tanpa konversi. Globalisasiyang diartikan sebagai integrasi Negara dan manusia dari seluruh dunia yang menjadikan pasarglobal, tuntutan peningkatan daya saing, efesiensi, efektifitas, produktifitas dengan harapanmembawa kesejahteraan bagi semua masyarakat dunia. Sebenarnya globalisasi mengandungbanyak arti bagi orang yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda pula. Dalam pengertianyang lain, globalisasi diartikan sebagai gejala menyatunya dunia oleh dan berkat kemajuantransportasi dan elektronik yang canggih. Teori globalisasi mula-mula dilontarkan oleh para ahli-ahli ilmu sosial Marxis dan aliran radilkal lainnya. Menurut teori Marxis, kapitalisme merupakankekuatan yang menyatukan dunia untuk pertama kalinya, ia merupakan kekuatan progresif karenamampu meruntuhkan modal produksi dan sistem sosial yang tradisional. Dhaniswara K. Harjono,Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No.25 tahun 2007tentang Penanaman Modal, cet. I, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 17. Thomas LFriedman membagi globalisasi kedalam tiga fase. Fase globalisasi pertama berlangsung sejak1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara dunia lama dan dunia baru, hinggasekitar tahun 1800. masa itu disebut oleh Friedman sebagai globalisasi 1.0. proses ini menyusutkandunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi 1.0 terkait dengan negara dan otot.Maksudnya dalam fase globalisasi ini, pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorongproses penyatuan global,adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda,seberapa besar tenaga angin dan seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara sertaseberapa besar kreatifitas untuk memanfaatkannya. Fase globalisasi 2.0 berlangsung sekitar tahun1800 hingga 2000 dengan diselingi masa Depresi Besar serta Perang Dunia I dan II. Masa inimenyusutkan dunia dari ukuran sedang keukuran kecil. Dalam globalisasi 2.0, pelaku perubahanatau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global, adalah perusahaan-perusahaanmultinasional. Kekuatan dibalik globalisasi ini adalah terobosan dibidang perangkat keras, berawaldari kapal uap dan kereta api, hingga kemudian telepon dan computer. Fase globalisasi 3.0menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus melapangkan permainan.Kalau motor penggerak globalisasi 1.0 adalah mengglobalnya Negara, globalisasi 2.0 motorpenggeraknya adalah mengglobalnya perusahaan, uniknya globalisasi 3.0 adalah kekuatan baruyang ditemukan untuk berkerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global.Fenomena yang memungkinkan, memberdayakan dan melibatkan individu serta kelompok kecildengan mudah dan mulus menjadi global dengan sebutan tatanan dunia datar (flat world flatform).Tatanan dunia datar adalah konvergensi(penyatuan) antara computer pribadi yang memungkinkansetiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, seratoptic yang memungkinkan mereka mengakses lebih banyak materi diseluruh dunia dengan murahjuga secara digital, serta work flow softwere (perangkat lunak alur kerja) yang memungkinkanindividu-individu diseluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital darimanapun, tanpa menghiraukan jarak antara mereka. Thomas L. Friedman, The World Is Flat:Sejarah Singkat Abad ke-21, cet ke-I, (Jakarta: Dian Rakyat, 2006), hlm. 8.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 3: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

the global economy.6 Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi

internasional yang tidak terelakkan sebagaimana hubungan ekonomi internasional

lainnya, karena penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi

kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga masyarakat. Adanya perbedaan

georafis, kondisi wilayah, potensi sumber daya alam, kemampuan sumberdaya

manusia, penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi menyebabkan negara

berada dalam interdependensi. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing

pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau

kepentingannya, dimana hal tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat

internasional dalam liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi

peningkatan hubungan penanaman modal internasional.7

Kegiatan-kegiatan Penanaman modal ataupun international commercial

transaction pada dasarnya, memerlukan suatu transparansi dan kepastian hukum

dalam pelaksanaannya, karena kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan pihak-pihak

yang saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang kemudian akan

menimbulkan hubungan hukum diantara mereka. Kepastian dan perlindungan

hukum yang jelas, akan memberikan rasa aman dan mendorong para investor

asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan, bagi calon

investor, adanya transparansi dalam proses dan tata cara penanaman modal,

sangatlah diperlukan karena akan menciptakan suatu kepastian hukum serta

menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictable),

sebaliknya tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan membingungkan

5 Erika, “Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing di Bidang PertambanganMinerba”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 2

6 Calvin A. Hamilton & Paula I. Rochwerger, “Trade and Investment: Foreign DirectInvestment Through Bilateral and Multirateral Treaties”, 18 N.Y. Int'l L. Rev. 1, New York StateBar Association, Winter, 2005, hlm. 3

7 Rosdiyah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, cet. II, (Malang:Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 1.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 4: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

calon investor yang seringkali mengakibatkan biaya yang cukup mahal.8 Tidak

hanya kepastian dalam proses dan tata cara penanaman modal yang dibutuhkan

untuk memberikan rasa aman kepada investor, namun kepastian hukum terhadap

penyelesaian sengketa juga diperlukan untuk dapat menarik modal investor masuk

ke dalam wilayah teritori suatu Negara karena penyelesaian sengketa merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari transaksi-transaksi internasional dalam

investasi dan perdagangan luar negeri.

Dunia globalisasi dan privatisasi telah menghasilkan jumlah pihak-pihak

transaksi internasional yang besar serta diikuti oleh fenomena-fenomena sengketa

dan litigasi terhadapnya.9 Dalam hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya

suatu perjanjian/transaksi antara para pihak, baik penanam modal asing dengan

partner lokal dan/atau dengan pemerintah melalui sebuah joint operation atau

joint venture dapat memungkinan terjadinya suatu perbedaan interpretasi,

perbedaan pendapat ataupun pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian,

benturan kepentingan, ataupun adanya kerugian dalam perjanjian yang dibuat

yang kemudian berujung pada adanya suatu sengketa dalam kerjasama mereka.

Untuk mengatasi sengketa dan permasalahan tersebut, maka Para pihak akan

mencari penyelesaian melalui peradilan umum yang dibentuk oleh Negara atau

melalui arbitrase. Sehubungan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,

Hans Van Houtte mengatakan bahwa,10 “dispute in international trade are not

8 Anna Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm. 8

9 Robert Briner, Kepala International Court of Arbitration of the International Chamberof Commerce (ICC), mengatakan bahwa, “Globalization and privatization have produced an ever-growing number of parties to international transactions, with all the disputes and litigiousphenomena this entails,” sebagaimana tertulis dalam Robert Briner, “Philosophy and objectives ofthe Convention”, dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (NewYork: United Nations Publications, 1999), hlm.13

10 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London: Sweet & MaxwellLimited, 1995), hlm. 383

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 5: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

always resolved by court, contracting parties often agree that possible disputes

concerning the contract will be settled through arbitration.”

Terdapat suatu fakta bahwa para pihak dalam joint venture di Indonesia

sebagian besar memilih arbitrase internasional sebagai tempat penyelesaian

sengketa,11 hal ini dikarenakan, arbitrase merupakan sistem alternatif penyelesaian

sengketa yang memiliki sifat paling formal. Dalam proses arbitrase, para pihak

yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga

yang netral dan berwenang untuk memberikan putusan yang mengikat para pihak.12 Susan Choi dalam penulisannya mengungkapkan,13 “Arbitration has become a

popular method for the resolution of disputes arising from international

commercial transactions. In the international context, arbitration can provide an

alternative to litigation in courts that may be unfamiliar to one party. Parties

have the freedom to choose the procedural and substantive law that will govern

the dispute and can select arbitrators based on their expertise in a certain

area. Other potential advantages include efficiency, simplicity and, manageable

costs.”

Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dipilih

oleh para pihak yang bersengketa, karena keuntungan-keuntungan yang11 Ridwan Khairandy mengatakan bahwa keuntungan yang dapat diambil oleh para pihak

pengusaha dalam memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya adalah karena; (1) Netralitasdari dewan arbitrase yang dipilih, artinya tidak memiliki national character; (2) Pelaksanaanputusan arbitrase mungkin lebih bernilai dari pihak yang dimenangkan daripada putusanpengadilan, karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1958; (3)Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sifatnya rahasia dan tidak terbuka untuk umum, sepertilitigasi dalam pengadilan; (4) Para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untukmemilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut; (5) Para pihak bebas untuk memilih anggotaarbitrator; (6) Keluwesan dalam prosedur arbitrase, artinya, akan menghemat biaya; (7) Putusanarbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat, artinya tidak dapat ditinjau lagi, dan(8) Para pihak memiliki keleluasaan untuk sepakat mengenai tempat dimana proses arbitrasetersebut akan dilakukan, sebagaimana tertulis dalam Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 193

12 Sujud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 110

13 Susan Choi, “Judicial Enforcement of Arbitration Awards Under The ICSID and NewYork Conventions”, New York University Journal of International Law and Politics, Fall 1995-Winter 1996, 28 N.Y.U. J. Int'l L. & Pol. 175, hlm. 175

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 6: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

dimilikinya, yaitu bersifat rahasia, efektif serta merupakan metode penyelesaian

sengketa bisnis internasional yang diterima secara umum.14 Robert L. Bonn

memberikan paparan tentang menguntungkannya menggunakan arbitrase sebagai

forum penyelesaian sengketa investasi, bisnis, dan dagang internasional. Dia

mengatakan bahwa,15 “the increasingly widespread use of arbitration to handle

contract related disputes could be explained by the advantages the system enjoys

in comparison to court litigation, inter alia:

1. The use of decision makers of arbitration disputes are experts in

the subject matter in dispute;

2. An arbitration hearing is more flexible than a court of law where

expert testimony can only be introduced through the somewhat

cumbersome system of expert witnesses. When this expertise is

combined with the relative absence of restraints on the arbitrator-

especially in the area of evidence admitted to the forum, the

manner in which he conducts the hearings;

3. The lack of binding precedents of the system of arbitration shows

flexibility in which, the public legal system does not enjoy. The

principles guiding the dispute resolution process can thus rest on

custom rather than on law, whether it be trade custom, as in

commercial arbitration, or custom of the shop, as in labor

arbitration;

4. Arbitration is economical because it can dispense with lawyers and

expert witness fees;

14 Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, “international commercial arbitration isa way of resolving disputes which the parties choose for themselves. It is private, it is effective andin most parts of the world, it is now the generally accepted method of resolving internationalbusiness disputes,” sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law andPractice of International Commercial Arbitration, Third Edition, (London: Sweet & Maxwell,1999), hlm. 1

15 Robert L. Bonn, “Arbitration: An Alternative System for Handling Contract RelatedDisputes”, diambil dari Disertasinya yang berjudul, “Commercial Arbitration: A Study in theRegulation of Interorganizational Conflict," (New York: New York University, 1971),Administrative Science Quarterly, Vol. 17, No. 2 (Jun., 1972), hlm. 257

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 7: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

5. Arbitration process is speedy and faster than national court, in

which, its speed means that less time need be spent on particular

cases and faster because crowded court dockets often result in

delay;

6. Arbitration provides secrecy since it is not a public forum and,

unless specifically requested by the parties themselves, neither

records nor transcripts of hearings are maintained;

7. Arbitration affords more certainty because of the absence of the

possibility of legal appeal; and

8. Arbitration is the maintenance of business relationships. Finally,

many argue that due to its speed, economy, and flexibility, parties

are able to maintain a business relationship, while they settle a

dispute that has arisen between them.

Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim memberikan

pandangan yang berbeda tetapi hampir serupa mengenai alasan-alasan para

pengusaha menyukai arbitrase, yaitu:16

1. Arbitrase menawarkan kebebasan, kepercayaan dan keamanan.

2. Arbitrase menawarkan arbiter yang memiliki keahlian (expertise)

dalam penyelesaian sengketa.

3. Proses arbitrase cepat dan hemat biaya.

4. Sistem arbitrase bersifat rahasia.

5. Sistem arbitrase bersifat nonpreseden.

6. Arbiter arbitrase lebih peka dalam pemeriksaan perkara, penerapan

hukum dalam perkara serta penjatuhan putusannya adil.

7. Putusan arbitrase bersifat final dan tidak dapat diajukan banding.

8. Arbitrase bersifat efektif serta modern.

Arbitrase, diluar dari keuntungan-keuntungan yang dimilikinya sebagai

forum penyelesaian sengketa bisnis internasional yang banyak dipergunakan oleh

para pelaku usaha internasional pada dasarnya memiliki esensi yang sangat

16 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap ArbitraseDagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Di Indonesia”, dalam Seri Dasar-Dasar HukumEkonomi 2: Arbitrase di Indonesia, hlm. 19-22

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 8: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

penting. Sebuah putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh suatu badan arbitrase

(badan arbitrase internasional maupun ad hoc) tidak dapat berdiri sendiri, putusan

tersebut memerlukan suatu penetapan pengadilan nasional dalam hal

pelaksanaannya, agar putusan tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan

dijalankan dalam teritori suatu Negara. Huala Adolf menyatakan bahwa,17

“despite those positive traits that arbitration has, the efficacy of arbitration

awards lies on its enforcement. Arbitration will be an effective or efficient way of

the resolution of the dispute if its awards, in the end of the day, are voluntarily

adhered to by the parties.”

Serupa dengan Huala Adolf, Alan Redfern dan Martin Hunter

menambahkan bahwa,18 ”the process of resolving disputes by international

commercial arbitration – a practice which increases in popularity each year –

only works because it is held in a place by a complex system of national laws and

international treaties.” Sebagaimana pernyataan yang dikatakan oleh Alan

Redfern dan Martin Hunter tersebut, putusan arbitrase akan efektif apabila

dilaksanakan dalam tempat dimana didalamnya terdapat sistem hukum nasional

dan perjanjian/traktat internasional yang rumit (kompleks). Putusan arbitrase

secara teoritis mengikat para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan

Pasal III Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award (“Konvensi New York”) mengatur bahwa, “each Contracting State shall

recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with rules

of procedure of the territory where the award is relied upon…”19 namun, pada17 Huala Adolf, “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards in

ASEAN Countries”, ASEAN, hlm. 2, didapat dari http://www.aseanlawassociation.org/10GAdocs/Indonesia6.pdf, diakses pada 14 Desember 2010, 16:00 WIB

18 Alan Redfern, loc.cit.

19 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards, 10 Juni 1958, Pasal 3, didapat dari, www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConvention, diakses pada 17 Desember 2010, 12:40WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 9: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

kanyataannya pelaksanaan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh badan

arbitrase hanyalah bersifat sukarela. Efektifitas suatu putusan arbitrase

memerlukan kepastian dan perlindungan hukum dalam pelaksanaannya, putusan

arbitrase tersebut tetap harus dilaksanakan dengan prosedur yang sama

berdasarkan penetapan dalam bentuk putusan ataupun perintah dari sebuah forum

pengadilan yang memiliki pengaruh yang sama apabila ingin memperoleh

kepastian dalam pelaksanaannya.20

Pada dasarnya, berbicara mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing

memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan, permohonan penetapan

pelaksanaan terhadap suatu putusan arbitrase agar dapat dilaksanakan dalam

teritori suatu Negara tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of

interest) antara pihak-pihak yang bersengketa. Keren dan Andrew Tweeddale

menyatakan bahwa,21 “once an award has been given, the parties’ interests

become diametrically opposed. The successful party will wish to enforce the

award and the unsuccessful party will wish to prevent enforcement.” Bahkan

permasalahan yang seringkali dibahas dalam arbitrase adalah masalah eksekusi

putusan arbitrase internasional itu sendiri, karena pada dasarnya, tidak semua

putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di suatu negara. Disamping itu,

cara dan prosedur eksekusi untuk putusan arbitrase internasional juga bervariasi

dari suatu negara ke negara lainnya.22

20 Arbitration Act Inggris yang merupakan hukum arbitrase tertua di dunia, yaitu sejaktahun 1889 mengatur bahwa, “an award made by the tribunal pursuant to an arbitrationagreement may, by leave of the court, be enforced in the same manner as a judgment or order ofthe court to the same effect,” sebagaimana tertulis dalam Keren Tweeddale & Andrew Tweeddale,a practical approach to Arbitration Law, (London: Blackstone Press Limited, 1998), hlm. 177

21 Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 291

22 Indah Lisa Diana, “Ketertiban Umum Sebagai Dasar Penolakan DilaksanakannyaPutusan Arbitrase Internasional di Indonesia”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, FakultasHukum Universitas Indonesia, hlm. 1, didapat dari www.pemantauperadilan.com, diakses padaKamis, 9 Desember, 2010, 10.00 WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 10: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Perbedaan cara dan prosedur eksekusi tersebut kemudian dijawab dengan

Konvensi New York yang kemudian diundangkan pada 10 Juni 1958 dan hingga

saat ini telah diikuti oleh 145 Negara di dunia untuk mengakomodir suatu

pengaturan universal terhadap pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase

asing.23 Kehadiran dari Konvensi New York adalah untuk menghadirkan suatu

persamaan persepsi, universalitas pengakuan dan pengaturan pelaksanaan

terhadap putusan arbitrase internasional kepada para Negara anggotanya.24

Universalitas persepsi dan pengaturan tentang putusan arbitrase asing yang

ditentukan oleh Konvensi New York 1958 tersebut pada kenyataannya, masih

sangatlah sulit dilaksanakan dalam teritori suatu Negara, dikarenakan, terdapat

perbedaan cara dan prosedur eksekusi putusan arbitrase internasional dalam

berbagai Negara di dunia yang disebabkan oleh adanya kebebasan Negara-Negara

dalam menentukan hukum nasionalnya sehubungan dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase khususnya arbitrase asing. 25

23 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Status of 1958 - Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards, United Nations Commission on InternationalTrade Law (UNCITRAL), didapat darihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/NYConv ention_status.html,diakses pada 17 Desember 2010, 12:40 WIB

24 Albert Jan Van Den Berg, Ketua Netherlands Arbitration Institute, Rotterdam yangmengatakan bahwa, “two basic actions contemplated by the New York Convention: (1) the firstaction is the recognition and enforcement of foreign arbitral awards, i.e., arbitral awards; and (2)the second action contemplated by the New York Convention is the referral by a court toarbitration,” sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of1958: An Overview”, Commercial Arbitration Yearbook, Vol. XXVIII, 2009, hlm. 1

25 Jan Paulsson, Vice President of London Court of International Arbitration mengatakanhal yang sebaliknya bahwa, “broadly speaking, the New York Convention was intended to make iteasier to enforce an arbitral award rendered in one country in the courts of other countries.Therefore, the Convention focuses squarely on imposing certain obligations on the judge at theplace of enforcement. It does not create obligations for the courts at the place of arbitration—thatwould have been beyond the scope of the Convention. So each country remains free to makewhatever rules it wishes with respect to the grounds on which they might invalidate an awardrendered in their territory,” sebagaimana tertulis dalam Jan Paulsson, “Awards set aside at theplace of arbitration” dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (NewYork: United Nations Publications, 1999), hlm 2

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 11: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Hefin Rees menambahkan tentang fakta sulitnya menerapkan pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam hukum nasional negara dalam

pernyataannya,26 “there is a tension that lies at the heart of the relationship of the

courts and arbitration. On the one hand, the concept of arbitration as a

consensual process, reinforced by the ideas of transnationalism, leans against the

involvement of the mechanisms of state through the medium of a municipal court.

On the other side, there is the plain fact, palatable or not, that it is only a court

that possesses coercive powers which can rescue the arbitration if it is in danger

of foundering.”

Fakta tambahan lainnya yang membuat putusan arbitrase sulit untuk

dilaksanakan adalah bahwa Negara-Negara bebas dalam menentukan peraturan

apapun tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional

sehubungan dengan ordre public-nya (ketertiban umum). Erman Rajagukguk

mengatakan bahwa,27 “the national character of public policy indicates that the

decision is up to the national country concerned. Therefore, each country can rule

whether public policy and its related issues are part of the country’s public policy.

Courts around the world have recognized that article V of the Convention is

discretionary.”

Indonesia merupakan anggota Konvensi New York 1958 sejak tahun

1981,28 dan telah menghasilkan beberapa peraturan perundang-undangan yang

26 Hefin Rees, “Relationship Between National Courts and InternationalCommercial Arbitration ”, disampaikan dalam Seminar on International CommercialArbitration, 13 Mei 2010, didapat dari http://hefinrees.wordpress.com/2010/06/14/relationship-between-national-courts-and-international-commercial-arbitration/#References, diakses pada14 Desember 2010

27 Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in SeveralAsian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of PublicPolicy” presented in the 3rd Asian Law Institute (ASLI) Annual Conference on “The Developmentof Law in Asia: Convergence versus Divergence?”, Shanghai May 25-26, 2006, hlm. 2

28 Pada tanggal 5 Agustus 1981, Indonesia meratifikasi Konvensi New York melaluiKeputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On TheRecognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang Telah Ditandatangani Di NewYork Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959 (“Keppres34/1981”)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 12: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi New York, seperti Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Asing (“Perma 1/1990”) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).

Diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut adalah untuk mengatur

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan Konvensi New

York serta kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang

bersengketa dalam perkara penanaman modal atau commercial trade/transaction

pada suatu forum arbitrase internasional.

Kehadiran UU 30/1999 diharapkan dapat memberikan kepastian dan

perlindungan hukum dalam hal penyelesaian sengketa commercial, serta untuk

memperbaiki ambiguitas sistem hukum acara penyelesaian sengketa yang

semenjak diterbitkannya Keppres 34/1981 masih menggunakan hukum acara

perdata dan Perma 1/1990. UU No. 30/1999 telah menggunakan asas resiprositas

(reciprocity) dan terdiri dari 82 pasal yang secara luas telah mengatur hal - hal

terkait dengan arbitrase serta berusaha mengatur seluruh aspek baik hukum acara

maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase

nasional dan internasional.

Dengan adanya UU 30/1999, Perma 1/1990 dan dengan diratifikasinya

Konvensi New York tersebut melalui Keppres 34/1981, Investor dan pedagang

asing pada umumnya memperoleh jaminan hukum bahwa putusan arbitrase asing

yang telah diperoleh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dapat diakui

dan dilaksanakan di Indonesia. Tineke Louise Tuegeh Longdong mengatakan

dalam disertasinya bahwa,29 “setidaknya perlindungan hukum dalam arti dapat

tidaknya putusan arbitrase yang telah diputuskan di luar negeri mendapat

pengakuan dan pelaksanaan di Indonesia menjadi syarat mutlak apabila ingin

29 Tineke Louise Tuegeh Longdong, “Pelaksanaan Konvensi New York 1958: SuatuTinjauan Atas Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Luar Negeri MengenaiKetertiban Umum”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009) hlm. 6

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 13: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

diciptakan suatu suasana penanaman modal asing yang menarik bagi investor

asing.”

UU 30/1999 yang diharapkan dapat memberikan suatu kepastian dan

perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa dalam arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa lainnya, pada kenyataannya masih belum dapat

memberikan angin segar. Hal ini dapat dilihat dalam sengketa kontrak

pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi antara Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (“Pertamina”) dan Karaha Bodas

Company L.L.C. (“KBC”), serta Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) yang telah

diputus oleh Badan Arbitrase Internasional Swiss dikarenakan wanprestasi yang

dilakukan oleh Pertamina dan PLN terhadap KBC.30

Sengketa ini bermula pada tahun 1994 dimana terdapat Kontrak Operasi

Bersama (Joint Operation Contract atau “JOC”) dimana KBC, suatu perusahaan

yang didirikan di Cayman Islands, Inggris, diberikan kuasa untuk

mengembangkan proyek Geothermal (panas bumi) Karaha Bodas berkapasitas

400 MW yang berlokasi di wilayah Karaha dan Telaga Bodas di Jawa Barat.

Kontrak yang kedua adalah Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract atau

“ESC”) antara KBC dan Pertamina dengan PLN atas nama Pertamina. Dalam

perkembangan pelaksanaan kontraknya, karena krisis ekonomi dan atas

rekomendasi International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent, pada 20

September 1997 presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997

tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan

Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN telah menangguhkan

pelaksanaan proyek JOC dan ESC sampai keadaan ekonomi pulih. Pada 1

November 1997, proyek tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun

1997 dapat dijalankan kembali, namun, pada tanggal 10 Januari 1998 diterbitkan

30 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentangPutusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi(Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9September 2008, didapat dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/53470896b4ed5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 14: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

kembali sebuah Keppres Nomor 5 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa proyek

ESC dan JOC tersebut kembali ditangguhkan.

KBC kemudian mengajukan masalah tersebut ke badan arbitrase Swiss

untuk diproses dengan gugatan wanprestasi terhadap Pertamina dan PLN. Pada

tanggal 18 Desember 2000, Kemudian Badan Arbitrase Internasional Swiss

berdasarkan ketentuan arbitrase United Nations Commission on International

Trade Law (“UNCITRAL”), menghukum Penggugat untuk membayar kepada

Tergugat ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 berikut 4% bunga setahun, antara

lain dengan memblokir aset-aset perusahaan yang menurut Tergugat menjadi

milik dari Penggugat yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat. Pertamina

kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat terhadap putusan arbitrase internasional tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor

86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tentang pembatalan putusan arbitrase asing yang

dikeluarkan Badan Arbitrase Internasional Swiss, kemudian KBC mengajukan

kasasi terhadap Putusan tersebut kepada Mahkamah Agung yang kemudian

mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor

01/BANDING/WASIT.INT/2002 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat. Pertamina kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali

kepada Mahkamah Agung yang berakhir dengan Putusan Nomor 444

PK/Pdt/2007 yang dalam putusannya menyatakan menolak permohonan

Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding

Mahkamah Agung.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dilihat bagaimana pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam teritori suatu Negara masih

menuai banyak permasalahan sehubungan dengan penggunaan hukum nasional di

masing-masing Negara khususnya di Indonesia. Melihat dari perkara Pertamina

melawan KBC diatas mengindikasikan bahwa walaupun Indonesia telah

meratifikasi Konvensi New York 1958 dan telah menerbitkan beberapa peraturan

perundang-undangan yang khusus mengatur tentang arbitrase, pengakuan dan

pelaksanaan mengenai putusan arbitrase internasional dalam sistem hukum

Indonesia masihlah sulit diterapkan serta menuai kontroversi-kontroversi hukum

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 15: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

penyelesaian sengketa investasi serta bisnis dan perdagangan internasional.

Berdasarkan permasalahan dan perkara tersebut diatas, Penulis tertarik untuk

melakukan penelitian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing

di Indonesia dibawah Konvensi New York 1958 dengan judul “PENERAPAN

DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958

SEHUBUNGAN DENGAN KETENTUAN HUKUM PENYELESAIAN

SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UU 30 TAHUN 1999

(STUDI KASUS: PERTAMINA MELAWAN KARAHA BODAS COMPANY

L.L.C.).”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sesuai

dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan

dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak dan

Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company

L.L.C.?

2. Bagaimanakah penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam

lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia?

3. Bagaimanakah pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York

1958 sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan

Karaha Bodas Company L.L.C.

2. Untuk mengetahui penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam

lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 16: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

3. Untuk mengetahui pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?

D. Manfaat/Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan-bahan hukum

yang ada, khususnya dalam mata kuliah hukum penyelesaian sengketa

dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya terkait

dengan sesuai atau tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958

sehubungan dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas

Company L.L.C., penerapan Pasal V Konvensi New York 1958 dalam

lingkup hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, dan

pelaksanaan Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

2. Manfaat Praktis:

a. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai sesuai atau

tidaknya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

dengan penerapan ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan

dengan putusan perkara hukum Perusahaan Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company

L.L.C..

b. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penerapan

Pasal V Konvensi New York 1958 dalam lingkup hukum

penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia.

c. Untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan

Konvensi New York 1958 setelah diundangkannya Undang-Undang

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 17: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

d. Bagi masyarakat pada umumnya, dapat memberikan kontribusi

pengetahuan hukum dan menjadi referensi khususnya mengenai

penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan

dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif,

karena penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi dalam isu penerapan dan

pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu penelitian

dimana pengetahuan atau teori tentang obyek yang sudah ada dan ingin

memberikan gambaran tentang obyek penelitian, dalam hal ini

memberikan gambaran dan penjelasan yang sebenarnya terjadi dalam

praktek penerapan dan pelaksanaan Konvensi New York 1958

sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 beserta hambatan-

hambatan pelaksanaannya dengan ketentuan yang berlaku mengenai

arbitrase dalam lingkup Hukum Arbitrase Internasional yaitu Convention

on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958,

Elizabeth II Arbitration Act 1996 (Undang-Undang Arbitrase Inggris

1996), United States Federal Arbitration Act (Undang-Undang Arbitrase

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 18: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Federal Amerika Serikat), United States Uniform Arbitration Act

(Undang-Undang Arbitrase Amerika Serikat), United Nations

Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law,

UNCITRAL Arbitration Rules; Agreement Between The Government of

The Republic Of Indonesia And The Government of The United Kingdom

of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion And Protection

of Investments 1976 (Bilateral Investment Treaty Indonesia dan Inggris)

serta Hukum Arbitrase Indonesia (Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On

The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang

Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan Telah

Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959, Undang-Undang nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing); Hukum Acara Perdata (Herziene

Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (RBG),

Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering (BRV), Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman); Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan; dan Hukum Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian

Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing

mengenai Penanaman Modal); serta Peraturan Perundang-Undang terkait

lainnya.

3. Jenis Data yang dikumpulkan

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang terdiri dari:

Data Sekunder.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 19: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh dari suatu sumber

yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam

penelitian ini data sekunder yang digunakan meliputi:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam hal ini

penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan tema penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

LN Tahun 1999 Nomor 138 TLN Nomor 3872; Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan "Convention On The

Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards", Yang

Telah Ditandatangani Di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 Dan

Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959; Undang-Undang

nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman LN Tahun 1970 Nomor 74, TLN 2951;

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing; Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman LN Tahun

2004 Nomor 8 TLN Nomor 4358; Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389 dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal LN Tahun 2007 Nomor 67 TLN 4724; dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang

Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan

Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, LN Tahun 1968

Nomor 32, TLN Nomor 2852)

b. Bahan Hukum Sekunder.

Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Dalam Penelitian ini, penulis juga

menggunakan buku-buku ilmiah, bahan-bahan kuliah, makalah-

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 20: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

makalah dan jurnal yang berkaitan dengan penerapan dan

pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier yang digunakan penulis adalah bahan hukum

yang didapat dari majalah-majalah, koran, internet dan kamus.

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis data secara kualitatif.

Data sekunder yang diperoleh akan dikemukakan dan dianalisis lebih

mendalam untuk memperoleh jawaban dari masalah yang akan diteliti.31

5. Pengambilan Kesimpulan

Metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah metode

yang bersifat deduktif yaitu suatu metode yang membahas hal-hal yang

bersifat umum (teori-teori, ilmu hukum dan peraturan perundang-

undangan) dan dibandingkan dengan data yang bersifat khusus (empiris

dan praktek).

F. Kerangka Teori

Perkembangan perekonomian suatu Negara, terlebih lagi bagi Negara

berkembang, sangat ditentukan dari pertumbuhan PMA ataupun commercial

trading. Arus penanaman modal bersifat fluktuatif, tergantung dari iklim investasi

Negara yang bersangkutan. Bagi penanam modal, sebelum melakukan investasi

terlebih dahulu akan melakukan penilaian terhadap aspek-aspek yang turut

mempengaruhi iklim penanaman modal, yaitu: keuntungan ekonomi, kepastian

hukum dan stabilitas politik. Oleh karenanya bagi Negara-negara berkembang,

untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat yaitu;

pertama ada economic opportunity (investasi mampu memberikan keuntungan

31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press), 1984, hlm. 255.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 21: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

secara ekonomis bagi investor); kedua, political stability (investasi akan sangat

dipengaruhi stabilitas politik); dan ketiga legal certainty atau kepastian hukum.32

Faktor-faktor untuk dapat menarik investor asing untuk menanamkan

modalnya dalam teritori suatu Negara tersebut tetap tidak dapat dipisahkan dari

adanya suatu sistem hukum penyelesaian sengketa transaksi komersial

internasional, karena hukum penyelesaian sengketa memberikan suatu jaminan

hukum kepada para investor terhadap modal yang ditanamkannya tersebut.

Transparansi, kejelasan dalam pengaturan tata cara, penerapan suatu doktrin

hukum internasional, serta prosedur pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan

penyelesaian sengketa oleh badan internasional menjadi elemen penting yang

harus ada dalam hukum penyelesaian sengketa karena dapat memberikan

kepastian dan perlindungan hukum kepada investor asing.

Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim

investasi, diperlukan aturan yang jelas dimana kata kunci untuk mencapai kondisi

ini adalah adanya penegakkan supremasi hukum (rule of law).33 Berhubungan

dengan penelitian tentang kepastian dan perlindungan hukum terhadap penerapan

dan pelaksanaan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan hukum

penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka diperlukanlah suatu kepastian

hukum yang menjamin adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak dan

kewajiban para pihak yang bersengketa dalam suatu transaksi komersial

internasional ataupun dalam penanaman modal.

Pada dasarnya, terdapat dua teori yang saling berkonflik namun berkaitan

dengan PMA di Indonesia, dimana teori-teori tersebut berpengaruh terhadap

pembentukan perilaku hukum suatu Negara.34 Teori-teori tersebut adalah Teori

32 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 27

33 Erman, ibid. hlm 34

34 Menurut Sornarajah, “Theoritical Conflicts have had an impact on shaping legalattitudes to foreign investment”, dalam M. Sornarajah, The International Law on ForeignInvestment, second edition, (United Kingdom: Cambrige University Press, 2004, hlm. 50

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 22: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Liberal (Liberal Theory atau Classical Theory) dan Teori Ketergantungan

(Dependency Theory).

Teori Dependensi telah lama dikenal dalam hubungan suatu Negara

dengan Negara lain dalam lingkup yang lebih global, dan teori ini sangat erat

hubungannya dengan PMA terutama dengan penanaman modal secara langsung

atau dikenal dengan “direct investment”. Teori Dependensi atau Teori

Ketergantungan dalam hal ini sangatlah mempercayai PMA sebagai suatu

ancaman atas pertumbuhan ekonomi penerima modal tersebut.35

Teori ini merupakan teori perkembangan suatu Negara karena dasar dari

teori ini adalah suatu keniscayaan bahwa dari sejak awal, kapitalisme berkembang

sebagai suatu sistem yang multinasional. Teori Dependensi sangat dipengaruhi

oleh beberapa ahli, yaitu; Karl Marx dalam Berkembang dan Tidak Berkembang

(Development and Underdevelopment), Paul Baran dalam Kemunduran Ekonomi

dan Kemajuan Ekonomi (Analysis on Economic Backwardness and Economic

Growth), Gunder Frank dalam Analisa atas Perkembangan atas Sesuatu yang

Tidak Berkembang (Analysis of The Development of Underdevelopment), dan juga

Samir Amin dalam Ketidakseimbangan Pembangunan (Unequal Development). 36

Teori ini percaya bahwa pada dasarnya Negara maju hanya memanfaatkan

kelemahan dari Negara berkembang, karena Negara berkembang sangat

membutuhkan kehadiran dari PMA baik secara langsung dan tidak langsung. Hal

ini dikarenakan adanya pandangan dari Negara maju dalam hal ini yang menilai

dari keadaan dimana dengan adanya PMA, Negara berkembang pada dasarnya

sudah meraih peningkatan pendapatan kotornya walaupun secara fakta banyak

35 Nisa Istiani, “Teori Ketergantungan (Dependency Theory) dan Teori Liberal (LiberalTheory)”, dalam Modul Hukum Investasi, dikumpulkan oleh Ridwan Khairandy, (Yogyakarta:Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), Hal 260

36 Ibid, hal. 261

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 23: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh para penanam modal tidak dilakukan

oleh mereka.

Hal ini dapat dilihat dari segi penggunaan tenaga kerja yang murah dan

sumber daya alam yang berlimpah yang mana pemerintah Negara penerima tidak

mampu untuk mengelola dan mengolahnya. Adanya kewajiban seperti transfer

teknologi, dan pelatihan dan pembinaan SDM yang terkadang tidak dilakukan

oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju membuat Negara

berkembang menjadi tidak dapat mengembangkan sendiri kemampuannya dan

juga menyebabkan distorsi, hambatan pada pertumbuhan ekonomi dan

peningkatan keseimbangan pendapatan (dalam hal ini akan selalu dependen

dengan kehadiran investor asing Negara maju). Mengenai penggunaan Sumber

Daya Alam yang berlimpah secara semena-mena merupakan alasan lain yang

dikemukakan teori ketergantungan karena dengan ini menimbulkan

kecenderungan bahwa Negara berkembang tidak diberikan kompensasi yang

semestinya dilakukan oleh perusahaan PMA yang berasal dari negara maju atas

penggunaan sumber daya alam yang semena-mena itu. Hal ini diperparah karena

seringkalinya modal asing yang masuk dari Negara Maju masuk kedalam bidang-

bidang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh Negara berkembang, dan

dengan demikian, investasi-investasi seperti itu hanya akan mendorong

meningkatnya tingkat kemiskinan di Negara berkembang dan tingginya

ketergantungan Negara berkembang kepada Negara maju.

Oleh karena itu, maka teori dependensi sangat bersifat preventif dengan

adanya hal-hal seperti itu, karena pada dasarnya PMA oleh Negara maju di dalam

suatu teritori Negara berkembang dimaksudkan untuk dapat memberi kemampuan

independensi kepada Negara berkembang, namun pandangan Negara maju adalah

sebaliknya. Karena Negara maju pada dasarnya hanya menekankan pada

pentingnya keterbukaan dan peniadaan semua upaya atau kebijakan penanaman

modal terkait yang merintangi dan menghambat lancarnya penanaman modal

tersebut (Teori Liberal).37

37 Ibid, hal. 260

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 24: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Berbeda dengan teori dependensi, dimana, teori liberal ini sangat erat

kaitannya dengan kepentingan ekonomi liberal. Teori ini berpendapat bahwa

Negara berkembang sangatlah kekurangan modal atau tidak mempunyai simpanan

yang memadai untuk memiliki teknologi asing dan keahlian yang memadai untuk

membantu pembangunan Negara di Negara berkembang. Dengan demikian PMA

memberikan suplai modal yang dibutuhkan oleh Negara berkembang dengan

membawa modal segar dari luar negara tersebut. Pandangan yang terbentuk dari

teori ini adalah seluruh kebijakan hendaknya ditujukan untuk kepentingan swasta

dan bukan untuk melayani kepentingan publik yang tidak produktif sehingga tidak

menghasilkan akumulasi kapital. Karena itu anggaran pemerintah untuk

pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik tidak

dianggap sebagai basis bagi industrialisasi dan modernisasi. Menurut paham ini,

sektor-sektor usaha/perekonomian dan yang selama ini difungsikan untuk

memproduksi barang-barang kebutuhan pokok rakyat harus diswastanisasi, karena

jalan keluar bagi paham ini adalah pemotongan subsidi dan adanya privatisasi.38

Dari kedua teori tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa, Indonesia

berada di dua teori, dimana disatu sisi Indonesia berpihak kepada teori dependensi

dimana kepastian dan perlindungan hukum kepada perusahaan PMA dibatasi /

tidak diatur secara jelas dan terkadang Indonesia berpihak kepada teori liberal,

dimana para pihak asing diberikan suatu kepastian iklim penanaman modal

dengan banyaknya bidang usaha yang dibuka beserta pemberian-pemberian

insentif ataupun fasilitas-fasilitas penanaman modal lainnya.

Ketidakpastian landasan pengaturan (dualisme landasan) yang dimiliki

oleh Hukum Penanaman Modal yang menyebabkan ketidakpastian pemihakan

pengaturan terhadap subjek dan objek hukum seperti diatas, berlaku pula dalam

landasan pengaturan hukum penyelesaian sengketa, dimana disatu sisi, Indonesia

menjamin kepastian dan perlindungan hukum dengan menerbitkan undang-

undang penyelesaian sengketa tetapi disatu sisi lainnya, undang-undang tersebut

tetap menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum akan terus

membawa akibat hukum tanpa perlindungan yang pasti.

38 Ibid, hlm. 266-267

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 25: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Berbicara mengenai kepastian hukum, hukum pada dasarnya harus mampu

menciptakan kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan

(fairness) untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi.39 Prediktabilitas

mengandung arti bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu

kepastian hukum. Dengan adanya kepastian, investor dapat mengukur tindakan-

tindakan yang akan dilakukannya. Dalam prediktabilitas, hukum diciptakan untuk

mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan

perkembangan ekonomi pasar.40

Kapasitas hukum dalam stabilitas adalah bahwa hukum harus

mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya.

Hukum harus menciptakan keterpaduan antara para pihak.

Fungsi hukum sebagai fairness (keadilan) mencerminkan bahwa hukum

haruslah menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan mencegah

terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak yang

terlibat didalamnya.

Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum yang

menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA sehingga tiga fungsi

hukum tersebut dapat tercapai, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang

efektif karena sistem hukum yang efektif akan memperluas kesempatan berusaha,

mengundang investasi dan membangun ekonomi. Menurut Lawrence M.

Friedman, sistem hukum mengandung tiga unsur, yaitu structure, substance dan

legal culture.41

39 Leonard J. Theberge, “ Law and Economic Development”, dalam Erman Rajagukguk,Hukum dan Pembangunan, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, 2007), hlm. 52.

40 Siti Anisah, “Implementasi TRIMs Dalam Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal HukumBisnis Volume 22, (Nomor 5 Tahun 2003): 37.

41 Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton and Company,1984), hlm. 5-6

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 26: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Pertama adalah structure.42

“This is the structure of the legal system, its skeleton or framework, the

durable part, which gives a kind of shape and definition to the whole. The

structure of a legal system consist of element of this kind: the number and

size of courts; their jurisdiction (this is, what kind of cases they hear, and

how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure

also means how the legislature is organized, how many member sit on the

Federal Trade Commision, what a president can (legally) do or not do, what

procedures the police departement follows, and so on. Structure, in a way, is

a kind of cross section of legal system – a kind of still photograph, which

freezes the action.”

Berdasarkan uraian Friedman menguraikan bahwa struktur sebagai unsur

dalam sistem hukum, struktur ini meliputi institusi-institusi yang diciptakan oleh

sistem hukum mencakup judikatif, eksekutif dan legislatif. Struktur dalam

implementasinya merupakan sebuah bentuk berkaitan satu dengan yang lain

dalam sistem hukum.

Kedua adalah Substance, dalam substance dikemukakan bahwa:43

“By this is meant the actual rules, norm and behaviour patterns of people

inside the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of term

– the fact that the speed limit is fifty-five miles in a hour, that “by law” a

pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar substance also

means the “product” that people within the legal system manufactured.”

Dikatakan bahwa substance meliputi peraturan perundang-undangan,

norma-norma, dan keputusan-keputusan. Substansi hukum sebagai suatu unsur

dalam sistem hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma-

norma dan perilaku masyarakat yang terdapat dalam sistem tersebut.

42 id.

43 id.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 27: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Ketiga adalah legal culture.44

“By this we mean people’s attitude toward law and legal system – their

belief, values, ideas and expectations. In other word, it is the part of the

general culture which concerns the legal system. The legal system, in other

word, is the climate of social thought and social force which determines

how law is used, avoided or abused. Without legal culture, the legal system

is inert – a dead fish lying in basket, not a living fish swimming in its sea”

Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap

yang menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat

terhadap budaya hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini

yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem

hukum tidak akan berdaya.

Teori-teori diatas akan digunakan dan telah dianggap relevan oleh penulis

untuk melakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan dalam

penulisan yang meneliti tentang penerapan dan pelaksanaan Konvensi New

York 1958 sehubungan dengan hukum penyelesaian sengketa melalui

arbitrase. Penulis juga akan melihat bahwa apakah sistem Hukum

Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam

hal tersebut diatas telah memberikan unsur predictability, stability dan

fairness.

G. Kerangka Konseptual

Penelitian ini akan menggunakan beberapa istilah dan untuk menghindari

ketidakjelasan definisi, maka istilah-istilah tersebut mencakup antara lain :

1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,

dimana putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan

tetap, berdasarkan hukum atau dengan persetujuan para pihak yang

bersengketa.

44 ibid, hlm. 6-7

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 28: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

2. Arbitrase asing adalah badan yang dipilih oleh

para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai

sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat

yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal

belum timbul sengketa yang berada di luar wilayah Indonesia.

3. Putusan arbitrase internasional adalah putusan

yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di

luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga

arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum

Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase

internasional.

4. Arbiter adalah hakim yang terdiri dari satu

orang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang

ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase.

5. Public policy (ketertiban umum), dipergunakan

sebagai alasan untuk menolak berlakunya putusan arbitrase asing yang

didasari suatu kondisi ketertiban umum suatu Negara.

6. Exequatur adalah penetapan yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Agung RI atau Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

yang menyatakan bahwa satu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan

di dalam wilayah RI.

7. Null and void adalah keadaan dimana suatu

perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri

di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan

yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 1 dan 2 yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.

8. Voidable adalah keadaan dimana suatu

perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak yang mengikatkan diri

di dalamnya, dinyatakan tidak dapat memenuhi unsur-unsur perikatan

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 29: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

yang berikatan dengan Pasal 1320 ayat 3 dan 4 yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga mengenai Perikatan.

9. Reciprocity adalah asas timbal balik, suatu

keadaan dimana Indonesia terikat dengan Negara lain dalam suatu

perjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral,

mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

10. Commercial adalah Pemerintah RI hanya

melaksanakan putusan luar negeri yang bersifat dagang.

11. Due process of law adalah pihak yang

diwajibkan melaksanakan putusan arbitrase asing harus telah diberikan

cukup kesempatan untuk membela diri.

12. Ex aequo et bono adalah kewenangan yang

dapat disepakati oleh para pihak untuk diberikan kepada arbiter untuk

memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan

13. Arbitrability adalah putusan arbitrase yang

mengandung pokok perkara yang tidak dapat diselesaikan dengan

arbitrase.

14. Country of Origin adalah Negara yang

menjatuhkan putusan arbitrase.

15. Forum Shopping adalah suatu tindakan yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari putusan

yang paling menguntungkan baginya kepada jurisdiksi pengadilan atau

forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dimana putusan

tersebut sebenarnya telah mengikat para pihak yang bersengketa.

16. Anti-suit injunction adalah suatu putusan yang

dijatuhkan oleh pengadilan atau badan arbitrase yang melarang pihak

yang kalah dalam arbitrase untuk melakukan atau melanjutkan

penyelesaian sengketa kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang

memiliki kewenangan yang sama.

17. BIT (Bilateral Investment Treaty) adalah suatu

perjanjian investasi antara dua Negara yang mengatur tentang suatu

pengaturan, promosi, perlindungan hingga penyelesaian sengketa

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 30: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

terhadap investasi yang dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan

diri, individu maupun badan (perusahaan) yang berada dalam

jurisdiksinya ke dalam teritori pihak lainnya.

18. MIT (Multilateral Investment Treaty) adalah

suatu perjanjian investasi antara beberapa Negara (lebih dari dua) di

dunia internasional yang mengatur tentang suatu pengaturan, promosi,

perlindungan hingga penyelesaian sengketa terhadap investasi yang

dilakukan oleh pihak Negara yang mengikatkan diri, individu maupun

badan (perusahaan) yang berada dalam jurisdiksinya ke dalam teritori

pihak lainnya.

19. Konvensi New York 1958 adalah suatu

perjanjian internasional (konvensi) yang mengatur negara anggotanya

persamaan persepsi, prosedur serta tata cara pengakuan terhadap putusan

arbitrase asing sebagai keputusan yang bersifat mengikat dan

pelaksanaannya dalam jurisdiksi mereka.

20. UNCITRAL (United Nations Commission on

International Trade Law) adalah badan PBB yang didirikan berdasarkan

Resolusi Sidang Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) pada tanggal 17

Desember 1966 untuk mengangkat secara progresif harmonisasi dan

unifikasi hukum dagang internasional.

21. Model Law adalah hukum yang dapat diadopsi

oleh negara - negara anggota PBB yang bertujuan agar aspek - aspek

hukum yang terkandung dalam perdagangan internasional tersebut dapat

diakomodasi secara mudah dan terdapat suatu persamaan pengaturan

tentang arbitrase.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan thesis ini akan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis,

kerangka konseptual dan sistematika penulisan.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 31: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Bab II : Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Dalam

Lingkup Internasional

Bab ini akan membahas mengenai Sejarah Konvensi New York 1958: (1)

Latar Belakang lahirnya Konvensi New York 1958, (2) Konvensi New York

1958 sebagai dasar pelaksanaan arbitrase Internasional; Pengakuan dan

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Berbagai Negara: (1) Pengakuan dan

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Amerika Serikat, dan (2) Pengakuan

dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Inggris; Model Law –

UNCITRAL: (1) UNCITRAL Model Law sebagai Instrumen Arbitrase

Internasional, (2) Pengaturan Arbitrase dalam Model Law.

Bab III : Tinjauan Umum Terhadap Pengakuan Dan Pelaksanaan

Arbitrase Asing Di Indonesia

Bab ini akan menguraikan mengenai Sejarah dan Landasan Hukum

Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia sebelum

diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa: (1) HIR dan BRV sebagai Landasan Utama Hukum

Arbitrase Indonesia, (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta

Pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia, (3) UNCITRAL Arbitration

Rules sebagai Landasan Hukum Arbitrase Internasional dalam Lingkup

Hukum Nasional, (4) Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sebagai

Bentuk Ratifikasi Konvensi New York 1958, (5) Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1990; Sikap Pengadilan Indonesia terhadap Putusan Arbitrase

Asing sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa: (1) Trading Corporation of Pakistan

Limited v. PT Bakrie Brothers, (2) Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar,

(3) E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, (4) PT Batu Mulia

Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere

Colas (“SSC”); Diterbitkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa serta ruang lingkupnya terhadap Putusan

Arbitrase Asing.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 32: BAB I - lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan dan... · Fase globalisasi pertama berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan

Bab IV : Penerapan dan Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan

Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian

Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999

Bab ini akan membahas mengenai Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999

Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan

dengan pembatalan putusan arbitrase asing dalam perkara Pertamina melawan

KBC; UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi

New York 1958; dan Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam

UU 30 Tahun 1999 mengalami Banyak Hambatan: (1) Substansi Hukum

Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York: ((a)

UU 30/1999 tidak Menerapkan Ketentuan Pengakuan dan Pelaksanaan

Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958, (b) UU 30/1999 tidak

friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, (c)

Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU 30/1999

Tidak Konsekuen, (d) Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Indonesia sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas), (2)

Aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing di Indonesia, (3) Budaya Hukum Masyarakat terhadap

Arbitrase Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial.

Bab V : Penutup

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.