bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang
termasuk dalam daerah pesisir. Semarang memiliki laut dengan panjang garis
pantai mencapai 21 km dan lebar 6,5 km sehingga kota ini memiliki kampung-
kampung pesisir yang masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Wilayah yang mereka tempati merupakan peralihan dari daratan dan lautan
sehingga penggelolaan ikan sangat banyak di wilayah ini (Fama, 2016: 1). Kota
Semarang terdapat dua kampung nelayan, yaitu Tambak Lorok dan Mangunharjo
namun, penelitian ini fokus mengkaji wilayah Tambak Lorok karena Tambak
Lorok merupakan kampung nelayan terbesar di Semarang dengan jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai nelayan lebih banyak dibandingkan dengan
kampung nelayan di Mangunharjo. Tambak Lorok merupakan daerah pesisir yang
terletak di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara. Tambak Lorok
memiliki sumber daya perikanan yang cukup baik. Aktivitas pencarian ikan sudah
menjadi mata pencaharian sebagian masyarakatnya sejak puluhan tahun yang lalu,
sehingga perkampungan Tambak Lorok sangat erat kaitannya dengan masyarakat
nelayan dan mayoritas penduduk Tambak Lorok berprofesi sebagai nelayan.
Dalam perspektif stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat nelayan bukanlah
masyarakat yang homogen karena masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok
sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya
ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, tingkat keberagaman (heterogenitas)
kelompok sosial yang ada dipengaruhi oleh tingkat perkembangan desa-desa
pesisir. Wilayah pesisir yang memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup
besar memberi peluang sebagai mata pencaharian masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan merupakan unsur yang paling penting dalam struktur
masyarakat pesisir sehingga kebudayaan yang mereka miliki terdapat karakteristik
budaya yang khas. Salah satu karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya
-
2
masyarakat nelayan adalah patron-client. Patron–client merupakan basis relasi
masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Relasi sosial patron-client dalam
masyarakat nelayan sangat dominan dan terbentuk karena karakteristik kondisi
mata pencaharian, sistem ekonomi dan lingkungan. Hubungan-hubungan
demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran dan
kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan patron-client dapat menghambat atau
mendukung perubahan sosial ekonomi keluaga nelayan (Kusnadi, 2009: 38-39).
Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang berkembang, hidup dan
tumbuh di wilayah pesisir. Masyarakat nelayan memiliki beragam kategori sosial
yang membentuk kesatuan sosial. Masyarakat nelayan juga memiliki sistem nilai
dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi prilaku mereka sehari-hari.
Kebudayaan ini merupakan pembeda antara masyarakat nelayan dengan
masyarakat lainnya, namun ada juga persamaan masyarakat nelayan dengan
masyarakat lainnya seperti masyarakat nelayan juga mengalami sejumlah masalah
ekonomi, sosial dan politik yang kompleks. Masalah-masalah yang dihadapi oleh
nelayan ialah yang pertama, kesenjangan sosial dan kemiskinan yang terjadi di
setiap saat. Kedua, kurangnya akses modal, kurangnya pemahaman mengenai
teknologi dan kurangnya jaringan pemasaran hasil tangkap. Ketiga, kurangnya
atau lemahnya fungsi kelembagaan sosial ekonomi. Keempat, Sumber Daya
Manusia (SDM) yang rendah mengakibatkan keterbatasan pendidikan, kesehatan
dan pelayanan publik. Kelima, penurunan sumber daya lingkungan di kawasan
pesisir dan di pulau-pulau kecil. Keenam, kurang kuatnya kebijakan pemerintah
mengenai pemberantasan kemiskinan sebagai pembangunan nasional (Kusnadi,
2009: 28).
Nelayan identik dengan keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal,
posisi tawar dan akses pasar. Usaha perikanan tangkap hanya mampu memenuhi
kebutuhan dasar dan seringkali juga kurang. Keterbatasan pemilikan aset ialah ciri
umum masyarakat miskin termasuk nelayan dimana contohnya tergambar dari
kondisi rumah. Rumah nelayan biasanya terletak di pinggir pantai, di pinggir jalan
raya atau jalan kampung, umumnya merupakan bangunan non permanen atau
semi permanen, beratap genting, berdinding bambu dan berlantaikan tanah.
-
3
Rumah nelayan biasanya berukuran 5x8 meter atau kurang yang terdiri dari dua
buah kamar tidur, ruang tamu dan dapur yang hanya dibatasi oleh dinding bambu.
Terkadang di dalam rumah ada sangkar burung dan ada juga nelayan yang
memiliki hewan peliharaan seperti kambing dan beberapa ekor ayam. Kandang
hewan peliharaan ditempatkan bersebelahan dengan dapur atau berada di dapur,
selain itu di ruang tamu ada sebuah meja dan kursi yang sederhana serta ventilasi
rumah nelayan juga kurang baik sehingga bau ikan seringkali menyengat. Berbeda
dengan rumah juragan atau bakul jauh lebih mewah daripada rumah nelayan.
Rumahnya bernilai ratusan juta rupiah dan bangunannya permanen berukuran
12x15m. Ada halaman luas yang ditutup paving yang biasanya digunakan untuk
parkir kendaraan. Di dalamnya ada perabotan mewah, lampu kristal, televisi,
video, tape recorder, kulkas dan lain-lain (Siswanto, 2008: 85-87).
Masyarakat nelayan dibagi menjadi tiga kategori dilihat dari berbagai
sudut pandang, yaitu yang pertama mengenai penggunaan alat tangkap dan
kepemilikan alat tangkap serta struktur nelayan yang dibagi menjadi dua kategori,
yaitu kategori nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki
alat tangkap, mereka hanya memberikan jasa atau tenaganya saja. Kedua, nelayan
juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan kecil dan nelayn besar. Nelayan
besar ialah nelayan yang mempunyai modal besar digunakan untuk modal melaut.
Berbeda dengan nelayan kecil yang kesulitan mengenai modal sehingga harus
meminjam kesanak saudara, teman atau bakul. Ketiga, nelayan dapat
dikategorikan berdasarkan teknologi, yaitu nelayan modern dan nelayan
tradisonal. Nelayan modern ialah nelayan yang mengunakan alat tangkap canggih,
sedangkan nelayan tradisional masih menggunakan alat tangkap manual atau
model lama. Perbedaan tersebut membedakan pendapatan, kesejahteraan
ekonomi dan kemampuan mereka. (Kusnadi, 2006: 2-3).
Nelayan tradisional dan nelayan buruh memang berada pada posisi yang
lemah. Hal itu dapat dilihat dari segi permodalan, mereka sangat bergantung
kepada para pemilik modal seperi bakul atau juragan. Ketiadaan modal
mengakibatkan nelayan kecil sering meminjam modal ke bakul untuk biaya
operasi penangkapan. Selain itu, banyak nelayan yang harus meminjam uang
-
4
untuk membeli peralatan melaut seperti perahu dan alat tangkap. Utang tersebut
berlanjut atau bertambah banyak karena berbunga sehingga tidak terbayarkan.
Dengan kata lain, nelayan kecil ini “terjerat utang”. Sebagai pengganti dari
pinjaman tersebut mereka harus menjual hasil tangkapan kepada bakul atau
juragan yang meminjamkan modal tersebut. Di sini posisi nelayan sangat lemah,
mereka hanya dapat menerima saja harga yang ditetapkan oleh para bakul. Harga
yang ditawarkan biasanya di bawah harga pasar (Imron, 2003: 77-78).
Hubungan nelayan dan bakul sangat kuat orientasinya untuk kepentingan
jangka panjang. Kerjasama nelayan dengan bakul memiliki kepentingan, yaitu
untuk mengatasi kesulitan nelayan mengenai modal dan untuk memasarkan hasil
tangkapannya. Akan tetapi, kerjasama tersebut membuat nelayan menjadi
dirugikan karena penetapan harga ditentukan sepihak oleh bakul. Keterlibatan
bakul dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan karena jaringan perdagangan
ikan sudah dikuasai oleh bakul sehingga nelayan kesulitan untuk memasarkan
hasil tangkapannya. Permasalahan mendasar yang selalu dihadapi nelayan ialah
penghasilan yang tidak pasti sehingga nelayan kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarganya. Seharusnya nelayan dapat mengelola sumber
daya secara efektif dan efesien sehingga mereka dapat menghasilkan penghasilan
yang lebih baik. Dengan cara seperti itu, nelayan akan merasa aman dan mampu
melewati masa kritis yang dapat mengancam kelangsungan kehidupannya
(Kusnadi, 2006: 11-15). Nelayan seakan ditolong oleh bakul untuk mengatasi
modal namun sebenarnya seakan-akan mereka menyerahkan batang lehernya
untuk ditebas. Bakul akan senang hati meminjamkan modal kepada nelayan
karena nelayan akan merasa sungkan bila menjual hasil tangkapanya ke tempat
lainnya, ia akan menjual ke bakul dengan harga yang murah dan tidak adanya
tawar menawar antara bakul dengan nelayan. Hal ini terjadi karena nelayan
memiliki nilai “sungkan” ke bakul. Istilah inilah yang biasa dikenal dengan nama
“gantungan” (Siswanto, 2008: 88-89).
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah berusaha untuk mengatasi
kemiskinan, akan tetapi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah itu gagal
karena adanya resistensi yang sangat kuat dari pedagang dan beberapa pihak yang
-
5
diuntungkan dengan “gantungan” tersebut. Sementara itu nelayan tidak memiliki
kesadaran dan motivasi yang sangat kuat untuk berubah dan melepaskan diri dari
jerat kemiskinan. Kesulitan perekonomian nelayan selalu dihadapi dengan sabar.
Ia akan meminjam uang jika kondisi terdesak dan akan meminjam ke keluarga,
apabila keluarga tidak punya ia akan meminjam ke teman (Siswanto, 2008: 89).
Keterbatasan lainnya yang dihadapi oleh nelayan ialah rendahnya posisi
tawar. Bakul sebagai pembeli justru yang memasang harga, bukan nelayan sebagai
penjual. Bakul yang minoritas bersatu mempermainkan harga seenaknya,
sedangkan nelayan yang mayoritas kesulitan menghadapinya. Nelayan tidak ada
pilihan lain selain menjaul ke bakul karena jika tidak dijual langsung ikan akan
menjadi busuk dan rusak, hargapun menjadi jatuh lebih rendah. Hal tersebut
disebabkan karena nelayan tidak memiliki tempat penyimpanan ikan seperi cold
box atau cold storage sehingga membuat nelayan mau tidak mau harus menjual
ikanya dengan harga yang sudah ditentukan oleh bakul (Siswanto, 2008: 91).
Kesulitan-kesulitan nelayan tersebut tidak hanya datang dari manusia saja
namun alam juga mempengaruhi pendapatan nelayan apalagi alam sering tidak
bersahabat dengan nelayan. Pada saat angin besar, nelayan tidak dapat berlayar
atau melaut karena jika nelayan memaksakan melaut pada saat seperti itu akan
membahayakan keselamatan nelayan. Pada saat angin besar biasanya disebut
dengan musim paceklik. Pada saat musim paceklik nelayan tidak mendapatkan
penghasilan sehingga tak jarang harus menjual harta bendanya seperti emas,
perabotan rumah tangga dan lain-lain demi untuk bertahan hidup. Perubahan
musim menjadikan kehidupan nelayan dan keluarganya semakin terpuruk.
Perubahan iklim membuat cuaca tidak menentu dan pola musim juga berubah,
yakni musim paceklik cenderung semakin lama. Tentu saja kondisi seperti ini
membuat nelayan semakin terpuruk dan terpinggirkan (Kinseng, 2014:39-40).
Selain karena faktor alam, kemiskinan yang dihadapi oleh nelayan juga
karena keterbatasan teknologi alat tangkap. Teknologi yang terbatas tersebut
mengakibatkan ketergantungan terhadap musim menjadi sangat tinggi sehingga
wilayah dan hasil tangkapnya juga terbatas. Selain itu, kondisi sumberdaya
perikanan yang bersifat milik umum telah mengakibatkan terjadinya persaingan
-
6
dalam memperebutkan sumberdaya sehingga para nelayan tradisional akan selalu
kalah dalam persaingan. Kondisi inilah yang mengakibatkan pendapatan nelayan
menjadi rendah. Keadaan itu menjadi lebih buruk bagi buruh nelayan sehingga
nelayan hanya mengandalkan bagi hasil dengan para juragan. Dengan sistem bagi
hasil yang cenderung timpang, maka kesenjangan pendapatan antara buruh
nelayan dengan juragannya juga tidak dapat terhindarkan. (Imron, 2003: 63-79).
Dalam mengatasi kemiskinan masyarakat nelayan, pemerintah telah
melaksanakan berbagai program seperti kebijakan modernisasi perikanan yang
telah diimplementasikan oleh pemerintah, itu merupakan kebijakan pembangunan
yang bersifat top down yang tidak melibatkan komunitas nelayan dalam
memikirkan persoalan-persoalan dan kebutuhan mendesak yang mereka perlukan
untuk meningkatkan penghasilan mereka. Dalam paradigma pembangunan yang
bersifat top down, ada pemikiran bahwa pemerintah sudah mengetahui semua
persoalan nelayan sehingga merekalah yang dapat mencari jalan keluarnya,
sedangkan nelayan dianggap pasif. Hasilnya adalah modernisasi perikanan hanya
menyentuh golongan tertentu, yaitu nelayan kaya dan birokrat pemerintah,
sementara nelayan miskin tetap dalam kemiskinan karena mereka tidak memiliki
akses, khususnya modal untuk memiliki teknologi tangkap ikan yang
diperkenalkan melalui modernisasi penangkapan (Nasution el al, 2005:26).
Kemiskinan yang seperti itu menurut Seomardjan (1981) disebut sebagai
kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang berlakunya struktural sosial dan
bersifat memberi kesempatan berlebih pada golongan sosial tertentu tetapi
sebaliknya, menghambat golongan sosial lainnya dalam mengakses sumber-
sumber kesejahteraan yang tersedia. Dalam interaksi antar golongan sosial,
berlangsung eksploitasi satu sama lainnya sehingga golongan yang satu
menikmati kesejahteraan, sebaliknya ada golongan yang lain menderita
kemiskinan.
Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah
maupun pihak-pihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan
sumberdaya laut, pemerintah telah membuat peraturan yang tercantum dalam
perundangan yang ada seperti Peraturan Menteri No 2 Tahun 2015. Peraturan-
-
7
peraturan tersebut pada dasarnya mengatur tentang pelarangan penggunaan alat-
alat tangkap tidak ramah lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia. Selain itu, pemerintah telah membentuk Departemen
Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam
menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah
kemiskinan nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi
masyarakat kelautan dan perikanan, terutama masyarakat nelayan yang selama ini
menjadi korban pembangunan. Namun dalam perjalanannya, ternyata
keberadaann DKP dengan program-programnya khususnya Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum
mampu menciptakan nelayan-nelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan
pada fakta empiris yang menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan
yang digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan,
terlebih program yang hanya bersifat proyek jangka pendek (Abdul , 2006).
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini akan
mengkaji suatu hal yang menarik, yaitu bagaimana masyarakat nelayan bertahan
hidup di tengah keadaan yang serba miskin. Hal tersebut yang akan menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan pada masyarakat
nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumah tangga nelayan dalam mengatasi
faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam
skripsi ini adalah bagaimana strategi menghadapi kemiskinan masyarakat
nelayan Tambak Lorok. Untuk menjawab masalah dalam skripsi ini diajukan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana kondisi nelayan Tambak Lorok?
1.2.2 Apa saja faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan Tambak Lorok?
1.2.3 Bagaimana strategi nelayan Tambak Lorok dalam menghadapi
kemiskinan?
-
8
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.3.1 Menjelaskan kondisi kehidupan nelayan Tambak Lorok.
1.3.2 Menjelaskan faktor-faktor yang menyebakan masyarakat nelayan miskin
di Tambak Lorok.
1.3.3 Menjelaskan mengenai strategi nelayan Tambak Lorok dalam menghadapi
kemiskinan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:
1.4.1 Di bidang akademis penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dan
sumber data untuk penelitian selanjutnya khususnya pada Ilmu
Antropologi Sosial.
1.4.2 Penelitian ini sebagai bahan pertimbangan atau bahan masukan bagi
pemerintah khususnya pemerintah kota Semarang dalam mengatasi
masalah menyejahterakan masyarakat nelayan di Tambak Lorok Semarang.
1.5 Tinjauan Pustaka
Achmad Fama dalam jurnalnya yang berjudul Komunitas Masyarakat
Pesisir di Tambak Lorok, Semarang (2016) mengulas mengenai struktur
komunitas masyarakat pesisir di Tambak Lorok dari segi mata pencaharian,
komunitas masyarakat, dan beberapa unsur-unsur sosial ekonomi yang terkandung
di dalamnya seperti kemiskinan.Tambak Lorok merupakan salah satu kawasan
pesisir yang dekat pelabuhan Tanjung Mas dan sebagian besar masyarakatnya
menggantungkan hidupnya kepada laut dan menjadikannya mata pencaharian
yaitu nelayan. Profesi nelayan merupakan profesi turun temurun yang diturunkan
oleh nenek moyangnya. Hal yang memperhatinkan ialah sumber daya yang
dimiliki di Tambak Lorok cukup besar namun tingkat kemiskinan masih sangat
tinggi.
-
9
Permasalahan sosial yang seringkali melanda masyarakat pesisir pada
umumnya adalah masalah kemiskinan dan kurangnya bantuan dari pihak
pemerintah. Sama halnya dengan wilayah Tambak Lorok, walaupun wilayah
Tambak Lorok dekat dengan pelabuhan Tanjung Emas yang tergolong maju,
sampai sekarang Tambak Lorok masih menjadi salah satu daerah miskin yang
kurang tersentuh. Permasalahan kemiskinan yang melanda disebabkan oleh
keterbatasan pemanfaatan sumberdaya laut, sumberdaya manusia (nelayan) masih
rendah, kelembagaan ekonomi nelayan, permodalan yang lemah, akses terhadap
pasar yang masih kurang dan aspek penyediaan sarana prasaran pendukung yang
belum maksimal.Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian skripsi, yaitu
sama-sama membahas masyarakat nelayan dan membahas kemiskinaan
masyarakat Tambak Lorok dan yang membedakan penelitian tersebut dengan
skripsi, yaitu penelitian ini terfokus pada komunitas masyarakat nelayan Tambak
Lorok sedangkan penelitian skripsi fokus terhadap strategi rumah tangga nelayan
menghadapi kemiskinan.
Buku Kusnadi yang berjudul Pembangunan Wilayah Pesisir Terpadu
Strategi Mengatasi Kemiskinan Nelayan (2015), membahas mengenai sebuah
desa yang berada di Jember Jawa Timur. Pembahasan ini fokus pada sebuah desa
nelayan untuk memudahkan, memahami masalah kemiskinan masyarakatnya dan
mengidentifikasi pendekatan pembangunan pedesaan yang selama ini diterapkan.
Keberhasilan pembangunan wilayah pesisir terpadu diharapkan memberi
kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan
kapasitas kelembagaan sosial yang dimilikinya dan kesejahteraan sehingga
masyarakat dapat terlibat secara aktif dan berpartisipasi dalam pambangunan
kawasan pesisir.
Melalui pendekatan pembangunan wilayah pesisir terpadu, persoalan
kemiskinan masyarakat nelayan dapat diselesaikan secara komprehensif dengan
melibatkan banyak peran dan subjek pembangunan, pengorganisasian dan
manajemen sumber daya alam dan sumber daya ekonomi secara terpadu, serta
dukungan prasarana dan sarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk
meningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan sosial
-
10
yang ada dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan pelatihan dan pemberdayaan.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian skripsi, yaitu sama-sama
membahas mengenai strategi, dalam hal ini pemerintah mengatasi kemiskinan
dengan pembangunan wilayah pesisir dan perbedannya penelitian pada skripsi ini
membahas juga mengenai strategi nelayan sendiri untuk menghadapi kemiskinan
dalam kehidupan sehari-hari.
Massudi dan Putri Nurpratiwi dalam jurnalnya yang berjudul Kajian
Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kampung Tambak Lorok (2016)
mengulas mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan Tambak Lorok.
Kampung Tambak Lorok merupakan kampung nelayan terbesar di Kota
Semarang, yang berlokasi di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara.
Fenomena kemiskinan tidak terlepas dari masyarakat nelayan yang bermukim di
tempat tersebut. Menurunnya kualitas laut Kota Semarang serta adanya pengaruh
musim merupakan tantangan natural bagi masyarakat nelayan Kampung Tambak
Lorok dalam mengakses sumberdaya kelautan dan perikanan. Adanya
ketimpangan pendapatan antara nelayan buruh dengan nelayan majikan dan
sulitnya mengakses modal perbankan pun menjadi hambatan dari segi struktural
bagi para nelayan. Selain itu, gaya hidup yang tidak terbiasa menabung dan
kebiasaan membelanjakan penghasilan secara berlebihan merupakan kebiasaan
umum nelayan yang terjadi pula pada nelayan Kampung Tambak Lorok yang
menyebabkan nelayan semakin terpuruk dalam kemiskinan. Dapat digolongkan
faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan Tambak Lorok, yaitu pertama faktor
natural merupakan rusaknya sumberdaya pesisir dan musim yang tidak menentu.
Kedua faktor struktural merupakan sulitnya mengakses modal perbankan dan
tidak adanya kekuasaan dalam menentukan harga tangkapan. Dan ketiga faktor
kultural merupakan kebisaaan hidup yang konsumtif serta tidak mudah dalam
menabung. Maka, penyebab kemiskinan nelayan Kampung Tambak Lorok
merupakan keterpaduan antara tiga faktor penyebab kemiskinan, yaitu natural,
struktural dan kultural, yang kemudian diperparah dengan adanya kerugian yang
ditimbulkan oleh rob dan banjir sebagai dampak dari perubahan iklim bagi
wilayah pesisir. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian tersebut dengn
-
11
penelitian skripsi, yaitu sama-sama membahas masyarakat nelayan dan membahas
penyebab kemiskinaan masyarakat Tambak Lorok. Perbedaan penelitian tersebut
dengan skripsi, yaitu penelitian skripsi mengkaji faktor penyebab dan strategi
yang harus dihadapi rumah tangga nelayan menghadapi kemiskinan.
1.6 Batasan Istilah
1.6.1 Pengertian Strategi
Pringgowidagda (dalam Mulyadi dan Risminawati, 2012: 4)
menyatakan bahwa strategi diartikan suatu cara, teknik, taktik, atau siasat
yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan,
sedangkan menurut Surtikanti dan Santoso (2008: 28) strategi mempunyai
pengertian suatu garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai
sasaran yang telah ditentukan.
1.6.2 Pengertian Kemiskinan
Menurut Oscar Lewis (1968) yang merumuskan teori the culture of
poverty atau kebudayaan kemiskinan, kemiskinan ialah suatu kebudayaan
yang diwarisi dari generasi ke generasi. Kemiskinan juga muncul karena
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin
seperti malas, mudah menyerah dan kurangnya memiliki etos kerja dan
sebagainya.
Menurut Imron (2003: 65) kemiskinan adalah suatu konsep yang
cair, serba tidak pasti, dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena
kemiskinan bisa bermakna subyektif, tetapi sekaligus juga bermakna
obyektif. Secara obyektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin
karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang
oleh sementara ahli diukur menurut standard kebutuhan pokok berdasarkan
atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi, apa yang nampak secara
obyektif tidak miskin itu bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh
pelakunya, karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan
ekonominya atau membandingkannya dengan kondisi yang dialami oleh
orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya
-
12
1.6.3 Pengertian Nelayan
Menurut Imron (2003: 66) nelayan adalah suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut. Mereka
pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman
yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Nelayan bukanlah suatu entitas
tunggal. Mereka terdiri dari beberapa kelompok, yang bila dilihat dari segi
pemilikan alat tangkap dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh
adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain.
Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang
dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan
yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak
melibatkan orang lain. Dari ketiga jenis nelayan tersebut, pada umumnya
nelayan juragan tidak miskin. Kemiskinan cenderung dialami oleh nelayan
perorangan dan buruh nelayan. Oleh karena kedua jenis kelompok nelayan
itu jumlahnya mayoritas maka citra tentang kemiskinan melekat pada
kehidupan nelayan.
1.7 Kerangka Teoritik
1.7.1 Konsep Kemiskinan
Menurut Oscar Lewis dalam bukunya Five Families,Mexican Case
Studies in the Culture of Poverty (1959) kemiskinan merupakan kebudayaan
dan biasanya terjadi di satuan sosial kecil atau mikro seperti keluarga.
Keluarga merupakan satuan kecil dari kelompok masyarakat lainnya dan
sebagai pendukung budaya kemiskinan. Kemiskinan akan menjadi
berkembang di dalam masyarakat yang budaya kemiskinanya kerena pola-
pola sosialisasi dan sebagian besar terjadi pada kehidupan keluarga. Pola-
pola sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaan berfungsi sebagai
mekanisme adaptif terhadap lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-
hari. Oscar Lewis juga menjelaskan mengenai pemahaman ia tentang
kebudayaan kemiskinan, menurutnya kemiskinan ialah suatu bagian
-
13
kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi. Kemiskinan juga ada
hal yang bersifat positif karena memberikan jalan keluar bagi masyarakat
miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Budaya kemiskinan
merupakan suatu adaptasi dan sekaligus reaksi masyarakat miskin terhadap
kedudukannya yang terendah di dalam kelompok sosial masyarakat.
Menurut Soemardjan (1997) kemiskinan dapat dilihat dari pola-
polanya, yaitu 1) Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena
adanya kekurangan-kekurangan yang terdapat pada seseorang untuk
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan dalam menghadapi kemiskinan.
Hal ini terjadi karena individu itu sakit-sakitan saja sehingga tidak dapat
bekerja dan tidak dapat memberi penghasilan atau tidak mempunyai modal
finansial dan modal keterampilan (skill) untuk usaha. Mungkin juga ia tidak
mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam
kehidupannya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa
usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi sehingga ia akan
menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya. 2) Kemiskinan
Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini diperlukan perbandingan
antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau rumah tangga-
rumah tangga di dalam suatu komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu
dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya
dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang dipakai adalah
ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga
yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk
golongan kaya apabila diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara
keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah lebih miskin. 3)
Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena
disandang oleh suatu golongan yang menjadi bagian dan seolah-olah tetap
dalam struktur suatu masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural
ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan fasilitas, modal,
sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari
ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita
-
14
kemiskinan struktural, yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Kelompok
masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang hidup dengan serba
kekurangan dengan penghasilan kerja yang sangat minim, akibatnya pada
saat tak memiliki uang mereka harus meminjam uang atau hutang. 4)
budaya kemiskinan ialah kemiskinan yang terjadi di tengah lingkungan yang
masyarakatnya kurang ilmu pengetahuan, pengalaman, pemahaman
teknologi dan kurangnya dorongan sosial sehingga tidak dapat
memanfaatkan sumber daya alam dengan baik.
1.7.2 Kemiskinan Nelayan
Menurut Pangemanan dkk (2003), penyebab terjadinya kemiskinan pada
masyarakat nelayan ialah kurangnya akses modal, akses teknologi, akses pasar
dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengolah sumberdaya alam.
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh berbagai faktor sosial seperti
pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya sarana prasarana umum di wilayah
pesisir dan kerusakan lingkungan.
Menurut Suyanto (2003), faktor penyebab kondisi perekonomian nelayan
tidak pernah membaik ialah pertama, hasil tangkapan yang cepat busuk
sehingga nelayan harus menjualnya dengan cepat. Bagi nelayan tradisional
yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil
tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan
hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin walaupun mereka
harus menerima pembayaran yang dibawah harga pasar dari tengkulak.
Nelayan tidak akan bisa menang dalam hal tawar menawar dengan tengkulak
karena secara struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi
mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena perangkap hutang. Akibat
musim yang tidak menentu sering sekali keluarga nelayan miskin berhutang ke
renternir maupun tengkulak untuk modal melaut dan untuk mencukupi
kebutuhan pada musim tidak ada ikan, jika tidak bisa membayar hutang
-
15
keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan semua
asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang.
Menurut Mubyarto (1984) upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan taraf kehidupan ekonomi nelayan dengan modernisasi
perikanan. Modernisasi perikanan juga mengakibatkan perubahan-perubahan
mendasar dalam kehidupan masyarakat nelayan. Dalam proses perubahan
sosial ekonomi tersebut, tidak semua lapisan nelayan dapat meningatkan dan
memanfaatkan kesejahteraan hidupnya. Jumlah nelayan yang kian hari semakin
bertambah ternyata berdampak buruk pada produktivitas nelayan seperti
turunnya jumlah ikan yang ditangkap. Modernisasi perikanan yang
berkembang cukup cepat mengakibatkan tercapainya MSY (Maximum
Sustainable Yield), hal tersebut mengakibatkan adanya perebutan sumber daya
alam oleh nelayan. Menurunnya hasil tangkapan atau produktivitas nelayan
disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama faktor motorisasi yang berdampak
pada hasil laut seperti ikan, cumi, rajungan dan lain-lain. Hasil laut ditangkap
dengan cara tradisional saat ini ditangkap oleh alat-alat tangkap yang sudah
modern dengan perahu bermesin. Ketika di wilayah tersebut masih ada nelayan
yang menggunakan alat tangkap tradisional maka di wilayah tersebut masih
terjadi kenaikan produktivitas hasil tangkap dan menurunnya hasil tangkap
terjadi ketika nelayan beralih menggunakan alat tangkap yang modern dan
canggih. Kedua faktor alamiah, faktor ini yang menjadikan adanya musim ikan
dan musim paceklik, jika musim ikan terjadi hasil tangkapan nelayan akan
meningkat dan jika musim paceklik terjadi akan ada penurunan hasil tangkapan
(Mubyarto, 1984:18-19).
1.7.3 Ciri-ciri Kemiskinan Nelayan
Menurut Baharuddin (dalam buku Nasution,et al, 2015) hal yang
pertama kali yang dapat dilihat dari masyarakat nelayan mengenai kondisi
perekonomiannya ialah kondisi pemukiman nelayan. Pemukiman nelayan
miskin akan mudah dikenali dari kondisi rumah nelayan. Rumah-rumah
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai papan yang
-
16
terlihat usang dan keterbatasan pemilik perabotan rumah tangga adalah
tempat tinggal para nelayan buruh dan nelayan tradisional. Sebaliknya
rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan
mudah dikenali sebagai tempat pemilik perahu, pedagang perantara atau
pedagang bersekala besar.
Kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam juga
menjadi kondusif bagi eksistensi kelembagaan sosial-ekonomi tradisional
yang eksploitatif seperti kelembagaan parton-client dan tengkulak. Lahir
dan berkembanganya kelembagaan tradisional seperti patron-client di
tengah komunitas nelayan menunjukan kemampuan suatu komunitas
nelayan memanfaatkan beberapa aspek dari potensi modal sosial namun
dalam konteks kelembagaan patron-client tidak ditemui unsur potensi
modal sosial lainnya, yaitu adanya partisipasi yang setara dan adil. Tidak
adanya unsur partisipasi yang setara dan adil dalam kelembagaan patron-
client menyebabkan kelembagaan tersebut menjadi eksploitatif. Meskipun
demikian kelembagan patron-client memberi indikasi awal bahwa dalam
komunitas nelayan masih ditemui adanya potensi modal sosial.
Untuk mengenali potensi sosial yang terdapat di suatu masyarakat,
terlebih dahulu mengetahui elemen-elemen modal sosial. Elemen modal
sosial tersebut ialah saling percaya, prantara dan jaringan sosial. Dari ketiga
pokok elemen modal sosial tersebut dapat diidentifikasi berbagai potensi
modal sosial yang ada di dalam komunitas nelayan. Potensi modal sosial
yang terwujud di masyarakat nelayan ialah bentuk kelembagaan seperti
patron-client antara pemilik modal dan anak buah, koperasi, Serikat Tolong
Menolong (STM), arisan, membangun modal sosial dalam kasus “Arisan”.
(Badarudin, 2015; 23-41).
1.7.4 Strategi Kemiskinan
Menurut Barret (dalam Aristiyani, 2001) menjelaskan mengenai
konsep strategi yang dapat diartikan sebagai rencana mengenai suatu
kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian strategi secara harfiah
-
17
ialah kombinasi aktivitas dan pilihan yang harus dilakukan seseorang agar
mencapai kebutuhan dan tujuan dalam hidupnya.
Menurut Adisasimata (2005) strategi kebijakan peningkatan
kemampuan ekonomi penduduk miskin dapat diarahkan pada perbaikan
akses kepada sumberdaya, pembiayaan, teknologi, pasar dan pelayanan
dasar, serta pengembangan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat sesuai
dengan aspirasi dan budaya masayarakat lokal.
Strategi yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan ialah dengan
pembagian peran setiap anggota keluarga. Setiap anggota dalam
rumahtangga memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber
yang dimilikinya secara bersama-sama. Rumahtangga ialah suatu kelompok
atau grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan
berkontribusi untuk mengumpulkan penghasilan serta memanfaatkannya
untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang
diatur oleh kepala rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi
kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan
jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk kepentingan
bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai
dengan peran, tanggungjawab dan kemampuannya (Manig dalam
Dharmawan, 2005).
Strategi yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan melakukan
pembangunan wilayah pesisir. Menurut Kusnadi (2015) Salah satu strategi
mengatasi kemiskinan nelayan ialah dengan pembangunan. Hal ini
dijelaskan dalam buku Pembangunan Wilayah Pesisir Terpadu Strategi
Mengatasi Kemiskinan Nelayan yang menjelaskan mengenai kemiskinan
dan kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok masyarakat dan antar
wilayah biasanya muncul sebagai buah dari kebijakan pembangunan
sektoral yang menekankan pertumbuhan ekonomi. Melalui pendekatan
pembangunan wilayah pesisir terpadu, persoalan kemiskinan masyakat
nelayan dapat diselesaikan secara komprehensif dengan melibatkan banyak
peran dari subjek pembangunan, pengorganisasian, manajemen sumber daya
-
18
alam dan sumber daya ekomoni secara terpadu, serta dukungan sarana dan
prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan sosial yang ada dapat
dilakukan dengan berbagai pelatihan dan pemberdayaan. Keberhasilan
pembangunan wilayah pesisir terpadu diharapkan memberi kontribusi
positif terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan
kapasitas kelembagaan sosial yang dimilikinya dan kesejahteraan sehingga
masyarakat dapat terlibat secara aktif dan berpartisipasi dalam
pembangunan awasan pesisir.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan metode-metode observasi partisipasi,
wawancara mendalam dan dokumentasi. Jika diposisikan sebagian satu bagian
metodologis mencakup teknik dan strategi pengumpulan data seperti teknik
wawancara mendalam dan observasi partisipasi maka metode observasi memiliki
dasar validasi yang kuat. Selama melakukan observasi partisipasi di lapangan,
juga dilakukan wawancara terhadap informan dengan mengajukan pertanyaan
melalui wawancara baik itu wawancara terstuktur maupun wawancara secara
bebas. Diharapkan dengan penerapan kombinasi metode penelitian tersebut akan
menghasilkan data yang cukup mendalam.
1.8.2 Informan
Dalam penelitian ini terdapat tujuh informan. Pemilihan informan ini
merupakan hasil identifikasi selama melakuan penelitian. Menurut Spradley
(2006) kriteria tentang informan yang baik dalam penelitian, yaitu informan harus
berasal dari kebudayaan yang akan diteliti, dan pada saat penelitian informan
harus terlibat langsung dalam kebudayaan, informan seharusnya mempunyai latar
belakang yang berbeda dari si peneliti dan informan mempunyai waktu yang
cukup untuk diwawancarai oleh si peneliti. Pada penelitian ini informan dibagi
menjadi beberapa ketegori yaitu :
-
19
1) 1 Keluarga Nelayan yang menggunakan Jaring Tradisional
2) 1 Keluarga Nelayan yang menggunakan Sodo
3) 2 Keluarga Nelayan yang menggunakan Arad
4) 3 Ketua Kelompok Nelayan dan 1 Ketua KNTI
1.8.3 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga September 2019 dan
lokasi penelitian ini terletak di wilayah pesisir Semarang, yaitu Kampung Tambak
Lorok. Tambak Lorok terletak di Kelurahan Tanjung Mas Kecamatan Semarang
Utara. Kampung ini terletak tepat di pinggiran Kota Semarang bagian utara yang
berbatasan dengan perairan Laut Utara Jawa, tepatnya di pinggir Kali Banger.
Kawasan ini terbagi ke dalam dua jalan, yaitu Jalan Tambak Mulyo di sebelah
barat dan Jalan Tambak Rejo di sebelah timur.
1.8.4 Analisis Data
Dalam melakukan analisis data menggunakan tiga alur yang terjadi secara
bersamaan. Seperti yang dinyatakan oleh Miles dan Hubermen (1992:16-19). Hal
ini diperlihatkan peneliti dalam menganalisis data di antaranya:
1.8.4.1 Reduksi Data
Peneliti menggunakan reduksi data untuk melakukan analisis
dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data tentang kehidupan nelayan Tambak Lorok.
Reduksi penelitian dilakukan setelah mendapatkan data hasil wawancara
dan data berupa dokumentasi yang terkait dengan data. Dalam reduksi
data, hasil wawancara dari informan penelitian dipilah-pilah peneliti
sedemikian rupa. Peneliti mengelompokkannya berdasarkan konsep awal
penulisan skripsi. Peneliti melakukan pengelompokkan data terlebih
dahulu kemudian baru dianalisis data lapangan yang penting dan dapat
mendukung penelitian. Hasil data yang penulis pilah-pilah kemudian
dikelompokkan berdasarkan rumusan masalah.
-
20
1.8.4.2 Penyajian Data
Penyajian data dilakukan setelah peneliti melakukan reduksi data
yang digunakan sebagai bahan laporan. Hasil reduksi data sebelumnya
telah peneliti kelompokkan selanjutnya diolah dan dianalisis dengan
konsep-konsep kebutuhan konsumsi dan dihubungkan dengan teori
kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif melalui proses analisis dengan
menggunakan konsep-konsep tersebut.
1.8.4.3 Pengambilan Kesimpulan atau Verifikasi
Pengambilan simpulan atau verifikasi dilakukan sebagai usaha
untuk mencari atau memahami makna, keteraturan, pola-pola, penjelasan,
alur sebab akibat atau proposisi. Verifikasi dilakukan setelah penyajian
data selesai, kemudian ditarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang telah dianalisis dengan teori.
1.9 Sistematatika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan uraian mengenai bab-bab dan sub bab
yang terdapat di dalam skripsi ini. Penyusunan sitematika penulisan ini untuk
memudahkan pembaca dalam memahami bagaimana urutan penjelasan yang
disampaikan dalam penelitian. Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri
atas 5 bab, yaitu pendahuluan, gambaran umum, kemiskinan nelayan, strategi
nelayan menghadapi kemiskinan dan penutup. Berikut adalah penjelasan masing-
masing bab tersebut:
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat, tinjuan pustaka, batasan istilah, kerangka
pemikiran, metode penelitian dan sistematik penulisan. Pada bab ini
pemaparannya masih berisi secara umum karena pembahasan yang lebih
mendalam akan diberikan pada bab-bab selanjutnya.
Bab II mendeskripsikan gambaran umum masyarakat nelayan Tambak
Lorok. Bab ini diawali dengan deskripsi Kelurahan Tanjung Mas dilanjutkan
dengan deskripsi keadaan geografi dan demografi Tambak Lorok, kemudian
-
21
dijelaskan juga mengenai pemukiman Tambak Lorok, keseharian nelayan Tambak
Lorok, perahu dan alat tangkap nelayan dan organisasi masyarakat Tambak
Lorok. Melalui bab ini diharapkan para pembaca mampu membayangkan kondisi
lapangan.
Bab III membahas mengenai permasalahan dalam penelitian skripsi ini,
yaitu kemiskinan nelayan Tambak Lorok. Bab ini menjelaskan mengenai kondisi
ekonomi dan faktor-faktor kemiskinan nelayan Tambak Lorok, faktor-faktor
penyebabnya ialah tingkat pendidikan, pendapatan yang tidak menentu, hutang,
tidak memiliki pekerjaaan lain hingga teknologi yang digunakan.
Bab IV berisi tentang strategi-strategi nelayan dalam menghadapi
kemiskinan. Bab ini menyampaikan mengenai strategi-strategi keluarga untuk
menghadapi kemisinan di Tambak Lorok, jaringan sosial masyarakat nelayan dan
rekayasa sosial untuk menghadapi kemiskinan. Tak hanya strategi dari keluarga
saja ada juga strategi dari pemerintah untuk melepaskan jerat kemiskinan pada
masyarakat Tambak Lorok dengan cara melakukan pembangunan wilayah pesisir.
Bab V merupakan bab akhir yang berisi mengenai kesimpulan penelitian
skripsi untuk menjawab permasalahan tentang strategi nelayan dalam menghadapi
kemiskinan di Tambak Lorok dan berisi saran-saran untuk masyarakat dan
pemerintah dalam mengatasi kemiskinan di Tambak Lorok.
-
22
BAB II
TAMBAK LOROK SEBAGAI KAMPUNG NELAYAN
DI KELURAHAN TANJUNG MAS
2.1 Keadaan Geogafis Kelurahan Tanjung Mas
Kelurahan Tanjung Mas merupakan salah satu dari sembilan Kelurahan
yang berada di Kecamatan Semarang Utara. Nama kelurahan tersebut sama
persisir dengan pelabuhan yang ada di Semarang karena memang lokasinya yang
sangat dekat dengan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Kelurahan ini dipimpin
oleh seorang lurah laki-laki yang bernama Drs. Margo Hariyadi, MM. Menurut
data monografi Kelurahan Tanjung Mas memiliki luas wilayah mencapai 323.782
ha yang terbagi menjadi perkarangan atau bangunan sebesar 271.782 ha dan
tambak sebesar 51946 ha. Kelurahan Tanjung Mas berbatasan langsung dengan
laut Jawa bagian Utara. Batas wilayah Kelurahan Tanjung Mas ialah
Sebelah Utara : Laut Jawa.
Sebelah Timur : Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur
Sebelah Selatan : Kelurahan Purwodinata Kecamatan Semarang Barat.
Sebelah Barat : Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara.
Gambar 2.1 Peta Kecamatan Semarang Utara
Sumber : Bappeda dan Badan Statistika
Kota Semarang 2012
-
23
Kelurahan Tajung Mas memiliki jumlah penduduk dan RW yang cukup
banyak dibandingkan kelurahan-kelurahan lain di Kecamatan Semarang Utara,
dengan jumlah penduduk 30.493 jiwa yang terdiri dari 14.370 laki-laki dan 16.123
perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga 7.520 KK dan terbagi dalam 16 RW
dan 129 RT serta penduduknya sangatlah beragam yang dapat dilihat dari segi
umur, tingkat pendidikan dan agama.
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Tanjung Mas
Sumber : Monografi Kelurahan Tanjungmas 2018
Selanjutnya jika dilihat dari umur, penduduk kelurahan Tanjung Mas
didominasi dengan golongan umur yang masih produktif. Berikut merupakan
tabel penduduk Kelurahan Tanjung Mas berdasarkan umur.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
Sumber : Monografi Kelurahan Tanjung Mas 2018
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa penduduk Kelurahan Tanjung
Mas didominasi oleh golongan umur yang masih produktf yaitu berusia 25-55
tahun mencapai 39% dari jumlah penduduk Tanjung Mas. Jumlah tersebut akan
berganti setiap tahunnya sesuai dengan pertumbuhan penduduk di Kelurahan
Tanjung Mas.
Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah KK Jumlah Penduduk
14.370 16.123 7.520 KK 30.493
No Umur Jumlah Penduduk Presentase
1 0-6 tahun 1506 5%
2 7-12 tahun 1820 6%
3 13-18 tahun 3115 10%
4 19-24 tahun 1865 6%
5 25-55 tahun 12.008 39%
6 56- 79 tahun 1556 5%
7 80 ke atas 8623 29%
JUMLAH 30493 100%
-
24
Selanjutnya, Tabel 2.3 menjelaskan mengenai tingkat pendidikan
penduduk Kelurahan Tanjung Mas. Tingkat pendidikan di Kelurahan Tanjung
Mas sudah baik banyak lulusan SMA/SLTA dan lulusan perguruan tinggi negri
maupun swasta. Berikut merupakan Tabel 2.3 yang menjelaskan tingkat
pendidikan penduduk Kelurahan Tanjung Mas:
Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Tanjung Mas
Sumber : Data Monografi Tanjungmas 2018
Tabel 2.3 menjabarkan mengenai tingkat pendidikan masyarakat
Kelurahan Tanjung Mas. Tingkat pendidikan masyarakat Tanjung Mas sudah baik
dapat dilihat yang sudah lulus SLTA mencapai 34% dan jumlah penduduk lulusan
SLTP merupakan jumlah terbanyak ke dua mencapai 33%.
Setelah itu pada Tabel 2.4 akan menjelaskan mengenai mata pencaharian
masyarakat Kelurahan Tanjung Mas. Jumlah penduduk yang mencapai 30.493
jiwa dan lokasi Kelurahan Tanjung Mas berdekatan dengan laut Jawa, jadi tidak
heran jika penduduknya ada yang bermata pencaharian sebagai nelayan walaupun
sebagian besar penduduknya memilih untuk bekerja sebagai buruh industri.
Berikut Tabel 2.4 yang menjelaskan mata pencaharian penduduk Kelurahan
Tanjung Mas.
No. Pendidikan Jumlah Presentase
1 Belum Sekolah 2024 7%
2 Tidak Tamat Sekolah Dasar 1752 5,7%
3 Tamat Sekolah Dasar 6171 19%
4 Tamat SLTP 9936 33%
5 Tamat SLTA 10292 34%
6 Tamat Akademi 233 1%
7 Tamat Perguruan Tinggi 85 0,3%
JUMLAH 30.493 100%
-
25
Tabel 2.4 Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kelurahan
Tanjung Mas Tahun 2018
No. Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase
1 Nelayan 1756 9%
2 Industri Kecil 1225 6%
3 Industri Besar 78 0,3%
4 Buruh Industri 12878 64%
5 Buruh Bangunan 955 5%
6 Pedagang 1563 8%
7 Pengangkut 285 1,4%
8 Pegawai Negri Sipil 262 1,3%
9 ABRI 381 2
10 Pensiunan (ABRI/PNS) 473 2,3%
11 Peternak 22 0,1%
JUMLAH 19.878 100%
Sumber : Data Monografi Tanjungmas 2018
Dapat dilihat pada Tabel 2.4 mata pencaharian yang mendominasi
masyarakat Kelurahan Tanjung Mas ialah Buruh Industri yang mencapai 64%.
Setelah Buruh Industri yang mendominasi, profesi sebagai nelayan juga banyak
yang menjadikannya sebagai mata pencaharian utama yang mencapai 9% dari
jumlah penduduk Tanjung Mas.
Berdasarkan data kelurahan, agama yang dianut oleh masyarakat
Kelurahan Tanjung Mas sangat beragam yaitu, Islam, Khatolik, Kristen Protestan,
Hindu Budha dan Konghucu. Hal tersebut akan dijabarkan pada Tabel 2.5.
-
26
Tabel 2.5 Agama yang dianut Oleh Masyarakat Kelurahan Tanjung Mas
Tahun 2018
Sumber : Data Monografi Tanjungmas 2018
Agama yang banyak dianut oleh masyarakat Kelurahan Tanjung Mas
yaitu Islam. Agama Islam mendominasi masyarakat yang mencapai 71 % dari
jumlah penduduk Tanjung Mas, selain agama Islam, pemeluk agama Khatolik
juga cukup banyak mencapai 23%. Setelah agama Khatolik, pemeluk Agama
Kristen Protestan mencapai 4%. Sisanya memeluk Agama Hindu 1% dan Agama
Budha 0,5% dan Konghucu 0,5%. Walaupun memiliki berbagai suku agama dan
kepercayaan masyarakat Kelurahan Tambak Lorok tetap harmonis dan berbaur
satu sama yang lain.
Kelurahan Tanjung Mas merupakan lingkungan tempat tinggal yang
tertata cukup baik yang di dalamnya terdapat beberapa tempat yang penting dan
bersejarah seperti Stasiun Tawang, Kawasan Kota Lama, Kawasan Industri
Limacitra, TPI Tambak Lorok dan Pelabuhan Tanjung Mas yang sangat
mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Walaupun memiliki tempat yang
strategis namun wilayah ini memiliki masalah mengenai penurunan tanah (land
subsidence) atau kenaikan muka air pasang yang setiap tahun berkisar antara 0,15
m hingga 0,25 m, penurunan tanah ini terjadi kerena terkena rob yang terus
menurus terjadi di wilayah Tanjung Mas maka satu-satunya cara adaptasi yang
bisa dilakukan oleh penduduk adalah dengan meninggikan atau mengurug
No. Agama Jumlah Presentase
1 Islam 21.679 71%
2 Kristen 1123 4%
3 Khatolik 7086 23%
4 Hindu 316 1%
5 Budha dan Konghucu 147 0,5%
6 Konghuucu 132 0,5%
JUMLAH 30493 100%
-
27
halaman dan lantai bangunan. Proses peninggian atau pengurugan dilakukan
sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing.
Dengan data dan penjelasan di atas penelitian ini hanya fokus pada satu
wilayah yang ada di Kelurahan Tanjung Mas, yaitu Kampung Tambak Lorok.
Tambak Lorok merupakan salah satu perkampungan nelayan di Kota Semarang.
Tambak Lorok merupakan Pangkalan Pendaratan Ikan sebagai pusat aktivitas
perikanan. Hal ini karena jumlah warga yang mayoritas bermatapencaharian
sebagai nelayan sehingga akan membutuhkan tempat bagi nelayan untuk
melakukan aktivitas ekonomi perikanan. Kawasan pesisir yang identik dengan
daerah kumuh juga tercermin di Tambak Lorok. Letak geografis Tambak Lorok di
wilayah pesisir Kota Semarang menyebabkan terkena dampak abrasi pantai dan
penurunan tanah sehingga menyebabkan sering terjadi rob dan apabila air laut
pasang tidak jarang sampai masuk ke rumah warga.
2.2 Keadaan Geografis Tambak Lorok
Pada tahun 1942 Tambak Lorok merupakan rawa-rawa dan semak belukar
yang berbatasan langsung dengan laut. Pada tahun 1942 kawasan Tambak Lorok
masih jarang tersentuh oleh manusia, sebab belum ada yang menghuni kawasan
Tambak Lorok. Masyarakat Semarang masih memusatkan perhatian dan
aktivitasnya ke tengah kota. Di atas tahun 1942 datanglah masyarakat atau
nelayan Jepara ke Semarang selain nelayan Jepara ada juga nelayan dari daerah
lain seperti Demak dan Bakaran. Hal inilah merupakan awal mula Tambak Lorok
diminati oleh kalangan nelayan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang
strategis bagi kelangsungan hidup mereka (Sibhatullah, 2019: 40).
Kampung Tambak Lorok terletak di wilayah Kelurahan Tanjung Mas,
Kecamatan Semarang Utara. Tambak Lorok merupakan salah satu kampung di
antara kampung-kampung daerah pantai di Kota Semarang yang terletak di tepi
kali Banjir Kanal Timur dan Kali Banger. Tambak Lorok mengalami penurunan
tanah (land subsidence) sebesar 9-10 cm pertahun. Kampung Tambak Lorok
merupakan perkampungan nelayan yang terletak di garis pantai Laut Jawa.
Kampung ini berlokasi di pinggir Kota Semarang bagian utara yang memiliki luas
-
28
sebesar 45,29 Ha yang terdiri dari 34,4 Ha lahan kering dan 52 Ha lahan basah
dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Selatan : Jalan Arteri Utara
Sebelah Barat : Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Sebelah Timur : Sungai Banjir Kanal Timur
Gambar 2.2: Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Jurnal RUANG 2(4)
Wilayah Tambak Lorok terbagi menjadi lima RW, yaitu RW XII, RW
XIII, RW XIW, RW XV yang termasuk ke dalam jalan Tambak Mulyo di bagian
barat sedangkan RW XVI terletak di jalanTambak Rejo bagian utara. RW XII
terletak berdampingan langsung dengan jalan arteri Yos Soedarso lalu menuju
arah utara terdapat RW XIII, XIV dan RW XV, sedangkan RW XVI terletak di
sebelah timur yang dipisahkan oleh Sungai Banjir Kanal Timur dengan jumlah
penduduk mencapai 1913 kk atau 8.248 penduduk yang terbagi menjadi dua,
yaitu penduduk laki-laki berjumlah 3.586 jiwa, sedangkan perempuan 4.662 jiwa.
Masayarakat Tambak Lorok sebagian besar bermata-pencaharian sebagai nelayan
sehingga masyarakat di daerah ini sumber kehidupannya sangat tergantung dari
hasil laut. Keberadaan permukiman nelayan sangat berkaitan erat dengan sumber
-
29
penangkapan ikan sehingga Tambak Lorok harus mudah dicapai oleh publik
dengan sistem transportasi dan jaringan jalan yang baik.
Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Tambak Lorok
Sumber Data Monografi Kelurahan Tanjung Mas 2018
Tambak Lorok merupakan perkampungan nelayan yang padat penduduk
dan banyak rumah-rumah yang saling berhimpitan satu sama lain. Kampung
Tambak lorok juga termasuk perkampungan kumuh disebabkan oleh kualitas
lingkungan yang buruk karena masyarakat Tambak Lorok membuang sampah
tidak pada tempatnya, mereka membuang sampah di lahan kosong atau
membuang ke tambak yang sudah tidak terpakai. Hal ini tentu berdampak buruk
bagi kesehatan karena tingkat pencemaran yang tinggi dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit.
2.3 Pemukiman Tambak Lorok
Awal masuk kampung Tambak Lorok ditandai oleh pintu gerbang yang
terdapat patung ikan dan patung tersebut berada di tengah jalan masuk kampung
Tambak Lorok. Pada tahun 2015, akses jalan menuju Tambak Lorok banyak
terdapat kubangan-kubangan air. Jalan utama kampung Tambak Lorok sangat
ramai lalu lalang kendaraan. Hal ini karena terdapat pasar tradisional yang
beroprasi dari pagi hingga sore hari. Pada tahun 2019 Tambak Lorok sudah
No Rukun
Warga (RW)
Jumlah Rukun
Tetangga (RT)
Jumlah Kepala
Keluarga
Jenis Kelamin Presentase
LK PR LK PR
1 RW XII 4 333 556 739 15% 16%
2 RW XIII 6 325 659 758 18% 16%
3 RW XIV 10 557 992 1454 28% 31%
4 RW XV 9 529 960 1149 27% 25%
5 RW XIV 4 169 419 562 12% 12%
JUMLAH 23 1913 3586 4662 100%
8.248
-
30
berubah, jalan-jalan sudah mulai diperbaiki, tak hanya itu pasar juga dibangun dan
dibuatkan sebuah gedung berlantai dua untuk masyarakat yang ingin berdagang
dengan aman dan nyaman.
Gambar 2.3 Gerbang Masuk Tambak Lorok
Sumber: Dokumen Penelitian tahun 2019
Aroma khas dari ikan-ikan yang dijemur menjadi ciri khas tersendiri jika
kita berada di Tambak Lorok. Papan-papan tersusun berjejer untuk menjemur
ikan-ikan yang akan diolah menjadi ikan asin. Perahu-perahu bercorak warna-
warni dilengkapi oleh bendera Merah Putih dan bendera partai yang sudah kusam
disandarkan di pelabuhan kecil belakang pemukiman warga. Bila tak melaut
biasanya nelayan duduk-duduk sambil bermain catur dan bercengkrama di bawah
gubuk-gubuk sederhana yang dibuatnya. Gubuk-gubuk itu beralaskan kardus
bekas atau tikar yang sudah kusam dan bercagak bambu-bambu atau kayu bekas.
Gubuk ini dipergunakan nelayan untuk beristrahat dan bercengkrama bersama
teman lainnya. Pemandangan ini sudah biasa berlangsung jika kita melakukan
penelitian ataupun bersinggah di Tambak Lorok.
-
31
Gambar 2.4 Proses Pengeringan Ikan
Sumber: Dokumen Penelitian Tahun 2019
Kemudian pemukiman di Kampung Tambak Lorok ini merupakan
kampung yang sangat padat penduduk dan kampung yang kumuh. Banyak gang-
gang sempit yang dipenuhi oleh rumah-rumah warga yang saling berhimpitan.
Banyak sekali rumah-rumah yang tidak memiliki halaman dan rumah
masyarakatnya pun terbilang kecil dan sempit. Dengan seperti itu sudah dapat
dilihat padatnya Kampung Tambak Lorok.
Tak hanya terkenal dengan padat penduduk, Kampung Tambak Lorok juga
terkenal dengan wilayah rob jadi tidak heran jika kita berkunjung ke Tambak
Lorok melihat rumah-rumah yang termakan oleh rob dan biasanya hanya tersisa
setengah bangunan saja. Banyak masyarakat yang menyebutnya dengan rumah
tenggelam. Seperti rumah Ibu Lilies (40 tahun) salah seorang warga Tambak
Lorok menceritakan bahwa rumahnya makin hari makin turun karena dampak dari
rob tersebut. Rob bisa saja terjadi tiba-tiba sehingga Ibu Lilies pasrah ketika
rumahnya digenangi oleh air rob. Ia juga bercerita rumahnya harus diperbaiki 10
tahun sekali untuk ditinggikan kalau tidak ditinggikan rumahnya akan habis.
Walaupun demikian warga Tambak Lorok masih setia dan tidak ingin pindah dari
tempat ini. Alasannya karna mereka hidup dari kecil hingga sekarang sudah
tinggal di Tambak Lorok dan mencari nafkah pun di wilayah Tambak Lorok
-
32
Gambar 2.5 Rumah yang Terkena Rob
Sumber Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumentasi Penelitian Tahun 2019
Tak hanya rob yang sering dijumpai di Tambak Lorok, sampah juga
banyak sekali yang berserakan di samping rumah-rumah warga. Tambak yang
sudah tidak terpakai digunakan warga untuk membuang sampah rumah tangga.
Alasan masyarakat membuang sampah dibekas tambak ialah tidak adanya
pembuangan khusus sampah dan tidak ada dinas kebersihan yang datang untuk
mengambil sampah-sampah rumah tangga mereka. Mereka juga tidak bisa
membakar sampahnya karena tidak ada lahan untuk membakar sampah. Banyak
sekali dampak yang terjadi ketika membuang sampah sembarangan, salah satunya
menjadikan pemukiman itu kumuh, bau yang tidak sedap dan dampak bagi
kesehatan juga ada, yaitu banyak sekali nyamuk di area pemukiman yang
menyebabkan berbagai penyakit salah satunya ialah Demam Berdarah. Dinas
kebersihan sudah datang ke Tambak Lorok untuk melihat kondisi pemukiman
tersebut namun, belum ada tindak lanjut sampai saat ini. Kesadaran masyarakat
untuk membuat tempat sampah umum juga belum ada , mereka hanya pasrah
dengan keadaan yang seperti itu.
-
33
Gambar 2.6 Membuang Sampah Sembarangan
Sumber Dokumen Penelitian Tahun 2019
2.4 Keseharian Nelayan Tambak Lorok
Sebagai salah satu kampung nelayan yang ada di Kota Semarang, nelayan
Tambak Lorok termasuk ke dalam kategori nelayan kecil. Menurut Kinseng
(2014) nelayan kecil merupakan nelayan yang bekerja sendiri atau bersama dua
hingga tiga nelayan lainnya. Nelayan yang mengunakan alat tangkap Rengge,
Bagan Tancap dan perangkap siput termasuk ke dalam kategori nelayan kecil.
Nelayan Tambak Lorok biasanya menggunakan alat tangkap Arad atau yang biasa
disebut dengan Pukat Harimau. Perahu yang mereka gunakan berukuran sedang
yang memiliki panjang 6,5 meter dan lebar 4,5 meter dengan berkekuatan 20-27
PK saja.
Nelayan Tambak Lorok akan melaut pada malam dan pada pagi hari.
Nelayan yang melaut pada malam hari biasanya nelayan Jaring Tradisional dan
pagi hari nelayan Arad dan Sodo. Nelayan Jaring Tradisional melaut di malam
hari karena kalau nelayan Sodo sudah melaut terlebih dahulu nelayan Jaring
Tradisional tidak akan mendapakan hasil tangkapan. Menurut Bapak Supa’at (36
tahun) yang berprofesi sebagai nelayan Jaring Tradisional di Tambak Lorok
kehidupannya dimulai pada malam hari dan akan pulang pagi harinya, sedangkan
nelayan Arad dan Sodo akan melaut pukul 05.00 atau sehabis salat subuh dan
akan kembali siang harinya. Nelayan akan melakukan pekerjaannya selama tujuh
hingga sembilan jam berlayar di laut.
-
34
Persiapan nelayan sebelum berlayar ialah mengecek mesin perahu,
mengecek perahu ada kebocoran atau tidak, membawa solar, rokok dan cemilan
yang akan dimakan ketika lapar di tengah laut dan di tengah malam, namun untuk
masalah keselamatan nelayan Tambak Lorok tidak memperdulikannya, hal ini
dapat dilihat dari peralatan pengaman melaut mayoritas nelayan tidak
menyediakan atau menyiapkan pelampung untuk digunakan setiap melaut,
padahal peralatan seperti itu sangat penting untuk keselamatan nelayan saat
melaut. Menurut Bapak Supaat (36 tahun) sebagai nelayan Jaring Tradisional,
dahulu pemerintah sudah memberikan alat keselamatan atau pelampung secara
gratis namun nelayan banyak yang tidak menggunakan alat keselamatan tersebut,
menurutnya kalau menggunakan alat keselamatan hanya menggangu proses
penangkapan ikan saja sehingga para nelayan enggan menggunakanya. Nelayan
Tambak Lorok akan mengandalkan drum-drum kecil yang berisikan 20 sampai 30
liter air digunakan untuk pelampung atau nelayan akan mengandalkan teman-
temannya untuk membantu jika ada kendala atau ada kejadian buruk di tengah
laut.
Peran istri nelayan sendiri ketika suami-suami pergi melaut ialah
menyiapkan bekal untuk suami melaut, mengasuh anak-anak mereka, ada juga
yang bekerja sebagai pengolah ikan menjadi ikan asap, ikan asin dan ikan presto
tak hanya itu ada juga yang membuka warung di depan rumahnya. Hal tersebut
dilakukan para istri untuk membantu perekonomian keluarga.
Menurut Bapak Hartanto (57 tahun) ketua seluruh KUB Tambak Lorok,
75% nelayan Tambak Lorok memiliki perahu sendiri untuk melaut dan 25%
menjadi nelayan buruh atau ABK. Dalam sekali melaut biasanya kapal berisi satu
sampai dua nelayan. Nelayan Tambak Lorok merupakan nelayan pencari udang,
rajungan, cumi dan ikan. Hasil tangkapan nelayan dijual pada bakul-bakul
langganan masing-masing nelayan. Ketika nelayan tidak memiliki modal nelayan
akan dipinjamkan uang oleh bakul langganan dengan syarat nelayan harus
menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang meminjamkan modal.
Nelayan bekerja pada musim-musim tertentu untuk mendapatkan hasil
tangkapan, seperti bulan Juli hingga Oktober merupakan musim rajungan, bulan
-
35
Desember hingga Febuari ialah musim udang, bulan Febuari sampai Mei ialah
musim cumi dan ikan dan bulan Juni dan November merupakan musim peralihan
atau musim paceklik jadi cukup sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan di
bulan-bulan tersebut. Pada musim paceklik atau ombak laut sedang besar biasanya
para nelayan tidak melaut atau libur dan memanfaatkan waktu luang dengan
memperbaiki mesin-mesin kapal mereka atau sekedar membersihkan kapal dan
mengecat ulang kapalnya.
Dengan berjalannya waktu dan perkembangan jaman profesi sebagai
nelayan di Kampung Tambak Lorok mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
karena banyak generasi saat ini tidak mau melanjutkan profesi ayahnya sebagai
nelayan, anak-anak nelayan memilih untuk menjadi buruh pabrik dan bekerja
ditempat lain karena pendapatan yang menentu dibandingkan bekerja sebagai
nelayan.
Kehidupan masyarakat nelayan di Tambak Lorok tidak jauh berbeda
dengan kampung-kampung nelayan lainnya. Bertempat tinggal di pesisir laut dan
dengan bekal pendidikan yang rendah membuat kehidupan masyarakat kampung
Tambak Lorok ini bisa dikatakan jauh dari kata cukup karena pengasilan nelayan
yang tidak menentu setiap harinya dan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan
lain yang lebih baik. Pekerjaanya masyarakatnya yang sebagian besar adalah
seorang nelayan membuat stratifikasi sosial di kampung ini tidak terlalu
berpengaruh dalam kehidupan antar masyarakatnya.
2.5 Alat Tangkap Nelayan Tambak Lorok
Nelayan Tambak Lorok terbagi menjadi tiga golongan dalam penggunaan
alat tangkap, yaitu 1) nelayan yang menggunakan Jaring Tradisional, 2) nelayan
yang menggunakan alat tangkap Arad 3) ada juga yang menggunakan alat
tangkap Sodo. Alat tangkap Arad dan Sodo merupakan alat tangkap sejenis Pukat
Harimau (trawl). Walaupun penggunaan alat tangkap Arad dan Sodo ini sudah
dilarang oleh pemerintah, namun masih banyak nelayan di Tambak Lorok
menggunakannya alat tangkap tersebut. Pada tahun 2015 menteri Perikanan dan
Kelautan memberikan peraturan bahwa penggunaan alat tagkap Arad dilarang
-
36
yang dijelaskan dalam peraturan Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan No.2
Tahun 2015 yang berisi Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Niets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Repbulik Indonesia.
2.5.1 Alat Tangkap Sodo
Sodo yang biasa disebut sudu merupakan jaring dorong (push net)
dan merupakan jenis jaring kantong yang berbentuk kerucut dengan bagian
mulut berbingkai segi tiga sama kaki. Umumnya yang dipakai adalah Sodo
bias (commonly push net). Alat Sodo dapat dibuat dengan mudah dari
bahan-bahan yang sederhana. Salah satu tipe Sodo yang dibuat dari bambu
berdiameter kecil 3-4 cm sebagai bingkainya dan diameter jaring mencapai
1-1,5 inc (Supardi, 2017: 2).
Alat tangkap Sodo merupakan alat tangkap yang menyebabkan
kerusakan habitat pada wilayah yang sempit, karena wilayah pengorepasian
Sodo yang tidak jauh dari muara sungai sehingga dampak kerusakan
wilayah juga sempit. Cara pengoperasian Sodo, yaitu dengan menurunkan
kantong dan badan jaring, dan sayap kemudian didorong secara aktif di
dasar perairan dengan kapal sehingga alat tangkap Sodo dapat merusak
habitat dan terumbu karang di dasar perairan pada wilayah yang luas dan
mengancam keberlangsungan habitat. (Abdulazis dkk, 2018: 93)
Menurut Bapak Yasin yang berprofesi sebagai nelayan Sodo, ia
sudah menyadari bahwa alat tangkap ini memang dilarang dan sudah tidak
boleh digunakan, Sodo sudah dilarang pengunaanya di perairan Laut
Indonesia dikarenakan penggunaan alat ini yang tidak ramah lingkungan
karena penggunaan alat tangkap ini mengakibatkan kerusakan ekosistem
laut. Nelayan mengetahui dampaknya namun apa boleh buat tuntutan
kehidupanlah yang membuat nelayan tetap mempertahankan alat tangkap
Sodo. Alat tangkap Sodo dianggap oleh nelayan alat tangkap yang sangat
menguntungkan dibandingkan alat tangkap lainnya.
-
37
Gambar 2.7 Perahu Nelayan yang Menggunakan Alat Tangkap Sodo
Sumber Dokumen Penelitian tahun 2019
2.5.2 Alat Tangkap Arad
Jaring Arad ialah jaring yang berbentuk kantong yang terdiri dari
sepasang sayap, badan jaring, kantong (cod-end), pembuka mulut jaring
(otter board) dan tali selambar (warp) bahan jaring seluruhnya terbuat dari
polyethylene panjang total jaring arad 16 hingga 22 m (Manadiyanto et al.,
2000). Cara pengoperasian Jaring Arad ialah jaring dihela atau diseret di
atas dasar perairan selama 1 hingga 3 jam untuk yang menggunakan
perahu motor bermesin ganda dengan ukuran yang bervariasi (Purbayanto
et al.,2003).
Hasil tangkapan Jaring Arad biasanya ialah udang, cumi dan ikan
teri. Secara umum Jaring Arad dioprasikan pada waktu udang yang
berukuran kecil. Menurut Bapak Didik sebagai nelayan Arad, penggunaan
alat tangkap Arad di Tambak Lorok sudah lama digunakan. Alat tangkap
ini merupakan alat tangkap turun temurun dari orang tua mereka.
Walaupun Arad termasuk ke dalam alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan, nelayan Tambak Lorok tetap menggunakannya sampai saat ini
karena kalau menggunakan alat tangkap lain hasil yang didapat tidak
sebanyak menggunakan alat tangkap Arad.
-
38
Gambar 7 Ilustrasi Penggunaan Alat Tangkap Arad
Sumber : https://www.fishingnetsupply.com/trawl/upper-middle-trawl/dyneema-
midwater-trawl.html
2.5.3 Alat Tangkap Jaring Tradisional
Jaring merupakan alat tangkap yang terbuat dari tali nilon, dianyam
membentuk mata jaring dalam jumlah banyak. Rangkaian anyaman mata
jaring berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 10 meter
lebar 1,5 hingga 2 meter. Alat tangkap jaring merupakan alat tangkap yang
pasif, menunggu ikan agar masuk terjerat di mata jaring. Cara penggunaan
alat tangkap tersebut yaitu jaring dipasang vertikal memanjang di perairan
dengan tali ris atas mengapung di permukaan air dan tali ris di bawah yang
tenggelam di perairan. Tali Ris adalah Tali di atas badan jaring dan di
bawah tali pelampung.
Nelayan Tradisional merupakan nelayan yang menggunakan alat
tangkap yang sederhana, memiliki modal usaha yang kecil dan rendahnya
teknologi penangkapan yang dimiliki oleh nelayan mengakibatkan
sedikitnya hasil tangkapan. Nelayan Jaring di Tambak Lorok makin hari
makin menurun pendapatanya. Nelayan Jaring Tambak Lorok
mengeluhkan mengenai penggunaan alat tangkap Sodo. Seperti Bapak
Supa’at yang berprofesi sebagai nelayan Jaring Tradisional mengeluhkan
mengenai alat tangkap Sodo karena nelayan yang menggunakan alat
tangkap Sodo menjaring semua ikan dari yang besar hingga anak ikan
sehingga nelayan Jaring Tradisional kesulitan mendapatkan tangkapan.
Jika Bapak Supa’at ingin mendapatkan ikan yang cukup banyak ia harus
https://www.fishingnetsupply.com/trawl/upper-middle-trawl/dyneema-midwater-trawl.htmlhttps://www.fishingnetsupply.com/trawl/upper-middle-trawl/dyneema-midwater-trawl.html
-
39
berangkat lebih awal sebelum nelayan Sodo itu berangkat dan menebar
jaring.
Gambar 8 Diameter Alat Tangkap Jaring
Sumber Dokumentasi Penelitian 2019
2.6 Jenis Perahu Nelayan Tambak Lorok
Perahu yang digunakan nelayan Tambak Lorok merupakan jenis perahu
Sopek. Perahu sopek berbahan dasar kayu jati dan dapat dikategorikan perahu
kecil berkapasitas 1 hingga 3 orang penumpang dan bisa berlayar hingga satu
minggu dengan menggunakan 3 mesin yang berkekuatan 10 hingga 20 pk. Dahulu
banyak nelayan yang berlayar hingga laut Jakarta namun, saat ini nelayan Tambak
Lorok hanya berlayar di sekitar laut Semarang saja karena mereka ingin pulang ke
rumah setiap hari.
Perahu Sopek juga memiliki ukuran yang beragam tergantung alat yang
digunakan oleh nelayan. Perahu yang berukuran besar harus menggunakan mesin
lebih dari satu dan mesin perahu harus memiliki kekuatan di atas 20 pk sehingga
menghabiskan bahan bakar yang cukup banyak, sedangkan perahu yang
berukuran kecil menggunakan mesin yang berkekuatan rendah di bawah 10 pk
sehingga tidak terlalu menghabiskan bahan bakar. Berikut Tabel 2.7 menjelaskan
mengenai perahu dan spesifikasinya.
-
40
Tabel 2.7 Ukuran Perahu Nelayan Tambak Lorok
Dapat dilihat Tabel 2.7 perahu yang menggunakan alat tangkap Sodo dan
Arad memiliki panjang 6,5 meter dan lebar mencapai 2,5 meter menggunakan 2
hingga 3 mesin yang berkekuatan 20-27 pk kerena alat tangkap Arad dan Sodo
sendiri memiliki panjang hingga 30 meter sehingga harus menggunakan perahu
yang berkekuatan yang cukup supaya dapat menarik jaring dengan mudah.
Penggunaan 3 mesin mengakibatkan nelayan Arad dan Sodo harus mengeluarkan
biaya untuk bahan bakar cukup banyak karena satu kali melaut menghabiskan
150-200 L solar. Berbeda dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap Jaring
Tradisional hanya menggunakan perahu berukuran kecil yang memiliki panjang
4,5 meter dan lebar 1,5 meter dan hanya menggunakan mesin satu berkekuatan di
bawah 10 pk sehingga menghabiskan bahan bakar yang sedikit hanya 1,5 L Solar.
Tabel 2.8 Ukuran Alat Tangkap Nelayan Tambak Lorok
Arad Sodo Jaring
Panjang Perahu 6,5 meter 6,5 meter 4,5 meter
Lebar perahu 2,5 meter 2,5 meter 1,5 meter
Spesifikasi Mesin 20-27 Pk
Harus pakai 2-3
mesin
20-27 Pk
Harus pakai 2-3
mesin
5-10 Pk
1 mesin
Bahan Bakar Solar 150-200 L 150-200 L 1,5 L
Arad Sodo Jaring
Panjang 20-30 meter 20 meter Panjangnya 1,5
meter.
Lebar 1 meter 1,5 meter Lebarnya 500 meter.
Diameter 1-1,5 inchi 1-1,5 inchi 3-4 inchi.
-
41
2.7 Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tambak Lorok memiliki sebuah pelelangan ikan atau yang biasa disebut
dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). TPI di Tambak Lorok masih beroprasi
sampai saat ini. Menurut Bapak Mashadi kordinator TPI, TPI Tambak Lorok
sudah ada sejak 1987 sampai dengan sekarang. Dahulu TPI Tambak Lorok berada
di wilayah Pasar Tambak Lorok saat ini, lalu berpindah disekitaran bantaran
sungai supaya dekat dengan dermaga nelayan. Pada tahun 1998 ada pengajuan
setrifikat tanah secara masal dan tanah yang ditempati oleh TPI juga dibuatkan
sertifikat akan tetapi sertifikat tersebut atas nama KUD (Koperasi Unit Desa)
bukan atas nama TPI. Pada tahun 2010 TPI diambil alih oleh Pemerintahan Kota
Semarang yang dahulunya TPI dikelola oleh organisasi masyarakat. Setelah
pengelolaan diahlihkan ke Pemerintah Kota (Pemkot), pengalihannya hanya
sebatas kegiatan, hukum-hukum dan tidak ada fisik (bangunan) karena Pemkot
tidak mengajukan pembangunan TPI.
Pada tahun 2011-2019 Pemkot dituntut oleh KUD mengenai pemakaian
tanahnya untuk TPI. Pada saat itu juga Pemkot mengajukan banding ke MK
untuk urusan tanah untuk TPI. Akan tetapi, banding tersebut ditolak sehingga
Pemkot harus menyewa tanah tersebut dengan KUD sebesar 50 juta/ tahun
namun Pemkot keberatan mengenai uang sewa tersebut akhirnya TPI pindah ke
bantaran sungai dan hanya dibuatkan tenda untuk pelelang ikan. Saat ini TPI lama
sudah diahlih fungsikan menjadi bangunan ruko yang disewa dengan harga 4
juta/bulan. Perencanaan pembangunan TPI baru akan dilaksanakan pada saat
pembangunan Kampung Wisata Bahari selesai.
Saat ini TPI berada di bantaran sungai dan pelelangan ikan di TPI Tambak
Lorok dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 sampai pukul 09.00 WIB. Ikan-ikan
untuk dilelang bukanlah hasil dari nelayan Tambak Lorok melainkan nelayan
adon atau nelayan pendatang. Nelayan adon berasal dari berbagai daerah yaitu
Kendal, Demak dan Jepara. Nelayan adon merupakan nelayan yang menggunakan
perahu-parahu yang besar atau biasa di sebut dengan perahu dogol berkapasitas 5
sampai 10 nelayan dalam satu perahu dan bisa menghasilkan ikan dalam satu hari
-
42
mencapai 3 kw/ hari berbeda dengan Tambak Lorok, nelayan Tambak Lorok
merupakan nelayan nelayan kecil yang biasanya melaut sendiri atau hanya berdua
dan ikan yang dihasilkan oleh nelayan adon ialah Ikan Kembung kecil, Ikan teri,
Ikan Juwi, Ikan Sreteng, cumi dan udang.
Proses pelelangan ikan akan dipandu oleh juru pandu lelang yaitu Bapak
Bambang, setelah pelelangan dimulai, para bakul akan menawar ikan dengan
harga yang tertinggi untuk mendapatkan ikan yang diinginkan. Awalnya bakul
akan berkeliling terlebih dahulu melihat ikan-ikan yang dilelang, bakul akan
melihat kualitas dan jenis ikan yang diinginkan, setelah bakul mendapatkan ikan
yang diinginkan, ia akan mengikuti pelelangan tersebut. Pada proses pelelangan
ini ada hal unik yang dapat ditemui yaitu proses tawar menawarnya, ketika sang
juri lelang menawarkan harga ikan para bakul akan memainkan alis dan
mengangkat jari telunjuk mereka jika harga yang ditawarkan sesuai, jika tidak
sesuai bakul akan diam saja. Cara tersebut sudah dipakai sejak dahulu dan sudah
disepakati bahwa cara tersebut merupakan cara yang efekif untuk bisa
mendapatkan harga ikan lelang yang lebih efektif (Wawancara Bapak Mashadi
Tanggal 14 juli 2019).
Keberadaan TPI di Tambak Lorok semestinya berperan penting dalam
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat nelayan Tambak
Lorok. TPI seharusnya berfungsi sebagai pelelengan ikan hasil tangkapan
nelayan, sehingga nelayan mendapatkan harga yang sewajarnya dan nelayan tidak
dimainkan oleh harga bakul. Tak hanya itu TPI juga berfungsi sebagai satu sistem
sosial bagi masyarakat Tambak Lorok. Fungsi utama TPI ialah untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memudahkan nelayan menjual hasil
tangkapan. TPI sudah memberikan interaksi sosial yang baik terhadap masyarakat
Tambak Lorok dengan menyediakan peran melalui kegiatan perikanan dalam
proses penjualan dan pendaratan ikan sehingga para nelayan mendapatkan harga
yang pantas dibandingkan jual ke bakul, namun nelayan Tambak Lorok sudah
lama tidak menjual hasil tangkapannya ke TPI karena nelayan sudah terikat
dengan bakul-bakul walaupun harga jual di bakul rendah. Nelayan menjual hasil
-
43
tangkapannya ke bakul disebabkan oleh adanya keterikatan mengenai modal
nelayan sehingga nelayan harus menjual ke bakul (Fama, 2016:1).
Gambar 2.10 Proses Pelelangan Ikan
Sumber Dokumentasi Penelitian Tahun 2019
2.8 Organisasi Masyarakat
2.8.1 Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan
Kelompok Usaha Bersama (KUB) merupakan kelompok sosial
nelayan yang ada di Tambak Lorok. Tambak Lorok memiliki 43 KUB,
namun yang berbadan hukum hanya 6 saja. Satu KUB beranggotan 10
hingga 15 nelayan. Syarat pembentukan KUB ialah harus mempunyai
anggota minimal 10 nelayan terlebih dahulu lalu mendaftarkan ke dinas
perikanan Kota Semarang. Kegunaan KUB sendiri untuk mempermudah
masyarakat mendapatakan kartu nelayan, kartu nelayan berfungsi sebagai
identitas diri seseorang yang berprofesi sebagai nelayan dan memudahkan
nelayan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Syarat pembuatan kartu
nelayan sangat mudah yaitu Fotocopy KK, KTP, dan surat perahu jika ada
perahu dan proses pembuatannya akan dibantu oleh ketua kelompok.
Kegiatan rutin yang dilakukan oleh KUB ialah pertemuan rutin tiap
bulan untuk melakukan kegiatan sosial seperti aspirasi nelayan mengenai
masalah-masalah di laut dan ada juga kegiatan lainnya seperti arisan.
Setiap KUB memberi kebijakan arisan yang berbeda-beda. Contohnya
seperti KUB Indah Jaya, biaya yang harus dikeluarkan untuk arisan
-
44
sebesar Rp.100.000 untuk uang pokok, untuk uang sosial Rp.10.000 dan
uang kas Rp.10.000 jadi yang harus dikeluarkan oleh nelayan tiap bulan
mencapai Rp.120.000. Uang sosial diperuntukan untuk masyarakat yang
terkena musibah seperti sakit, meninggal atau bencana alam lainnya
(Wawancara Bapak Hartanto pada tanggal 10 Mei 2019).
2.8.2 Koperasi Nelayan
Selain hubungan patron-client, terdapat juga koperasi di Tambak
Lorok walaupun kemunculan koperasi sebagai alternatif belum bisa
mengurangi hubungan patron-client antara bakul dan nelayan. Koperasi
juga merupakan potensi modal sosial bagi masyarakat Tambak Lorok.
Sikap saling percaya merupakan dasar bagi berdirinya koperasi, terutama
saling percaya antara anggota pengurus dan pengurus koperasi. Sikap
saling percaya tersebut membentuk jaringan sosial dalam bentuk
partisipasi anggota terhadap keberlangsungan koperasi. Koperasi yang
berhasil menjalankan seluruh unsur-unsur dari elemen modal sosial secara
baik dan efektif akan mampu menjadi kekuatan yang cukup potensial
dalam menghadapi tekanan eksternal yang bersifat struktural seperti
kekuatan pasar yang sangat merugikan, khususnya bagi masyarakat
nelayan akan tetapi banyak koperasi yang ada di Tambak Lorok berhenti
di tengah jalan. Kegagalan koperasi ini menunjukkan bahwa unsur-unsur
modal sosial tidak diperaktekkan dalam pranata koperasi.
Pada bulan Desember tahun 2018 masyarakat Tambak Lorok
kembali membuat koperasi bernama Layar Maju dan diketuai oleh Bapak
Ari (32 tahun). Terbentuknya koperasi diharapkan dapat bersama-sama
berkembang menangani permasalahan nelayan. Kurang Lebih sudah ada
200 nelayan yang bergabung dengan koperasi ini. Kegunaan koperasi ini
ialah menyejahterakan kehidupan nelayan dan akan ada pemberdayaan
ibu-ibu nelayan supaya lebih akif, seperti adanya pemberdayaan
pembuatan pernak pernik rumah tangga dari kulit kerang sehingga ibu-ibu
-
45
mempunyai keterampilan dan dari keahlian tersebut dapat menambah
penghasilan.
Masyarakat membuat koperasi ini juga untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan nelayan pada saat ini, yaitu permasalahan
kelangkaan bahan bakar. Dalam hal ini koperasi akan mengajukan
permintaan pengadaan SPBU mini untuk nelayan kepada pemerintah.
Koperasi ini juga memiliki program yaitu sebuah toko serba ada untuk
nelayan yang berisikan peralatan tangkap nelayan sehingga nelayan tidak
susah payah untuk mencari keluar wilayah Tambak Lorok, setelah itu
program selanjutnya ialah akan ada proses jual beli hasil tangkapan dengan
harga yang lebih mahal dibandingkan jual ke bakul. Pengadaan pinjaman
modal juga akan diperlakukan untuk anggota koperasi (Wawancara Bapak
Ari pada tanggal 15 mei 2019).
2.9 Adat Istiadat Sedekah Laut
Acara sedekah laut merupakan acara rutin tahunan yang diselenggarakan
oleh masyarakat Tambak Lorok. Acara sedekah laut ini diselenggarakan sebagai
wujud syukur kepada sang pencipta yang sudah memberi hasil tangkapan yang
melimpah. Acara sedekah laut ini dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut
dengan berbagai rangkaian acara, yaitu acara hari pertama pembacaan Arwah
Jama’ dan takhimah Al- Qur’an, hari kedua prosesi kirab larungan dan wayang
kulit dan hari ketiga acara pengajian serta sholawatan masyarakat Tambak Lorok.
Puncak dari acara ini ialah pada saat hari kedua acara karena larungan merupakan
hal yang terpenting selain itu pada hari kedua juga banyak wisatawan yang datang
untuk melihat larungan tersebut.
Acara larungan diawali dengan kirab rumah-rumahan sesaji yang
sebelumnya sudah di doakan oleh tokoh masyarakat. Rumah-rumah sesaji itu
berisikan kepala kerbau, palawija hasil bumi, nasi tumpeng, bunga, pisang dan
uang. Menurut Bapak Didik, kepala kerbau mempunyai arti membuang semua
kebodohan-kebodohan masyarakat Tambak Lorok dan diharapkan setelah adanya
-
46
sedekah laut ini jika masyarakat Tambak Lorok berada dijalan yang salah dapat
kembali ke jalan yang benar.
Gambar 2.11 Sesaji Kepala Kerbau
Sumber : Inibaru.id
Kirab diikuti oleh Wali Kota Semarang, tokoh masyarakat, masyarakat
dan para wisatawan. Kirab ini dimulai dari masjid Tambak Lorok lalu masyarakat
dan wisatawan berjalan bersama-sama ke dermaga. Saat berada di dermaga
masyarakat melakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemangku adat lalu
pemangku adat akan memotong satu ekor ayam yang berbulu hitam sebagai salah
satu syarat larungan akan dimulai lalu darah ayam yang berbulu hitam tersebut
akan dibuang ke laut. Menurut Bapak Didik hal tersebut dilakukan sebagai
permintaan izin ke penunggu lautan untuk mengadakan acara larungan. Setelah
pemotongan ayam , masyarakat dan wisatwan bersama-sama menaiki perahu
nelayan untuk melihat prosesi larungan di tengah laut.
Sesampainya di tengah laut, masyarakat Tambak Lorok turun kelaut untuk
memperebutkan makanan yang ada di rumah sesaji kecuali kepala kerbau. Setelah
acara pengambilan sesaji oleh masyarakat, acara selanjutnya ialah larungan rumah
sesaji yang berisi kepala kerbau, rumah sesaji tersebut akan di tenggelamkan
begitu saja ke tengah laut. Larungan tersebut merupakan