bab i pendahuluan 1. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Menurut Sulasman kebudayaan mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.1 Pendapat ini menggambarkan bahwa dalam setiap masyarakat pada suatu tempat
atau daerah tertentu pasti memiliki budaya yang mencakup beberapa hal di atas dan masing-
masing dari budaya itu memiliki keunikannya tersendiri, sehingga itulah yang membedakan
budaya dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Kebudayaan merupakan ciri dalam suatu masyarakat, karena dalam kebudayaan terdapat
nilai-nilai yang dianut untuk melakukan interaksi sosial kepada masyarakat lainnya.
Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa masyarakat adalah kelompok terbesar dari makhluk-
makhluk manusia yang hidup terjaring dalam suatu kebudayaan dan merasakan kebudayaan itu.2
Bisa dikatakan bahwa individu atau masyarakat yang hidup bersama dalam satu komunitas tentu
memiliki kebudayaan yang mengakar dari satu generasi ke generasi selanjutnya karena
kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.3 Sekalipun sebagai masyarakat
mempunyai kebudayaan yang berbeda, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat yang hakikat
yang berlaku secara umum bagi semua orang.4 Walaupun kita berbeda budaya, tetapi dalam
setiap budaya, ada nilai-nilai yang bisa kita petik dan kita jadikan sebagai pegangan dalam
menjalani relasi dengan sesama.
1H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 17. 2 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Djakarta: Penerbit Universitas, 1959), 100 3H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan, 29. 4 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: Alfabeta, 2013), 33.
2
Kebudayaan memiliki empat unsur penting yang dikemukakan oleh Melville J. Herskovits yaitu,
alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.5 Dalam penelitian ini
penulis lebih memfokuskan pada unsur keluarga yang akan dikaji dari perspektif konseling
prapernikahan berbasis budaya. Kehidupan keluarga adalah kehidupan yang nyata dan bukan
sekedar ilusi-ilusi sentimental.6 Membentuk sebuah keluarga bukanlah sesuatu yang mudah,
keluarga dituntun untuk berupaya secara terus-menerus melewati setiap kegagalan dan cobaan
yang menerpa kehidupan keluarga. Sebelum memasuki kehidupan keluarga melalui sebuah
pernikahan, kedua calon mempelai akan melewati tahap-tahap yang disebut dengan
prapernikahan. Dalam arti umum, pernikahan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara
pria dan wanita, atau atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap
dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan.7 Dalam mencapai tujuan tersebut,
tentunya dibutuhkan komitmen dari keduanya, karena jika hanya satu saja, maka tujuan tidak
akan tercapai. Oleh karena itu, dibutuhkan konseling prapernikahan terlebih dahulu dan
kemudian dilanjutkan dengan konseling pernikahan.
Berbicara mengenai konseling pernikahan, tentunya berkaitan erat dengan konseling
prapernikahan.8 Ibaratnya kita mau menolong seseorang mengatasi kesulitan-kesulitan sebelum
kesulitan itu timbul. Bila masing-masing pasangan mengharapkan hidup bahagia dalam
pernikahan, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah mencari dan meletakkan dasar
yang kokoh bagi kehidupan keluarga yang akan dibentuk melalui konseling prapernikahan.
Konseling prapernikahan merupakan konseling yang menitikberatkan perhatian pada hal-hal atau
permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita dalam tahap-tahap
5H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan, 38. 6 Marjorie L. Thomson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 16. 7Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius,
2007), 17. 8 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 23.
3
sebelum menjadi suami dan istri.9 Melalui konseling ini, mereka dibantu untuk menilai hubungan
mereka serta memperkenalkan mereka kepada cara-cara bagaimana mengusahakan pernikahan
yang bahagia dan berhasil. Untuk mencapai pernikahan yang bahagia dan berhasil tentunya ada
faktor-faktor yang mendasarinya, antara lain: penyesuaian diri, empati, kemampuan untuk
memecahkan masalah, kesanggupan memberi dan menerima cinta, kestabilan emosi, kemiripan
latar belakang keluarga, kesamaan antar pasangan dan komunikasi.10
Tak dapat dipungkiri banyak calon suami/istri yang memasuki pernikahan dengan
masalah-masalah besar ataupun dalam suatu situasi hubungan yang memiliki potensi
menimbulkan masalah yang dapat merusak dan menghancurkan pernikahan mereka bila tidak
diatasi terlebih dahulu.11
Mereka cenderung mengabaikan, meremehkan atau bahkan mungkin
tidak menyadari adanya masalah atau potensi timbulnya masalah tersebut. Oleh karena itu,
konseling prapernikahan ini penting dilakukan dengan beberapa tujuan.12
Pertama, mendeteksi
dan menyadarkan calon suami/istri tentang adanya masalah dan situasi yang mungkin dapat
menghancurkan pernikahan mereka kelak. Kedua, mengajarkan kepada pasangan tentang makna
suatu upacara pernikahan, sehingga mereka dapat mengerti arti janji nikah yang akan mereka
ucapkan dan komitmen yang akan mereka pikul sepanjang pernikahan mereka.
Perlu ditekankan bahwa konseling prapernikahan bukanlah suatu penghalang atau
rintangan terakhir yang harus dilalui sebelum mereka menikah, tetapi justru dapat memberikan
banyak manfaat bagi mereka. Manfaat tersebut antara lain,13
membantu mereka untuk
mengembangkan potensi-potensi positif yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal
9 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 28. 10J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 36-39. 11 Jonathan A. Trisna, Konseling Pra-Nikah, (Jakarta: Institut Theologia dan Keguruan Indonesia, 2002), 2. 12 Jonathan A. Trisna, Konseling Pra-Nikah, 2-3. 13 Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 7-9.
4
negatif, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari dalam kehidupan pernikahan mereka.
Kedua, membantu mereka untuk memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah. Saat mereka
merasakan jatuh cinta, kebanyakan mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi ke depan,
mereka fokus pada apa yang terjadi saat ini.
Oleh sebab itu, dengan adanya konseling prapernikahan mereka dapat membicarakan apa
yang akan terjadi dalam hubungan mereka kedepan sebelum memasuki kehidupan pernikahan,
sehingga mereka lebih siap menghadapi berbagai kesalahpahaman ke depannya. Ketiga,
mengulas isu finansial dengan lebih terarah. Isu finansial ini merupakan hal penting yang perlu
didiskusikan oleh pasangan sebelum menikah. Keempat, mengasah kemampuan pasangan untuk
berkomunikasi. Hubungan yang sehat beranjak dari komunikasi yang baik, sebab komunikasi
adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan dan stabilitas pernikahan.14
Kelima,
meningkatkan kepuasan pernikahan. Konseling prapernikahan membantu pasangan
mengkomunikasikan juga mengidentifikasi kekhawatiran mereka, hasrat, keyakinan, nilai,
mimpi-mimpi, kebutuhan dan beban hidup lainnya yang kebanyakan dihindari atau diabaikan.
Keenam, membantu mereka untuk mampu memiliki kemampuan menyelesaikan setiap konflik
yang ada.
Dari beberapa penelitian berkaitan dengan konseling prapernikahan, baik di Barat
maupun di Indonesia pada jaman sekarang ini, lebih terlihat bentuk bimbingan yang terstruktur
dan formal. Dalam agama Katolik contohnya, ada kursus yang harus diikuti oleh pasangan yang
akan menikah.15
Melalui kursus tersebut, mereka dipersiapkan untuk lebih memahami pernikahan
14 Farnaz Farnam, Minoo Pakgohar, Mandana Mir-mohammadali, Effect of Pre-Marriage Counseling on Marital
Satisfaction of Iranian Newlywed Couples: A Randomized Controlled Trial (Iran: 2011), 10. 15 Tim Pusat Pendampingan Keluarga, “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius,
2007), 13.
5
Katolik sebagai syarat wajib sebelum menikah untuk lebih memantapkan niat memasuki jenjang
pernikahan.
Selain agama Katolik, ada pemahaman lain dari Jill Duba Sauerheber and James Robert
Bitter, yang mengatakan bahwa pasangan yang akan menikah harus mengikuti bimbingan
prapernikahan yang bentuknya semacam lokakarya untuk mereka lebih merefleksikan hubungan
mereka dan menerapkan berbagai keterampilan tentang bagaimana membangun hubungan serta
mengembangkan spiritualitas dalam memasuki kehidupan pernikahan.16
Dari segi waktu
bimbingan prapernikahan ini biasanya dilaksanakan satu minggu sebelum menikah.
Dari ketiga pendapat di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bimbingan prapernikahan
menjadi sesuatu yang wajib diikuti oleh pasangan untuk dipersiapkan, baik secara pemahaman
dasar, maupun kiat-kiat dalam membentuk satu keluarga. Bila melihat kenyataan yang terjadi di
lapangan, kadang berbeda jauh, misalnya di gereja bimbingan prapernikahan atau yang sering
disebut penggembalaan nikah bagi calon pengantin. Proses penggembalaan dilakukan dua atau
satu hari menjelang hari pernikahan dan materi yang diberikan hanya berdasarkan Alkitab atau
buku-buku pedoman lainnya. Menurut penulis, ini bukan sebuah konseling prapernikahan yang
efektif. Karena konseling prapernikahan membutuhkan waktu yang lama untuk mempersiapkan
pasangan memasuki kehidupan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga.
Dalam budaya masyarakat suku Lauje, Mangantar merupakan tradisi yang sudah
tertanam dan terus menerus dilakukan, sekalipun telah mengalami perkembangan jaman. Ketika
ada seorang laki-laki dan perempuan yang akan menikah, mereka wajib untuk melakukan tradisi
ini. Menurut pemahaman suku Lauje, pasangan tidak bisa menikah jika belum diadakan adat
16 Jill Duba Sauerheber & James Robert Bitter, An Adlerian Approach ¡n Premarital Counseling with
Religious Couples, The journal of Individual Psychology, Vol. 69, No. 4, Winter 2013.
6
lamaran. Setiap ritual yang dilakukan dalam Mangantar, tanpa kita sadari disitulah proses
konseling prapernikahan sedang berlangsung. Proses ini tidak menggunakan materi dalam
bentuk buku atau apapun itu, karena semua ritual memiliki makna yang bisa dijadikan pegangan
ketika memasuki kehidupan pernikahan.
Jika penulis melihat dari konteks budaya, ada perbedaan yang ditemukan oleh penulis,
misalnya dalam budaya suku Lauje. Konseling prapernikahan dalam masyarakat suku Lauje
sudah terlihat mulai dari tahap peminangan sampai dengan tahap Mangantar (melamar) dengan
selisih waktu yang cukup lama. Mereka sangat menghargai tradisi Mangantar dan menganggap
bahwa setiap ritual ada nilai-nilai spiritual yang bisa dipetik untuk dijadikan sebagai bekal
memasuki kehidupan pernikahan. Tidak hanya itu saja, dalam proses konseling prapernikahan
melalui tradisi Mangantar ada barang-barang hantaran yang bisa dijadikan sebagai media
konseling. Dari barang-barang hantaran itu, sudah terlihat bagaimana mereka dipersiapkan untuk
membentuk satu keluarga. Di Indonesia, bukan hanya suku Lauje, tetapi suku-suku lain juga
punya tradisi yang sama seperti suku Lauje. Misalnya suku Minahasa yang biasa disebut Maso
minta, suku Jawa, yang dikenal dengan tradisi Midodareni dan suku Bugis yang dikenal dengan
tradisi Botting.
Dalam menjalin kehidupan, manusia tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai yang
terkandung di setiap budaya. Oleh sebab itu, pada penelitian ini penulis mengangkat Mangantar.
Mangantar adalah istilah untuk proses lamaran adat Suku Lauje. Suku Lauje adalah masyarakat
asli Tolitoli yang mendiami wilayah kecamatan Dondo. Mereka biasa disebut sebagai "Ogo
Ongga Onggasan" atau "Anggasan" yang artinya "bunyi air yang deras." Nama tersebut diambil
karena di wilayah ini terdapat sebuah sungai yang membatasi pemukiman penduduk antara 2
dusun, yaitu dusun Kubir dan dusun Jongin. Dahulu sungai tersebut airnya sangat deras sehingga
7
dari kejauhan terdengar gemuruh air dari sungai ini. Tempat tinggal orang Lauje bermacam-
macam, ada yang tinggal dekat dengan sungai desa Luokmanipi dan ada juga yang masih tinggal
di hutan. Kehidupan sebagian besar orang Lauje ada yang sudah berbaur dengan masyarakat
sekitar, tetapi ada juga sebagian masih hidup dan tinggal di gunung wilayah Teluk Tomini,
Pantai Timur, Kabupaten Parigi Moutong.17
Terselenggaranya suatu pernikahan didahului oleh beberapa tahap, yaitu pelamaran yang
disebut Mangantar, penerimaan lamaran, penyerahan mas kawin, dan pernikahan. Lamaran dari
pihak pria kepada pihak wanita disampaikan dengan cara mengirim utusan yang membawa
piring batu (tolang). Bila pinangan diterima, pihak pria menyiapkan 11 barang pinangan sebagai
tanda pengikat kepada pihak perempuan, yaitu sehelai sarung batik (bate'), baju kebaya (kabaya),
sepasang gelang (gonge), sepasang anting-anting (anti-anti), jarum (siji'), satu gulung benang
jahit (gapase), sisir (sasalau), satu untai peniti (paniti), sebuah cermin (pandangan) dan bedak
(pupure). Barang lamaran ini diantar oleh kepala adat pihak pria bersama ayah dan saudara
sekandung calon mempelai itu disertai dengan saling berbalasan pantun. Penerimaan lamaran
(tinarimane) oleh pihak wanita ditutup dengan makan bersama. Penyerahan mas kawin
dilaksanakan setelah dua atau tiga hari lamaran diterima. Dalam penyerahan mas kawin ada
percakapan dari kepala adat, orang tua dan kedua calon mempelai. Percakapan tersebut
membahas 3 hal, yang pertama tentang sejarah atau silsilah keluarga. Hal tersebut dianggap
penting oleh masyarakat suku Lauje karena menghindari adanya pernikahan satu darah.
Percakapan berikutnya membahas tentang Moar atau persyaratan untuk memasuki pernikahan
seperti piring, parang, harus memotong ayam 2 ekor setelah itu dibakar. Moar dalam masyarakat
suku Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah. Percakapan yang terakhir berisi nasehat-
17
Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje), Salatiga 6 Februari 2017.
8
nasehat dari kepala suku dan orang tua yang berkaitan dengan kesiapan mereka memasuki
kehidupan rumah tangga.18
Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri
oleh pria yang telah menikah. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara adat. Mas kawin
itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai
pembuka kata dan satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa. Mas kawin yang
sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan
pedang yang berisi empat buah piring batu.19
Berdasarkan proses Mangantar di atas terkait
dengan konseling perlu adanya komunikasi yang tidak hanya melihat perjumpaan fisik dengan
orang lain, tetapi juga hubungan yang bisa saling menerima, menghargai dan saling mengakui
keunikan setiap individu maupun memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.20
Itulah yang membuat Mangantar bisa menjadi jawaban sebagai suatu pendekatan konseling
berbasis budaya dalam menjawab masalah-masalah yang terkait dengan hubungan dan kesatuan
budaya.
Konseling berbasis budaya adalah proses konseling yang terjadi antara konselor dan
konseli dengan mengedepankan nilai-nilai budaya juga mengkolaborasi nilai-nilai konseling.
Menurut saya, proses konseling dengan perpaduan nilai-nilai budaya akan menjadi keunikan
tersendiri dan mudah menjadi sebuah metode dalam menyelesaikan sebuah masalah dalam
budaya tertentu. Konselor dalam proses konseling ini perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai
yang berlaku secara umum di dalam masyarakat. Selain itu, diperlukan kesamaan dalam
18Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje). 19Wawancara via telepon dengan Bpk. Thei (Kepala Suku Lauje), Salatiga 6 Februari 2017. 20 J.D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 17.
9
pandangan, sehingga itu dapat menjadi langkah awal bagi konselor untuk melakukan konseling
berbasis budaya.
Pemahaman tentang konseling berbasis budaya dilandasi dari munculnya teori
pendekatan multikultural yang menurut Falicov adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang
memungkinkan fungsi kultur dan interaksi, terleburkan menjadi kepedulian tentang kultural
orang lain.21
Sependapat dengan itu, maka nilai-nilai budaya dalam suku Lauje bisa dijadikan
sebagai acuan untuk melakukan konseling berbasis budaya. Berdasarkan uraian di atas penulis
tertarik melakukan penelitian dengan judul :
“MANGANTAR”
Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan Dalam Masyarakat Suku Lauje Sebagai
Pendekatan Pendampingan Prapernikahan
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah bagaimana
Mangantar menjembatani proses lamaran menuju pernikahan dalam masyarakat suku Lauje
sebagai pendekatan pendampingan prapernikahan? Rumusan masalah tersebut dibagi ke dalam
tiga pokok penelitian. Pertama, bagaimana asal-usul dan pemaknaan Mangantar dikaji dari
perspektif konseling multikultural dan pastoral budaya? kedua, bagaimana pelaksanaan proses
Mangantar dikaji dari perspektif Pastoral budaya dan konseling prapernikahan? ketiga,
bagaimana konsep dan praktik Mangantar menjadi media pendampingan prapernikahan?
Fokus penelitian yang telah dipaparkan di atas dimaksudkan untuk mencapai tujuan
penelitian. Adapun tujuan penelitian adalah pertama, mengkaji asal-usul dan pemaknaan
Mangantar dari perspektif konseling multikultural dan pastoral budaya. Kedua mengkaji
21 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2006), 275.
10
pelaksanaan proses Mangantar dari perspektif pastoral dan konseling prapernikahan. Ketiga,
mengembangkan konsep dan praktek Mangantar menjadi media dan pendampingan
prapernikahan berbasis budaya bagi masyarakat Suku Lauje.
3. Manfaat Penelitian
Selain mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, melalui penelitian ini
penulis berharap dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat Kabupaten Tolitoli, terlebih
khusus bagi masyarakat Kecamatan Dondo dan Jemaat GPIBT Petra Kinapasan. Kontribusi ini
berguna untuk memperkaya dan menambah pemahaman tentang suku Lauje dan Mangantar bagi
masyarakat suku Lauje sebagai pendekatan pendampingan berbasis budaya yang dapat dijadikan
acuan dalam pelayanan pastoral gereja. Kemudian melalui penelitian ini, penulis mengharapkan
dapat memberikan pengaruh kepada Program Studi Pascasarjana Sosiologi-Agama Universitas
Kristen Satya Wacana agar lebih memperhatikan dan memperdayakan nilai-nilai kearifan lokal
sebagai instrumen pastoral bagi masyarakat. Selanjutnya, melalui penelitian ini sebagai penulis
berharap berguna bagi diri penulis sebagai calon pelayan Gereja kedepannya. Dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis kiranya dapat memberikan motivasi untuk mengembangkan potensi
dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat melalui kompetensi akademis dalam bidang ilmu
sosiologi agama dan konseling pastoral.
4. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian deskriptif-analitis yakni
penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, melakukan interpretasi dan
11
menganalisis secara mendalam dan memberikan rekomendasi bagi keperluan masa yang akan
datang.22
Dalam penelitian yang dideskripsikan dan dianalisis ini adalah Mangantar dari
perspektif konseling prapernikahan berbasis budaya. Jenis penelitian ini ialah penelitian
kualitatif, yakni suatu metode untuk menangkap dan memberikan gambaran terhadap fenomena
tertentu dalam kehidupan manusia, mengeksplorasi dan memberikan penjelasan dari fenomena
yang diteliti tersebut.23
Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Observasi dalam hal ini
penulis mengamati kehidupan masyarakat suku Lauje, khususnya dalam acara lamaran atau
Mangantar.24
Teknik berikutnya adalah wawancara yang bertujuan untuk mencoba mendapatkan
keterangan secara lisan dari beberapa responden, melalui percakapan.Wawancara ini bermaksud
untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian-pendirian mereka.25
Dalam pengambilan data, dipakai beberapa orang untuk menjadi
sumber data atau informan kunci, dalam hal ini Tokoh-tokoh adat dan Kepala suku Lauje. Jika
data yang diberikan belum lengkap, maka penulis mencari data tambahan melalui orang lain.
Sumber data atau informan yang dipakai adalah beberapa masyarakat Suku Lauje yang telah
melakukan tradisi Mangantar.
5. Rencana Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Bab satu berisi tentang pendahuluan yang
menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitian, lokasi penelitian dan sistematikan penulisan. Bab dua berisi tentang
22 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 89. 23 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 8. 24 W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 116. 25 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia, 1981), 162.
12
konseling multikultural, pastoral budaya dan konseling prapernikahan yang meliputi
pemahaman, karakteristik, dan tujuan. Bab tiga berisi tentang hasil penelitian yang meliputi
deskripsi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dikaji dari konseling multikultural, deskripsi
pelaksanaan proses Mangantar dikaji dari konseling prapernikahan serta mengembangkan
konsep dan praktik Mangantar menjadi media pendampingan prapernikahan berbasis budaya
bagi masyarakat suku Lauje. Bab empat berisi tentang pembahasan dan analisa yang meliputi
kajian asal-usul dan pemaknaan Mangantar, kajian pelaksanaan proses Mangantar dan analisa
mengembangkan Mangantar sebagai suatu pendekatan pendampingan prapernikahan berbasis
budaya bagi masyarakat suku Lauje. Bab lima berisi tentang Mangantar sebagai pendampingan
prapernikahan, yang meliputi landasan filosofis, nilai-nilai spiritual dan desain pendekatan
pendampingan prapernikahan Mangantar. Bab enam berisi tentang penutup yang terdiri dari
kesimpulan berupa temuan-temuan terhadap hasil penelitian dan saran terkait dengan kontribusi-
kontribusi untuk penelitian lanjutan.