bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - etd.repository.ugm...
TRANSCRIPT
1
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Salah satu sektor pembangunan yang sangat urgen di Indonesia yaitu
sektor pendidikan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan negara Indonesia yang
tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya pada sisi lain, Nugroho memaknai
bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan merupakan tujuan akhir, akan
tetapi merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lebih lanjut. Dimana tujuan
yang lebih lanjut yaitu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
sejahtera. Kesejahteraan dapat diwujudkan apabila manusia yang menjadi warga
dari suatu kesatuan negara mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup untuk
dapat menguasai ilmu dan pengetahuan untuk mampu membuat keputusan yang
terbaik bagi diri dan lingkungannya1.
Demi mewujudkan tujuan di atas, kebijakan pendidikan yang merupakan
bagian dari kebijakan publik di sektor pendidikan diformulasikan ke dalam
berbagai program kebijakan. Salah satu program pendidikan minimal, dikenal
sebagai Wajib Belajar 9 Tahun dengan subsidi sekolah gratis dalam usia wajib
belajar yaitu usia 6-15 tahun kepada seluruh warga negara Indonesia.
Di wilayah bagian barat Indonesia, terdapat masyarakat suku asli yang
diasingkan oleh negara melalui prasangka negatif sebagai suku terasing. Dalam
1 Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kab.
Jembrana 2000-2006 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 2
2
hal ini masyarakat Suku Laut yang masih diberi prasangka negatif, merupakan
masyarakat yang awalnya tinggal di dalam sebuah kapal yang nomaden dan hanya
bergantung dengan hasil laut. Seiring berjalannya waktu dengan hadirnya negara,
masyarakat Suku Laut mulai mengalami penertiban agar menjadi penduduk yang
.dapat dikontrol oleh negara dan masyarakat Suku Laut mulai ditransformasikan
menjadi orang darat yang lambat laun memupuskan budaya kelautan mereka2.
Tidak cukup sampai di sini, masyarakat Suku Laut yang telah menjadi orang darat
dengan menetap di pinggir laut dan kondisi rumah yang seadanya masih tetap
berada dalam kondisi yang marginal dalam berbagai aspek kehidupan. Terlepas
dari itu semua, masyarakat Suku Laut yang selama ini dipandang sebagai suku
“terasing” di dalam masyarakat juga memiliki nilai dan karakter yang berbeda
dengan masyarakat pada umumnya.
Masyarakat Suku Laut yang diamati adalah masyarakat Suku Laut yang
berada di wilayah Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.
Berbeda dengan masyarakat mayoritas yang berada di Kecamatan Kundur,
masyarakat Suku Laut memiliki nilai dan karakter yang berbeda dengan
masyarakat setempat (suku lainnya). Nilai kesukuan intern Suku Laut yang
menonjol yaitu proses perubahan rezim Suku Laut mengikut Suku Melayu, segala
yang dijadikan karakter sebagai masyarakat Melayu akan diikuti oleh Suku Laut,
tidak terkecuali perubahan Kepala Kelompok/Subsuku yang bergeser menjadi
Pembina Suku Laut.
2 Aris A. Mundayat, “Batas Tanpa Makna: Sudut Pandang Orang Laut terhadap Asia Tenggara”
(makalah disajikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara, Universitas Gadjah
Mada, 4-6 Juli 2012)
3
Dengan karakteristik yang unik ini, masyarakat Suku Laut tetap tidak
luput sebagai target group kebijakan pendidikan yang diimplementasikan kepada
seluruh warga negara Indonesia. Namun berbagai kebijakan pendidikan demi
tercapainya wajib belajar 9 tahun yang diimplementasikan, tidak membuka
sedikitpun ruang “keterasingan” masyarakat Suku Laut untuk ikut berpartisipasi
dalam pendidikan. Walaupun ada beberapa anak Suku Laut yang mengenyam
bangku pendidikan Sekolah Dasar, akan tetapi mayoritas tidak selesai hingga
lulus, padahal fasilitas untuk mengenyam bangku pendidikan sudah dibuat
sedemikian setara dengan standar pendidikan pada umumnya, baik dari aspek
tenaga pengajar maupun fasilitas proses belajar mengajar. Selain itu, jarak antara
beberapa sekolah dengan pemukiman masyarakat Suku Laut dapat dikatakan
sangat dekat sehingga sangat mudah untuk dijangkau oleh masyarakat Suku Laut.
Berkaitan dengan kondisi pendidikan masyarakat Suku Laut, dapat
dikatakan bahwa anak-anak yang awalnya bersekolah di bangku Sekolah Dasar
hanya karena mereka belum mampu untuk ikut orang tuanya berlaut. Ketika
mereka sudah dianggap mampu untuk ikut berlaut, maka anak-anak tersebut akan
meninggalkan sekolahnya untuk ikut berlaut bersama orang tuanya3.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa program pembangunan dalam
sektor pendidikan yang selama ini diimplementasikan terhadap masyarakat Suku
Laut tidak memberikan efek kinerja kebijakan secara positif terhadap masyarakat
Suku Laut seperti yang ditunjukkan pada tingkat partisipasi pendidikan
masyarakat Suku Laut, dimana Angka Putus Sekolah (APS) masyarakat Suku
3 Iwan, Pembina Masyarakat Suku Laut, wawancara pribadi, 9 Februari 2013
4
Laut yang tinggi terus menerus mengkungkung masyarakat Suku Laut. Sementara
itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) anak
Suku Laut jauh lebih rendah dari pada Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka
Partisipasi Murni (APM) rata-rata Kabupaten Karimun (untuk selanjutnya disebut
Karimun), seperti yang digambarkan dalam grafik berikut.
Grafik 1.1.
Perbandingan persentase partisipasi pendidikan tingkat SD masyarakat
Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SD di
Kabupaten Karimun
Sumber: diolah dari data Dinas Pendidikan Kab. Karimun dan Data anggota
Ikatan Keluarga Kuale Kecamatan Kundur
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa persentase APK
masyarakat Suku Laut pada tingkat SD hanya sebesar 78,05%. Sementara itu rata-
rata persentase APK di kabupaten Karimun pada tingkat Sekolah Dasar mencapai
90,00%. Berbanding lurus dengan perbandingan persentase APK di atas,
persentase APM yang dicapai oleh masyarakat Suku Laut pada tingkat SD juga
sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata persentase APM di kabupaten
Karimun pada tingkat Sekolah Dasar. Dimana persentase APM masyarakat Suku
0
20
40
60
80
100
Suku LautKarimun
APK
APM
APS
5
Laut yaitu hanya sebesar 68,29%, semenatara rata-rata persentase APM tingkat
SD di Kabupaten Karimun mencapai 74,84%.
Sementara itu, persentase APS yang terjadi dalam masyarakat Suku Laut
pada tingkat SD sangat tinggi, yaitu mencapai 21,95%. Persentase tersebut sangat
besar jika dibandingkan dengan rata-rata persentase APS tingkat SD di kabupaten
Karimun yang hanya sebesar 1,77%. Selisih persentase yang cukup besar ini
menunjukkan kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi di dalam
masyarakat Suku Laut jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di
Kabupaten Karimun.
Grafik 1.2.
Perbandingan persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP masyarakat
Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP
di Kabupaten Karimun
Sumber: diolah dari data Dinas Pendidikan Kab. Karimun dan Data anggota
Ikatan Keluarga Kuale Kecamatan Kundur
Grafik di atas memperlihatkan bahwa persentase APK tingkat SMP
masyarakat Suku Laut hanya mencapai 33,33%, sementara itu rata-rata persentase
APK tingkat SMP Kabupaten Karimun mencapai 79,81%. Seperti halnya
0
20
40
60
80
Suku LautKarimun
APK
APM
APS
6
persentase APK tingkat SMP masyarakat Suku Laut yang lebih rendah daripada
rata-rata persentase APK tingkat SMP Kabupaten Karimun, persentase APM yang
dicapai oleh masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP juga sangat rendah yaitu
hanya sebesar 23,80%, persentase tersebut sangat kecil jika dibandingkan
besarnya rata-rata persentase APM tingkat SMP di Kabupaten Karimun yang
mencapai 55,45%.
Lebih jauh dalam mengamati grafik di atas, persentase APS tingkat SMP
pada masyarakat Suku Laut sangat besar jika dibandingkan rata-rata persentase
APS tingkat SMP di kabupaten Karimun, dimana persentase APS masyarakat
Suku Laut pada tingkat SMP yaitu sebesar 36,36%. Sementara itu, rata-rata
persentase APS tingkat SD di kabupaten Karimun yaitu hanya sebesar 6,71%.
Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat dikatakan bahwa partisipasi
pendidikan masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP yang sangat rendah apabila
dibandingkan dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP di
Kabupaten Karimun, tidak jauh berbeda dengan hasil perbandingan persentase
partisipasi pendidikan tingkat SD masyarakat Suku Laut dengan rata-rata
persentase partisipasi pendidikan tingkat SD di Kabupaten Karimun yang
ditunjukkan pada grafik yang sebelumnya. Lebih rendahnya persentase
paritisipasi pendidikan masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP disebabkan
karena sebagian besar masyarakat Suku Laut tidak melanjutkan sekolah dari
jenjang SD ke jenjang SMP4, sehingga pada akhirnya menambah kesenjangan
4 Aisah, Kepala Sekolah SDN 020 Tanjungbatu, wawancara pribadi, 9 April 2013
7
partisipasi pendidikan tingkat SMP antara masyarakat Suku Laut dengan rata-rata
persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP di Kabupaten Karimun.
Kinerja kebijakan pendidikan yang dilihat dari kedua grafik di atas
mengenai persentase partisipasi pendidikan masyarakat Suku Laut yang
dibandingkan dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan di kabupaten
Karimun, menunjukkan bahwa terdapat disparitas partisipasi pendidikan yang
tinggi antara masyarakat Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi
pendidikan pada umumnya di kabupaten Karimun. Dengan kata lain, kebijakan
pendidikan telah diimplementasikan dalam masyarakat Suku Laut hanya menjadi
“angin lalu” yang tidak membekas sedikitpun dalam masyarakat Suku Laut.
Berdasarkan kegagalan implementasi kebijakan pendidikan pada
masyarakat Suku Laut seperti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini
ingin menguak penyebab kegagalan implementasi kebijakan pendidikan pada
masyarakat Suku Laut dengan menganalisa implementasi kebijakan pendidikan.
Jelasnya, penelitian ini meliputi implementasi kebijakan pendidikan yang
tatarannya berlaku secara nasional dan daerah secara umum terhadap masyarakat
Suku Laut.
1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan: “Mengapa implementasi kebijakan pendidikan di
masyarakat Suku Laut tidak dapat meningkatkan partisipasi pendidikan pada
masyarakat Suku Laut?” Adapun pertanyaan turunan adalah:
8
1. Bagaimana konten kebijakan pendidikan yang diimplementasikan dalam
masyarakat Suku Laut?
2. Bagaimana konteks masyarakat Suku Laut dilibatkan dalam implementasi
kebijakan pendidikan?
3. Bagaimana proses implementasi kebijakan pendidikan diperjuangkan
dalam masyarakat Suku Laut?
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab kegagalan kebijakan
pembangunan dalam sektor pendidikan yang diimplementasikan pada masyarakat
Suku Laut dengan melihat proses implementasi yang dikerangkai dengan tiga
dimensi kebijakan publik yaitu konten, konteks dan proses serta memahami
pemerintah sebagai implementor kebijakan yang sebenarnya harus menghiraukan
masyarakat Suku Laut di dalam implementasi kebijakan sektor pendidikan.
1.3. Kerangka Teori
1.3.1. Mendefinisikan Kebijakan Publik
Dalam kajian kebijakan publik, Harold Laswell merumuskan tiga dimensi
yang menjadi basis dalam anatomi kebijakan, pertama yaitu dimensi konten yang
merupakan persoalan yang hendak diatasi, kedua, proses yang perlu dilakukan
untuk mengatasinya dan yang terakhir yaitu konteks di mana upaya untuk
mengatasi persoalan itu berlangsung5. Dari ketiga dimensi di atas, sering kali
tidak semua dimensi langsung dilakukan sekaligus untuk menghasilkan sebuah
kebijakan. Seperti halnya model teknokrat, biasanya cenderung terobsesi dengan
5Lihat Purwo Santoso, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: PolGov JPP UGM, 2010), 57
9
konten kebijakan dan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan konteks tidak
problematik6. Sayangnya dalam proses kebijakan selama ini, yang selalu dijadikan
acuan adalah model teknokrat, yaitu kebijakan yang tidak mengacu pada konteks
masyarakat.
Lebih jauh, pada era yang sering dikatakan sudah berdemokrasi ini proses
pembangunan tidak ada bedanya dengan proses pembangunan pada masa Orde
Baru. Dimana menurut Sutrisno, pada masa Orde Baru peran negara dan
aparatnya dalam pembangunan umumnya otoriter dan bersifat sangat sentralistis
dalam pelaksanaan kebijakan. Peran negara di dalam proses pembangunan adalah
sebagai motor tunggal penggerak modernisasi, yaitu mulai dari peran sebagai
penyedia dana untuk membiayai program modernisasi, merencanakan dan
melaksanakan, serta mengamankan proyek modernisasi yang mereka rencanakan.
Karena peran yang terlampau besar dan luas itu, tanpa disadari negara kemudian
seringkali menjadi kurang peka dan merasa bahwa aparat negara mempunyai hak
untuk membatasi masyarakat memilih alternatif dalam pembangunan7.
Seperti yang dikaji oleh Thomas Dye dalam Michael Howlett, Dye
menjelaskan bahwa agen dari kebijakan publik adalah pemerintah dan ketika
membahas tentang kebijakan publik, maka kita membahas tindakan pemerintah8.
Sementara menurut M. Dwan Rahardjo, kebijakan pembangunan yang lahir dan
serba dikendalikan oleh pemerintah itu disebut sebagai kebijakan “nasi bungkus”
yang di dalamnya sudah disediakan berbagai paket input dan harus dimakan
6Ibid., 58
7 Lihat Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan (Yogyakarta: Aditya Media,
1996), xviii 8 Michael Howlett dan M. Ramesh, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsyster
(New York: Oxford University Press, 1995), 5
10
seluruhnya. Artinya, kebijakan yang dirumuskan dan program yang disusun untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa umumnya berupa paket-paket
program yang sudah baku, berlaku nasional, dan seringkali mengabaikan detail
karakteristik masyarakat lokal9.
Berkaitan dengan proses kebijakan publik yang serba dikendalikan oleh
pemerintah, menurut Dunn, pada tahap implementasi kebijakan yang merupakan
pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil
kebijakan10
pun sering kali disetir sepenuhnya oleh pemerintah. Seperti halnya
model implementasi kebijakan yang bersifat top-down dimana implementasi
kebijakan dimaknai sebagai kegiatan untuk melakukan apa yang diperintahkan
dan mengontrol urutan-urutan tahapan di dalam sebuah sistem. Implementasi juga
dimaknai sebagai hal yang berkisar soal pengembangan sebuah program kontrol
yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang telah ditetapkan di
dalam “hipotesis kebijakan”11
. Oleh karena itu, maka dalam model implementasi
yang bersifat top-down ini, Rousseau telah menggarisbawahi bahwa, “segala
sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan sang Pencipta, dan segala sesuatu
adalah buruk di tangan manusia”12
.
Uraian di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana alur kebijakan
yang lebih banyak didominasi oleh kekuatan-kekuatan pusat dan mengabaikan
kekuatan lokal. Lebih jauh Wibowo merumuskan bagaimana kebijakan
dirumuskan dan diimplementasikan dengan sangat sedikit memperhatikan
9 Suyanto, op. cit., xix
10 William N. Dunn, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), 70 11 Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan (Jakarta:
Kencana, 2006), 468 12 Ibid.
11
stakeholder-stakeholder yang justru langsung merasakan dampak dari kebijakan
itu sendiri13
. Sehingga dapat dilihat bahwa selama ini pemerintah dalam proses
pembangunan seringkali mengabaikan institusi sosial yang merupakan konteks
yang ada dalam sebuah masyarakat. Tanpa disadari, model teknokrat sudah
dijadikan mainstream dalam proses kebijakan selama ini. Pemerintah menetapkan
karakteristik pembangunan di Indonesia dan menjalankannya dengan cara relatif
sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, padahal karakteristik
masyarakat yang dilingkup dalam sebuah sistem sosial sangat berbeda dengan
masyarakat yang lain.
Berkaitan dengan proses implementasi kebijakan publik, penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti pada tahun 2006 mengenai implementasi
kebijakan dalam program BOS dalam wajardiknas di Kabupaten Banyumas
menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam program BOS dijalankan
berdasarkan juklak dan juknis pemerintah, dimana dalam variabel konten
kebijakan, juklak dan juknis dalam program BOS cukup memberatkan. Sementara
itu di dalam variabel konteks kebijakan, stakeholder-stakeholder yang ada kurang
dilibatkan dalam implementasi program BOS. Dalam penelitiannya, Astuti
menggunakan alur berfikir Grindle tentang implementasi kebijakan yang terdiri
dari dua variabel, yaitu konteks dan konten kebijakan14
.
Pada tahun 2005, penelitian yang dilakukan oleh Ismulyadi mengenai
implementasi program dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan dengan
13 Eddi Wibowo. dkk, Kebijakan Publik dan Budaya (Yogyakarta: YPAPI, 2004), 27 14 Sujanti Tri Astuti, “Implementasi Program BOS dalam Rangka Memperluas Akses Layanan
Wajardiknas 9 Tahun: Studi Kasus di Kecamatan Banyumas Kabupaten Banyumas” (master’s
thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, 2006)
12
melihat konteks para pendamping dari pemerintah daerah dalam kontekstualisasi
implementasi program penanggulangan kemiskinan menemukan bahwa
kontekstualisasi dalam implementasi program penanggulangan kemiskinan lebih
cenderung tidak mengarah pada upaya optimalisasi pencapaian tujuan kebijakan.
Seperti halnya hasil penelitian di atas, Ismulyadi juga mengunakan alur berfikir
Grindle tentang implementasi kebijakan, akan tetapi untuk menjawab rumususan
masalah Ismulyadi hanya menggunakan variabel konteks implementasi15
.
Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri mengenai
implementasi pemekaran Kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang
dilakukan pada tahun 2010 menemukan bahwa implementasi yang dilakukan
belum menghasilkan outcome kebijkan seperti yang diharapkan, Putri
menggunakan alur berfikir proses implementasi kebijakan publik yang
dikemukakan oleh David Easton, dimana kebijakan publik merupakan alur dari
input kemudian masuk dalam wadah sistem politik dan dikeluarkan menjadi
output kebijakan16
.
Di Timor Leste, penelitian tentang implementasi kebijakan pendidikan
gratis dilakukan oleh Soares yang mengamati tentang efektifitas kebijakan dalam
meningkatkan kuantitas pendidikan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas kebijakan pendidikan gratis di kabupaten Manatuto. Sementra itu hasil
yang diperoleh Soares di dalam penelitiannya yang dilakukan pada tahun 2011
15 Ismulyadi, “Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan: Studi Kontekstualisasi dalam
Implementasi Program Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin di Kabupaten Rohul Provinsi
Riau” (master’s thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, 2005) 16 Dewy Susanti Putri, “Implementasi Kebijakan Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Tanjung
Jabung Barat tahun 2008-2009” (master’s thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas
Gadjah Mada, 2010)
13
yaitu kebijakan pendidikan gratis yang diimplementasikan di kabupaten Manatuto
cukup efektif, hal ini ditandai dengan berkurangnya persentase angka putus
sekolah di kabupaten Manantuto dari 34% menjadi 20%17
.
Lebih jauh, Soares membuktikan bahwa, angka putus sekolah yang masih
ada di kabupaten Manantuto disebabkan karena faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal yaitu kurangnya staff dinas pendidikan dalam melakukan
monitoring, evaluasi dan koordinasi dengan pihak sekolah. Dari faktor internal,
masih kurangnya jumlah guru, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan
jarak antara rumah siswa dengan sekolah yang cukup jauh18
.
Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa, permasalahan yang
muncul dalam pelaksanaan pendidikan selama ini seringkali dicermati sebagai
masalah teknis belajar dan mengajar dalam ruang lingkup kelas yang sangat
terbatas. Menurut Salim, kebijaksanaan pendidikan nasional masih dikelola
dengan pendekatan positivisme. Di beberapa kajian yang bersifat lebih makro,
masalah pendidikan akan selalu memunculkan parameter kinerja kebijakan dalam
bentuk arus murid, angka partisipasi untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu,
angka kelulusan, angka drop-out, pencapaian nilai rata-rata Ujian Nasional, dan
lain-lain tanpa melihat proses kebijakan pendidikan itu sendiri secara keseluruhan.
Sehingga masalah pendidikan dalam komunitas pendidikan pada akhirnya sangat
terkesan teknis dan penyelesaiannya sangat tergantung pada treatment mekanis
yang diberikan. Misalnya masalah peningkatan mutu pendidikan, akan selalu
17 Victor Soares, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis terhadap Anak Sekolah: Studi Kasus
Kebijakan Pendidikan Gratis di Kabupaten Manantuto, Timor Leste” (master’s thesis, Program
Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, 2011) 18 Ibid.
14
mendapat bantuan pengadaan sarana pelatihan bagi para guru, penambahan buku-
buku paket dan perbaikan peralatan laboratorium19
.
Masalah-masalah pendidikan jarang sekali dicermati dalam bentuk
kekuatan kelembagaan sekolah, interaksi kelembagaan sekolah dengan
masyarakat, intervensi birokrasi pendidikan, pengaruh kelembagaan pendidikan
tradisional dan bentu-bentuk swadaya masyarakat dalam upaya peningkatan
kegiatan pendidikan. Masalah-masalah pendidikan juga tampaknya tidak pernah
didekati sebagai kekuatan ideologi-sosial20
yang dimiliki oleh kekuatan besar di
dalam suatu masyarakat. Fenomena tentang pendidikan yang sering muncul di
masyarakat adalah sekolah murah, sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah
untuk anak berbakat dan lain-lain21
. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa selama
ini kajian mengenai pendidikan masih berkisar dalam konteks pembangunan yang
state-centric sehingga penyelesaian yang dilakukan juga dengan trickledown
effect.
Pada sisi lain, hasil literatur di atas menunjukkan bahwa beberapa studi
kebijakan publik selama ini yang diteliti pada fase implementasi kebijakan,
sebagian besar menggunakan salah satu dimensi kebijakan untuk mengkerangkai
kebijakan. Padahal sebagai kebijakan publik yang ideal, antara dimensi kebijakan
yang satu dengan dua dimensi kebijakan yang lainnya haruslah setara.
19 Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 285 20 Ideologi-sosial yang dimaksud yaitu sebagai sebuah sistem nilai atau sistem kepercayaan yang
menjadi karakteristik sebuah kelas atau kelompok masyarakat tertentu, sehingga sikap dan tingkah
laku seseorang dibentuk oleh ideology yang dianut oleh lingkungan masyarakatnya. Lihat
pengertian dari Williams dalam July Hidayat, “Desain Sebagai Fenomena Ideologi” Jurnal Desain
Vol. 5 No 1 (2007): 35. Tersedia di http://puslit.petra.ac.id/journals/interior (diakses 3 September
2013) 21 Ibid., 286
15
Oleh karena itu, untuk menjawab rumusan masalah, maka ada beberapa
premis yang menjadi garis besar. Pertama, studi ini menyepakati bahwa dalam
proses kebijakan publik khususnya tahap implementasi tidak akan berhasil jika
model kebijakan yang digunakan hanya sebatas proses satu arah antara
pemerintah kepada masyarakat tanpa ada partisipasi dari masyarakat sebagaimana
model kebijakan teknokratis yang abai terhadap konteks. Oleh karena itu, dalam
studi ini akan mengkompilasikan beberapa model untuk kajian kebijakan
pendidikan yang diimplementasikan di dalam masyarakat Suku Laut dengan
dikerangkai tiga dimensi kebijakan publik.
Kedua, karena studi ini akan menguak kegagalan kebijakan pendidikan
yang dianalisa pada tahap implementasi kebijakan pendidikan dengan
membandingkan kinerja kebijakan pendidikan, maka kriteria yang menjadi acuan
di dalam studi ini yaitu indikator kinerja kebijakan pendidikan berupa tingkat
partisipasi pendidikan yang kemudian dijabarkan ke dalam Angka Partisipasi
Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS)
masyarakat Suku Laut.
1.3.2. Implementasi Kebijakan Publik
Dalam mengkaji kebijakan publik, menurut Nugroho, tahap perumusan
kebijakan publik adalah inti dari proses kebijakan publik22
. Namun kebijakan
hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam
arsip jika tidak diimplementasikan, sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu
22 Riant Nugroho, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi (Jakarta: PT.
Gramedia, 2003), 101
16
tolok-ukur keberhasilan suatu kebijakan juga terletak pada proses
implementasinya23
. Dalam konteks Indonesia, rencana di dalam sebuah kebijakan
hanya menentukan 20% keberhasilan, sementara pada tahap implementasi
kebijakan menentukan 60% sisanya dan 20% sisa keberhasilan ditentukan oleh
cara kita mengendalikan implementasi. Sehingga, implementasi merupakan tahap
yang paling berat. Karena pada tahap implementasi, masalah-masalah yang
kadang tidak dijumpai di dalam konsep akan muncul dilapangan, dan salah satu
ancaman utama dalam proses implementasi yaitu konsistensi implementasi24
.
Seperti yang telah diuraikan pada subbab sebelumnya, dalam melakukan
analisis kebijakan publik tidak terlepas dari pengkajian tiga dimensi penyusun
kebijakan publik, yaitu konten, konteks dan proses kebijakan itu sendiri. Ketiga
dimensi di dalam analisis kebijakan publik tersebut tidak hanya berhenti
digunakan pada proses perumusan kebijakan, melainkan juga sampai pada tahap
implementasi kebijakan.
Namun menurut Santoso, pada praktiknya selama ini dalam proses
kebijakan publik tidak selalu mengedepankan ketiga dimensi tersebut dengan
porsi yang sama dalam sebuah kebijakan publik. Seperti halnya kebijakan yang
berorientasi pada dimensi konten akan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan
konteks tidak problematis. Kebijakan publik yang hanya berorientasi dengan
23
Fadillah Putra, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), 79 24H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami
Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 211-212
17
dimensi substansi ini merupakan kebijakan yang menggunakan model
teknokratis25
.
Berbeda dengan model teknokrat yang mengasumsikan bahwa kebijakan
adalah proses yang berjalan dengan logika birokratik ala Weberian, model politisi
melihat proses kebijakan dijalankan dalam logika „everything is possible‟ demi
menyiasati konteks yang ada untuk mencapai substansi yang diinginkan. Dalam
kebijakan publik yang orientasi analisisnya terhadap dimensi proses akan
memberikan perhatian utamanya pada pelibatan masyarakat sehingga dapat
mengantisipasi berbagai hal yang tidak sempat dipikirkan oleh pemerintah26
.
Selanjutnya, dalam model kebijakan publik yang menekankan pada
dimensi proses, kebijakan publik tidak hanya dimaknai sebagai rutinitas dan peran
satu arah dari pemerintah kepada masyarakat, melainkan juga terdapat partisipasi
masyarakat dalam proses merumuskan kebijakan publik. Untuk itu, di dalam
kajian Lele ditegaskan bahwa perlunya memahai kebijakan publik secara utuh,
tidak sekedar sebagai outcomes proses politik murni, tetapi juga sebagai proses
filsafat. Hal ini dimaksudkan agar diskursus kebijakan publik idealnya diarahkan
pada upaya mencari esensi public interest yang lebih bersifat komunikatif,
partisipatif dan emansipatoris yang pada upaya formulasinya membutuhkan suatu
pendekatan khusus diluar pendekatan ortodoks-konvensional sebagaimana dipakai
selama ini27
. Kemudian menurut Alisjahbana, kebijakan pembangunan yang
berorientasi pada pembangunan manusia sejatinya dalam pelaksanaannya
25 Santoso, op. cit., 58 26 Ibid. 27 Gabriel Lele, “Postmodernisme dalam Pengembangan Wacana Formulasi Kebijakan” Jurnal
Ilmu Sosial Ilmu Politik Vol. 3 No. 2 (November 1999): 207
18
mensyaratkan keterlibatan langsung oleh masyarakat penerima program
pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi
masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri28
.
Kemudian, seperti yang dikatakan oleh Steelman bahwa dalam
partisipatory planning memandang publik sebagai pihak yang berpengetahuan,
berwawasan, cerdas dan aktif, jika kepada mereka diberikan kesempatan dalam
keterlibatan masyarakat yang efektif29
. Steelman juga membedakan logika elit dan
partisipatoris seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.1. Perbandingan Logika Elit dan Partisipatori
Karakteristik Elit Partisipatori Kesempatan bagi publik berpartisipasi
Periodik Kontinyu
Partisipasi dalam
kesempatan
Terbatas/pasif Aktif/berkembang
Lokus atas kekuasaan pembuatan keputusan
Kepentingan pada elit Kepentingan publik
Nilai demokrasi yang
dipercaya
Instrumental; prosedural;
sebagai alat
Intrinsik; sebagai tujuan dan
cara
Pandangan terhadap birokrasi
Dipercaya dan kompeten Skeptis: waspada, kritis, khawatir terhadap akurasi dan
ketepatan representasi
Perhatian utama Efisiensi dan stabilitas, ilmiah dan rasional
Responsivitas terhadap kehendak umum, pertumbuhan
dari individu
Bentuk utama dari
partisipasi
Voting dan
kepemimpinan yang telah distandarisasi
Bentuk yang beragam,
partisipasi lokal sebagai bentuk yang rasional dan praktis
Pandangan terhadap
publik
Skeptis, memandang
publik sebagai apatis, dan
mudah dimanipulasi
Berwawasan/berpengetahuan,
aktif dan cerdas (discerning)
Sumber: Toddi A. Steelman, 2001, hal. 74
28 Alisjahbana, Kebijakan Publik Sektor Informal (Surabaya: ITS Press, 2004), 87 29 Toddi A. Steelman, “Elite and Participatory Policymaking: Finding Balance in a Case of
National Forest Planning” Policy Studies Journal Vol. 29. No. 1 (2001), dari EBSCOhost
Research Databeses (Diakses tanggal 2 Oktober 2012)
19
Berkenaan dengan ketiga dimensi analisis penyusun kebijakan publik yaitu
konten, konteks dan proses kebijakan itu sendiri, pada tahap implementasi
kebijakan juga dapat dianalisis dengan menggunakan ketiga dimensi tersebut.
Menurut kajian Putra, hal ini dikarenakan implementasi kebijakan tidak hanya
bersangkut paut dengan mekanisme operasional kebijakan ke dalam prosedur-
prosedur birokrasi, melainkan juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan
bagaimana suatu kebijakan itu diperoleh kelompok-kelompok sasaran30
. Artinya
bahwa implementasi kebijakan bukan hanya berkisar mengenai pelaksanaan
kebijakan yang hanya melibatkan birokrat, akan tetapi juga di dalam prosesnya
melibatkan stakeholder-stakeholder lainnya serta dilaksanakan pada suatu situasi
yang tentunya memiliki karakter yang beragam.
Dinamika proses implementasi ini menurut Grindle di dalam Politics and
Policy Implementation in the Third World, bukanlah sekedar terkait dengan
bagaimana mekanisme penjabaran berbagai keputusan politik dalam prosedur
rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memeperoleh apa dari suatu kebijakan.
Sehingga Grindle dalam konsep implementasinya melibatkan dua variabel utama,
yaitu policy content dan policy context. Dimensi konten menurut Grindle
mempengaruhi proses implementasi karena konten kebijakan yang dihasilkan
melalui perumusan kebijakan menentukan apa yang harus di-deliver melalui
sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat dari kebijakan
yang diimplementasikan, di mana kebijakan tersebut diimplementasikan dan siapa
30 Putra, op. cit., 80
20
yang mengimplementasikan kebijakan tersebut31
. Menurut Van Meier dan Van
Horn yang dikutip oleh Parsons bahwa studi implementasi perlu
mempertimbangkan isi (content) atau tipe kebijakan. Kemudian, efektivitas
implementasi akan bervariasi di antara tipe dan isu kebijakan. Faktor utama dalam
implementasi (perubahan, kontrol dan pemenuhan) menunjukkan bahwa jika ada
tingkat konsensus yang tinggi dan tidak banyak dibutuhkan perubahan, maka
implementasi akan berjalan dengan lancar32
.
Di dalam implementasi kebijakan, konten kebijakan menjadi instrumen
untuk mengimplementasi kebijakan. Grindle, dalam kajiannya mengenai variabel-
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan memasukkan dimensi
konten kebijakan sebagai salah satu variabel yang dirumuskan. Lebih jauh,
Grindle mengutip pendapat Theodore Lowi yang mengemukakan bahwa jenis
kebijakan yang dibuat akan memiliki dampak yang besar terhadap pelaksanaan
kebijakan. Indikator dimensi konten kebijakan menurut Grindle33
antara lain
yaitu:
a. Kepentingan yang dipengaruhi (interest affected)
Ketika kebijakan diimplementasikan ke dalam sebuah institusi, maka harus
disadari bahwa di dalam institusi tersebut telah ada suatu kondisi yang
kompleks dan berbagai kepentingan di dalamnya. Maka, jika kebijakan yang
kemudian diimplementasikan ke dalam institusi tersebut berlawanan dengan
31 Merilee S. Grindle, Politics and Policy Implementation in the Third World (Princeton University
Press, 1980), 8-10 32 Parsons, op. cit., 482 33 Grindle, loc. cit.
21
kepentingan yang sudah ada maka akan memunculkan resistensi, begitu juga
sebaliknya.
Dari poin ini dapat dilihat sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut
membawa pengaruh terhadap implementasi. Hal ini dikarenakan masing-
masing aktor yang memiliki kepentingan akan mempertahankan
kepentingannya, sehingga pelaksanaan kebijakan tidak mengancam
kepentingan mereka.
b. tipe benefit (type of benefits)
Di dalam suatu kebijakan, harus terdapat beberapa jenis manfaat yang
menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian satu
jenis kebijakan sehingga berpengaruh pada keberhasilan proses implementasi
kebijakan. Untuk itu, program kebijakan harus memberikan manfaat secara
kolektif, yang dapat memobilisasi lebih banyak jenis partikularistik tuntutan
pada tahap implementasi.
c. derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envision)
Setiap kebijakan mempunyai target perubahan yang hendak dicapai. Seberapa
besar perubahan yang hendak dicapai melalui suatu implementasi kebijakan
harus mempunyai skala yang jelas. Dalam banyak kasus, konten kebijakan
yang memproyeksikan perubahan yang besar cenderung mendapatkan
resistensi yang lebih kuat, sehingga memiliki potensi yang lebih besar untuk
gagal
d. letak pengambilan keputusan (site of decision making)
22
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan sangat mempengaruhi
implementasi kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak
pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan
dan siapa saja aktor kunci yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
Karena seperti yang disinggung oleh Grindle sebelumnya yaitu implementasi
bukanlah sekedar terkait dengan bagaimana mekanisme penjabaran berbagai
keputusan politik dalam prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi,
melainkan lebih dari itu juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan
siapa yang memeperoleh apa dari suatu kebijakan.
e. implementor program (program implementors)
Dalam melaksanakan suatu kebijakan harus didukung dengan adanya
pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi tercapainya tujuan
kebijakan. Selain hal tersebut, berkaitan dengan uraian pertama mengenai
kepentingan yang dipengarui dan akan mempengaruhi kebijakan, implementor
kebijakan yang juga merupakan aktor juga memiliki kepentingan, sehingga
akan ada tarik menarik kepentingan didalam implementasi kebijakan itu
sendiri.
f. sumberdaya yang dialokasikan (Resources Committed)
Sejalannya implementasi kebijakan dengan tujuan kebijakan juga harus
didukung oleh sumberdaya, agar implementasi kebijakan berjalan dengan
baik.
Semua aspek dalam dimensi konten kebijakan yang dikemukakan oleh
Grindle akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan karena konten
23
kebijakan yang dihasilkan melalui policy making menentukan apa yang harus
dideliver melalui implementasi kebijakan, perubahan apa yang muncul sebagai
akibat dari proses implementasi kebijakan tersebut34
.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan dimensi konteks yang
mempengaruhi proses implementasi kebijakan, Grindle merumuskan konteks
sebagai hal yang merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan,
termasuk implementasi berlangsung. Di dalam kajian Laswell tentang pemetaan
kontekstual untuk implementasi kebijakan juga melibatkan pemetaan
partisipan/stakeholder, perspektif mereka, situasi, nilai dan strategi mereka, serta
hasil dan efek aktual yang mereka inginkan. Laswell mengakui bahwa
implementasi mengandung konteks spesifik dalam term nilai dan institusi yang
ada di dalam problem tertentu. Pemetaan konteks problem memberikan
kemungkinan untuk memahami keragaman dimensi dan pengetahuan, keyakinan,
kekuasaan, makna, dan nilai yang mendasari pembuatan kebijakan dan
implementasinya35
. Pemahaman dimensi konteks sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh di dalam implementasi kebijakan menjadikan implementasi
kebijakan sebagai sebuah arena yang tidak hanya dikuasai oleh administratif
belaka, tetapi juga terdapat aktor-aktor lain yang mempengaruhi jalannya
implementasi sebuah kebijakan.
Dimensi konteks di dalam kajian Grindle36
dibagi atas beberapa variabel di
antaranya yaitu:
34 Ibid. 35 Parsons, op. cit., 491 36 Grindle. op. cit., 10-14
24
a. kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat (power, interest and
strategy of actor involved)
Dalam implementasi kebijakan perlu diperhitungkan besarnya kekuasaan,
kepentingan dan strategi aktor-aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya
implementasi suatu kebijakan. Dengan kata lain, di dalam implementasi
kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkungan di mana
kebijakan berlangsung, karena terdapat berbagai pihak yang memiliki
kepentingan yang beragam serta power yang dapat mempengaruhi kebijakan.
Karena kepentingan yang beragam, maka tujuan yang diinginkan pun berbeda
sehingga terjadi konflik, dan akibatnya mengenai siapa dan memperoleh apa
akan ditentukan oleh strategi, sumber-sumber dan posisi kekuasaan setiap
pihak yang terlibat.
b. karakteristik rezim dan institusi (institution and regime characteristic)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh
terhadap keberhasilan kebijakan. Lingkungan tersebut berupa karakteristik
suatu rezim dan kelembagannya ketika melaksanakan kebijakan yang akan
turut mempengaruhi proses kebijakan, apakah lembaga dan rezim yang
berkuasa mendukung pencapaian tujuan di mana kebijakan dilaksanakan atau
sebaliknya.
c. kepatuhan dan responsivitas (compliance and responsiveness)
Dalam melaksanakan kebijakan, konteks lainnya yang ikut berpengaruh yaitu
kepatuhan dan responsivitas dari para pelaksana, dimana yang hendak
dijelaskan di dalam poin ini yaitu untuk mencapai tujuan kebijakan
25
dibutuhkan lingkungan spesifik yaitu responsivitas. Idealnya, lembaga publik
seperti birokrasi harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Responsivitas tidak dapat dicapai dalam pelaksanaan tujuan kebijakan karena
intervensi dari beberapa individu atau kelompok yang memiliki kepentingan.
Setelah kegiatan implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh konten
kebijakan dan lingkungan/konteks implementasi, maka akan dapat diketahui
apakah para pelaksana kebijakan dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan apa
yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan dipengaruhi
oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang ditimbulkan37
.
37 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2006), 156
26
Skema 1.1.
Proses Implementasi Kebijakan sebagai Proses Administratif dan Politis
Tujuan Kebijakan Aktivitas implementasi
dipengaruhi oleh:
a. Konten Kebijakan
Kepentingan yang berpengaruh
Tipe benefit
Drajat perubahan yang terjadi
Letak pengambilan keputusan
Implementor program
Sumber daya yang dialokasikan
b. Konteks Implementasi
Kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat
Karakteristik rezim dan institusi
Kepatuhan dan responsivitas
MENGUKUR KEBERHASILAN
Sumber: Grindle, 1980, hal. 11
Dalam dimensi kebijakan publik yang melibatkan konten, konteks dan
proses, maka pada kajian kebijakan publik tidak relevan jika hanya menggunakan
teori Grindle yang menekankan pada dimensi konten dan konteksnya saja. Dalam
mengkaji dimensi proses dalam implementasi kebijakan, dapat dianalisis dengan
dua model, yaitu model top-down dan model bottom-up.
Pada proses implementasi yang menggunakan model top-down,
implementasi didasarkan dalam suatu kerangka yang berfokus pada keputusan dan
kekuasaan, dan potensi pembuat keputusan untuk menimbulkan perubahan di
dalam masyarakat dianggap sebagai sebuah problem dari pengembangan kontrol
dan elit yang efektif. Pandangan top-down yang dianut Sabatier dan Mazmanian
yang dikutip oleh Parsons lebih memperhatikan hubungan antara keputusan
Outcome kebijakan:
a. Dampak terhadap
masyarakat, individu dan kelompok
b. Perubahan dan drajat
penerimaan terhadap
perubahan
tujuan
tercapai? program dan
proyek yang
direncanakan dan didanai
Apakah program
dijalankan sesuai
dengan desain?
27
dengan pencapaian, perumusan dan implementasi dan potensi hierarki dengan
pembatasan pengimplementasi untuk mencapai tujuan legal yang didefinisikan di
dalam kebijakan38
. Artinya, di dalam pokok pemikiran Sabatier dan Mazmanian
menyatakan bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi
pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk
pelaksana maupun petunjuk teknis)39
.
Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini
akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena
model top-down memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab-
akibat, dengan tanggungjawab yang bersifat single dan penuh. Model top-down
ini juga memiliki skor yang rendah pada bukti-bukti penting atau realisme dan
kemampuan pelaksana. Implementasi kebijakan dianggap dapat berjalan secara
mekanistis atau linear. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi
dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group serta
mengabaikan peran dari aktor lain40
.
Lebih jauh menurut Agustino, pada dasarnya ketika para elit merumuskan
kebijakan, maka kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang
diusahakan untuk mempertahankan kekuasaannya, kebijakan yang
menguntungkan dirinya, hingga kebijakan yang diusahakan untuk meminggirkan
partisipasi publik41
. Hal ini dapat diamati dengan skema berikut:
38 Parsons, op. cit., 489 39 Putra, op. cit., 89 40 Ibid., 90 41 Agustino, op. cit., 132
28
Skema 1.2. Aktor Kebijakan Publik yang Bersifat Elitis
Pembuat Kebijakan
Pelaksana Kebijakan
Penerima Beban Kebijakan
Di sisi lain dalam proses implementasi, model bottom-up merumuskan
bahwa implementasi adalah sebuah proses pembuatan kebijakan dan
(kemungkinan) pemberdayaan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai target
keputusan. Kemudian, dalam kajian Parsons, pendekatan bottom-up juga
didasarkan pada signifikansi hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam
suatu kebijakan atau problem dengan pembatasan hierarki formal di dalam kondisi
tersebut42
. Proses implementasi dalam model bottom-up bukanlah sebuah proses
yang bersifat konsekuental, akan tetapi berlangsung dalam proses tawar menawar
yang terjadi terus menerus antar berbagai aktor kebijakan. Pada intinya, perspektif
ini alih-alih menekankan pada ketepatan dan pedanticism-teknokratis, lebih
mengandalkan pada inisiatif, pengetahuan, dan kemampuan belajar dan
beradaptasi dari masyarakat sebagai stakeholders dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan43
.
Dari hal di atas, ditegaskan oleh Mas‟oed bahwa proses kebijakan yang
berurusan dengan pembangunan seharusnya didasarkan pada pertimbangan
42 Parsons, loc. cit. 43 Santoso, op. cit., 129
Elit
Birokrasi
Publik/
Rakyat
29
pemberdayaan masyarakat44
. Dalam kajian yang dilakukan oleh John D.
Montgomery, suatu program akan berjalan dengan baik jika terdapat partisipasi
publik mulai dari perencanaan hingga executions. Lebih lanjut menurutnya,
evektifnya suatu program akan terjadi jika ada partisipasi dari masyarakat lokal45
.
Di dalam proses kebijakan publik yang menitikberatkan pada partisipasi
masyarakat secara rinci dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff membedakan empat
jenis partisipasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam
pelaksanaan, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan dan partisipasi dalam
evaluasi46
. Kebijakan publik yang berorientasi pada partisipasi masyarakat juga
harus diimbangi dengan semakin ke pinggirnya dominasi pemerintah. Hal ini
dijelaskan dalam agenda kebijakan publik oleh Lele, dimana negara harus kembali
mereorientasi dan melakukan reformasi peran negara, karena selama ini negara
terlalu dominan dalam melaksanakan perannya. Untuk itu negara sebaiknya
menjadi katalisator, dimana negara harus banyak menjadi ”pendengar” bukan
”pembicara” sehingga wacana yang sering diungkapkan adalah bahasa
masyarakat, bukan bahasa negara47
.
Dari definisi World Bank, partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat
dimaknai sebagai sebuah proses dimana para stakeholder saling mempengaruhi
dan berbagi kontrol atas inisiatif pembangunan, keputusan dan juga sumberdaya
44
Mochtar Mas‟oed, Politik Birokrasi dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994) 45 John D. Montgomery, “When Local Paricipation Help”, Journal of Policy Analysis and
Management Vol. 3 No. 1 (Autumn, 1983): 90. Dari Jstor Databases (diakses tanggal 6 Juni 2012) 46 Alisjahbana, op.cit., 88 47 Lele, op. cit., 216
30
yang akan mempengaruhi mereka48
. Kemudian, menurut Brinkerhoff yang dikutip
oleh Wibowo bahwa pada prakteknya, partisipan bukanlah aktor tunggal namun
dapat dibagi dalam; stakeholder dalam entitas pemerintahan nasional, seperti
menteri, parlemen dan juga agen sektor publik di level sub nasional, yaitu
pemerintahan kabupaten, DPRD dan sebagainya. Yang juga termasuk partisipan
adalah aktor-aktor sektor privat, berbagai organisasi pada level baik nasional
ataupun lokal meliputi asosiasi profesional, think tank, serikat dagang, organisasi
keagamaan, kelompok pemuda, partai politik, serta warga negara khususnya
warga miskin dan yang terpinggirkan49
.
Lebih lanjut menurut Sihombing, melalui pendekatan seperti inilah
kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut serta dalam pembangunan.
Demikian dengan masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola seperti ini
harus dipahami bahwa yang memahami masalahnya itu adalah masyarakat
(individu yang bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/pemerintah).
Selanjutnya dengan pengikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ini
sekaligus akan mensinergikan kekuatan melalui penyusunan program-program
yang berbasis pada potensi yang dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli
di bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat akan
48
World Bank, “World Development Report 1997 - the state in a changing world”,
http://econ.worldbank.org/external/default/main?pagePK=64165259&theSitePK=469382&piPK=
64165421&menuPK=64166093&entityID=000090341_20070712102213 (Diakses 2 Oktober
2012) 49 Wibowo, op. cit., 34
31
lebih bermanfaat dibandingkan dengan pembangunan yang dilaksanakan dengan
mengacu pada model-model pembangunan tertentu50
.
Dari hal di atas, dapat dikatakan bahwa dalam implementasi kebijakan
dimensi proses tidak dapat dilepaskan dari tahap implementasi kebijakan karena
implementasi merupakan proses itu sendiri. Lebih lanjut menurut Smith,
implementasi dapat dikatakan sebagai proses atau alur. Model proses atau alur
yang dikemukakan oleh Smith ini melihat proses kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam
masyarakat sebagai target group51
.
Smith menyatakan bahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan
dalam proses implementasi kebijakan, yaitu:
1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus
kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang
target group untuk melaksanakannya;
2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan; karena target group banyak mendapatkan pengaruh dari kebijakan,
maka diharapkan dapat menyesuaikan pola perilakunya dengan kebijakan
yang dirumuskan;
50Marlon Sihombing, “Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif”
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Volume 3 Nomor 1 (Januari – April 2006): 42,
http://usupress.usu.ac.id/files/Analisis%20Administrasi%20dan%20Kebijakan%20Vol_%203%20
No_1%202006.pdf#page=40 (diakses 2 Oktober 2012) 51 Thomas B. Smith, “The Policy Implementation Process” Policy Science Vol 4, No. 2 (June
1973): 198. Published by: Springer collaborated with Jstor, http://www.jstor.org/stable/4531525
(diakses tanggal 21 Juni 2013)
32
3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit birokrasi
pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan;
4. Environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang
mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi
dan politik)
Lebih jauh, Smith merumuskan bahwa keempat variabel di atas tidak
berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan
berinteraksi secara timbal balik, karena itu sering menimbulkan tekanan (tension)
bagi terjadinya interaksi atau tawar-menawar antara formulator dan implementor
kebijakan. Ketegangan dan tekanan-tekanan tersebut menghasilkan pola-pola
transaksi, yaitu pola-pola yang tidak tetap yang berkaitan dengan tujuan dari suatu
kebijakan. Pola-pola transaksi tersebut mungkin menghasilkan pembentukan
lembaga-lembaga tertentu, sekaligus dijadikan umpan balik untuk mengurangi
ketegangan dan dikembalikan kepada matriks dari pola-pola transaksi dan
kelembagaan.
33
Skema 1.3. Proses Implementasi Kebijakan Publik Bottom Up
Sumber: Smith, 1973, hal. 203
Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini
memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksanaan. Karena
modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linear
atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses
negosiasi, atau tawar-menawar untuk menghasilkan kompromi terhadap
implementasi kebijakan yang bersumber pada target group52
. Ini berarti bahwa
implementasi kebijakan yang berdimensi pada proses tidak hanya bertumpu pada
birokrat sebagai implementor kebijakan, tetapi juga ada target group sebagai
subjek kebijakan. Masyarakat sebagai target group dilibatkan dalam proses
implementasi kebijakan berupa adanya negosiasi dan partisipasi masyarakat yang
terakomodir di dalam proses kebijakan.
52 Ibid., 205
Target Group
Implementing Organization
Policy
Making
Process
Idealized Policy Policy Tension
Environmental Factors
Transactions
Feedback Institutions
Implementing
Organization
Target
Group
34
Dalam kajian ini, karena keempat aspek yang menurut Smith saling
mempengaruhi dalam simpul tegangan telah dijelaskan oleh Grindle pada variabel
konten kebijakan dan konteks dimana kebijakan diimplementasikan, maka
indikator yang digunakan dalam proses implementasi kebijakan menurut Smith
yaitu tahap-tahap kebijakan dimana pada akhirnya sampai pada tujuan kebijakan
atau kembali lagi pada tegangan semula. Dengan kata lain, dalam mengkaji
proses implementasi yang berlangsung dalam kebijakan pendidikan masyarakat
Suku Laut, maka tahap-tahap proses implementasi yang ditawarkan oleh Smith
menjadi salah satu kerangka untuk membingkai tiga dimensi kebijakan.
Dari uraian di atas, dapat diringkas di dalam bentuk skema mengenai tiap-
tiap dimensi kebijakan yang ditelaah dengan variabel-variabel implementasi
kebijakan seperti dibawah ini.
Skema 1.4. Kerangka Teoritis
35
1.3.3. Kinerja Kebijakan
Menurut Nugroho, model yang dikembangkan oleh beberapa ahli,
misalnya yaitu Dye, Anderson, Easton, Dunn, Patton dan Savicky, Meier, Scott,
Grindle dan Thomas mengenai proses kebijakan publik selama ini banyak
memiliki kesamaan, yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju
implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Namun, dalam banyak kajian
yang dilakukan oleh akademisi tersebut tidak memasukkan kinerja kebijakan,
melainkan langsung pada evaluasi kebijakan. Terjadinya hal ini kemungkinan
disebabkan para akademisi tersebut menilai bahwa “kinerja kebijakan” adalah
proses yang “pasti terjadi” dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus
disebutkan, sehingga proses setelah implementasi adalah evaluasi.53
Namun sebaliknya, kajian Effendi yang memberikan lokus pada kinerja
kebijakan, memaknai kinerja kebijakan sebagai indikator prestasi dari proses
kebijakan. Dimana proses kebijakan yang dimulai dari agenda setting, formulasi
kebijakan, implementasi kebijakan dan yang diakhiri dengan kinerja kebijakan
memiliki proses yang “saling mengembangkan” dalam bentuk kontribusi value
antar subsistem54
.
Value yang dikreasikan pada tahap formulasi menyumbangkan pada tahap
implementasi. Value yang dikreasikan pada tahap implementasi menyumbangkan
pada tahap kinerja kebijakan. Value yang dikreasikan di lingkungan kebijakan
menyumbangkan pada setiap tahap, baik perumusan, implementasi maupun
53 Nugroho, Public Policy, (Jakarta: Gramedia, 2008), 352 54 Kinerja kebijakan yang merupakan lokus dalam proses kebijakan yang diperkenalkan oleh
Sofian Effendi belum pernah dipublikasikan oleh Effendi secara resmi, namun diajarkan pada
program pasca sarjana MAP UGM hingga saat ini. Lihat Ibid., hal. 352-353
36
kinerja. Keberhasilan pada masing-masing tahap akan mengkontribusikan
keberhasilan pada tahap selanjutnya; demikian pula kegagalan pada masing-
masing tahap akan mengkontribusikan kegagalan pada tahap selanjutnya55
.
Artinya, value yang dihasilkan di dalam suatu kebijakan dapat dilihat pada kinerja
kebijakan sebagai hasil interaksi dari tahap implementasi di dalam suatu
lingkungan kebijakan.
Dalam penelitian ini, kinerja kebijakan yang dicapai dalam implementasi
kebijakan pendidikan dilihat berdasarkan tingkat partisipasi pendidikan.
Partisipasi menurut Norman yang dikutip oleh Kaho, merupakan keikutsertaan
seseorang dalam kelompok yang mendukung tercapainya tujuan yang
ditetapkan56
. Keikutsertaan ini baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
tahap pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan,
pengimplementasian, pengawasan atau pengevaluasian57
.
Pada tahap implementasi kebijakan pendidikan, tentunya harus disertai
dengan partisipasi dari masyarakat untuk ikut serta dalam program yang telah
dirumuskan sebelumnya, hal ini dikarenakan tidak mungkin suatu statement
policy dapat ditransformasikan ke dalam outcome policy tanpa adanya
keikutsertaan dari target group. Tingkat partisipasi pendidikan masyarakat
sebagai indikator yang dapat menggambarkan kinerja kebijakan pendidikan58
merupakan keikutsertaan warga negara dalam pelaksanaan pendidikan formal
55 Ibid. 56 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 126 57 Alisjahbana, loc. cit. 58
Dikatakan sebagai indikator yang dapat menggambarkan kinerja kebijakan pendidikan, karena
Value yang dikreasikan pada tahap implementasi menyumbangkan pada tahap kinerja kebijakan.
Lihat Nugroho, op. cit., 352 dan Nugroho, Kebijakan Pendidikan yang Unggul, op. cit., hal. 61
37
dijabarkan ke dalam persentase Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi
Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS). Oleh karena itu, partisipasi
pendidikan merupakan persentase penduduk di suatu daerah yang ikut serta dalam
pelaksanaan pendidikan pada lembaga formal, mulai dari tingkat pendidikan
dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas.
1.4. Definisi Konseptual dan Operasional
1.4.1. Definisi Konseptual
Dalam penelitian ini, diperlukan definisi konseptual yang merupakan
abstraksi singkat sehingga dapat memberikan arahan pada penggunaan suatu
variabel. Definisi konseptual di dalam penelitian ini di antaranya yaitu:
a. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan proses dalam mewujudkan tujuan
kebijakan yang dinyatakan di dalam formula kebijakan, sebagai policy
statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas
pemerintah.
Implementasi kebijakan juga bukanlah sekedar terkait dengan bagaimana
mekanisme penjabaran berbagai keputusan politik dalam prosedur rutin
melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu
kebijakan, sehingga di dalam proses implementasi tidak hanya melibatkan
birokrat tetapi juga stakeholder-stakeholder lainnya. Oleh karena itu, di dalam
38
implementasi kebijakan akan terkait dengan konten kebijakan, konteks
implementasi kebijakan dan proses implementasi itu sendiri59
.
b. Partisipasi pendidikan
Partisipasi pendidikan merupakan indikator kinerja kebijakan pendidikan.
Partisipasi pendidikan menunjukkan persentase penduduk di suatu daerah
yang ikut serta dalam pelaksanaan pendidikan pada lembaga formal, mulai
dari tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan
menengah atas. Tingkat partisipasi pendidikan dapat diperoleh dengan
beberapa cara, diantaranya yaitu dengan menghitung Angka Partisipasi Kasar
(APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).
1.4.2. Definisi Operasional
Berdasarkan definisi konseptual yang telah dijelaskan di atas, untuk
menyesuaikan dengan penelitian ini, maka dijabarkan ke dalam definisi yang
lebih operasional sehingga diperoleh beberapa indikator penelitian sebagai
berikut:
a. Konten Kebijakan
Konten kebijakan yang merupakan substansi kebijakan publik itu sendiri
dalam penelitian ini meliputi keonten kebijakan pendidikan. Kebijakan
pendidikan yang dijadikan substansi penelitian yaitu kebijakan pendidikan
yang ruang lingkup tatarannya secara nasional maupun daerah. Konten
kebijakan terdiri dari beberapa variabel, yaitu:
59 Grindle, op. cit., 6-10
39
- Kepentingan yang dipengaruhi
Kepentingan yang dipengaruhi dengan diimplementasikannya kebijakan
yaitu merupakan kepentingan yang ada pada kondisi yang kompleks
dimana kebijakan pendidikan diimplementasikan. Selanjutnya, resistensi
atau dukungan akan terlihat dari situasi yang ada, dalam hal ini baik situasi
pada level pusat hingga level satuan pendidikan.
- Tipe benefit
Manfaat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manfaat yang diterima
oleh target group apabila telah mencapai target yang diharapkan dalam
implementasi kebijakan, dalam hal ini yaitu tercapainya wajib belajar 9
tahun bagi masyarakat Suku Laut. Manfaat yang diterima yaitu
tercapainya kesejahteraan bagi Suku Laut, sehingga Suku Laut mampu
membuat keputusan yang terbaik bagi diri dan lingkungannya berdasarkan
kemampuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan.
- Target perubahan yang diinginkan
Target perubahan yang diinginkan dalam penelitian ini meliputi
tercapainya wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat Suku Laut sesuai
dengan pasal 31 UUD 1945 mengenai pendidikan bagi seluruh warga
negara Indonesia.
- Letak pengambilan keputusan
Letak pengambilan keputusan yang merupakan faktor penentu dalam
implementasi kebijakan, dalam kebijakan pendidikan dimulai dari
40
pengambilan keputusan kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan
hingga tingkat daerah.
- Implementor program
Impelementor kebijakan yang akan turut mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan, karena implementor kebijakan juga merupakan
aktor juga memiliki kepentingan pendidikan, disusun berdasarkan hierarki
vertikal, mulai dari BSNP pada tingkat pusat, Dinas Pendidikan tingkat
provinsi dan kabupaten serta satuan pendidikan.
- Sumberdaya yang dialokasikan
Tingkat kebutuhan akan sumber daya juga dipengaruhi oleh pilihan
strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Sumberdaya dalam
pendidikan dasar ditetapkan antara lain berasal dari pemerintah pusat
(APBN) dan pemerintah daerah (APBD).
b. Konteks Implementasi
Konteks implementasi kebijakan pendidikan terdiri dari berbagai kepentingan
yang mempengaruhi proses administrasi dan penentuan berbagai pilihan
dalam implementasi kebijakan pendidikan, baik konteks dari sisi implementor
kebijakan pendidikan maupun dari masyarakat Suku Laut. Konteks
implementasi kebijakan dibagi atas beberapa variabel, yaitu:
- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
Kekuasaan dan kepentingan merupakan konteks yang menentukan arah
implementasi kebijakan pendidikan, karena berbagai pihak yang memiliki
kepentingan yang beragam serta power yang dapat mempengaruhi
41
kebijakan. Akibatnya, mengenai siapa dan memperoleh apa akan
ditentukan oleh strategi, sumber-sumber dan posisi kekuasaan setiap pihak
yang terlibat baik dari perumus kebijakan, implementor kebijakan
pendidikan maupun masyarakat Suku Laut.
- Karakteristik rezim dan institusi
Implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh karakteristik rezim dalam
implementasi kebijakan pendidikan. Karakter rezim dalam pendidikan
dilihat berdasarkan pergeseran karakteristik kebijakan yang dirumus dan
diimplementasikan terhadap masyarakat Suku Laut dalam sistem otonomi
pendidikan.
- Kepatuhan dan responsivitas
Kepatuhan dan responsivitas yang dimaknai dalam penelitian ini terdiri
dari kepatuhan dan rensponsivitas implementor kebijakan serta masyarakat
Suku laut sebagai target group kebijakan pendidikan.
Dimana dalam kebijakan pendidikan, implementor kebijakan menghadapi
dua persoalan. Pertama, implementor kebijakan harus konsisten mencapai
tujuan program, seperti berusaha mendapatkan dukungan dari para elit
politik dan kesedian dari instansi-instansi pelaksana, ketersediaan dari para
birokrat yang ditugaskan untuk melaksanakan program, dari para elit
politik pada level bawah serta dari pihak-pihak yang diharapkan menerima
manfaat program.
Selanjutnya implementor kebijakan pendidikan juga harus mampu
mengubah sikap menentang dari pihak yang merasa dirugikan karena tidak
42
mendapatkan manfaat dari program menjadi menerimanya serta waspada
terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program60
.
c. Proses Implementasi
Dalam penelitian ini, proses implementasi kebijakan pendidikan dimaknai
sebagai proses tidak dapat dilepaskan dari tahap implementasi kebijakan
karena implementasi merupakan proses itu sendiri. Oleh karena itu, proses
implementasi kebijakan dimulai dari tegangan antara 4 komponen dalam
proses implementasi, yang terdiri dari implementor kebijakan, masyarakat
Suku Laut sebagai target group, pola interaksi yang diidealkan serta
lingkungan kebijakan.
Dalam proses implementasi kebijakan pendidikan, terdiri dari empat fase
yaitu:
- Tegangan
Proses impelemntasi terjadi ketika implementor kebijakan
mengimplementasikan kebijakan pendidikan sesuai dengan idealized
policy, sehingga mempengaruhi masyarakat Suku Laut untuk terlibat
dalam lingkungan kebijakan. Proses implementasi dipahami bukan sebagai
proses yang berjalan secara linear, melainkan transaksi melalui proses
negosiasi untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan
yang bersumber pada masyarakat Suku Laut.
60 Ibid., 13
43
- Pola transaksi
Pola interaksi yang tidak tetap membentuk pola transaksi yang terdiri atas
fase artikulasi dan aksi yang belum bersifat permanen. Lebih jauh, pola
interaksi yang di dalamnya terdapat tegangan yang dinamis akan direspon
dengan terbentuknya pola transaksi masyarakat Suku laut dalam proses
implementasi kebijakan pendidikan.
- Institusi baru
Institusi baru merupakan institusi yang dibentuk ketika adanya pola
transaksi dari masyarakat Suku laut. Hal ini dilakukan agar tujuan
kebijakan pendidikan dapat kembali tercapai dengan institusi yang baru.
- Feedback
Feedback yang terjadi merupakan tegangan yang berbentuk dukungan atau
penolakan atas implementasi kebijakan pendidikan yang lebih jauh
(dengan institusi baru), sehingga kebijakan pendidikan dapat sampai pada
tujuan yang telah dirumuskan atau kembali pada fase tegangan antara 4
komponen.
d. Kinerja Kebijakan
Kinerja kebijakan di dalam studi ini dilihat berdasarkan angka partisipasi
pendidikan yang diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka
Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).
- Angka Partisipasi Kasar (APK)
Angka Partisipasi Kasar merupakan indikator yang paling sederhana untuk
mengukur daya serap penduduk usia sekolah pada masing-masing jenjang
44
pendidikan. APK menunjukkan berapa jumlah anak dalam suatu wilayah
yang berpartisipasi dalam pendidikan. Semakin tinggi Angka Partisipasi
Kasar berarti semakin banyak anak yang bersekolah pada suatu daerah,
atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu
bersekolah di tingkat pendidikan tertentu61
.
Angka Partisipasi Kasar di dalam studi ini melingkupi Angka Partisipasi
Kasar masyarakat Suku Laut dan dibandingkan dengan Angka Partisipasi
Kasar di seluruh Kabupaten Karimun, yaitu 90,00 %
- Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Murni merupakan indikator untuk menunjukkan tingkat
partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu,
tetapi persentase Angka Partisipasi Murni lebih spesifik dibandingkan
dengan persentase Angka Partisipasi Kasar62
.
61 Riant Nugroho, loc. Cit.
Angka Partisipasi Kasar diperoleh dengan menghitung persentase jumlah siswa pada jenjang
pendidikan tertentu, berapapun usianya, dibandingkan dengan jumlah penduduk kelompok usia
yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.
Rumus:
�𝐴𝑃𝐾ℎ =𝐸ℎ𝑡
𝑃ℎ ,𝑎𝑡 × 100
Keterangan:
𝐸ℎ𝑡 = jumlah penduduk yang pada tahun t dari berbagai usia yang sedang
bersekolah di tingkat pendidikan h
𝑃ℎ ,𝑎�𝑡 = jumlah penduduk yang pada tahun t berada pada kelompok usia a yaitu
kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan h. 62 Ibid.
Angka Partisipasi Murni diperoleh dengan menghitung persentase jumlah siswa dengan usia yang
berkaitan jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia yang sama.
Rumus:
�𝐴𝑃𝑀ℎ𝑡 =
𝐸ℎ ,𝑎𝑡
𝑃ℎ ,𝑎𝑡 × 100
Keterangan:
𝐸ℎ ,𝑎𝑡 = jumlah siswa/penduduk kelompok usia a yang bersekolah di tingkat pendidikan h pada
tahun t
45
Angka Partisipasi Murni di dalam studi ini melingkupi Angka Partisipasi
Murni masyarakat Suku Laut dan dibandingkan dengan Angka Partisipasi
Murni di seluruh Kabupaten Karimun.
- Angka Putus Sekolah (APS)
Angka Putus Sekolah merupakan indikator untuk mengetahui banyaknya
siswa yang putus sekolah di suatu daerah63
. Angka Putus Sekolah di dalam
studi ini melingkupi Angka Putus Sekolah masyarakat Suku Laut dan
dibandingkan dengan Angka Putus Sekolah di seluruh Kabupaten
Karimun.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode case study, dimana menurut Yin
metode case study pada prosesnya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh
terhadap suatu objek yang diteliti64
. Lebih lanjut Creswell menyatakan bahwa,
fokus dalam case study adalah spesifikasi kasus pada suatu kejadian baik itu yang
𝑃ℎ ,𝑎𝑡 = jumlah penduduk kelompok usia a yang berkaitan dengan usia sekolah standar di tingkat
pendidikan h.
63 Ibid.
Angka Putus Sekolah diperoleh berdasarkan persentase siswa yang meninggalkan sekolah sebelum
lulus pada jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh anak (yang sekolah
maupun yang putus sekolah) di suatu wilayah.
Rumus:
𝐴𝑃𝑆 =𝐸
𝑃× 100
Keterangan:
E = siswa yang meninggalkan sekolah sebelum lulus pada jenjang pendidikan tertentu
P = jumlah seluruh anak (yang sekolah maupun yang putus sekolah) di suatu wilayah 64
Penelitian case study adalah metode penelitian yang secara khusus meneliti fenomena
kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-
batasan antara fenomena dan konteksnya yang belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber
data. Lihat Robert. K.Yin, Case Study Research: Design and Methods, 3 rd ed. (London: Sage
Publication, 2003), 13
46
mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Beberapa
karakteristik dari suatu case study yaitu : (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu
studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan
tempat; (3) Case study menggunakan berbagai sumber informasi dalam
pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam
tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan case study,
peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting
untuk suatu kasus65
.
Dari hal di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini tidak mengkaji
semua sektor kebijakan publik di dalam pembangunan, yang dibatasi secara rinci
dalam penelitian ini yaitu mengenai sektor pendidikan. Sektor pendidikan dipilih
dalam case study ini karena pendidikan merupakan sektor yang urgent di dalam
pembangunan, karena menyangkut perubahan pola pikir dan nilai-nilai, baik
kognitif, afeksi dan psikomotor di dalam suatu masyarakat, sehingga pada
akhirnya tercapai tujuan pembangunan di dalam masyarakat tersebut.
Penerapan logika di dalam penelitian ini diawali dengan identifikasi
masalah secara spesifik yang didasarkan pada program wajib belajar 9 tahun.
Selanjutnya yaitu akan dianalisa apa saja variabel-variabel segitiga dimensi
kebijakan publik yang terdiri dari proses, konten dan konteks implementasi
kebijakan sebagai upaya pencapaian tujuan pembangunan yang ditandai dengan
adanya partisipasi pendidikan di dalam masyarakat Suku Laut. Dalam melihat
variabel dari dimensi-dimensi kebijakan publik tersebut, peneliti menggunakan
65
John W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition
(London: SAGE Publications, 1998), 36-38
47
variabel yang dipetakan oleh Grindle tentang konten dan konteks implementasi
kebijakan dan variabel mengenai proses implementasi kebijakan yang dipetakan
oleh Smith.
Langkah selanjutnya yaitu peneliti menyimpulkan apakah variabel-
variabel dalam ketiga dimensi kebijakan publik (konteks, konten dan proses)
dalam implementasi mengarah pada tujuan pencapaian hasil dari program wajib
belajar 9 tahun bagi masyarakat Suku Laut. Kesimpulan dalam penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten Karimun provinsi Kepulauan Riau.
1.5.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Laut yang berada di
Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi
penelitian ini mengambil setting di pesisir Kecamatan Kundur, yang disebut
dengan nama Dwikora. Dwikora dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa
alasan. Pertama, di Dwikora, masyarakat Suku Laut hidup secara berkelompok
dari zaman dahulu hingga sekarang tanpa ada masuknya warga dari suku lain ke
daerah ini, sekaligus juga tidak ada anggota dari masyarakat Suku Laut yang
bermukim ke luar dari daerah Dwikora. Kedua, lokasi Dwikora yang berada di
samping pusat kota sebenarnya sangat mudah untuk modernisasi, tetapi hal
tersebut tidak akan dijumpai di dareah Dwikora. Ketiga, karena jarak antara
sekolah dengan Dwikora yang sangat dekat (< 1 km), tetapi seperti yang
48
dijelaskan di atas, masyarakat Suku Laut sangat jarang yang menyelesaikan wajib
belajar.
1.5.2. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu
data primer dan data sekunder. Penggunaan kedua data ini secara sekaligus
bertujuan untuk melihat fakta yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik
pada sektor pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Suku Laut, sehingga
manipulasi data dapat dihindari. Pemilihan data primer berdasarkan pada
kapasitas subjek penelitian yang dinilai dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh peneliti secara menyeluruh. Adapun yang menjadi teknik dalam
pengumpulan data sekunder adalah dengan desk study sedangkan pengumpulan
data primer dilakukan dengan wawancara dan observasi. Metode yang digunakan
dalam proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah proses triangulasi,
dengan langkah-langkah dalam pencarian data sebagai berikut:
a. Desk study
Desk study yang merupakan data sekunder ini digunakan sebagai langkah
awal untuk mencari informasi mengenai objek kajian berdasarkan data
pendukung yang ada. Desk study ini dilakukan dengan pengumpulan data
yang dicari melalui arsip-arsip, buku, media massa, jurnal dan sebagainya
yang menyangkut masyarakat Suku Laut. Misalnya yaitu sejarah Suku Laut,
program kebijakan pendidikan yang diterapkan di dalam masyarakat Suku
49
Laut serta data mengenai jumlah anak Suku Laut baik yang sekolah maupun
yang tidak sekolah.
Selain itu, untuk membandingkan tingkat partisipasi pendidikan masyarakat
Suku Laut yang dibandingkan dengan masyarakat lain yang berada di
wilayah Kabupaten Karimun, maka dibutuhkan juga data angka partisipasi
pendidikan masyarakat Kabupaten karimun.
b. Field Study
Melalui field study, peneliti akan berinteraksi langsung dengan objek
penelitiannya. Field study ini dilakukan dengan observasi dan wawancara.
Observasi
Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data dari gejala-gejala yang
ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang
kebijakan yang diimplementasikan dalam masyarakat Suku Laut maupun
kondisi Suku Laut itu sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan
pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan diteliti.
Dimana menurut Arikunto, observasi ini dilakukan melalui pengamatan
atau pemusatan perhatian terhadap objek dengan menggunakan seluruh
alat indera66
. Sehingga peneliti juga akan melihat, mendengarkan dan
merasakan fenomena yang terjadi dalam objek yang diteliti. Data yang
ingin dikumpulkan dari observasi ini misalnya, jumlah anak di Suku
Laut yang berada dalam usia wajib belajar dan perbandingan jumlah
anak di Suku Laut antara yang sekolah dengan yang tidak sekolah,
66 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), 128
50
jumlah anak Suku Laut di sekolah yang berada di sekitar masyarakat
Suku Laut yang kemudian diklasifikasikan tingkatan kelasnya.
Wawancara (indept interview)
Wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan
dialog agar dapat tergali data yang belum terungkap. Dalam melakukan
wawancara, terdiri dari dua pihak yaitu pihak yang mengajukan
pertanyaan dan pihak yang diwawancarai/pihak yang memberikan
jawaban atas pertanyaan dari peneliti. Dalam penelitian ini, pihak yang
diwawancarai yaitu terdiri atas dinas pendidikan, pemimpin Suku Laut
dan masyarakat Suku Laut itu sendiri.
Adapun sumber data/responden yang menjadi target dalam penelitian ini
diantaranya yaitu:
1) Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun, yakni elit-elit yang berada di dalam
lingkup dinas Pendidikan tersebut terutama aktor yang memiliki wewenang
pada bagian pendidikan Sekolah Dasar. Peneliti juga melakukan wawancara
dengan kepala sekolah dan guru pengajar di sekolah yang berada di sekitar
tempat tinggal masyarakat Suku Laut.
Dinas Pendidikan dan kepala sekolah hingga guru di sekolah sekitar tempat
tinggal Suku Laut dipilih untuk dijadikan responden karena dalam
mengimplementasikan kebijakan pembangunan sektor pendidikan
dilaksanakan langsung oleh dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru dan
menjadi aktor utama di dalam implementasi kebijakan.
51
2) Pemimpin Suku Laut, dalam hal ini Suku Laut yang masih mengikuti apa
yang dikatakan oleh pemimpin Suku Laut itu sendiri maka keputusan yang
diambil oleh masyarakat Suku Laut akan sangat dipengaruhi oleh wacana
yang dibawa oleh pemimpinnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat
keterlibatan dan kepentingan pemimpin Suku Laut dalam implementasi
kebijakan pendidikan pada masyarakat Suku Laut.
3) Sejarawan, yakni orang yang mengetahui mengenai karakter dan asal-usul
masyarakat Suku Laut. Responden tersebut dibutuhkan karena dalam
mengkaji masyarakat Suku Laut yang sering disebut sebagai kaum adat
terpencil tentu memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat lainnya,
sehingga dibutuhkan data yang berkaitan dengan karakter, kebiasaan dan pola
pikir masyarakat Suku Laut.
4) Beberapa orang masyarakat Suku Laut. Partisipasi sebagai proses
implementasi kebijakan yang idealnya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri
akan dapat dianalisa dengan berinteraksi/wawancara langsung dengan
masyarakatnya, sehingga akan sangat dibutuhkan wawancara langsung dengan
masyarakat Suku Laut.
5) Anak-anak Suku Laut yang berada dalam usia sekolah, dilakukannya
wawancara dengan anak-anak Suku Laut untuk melihat orientasi anak-anak
Suku Laut itu sendiri terhadap pendidikan, karena dalam penelitian ini anak-
anak Suku Laut merupakan target implementasi kebijakan pembangunan di
sektor pendidikan.
52
Tabel 1.2. Teknik Pengumpulan Data
Sasaran
Penelitian Jenis Informasi/ Variabel
Jenis Data
Sumber Data Primer Skunder
Observasi Wawancara
1. Konten
kebijakan Kepentingan yang
dipengaruhi
Tipe benefit
Derajat perubahan yang
diinginkan
Letak pengambilan
keputusan
Implementor program
Sumberdaya
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
Masyarakat Suku Laut, anak-
anak Suku Laut
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
Tenaga pendidik, anak-anak
Suku Laut
Dinas Pendidikan
2. Konteks yang
dilibatkan
dalam
implementasi
Kekuatan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat
Karakter rezim dan institusi
Kepatuhan dan responsivitas
√
√
√
√
√
√
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut
3. Proses
implementasi Tegangan
Pola Transaksi
Institusi Baru
√
√
√
√
√
√
√
Dinas Pendidikan, masyarakat
Suku Laut, tenaga pendidik
Masyarakat dan anak-anak Suku
Laut
Dinas Pendidikan, tenaga
54
1.5.3. Teknik Analisa Data
Penelitian ini dirancang dengan metode penelitian kualitatif, maka yang
menjadi tujuan dalam penelitian kualitatif ini adalah penggambaran realita
empirik di balik fenomena sebagaimana yang dikatakan oleh Meleong bahwa
tujuan dari penelitian kualitatif adalah ingin menggambarkan realita empirik di
balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas67
. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan melaui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,
yang menurut Miles dan Haberman yaitu terdiri dari reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan/verifikasi68
. Tiga jenis kegiatan utama analisis data
merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak di antara
empat “sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak
bolak balik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan
kesimpulan/verifikasi seperti pada skema berikut.
67 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 131 68 Miles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), 16-18
55
Skema 1.5. Teknik Analisa Data
Sumber: Miles dan Huberman, 1992
1. Reduksi Data
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan memilih hal-hal pokok
yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu di dalamnya peneliti akan
menggolongkan, mengarahkan, dan mengeliminasi yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data-data yang telah direduksi, kemudian memberi
gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian.
2. Penyajian Data
Dalam penyajian data, peneliti akan menegembangkan sebuah deskripsi
informasi yang tersusun dan mencari pola hubungannya untuk menarik
kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Dalam tahap ini, peneliti akan menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi
dengan mencari makna setiap gejala yang diperoleh dari lapangan, mencatat
56
keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena
dan proposisi69
. Artinya, pada tahap penarikan kesimpulan ini peneliti akan
mereview kembali teori yang digunakan sebagai pisau analisis dengan realita
yang terjadi di lapangan, sehingga ternarasikan refleksi teoritis dari kerangka
teori yang digunakan.
1.6. Sistematika Penulisan
Bab I terdiri dari latar belakang, studi literatur, rumusan masalah, tujuan,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi
landasan pemikiran tesis dan operasional tesis. Bab I ini bertujuan untuk
mendeskripsikan masalah pokok mengenai kegagalan implementasi kebijakan
sektor pendidikan, termasuk di dalamnya telaah studi terdahulu dan kerangka teori
yang ditawarkan, sehingga masalah di dalam penelitian ini penting untuk dikaji.
Bab II mendeskripsikan sejarah, budaya dan perkembangan Suku Laut
hingga sekarang. Di dalam ini juga akan mendeskripsikan kondisi pendidikan
masyarakat Suku Laut secara lebih rinci dengan melihat partisipasi pendidikan
masyarakat Suku Laut hingga saat ini yang dijabarkan dalam Angka Partisipasi
Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).
Tujuan bab ini adalah untuk menggambarkan kondisi masyarakat Suku Laut yang
selama ini dicekoki dengan kebijakan pembangunan sektor pendidikan.
Bab III menganalisa konten kebijakan pendidikan yang diimplementasikan
dalam masyarakat Suku Laut. Proses implementasi adalah mentransformasikan
69 Ibid.
57
hasil rumusan kebijakan yang disebut dengan konten kebijakan menjadi outcome
kebijakan. Sehingga dalam mengukur berhasil atau tidaknya implementasi
kebijakan tersebut, dapat diukur dengan menganalisa konten kebijakannya. Di
dalam bab ini akan menganalisa konten kebijakan sektor pendidikan dalam
beberapa variabel, di antaranya yaitu yang pertama kepentingan yang dipengaruhi
oleh kebijakan. Variabel ini akan dideskripsikan dengan menganalisa beberapa
indikator yang mendukung variabel, di antaranya yaitu macam-macam kebijakan
yang berkaitan dengan pendidikan, situasi institusi dalam mengimplementasikan
kebijakan yang sebelumnya dan apakah konten kebijakan yang diimplementasikan
kemudian sama dengan situasi sebelumnya. Variabel kedua, yaitu tipe benefit
yang diterima oleh kelompok sasaran. Sementara itu, variabel ketiga yang akan
dideskripsikan yaitu drajat perubahan yang terjadi, semakin tinggi drajat
perubahan yang diinginkan maka kebijakan akan cenderung gagal.
Variabel keempat yang akan diuraikan di dalam bab III yaitu mengenai
letak pengambilan keputusan, dimana semakin rumit tahap pengambilan
keputusan, maka implementasi kebijakan cenderung gagal, sehingga poin yang
akan dibahas dalam variabel ini yaitu siapa aktor kunci yang mempengaruhi
pengambilan keputusan dan konflik yang terjadi dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya, variabel kelima dalam bab ini yaitu implementor program, indikator
di dalam variabel ini yaitu siapa aktor yang menjadi implementor program,
kompetensi dan kinerja implementor dan relasi antar implementor. Sementara itu,
variabel terakhir yang dideskripsikan dalam bab ini yaitu sumber daya yang
58
dialokasikan dengan melihat jenis-jenis sumberdaya, dukungan sumberdaya dan
alokasi yang ditetapkan dari sumberdaya untuk implementasi kebijakan
pendidikan.
Bab IV mendiskusikan konteks lingkungan politik (struktur beserta
dinamikanya) yang dilibatkan dalam implementasi kebijakan pendidikan, baik
dari implementor kebijakan maupun target group. Struktur politik dimana suatu
kebijakan diimplementasikan akan turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
kebijakan. Sehingga proses implementasi kebijakan tidak terlepas dari konteks
dimana implementasi kebijakan tersebut berlangsung. Dalam bab ini akan
mendiskusikan konteks implementasi kebijakan yang dispesifikasikan ke dalam
beberapa variabel, di antaranya yaitu pertama kekuasaan, kepentingan dan strategi
aktor-aktor yang terlibat. Variabel ini akan dijabarkan ke dalam beberapa
indikator di antaranya yaitu kekuasaan (elit), kepentingan yang dimiliki oleh
aktor-aktor yang memiliki kekuasaan, strategi yang digunakan oleh aktor-aktor
tersebut untuk mencapai kepentingannya hingga who get what dari kebijakan
pendidikan yang diimplementasikan.
Variabel kedua dalam bab IV yaitu karakter rezim dan institusi, variabel
ini dianalisa dengan melihat apakah rezim yang ada di lingkungan kebijakan
bersifat sentralisasi atau desentralisasi, kemudian yaitu kontrol dari pusat dalam
implementasi kebijakan dan bagaimana prioritas penguasa terhadap implementasi
kebijakan pendidikan. Selanjutnya, variabel ketiga dalam bab IV yaitu kepatuhan
dan responsivitas. Indikator yang digunakan untuk menganalisa variabel ini yaitu
59
tingkatan kekonsistenan implementor dalam mencapai tujuan (dengan
mendapatkan dukungan elit politik, ketersediaan birokrat dan aktor politik level
bawah, serta target group), selanjutnya yaitu kemampuan implementor dalam
mengubah sikap dari kelompok penentang menjadi menerima kebijakan, proses
evaluasi untuk melihat responsivitas implementor, karena tanpa responsivitas,
maka implementor akan kesulitan dalam melakukan evaluasi, intervensi
kelompok lain dan kecakapan politik implementor.
Bab V akan membahas proses implementasi kebijakan pendidikan
diperjuangkan dalam masyarakat Suku Laut, proses implementasi kebijakan
merupakan salah satu kunci untuk membuka teka-teki yang menyebabkan
kegagalan implementasi kebijakan karena implementasi kebijakan merupakan
proses itu sendiri . Bab ini bertujuan untuk menjelaskan proses implementasi
kebijakan pendidikan yang diperjuangkan pada masyarakat Suku Laut, dengan
pembahasan dibagi dalam beberapa subbab pembahasan. Subbab pembahasan
dalam bab V terdiri fase-fase proses implementasi yang dikemukakan oleh Smith,
yaitu berawal dari tegangan yang terjadi antara empat komponen (idealized
policy, target group, implementor kebijakan dan lingkungan kebijakan).
Interaksi untuk merangsang target group yang disebut dengan idealized
policy, menimbulkan pola-pola transaksi, yaitu pola-pola yang tidak tetap yang
berkaitan dengan tujuan dari suatu kebijakan. Pada fase selanjutnya, pola-pola
transaksi tersebut menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga tertentu,
60
sekaligus dijadikan umpan balik untuk mengurangi ketegangan dan dikembalikan
kepada matriks dari pola-pola transaksi dan kelembagaan.
Bab VI merupakan bagian yang akan menganalisa ketiga variabel
implementasi kebijakan dalam penelitian ini, yaitu konten kebijakan, konteks
dimana kebijakan diimplementasikan dan proses implementasi. Analisa terhadap
ketiga variabel tersebut pada akhirnya akan menjawab pertanyaan utama dalam
penelitian ini, yaitu penyebab kegagalan implementsai kebijakan pendidikan
dalam masyarakat Suku Laut. Bab VI terdiri dari 2 subbab, subbab yang pertama
yaitu bagian yang menjawab penyebab kegagalan implementasi kebijakan
pendidikan dalam masyarakat Suku Laut. Sementara subbab kedua yaitu analisa
variabel yang paling dominan dalam implementasi kebijakan pendidikan
masyarakat Suku Laut.
Bab VII adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan penelitian ini. Di
dalam bab ini akan merangkum jawaban atas pertanyaan penelitian sekaligus
menyajikan rekomendasi praktikal atas kebijakan pendidikan untuk masyarakat
Suku Laut pada masa yang akan datang. Dalam rekomendasi praktikal yang akn
disusun, terdiri atas dimensi apa saja yang hendaknya diangkat ke permukaan baik
dalam perumusan maupun dalam implementasi kebijakan, serta cara yang
digunakan untuk mencapai terselenggaranya kebijakan pendidikan sesuai dengan
konteks masyarakat Suku Laut.