bab i pendahuluan 1. 1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Dewasa ini, lingkungan bisnis tengah mengalami perkembangan menuju
pembentukan ekonomi industri baru yang dikenal dengan istilah revolusi industri
ke-empat atau era industri 4.0. Era industri ini berbasiskan pemanfaatan teknologi
digital guna mendukung integrasi secara penuh dan interaktivitas realtime
terhadap otomatisasi industri dan proses distribusi. Bahkan pemerintah Jepang
sudah mulai bergerak menuju pembentukan era yang lebih maju lagi yang disebut
sebagai society 5.0 yaitu suatu masyarakat yang berpusat pada manusia (human-
centric society) yang menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan
penyelesaian masalah sosial melalui sistem pengintegrasian ruang maya (cyber
space) dan dunia nyata (physical space) (Fukuyama, 2018).
Sejalan dengan hal itu, banyak pihak meyakini bahwa keberhasilan penerapan
industri 4.0 dan society 5.0 tidak bisa dipisahkan dengan penciptaan knowledge
economy / ekonomi pengetahuan (Kolesnichenko, Radyukova, & Pakhomov,
2019). Dalam bahasa yang lebih sederhana, ekonomi pengetahuan merupakan
prasyarat pembentukan era industri 4.0 dan society 5.0. Ekonomi pengetahuan
merupakan kegiatan ekonomi yang memanfaatkan pengetahuan sebagai faktor
utama dalam penciptaan pertumbuhan, dan keunggulan bersaing perusahaan,
wilayah, serta negara. Pada tahapan yang paling maju, ekonomi pengetahuan akan
menciptakan simbiosis intellectual-innovation economy yakni ekonomi yang
mendayagunakan modal intelektual (intellectual capital) dalam rangka
2
menghasilkan inovasi-inovasi. Ilustrasi selengkapnya terkait tahap perkembangan
perekonomian menuju society 5.0 bisa dilihat pada gambar berikut ini:
Sumber : Kolesnichenko et al. (2019) dan Fukuyama (2018)
Gambar 1. 1 Tahap Perkembangan Ekonomi Menuju Society 5.0
Tidak hanya pada tataran makro wilayah ataupun negara, pada tataran mikro
perusahaan pun ilmu pengetahuan memainkan peranan penting. Perusahaan tidak
akan dapat memenangkan persaingan jika hanya mengandalkan sumber daya
berwujud (tangible capital) seperti modal finansial ataupun peralatan kerja. Hal
ini pernah disinggung lebih dari satu dekade yang lalu oleh Subramaniam and
Youndt (2005) dengan mengatakan bahwa sumber daya tidak berwujud
(intangible capital) merupakan kunci sukses perusahaan untuk bertahan dalam
lingkungan yang dinamis. Ilmu pengetahuan memiliki karakteristik valuable,
rare, inimitable dan non-substitutable / VRIN (berharga, langka, tidak bisa
diimitasi dan tidak tergantikan). Karakteristik tersebut merupakan sumber daya
kunci untuk mewujudkan kinerja organisasi (Ferreira & Hamilton, 2010; Wang,
2014; Hussinki et al., 2017). Ilmu pengetahuan yang dikelola juga akan
3
mendorong lahirnya inovasi-inovasi produk dan jasa baru yang bisa menjawab
kebutuhan konsumen (Kolesnichenko et al., 2019). Dengan demikian, ilmu
pengetahuan menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari inovasi yang
dihasilkan oleh perusahaan.
Meskipun cukup banyak literatur yang membahas peranan ilmu pengetahuan
bagi penciptaan inovasi di dalam perusahaan, termasuk dari disiplin ilmu
manajemen sumber daya manusia stratejik, namun kajian literatur menunjukkan
bahwa sangat terbatas sekali studi yang membahas interaksi antara sumber daya
pengetahuan dan pengelolaannya dalam upaya mendorong inovasi di dalam
perusahaan (Hsu & Sabherwal, 2012; Slaðana & Sven, 2018). Diantara sedikit
literatur yang membahas topik tersebut juga menunjukkan hasil yang kontradiktif.
Misalnya Hussinki et al. (2017) menemukan bahwa efektif atau tidaknya praktek
manajemen pengetahuan sepertinya tidak berpengaruh langsung terhadap modal
intelektual dan kinerja inovasi. Sementara Hsu and Sabherwal (2012) menemukan
terdapat pengaruh positif langsung dari manajemen pengetahuan terhadap kinerja
inovasi, namun tidak ada pengaruh manajemen pengetahuan terhadap modal
intelektual. Sebaliknya Seleim and Khalil (2011) menyatakan bahwa pengaruh
manajemen pengetahuan terhadap modal intelektual bersifat dua arah. Perbedaan-
perbedaan tersebut mengindikasikan perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait interaksi antara elemen pengetahuan dengan kinerja inovasi di perusahaan.
Sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi dan mendorong terciptanya
kinerja perusahaan yang superior bisa dikelola dengan lebih baik kedepannya.
4
Sekaligus penelitian terkait hal ini akan berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan
terutama ilmu manajemen sumber daya manusia stratejik.
Isu di atas secara khusus relevan untuk industri kreatif yang merupakan
bahagian dari ekonomi kreatif (UNCTAD, 2010). Ekonomi kreatif sendiri bisa
didefinisikan sebagai yaitu aktivitas penciptaan nilai tambah yang berasal dari
kreativitas modal manusia (human capital) dan berbasis ilmu pengetahuan,
budaya dan teknologi (Kemenparekraf, 2014a). Berdasarkan definisi tersebut, bisa
dilihat bahwa ekonomi kreatif merupakan perpanjangan konsep dari ekonomi
pengetahuan karena memanfaatkan kreativitas manusia yang basisnya adalah ilmu
pengetahuan.
Pada industri kreatif khususnya bidang fashion, inovasi terjadi lebih sering
terjadi dibandingkan industri lainnya (Nesta, 2009). Bahkan, inovasi adalah
sebuah rutinitas pada industri kreatif fashion (Ünay & Zehir, 2012). Dalam rangka
meningkatkan daya saing dan keberlangsungan usahanya, industri kreatif fashion
harus menghasilkan produk berkualitas, membangun merek, menciptakan /
memasuki pasar baru, dan merespon dinamika lingkungan dalam waktu yang
cepat. Perencanaan permintaan di industri kreatif fashion sangatlah komplek
(Fumi, Pepe, Scarabotti, & Schiraldi, 2013). Organisasi di industri kreatif fashion
beroperasi dan bentuk yang beraneka dan dengan siklus produk yang pendek.
Penjualan sangat dipengaruhi oleh musim, cuaca, promosi dan pemasaran,
termasuk kondisi sosial ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh usia,
pendapatan, pendidikan, etnis dan pekerjaan (Nayak & Padhye, 2015). Meskipun
industri kreatif fashion tidak bisa dilepaskan dari penggunaan sumber yang
5
berwujud, namun dalam proses produksi industri kreatif fashion yang utama
adalah input berupa ide, inovasi, dan kreativitas dari orang kreatif
(Kemenparekraf, 2014a). Sehingga berinvestasi pada modal tidak berwujud sangat
penting bagi industri pakaian/fashion (Mittelhauser, 1997; Stengg, 2001; Kapelko
& Lansink, 2014).
Di Indonesia, umumnya industri kreatif tergolong sebagai industri kecil
dan menengah (IKM) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 100 orang. (Badan
Pusat Statistik, 2018). Berdasarkan catatan Badan Ekonomi Kreatif, industri
kreatif fashion besar dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang, berkisar
3,7% dari populasi. IKM dengan jumlah tenaga kerja 5-99 orang, berkisar 50,92%
dari populasi. Sedangkan industri mikro dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 4
orang berjumlah 45,91% (BPS-Bekraf, 2016a). Dengan demikian bisa dilihat
bahwa keberadaan IKM kreatif fashion mendominasi populasi.
Berbeda dengan industri besar yang mengandalkan kapabilitas dan
keterampilan internal untuk menghasilkan inovasi, IKM umumnya memiliki
keterbatasan dari sisi sumber daya, baik manusia maupun keuangan. Sehingga
mereka harus menjalin kemitraan dengan pihak lain. Terutama melalui
pembangunan modal sosial atau modal relasional (Iturrioz, Aragón, & Narvaiza,
2015).
Industri kreatif fashion adalah salah satu industri kreatif penyumbang
produk domestik bruto (PDB) bagi Indonesia. Pada tahun 2017 tercatat
sumbangannya sebesar 3,76 persen. Pada periode tersebut, ekspor industri fashion
mencapai USD 13,29 miliar atau meningkat 8,7 persen dari tahun sebelumnya
6
(Kementerian Perindustrian, 2018). Sedangkan dari sisi penyerapan tenaga kerja
hingga tahun 2018 diperkirakan mencapai 18,1 juta orang (Hariyanti, 2018).
Industri ini terdiri atas empat klasifikasi sebagaimana disajikan pada tabel
berikut:
Tabel 1. 1
Industri Kreatif Fashion dari Produk Tekstil
No
Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha
Indonesia/KBLI
Produk
1 14111 Pakaian jadi (konveksi) dari tektil
2 14131 Perlengkapan pakaian dari tekstil
3 14301 Pakaian jadi rajutan
4 14302 Pakaian jadi sulaman/bordir
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Badan Ekonomi Kreatif (2016) dan Badan Pusat Statistik
(2017)
Industri kreatif fashion khususnya dari produk tekstil saat ini digadang-
gadang sebagai salah satu industri yang diharapkan mampu membawa Indonesia
semakin kompetitif di percaturan perdagangan dunia. Setelah sebelumnya,
industri tekstil juga sudah ditetapkan sebagai sebagai satu dari sepuluh industri
prioritas nasional dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN)
2015 – 2035 (Kementerian Perindustrian, 2015), maka berdasarkan roadmap (peta
jalan) strategi dalam memasuki era industry 4.0 atau yang disebut dengan istilah
“making Indonesia 4.0” yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada
Indonesia Industrial Summit (IIS) 2018, tanggal 4 April 2018, sektor industri
pakaian sebagai rantai hilir industri tekstil ditetapkan sebagai satu dari lima sektor
industri prioritas nasional (Kementrian Perindustrian, 2018). Lima sektor prioritas
itu meliputi makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik dan
kimia, sebagaimana gambar di bawah ini:
7
Sumber: Kementrian Perindustrian (2018)
Gambar 1. 2 Lima Sektor Prioritas dalam
Strategi “Making Indonesia 4.0”
Hingga saat ini, Indonesia termasuk 5 besar negara penyumbang perdagangan
produk tekstil/pakaian dunia. Pada tahun 2016 tercatat bahwa Indonesia
menguasai 1,5% pangsa pasar produk dunia untuk pakaian pria maupun wanita
(lihat tabel di bawah):
8
Tabel 1. 2
Penguasaan Pangsa Pasar Produk Pakaian dari Tekstil Dunia Tahun 2016
Produk Penguasaan Pangsa Pasar
Pakaian Pria dan Anak Laki-laki
Cina 39,9%
Bangladesh 6,7%
Vietnam 4,6%
Indonesia 1,55
Pakaian Wanita dan Anak Perempuan
Cina 26,4%
Bangladesh 13,1%
Vietnam 5,2%
Jerman 5,2%
Indonesia 1,5%
Sumber : http://forbil.org/id/article/120/dependency-on-imported-raw-materials-untangling-
twisted-yarn-of-indonesian-fashion-export
Meskipun menduduki posisi 5 besar dunia, volume ekspor produk pakaian
jadi Indonesia semakin lama semakin tergerus. Sebagaimana bisa dilihat pada
gambar di bawah, semenjak tahun 2013 volume ekspor pakaian jadi Indonesia
terus mengalami penurunan.
Sumber : https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/03/23/bagaimana-ekspor-
industri-pakaian-jadi-indonesia
Gambar 1. 3 Volume Ekspor Industri Pakaian Jadi Indonesia
Tahun 2013-2017
Pengembangan industri kreatif fashion produk tekstil Indonesia tentu perlu
mendapat perhatian dari banyak pihak, termasuk dari daerah-daerah penyumbang
470.4
464
456.9
448.5446.4
430
435
440
445
450
455
460
465
470
475
2013 2014 2015 2016 2017
Vo
lum
e (T
on
)
Tahun
9
utama industri ini. Sebesar 50% potensi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
nasional berada di wilayah Provinsi Jawa Barat (Pikiran Rakyat, 2018). Oleh
sebab itu, peningkatan kinerja industri kreatif fashion produk tekstil di Jabar
diharapkan akan berkontribusi terhadap kinerja industri ini secara nasional.
Provinsi Jabar sendiri juga telah menetapkan tekstil dan produk tekstil
(TPT) sebagai industri unggulan (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Jawa Barat, 2015b). Hingga tahun 2015, IKM kreatif fashion produk tekstil Jabar
mempekerjakan hingga 123.259 orang dengan nilai investasi lebih dari 61 triliyun
rupiah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, 2015a).
Bersama-sama dengan industri tekstil, industri kreatif fashion produk tekstil
merupakan penyumbang ketiga terbesar terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Jabar yakni sebesar 6,38 persen.
Namun demikian, Berita Resmi Statistik BPS Jawa Barat tahun 2015-2018
menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi industri kreatif fashion produk tekstil
Jabar mengalami fluktuasi dan secara umum cenderung menurun. Sebagaimana
bisa dilihat pada gambar di 1.4, pertumbuhan produksi tertinggi industri fashion
produk tekstil besar dan sedang Jabar dicapai pada semester III tahun 2015 yakni
sebesar 6,04%. Angka pertumbuhan ini sebetulnya meningkat jauh dibandingkan
semester IV tahun 2014 dan semester I tahun 2015 yang mencatatkan
pertumbuhan negatif. Akan tetapi, dua tahun berikutnya angka pertumbuhan
tersebut terus mengalami penurunan. Hingga semester IV tahun 2017,
pertumbuhan produksi tercatat hanya sebesar 2,92%.
10
Sumber : Berita Resmi Statistik BPS Jawa Barat, 2018, 2017, 2016, 2015 (data diolah)
Keterangan : na = not available (data tidak tersedia)
Gambar 1. 4 Persentase Pertumbuhan Produksi Industri Besar dan Sedang
Produk Pakaian dari Tekstil di Provinsi Jawa Barat Triwulan IV Tahun 2014-2017
(y-on-y)
Sedangkan pada industri mikro dan kecil, pertumbuhan produksi
sepanjang tahun 2014 dan 2015 berada pada kisaran 7,32% hingga 10,18%.
Namun pada semeter III tahun 2016 sempat mengalami pertumbuhan negatif
mencapai -6,77%. Sampai akhir tahun 2017 tercatat pertumbuhan produksi
2,52%. Data selengkapnya bisa dilihat pada gambar 1.5 di bawah ini:
Sumber : Berita Resmi Statistik BPS Jawa Barat, 2018, 2017, 2016, 2015 (data diolah)
Gambar 1. 5 Persentase Pertumbuhan Produksi Industri Kecil dan Mikro
Pakaian dari Tekstil di Provinsi Jawa Barat Triwulan IV Tahun 2014-2017
(y-on-y)
IV I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016 2017
Series1 -8.57 -5.26 4.81 6.04 0.00 0.00 4.74 3.15 5.22 2.19 2.89 -1.26 2.92
-8.57
-5.26
4.81 6.04
n.a n.a
4.743.15
5.222.19 2.89
-1.26
2.92
-10.00-8.00-6.00-4.00-2.000.002.004.006.008.00
% P
ert
um
bu
han
Pro
du
ksi
Periode (Triwulan Per Tahun)
IV I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016 2017
Series1 7.32 9.30 7.38 10.1 7.58 4.57 6.72 -6.7 -5.9 -3.0 -8.6 4.29 2.52
7.32 9.30 7.3810.18
7.584.57 6.72
-6.77 -5.91-3.07
-8.66
4.29 2.52
-10.00-5.000.005.00
10.0015.00
% P
ert
um
bu
han
P
rod
uks
i
Periode (Triwulan Per Tahun)
11
Meskipun data BPS tidak secara tegas membedakan antara data industri mikro,
kecil, menengah (sedang) dan besar, namun dari uraian tersebut di atas terlihat
bahwa secara umum pertumbuhan produksi industri fashion produk tekstil
Jabar mengalami fluktuasi dan cenderung menurun.
Lebih jauh lagi, pangsa pasar dalam negeri produk tekstil Jabar
menunjukkan penurunan yang sangat signifikan. Menurut sekretaris Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Kevin Hartanto, 2 atau 3 tahun yang lalu
pangsa pasar dalam negeri industri tekstil dan produk tekstil Jabar masih berada
dikisaran 60%, namun pada tahun 2017 tinggal 40%-50% saja (Budiman, 2017).
Merujuk pada data di atas, maka terlihat bahwa pertumbuhan produksi,
dan penguasaan pasar dalam negeri pada industri ini belum memuaskan. Guna
memperoleh gambaran yang lebih spesifik terkait kondisi industri ini, maka
penelitian ini melakukan penelitian pendahuluan melalui wawancara dengan
Bapak Mursid W Kusumo - Ketua komunitas Fashion Jawa Barat, Bapak Eka
Wijaya - Koordinator Kampoeng Rajutan Kota Bandung, Bapak Cepi Andriana -
Ketua Koperasi Sentra Rajutan Binong Jati, Bandung, Ibu Teti - Pengurus
Koperasi Wirausaha Jabar Sejahtera (WJS), dan dua pelaku usaha selama bulan
Januari - Maret 2018. Berdasarkan wawancara awal itu diperoleh informasi
bahwa secara umum pertumbuhan produksi dan penjualan IKM di industri
fashion Jabar stagnan/ tidak tumbuh. Bahkan pada beberapa sentra
industri, terdapat penurunan penjualan yang cukup signifikan. Akibatnya
adalah beberapa usaha produksi terpaksa menutup usahanya, atau berubah fokus
ke bidang perdagangan. Seperti sentra industri fashion berbahan jeans di
12
Cihampelas sudah tidak lagi melaksanakan kegiatan produksi. Pelaku usaha
beralih menjadi pedagang. Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa tempat
di Soreang, Kabupaten Bandung, dan Binong Jati, Kota Bandung.
Wawancara tersebut diikuti dengan survei pendahuluan, di tiga daerah
yakni : Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cirebon, selama pada Bulan
April – Mei 2018. Jumlah responden 30 orang pemilik usaha/direktur/manajer
yang dipilih secara purposive. Responden diminta menilai/sesuai persepsi mereka
masing-masing terkait kondisi perusahaan mereka serta praktek manajemen yang
dilakukan dengan memakai skala multiple list rentang 1 sampai 5. Setiap nilai
skala ditetapkan oleh penelitian ini mempunyai arti tertentu, yaitu 1 =
kondisi/praktek manajemen yang “sangat rendah”, 2 = “rendah”, 3 = “cukup
tinggi”, 4 = “tinggi”, 5 = “sangat tinggi”. Data yang dihasilkan adalah data
ordinal dan dianalisis berdasarkan nilai yang frekuensi dipilihnya paling tinggi
(modus).
Pada tahap pertama, responden diminta menilai kondisi-kondisi
perusahaan dalam hal pertumbuhan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan,
pertumbuhan penjualan, penghematan biaya dan pertumbuhan laba selama tiga
tahun terakhir. Semua kondisi tersebut dikaitkan oleh literatur sebagai ukuran
kinerja perusahaan (Best, 2014; Taherparvar, Esmaeilpour, & Dostar, 2014;
Wang, Wang, & Liang, 2014).
13
Tabel 1. 3
Hasil survei pendahuluan terkait pelanggan, penjualan, biaya dan laba
perusahaan dalam tiga tahun terakhir
Deskripsi Modus
Pertumbuhan jumlah pelanggan 3
Tingkat kepuasan pelanggan 3
Pertumbuhan jumlah penjualan 3
Penghematan biaya-biaya 3
Laba usaha/perusahaan 3
Penilaian berdasarkan skala Likert, skor 1 = paling rendah dan skor 5 = paling tinggi.
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Dari tabel di atas terlihat bahwa jawaban mayoritas responden terhadap
item kuesioner pra-survei adalah 3 atau cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan
bahwa dalam rentang waktu tiga tahun terakhir, mayoritas responden
berpandangan bahwa pertumbuhan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan,
pertumbuhan penjualan, penghematan biaya dan pertumbuhan laba perusahaan
mereka berada pada kondisi yang cukup tinggi, namun belum mencapai kondisi
tinggi atau sangat tinggi. Temuan survei pendahuluan ini sejalan dengan
wawancara awal yang mengindikasikan bahwa produksi dan penjualan
perusahaan cenderung stagnan. Sehingga masih terdapat peluang untuk
peningkatan kedepannya.
Berdasarkan wawancara diperoleh juga informasi bahwa kurangnya modal
usaha sering dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di IKM produk tekstil.
Namun, menurut Ketua Komunitas Fashion Jabar dan Pengurus Koperasi
Wirausaha Jabar Sejahtera, masalah permodalan sebenarnya bukan isu utama
karena banyak bank dan lembaga keuangan yang cukup agresif menawarkan
kredit untuk usaha yang mereka jalankan. Namun banyak pelaku usaha yang tidak
14
memanfaatkan karena khawatir terjebak hutang, sementara kinerja produksi dan
penjualan tidak membaik. Justru terdapat perusahaan yang jatuh terjerat hutang
karena sudah terlanjur memperoleh bantuan permodalan, namun tidak mampu
memanfaatkan modal tersebut untuk menghasilkan produk yang laku di pasaran.
Dengan kata lain, produk yang mereka hasilkan kalah dari produk lain, terutama
barang impor dari Cina.
Pada prakteknya banyak perusahaan yang merespon produk impor dengan
melakukan peniruan, ataupun melakukan sedikit pengubahan atas produk yang
sudah ada. Perusahaan cenderung menjadi follower. Perusahaan belum melakukan
inovasi sehingga mampu menghasilkan produk yang memiliki keunikan sendiri
yang berbeda dengan barang impor. Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator
Kampoeng Rajut, Kota Bandung, bahwa perusahaan cenderung merasa nyaman
dengan produk yang sudah ada. Padahal ada peluang lain seperti memproduksi
produk dengan fungsi dan motif yang baru.
Temuan tersebut sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Hudani and
Dhewanto (2015) yang mengungkapkan bahwa peniruan atau plagiarisme marak
dilakukan di industri kreatif khususnya fashion di Bandung, baik pada tahap
desain maupun produksi. Plagiarisme dianggap sebagai cara tercepat untuk
menghasilkan produk baru. Sejalan dengan hal itu, penelitian oleh Wiryono et al.
(2015) mengungkapkan bahwa pelaku industri kreatif di Kota Bandung cenderung
menganggap bahwa tidak memiliki hak cipta dan melakukan plagiarisme adalah
sesuatu yang normal dilakukan. Ketidakmampuan perusahaan berinovasi ini
pernah juga disinggung oleh Kepala Disperindag Jabar Ferry Sofwan Arief
15
sebagai salah satu penyebab lebih lakunya pakaian impor dibanding pakaian lokal
(Jati, 2015).
Di dalam literatur, sudah banyak yang menyatakan bahwa inovasi merupakan
pendorong terciptanya pembaharuan strategi terus menerus (strategic renewal)
dan adaptasi terhadap perubahan pasar, dimana keduanya merupakan faktor
penting untuk meraih keunggulan kompetitif (Delgado-Verde, Castro, & Amores-
Salvadó, 2016; Lin, Su, & Higgins, 2016) dan pertumbuhan usaha (Love, Roper,
& Bryson, 2011). Apalagi di industri kreatif yang memang mengandalkan
kreatifitas dan inovasi yang terus menerus (Granados, Bernardo, & Pareja, 2017).
Sehingga, tipe-tipe inovasi seperti inovasi produk, proses, pemasaran dan
organisasi (OECD, 2005) semestinya jamak dilakukan di industri kreatif. Oleh
sebab itu masih terdapat ruang untuk meningkatkan kinerja inovasi di kedua
kreatif provinsi Jawa Barat tersebut.
Hasil pengolahan survei pendahuluan terkait kemampuan perusahaan
menghasilkan produk, proses, metode pemasaran ataupun pengelolaan organisasi
dengan cara baru disajikan pada tabel berikut:
16
Tabel 1. 4
Hasil survei pendahuluan terkait produk, proses, pemasaran dan
pengelolaan organisasi dengan cara baru dalam tiga tahun terakhir
Deskripsi Modus
Penggunaan bahan baku baru 2
Penciptaan produk dengan kegunaan baru 3
Penggunaan metode produksi baru 2
Penggunaan peralatan produksi baru 2
Penggunaan metode logistik/distribusi/pengiriman produk 2
Penggunaan desain/kemasan yang tidak mengubah fungsi produk baru 2
Pengunaan metode baru untuk penempatan produk atau saluran penjualan 3
Penggunaan media/teknik promosi baru 3
Penggunaan metode penetapan harga barang yang baru 3
Penggunaan metode baru yang mengatur tanggung jawab kerja dan
pengambilan keputusan 3
Penggunaan metode baru yang mengatur hubungan eksternal seperti
membangun aliansi atau subkontrak 3
Penilaian berdasarkan skala Likert, skor 1 = paling rendah dan skor 5 = paling tinggi.
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Dari tabel di atas terlihat bahwa mayoritas responden menilai penggunaan
bahan baku baru, metode produksi baru, peralatan produksi baru, metode
logistik/distribusi/pengiriman produk, serta desain/kemasan yang tidak mengubah
fungsi produk berada pada skala 2 dari maksimal 5, yang berarti masih rendah.
Sedangkan untuk aspek lainnya ada pada skala 3 atau cukup tinggi.
Lebih jauh, berdasarkan wawancara pendahuluan juga diperoleh
informasi bahwa perusahaan merasa kesulitan mencari karyawan yang terampil.
Umumnya level pendidikan terakhir yang diselesaikan oleh karyawan adalah
jenjang SLTP/sederajat.
Survei pendahuluan mengkonfirmasi hasil wawancara tersebut.
Ditemukan bahwa 63% karyawan yang bekerja di industri kreatif fashion produk
tekstil berpendidikan SLTP dan sederajat. Sisanya berpendidikan
17
SD/sederajat/tidak menamatkan dan SLTA. Selengkapnya bisa dilihat pada
gambar berikut:
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Gambar 1. 6 Tingkat Pendidikan Terakhir Karyawan pada Industri Kreatif
Fashion Produk Tektil Jawa Barat
Hasil di atas sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Suwarsi
(2016), dan Ratnaningtyas and Lawiyah (2015) bahwa salah satu kendala yang
dihadapi oleh industri kreatif adalah pada aspek sumber daya manusia atau modal
manusia berupa tingkat pendidikan atau keahlian pekerja yang rendah. Kepala
Disperindag Jabar Ferry Sofwan Arief mengakui bahwa IKM produk tekstil saat
ini masih terkendala oleh kurangnya pengetahuan untuk terus menciptakan
kreatifitas dan inovasi (Jati, 2015).
Menurut Azis et al. (2017), industri kreatif menyandarkan kinerja mereka
kepada kreativitas dan modal pengetahuan yang tidak gampang habis dan tidak
dibatasi oleh strata sosial. Industri kreatif memiliki potensi untuk terus
berkembang apabila didukung oleh modal intelektual yang tidak mudah habis
tersebut. Modal intelektual merupakan kumpulan semua sumber daya
pengetahuan organisasi, yang berasal dari dalam maupun luar organisasi (Singh &
Rao, 2016a). Modal intelektual itu sendiri bisa diukur dari tiga aspek yakni :
SD/sederajat/tidak menamatkan
7%
SLTP/Sederajat63%
SLTA/Sederajat30%
18
modal manusia, modal struktural dan modal relasional. Modal manusia meliputi
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, kreativitas dan perilaku yang dimiliki
oleh karyawan. Modal struktural sumber daya yang melekat di perusahaan
berbentuk Standard Operating Proceduare/SOP, dokumentasi dan lain sebagainya.
Modal relasional merupakan kerjasama eksternal yang dilakukan oleh perusahaan
(Edvinsson & Malone, 1997; Montequin, Fernandez, Cabal, & Gutierrez, 2006).
Wawancara tersebut di atas, kemudian diperkuat melalui survei
pendahuluan terkait kemampuan dan kreatifitas karyawan, serta kerjasama
eksternal yang dibangun. Ditemukan informasi sebagai berikut:
Tabel 1. 5
Hasil survei pendahuluan terkait kemampuan dan kreatifitas karyawan,
serta kerjasama eksternal perusahaan
Deskripsi Modus
Pengalaman karyawan pada pekerjaan 3
Keterampilan kerja karyawan 3
Penciptaan ide kreatif dari karyawan 3
Pendokumentasian informasi dan pengetahuan 3
Kerjasama dengan pasar komersial (pesaing, konsumen, perusahaan
konsultansi/konsultan, pemasok bahan baku dan komponen, software
komputer dan laboratorium komersial)
4
Kerjasama dengan sektor publik (universitas dan institusi pendidikan tinggi,
lembaga riset pemerintah) 2
Kerjasama dengan asosiasi atau komunitas 3
Jumlah informasi yang diperoleh dari kerjasama 3
Penilaian berdasarkan skala Likert, skor 1 = paling rendah dan skor 5 = paling tinggi.
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa mayoritas responden menilai
kerjasama yang mereka lakukan dengan sektor publik (universitas dan institusi
pendidikan tinggi, lembaga riset pemerintah) masih berada pada kondisi 2 atau
rendah. Sedangkan kerjasama dengan pasar komersial (pesaing, konsumen,
19
perusahaan konsultansi/konsultan, pemasok bahan baku dan komponen, software
komputer dan laboratorium komersial) sudah tinggi / nilai 4. Sisanya mayoritas
masih berada pada kondisi cukup tinggi.
Selanjutnya, penelitian Tjakraatmadja, Martini, and Anggoro (2011) di
industri kreatif clothing di Bandung menunjukkan bahwa pengusaha merasa tidak
sepenuhnya merasa mendapatkan pengetahuan baru terkait pengelolaan bisnis dan
manajemen dari program berbagi pengetahuan (knowledge sharing) yang
melibatkan pemerintah, dunia usaha maupun akademisi. Hal itu salah satunya
disebabkan tidak sinkronnya antara program pemerintah, fokus akademisi dan
kepentingan pengusaha dalam rangka mengembangkan usaha.
Penelitian awal melalui wawancara juga mengungkapkan bahwa sebahagian
besar ide terkait pengembangan produk dan layanan berasal dari pengusaha.
Sumber ide adalah dari pengetahuan dan pengalaman pengusaha dimana
sebahagian besar masih bersifat melekat di pemikiran (tacit knowledge). Transfer
pengetahuan pengusaha kepada karyawan cenderung dilakukan melalui
komunikasi informal, pemagangan dan bersifat sporadis atau tidak terencana.
Pada beberapa usaha, karyawan juga bisa memberi masukan berdasarkan
pengalaman yang mereka miliki dari pelaksanaan kegiatan operasional perusahaan
dan dari hasil akuisisi pengetahuan konsumen. Namun demikian, belum terlihat
ada upaya sistematis untuk mengakuisisi pengetahuan tacit karyawan itu,
melainkan juga melalui diskusi informal yang sifatnya sporadis. Hal ini juga
diduga mempengaruhi tidak optimalnya pertumbuhan industri kreatif fashion
produk tekstil.
20
Pengelolaan pengetahuan, atau sering juga disebut dengan manajemen
pengetahuan, di dalam literatur didefinisikan sebagi aktivitas yang dilakukan oleh
organisasi untuk memanfaatkan sumberdaya pengetahuan yang dimilikinya, baik
yang bersifat tacit (melekat di pemikiran) maupun explicit (terdokumentasi dan
bisa diakses banyak orang) (Hsu & Sabherwal, 2012). Umumnya diskusi
mengenai manajemen pengetahuan dilakukan pada perusahaan besar, dan sangat
sedikit yang membahas pada perusahaan berukuran kecil dan menengah (Rodney
& Renee, 2001). Namun hal ini tidak berarti bahwa usaha kecil dan menengah
tidak membutuhkan manajemen pengetahuan. Sebagaimana Moran (1999)
menyatakan bahwa sebagaimana perusahaan besar, karyawan pada perusahaan
berukuran kecil dan menengah juga membutuhkan pengetahuan yang baru.
Karyawan harus mengetahui apa yang juga diketahui oleh rekan kerja mereka.
Oleh karena itu antar karyawan perlu saling berinteraksi dan berbagi pengetahuan.
Disamping itu, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh perusahaan kecil dan
menengah perlu disimpan sebagai referensi dimasa yang akan datang.
Pengetahuan akan bermanfaat bagi perusahaan jika pengusaha/manajer
mampu mensosialisasikannya kepada karyawan (Massaro, Handley, Bagnoli, &
Dumay, 2016). Proses manajemen pengetahuan melibatkan aktivitas: penciptaan
pengetahuan yaitu proses untuk mengakuisi/memperoleh serta mengembangkan
pengetahuan baru dan transfer pengetahuan yaitu menjadikan pengetahuan
bermanfaat bagi orang lain melalui distribusi dan diseminasi (Hsu & Sabherwal,
2012; Wu & Chen, 2014). Sehingga kemudian pengetahuan tersebut bisa
diaplikasikan di dalam perusahaan.
21
Survei awal terkait kemampuan perusahaan mencari, mendiseminasikan
dan mengaplikasikan pengetahuan baru menghasilkan data sebagai berikut :
Tabel 1. 6
Hasil survei pendahuluan terkait pencarian, pendiseminasian dan
pengaplikasian pengetahuan
Deskripsi Modus
Keikutsertaan pada acara pelatihan/berbagi pengetahuan dengan pihak luar 3
Pencarian informasi baru dari berbagai sumber 4
Eksperimentasi untuk menghasilkan teknik atau cara-cara kerja yang baru 3
Berbagi pengetahuan dari pengusaha/manajer ke karyawan 4
Berbagi pengetahuan dari karyawan ke pengusaha/manajer 3
Berbagi pengetahuan antar karyawan 4
Kemampuan perusahaan belajar dari kesalahan masa lalu 3
Penggunaan pengalaman masa lalu untuk menyelesaikan masalah saat ini 3
Penggunaan pengalaman masa lalu untuk menciptakan efisiensi saat ini 3
Penilaian berdasarkan skala Likert, skor 1 = paling rendah dan skor 5 = paling tinggi.
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Pada tabel di atas terlihat bahwa mayoritas reponden menilai bahwa
pencarian informasi baru dari berbagai sumber, berbagi pengetahuan dari
pengusaha/manajer ke karyawan, berbagi pengetahuan antar karyawan sudah
berada pada kondisi tinggi. Sedangkan sisanya, mayoritas responden memberikan
penilaian 3 atau cukup tinggi.
Selanjutnya, berdasarkan wawancara juga ditemui fenomena bahwa
perusahaan belum sepenuhnya mampu menilai kebutuhan pasar, dan bertindak
untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut sebelum kompetitor melakukannya.
Bahkan terdapat tendensi bahwa perusahaan melakukan sesuatu hanya
berdasarkan idealisme pengusaha semata tanpa analisis eksternal yang mendalam
untuk menilai apakah pasar membutuhkan produk atau layanan tersebut atau
tidak. Hal ini mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memahami kondisi
22
lingkungan eksternal perusahaan masih belum optimal. Hasil wawancara awal
tersebut sejalan dengan temuan Rufaidah and Sutisna (2015) di industri fashion
produk tekstil bahwa kepekaan terhadap peluang dan ancaman bisnis sebagai
salah satu titik kritis yang harus memerlukan perhatian. Diduga kondisi tersebut
juga mempengaruhi kinerja perusahaan.
Li and Liu (2014) menyatakan bahwa perusahaan perlu memiliki kemampuan
memecahkan masalah secara sistematis, yang dibentuk oleh kemampuan
perusahaan untuk merasakan peluang dan tantangan, mengambil keputusan tepat
waktu dan mengimplementasikan keputusan dan perubahan strategis secara
efisien untuk memastikan bahwa perusahaan menuju arah yang tepat.
Kemampuan tersebut diistilahkan sebagai kapabilitas dinamis, yang bisa diukur
dari banyak dimensi/sub variabel, diantaranya adalah dimensi/sub variabel
kapasitas penginderaan strategis, kapasitas pengambilan keputusan tepat waktu,
dan implementasi perubahan. Kapasitas penginderaan strategis adalah
kemampuan untuk merasakan dan menginterpretasikan stimulus dan perubahan
yang muncul dari internal dan eksternal, serta terus-menerus mencari dan
menganalisa informasi. Kapasitas pengambilan keputusan tepat waktu adalah
proses untuk secara cepat menformulasikan, mengevaluasi dan memilih orientasi
strategis agar bisa melakukan penyesuaian tepat waktu atas perubahan
lingkungan. Implementasi perubahan adalah penyesuaian kapasitas internal dalam
rangka merespon kebutuhan organisasi.
Hasil survei pendahuluan terkait hal ini disajikan pada tabel berikut:
23
Tabel 1. 7
Hasil survei pendahuluan terkait kemampuan mendeteksi stimulus
eksternal, mengambil keputusan dan mengendalikan karyawan
Deskripsi Modus
Tolok ukur/perbandingan dengan perusahaan lain 3
Diskusi bersama di dalam perusahaan terkait permintaan konsumen 4
Survei pasar untuk melihat perilaku konsumen, atau perubahan harga 4
Kecepatan penanganan perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan 3
Kecepatan perusahaan menyelesaikan masalah ketidakpuasan pelanggan 4
Sistem penghargaan/insentif karyawan 3
Sistem pengendalian/pengecekan karyawan 3
Penilaian berdasarkan skala Likert, skor 1 = paling rendah dan skor 5 = paling tinggi.
Sumber : Survei pendahuluan (data diolah oleh peneliti)
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai diskusi
bersama di dalam perusahaan terkait permintaan konsumen, survei pasar untuk
melihat perilaku konsumen, atau perubahan harga, serta kecepatan perusahaan
menyelesaikan masalah ketidakpuasan pelanggan mencapai kondisi tinggi (skor
4). Sedangkan sisanya dinilai oleh mayoritas responden berada pada kisaran
cukup tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, fenomena-fenomena yang terjadi diduga saling
mempengaruhi. Untuk memperoleh pemahaman mengenai keterkaitan antar
fenomena tersebut di industri kreatif fashion produk tekstil, diperlukan penelitian
lebih mendalam. Sehingga bisa dibuat sebuah model keterkaitan variabel untuk
penyelesaian masalah yang dihadapi, sekaligus memberikan sumbangan terhadap
khasanah ilmu pengetahuan. Hal itulah yang akan dilakukan oleh penelitian ini
lebih lanjut.
24
1. 2 Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, masih ada gap secara teoritis tentang
keterkaitan sumber daya pengetahuan dan pengelolaannya dalam upaya
mendorong inovasi di dalam perusahaan. Sehingga perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk menghasilkan model keterkaitan antar variabel yang lebih baik,
yang bisa berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan terutama ilmu manajemen
sumber daya manusia stratejik.
Secara praktek, survei pendahuluan menemukan fenomena bahwa
penguasaan pasar, pertumbuhan produksi, pertumbuhan penjualan, pertumbuhan
jumlah pelanggan, penghematan biaya dan pertumbuhan laba pada industri ini
belum sesuai harapan. Fenomena tersebut diduga terkait masalah kinerja
perusahaan di industri fashion produk tekstil.
Selain itu penelitian pendahuluan mengungkapkan fenomena bahwa tingkat
penggunaan bahan baku baru, metode produksi baru, peralatan baru, metode
logistik/distribusi/pengiriman produk baru belum memuaskan. Perusahaan
cenderung merasa nyaman dengan produk yang sudah ada. Perusahaan cenderung
menjadi follower dan belum mampu menunjukkan keunikan produk sendiri.
Perusahaan juga cenderung melakukan plagiarisme sebagai cara cepat untuk
menghasilkan produk. Fenomena tersebut diindikasikan terkait dengan masalah
kinerja inovasi.
Selain itu, terungkap pula bahwa mayoritas pendidikan formal karyawan
adalah setingkat SLTP/sederajat. Selain itu terungkap fenomena penciptaan ide
25
kreatif dari karyawan, pendokumentasian informasi dan pengetahuan, kerjasama
dengan sektor publik, kerjasama dengan asosiasi dan komunitas, serta jumlah
informasi yang diperoleh masih belum sesuai dengan harapan. Hal-hal tersebut
diduga terkait dengan masalah modal intelektual perusahaan. Disinyalir, hal ini
juga mempengaruhi kinerja inovasi dan kinerja perusahaan.
Lebih jauh lagi, pada industri kreatif ini juga ditemukan fenomena dimana
belum sempurnanya proses untuk menyerap pengetahuan dan proses transfer
pengetahuan kepada karyawan yang masih sporadis. Selain itu juga ditemukan
masih belum memuaskannya keikutsertaan perusahaan dalam kegiatan pelatihan,
serta penggalian pengetahuan karyawan oleh pengusaha/manajer. Hal-hal tersebut
diduga terkait dengan manajemen pengetahuan. Disinyalir, masalah manajemen
pengetahuan tersebut turut mempengaruhi kinerja inovasi dan kinerja perusahaan.
Juga terungkap fenomena bahwa perusahaan masih cenderung lama dalam
penanganan perbedaan pendapat, serta belum memuaskannya sistem penghargaan
dan pengendalian karyawan. Hal-hal ini terkait dengan permasalahan kapabilitas
dinamis. Diduga hal ini juga mempengaruhi kinerja inovasi dan kinerja
perusahaan di industri kreatif tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat dugaan keterkaitan antar
variabel. Kinerja perusahaan diduga sebagai variabel dependen. Sementara itu,
kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan diduga sebagai variabel
independen. Sedangkan modal intelektual dan kinerja inovasi diduga sebagai
mediasi pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap
kinerja perusahaan.
26
Berdasarkan identifikasi masalah dan dugaan keterkaitan antar variabel di atas,
maka penelitian ini akan melakukan studi lebih lanjut untuk membuktikan dan
menganalisis permasalahan yang ditemui sehingga bisa didapatkan solusi dan
memberikan kontribusi terhadap khasanah pengetahuan. Penelitian ini diangkat
dengan judul “Model kinerja perusahaan berbasiskan manajemen
pengetahuan, kapabilitas dinamis, modal intelektual dan kinerja inovasi
(survei pada industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat)”.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini melakukan analisis pada lima variabel : kapabilitas dinamis,
modal intelektual, manajemen pengetahuan, kinerja inovasi dan kinerja
perusahaaan, yang diduga saling mempengaruhi. Pemilihan variabel tersebut
berdasarkan beberapa fenomena lapangan yang ditemukan. Dengan kata lain,
penelitian ini tidak akan membahas variabel-variabel lain yang berkemungkinan
juga mempengaruhi kinerja perusahaan seperti masalahan keterbatasan modal
(keuangan) yang merupakan permasalahan yang cukup jamak ditemui pada IKM.
Unit yang akan di analisis pada penelitian ini adalah organisasi. Sedangkan
yang akan menjadi unit observasinya adalah pengusaha/pemilik/direktur/manajer
perusahaan. Sehingga analisis pada penelitian ini akan bersumberkan atas
tanggapan pengusaha/pemilik/direktur/manajer perusahaan atas indikator yang
digunakan untuk mengukur konstruk dan didukung oleh sumber data sekunder
lainnya.
27
1.2.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang diajukan pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal
intelektual, kinerja inovasi dan kinerja perusahaan di industri kreatif
fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
2. Bagaimana kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan
mempengaruhi modal intelektual baik secara simultan maupun parsial di
industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
3. Bagaimana kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal
intelektual mempengaruhi kinerja inovasi baik secara simultan maupun
parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
4. Bagaimana kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal
intelektual dan kinerja inovasi mempengaruhi kinerja perusahaan baik
secara simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di
Provinsi Jawa Barat.
5. Bagaimana kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan
mempengaruhi kinerja inovasi melalui modal intelektual baik secara
simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di
Provinsi Jawa Barat.
28
6. Bagaimana kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal
intelektual mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi baik
secara simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di
Provinsi Jawa Barat.
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan penelitian ini adalah untuk:
1. Menjelaskan tentang kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan,
modal intelektual, kinerja inovasi dan kinerja perusahaan di industri
kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
2. Menguji pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan
terhadap modal intelektual baik secara simultan maupun parsial di
industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
3. Menguji pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan
modal intelektual terhadap kinerja inovasi baik secara simultan
maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi
Jawa Barat.
4. Menguji pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan,
modal intelektual dan kinerja inovasi terhadap kinerja perusahaan baik
secara simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk
tekstil di Provinsi Jawa Barat.
5. Menguji pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan
terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual baik secara simultan
29
maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi
Jawa Barat.
6. Menguji pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan
modal intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi
baik secara simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk
tekstil di Provinsi Jawa Barat.
1. 4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki kegunaan
baik secara teoritis maupun praktis.
1.4.1. Aspek Teoritis (Pengembangan Ilmu)
a. Berkontribusi terhadap ilmu manajemen sumber daya manusia stratejik
tentang keterkaitan sumber daya pengetahuan dan pengelolaannya dalam
upaya mendorong inovasi di dalam perusahaan. Penelitian ini akan
membangun model keterkaitan antara variabel dan melakukan pengujian
secara empiris untuk membuktikan keterkaitan sumber daya pengetahuan,
pengelolaan pengetahuan dan inovasi di dalam perusahaan.
b. Mengembangkan metode pengukuran konstruk kapabilitas dinamis,
manajemen pengetahuan, modal intelektual, kinerja inovasi dan kinerja
perusahaan di industri fashion produk tekstil.
c. Memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya dengan topik terkait
kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual, kinerja
inovasi dan kinerja perusahaan. Sehingga bisa menjadi fondasi bagi
pengembangan keilmuan lebih lanjut.
30
1.4.2. Aspek Praktis (Guna Laksana)
a. Memberikan bukti empiris bagi manajemen tentang peran pengetahuan
dalam upaya penciptaan inovasi dan pencapaian kinerja perusahaan,
terutama di industri kreatif fashion produk tekstil.
b. Memberikan pesan kepada manajemen terkait pentingnya pengelolaan
kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual dalam
rangka meningkatkan kinerja inovasi dan kinerja perusahaan, terutama di
industri fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.
c. Memberikan informasi kondisi perusahaan di industri kreatif fashion
produk tekstil di Provinsi Jawa Barat bagi pengambil kebijakan. Sehingga
bisa diambil langkah-langkah perbaikan yang bisa menstimulus industri
untuk terus berkembang.